Monday, August 13, 2018

Excerpt Novel 1301

Oleh Fitrah Tanzil


Tepat pukul 13:01 ledakan itu terjadi.

Mataku mengarah ke luar jendela kaca besar di halte Busway. Di trotoar seberang sana seorang pemuda tampan berambut hitam tebal dengan jaket biru melintas. Sialnya, wajah itu membawaku ke masa SMA. Aku hanya tersenyum bodoh.

Keparat, di saat-saat seperti ini aku teringat akan dia. Zain. Aku suka padanya karena dia pintar dan realistis. Dia berani melakukan hal-hal yang orang lain tidak akan pernah lakukan. Mungkin karena dahulu aku seorang gadis lugu dengan libido berlebih yang segera lepas kendali begitu melihat cowok yang suka memacu adrenalin dengan olahraga ekstrem.


Meski begitu aku dan Zain ujung-ujungnya tetap putus. 

Sama seperti semua laki-laki yang kukenal, mereka tidak pernah konsisten atas apa yang mereka ucapkan. Ketika dia melarang melakukan X, tiba-tiba dalam suatu kondisi dia tetap melakukan X. Atau ketika dia melarang untuk bertindak Y, lalu saat kejadian lain dia malah bertindak Y. Semua ucapannya hanya bullshit untuk menarik hati wanita.

Ya, hidup ini memang harus realistis karena kita hanya hidup di satu waktu di satu tempat. Dan saat ini arlojiku sudah menunjukkan pukul 12:50.

Saat ini juga aku sedang berada di halte busway Bundaran HI. Halte yang selalu ramai hingga sering membuatku bertanya-tanya kapan tempat ini bisa lengang.

Sebuah pesan singkat kuterima di tabletku.

Target telah dikonfirmasi.

Dia berada dalam Busway.Tidak turun di BI.

Sejurus kemudian gambar pun kuterima. Seorang laki-laki berwajah garang dengan kulit cokelat gelap dan jenggot tebal, standar karakter penjahat di film detektif. Namun satu yang unik: simbol mawar merah di sebelah kiri kerah jaket hitamnya.

Dahulu, mungkin aku hanya bisa bermimpi berada di posisiku sekarang. Kehidupanku kini begitu jauh dari kehidupan orang normal di Jakarta ataupundi Indonesia,bahkandi seluruh dunia sekalipun.

Kenyataannya, aku tidak suka bermimpi terlalu tinggi.  Aku tidak suka laki-laki yang bicara tentang rencana yang dia sendiri tahu sulit untuk diwujudkan—seperti Fachrie. Mungkin karena itulah aku lebih memilih Zain.

Orangtuaku pernah bilang kalau impian yang tinggi selalu dipenggal oleh maut. Impian kamu belum tercapai namun kematian sudah menjemput. Filosofi itu persis seperti sifat dasarku yang juga secara kebetulan membuatku terjebak dalam pekerjaan ini.

Pekerjaanku ini menuntut aku memiliki enam syarat utama:


Pertama: Skeptis Memandang Segala Sesuatu. Syarat ini memang sudah menjadi sifat dasarku, setidaknya semenjak aku gagal masuk AKPOL. Sekarang, saking skeptisnya, aku tidak kaget lagi bila hal buruk terjadi.

Aku tidak selalu seperti ini. Bahkan aku terkadang rindu pada diriku yang lugu dulu. Dulu aku suka berfantasi. Aku suka berkhayal menjadi jagoan. Aku suka nonton film-film laga Mandarin. Aksi-aksi Jackie Chan, Jet Li, dan Ekin Cheng menjadi pengantar tidurku di kala itu. Melihat mereka menjadi jagoan, menjadi polisi yang melawan Triad di Hongkong. Aku sampai keranjingan adegan perkelahian dan tembak-tembakan.

Film-film itu telah menginfeksi dengan sebuah gagasan. Sebuah cita-cita yang kerap mengganggu tidurku. Sampai aku sering bermimpi menjadi seorang polisi, menghajar penjahat sambil membawa pistol.

Semua orang percaya bahwa aku bisa jadi polisi hebat. Mereka bilang aku bisa jadi Briptu cantik yang membawakan laporan lalulintas di TV itu. Jika aku tidak lolos dari AKPOL, bermodal wajah cantik aku bisa menjadi aktris terkenal dan setidaknya bisa memerankan polisi wanita dalam film aksi.

Kenyataan berkata lain. Alam semesta punya rencana berbeda untukku. Setelah melalui berbagai macam tes, aku tidak diterima sebagai polisi. Mimpi-mimpiku luluh lantak. Sejak itulah aku yang optimis menjelma menjadi aku yang realistis. Pelajaran pahit yang kudapat setelah itu adalah: ketika kamu gagal mendapatkan sesuatu, kamu harus berkompromi untuk menerima sesuatu yang di bawah standar, atau yang bahkan yang lebih buruk.

