Monday, July 8, 2019

My Interview with Founder Detectives ID M. Fadli

By Fitrah Tanzil


Sebenarnya, sudah lama ingin menginterview beliau untuk blog ini. Tapi baru dapat idenya  kemarin pas Bang Fadli ini membicarakan bukunya yang akan terbit "Berdansa Dengan Naga" di FB.

Oke, langsung aja. Selamat membaca.



 

FT:  Halo bang Fadli, apa kabar?

MF: Baik, Alhamdulillah sehat. Mudah-Mudahan semuanya juga sehat.


FT: Pertanyaan awal, Bang Fadli besar n tinggal di mana?

MF: Lahir di Jakarta. Pas umur 4-5 tahun pindah ke Balikpapan sampai kelas 5 SD. Kelas 6 balik ke Jakarta. Pas satu SMP pindah ke Jombang untuk pesantren. SMA balik lagi ke Jakarta. Sebagian besar tinggal di Cipinang, Jakarta Timur.


 

FT: Kedua sejak kapan Anda suka dengan dunia fiksi kriminal?

MF: Dari kecil. Dari almarhum bokap. Kebetulan kakek polisi, jadinya bokap juga suka nonton serial detektif. Mulai dari Sledge Hammer, Hunter, sampai Remington Steele. Yang terakhir itu mungkin cerita detektif pertama yang saya tonton di umur 8 tahun.
 


FT: Kapan pertama kali Anda kenal dengan Sherlock Holmes? Dan seperti apa kesannya?

MF: Kenalnya dari film kartun Doraemon yang jadul tahun 92. Terus muncul lagi di kartun Teko Ajaib. Terus juga tahu dari Trio Detektif (Crime Buster) dan Conan. Pertama kali baca ceritanya itu agak nyesek. Karena saya baca Memoars of Sherlock Holmes duluan. Di cerita itu ada cerita dia salah analisa dan mati di bagian terakhirnya. Saya mulai terpikat dengan Sherlock Holmes ketika baru baca Study In Scarlet. Dia menunjukkan persona yang memiliki dua pembelajaran sederhana tentang kehidupan. Yang pertama belajar untuk mengamati tentang lingkungan sekitar beserta orang. Pembelajaran kedua adalah tentang fokus dengan apa yang dikerjakan. Orang yang fokus pada pekerjaannya maka dia akan menguasai pekerjaan itu dan menjadi ahli.

 

FT: Kapan pertama kali kenal dengan karya-karya Agatha Christie?

MF: saya kenal novel Agatha Christie duluan sebelum nemu novel Study In Scarlet. Setelah sering baca Trio Detektif, akhirnya saya mutusin dengan buku yang saat itu mendominasi Gramedia. Yang saya baca duluan kumpulan cerpen yang Early Case of Hercule Poirot dan dilanjutkan dengan Evil In The Sun (Pembunuhan di Teluk Pixy). Saya dulu lebih terkesan dengan Hercule Poirot karena pendekatannya lebih ke psikologi. Kebetulan saat itu memang suka baca buku non fiksi psikologi. Jadi saya suka dengan Sherlock Holmes karena otaknya, sementara saya suka Hercule Poirot karena hatinya.


FT: Masuk pertanyaan semi-utama. Kok bisa sih terbesit ide untuk mendirikan Detectives ID?

MF: Nggak kepikiran. Dulu cuma pengen sharing pengetahuan tentang cerita fiksi detektif yang saya tahu sekaligus juga menambah pengetahuan dari orang lain. Dulu saya sering celoteh tentang detektif di Twitter. Tapi masih akun pribadi. Nah, kepantau sama orang kantor dan boss, akhirnya saya buat akun Detectives ID di twitter. Awalnya nggak niat buat komunitas. Tapi ketemu sama grup Sherlock Holmes Fans Indonesia dan janjian ngumpul. Terus cerita tentang akun itu, eh mereka nyaranin buat grup WA sama almarhum Agung, Dhany, ama Echa. Jadilah grup Detectives ID saat itu tahun 2014.


FT: Banyak sesungguhnya group penulis dan penggemar fiksi detektif yang bermunculan. Tapi cuma sebentar aja, kebanyakan sepi dan menghilang. Apa sih yang bikin Detectives ID itu kuat bertahan n konsisten dengan update-updatenya?


