Thursday, July 24, 2014
Alice dan Radit
By Ftrohx
Tempatnya berada di belakang sebuah ruko, masuk melalui lorong sempit dengan dinding-dinding yang basah karena hujan tadi siang. Di ujungnya terdapat pintu bertelaris yang tertutup, tidak digembok hanya di slot dengan batang besi yang bisa dibuka dari luar. Di baliknya terdapat tangga besi melingkar, naik ke atas sampai di lantai dua terdapat koridor sepanjang 10 meter.
Koridornya terbuka, memberi pemandangan atap perumahan padat penduduk di belakang sana. Awan masih mendung dengan gerimis yang turun perlahan. Aroma tanah dan dinding yang basah tercium sampai ke dalam kamar.
Alice menikmatinya, dia ingat para penulis di blog itu menyebut kata petrichor; sebuah aroma yang membuat perasaan seseorang menjadi tenang, menjadi mello dan melihat semua begitu indah, meski langit tidak cerah. Dari atas jendela kaca terlihat siluet atletis dari tubuh gadis cantik ini, rambutnya hitam panjang sebahu dan menutupi bagian belakang leher yang putih. Alice mengenakan kaos oblong dan celana pendek berwarna karamel, duduk menyila di lantai membelakangi dinding putih yang kosong, tangannya masih menari di atas keyboard laptop, yang diletakan di atas meja kayu khas Jepang. Saat ini dia sedang mengerjakan artikel berjudul ‘Tips menggunakan Remote Desktop’ yang harusnya sudah dia kirim sejak tadi siang.
Alice sebenarnya bukan pakar IT, dia bahkan tidak pernah mengambil jurusan IT. Tapi, selama 5 tahun terakhir dia belajar banyak tentang teknologi informasi secara otodidak, dia menyukai teknologi informasi, dia menyukai komputer sama halnya dia menyukai pakaian yang bagus dan kuliner yang enak.
Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu…
Lantunan lembut 'Menghapus Jejakmu' dari Peterpan terdengar dari Winamp-nya.
Alice pun beranjak ke dapur dengan langkah kaki mengikuti alunan musik, moodnya sedang sangat bagus. Dia menyiapkan coklat panas di cangkir merah untuk menemani-nya kembali ke layar putih desktop.
Sambil menggenggam dan menghirup aroma coklat, Alice berjalan ke ruang tengah, menatap layar LCD 15 inch. Matanya bergerak ke pojok kanan bawah, sebuah pointer hijau menyala - yang berarti sebuah pesan baru di list chattingnya. Dia melihat namanya Natalie, Alice ingat orang itu adalah staff di majalah wanita langganannya.
Meletakan cangkir merah di lantai, tangannya mengambil mouse dan mengklik pesan tersebut.
Natalie: Alice bagaimana artikel ‘wanita dan dunia IT’ sudah selesai belum?
Dia terdiam sejenak sempat ragu untuk membalas secara langsung, tapi jarinya pun bergerak.
Alice: Iya, tinggal dikit lagi nih, nanti sejam lagi kukirim
Natalie: Ok, btw kamu tahu gak beberapa hari ini Bu Ranni gak masuk kantor?
Alice: Nggak, emang kenapa? sakit?
Natalie: Nah itu aku gak tahu jelasnya, yang pasti bukan sakit.
Alice: Hm, kok gituh?
Natalie: Karena dia menghilang?
Alice: menghilang?
Natalie: Iya dia menghilang
Alice: Gimana ceritanya?
Natalie: Nah itu, dia menghilang begitu aja, lenyap.
Alice: Kok bisa? Btw sudah menghubungi polisi?
Natalie: Iya, keluarganya sudah menelpon. Nah justru itu sejak tadi siang ramai di sini, para polisi itu menanyai semua karyawan.
Alice: Termasuk kamu?
Natalie: Iya, aku juga. Mereka bilang bahwa kantor ini adalah lokasi terakhir sebelum Bu Ranni menghilang.
Alice: Emang Bu Ranni hilang sejak kapan?
Natalie: Kata keluarganya sejak Sabtu malam dia belum pulang dari kantor
Sabtu malam, mata Alice bergerak ke atas. Itu berarti sudah 5 hari yang lalu.
Alice: Hm…
Nataile: Apa jangan-jangan dia diculik ya?
Alice: Hhu, jangan bilang begitu, mudah-mudahan saja nggak.
Nataile: Iya iya,
Alice: btw aku kerja dulu ya, bye.
Pointer Alice meng-klik icon log out, namun bola matanya berputar ke pojok kiri ruangan, ke arah buffet panjang di mana berjajar berbagai jenis buku.
Satu buku yang difokuskan pupilnya, His Last Bow buku keempat kumpulan cerita Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle. Di buku itu terdapat satu cerita yang tak terlupakan bagi Alice, satu kisah di mana sang detektif nyaris gagal menyelamatkan seorang wanita yaitu Lady Frances Carfax, wanita bangsawan yang diculik, dirampok, dan nyaris tewas dikubur hidup-hidup di dalam sebuah peti. Menarik karena Alice sendiri juga pernah punya pengalaman yang hampir sama dengan itu, ketika dia nyaris tewas di lubang sumur yang kering di belakang kebun kakeknya. Pengalaman yang mengerikan untuk anak usia 5 tahun, tapi dari pengalaman itu Alice menjadi karakter yang kuat seperti sekarang.
Matanya lurus ke layar laptop.
Spekulasi pun muncul di benaknya. Bagaimana jika hal itu terjadi pula pada Bu Ranni si kepala editor? Bagaimana jika seseorang menculiknya sepulang kantor, merampoknya, lalu membawanya pergi ke sebuah tempat dan menguburnya hidup-hidup?
‘Ah, itu terlalu ekstrem,’ batinnya.
Kembali melihat buffet dan tumpukan buku itu. Dia menyadari hanya sedikit novel dan cerita fiksi yang jadi koleksinya, kebanyakan bukunya adalah non-fiksi, hal-hal yang berguna sebagai bahan artikel, seperti buku psikologi populer, buku-buku self motivation, buku tentang entrepreneur dan membangun bisnis, buku marketing, beberapa buku tentang teknik komputer, cara menggunakan software dan aplikasi umum, serta buku tentang internet dan mendesain website.
Dia menyadari dirinya berbeda dari cewek kebanyakan, aneh juga seorang perempuan tapi tidak punya koleksi novel romance. Satu-satunya novel yang paling dekat dengan romance di rak bukunya adalah Affairs Next Dorr karya Anna K. Green, tentu saja itu novel detektif dan bukan romance.
Beranjak keluar dan melihat hujan gerimis, Alice menarik nafas dalam-dalam, dia menikmati setiap oksigen dan embun yang meresap ke paru-parunya. Matanya berputar ke sekeliling, tempat ini begitu sempurna untuk menghilang dari keramaian.
