Tuesday, November 20, 2018

Lady Rockstar Writer Ayu Welirang

Interview by Fitrah Tanzil

 
Ayu Welirang, saya kenal nama ini dari obrolan teman-teman di group WA. Katanya ada penulis muda yang sudah nembus major yang mau masuk ke group. Saya googling namanya -Ayu Welirang- dan ternyata dia memang sudah punya dua buku di major yaitu 7 Divisi di Grasindo dan Hello Tifa di GPU. Waktu itu, isinya group kebanyakan penulis pemula yang belum nembus major. Jadi, ketika kami dengar Ayu Welirang masuk, kami sangat antusias. Dia join di 2016 akhir (kalau gak salah ingat), lalu kemudian lebih banyak jadi silent reader. Saya telisik, ternyata waktu itu ia sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya, jadi nggak begitu aktif. Sampai kemudian di tengah tahun 2017, di mana acara pernikahannya sudah beres. Barulah energi membaranya dan bikin banyak perubahan serta kejutan di dalam group. Oke, tanpa basa-basi, teman-teman bisa mengenalnya lebih lanjut dari interview saya. Selamat membaca.


FT: Halo Ayu Welirang apa kabar?

AY: Saya baik, setidaknya lagi nggak mood swing hari ini. Haha.


FT: Oke, basic question. Kamu besar di mana dan sekarang tinggal di ...

AY: Saya besar di Cimahi sih, lahir di Riung Bandung lalu sekeluarga pindah ke Kota Cimahi (disebutnya Bandung coret). Sekarang ini saya berdomisili di Ciputat, Tangerang Selatan. Tapi mungkin tahun depan akan pindah ke Gunung Sindur atau entah deh ke mana. Sebenarnya saya bisa dibilang nomaden sih.


FT: SMA dan kuliah di ...

AY: Saya nggak sekolah SMA, tapi STM. Di salah satu sekolah kejuruan yang hanya ada 8 di Indonesia, dan saya dapat sekolah di STM Negeri Pembangunan Bandung (sekarang SMKN 1 Cimahi). Kalau kuliah ya di sekitar Tangsel aja. Saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Ilmu Komunikasi Periklanan dan akan memutuskan pindah ke kampus lain di tahun depan. (Nomaden lyfe~)


FT: Masih pertanyaan standar, sejak kapan Ayu berminat dan terjun dalam dunia menulis fiksi?

AY: Kalau ditanya sejak, ya pasti semua orang mulai “mengarang” itu sejak ditugaskan mengerjakan PR tentang karangan liburan di rumah nenek. Itu mungkin SD kelas empat. Tapi kalau minatnya, muncul sejak kelas 3 SMP dan sampai saat ini aktif. Benar-benar aktif itu ketika bergabung di situs kemudian.com tahun 2008.


FT: Apa novel pertama yang kamu baca dan bikin kamu jatuh cinta dengan dunia fiksi?

AY: Novel pertama yang aku baca sebenarnya novel-novel teenlit sih, dan novel-novelnya Hilman Hariwijaya mulai dari Lupus dan Olga. Terus saya dulu baca novel-novel misteri yang remaja gitu sih, kayak Alfred Hitchcock dan Enid Blyton. Kalau yang bikin jatuh cinta banget, mungkin malah novelnya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku.


FT: Apa novel yang menginspirasi dan mempengaruhi tulisan kamu?

AY: Novel yang menginspirasi dan memengaruhi tulisan-tulisan saya itu kalau boleh dibilang mungkin karyanya Nukila Amal yang berjudul Cala Ibi. Entah kenapa, sampai sekarang saya itu ingin sekali bisa menulis seperti itu, walau bisa dibilang itu hanya fantasmagoria. Selain itu, saya juga dipengaruhi oleh beberapa buku Jules Verne, mulai Journey to the Centre of the Earth, Twenty Thousand Leagues Under the Sea, dan macam-macam cerita petualangan bercampur sci-fi yang ditulisnya.


FT: Apa projek fiksi pertamanya Ayu Welirang?