MF: Detectives ID belom besar dan konsisten. Saya juga nggak tahu cara membesarkannya seperti apa. Karena awal juga nggak punya cita-cita buat gedein ini komunitas. Semenjak Agung Septian (salah satu pendirinya meninggal) saya juga nggak terlalu mikirin bagaimana membesarkan komunitas begini. Saya pernah gabung komunitas Parkour Indonesia dan jadi pengurus besarnya. Tahu susahnya ngurus komunitas begitu. Nah, di Detectives ID saya buat santai aja. Nggak punya target harus ngapain. Saya nganggep Detectives ID ini seperti redaksi atau rumah singgah untuk belajar. Ada yang mau belajar bisa, ada yang mau main silahkan, ada yang mau jadi pengurus atau pemiliknya silahkan. Cuma yang saya tahu pasti, saya orangnya melihat peluang. Meski gak punya target atau rencana, saya selalu ngambil peluang dan kesempatan yang terbuka. Ada yang nawarin kerjasama ya diambil. Tambahan satu lagi yang penting, saat saya perkenalkan tentang Detectives ID ini ke orang lain, saya menganggap apa yang saya perkenalkan ini penting. Itulah kenapa saya perdalam pengetahuan tentang fiksi detektif, jadi bila nanti ketemu Najwa Shihab atau tampil di Kick Andy tidak grogi tentang dunia fiksi detektif. Selain itu, saya membuka diri dengan orang lain atau komunitas lain. Semakin banyak kenal dan banyak teman, tentu apa yang saya bawa juga akan dikenal mereka juga. Kenalan dengan komunitas lain, baik sesama komunitas penggemar detektif maupun di luar itu. Saya jadi banyak belajar dari komunitas lain yang saya kenal dan saling support. Dari saling kenal itu, maka kita banyak channel kemana-mana. Coba seandainya bersifat eksklusif atau menutup diri, atau melihat komunitas lain kompetitor merasa komunitas ini lebih bagus daripada yang lainnya, mungkin Detectives ID sudah selesai dari pertama dibentuk. Kalo masalah update itu kembali lagi ke pribadi, seberapa sukanya kamu sama apa yang kamu cinta. Maaf kepanjangan.

 

FT: Bicara tentang karya, satu tokoh fiksi detektif yang terkenal dari seorang M. Fadli adalah Gardi Prima. Bisa diceritakan siapa itu Gardi Prima dan bagaimana proses kreatifnya?

MF: itu tokoh belum terkenal. Hehe. Karena baru berapa orang yang baca. Tapi ini tokoh yang proses kreatifnya panjang. Saya ingin membuat tokoh berlatar belakang kriminologi karena dari dulu tertarik dengan istilah kriminolog. Terus saya bertemu dengan dua kriminolog, Jubing Kristianto dan Maman Suherman yang jadi notulen ILK. Nah, Gardi Prima latar belakangnya sama seperti mereka. Sedangkan fisiknya itu terinspirasi dari drummer saya di band. Mukanya Baby Face, awet muda. Sudah umur 30 tapi tampangnya masih kayak bocah SMA. Ya seperti itulah fisiknya Gardi Prima. Sedangkan personilitasnya itu dia punya karakter plegmatis. Orang yang tidak mudah termotivasi, bahkan agak pemalas. Dia lulusan kriminologi yang bingung mau kerja di mana. Mau jadi penegak hukum, contohnya polisi dia nggak mau karena polisi waktu kerjanya nggak menentu dan dia merasa kurang disiplin. Jadinya dia malah wiraswasta. Nah, yang paling lama itu nemuin nama. Karena saya mungkin lima kali ganti namanya. Saya pilih nama depan yang jarang didengar orang. Sedangkan nama belakang tentu ngambil dari aktor Barry Prima.

 

FT: Selain Gardi ada juga ntuh, Detektif Tirto dari Kumcer Detectives ID yang pertama. Bisa ceritakan tentang dia?

MF: Oh itu bukan tokoh saya. Itu tokohnya Gifanda Delasty. Saya cuma yang bantu kasih nama depannya Tirtohadi

 

FT Selain kumcer Detectives ID, karya M. Fadli lainnya adalah Para Pecandu Detektif. Apa itu PPD? dan ceritakan tentang sejarahnya?

MF: itu kumpulan cerita detektif yang pernah saya tulis dari 2015 sampai 2018. Ada lima cerita, lima tokoh, lima subgenre, lima setting waktu dan kota yang berbeda-bed. Intinya itu kelima merupakan kenangan hidup saya. Ada kota-kota yang berhubungan dengan hidup saya. Ternate, Balikpapan. Jombang, Jakarta. Terus nama tokohnya juga. Ada yg ngambil nama marga keluarga, ada yang dari nama anak dan bokap, dan banyak lagi.