Syukurnya tidak ada seorang teman pun yang tahu kalau dia tinggal di sini, begitupula dengan keluarganya, sudah setahun dia keluar dari rumah, sudah setahun berusaha hidup mandiri, dan sudah setahun pula dia menjadi bayangan. Kebetulan Alice adalah cewek yang introvert, dia tidak terlalu butuh kehidupan sosial, dia bisa melakukan hampir semuanya sendiri, dan dalam kesunyian justru dia bisa lebih fokus dengan semua projek-projeknya. Meski begitu Alice tetap punya rumah, kadang dia memang pulang dan tinggal dengan Ibunya, lalu setelah itu dia kembali lagi ke sini, ke tempat persembunyian – rumah sewaan yang menjauhkannya dari kebisingan.
Tangan Alice menyentuh railing pembatas, dia meremasnya keras, matanya terpejam dan hidungnya menarik nafas lebih dalam lagi. Dia menahan lama oksigen di diafragma-nya, lalu menghembuskannya perlahan seperti penikmat cerutu. “Hhhaaaaaaa…” Matanya terbuka, keputusannya pun sudah bulat. Dia harus ikut dalam pencarian Bu Ranni.
. . .
Monday, July 21, 2014
Kiss The Girls - Alex Cross
By Ftrohx
Banyak yang mengkritik film ini sebagai film dibawah standar, tapi menurut saya film ini cukup bagus kok.
Memang bukan untuk ukuran bioskop sih, tapi cukup asik jika ditonton saat lo sedang istirahat santai sepulang kantor atau tidur-tiduran setelah makan malam di ruang tamu.
Saya langsung jatuh hati dengan film ini (dan nggak ganti-ganti channel) ketika di openingnya melihat Ashley Judd yang sexy dengan keringat dan baju olahraga ketatnya.
Ashley berperan sebagai dokter cantik pintar nan sexy, yang sangat tomboy dengan hobinya jogging dan berlatih Mua Thai. Tipikal cewek yang nyaris sempurna, bahkan menurut saya Lara Croft (Angelina Jolie) lewat ! Hahahaha...
Lalu cerita bergulir, seorang wanita muda ditemukan tewas terbunuh di pinggir hutan.
Para polisi melakukan analisa, mereka mendatangkan pakar psikologi forensik yaitu detektif Alex Cross yang diperankan oleh Morgan Freeman.
Membaca profile para korban, Alex Cross membuat hipotesa bahwa tindakan pelaku membunuh para korban bukanlah tujuan utamanya, sebaliknya justru pelaku lebih menginginkan mereka hidup dengan kondisi dan aturan tertentu yang dia buat, ketika para korban keluar dari aturan itu maka sang pelaku memberinya hukuman mati. Belakangan, sang detektif menemukan nama samaran untuk sang culprit yaitu Cassanova, dari cerita klasik tentang laki-laki yang menguasai banyak wanita di kakinya.
Jujur, saya suka ide tentang psikopat Casanova ini, cerita seperti ini memang real ada di kehidupan kita. Kebanyakan korban kekerasan dan pembunuhan yang kita lihat diberita-berita televisi adalah wanita.
Dan kebanyakan mereka menjadi korban dari personal lust atau motif dendam asmara dan sejenisnya.
Masalah pun berlanjut, karena ternyata keponakan dari Alex Cross juga diculik oleh sang culprit. Ini membuat investigasi menjadi misi personal dari Alex Cross.
Lalu, gambar berganti menyoroti kehidupan Kate McTiernan (Ashley Judd) yang sangat luarbiasa, seorang dokter cantik yang sexy dan suka berolahraga. Kate sangat berwibawa, dia lebih daripada wanita pada umumnya dia cerdas, dia berani, dia jago beladiri, dan terlihat sangat mengintimidasi semua laki-laki.
Tapi, dibalik semua arogansinya itu, Kate tetap seorang wanita biasa yang punya rasa takut, dan Cassanova memanfaatkan rasa takut itu.
Pada suatu malam yang mencekam sang penjahat muncul di rumah Kate dan menculiknya. Membawa si cewek cantik ini ke sebuah tempat terpencil.
Kate terbangun di sebuah kamar gelap, berhadapan dengan sang culprit yang mengenakan topeng kulit, seolah hantu tanpa wajah.
Walau dalam situasi yang mencekam, Kate masih mampu melakukan analisis terhadap situasi yang terjadi, dia bahkan mengetahui jenis obat apa yang digunakan pelaku untuk membius dirinya. Namun, sang Cassanova justru tambah bersemangat untuk menyiksa dia.
Setengah jam awal dari film ini begitu bagus menurut saya, karena menceritakan bagaimana Kate mencoba bertahan hidup, mencoba kuat secara mental berhadapan dengan sang penculik.
Sayangnya, babak selanjutnya berjalan dengan begitu mudah. Kate dengan sangat beruntung, berhasil meloloskan diri dari ruang bawah tanah Cassanova, dia pergi menerobos hutan hingga jatuh ke sungai. Lalu secara kebetulan dia ditolong oleh pemancing yang sedang berada di sungai itu.
Kemudian, Kate bertemu dengan para polisi termasuk Detektif Alex Cross, Kate menjalani sesi terapi dengan sang detektif. Mereka menemukan petunjuk di mana letak tempat persembunyian Cassanova. Dengan menelusuri aliran sungai di mana Kate ditemukan, detektif Alex Cross menemukan tempat mencurigakan di pinggiran hutan. Bagian inilah yang banyak dikritisi oleh para penonton, di sini ketegangan dan emosional dari film sudah mulai pudar. Dari sini bahkan saya sendiri melihat jalan cerita menjadi datar, tidak ada ketegangan seperti pada menit-menit awal.
Begitupula hingga seperti akhir dari film, tidak ada yang istimewa hanya cerita police procedural. Bagian ini banyak di kritisi karena mirip dengan Silent of the Lambs - Hannibal Lecter. Dan konsep tentang Cassanova juga banyak dibandingkan dengan Buffalo Bill si psikopat yang melakukan aksi pembunuhan berantai karena obsesi anehnya pada para wanita.
Tentu saja ada perbedaannya, menurut saya Cassanova jauh lebih siap untuk menghadapi situasi buruk daripada Buffalo Bill. Cassanova punya labirin tersendiri yang cukup luas, dia juga memiliki korban jauh lebih banyak daripada Buffalo Bill, dan background profesinya sendiri membuat Cassanova memiliki efisien lebih daripada serial killer yang lain. Saya sendiri sempat berkhayal, seandainya saya menjadi Cassanova dan melakukan aksi-aksi brutal seperti itu, pasti sangat menarik. Namun, tindakannya tentu saja tidak aman dan sangat irasional. Untuk kehidupan real urban seperti sekarang menjadi gigolo pastinya jauh lebih masuk akal daripada penyiksa wanita yang melakukan aksi pembunuhan.
. . .
Ilustrasi, poster film Kiss the Girls, sumber wikipedia.org
Banyak yang mengkritik film ini sebagai film dibawah standar, tapi menurut saya film ini cukup bagus kok.
Memang bukan untuk ukuran bioskop sih, tapi cukup asik jika ditonton saat lo sedang istirahat santai sepulang kantor atau tidur-tiduran setelah makan malam di ruang tamu.
Saya langsung jatuh hati dengan film ini (dan nggak ganti-ganti channel) ketika di openingnya melihat Ashley Judd yang sexy dengan keringat dan baju olahraga ketatnya.
