Sunday, December 17, 2017

Decagon House Murders Mystery

Review by Ftrohx


Tulisan di bawah ini mengandung banyak spoiler.

Kebiasaan buruk saya tiap kali membaca novel -yang baru datang- adalah saya membaca cepat dan membuka halamannya secara acak, kadang saya baca dari bab-bab terakhirnya dahulu. Inilah yang terjadi pada Decagon House Murders Mystery, saya baca sepertiga bagian akhir dulu, saya endapkan beberapa hari, baru kemudian saya baca lagi dari awal.

Dari tahapan membaca awal, saya teringat dengan novel And Then They Where None dari Agatha Christie, kisah pembunuhan berantai yang terjadi di sebuah pulau di mana semua orang yang diundang ke pulau tersebut tewas secara misterius. Pada bagian ini, rasanya saya nggak ingin banyak berkomentar. Dari premis itu saya cuma bisa bilang, oh begitu doang. Namun saat saya membaca kedua kalinya -dari awal hingga akhir secara lengkap- saya sadar bahwa novel karya Yukito Ayatsuji ini adalah versi upgrade dari sang Ratu cerita kriminal. Butuh puluhan dekade untuk menciptakan novel sehebat ini dan jelas orang biasa-biasa aja nggak mungkin bisa bikin yang seperti ini.


Ok, secara garis besar novel ini dibagi menjadi dua cerita; penyelidikan di luar pulau dan penyelidikan di dalam pulau. Penyelidikan di luar pulau, itu dilakukan terhadap kasus yang terjadi di masa lalu yang pernah terjadi di Decagon House. Sedangkan penyelidikan di dalam pulau, ini lebih ruwet lagi, sebab sambil menyelidiki apa yang terjadi di masa lalu, mereka juga menyelidiki pembunuhan yang terjadi sekarang dengan korban adalah mereka sendiri yang terjebak di dalam pulau.  Peliknya lagi, semua karakter di novel ini adalah penggemar fiksi detektif, lebih spesifik mereka benar-benar freak dalam hal itu, sampai-sampai mereka menggunakan nama samaran para penulis novel detektif legendaris.

Sungguh, saya nggak tahu harus mengkritik apa tentang novel ini. Yukito Ayatsuji benar-benar kompleks dan sangat serius dengan novelnya.


Studi Kasus Decagon Murders Mystery

Membaca deskripsi akan Decagon House, saya langsung teringat dengan Tadao Ando si Arsitek legendaris dari Jepang itu. Saya membayangkan Kuil Air yang dia buat, Galeri Akka, dan Museum Seni di Hyogo. Udara yang dingin di dalam labirin berinterior minimalis dengan tembok kongkrit warna semen alami. Sesuatu yang elegan dan bikin tengkuk kamu merinding. .Begitupula dengan yang disajikan oleh si penulis ini, Yukito Ayatsuji. Benar-benar kompleks.

Pertama cerita Klub Detektif.

Saya sendiri juga tergabung dalam klub penggemar fiksi detektif di Jakarta. Dulu setahun yang lalu, senior saya pernah punya ide, bagaimana jika kita membuat cerita pembunuhan dengan melibatkan klub seperti ini dengan petunjuk dan para tokoh diwaklili oleh novel detektif favoritnya. Itu ide yang brilliant.

Tapi GILA-nya lagi, Yukito Ayatsuji sudah punya ide itu sejak tahun 70an dan mengeksekusinya di tahun 80an dengan novel ini. Asli, gagasan ini komikal sekaligus brilliant, dia memberi nama samaran untuk para tokohnya dengan nama-nama penulis detektif favorit mereka; Ellery Queen, Dickson Carr, Gaston Leroux, Agatha Christie, hingga Van Dine. Ini seperti kamu masuk ke dalam sebuah gerbong kereta eksklusif, di mana kamu melihat ada Johnny Depp, Judi Dench, dan Daisy Ridley di sana.   

Kedua, Arsitek itu keren

Biasanya cerita pembunuhan berantai terjadi pada sebuah mansion yang old school, kuno klasik, gothic, dan seterusnya. Pokoknya rumah yang angkeh ala Sebastian Michaelis atau Phantomhive. Tapi Yukito Ayatsuji membawa kita ke Modern Architecture ala Frank Llyod dan Tadao Ando, model-model minimalis dengan tembok kongkrit, labirin ala hotel Inception, dan warna-warna bento serta kayu alami. Mungkin akan jadi sangat keren jika Decagon House bisa disutradari oleh Christopher Nolan, hihihi.


Ketiga, berdua lebih baik daripada sendirian.