AY: Proyek fiksi pertama saya berjudul ISSUE. Kiprah seorang wartawan wanita. Entah kenapa saya ini agak sok-sok feminisme gitu sih, jadi setiap tokoh saya biasanya cewek dan mencoba untuk mendobrak tatanan patriarkis haha. Proyek ini nggak beres, tapi saya melanjutkan proyek duet novel sama teman bernama Ida Haryati, dan masih seputar perempuan serta kekerasan berikut pelecehan seksual pada perempuan ART (asisten rumah tangga). Proyek ini juga belum beres keseluruhan karena hingga saat ini masih dirombak, padahal sudah ditulis sejak tahun 2010 mungkin.


FT: Saya lihat di laman Goodreads, Ayu banyak track record kepenulisan, mulai dari blog pribadi, lalu Kompasiana, Jakarta Beat, dan sebagainya, bisa di sharing?

AY: Itu sebenarnya cara saya untuk terus menulis, entah apa. Baik blogging, esai-esai di Kompasiana mengenai musik yang saya gemari, kritik saya terhadap buku dan musik di laman JakartaBeat, bahkan sampai cerita pendek yang sesuai standar cerpen Minggu di koran-koran. Memang nggak semua masuk ke tempat yang saya tuju, tapi setidaknya saya menulis. Hal ini juga untuk membantu saya terus menulis, supaya tidak ada kata writer’s block dalam kehidupan saya. Haha. Walau memang hal itu ada dan saya tidak menulis novel, setidaknya kan saya punya tulisan di blog, media alternatif seperti JakartaBeat, bahkan cerita pendek atau sekadar esai dan opini di rubrik hari Minggu punya Kompas, Tempo, Pikiran Rakyat, dan lain-lain.


FT: Setahu saya ada dua buku yang bikin Ayu terkenal, yaitu Novel 7 Divisi Grasindo dan Hello Tifa? Bisa cerita tentang dua novel itu?

AY: Terkenal? Nggak banget sih kalau terkenal itu. Saya nggak merasa terkenal haha. Tapi kalau tulisan saya mulai dibaca orang ramai-ramai, ya itu sudah pasti dong. Sebab, bukunya kan ada di toko buku. Buku 7 Divisi ini bisa dibilang proyek fiksi saya yang ke-10 (dari sekian banyaknya draft tidak selesai di harddisk dan draft yang hilang atau terlupa). Karena saya suka banget Jules Verne, saya ingin membuat cerita petualangan yang menyelipkan unsur kearifan lokal, yaitu sejarah suatu kerajaan kuno di Indonesia (khususnya pulau Jawa dan Bali) serta sedikit unsur klenik dan ilmu “langit” (ya namanya juga kearifan lokal kan?). Seperti yang kita tahu, sebelum ada agama-agama samawi masuk Indonesia, dulu kita juga dipengaruhi sama beberapa kegiatan pagan dan hal itu memang sudah jadi akar bangsa kita juga. Seiring perkembangan zaman, entah bagaimana praktik-praktik ilmu hitam, sesembahan, dan lain-lain ini melebur dengan budaya yang lebih baru, atau dengan modernisasi, makanya hal itu sudah tidak begitu memunculkan diri. Namun, kalau kita mencaritahunya, sebenarnya masih ada aja kok praktik-praktik klenik tersebut. Nah, saya ingin memunculkan itu di novel 7 Divisi.

Mengenai Halo, Tifa, sebenarnya ini proyek senang-senang saja. Saya menulis Halo, Tifa ketika sedang jadi pengangguran dan nggak punya uang. Lalu, saya tulis novel ini selama satu bulan dan selesai lalu dikirim. Ternyata masuk lini Young Adult di Gramedia Pustaka Utama. Saya jadi bahagia juga sih, karena ini kan sebetulnya hanya proyek senang-senang. Cuma, saya betul-betul menulisnya dengan senang hati karena ini menggambarkan kehidupan anak SMK yang nggak selalu gemerlap kayak kehidupan anak-anak sekolah di SMA, bukan di kejuruan kayak saya.


FT: Oh iya, hampir lupa, Ayu juga terkenal gara-gara GWP, bisa sharing apa projek Ayu di GWP waktu itu? Dan gimana bisa jadi juara di sana?