Ashley berperan sebagai dokter cantik pintar nan sexy, yang sangat tomboy dengan hobinya jogging dan berlatih Mua Thai. Tipikal cewek yang nyaris sempurna, bahkan menurut saya Lara Croft (Angelina Jolie) lewat ! Hahahaha...
Lalu cerita bergulir, seorang wanita muda ditemukan tewas terbunuh di pinggir hutan.
Para polisi melakukan analisa, mereka mendatangkan pakar psikologi forensik yaitu detektif Alex Cross yang diperankan oleh Morgan Freeman.
Membaca profile para korban, Alex Cross membuat hipotesa bahwa tindakan pelaku membunuh para korban bukanlah tujuan utamanya, sebaliknya justru pelaku lebih menginginkan mereka hidup dengan kondisi dan aturan tertentu yang dia buat, ketika para korban keluar dari aturan itu maka sang pelaku memberinya hukuman mati. Belakangan, sang detektif menemukan nama samaran untuk sang culprit yaitu Cassanova, dari cerita klasik tentang laki-laki yang menguasai banyak wanita di kakinya.
Jujur, saya suka ide tentang psikopat Casanova ini, cerita seperti ini memang real ada di kehidupan kita. Kebanyakan korban kekerasan dan pembunuhan yang kita lihat diberita-berita televisi adalah wanita.
Dan kebanyakan mereka menjadi korban dari personal lust atau motif dendam asmara dan sejenisnya.
Masalah pun berlanjut, karena ternyata keponakan dari Alex Cross juga diculik oleh sang culprit. Ini membuat investigasi menjadi misi personal dari Alex Cross.
Lalu, gambar berganti menyoroti kehidupan Kate McTiernan (Ashley Judd) yang sangat luarbiasa, seorang dokter cantik yang sexy dan suka berolahraga. Kate sangat berwibawa, dia lebih daripada wanita pada umumnya dia cerdas, dia berani, dia jago beladiri, dan terlihat sangat mengintimidasi semua laki-laki.
Tapi, dibalik semua arogansinya itu, Kate tetap seorang wanita biasa yang punya rasa takut, dan Cassanova memanfaatkan rasa takut itu.
Pada suatu malam yang mencekam sang penjahat muncul di rumah Kate dan menculiknya. Membawa si cewek cantik ini ke sebuah tempat terpencil.
Kate terbangun di sebuah kamar gelap, berhadapan dengan sang culprit yang mengenakan topeng kulit, seolah hantu tanpa wajah.
Walau dalam situasi yang mencekam, Kate masih mampu melakukan analisis terhadap situasi yang terjadi, dia bahkan mengetahui jenis obat apa yang digunakan pelaku untuk membius dirinya. Namun, sang Cassanova justru tambah bersemangat untuk menyiksa dia.
Setengah jam awal dari film ini begitu bagus menurut saya, karena menceritakan bagaimana Kate mencoba bertahan hidup, mencoba kuat secara mental berhadapan dengan sang penculik.
Sayangnya, babak selanjutnya berjalan dengan begitu mudah. Kate dengan sangat beruntung, berhasil meloloskan diri dari ruang bawah tanah Cassanova, dia pergi menerobos hutan hingga jatuh ke sungai. Lalu secara kebetulan dia ditolong oleh pemancing yang sedang berada di sungai itu.
Kemudian, Kate bertemu dengan para polisi termasuk Detektif Alex Cross, Kate menjalani sesi terapi dengan sang detektif. Mereka menemukan petunjuk di mana letak tempat persembunyian Cassanova. Dengan menelusuri aliran sungai di mana Kate ditemukan, detektif Alex Cross menemukan tempat mencurigakan di pinggiran hutan. Bagian inilah yang banyak dikritisi oleh para penonton, di sini ketegangan dan emosional dari film sudah mulai pudar. Dari sini bahkan saya sendiri melihat jalan cerita menjadi datar, tidak ada ketegangan seperti pada menit-menit awal.
Begitupula hingga seperti akhir dari film, tidak ada yang istimewa hanya cerita police procedural. Bagian ini banyak di kritisi karena mirip dengan Silent of the Lambs - Hannibal Lecter. Dan konsep tentang Cassanova juga banyak dibandingkan dengan Buffalo Bill si psikopat yang melakukan aksi pembunuhan berantai karena obsesi anehnya pada para wanita.
Tentu saja ada perbedaannya, menurut saya Cassanova jauh lebih siap untuk menghadapi situasi buruk daripada Buffalo Bill. Cassanova punya labirin tersendiri yang cukup luas, dia juga memiliki korban jauh lebih banyak daripada Buffalo Bill, dan background profesinya sendiri membuat Cassanova memiliki efisien lebih daripada serial killer yang lain. Saya sendiri sempat berkhayal, seandainya saya menjadi Cassanova dan melakukan aksi-aksi brutal seperti itu, pasti sangat menarik. Namun, tindakannya tentu saja tidak aman dan sangat irasional. Untuk kehidupan real urban seperti sekarang menjadi gigolo pastinya jauh lebih masuk akal daripada penyiksa wanita yang melakukan aksi pembunuhan.
. . .
Ilustrasi, poster film Kiss the Girls, sumber wikipedia.org
Wednesday, July 16, 2014
Point of View
By Ftrohx
"Saat misteri dan konspirasi terlalu kompleks, orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian. Jadi dia perlu 'menyerahkan' pekerjaan itu pada orang ketiga." - Brahmanto Anindito.
Untuk beberapa penulis Point of View kadang menjadi sebuah masalah, PoV 1 misalnya kita hanya melihat dari sudut pandang satu orang atau personal, sementara jika kejadiannya luas atau mencakup area yang besar kadang kita membuat PoV 1 dengan karakter yang berbeda, dan ini biasanya masalah, kita mesti menguasai bahasa yang berbeda dan psikologi karakter yang berbeda.
Sedangkan PoV 3 membuat cerita yang luas itu menjadi jauh lebih mudah, kita tidak perlu khawatir mengenai psikologis tiap karakter, kita tidak perlu inside mereka, kita bisa pindah scene ke manapun kita mau di tiap bab-nya. Tapi masalahnya, para pembaca (terutama yang biasa baca PoV1) akan bilang "Kok ceritanya nge-flat aja sih? Nggak ada rasa emosinya?" atau "Ini tulisan kok nggak pakai pencitraan 5 indera?" dan sebagainya. Yang pasti itu masalah.
Masalah Point of View ini bukan hanya (pernah) dialami oleh penulis amatir seperti saya, seorang Doestoyevsky pun juga pernah mengalaminya. Saat dia membuat Crime and Punishment, awalnya buku itu dibuat dengan PoV 1 yaitu dari sudut pandang protagonis si Raskolnikov, tapi semakin masuk ke tengah cerita yang dia tulis makin buntu, karena ruanglingkupnya menjadi begitu sempit kala bermain hanya pada satu protagonis. Karena itu Doestoyevsky mengulang lagi tulisannya dan membuat Crime and Punishment dari PoV 3.
Saya setuju dengan Doestoyevsky, saya juga pernah punya masalah seperti itu. Terutama saat kita membuat novel detektif, begitupula dengan crafting.
Membongkar rak buku, saya bertanya-tanya sendiri lebih banyak mana sih PoV 1 atau PoV 3 ?