 

FT: Dan setelah PPD muncullah Nostalgia Merah. Ini cukup sensional n banyak dibicarakan orang ini. Bisa anda jelaskan apa itu Nostalgia Merah?

MF: Novelnya belum sampai tahap sensasional dan banyak diperbincangkan, karena cuma sedikit cetaknya. Ya, itu novel perdana saya yang ditulis cukup lama, dari 2015. Awalnya malah cerpen. Sampai akhirnya 2018 saya selesaikan. Itu novel detektif dengan genre inverted, yang pelakunya udah diketahui pembaca dari awal cerita. Cerita tentang reuni SMA di sebuah kapal Pelni. Ada yang tewas dan ada yang nyelidikin pembunuhnya. Tokohnya tentu saja Garda Prima. Saya mau nyoba genre Inverted detective story karena belom banyak digunakan.

 

FT: Selain Nostalgia Merah, satu judul lagi yang saya ingat itu Berdansa Dengan Naga. Nah itu tentang apa?
MF: Itu Novel yang saya selesain berkat program Thriller Mystery Club bareng grup penulis Crime Fiction Author DID. Anda juga ikutan. Berdansa Dengan Naga itu novel bergenre hardboiled atau noir  dengan setting Balikpapan tahun 1988. Tokohnya Toni Yahya, mantan polisi yang diam-diam nyari duit dengan menerima permintaan penyelidik. Ia lebih suka disebut Detektif Bayaran ketimbang Detektif Swasta.

 

FT: Oh iya, yang segera terbit Berdansa Dengan Naga bukan?

MF: yup. Doakan saja.


FT  Di Storial juga ada projek yang sedang anda buat, Kepala Suanggi? Itu tentang apa? Judulnya rada horor sih, hahaha.

MF: Kepala Suanggi itu proyek novel ke depan saya. Temanya historical fiction yang ngambil setting Ternate tahun 1924. Berkisar tentang bajak laut Tobelo, kesultanan, dan kepolisian Hindia Belanda di Ternate.

 

FT: Oke, kelihatannya cukup panjang bicara tentang projek-projek. Sekarang masuk ke sesi yang lebih santai yaitu fans question. Pertanyaan-pertanyaan untuk penulis di luar dunia kepenulisan.

MF: pertanyaan apa itu?


FT: Di antara banyak tokoh detektif yang Bang Fadli buat, mana yang jadi favorit Anda?

MF: Wah, susah. Ada enam detektif yang pernah saya buat. Sejujurnya belum ada yang saya favoritkan. Tapi yang saya suka karena proses kreatifnya panjang adalah Gardi Prima dan Toni Yahya.

 

FT: Oh iya, waktu itu kalau ndak salah, Bang Fadli punya band ya? Apa dan gimana tentang bandna?

MF: Band bentukan jaman sekolah 1999. Namanya Quest For Justice. Band hardcore punk yang inspirasinya band New York, Youth Of Today. Isinya tetangga dan teman pengajian saat masih tinggal di Cipinang. Sudah punya dua album, Faster Than a Speeding Bullet sama Choose Not Ti Fall. Album keduanya dirilis sama label Jepang.

 

FT: Seandainya di masa depan Bang Fad dapat projek film detektif, dengan siapa anda ingin bekerja sama? Aktor atau sutradaranya?

MF: Belum kepikiran. Agak susah juga nyari yang bkl meranin tokoh Gardi Prima. Kalo Toni Yahya banyak kyknya aktor yang pas. Kalo sutradara juga belum tahu.

 

FT: Fans question akhir, siapa musisi yang paling berkesan yang pernah Bang Fad wawancara?

MF: Belum ada yang berkesan. Semuanya sih baik-baik. Tapi belum begitu berkesan.


FT: Apa ada buku yang akan segera diterbitkan dalam waktu dekat?


MF: Ya. Itu Berdansa Dengan Naga.   Mudah-Mudahan sequelnya Nostalgia Merah juga bisa rampung tahun ini.



FT: Terakhir ada saran atau masukan teman-teman muda yang ingin nulis fiksi detektif?

MF: Tulis aja. Jangan kebanyakan mikir sama kebanyakan rencana. Mulai nulis, terus selesaiin tulisannya, terus terbitkan. Sama rajin menabung


FT: Oke, selesai. Thank you Bang Fadli untuk wawancaranya.

MF: Terima kasih Fitrah. Mudah-mudahan novelnya segera terbit juga.


.  .  .