AY: Proyek di GWP itu berjudul Cipher. Saya menulis Cipher, sebuah techno-thriller, murni karena saya memang kerja di bidang IT. Selain itu, saya ingin menulis ini pasca saya menonton Ghost / Phantom (drama Korea yang ada So Ji Sub-nya dan ikemen itu). Saya suka sama premis yang ditawarkan, yaitu tentang bagaimana teknologi bisa mengontrol hampir sebagian besar pemerintah di Korea Selatan. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau di Indonesia ada hal seperti itu? Dan hanya dengan teknologi lah kita bisa melawan kapitalis yang mengangkangi negara kita itu?

Kira-kira sesederhana itu lah. Kalau mengenai juara, itu murni karena weird luck aja. Saya memang kadang suka dapat keberuntungan yang aneh. Ketika saya nggak berharap sama sekali, saya malah mendapatkan sesuatu atau memenangkan sesuatu. Mungkin ini maksudnya supaya nggak terlalu ngoyo atau mengejar sesuatu sampai mati-matian kali ya. Mungkin supaya saya bisa sans aja~ (sans, red: santai).


FT: Nah ini nih, masuk menu utama. Sesuatu yang sangat mengejutkan untuk kami, Ayu membuat penerbitan sendiri?

AY: Saya bikin penerbitan sendiri itu tujuan awalnya karena saya ingin menerbitkan karya-karya saya sendiri. Haha! Udah gitu aja sih alasannya.

Kebetulan saya ada dana untuk bikin perusahaan (asyik, enterpreneur~), ya udahlah langsung sikat aja! Kenapa harus punya perusahaan? Karena saat menerbitkan buku dan ingin agar buku tersebut dicatat di arsip dunia, maka saya perlu ISBN. Penomoran / barcode ISBN ini didapat dengan mendaftarkan badan usaha kita, maka nanti ada kode badan usaha yang tertera di ISBN-nya, diikuti dengan kode bukunya.

Namun, seiring waktu, saya melihat kalau cuma saya yang menerbitkan kok nggak asyik. Akhirnya, saya ajak teman-teman untuk ikut bergabung dan menulis bersama lalu membesarkan genre yang dicintai bersama-sama.


FT: Walau masih kecil dan baru, tapi menurut saya Maneno itu penerbit yang signifikan. Sebab langung kerja sama dengan para bookstagram yang biasa bekerja dengan penerbit besar. Sungguh, dibanding yang lain -saya pengen nyebut beberapa merk sebenarnya- Maneno punya website yang catchy. Penulis-penulis yang beuh, keren. Dan promo-promo yang gencar. Kok bisa gituh, apa sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum bikin penerbit atau bagaimana?

AY: Sekali lagi, kalau soal promosi, ini murni karena saya mengaplikasikan apa yang saya dapat di bangku kuliah. Cara-cara promosi, positioning merk, membaca pangsa pasar itu saya sudah biasa dapat teorinya di kampus. Sekarang, tinggal bagaimana cara mengaplikasikan itu?

Soal website, ini pun murni karena saya berasal dari blogger, sudah kerja IT pula. Sekarang gini aja deh. Kalau kita sudah punya keterampilan yang biasa dilakukan, sudah punya ilmu, sudah punya fasilitas mumpuni dan bisa didapat dengan ekonomis pula karena kita punya channel-nya, masa iya sih tidak kita gunakan? Saya sih orangnya menerapkan prinsip uses & gratification, saya pakai sebanyak-banyaknya benda dan hal-hal yang memberikan manfaat bagi saya dan itu bisa membantu saya serta brand Maneno Books yang lagi saya kembangkan.

Hasilnya, puji syukur lancar~ Walau tetap saja kalau mau ngomongin untung sih itu masih jauh dari harapan. Tapi, setidaknya genre yang saya sukai itu lama-lama mulai diperhatikan orang lain.


FT: Wow, luar biasa. Kelihatannya tahun ini Ayu lebih sibuk di penerbitan dan promosi daripada menulis fiksi? Atau mungkin saya salah? Hahaha.