Novel PoV 1 di rak buku saya:
1. Study in Scarlet - Arthur Conan Doyle
Tentu saja novel pertama dari serial Sherlock Holmes, menggunakan PoV 1 semua dari sudut pandang subyektif Dr. Watson.
Membaca ini saya selalu ingat kata-kata Fandi Sido. "Saya lebih pilih PoV 3 karena PoV 1 saya tidak sehebat Dr. Watson dalam menarasikan cerita."
2. Dracula - Bram Stoker
Jangan tertipu dengan cover dan judulnya, novel asli Dracula karya Bram Stoker tidak seseram yang anda atau orang-orang bayangkan.
Novel ini dibuat dengan PoV 1 dari sudut pandang banyak karakter, mulai dari Jonathan Harker, Mina Murray, Lucy Westenra, Dr Seward, Van Helsing, hingga Dracula sendiri.
Bentuk PoV 1 nya juga bermacam-macam, mulai dari kirim-kiriman surat antara Harker dengan Mina, hingga diary dari Lucy dan Dr Seward mengenai peristiwa Horror yang mereka alami.
3. Mysterious Affair - Agatha Christie
Buku ini punya konsep yang sama dengan serial Sherlock Holmes, PoV 1 dari asisten detektif yang tidak dapat diandalkan yaitu Arthur Hastings.
Tapi disini Arthur menulis dengan sangat detail. Dia mengikuti kasus ini mulai dari awal pembunuhan (awal mayat korban ditemukan) sampai tersangkanya dibawa ke pengadilan, sampai tersangkanya dibebaskan karena kurang bukti, sampai ke pengadilan lagi, ke tempat kejadian perkara lagi, sampai akhirnya ditemukan pembunuh yang sebenarnya.
4. Affair Next Door - Anna Kathrine Green
Keseluruhan buku ini menggunakan PoV 1 dari Amelia Buttenworth, detektif fiksi wanita amatir pertama di dunia.
Amelia punya determinasi, punya ambisi, dan ego yang tinggi dalam memecahkan kasus.
Tapi untuk beberapa hal, kadang dia melakukan kesalahan konyol. Namun disinilah hebatnya menurut saya, karena sang penulis sukses membuat dia menjadi karakter yang manusiawi.
5. Fight Club - Chuck Palahniuk
PoV 1 dengan narator yang tanpa nama, yang kemudian di versi film diidentifikasikan dengan initial Jack yang diperankan oleh Edward Norton.
Narasinya tidak begitu istimewa, tapi justru konten dan cerita yang disampaikannya lah yang membuat buku ini berhasil.
6. My Name is Red - Orhan Pamuk
Buku ini rumit atau bisa dibilang bacaan yang berat bagi orang awam, bahkan untuk saya sendiri buku ini cukup berat, baik itu dari sisi filosofi yang dalam juga dari kerumitan kasus kriminal yang ditangani oleh karakter protagonisnya.
My Name is Red menggunakan PoV 1 dengan banyak karakter, mulai dari inside mind sesosok mayat korban pembunuhan, keluarga yang ditinggalkan, terus detektif amatir dengan initial Black, serta para terduga pelaku pembunuhan yaitu Butterfly, Stork, dan Olive. Yang mengerikan lagi, tiap karakter memiliki cara berpikir, emosi, obsesi, dan ambisi serta pengetahuan yang tersendiri. Seolah-olah sang penulis Orhan Pamuk memiliki jiwa yang banyak hingga bisa menulis tentang banyak jiwa tersebut.
7. Auguste Dupin - Edgar Allan Poe
Murder in Rue Morgue, Mystery of Marie Roget, dan Purloined Letter. Semuanya menggunakan PoV 1 dari seorang narator yang tanpa nama, sementara Dupin dinarasikan seperti Holmes dinarasikan oleh Watson.
Tidak ada yang istimewa dari ketiga cerita ini, hanya saja karena ini yang pertama (di planet bumi) maka dia BERHASIL dengan sukses.
Novel PoV 3 di rak buku saya:
1. Bone Collector - Jeffrey Deaver
Bagi yang terbiasa baca PoV 1, membaca novel Jeffrey Deaver pasti tidak akan tertarik. Novel ini taste-nya lebih ke PoV 3 atau bisa saya bilang murni PoV 3, yang menurut para kritikus sebagai buku yang nge-flat aja.
Tapi menurut saya novel ini juga tidak bisa diubah ke PoV 1 (atau sekalipun bisa hasilnya menurut saya tidak akan sebagus PoV 3) karena misteri dan konspirasi terlalu kompleks, orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian.
2. Deathly Hallow - J K Rowling
Anda pasti setuju dengan saya, J K Rowling adalah satu dari sedikit penulis di dunia ini yang berhasil membuat PoV 3 dengan taste seperti PoV 1.
Bagaimana dia merangkai cerita yang spektakuler dengan penyampaian yang sesederhana mungkin.
Bagaimana dia bisa menuliskan kedalam perasaan dan emosi dari tiap karakternya, mulai dari trio Harry Potter, Ron, dan Hormione. Sampai ke pangeran kegelapan Voldemort, Rowling berhasil menuliskannya seolah dari kedalaman PoV 1.
3. Secret Agent - Joseph Conrad
Nah ini, menurut saya PoV 3 rasa medium, tidak semurni PoV 3 nya Jeffrey Deaver juga tidak mengarah ke PoV 1 seperti J K Rowling.
Pas di tengah-tengah, seandainya saya bisa, seandainya saya punya kekuataan. Pengen banget saya membuat novel dengan taste seperti ini.
Secret Agent bercerita tentang Verloc, seorang agen rahasia yang diberi misi oleh atasannya untuk meledakan Greenwich.
Lalu setelah aksinya tersebut berhasil, justru tragedi yang sebenarnya muncul. Intinya ini sebuah kisah klasik di mana karakter anti-hero berakhir dengan tragis.
4. Day of the Jackal - Frederick Forysth
Jackal sang assassin, diberi tugas untuk membunuh Presiden Prancis. Bagaimana dia memulai perjalanan panjangnya dari Inggris, ke Belgia, hingga Paris Prancis.
Jika Bone Collector cukup nge-flat, Day of the Jackal lebih parah lagi, karena selain dia nge-flat, masalah misteri dan permainan plotnya itu sangat kurang. Kombinasi yang buruk.
Biasanya novel dengan kombinasi seperti ini tidak berhasil masuk ke pasaran (atau tidak berhasil lolos di editor) tapi bagusnya dia berhasil dan diterima pasar.
5. The Lost Symbol - Dan Brown
Dari semua bukunya Dan Brown, ini masih jadi favorit saya, The Lost Symbol.
Dia berhasil nge-Mix antara PoV 3 dengan PoV 1.
Sudut pandang orang ketiga-nya ketika menyoroti karakter protagonis Robert Langdon, sedangkan sudut pandang orang pertama-nya ketika inside mind karakter Mal'akh si pembunuh berantai.
6. Cuckoo's Calling - J K Rowling
Kalau tentang J K Rowling lagi, rasanya tidak perlu ada yang dibantahkan. Cuckoo's Calling ada novel pembuka dari serial detektif Strike karya Rowling.