Kalau bisa menyajikan dua atau lebih pembunuhan berantai, kenapa harus satu dalam sebuah buku. Itu yang dilakukan Yukito Ayatsuji, dua kasus pembunuhan berantai yang sangat misterius. Dua kasus yang diselidiki dengan cara, metode, dan tempat yang berbeda. Namun di bagian akhir, semuanya saling terkait.

Saya suka bagaimana si penulis menyajikan berbagai macam teori, tumpukan informasi dan hipotesa tentang apa yang sedang terjadi. Saya suka di mana dia menyajikannya dengan sangat In Depth, bahkan jauh lebih baik daripada si seniornya, yaitu Soji Shimada di Tokyo Zodiac.

Keempat, kreatifitas yang mendobrak.

Pelajaran paling penting yang diajarkan Om Yukito di novel ini adalah... bukan berpikir di luar kotak, namun dobraklah batasan kotak itu. Jika A tidak bisa, jika B tidak bisa, maka terus coba lagi hingga ke X di mana itu bisa.

Dari berbagai sumber saya mendapati cerita bahwa novel ini bukan dibangun dalam satu malam, tapi tahunan trial n error bahkan sampai satu dekade pun masih direvisi. Dia tahu kalau hanya kasus penyelidikan biasa, Decagon akan menjadi cerita mediokre. Jika hanya pembunuhan di dalam pulau lalu apa kelebihannya dibanding karya-karya leluhur sebelumnya. Maka, dia eksplor semuanya, segala kemungkinan yang bisa terjadi dalam sebuah cerita detektif, In Depth di dalam sana.

Kelima, rivalitas sangatlah penting.

Saya pertama kali dengar istilah Armchair Detective tahun 2010 dari novel Los Angeles BB Murder, saat itu yang ada di kepala saya, armchair detective adalah seperti L. Lawliet, dia yang memecahkan kasus hanya dari depan layar komputer tanpa menyentuh TKP. Dari kali ini di buku ini juga membahas tema armchair detective.

Bagaimana si detektif memecahkan kasus tanpa menyentuh TKP. Apa yang dia lakukan dan bagaimana dia menciptakan sebuah rantai deduksi untuk mengungkap fakta versus detektif yang turun di lapangan. Aduh ini rada spoiler, ada dua rivalitas yang kuat di novel ini, di dalam pulau terjadi rivalitas antara Ellery (Matsura) versus Van Dine, sedangkan di mainland, terdapat rivalitas antara Morisu versus Shimada Kiyoshi, ckckck.

Keenam, revisi, revisi, dan revisi

Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa novel ini, bukan sekali dibuat namun hasil dari revisi dan revisi, itu kenapa ketika kamu masuk ke bagian akhir, kamu akan sangat-sangat terkejut dan bilang ‘bangsat, kampret, kepiting rebus’ ini buku. Yukito Ayatsuji membuatnya dari hasil revisi dari projek novel sebelum, bahkan setelah dicetak pun kembali direvisi -dan yang saya baca ini adalah versi revisi dari tahun 2010an. Saya yakin asli novel ini sebenarnya sangat tebal, mungkin di atas seratus ribu kata, namun setelah disunting dan diambil hanya bagian-bagian pentingnya saja, membuat dia menjadi ramping dan sangat efektif.

Terakhir, konklusi yang bangsat.

Apalah artinya sebuah novel detektif, jika tanpa konklusi yang sangat bangsat, bab akhir yang menjalin semua. Memberi jawaban atas misteri yang coba dipecahkan habis-habisan oleh sang detektif. Di sini kuncinya ada pada bab pertama dan bab akhir. Decagon House punya prolog yang sangat-sangat bagus menurut saya, dia bermain dengan kejiwaan si pelaku pembunuhan dan pertanyaan-pertanyaan moral terhadap dirinya sendiri, lalu di bagian akhir dia mendapatkan balasan atas apa yang telah dia kerjakan, balasan yang lebih ke dalam jiwanya sendiri. Bagian epilog entah kenapa lebih mengingatkan saya pada Enichi di chapter akhir dari kisah Rurouni Kenshin daripada ending kisah dari And Then They Were None. Hahaha, mungkin karena ini adalah novel Jepang, jadi unsur spiritualitasnya lebih kental.


Kesimpulan

Dari plot, setting, pendalaman karakter, dan cara penyajian cerita. Novel ini saya kasih 89 skala 100, bisa dibilang ini novel terbaik yang saya baca di akhir tahun 2017. Sebuah penutup tahun yang nyaris sempurna.. Satu lagi, thank you tuk Irfan Nurhadi yang sudah kirimin novelnya, hahaha.


Ilustrasi, sumber Wikipedia com / Tadao Ando