AY: Antara benar dan salah. Saya sudah membereskan Mata Pena dan ada di meja juri (juri apa? Nanti tahu sendiri sih, tapi saya nggak yakin menang juga wkwkwk). Novel itu favorit saya, karena sebenarnya pengembangan dari proyek pertama saya yang berjudul ISSUE. Seputar wartawan dan kongkalikong pemerintah dengan kapitalis~

Dan sekarang, saya lagi membereskan spin off Geneva (sebuah cerita cozy mystery), juga beberapa naskah lain salah satunya Tinta Arang yang masih seputar thriller, tapi tokohnya pemadam kebakaran. Penerbitan juga tetap jalan. Namun memang, saya capek sih sebenarnya. Capek, tapi senang. Haha.


FT: Ah hampir lupa, ada Thriller Mystery Club di Wattpad itu gimana itu ceritanya?

AY: Sepertinya Wattpad ini sudah ditinggalkan, karena penulisnya juga pada sibuk ya? Mungkin nanti akan dilanjutkan kalau para penulisnya sudah tidak sibuk. :’)


FT: Dan projek Detektif Geneva? Apa akan dilanjutin atau mungkin di remake?

AY: Seperti yang saya sebut di atas tadi, Geneva sedang dibereskan spin off-nya, mengambil latar ketika Geneva dan Hira baru masuk SMA.


FT: Keren-keren. Oke, seperti biasa di interview saya, ada yang namanya fans question. Jadi pertanyaan untuk penulis yang di luar masalah kepenulisan.

AY: Oke boleh.


FT: Fans question satu, kok bisa sih Ayu menikah muda?

AY: Menikah muda? Nggak juga sih. Kan saya udah 26 tahun nih. Kalau itu dianggap masih muda, waduh senang saya. Berarti muka saya nggak boros. WKWKWK.


FT: Fans question dua. "Kak Ayu kasih tips dong biar bisa dapat suami ganteng dan pengertian?"

AY: Semuanya berkat doa~

Halah. Nggak semua dari doa sih, semua berkat usaha keras. Intinya dalam hal apapun, kalau kita berusaha, ya kita pasti mencapai tujuan. Intinya konsisten aja. Jadi, maksudnya apa ya? Saya konsisten cari pacar? Kayaknya begitu dulu ya. Haha. Pokoknya, saya bersyukur sih bisa menikah sama suami saya sekarang ini, karena dia sangat mendukung apa pun yang saya lakukan selama itu bermanfaat dan bisa membuat saya jadi orang yang lebih baik.


FT: Ini pertanyaan pribadi dari saya. Kasih tips dong supaya saya bisa menikah dengan cewek cantik? Aaaaaaaaa.


AY: Mungkin harus memperbaiki diri aja kali? Bukan ke penampilan. Sebenarnya penampilan itu kan cuma “bungkus” ya. Mungkin, kita harus bisa jadi orang yang lebih baik secara pribadi, mental, dan lain-lain. Karena setelah menikah itu kan banyak hal yang bakal kita hadapi. Kalau hanya mengandalkan bungkus ya agak sulit nanti, karena ketika istrinya sudah berubah tua dan tidak secantik dulu, apakah kalian akan secinta dulu?  Paling ya, coba berusaha untuk introspeksi diri dulu baru mulai memantapkan tujuan-tujuan hidup. Setelah mendapatkannya, cantik atau tidak itu hanya jadi hal yang fana.


FT: Lanjut, dua pertanyaan terakhir. Ada tips atau saran untuk anak-anak muda ini yang ingin memulai karier di dunia kepenulisan?

AY: Saran saya, konsisten aja! Kalau dikit-dikit lemah, dikit-dikit banyak diganggu hal-hal tidak relevan, ya nanti karir kepenulisannya akan lenyap. Ujung-ujungnya, malah akan mengejar hal yang lain dan bukan tujuan awal ingin menulis. Jadi, pertama-tama, saya mau tanya dulu sama para calon penulis: apa tujuanmu menulis? Udah gitu aja.


FT: Terakhir, apa ada projek besar, fiksi atau novel yang sedang Ayu kerjakan?

AY: Proyek besar ada Mata Pena itu dan Tinta Arang yang dijadwalkan harus beres November ini dan sudah saya ikutkan ke BNNS Storial serta NaNoWriMo 2018.


FT: Oke, terima kasih interviewnya. Sungguh ini luar biasa, thanks sekali lagi Ayu Welirang. 