Cerita menggunakan PoV 3 tapi cara Rowling meng-craftingnya membuat novel ini tidak bisa dibantahkan baik oleh para editor ataupun para kritikus.
Berkisah tentang detektif swasta yang hampir bangkrut karena tidak mendapati klien, lalu secara ajaib muncul klien dengan kasus yang sangat bagus, melibatkan uang 10 juta poundsterling.
7. Crime & Punishment - Doestoyevsky
Inilah novel yang saya sebut di atas. Crime & Punishment, tadinya novel ini dibuat dengan sudut pandang orang pertama, namun karena dalam perjalanannya si penulis mentok. Dia menulis lagi dari awal dan membuatnya menjadi sudut pandang orang ketiga.
Sama seperti J K Rowling, menurut saya Doestoyevsky adalah satu dari sedikit penulis di planet ini yang berhasil menulis buku dengan PoV 3 tapi dengan taste PoV 1.
Dia berhasil menyampaikan kedalaman emosi dari sang anti-hero Raskolnikov. Dia juga sukses membuat sang detektif Petrovich yang memburu si pelaku pembunuhan. Ini memang sudah takdirnya menurut saya, bahwa Crime & Punishment HARUS menggunakan PoV 3.
Nb: sebenarnya masih banyak lagi buku di Rak saya, tapi sedikit saja di atas ini sebagia contoh untuk Point of View.
Saya sendiri belakangan mulai menyukai PoV 1 terutama untuk cerita pendek, tapi tetap saya lebih memilih menulis novel dengan PoV 3.
Iya, pada akhir setiap orang punya jalannya sendiri untuk berhasil.
. . .
Ilustrasi, Crime and Punishment sumber wikipedia.org
"Saat misteri dan konspirasi terlalu kompleks, orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian. Jadi dia perlu 'menyerahkan' pekerjaan itu pada orang ketiga." - Brahmanto Anindito.
Untuk beberapa penulis Point of View kadang menjadi sebuah masalah, PoV 1 misalnya kita hanya melihat dari sudut pandang satu orang atau personal, sementara jika kejadiannya luas atau mencakup area yang besar kadang kita membuat PoV 1 dengan karakter yang berbeda, dan ini biasanya masalah, kita mesti menguasai bahasa yang berbeda dan psikologi karakter yang berbeda.
Sedangkan PoV 3 membuat cerita yang luas itu menjadi jauh lebih mudah, kita tidak perlu khawatir mengenai psikologis tiap karakter, kita tidak perlu inside mereka, kita bisa pindah scene ke manapun kita mau di tiap bab-nya. Tapi masalahnya, para pembaca (terutama yang biasa baca PoV1) akan bilang "Kok ceritanya nge-flat aja sih? Nggak ada rasa emosinya?" atau "Ini tulisan kok nggak pakai pencitraan 5 indera?" dan sebagainya. Yang pasti itu masalah.
Masalah Point of View ini bukan hanya (pernah) dialami oleh penulis amatir seperti saya, seorang Doestoyevsky pun juga pernah mengalaminya. Saat dia membuat Crime and Punishment, awalnya buku itu dibuat dengan PoV 1 yaitu dari sudut pandang protagonis si Raskolnikov, tapi semakin masuk ke tengah cerita yang dia tulis makin buntu, karena ruanglingkupnya menjadi begitu sempit kala bermain hanya pada satu protagonis. Karena itu Doestoyevsky mengulang lagi tulisannya dan membuat Crime and Punishment dari PoV 3.
Saya setuju dengan Doestoyevsky, saya juga pernah punya masalah seperti itu. Terutama saat kita membuat novel detektif, begitupula dengan crafting.
Membongkar rak buku, saya bertanya-tanya sendiri lebih banyak mana sih PoV 1 atau PoV 3 ?
Novel PoV 1 di rak buku saya:
1. Study in Scarlet - Arthur Conan Doyle
Tentu saja novel pertama dari serial Sherlock Holmes, menggunakan PoV 1 semua dari sudut pandang subyektif Dr. Watson.
Membaca ini saya selalu ingat kata-kata Fandi Sido. "Saya lebih pilih PoV 3 karena PoV 1 saya tidak sehebat Dr. Watson dalam menarasikan cerita."
2. Dracula - Bram Stoker
Jangan tertipu dengan cover dan judulnya, novel asli Dracula karya Bram Stoker tidak seseram yang anda atau orang-orang bayangkan.
Novel ini dibuat dengan PoV 1 dari sudut pandang banyak karakter, mulai dari Jonathan Harker, Mina Murray, Lucy Westenra, Dr Seward, Van Helsing, hingga Dracula sendiri.
Bentuk PoV 1 nya juga bermacam-macam, mulai dari kirim-kiriman surat antara Harker dengan Mina, hingga diary dari Lucy dan Dr Seward mengenai peristiwa Horror yang mereka alami.
3. Mysterious Affair - Agatha Christie
Buku ini punya konsep yang sama dengan serial Sherlock Holmes, PoV 1 dari asisten detektif yang tidak dapat diandalkan yaitu Arthur Hastings.
Tapi disini Arthur menulis dengan sangat detail. Dia mengikuti kasus ini mulai dari awal pembunuhan (awal mayat korban ditemukan) sampai tersangkanya dibawa ke pengadilan, sampai tersangkanya dibebaskan karena kurang bukti, sampai ke pengadilan lagi, ke tempat kejadian perkara lagi, sampai akhirnya ditemukan pembunuh yang sebenarnya.
4. Affair Next Door - Anna Kathrine Green
Keseluruhan buku ini menggunakan PoV 1 dari Amelia Buttenworth, detektif fiksi wanita amatir pertama di dunia.
Amelia punya determinasi, punya ambisi, dan ego yang tinggi dalam memecahkan kasus.
Tapi untuk beberapa hal, kadang dia melakukan kesalahan konyol. Namun disinilah hebatnya menurut saya, karena sang penulis sukses membuat dia menjadi karakter yang manusiawi.
5. Fight Club - Chuck Palahniuk
PoV 1 dengan narator yang tanpa nama, yang kemudian di versi film diidentifikasikan dengan initial Jack yang diperankan oleh Edward Norton.
Narasinya tidak begitu istimewa, tapi justru konten dan cerita yang disampaikannya lah yang membuat buku ini berhasil.
6. My Name is Red - Orhan Pamuk
Buku ini rumit atau bisa dibilang bacaan yang berat bagi orang awam, bahkan untuk saya sendiri buku ini cukup berat, baik itu dari sisi filosofi yang dalam juga dari kerumitan kasus kriminal yang ditangani oleh karakter protagonisnya.
My Name is Red menggunakan PoV 1 dengan banyak karakter, mulai dari inside mind sesosok mayat korban pembunuhan, keluarga yang ditinggalkan, terus detektif amatir dengan initial Black, serta para terduga pelaku pembunuhan yaitu Butterfly, Stork, dan Olive. Yang mengerikan lagi, tiap karakter memiliki cara berpikir, emosi, obsesi, dan ambisi serta pengetahuan yang tersendiri. Seolah-olah sang penulis Orhan Pamuk memiliki jiwa yang banyak hingga bisa menulis tentang banyak jiwa tersebut.