Aku mendapatkan yang kedua, yang lebih buruk daripada AKPOL, yakni terjebak dalam sebuah pekerjaan yang menuntut dedikasi luar biasa dengan bayaran yang tidak setimpal. Bayaran yang kumaksud bukanlah materi melainkan apresiasi. Risiko pekerjaan ini adalah kehilangan nyawa. Dan di sini, jika aku terbunuh, mungkin aku bahkan takkan menjadi hantu.

Menerima kenyataan itu seperti membeli kucing dalam karung. Begitupula dengan mencari pacar. Jika kamu adalah wanita cantik, kamu bisa memilih seorang cowok dan menolak cowok yang lain. Pada kenyataannya pilihan itu hanyalah ilusi. Bayangan indah yang selama ini kamu harapkan bisa saja tak pernah terwujud.


Kedua: Mampu Memainkan Emosi Orang Lain.Membuat orang lain jatuh cinta merupakan salah satu keahlianku. Keterampilan yang telah berhasil membuatku mendarat di hati Bram, arsitek yang selama enam bulan terakhir menyambangiku setiap malam minggu.

Variabel tak terduga muncul. Ponselku berdering. Nama Brahmantyo muncul di layar. Panjang umur. Baru aku cerita tentang dia, dia menelepon.

“Halo, Tuan Putri,” ucapnya.

“Hai, Ksatria tampan,” ujarku basa-basi.

Berikutnya adalah pertanyaan template layaknya formulir pembukaan rekening bank. Di mana, lagi apa, sudah makan atau belum, dan sederet pertanyaan lainnya yang membuat telingaku mati rasa. Aku membual tentang tugas-tugas kantor; tentang invoice yang harus kubereskan, tentang bertemu klien kemarin siang, tentang rekan kerjaku yang akan menikah, pelajaran yang kuambil dari bosku hari ini, dan lain sebagainya.

Tentu saja aku membual. Tak mungkin kuceritakan yang sebenarnya. Manusia normal mana yang akan percaya jika kuceritakan bagaimana selama enam hari terakhir ini,aku, beserta tim yang terdiri atas Ipda Mahe dan Ipda Adrian dari BARESKRIM, menghabiskan 12 jam dalam bus Transjakarta koridor I mencari teroris yang hampir tak mungkin ditemukan? Tentu saja aku harus menciptakan realita lain untuk kuceritakan padanya demi kelangsungan hubungan kami.

Setelah kupikir lagi,jika aku tak jujur pada Bram, bisa jadi dia juga tidak mengatakan yang sebenarnya ketika dia bercerita tentang kliennya; tentang makan siang di tempat yang belum pernah didatanginya, tentang rekan kerja yang selingkuh, temannya yang akan menikah, dan sebagainya. Membosankan memang tapi titik jenuh itu telah kulewati. Tentu saja aku harus berpura-pura antusias mendengar ceritanya agar dia senang. Bagi orang normal seperti Bram, menyapa pacar dengan obrolan basi seperti itu lebih baik daripada tidak ada kontak sama sekali.

Beginilah kehidupan kota Jakarta. Kamu mencari pasangan bukan sekadar karena kamu butuh pendamping. Cinta menjadi tak penting lagi. Meski jika ada pun tak jadi berbeda. Kamu tidak bisa hidup hanya dengan cinta.

Setidaknya, tidak bagiku.

Aku hanya butuh seseorang untuk status sosial karena aku harus mempertahankan samaranku. Selain itu, juga karena aku muak mendengar kritikan orang,apalagi mereka yang merasa dekat denganku hingga merasa punya semacam wewenang untuk mengatur hidupku.

Bagiku Bram tak ubahnya Zain ataupun Fachrie. Dia tidak memiliki sesuatu yang spektakuler ketimbang mereka. Akan tetapi, setidaknya dia berada di atas rata-rata pacar teman-temanku yang cuma staf admin kantor atau PNS kacung kampret.


Ketiga: Memiliki Kecerdasan Di Atas Rata-rata.Yang ketiga ini adalah satu kesamaan antara aku dan Fachrie, teman SMA yang sejak dulu tak lelah berusaha mendekatiku. Dia memang cerdas luar biasa tapi dia punya satu masalah: Dia terlalu banyak bermimpi.

Menurutku mimpi adalah sebuah virus penyebab infeksi—danFachrie adalah penderita infeksi akut. Salah satu mimpinya adalah menjadi kekasihku. Tentu saja selama bertahun-tahun aku mengabaikannya. Selama bertahun-tahun kubiarkan cintanya bertepuk sebelah tangan.