AY: Sama-sama. Terima kasih juga untuk interview ini dan saya ingin bilang: “Naskah pribadi lo kirim dong, Troh!” HAHA!

.  .  .

Wednesday, November 14, 2018

My Interview with Stefani Jovita

Talk about Fiction Fantasy, Comic Editor, & Visual Novel
By Fitrah Tanzil


Asli, saya nggak tahu mau kasih judul apa wawancara saya yang ini, hahaha. Stefani Jovita pertama kali saya kenal dia dari Facebook, tepatnya dari group menulis yaitu KANOI (Komunitas Novel Online Indonesia) yang dikelola oleh Ally Jane Parker, Putu Felisia, dan kawan-kawan. Stefani itu cewek tangguh dengan idealisme dan kepribadiannya yang kuat. Ketika ada orang yang mengkritik dia, dia pasti bakal langsung punch back, itu yang pernah terjadi pada saya dan membuat saya langsung recognize Stefani. Oke, untuk tahu lebih banyak, teman-teman bisa langsung baca interview saya di bawah ini. Enjoy it.

 

FT: Halo Stefani apa kabar?

SF: Baik nih, mas. Kadang saya bingung, kapan sakitnya ya biar bisa lebih sering libur. Hahah.


FT: Oke, basic question. Kamu besar di mana dan sekarang tinggal di mana?

SF: Besar di Bekasi, tinggal di Bekasi.


FT: SMA dan kuliah di ...

SF: SMA saya namanya Ananda, deket rumah, dari TK malah di situ. Benernya itu sekolah Buddha, tapi sejak SMP (atau SD?) ada pelajaran 5 agama. Saya masih hafal doa agama Buddha-nya sih tapi. Wkwkwk. Untuk kuliah, saya sempat kuliah di Binus 1 semester sambil nungguin info beasiswa. Puji Tuhan saya bisa dapat beasiswa kuliah ke Jepang, jadi belajar Bahasa Jepang 1 tahun di sana, lalu D2 Graphic Design selama 2 tahun di Nippon Engineering College of Hachioji, dan nerusin 2 tahun lagi sampai lulus S1 di Oberlin University.





FT: Langsung aja. Sejak kapan Stefani berminat dan terjun dalam dunia menulis fiksi?

SF: Hmm… Minat saya benernya udah ada sejak tahun ketiga kuliah. Waktu itu saya kenal yang namanya Visual Novel, genre misteri, judulnya Umineko no Naku Koro Ni. Setelah itu, saya mulai iseng bikin fanfiction, walau akhirnya malas-malasan karena saat itu saya masih lebih minat gambar daripada nulis. Pas diajakin temen bikin Visual Novel pun (ini pas masa kerja awal, sekitar tahun 2013), saya gak ngerti cara nulis dan lebih pengen gambar. Di situlah, saya tertarik dengan Light Novel dan bergabung dengan grup kepenulisan Light Novel Indonesia sebagai illustrator. Nah, saya mulai sangat serius nekunin kepenulisan itu sekitar akhir 2015, karena saya sedang jatuh-jatuhnya dalam profesi ilustrasi saya. Saya disarankan untuk berhenti gambar dulu. Di situlah, saya mulai mencoba menulis.


FT: Alasan saya ingin mewawancarai Stefani adalah Projek Crane. Tapi sebelum ke sana, kita bicarakan hal-hal mendasar dulu. Apa novel/fiksi pertama yang Stefani baca dan begitu berkesan hingga sekarang?

SF: Bisa dibilang, novel pertama yang saya baca itu sebenarnya karangan Sidney Sheldon, tapi sayangnya, saya malah lupa judulnya apa dan bisa dibilang berarti gak gitu berkesan, kecuali bagian dewasanya karena waktu itu saya masih sangat polos untuk mengerti artinya itu apa. Satu-satunya hal yang saya ingat adalah, ketika dibandingkan dengan novel lain yang waktu itu saya baca juga untuk tugas (judulnya Tabula Rasa), buku Sidney Sheldon ini mudah saya tangkap. Bahasanya enak. Udah gitu bikin nagih sampai saya bacanya sehari kelar. Kalau untuk buku fiksi pertama yang paling berkesan, mungkin jatuh ke novel Murder On The Orient Express (English version) oleh Agatha Christie.