7. Auguste Dupin - Edgar Allan Poe
Murder in Rue Morgue, Mystery of Marie Roget, dan Purloined Letter. Semuanya menggunakan PoV 1 dari seorang narator yang tanpa nama, sementara Dupin dinarasikan seperti Holmes dinarasikan oleh Watson.
Tidak ada yang istimewa dari ketiga cerita ini, hanya saja karena ini yang pertama (di planet bumi) maka dia BERHASIL dengan sukses.
Novel PoV 3 di rak buku saya:
1. Bone Collector - Jeffrey Deaver
Bagi yang terbiasa baca PoV 1, membaca novel Jeffrey Deaver pasti tidak akan tertarik. Novel ini taste-nya lebih ke PoV 3 atau bisa saya bilang murni PoV 3, yang menurut para kritikus sebagai buku yang nge-flat aja.
Tapi menurut saya novel ini juga tidak bisa diubah ke PoV 1 (atau sekalipun bisa hasilnya menurut saya tidak akan sebagus PoV 3) karena misteri dan konspirasi terlalu kompleks, orang pertama takkan sanggup membongkarnya sendirian.
2. Deathly Hallow - J K Rowling
Anda pasti setuju dengan saya, J K Rowling adalah satu dari sedikit penulis di dunia ini yang berhasil membuat PoV 3 dengan taste seperti PoV 1.
Bagaimana dia merangkai cerita yang spektakuler dengan penyampaian yang sesederhana mungkin.
Bagaimana dia bisa menuliskan kedalam perasaan dan emosi dari tiap karakternya, mulai dari trio Harry Potter, Ron, dan Hormione. Sampai ke pangeran kegelapan Voldemort, Rowling berhasil menuliskannya seolah dari kedalaman PoV 1.
3. Secret Agent - Joseph Conrad
Nah ini, menurut saya PoV 3 rasa medium, tidak semurni PoV 3 nya Jeffrey Deaver juga tidak mengarah ke PoV 1 seperti J K Rowling.
Pas di tengah-tengah, seandainya saya bisa, seandainya saya punya kekuataan. Pengen banget saya membuat novel dengan taste seperti ini.
Secret Agent bercerita tentang Verloc, seorang agen rahasia yang diberi misi oleh atasannya untuk meledakan Greenwich.
Lalu setelah aksinya tersebut berhasil, justru tragedi yang sebenarnya muncul. Intinya ini sebuah kisah klasik di mana karakter anti-hero berakhir dengan tragis.
4. Day of the Jackal - Frederick Forysth
Jackal sang assassin, diberi tugas untuk membunuh Presiden Prancis. Bagaimana dia memulai perjalanan panjangnya dari Inggris, ke Belgia, hingga Paris Prancis.
Jika Bone Collector cukup nge-flat, Day of the Jackal lebih parah lagi, karena selain dia nge-flat, masalah misteri dan permainan plotnya itu sangat kurang. Kombinasi yang buruk.
Biasanya novel dengan kombinasi seperti ini tidak berhasil masuk ke pasaran (atau tidak berhasil lolos di editor) tapi bagusnya dia berhasil dan diterima pasar.
5. The Lost Symbol - Dan Brown
Dari semua bukunya Dan Brown, ini masih jadi favorit saya, The Lost Symbol.
Dia berhasil nge-Mix antara PoV 3 dengan PoV 1.
Sudut pandang orang ketiga-nya ketika menyoroti karakter protagonis Robert Langdon, sedangkan sudut pandang orang pertama-nya ketika inside mind karakter Mal'akh si pembunuh berantai.
6. Cuckoo's Calling - J K Rowling
Kalau tentang J K Rowling lagi, rasanya tidak perlu ada yang dibantahkan. Cuckoo's Calling ada novel pembuka dari serial detektif Strike karya Rowling.
Cerita menggunakan PoV 3 tapi cara Rowling meng-craftingnya membuat novel ini tidak bisa dibantahkan baik oleh para editor ataupun para kritikus.
Berkisah tentang detektif swasta yang hampir bangkrut karena tidak mendapati klien, lalu secara ajaib muncul klien dengan kasus yang sangat bagus, melibatkan uang 10 juta poundsterling.
7. Crime & Punishment - Doestoyevsky
Inilah novel yang saya sebut di atas. Crime & Punishment, tadinya novel ini dibuat dengan sudut pandang orang pertama, namun karena dalam perjalanannya si penulis mentok. Dia menulis lagi dari awal dan membuatnya menjadi sudut pandang orang ketiga.
Sama seperti J K Rowling, menurut saya Doestoyevsky adalah satu dari sedikit penulis di planet ini yang berhasil menulis buku dengan PoV 3 tapi dengan taste PoV 1.
Dia berhasil menyampaikan kedalaman emosi dari sang anti-hero Raskolnikov. Dia juga sukses membuat sang detektif Petrovich yang memburu si pelaku pembunuhan. Ini memang sudah takdirnya menurut saya, bahwa Crime & Punishment HARUS menggunakan PoV 3.
Nb: sebenarnya masih banyak lagi buku di Rak saya, tapi sedikit saja di atas ini sebagia contoh untuk Point of View.
Saya sendiri belakangan mulai menyukai PoV 1 terutama untuk cerita pendek, tapi tetap saya lebih memilih menulis novel dengan PoV 3.
Iya, pada akhir setiap orang punya jalannya sendiri untuk berhasil.
. . .
Ilustrasi, Crime and Punishment sumber wikipedia.org
Tuesday, July 15, 2014
Review The Bone Collector
By Ftrohx
Ide ini ASLI benar-benar gila menurut gw. "Bagaimana jika di dunia ini ada seorang detektif yang memecahkan kasus tanpa menyetuh TKP? Dia menggunakan orang lain sebagai mata dan tangannya di tempat kejadian perkara?"
Lalu sang professor Jeffrey Deaver mengambil ide ini dan membuatnya lebih detail. "Bagaimana jika ahli forensik super-genius ini lumpuh karena suatu kecelakaan? Dia frustasi karena tidak bisa berbuat apapun selain berada di tempat tidur? Lalu secara ajaib dia bertemu dengan seorang polisi cantik sexy berambut merah yang meminta konsultasi padanya mengenai sebuah kasus?" Jadilah kisah klasik antara Lincoln Rhyme si armchair detective dengan Amelia Sach si cewek cantik.
Perfect menurut gw, meski eksekusi versi filmnya ancur banget, sampai-sampai IMDB kasih 48 skala 100 (walaupun di sana ada duet Angelina Jolie dengan Denzel Washington.)
Ok, lebih baik kita tidak bahas filmnya.
Sebaliknya, novel The Bone Collector justru dapat review yang sangat bagus, skala 4 dari 5 bintang dengan jumlah review 900an (mungkin sekarang sudah seribu) di Goodreads.com
Langsung saja, cerita novel ini dibuka dengan inside dramatis dari kondisi kejiwaan Lincoln Rhyme, seorang mantan polisi yang lumpuh karena kecelakaan di sebuah terowongan.