FT: Apa projek fiksi pertama yang kamu tulis?

SF: Visual Novel yang berjudul Grimmland. Genre fantasi yang mengambil tema fairy tale. Sayangnya, proyek ini gak lanjut karena waktu itu saya masih “cupu” dalam bidang kepenulisan. Baru prolog aja udah gak jalan-jalan. Gak ngerti nulis yang bagus tuh gimana.

FT: Siapa penulis fiksi nasional dan internasional yang sangat menginspirasi kamu?

SF: Untuk nasional, saat ini mungkin Primadonna Angela, yang bisa bertambah juga sama Eka Kurniawan. Kalau untuk internasional, Sidney Sheldon, Agatha Christie, Brandon Sanderson, dan Akiyoshi Rikako.

FT: Salah satu karya Stefani yang terkenal adalah Trace of Shadow (benar kan ya tulisannya), bisa cerita tentang Trace itu?

SF: Trace adalah novel fantasi isekai (portal fantasy atau yang bertema pindah ke dunia lain), yang menceritakan kisah seorang pemuda terkutuk yang bisu dan kesatria anak pengkhianat yang berjuang membasmi kutukan di kerajaan dengan cara mereka masing-masing. Si kesatria ini nantinya mau saya ubah jadi punya penyakit Ocular Albinism (matanya sensitif terhadap cahaya), supaya ada kesetaraan cacat fisik antara kedua pemeran utamanya. Perbedaan mereka, si pemuda bisu itu selalu kabur dari masalah, tapi si kesatria buta selalu teguh melawan masalah. Tema “lari dari tanggung jawab” inilah yang memang ingin saya bahas melalui Trace, tapi tanpa menggurui pembaca soal yang mana yang lebih baik.
Berhubung di Indonesia dan Jepang itu banyak banget yang punya masalah depresi dan keinginan bunuh diri, karakter utama di Trace juga punya kebiasaan self-harm. Ini karena saya juga maunya sih, orang-orang yang baca Trace seenggaknya merasa dimengerti dan gak sendirian ketika membaca Trace ini. Sama satu lagi. Trace mengangkat budaya dan mitologi Jepang karena kedekatan saya dengan Jepang setelah kuliah di sana, dan banyak orang Indonesia yang mau menulis tentang Jepang tapi belum terasa Jepangnya. Jadi, saya harap ada budaya Jepang yang bisa diambil juga dari sini.



FT: Lalu ada Golden Catalyst, itu tentang apa?

SF: Golden Catalyst adalah novel sci-fi ringan yang membahas perjuangan seorang pemuda bertangan-kaki prostetik membasmi markas alien, tapi tiba-tiba bertemu alien cewek berambut emas yang meminta damai. Temanya sendiri lebih ke arah keluarga dan persahabatan. Saya berpikir, banyak sekali cerita post-apocalypse yang berat dan kelam seperti Hunger Games dan Maze Runner. Nah, di Golden Catalyst ini, meskipun sedikit kelam, saya lebih ingin bikin ini ringan dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan.


FT: Oh iya, KANOI saya hampir lupa. Pertama kali saya kenal Stefani itu dari KANOI, ngomong-ngomong gimana cerita Stefani bisa gabung dan jadi admin di group KANOI?

SF: Waktu itu sih, saya cuma iseng-iseng aja cari tahu grup kepenulisan supaya bisa belajar dan berbagi (promosi juga deng. Hehe). Nah, saya langsung aja tuh japri admin-adminnya, tanpa malu-malu, soal dunia pernovelan. Kayak perbandingan indie dan terbit mayor, atau genre yang laku di Indonesia. Awalnya dari kak Ally Jane Parker, terus lama-lama ngobrol juga sama Putu Felisia. Pas mereka lagi butuh admin, aku nawarin diri aja karena waktu itu pas lagi belum terlalu sibuk dan pengen cari pengalaman. Ternyata kepilih deh. Haha.

FT: Saya melihat KANOI itu punya admin yang beragam karakter dan kebanyakan memang cewek banget. Cuma saya melihat Stefani ke arah cowok, maksud saya tomboy, hahaha. Kok bisa gituh ngebland dengan mereka?

SF: Hahah. Emang saya tomboy abis. Cuma saya ini tipe yang cukup mudah menyesuaikan diri demi keuntungan pribadi *eh, maksud saya, buat belajar. Apa pun yang menurut saya patut dipelajari, pasti saya pelajari, demi terus naik level, karena saya termasuk yang telat mulai. Dan btw, benernya kecocokan itu gak tergantung dari seberapa tomboy atau femininnya seseorang sih. Kecocokan itu lebih tergantung ke banyaknya persamaan pandangan. Salah satu yang paling sama itu adalah kepositivan. Setelah bergabung sama KANOI, admin-adminnya ngebantu banget untuk bikin lingkunganku bersih dari hal-hal negatif. Hehe.

FT: Dibanding admin yang lain yang followernya cewek. Sosmed-nya Stefani itu lebih banyak difollow n dikomen sama cowok-cowok terutama otaku gituh, kok bisa, why why? Hahaha.

SF: Oh jelas. Karena target pembaca saya emang otaku cowok. Hahah. Salah satu contohnya, yang tadi udah disebut aja, One Last Crane juga game dating untuk cowok. Kalau ditanya kenapa saya gak bikin untuk cewek, bukan karena gak mau. Karena saat ini lom ada kesempatannya aja. Hahah (Singkat kata, emang dari awal saya itu otaku dan otaku Indonesia itu banyakan cowok…).

FT: Bagian mengejutkan di tengah tahun ini adalah ... tiba-tiba Stefani muncul sebagai editor di Ciayo Comic. Itu gimana ceritanya?

SF: Wah, saya juga kaget nih. Benernya sih, mungkin udah dari 1-2 tahun yang lalu saya pengen jadi editor. Sayangnya, waktu itu saya terikat sama game company dan enggan untuk ganti pekerjaan. Game company tersebut kurang jalan dan akhirnya awal tahun ini saya keluar. Nyari kerjaan editor fiksi rupanya sangat sulit, karena banyak yang memberi syarat umur. Satu-satunya yang gak kasih syarat umur adalah editor komik. Kebetulan, saya suka gambar, jadi ya coba aja. Pertama, editor di studio komik lain, tapi saya gagal. Dari situ, seperti biasa, saya japri kepala studionya dan meminta referensi untuk belajar. Setelah lebih banyak belajar, nyoba lagi di CIAYO, keterima deh. Jadi, temen-temen, gak usah ragu-ragu untuk japri orang pro sebenernya, selama kamu tahu manner dan sabar.


FT: By the way, seperti apa sih pekerjaan komik editor itu?

SF: Singkat kata, tukang bersih-bersih. Hahah. Saat ini sih kerjaan saya lebih ke arah review submisi dan talent scout, bukan editor komik official-nya, karena memang pekerjaan komik editor di sini ada 2 jenis. Cuma memang kebanyakan ya kita review karya dan kasih saran, bahkan kalau ada gambarnya, ya kita kasih saran perbaikan gambarnya seperti apa.

FT: Dan kenal dengan Ditta Amalia (HelloDitta) itu keren banget. Hahaha.

SF: Wkwkwk. Sebelahan gitu sama saya.


FT: Oke, ini pertanyaan utama, One Last Crane. Kononnya itu adalah salah satu projek besar dari Stefani Jovita. Apa itu One Last Crane, bisa diceritakan?

SF: One Last Crane adalah proyek Visual Novel dating sim, di mana pemain berperan sebagai tokoh cowok remaja yang mengidap kanker otak dan ingin menemui teman masa kecil yang dia tinggalkan dulu untuk membuat temannya ini bahagia, sebagai tugas terakhirnya di masa-masa akhir hidupnya. Pemain bisa memilih opsi-opsi di momen-momen tertentu, yang bisa membawa mereka ke salah satu dari 3 rute cewek. Inilah kenapa disebut dating sim, karena pemain bisa pacaran sama salah satu cewek yang ada di game, tergantung pilihan pemain itu.


FT: Yang menarik, waktu itu saya dapat info bahwa One Last Crane dapat pembiayaan dengan jumlah yang besar banget -saya nggak ingin menyebut angka- tapi kok bisa hingga sampai ke sana?