Rhyme berbincang dengan dokternya, bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Dia bahkan meminta pada beberapa dokternya untuk melakukan eutanesia pada dirinya. Menurutnya bunuh diri adalah hak asasi setiap manusia. Selain itu dia juga melakukan percobaan bunuh diri, dengan keterbatasannya satu-satunya cara terbaik untuk bunuh diri adalah dengan berhenti makan, tapi itu sangat menyiksa sehingga dia membatalkannya.
Di saat-saat terburuk dalam hidupnya itu, secara ajaib muncul seorang polisi cantik berrambut merah bernama Amelia Sach. Amelia datang ke Rhyme untuk berkonsultasi mengenai penemuan jasad di sebuah jalur kereta api yang sepi.
Dari petunjuk yang ditemukan dijalur kereta api, mereka menemukan bahwa pelaku mencari korban dengan menggunakan taksi atau dengan kata lain pelaku bisa jadi adalah supir taksi atau orang yang berpura-pura menjadi supir taksi. Kemudian ditemukan lagi korban-korban yang lain, yang mengindikasikan bahwa pelaku adalah pembunuh berantai yang menantang Lincoln Rhyme secara personal.
Yang luar biasa dari novel ini adalah detailnya, bagaimana sang detektif menyusun petunjuk demi petunjuk untuk menemukan siapa dan di mana pelaku berada. Termasuk detail, bagaimana cara menangani TKP yang benar, apa yang dimaksud dengan physical evidence, apa itu primary crime scene dan secondary crime scene, apa itu manipulasi TKP, dan lain sebagainya.
Mengenai karakter tidak ada yang menonjol dari novel ini kecuali hanya tiga karakter Lincoln Rhyme sang detektif, Amelia Sach sang partner, dan Bone Collector si pembunuh berantai. Sementara sisanya yang lain, para polisi New York City itu tidak ada yang berkesan, bahkan peran merekapun sulit untuk gw ingat.
Setting waktu di novel ini antara dua sampai tiga hari, mereka sang detektif berpacu dengan kecepatan eksekusi si spree killer, karena dalam satu bisa terjadi lebih dari dua atau tiga korban yang di eksekusi.
. . .
Ide ini ASLI benar-benar gila menurut gw. "Bagaimana jika di dunia ini ada seorang detektif yang memecahkan kasus tanpa menyetuh TKP? Dia menggunakan orang lain sebagai mata dan tangannya di tempat kejadian perkara?"
Lalu sang professor Jeffrey Deaver mengambil ide ini dan membuatnya lebih detail. "Bagaimana jika ahli forensik super-genius ini lumpuh karena suatu kecelakaan? Dia frustasi karena tidak bisa berbuat apapun selain berada di tempat tidur? Lalu secara ajaib dia bertemu dengan seorang polisi cantik sexy berambut merah yang meminta konsultasi padanya mengenai sebuah kasus?" Jadilah kisah klasik antara Lincoln Rhyme si armchair detective dengan Amelia Sach si cewek cantik.
Perfect menurut gw, meski eksekusi versi filmnya ancur banget, sampai-sampai IMDB kasih 48 skala 100 (walaupun di sana ada duet Angelina Jolie dengan Denzel Washington.)
Ok, lebih baik kita tidak bahas filmnya.
Sebaliknya, novel The Bone Collector justru dapat review yang sangat bagus, skala 4 dari 5 bintang dengan jumlah review 900an (mungkin sekarang sudah seribu) di Goodreads.com
Langsung saja, cerita novel ini dibuka dengan inside dramatis dari kondisi kejiwaan Lincoln Rhyme, seorang mantan polisi yang lumpuh karena kecelakaan di sebuah terowongan.
Rhyme berbincang dengan dokternya, bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi. Dia bahkan meminta pada beberapa dokternya untuk melakukan eutanesia pada dirinya. Menurutnya bunuh diri adalah hak asasi setiap manusia. Selain itu dia juga melakukan percobaan bunuh diri, dengan keterbatasannya satu-satunya cara terbaik untuk bunuh diri adalah dengan berhenti makan, tapi itu sangat menyiksa sehingga dia membatalkannya.
Di saat-saat terburuk dalam hidupnya itu, secara ajaib muncul seorang polisi cantik berrambut merah bernama Amelia Sach. Amelia datang ke Rhyme untuk berkonsultasi mengenai penemuan jasad di sebuah jalur kereta api yang sepi.
Dari petunjuk yang ditemukan dijalur kereta api, mereka menemukan bahwa pelaku mencari korban dengan menggunakan taksi atau dengan kata lain pelaku bisa jadi adalah supir taksi atau orang yang berpura-pura menjadi supir taksi. Kemudian ditemukan lagi korban-korban yang lain, yang mengindikasikan bahwa pelaku adalah pembunuh berantai yang menantang Lincoln Rhyme secara personal.
Yang luar biasa dari novel ini adalah detailnya, bagaimana sang detektif menyusun petunjuk demi petunjuk untuk menemukan siapa dan di mana pelaku berada. Termasuk detail, bagaimana cara menangani TKP yang benar, apa yang dimaksud dengan physical evidence, apa itu primary crime scene dan secondary crime scene, apa itu manipulasi TKP, dan lain sebagainya.
Mengenai karakter tidak ada yang menonjol dari novel ini kecuali hanya tiga karakter Lincoln Rhyme sang detektif, Amelia Sach sang partner, dan Bone Collector si pembunuh berantai. Sementara sisanya yang lain, para polisi New York City itu tidak ada yang berkesan, bahkan peran merekapun sulit untuk gw ingat.
Setting waktu di novel ini antara dua sampai tiga hari, mereka sang detektif berpacu dengan kecepatan eksekusi si spree killer, karena dalam satu bisa terjadi lebih dari dua atau tiga korban yang di eksekusi.
. . .
Thursday, July 3, 2014
Klasik di atas Klasik
Cerita Tentang Tiga Apel
By Ftrohx
Satu kisah klasik di atas klasik yang masih membuat saya merinding sampai saat ini. Sebuah cerita kriminal yang menjadi fondasi bagi semua fiksi detektif yang ada sekarang.
Sebuah kisah yang masih sangat relevan bahkan untuk dunia modern seperti sekarang.
Teman-teman pasti sudah sering mendengar kisah berulang-ulang, kisah ini pun terus berreinkarnasi dari zaman ke zaman. Sebuah kisah yang sangat legendaris jauh sebelum Edgar Allan Poe ataupun Wilkie Collins terlahir yaitu Cerita Tentang Tiga Apel.
Sebelum saya membahasnya, sedikit saya bercerita tentang apa itu "Kisah Tiga Apel" Kisah ini berada dalam Hikayat Seribu Satu Malam yang dinarasikan oleh Shahjehan.
Al kisah, sang Khalifah membeli sebuah peti dari seorang nelayan, sebuah peti kayu misterius yang ditemukan mengambang di sungai Tigris. Kemudian, ketika dia membongkarnya ternyata peti itu berisi potongan tubuh seorang wanita muda. Tentu saja semua orang terkejut, tidak ada identitas dari jasad wanita tersebut, tidak ada yang mengenalinya.
Lalu sang Khalifah menugaskan seorang anak buah yang paling dibenci (atau mungkin dengan sengaja memberikan tugas yang sulit ini) kepada Ja'far bin Yahya, dengan batas waktu 3 hari kalau tidak Ja'far sendiri yang akan di eksekusi mati.
Ini hal yang gila, tentu saja, karena tidak ada informasi apapun terkait dengan wanita muda yang tewas terbunuh itu. Ja'far kelihatannya hanya bisa pasrah, berdiam diri di rumah selama 3 hari. Seolah narapida menunggu hukuman mati. Lalu, secara ajaib di hari terakhir tenggat waktu pemecahan kasus itu, tiba-tiba muncul dua orang yang mengaku sebagai pelaku pembunuhan wanita muda tersebut. Mereka datang begitu saja? Yang satu seorang pria tua dan yang satu lagi seorang pemuda. Mereka berdua sama-sama mengaku sebagai pembunuhnya. Khalifah pun menugaskan pengawal untuk menggantung mereka berdua, namun si pemuda berkata. "Saya yang melipat jasadnya dengan karpet," mengetahui fakta yang hanya diketahui orang yang membuka peti itu, maka Khalifah menemukan bahwa si pemudalah yang benar pelakunya.
Lalu, cerita pun berlanjut flashback dari si pemuda. Dia bercerita bahwa wanita muda di dalam peti itu adalah istrinya sendiri. Beberapa hari sebelumnya, si istri itu sakit dan memintanya untuk membeli sebuah Apel, lalu si pemuda pergi jauh ke Bashrah untuk menemukan Apel yang dimaksud tersebut. Setelah perjalanan jauh, si istri itu justru tidak memakan Apelnya melainkan, hanya menaruhnya di samping tempat tidur. Kemudian si pemuda meninggalkannya untuk bekerja, seharian si pemuda berada di Tokonya. Lalu, sebuah kisah pilu dimulai takala si pemuda melihat orang berkulit hitam yang membawa Apel persis seperti apa yang dia berikan kepada istrinya. Si Pemuda bertanya pada orang tersebut darimana Apel itu berasal. Si orang asing itupun berkata "Saya mendapatkan Apel ini dari kekasih saya yang sedang sakit," mendengar ucapan itu si pemuda langsung berang, dia berlari ke rumahnya dan menemukan bahwa salah satu Apel di samping istrinya itu telah hilang. Si pemuda tanpa berpikir panjang dan tanpa bertanya, langsung mengambil pisau dan membunuh istrinya sendiri. Seorang suami yang sangat mencintai istrinya berubah menjadi maut yang mencabut nyawa, sebuah tragedi yang bahkan sampai zaman modern seperti sekarang, hampir setiap hari kita bisa mendengar kisah seperti ini disiarkan di berita televisi. Jujur, bagian yang ini sangat menyesakkan dada saya.
Memang tidak dituliskan inner emosi dari karakternya, tapi dari narasi saja, cerita ini sudah lebih dari cukup untuk membuat kita menjadi emosional. Setelah istrinya dia bunuh dan dimasukan ke dalam peti, plot twist pun terjadi. Ternyata yang mengambil Apel dari kamar istrinya tersebut bukan si orang asing yang dia temui di pasar, melainkan anaknya sendiri yang masuk ke dalam kamar dan mengambil apel tersebut. Tidak dituliskan betapa SESAL-nya si pemuda mendengar informasi itu, tapi dia tahu dia siap untuk di hukum mati kapan saja setelah mendengar cerita dari mulut anaknya.
Pengakuan pun selesai, namun Khalifah justru tidak menghukum si pemuda, melainkan dia kembali meminta Ja'far untuk menuntaskan kasusnya, dengan tenggat waktu 3 hari, jika tidak bisa dialah yang akan dihukum mati. Entahlah, apa hanya saya yang merasa, bahwa karakter Khalifah di sini persis seperti Queen Heart di cerita Alice in the wonderland.
Selama 3 hari, Ja'far pun pasrah. Dia hanya berdiam diri di rumah, berharap Tuhan mengabulkan do'anya dan memberikan dia petunjuk untuk memecahkan kasus tersebut. Lalu secara ajaib, dia menemukan Apel yang selama ini mereka bicarakan di Istana Khalifah, sebuah Apel yang menjadi kunci dari kasus yang pelik ini (dengan sangat-sangat kebetulan) berada di rumahnya dalam genggaman anaknya sendiri. Lalu si anak bercerita bahwa Apel itu di dapat dari pembantunya yang berkulit hitam, langsung saja dia mengkonfirmasi hal itu dan fakta pun terkuak bahwa selama ini orang asing yang dibicarakan oleh si pemuda itu adalah pembantu di rumah Ja'far.
Diapun membawa si pembantu ke hadapan Khalifah, namun sang penguasa itu justru tertawa. Dia berkata, bahwa kisah ini mesti di bukukan dan disebarkan ke masyarakat luas. Sedangkan untuk si pembantu dan si pemuda pelaku pembunuhan, hukuman terhadap mereka tidak dijelaskan. Kisahpun berakhir dengan Ja'far bercerita tentang sebuah kisah lain dalam Hikayat Seribu Satu Malam.
. . .
Sedikit review saya untuk Cerita Tiga Apel.
Secara kuantitas cerita ini hanya terdiri dari 3 ribuan kata, termasuk kisah yang pendek. Namun si penulis merampatkan semua informasi itu sepadat-padat mungkin hingga tampak cukup gila sih menurut saya.
Seperti yang saya tulis di atas, secara konten kisah ini masih sangat relevan sampai sekarang. Kisah seorang suami yang membunuh istrinya karena rasa cemburu, bukankah kita semua masih sering mendengar cerita seperti itu dari media TV atau berita di internet. Cerita itu terus berulang dan berulang bahkan di zaman modern seperti sekarang.
Sedangkan dari crafting, ceritanya kurang bermain dengan detail. Tidak dijelaskan secara gamblang di mana lokasi/tempat kejadian perkaranya, tidak ada keterangan waktu dan tanggal, dan juga tidak ada deskripsi fisik dari tiap karakter. Bagi kamu yang biasa membaca serius, jangan harap mendapatkan rasa 5 indra dari cerita ini. Narasi dari cerita ini adalah PoV 3 mungkin bagi teman-teman yang biasa mengkritisi naskah atau cerpen, pasti akan bilang bahwa cerita ini nge-flat. Tidak ada inside view ataupun emotional rollercoster, semuanya hanya datar aja.
Tapi, karena ini cerita ini adalah yang pertama tercatat dalam sejarah maka dia BERHASIL. Seperti halnya Alice in Wonderland, meski ceritanya cuma 20ribu kata tapi berhasil mengubah dunia. Apa jadinya peradaban planet ini tanpa Alice in Wonderland? Tidak ada The Matrix, tidak ada Resident Evil, dan lain sebagainya. Planet ini pasti sangat hambar.
Ok, dengan analogi yang sama. "Apa jadinya planet ini tanpa kisah Tiga Apel?" mungkin Edgar Allan Poe tidak akan pernah nulis cerita tentang Auguste Dupin. Tanpa Dupin, Sir Arthur Conan Doyle tidak akan menulis Sherlock Holmes? Apa jadinya dunia ini tanpa Sherlock Holmes?
. . .
Subscribe to:
Posts (Atom)