SF: Perjuangan banyak orang nih :’) Ketuanya itu aktif banget nyari-nyariin akun Twitter yang proyeknya mirip sama kita. Satu orang lagi udah pengalaman marketing proyek seperti ini dan udah sukses duluan. Saya sendiri waktu itu nugas jadi tukang DM Twitter. Saya waktu itu begadang dari jam 12 malam sampai 4 pagi cuma untuk aktif di Twitter, karena memang Twitter barat, yang jadi target pasar kita, waktu aktifnya itu beda 12 jam. Kita juga pakai forum-forum pembahasan Visual Novel untuk membahas proyek kita ini, tapi bukan dalam bentuk promosi. Biasanya kita akan membuka topik semacam “Diminta kritik dan sarannya”. Promosi halus kan seperti itu. Hehe.


FT: Apa Stefani punya rencana-rencana besar seperti itu lagi?

SF: Ada. Kebetulan aku juga sudah diminta (dan sudah selesai) bikin proyek VN berikutnya, tapi ini kecil-kecilan. Aku konsepnya aja sih, karena masih harus kelarin One Last Crane juga. Sisanya, tentu aku bakal perjuangin Trace hingga sampai ke Jepang! Mimpiku memang terbitin di sana sih kalau untuk Trace :D


FT: Dalam interview saya, selalu ada yang namanya fans question, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang di luar konteks kepenulisan. Dan ini bagian yang paling menarik yang ingin dibaca oleh para follower.

SF: Oh iya. Boleh-boleh.


FT: Apa makanan dan minuman favorit Stefani?

SF: Makanan favorit ya… Benernya aku suka banyak makanan sih, tapi kalau harus pilih satu, mungkin Indomie aja *eh (gak sehat banget :’D). Minuman favoritku saat ini kopi, khususnya Monark Coffee Shake deket kantor. Heheh.

FT: Jika dapat kesempatan liburan sebulan ke luar negeri? Stefani ingin pergi ke mana aja?

SF: Ke Jepang lagi, buat ketemu temen-temen. Ke Eropa juga, karena ada temen FB di sana yang bisa dibilang cukup deket. Kalau gak ada batasan, tentunya aku mau berkunjung ke tempat sebanyak mungkin supaya bisa belajar kebudayaan di dunia, bahkan ke Afrika sekalipun.

FT: Nah ini fans question yang pamungkas. Pernah gak kamu jatuh cinta sama cowok; penulis atau komikus gituh, jatuh cinta beneran maksud saya?

SF: Hmm… Penulis atau komikus ya… Saya cuma pernah jatuh cinta sama penulis puisi temen saya, bukan penulis atau komikus terkenal. Soalnya saya bukan tipe yang mudah jatuh cinta sama orang yang gak dikenal sih, jadi saya harus kenal dulu. Kalau untuk komikus, sayangnya sampai saat ini belum ada yang kenal dekat, jadi sepertinya belum sampai jatuh cinta banget sebesar cinta saya sama penulis puisi itu. Eheheh.


FT: Oke, ini benar-benar luar biasa. Nggak ada di wawancara manapun.

SF: Pertanyaan sebelumnya ya, terutama.


FT: Satu pertanyaan terakhir, apa ada projek fiksi yang sedang Stefani kerjakan?

SF: Banyaaaak. Saya masih harus kelarin Trace volume terakhir, revisi, dan bikin versi Inggrisnya. One Last Crane juga rencananya bakal kelar ditulis bulan Februari (memang karena ketika Kickstarter sukses itu bukan berarti sebuah proyek sudah kelar, tapi baru akan mulai). Selain itu, saya juga masih harus editing 1 Visual Novel lain dan proyek bareng temen-temen KANOI. Bila masih ada kesempatan, saya masih ingin menyempurnakan novel-novel pribadi saya juga sih.


FT: Wow, thank you Stefani Jovita untuk interview. Ini benar-benar keren. Semoga di masa depan kita bisa ngobrol panjang seperti ini lagi. Arigatou Gozaimasu.

SF: Dou itashimashite. Senang juga bisa dikasih kesempatan wawancara seperti ini.

.  .  .