Memang terkadang aku menyapa tetapi aku tidak pernah benar-benar berkomunikasi dengan dia. Aku agak tak acuh namun dari jauh aku mengamatinya. Sekarang dia tengah berada di atas angin karena ternyata mimpinya telah tercapai: menjadi penulis best-seller.

Ya, orang-orang bisa percaya pada tulisannya. Mereka bilang dia keren.Bagiku tidak. Penulis menurutku hanya seorang pengamat; mereka tidak pernah benar-benar tahu seperti apa rasa sakit itu. Mungkin aku tidak punya empati tetapi aku punya kecerdasan di atas rata-rata, yang lebih berguna ketimbang empati untuk melaksanakan misiku saat ini.

Dan aku lebih baik daripada Fachrie.

Kamu tahu, memori otak wanita itu lebih besar daripada laki-laki. Buktinya kami bisa memikirkan banyak hal yang tidak penting di saat kami mengerjakan tugas penting. Contoh sederhana: Seorang wanita di dapur bisa mengiris bawang, bergunjing di telepon sambil nonton infotainment di TV sekaligus. Kami punya potensi lebih dari itu. Begitupun aku. Aku bahkan bisa lebih dari mereka. Jauh lebih.

Kelebihanku bisa dibilang telah melewati batas normal. Aku bisa menyerap lebih banyak ilmu dan keterampilan dengan lebih cepat dibanding orang biasa. Jika tidak, mana mungkin aku ditugasi memimpin tim taktis yang bertugas mengidentifikasi teroris potensial yang membaur dengan warga sipil dengan menggunakan ilmu kinesik dan analisa mikrogestur?

Kupandangi arus lalu lalang manusia di selter busway. Seorang wanita melintas di depanku dengan langkah jingkat kucing bak model di atas catwalk. Blus susu karamel dan rok selutut dibalut kardigan kelabu menegaskan lekuk tubuhnya. Sayang tas jinjing yang tampak terlalu berat dan map bersampul logo korporasi besar yang dibawanya merusak nuansa itu.

Kadang aku bertanya mengapa karyawati atau pekerja kantor mesti berseragam rapi? Padahal kami sudah tidak lagi berada di sekolah. Kontras dengan itu aku melihat seorang ibu hamil berdaster batik berpapasan di sisi kiriku. Kamu cuma bisa melihat pemandangan seperti ini di Indonesia.

Dua orang polisi berpakaian preman duduk berhadapan dengan mata elang yang tak berkedip sejenak pun.Begitu waspada mengawasi sekitar. Mereka laksana dayang-dayangku yang siaga mengikuti setiap perintah. Bisa saja kusalahgunakan mereka menjadi pengawal pribadiku jika aku ingin.

Datang seorang turis oriental dengan kaus biru dan celana pendek, pelajar berseragam putih abu-abu, pria dengan jaket hitam, seorang gadis bersweter merah, dan masih banyak lagi. Di mataku mereka dibedakan oleh apa yang mereka pakai, sedangkan wajah-wajah itu membaur dalam kerumunan. Terlalu banyak wajah, terlalu banyak kontaminasi pikiran. Terlalu banyak informasi membuatmu tidak fokus pada apa yang mesti kau cari.

Aku teringat ceramah dari mentorku tentang disiplin method of loci, sebuah metode mengelola memori yang memungkinkan kami untuk membedakan apa yang penting untuk diingat dan apa yang tidak.

Setiap hari otak kita selalu terkontaminasi dengan gambaran dan suara yang tidak penting. Beragam informasi masuk ke dalam ingatan melalui berbagai media, baik massa maupun alternatif. Tayangan televisi, propaganda di koran, dan gosip dalam tabloid kacangan terus mengontaminasi pikiran. Mentorku selalu mengingatkan agar aku sebisa mungkin menghindari hal-hal itu.


Keempat: Punya Ambisi Besar.Aku terlahir ambisius. Apa yang aku mau harus aku dapatkan sekarang. Bram bisa memberikannya. Kebetulan dia cukup mapan, bahkan bisa dibilang berlebih untuk ukuran Jakarta. Di batas atas kelas menengahlah kira-kira.

Bersanding dengannya, aku bisa sedikit pamer di depan teman-teman.

Orang-orang di kota ini terjebak dalam ilusi kalau status sosial adalah segala-galanya. Mereka memandangmu dari apa yang kamu pakai, di mana kamu makan, ke mana kamu pergi bekerja, naik apa kamu ke mana-mana, hingga siapa yang mendampingi kamu.

Bagiku itu tidak penting. Ambisiku lebih tinggi dari itu. Dan karena ambisiku pula aku terjebak dengan tugas dari Kombes Pol Hendra ini. Hasrat untuk menjalankan misi membasmi teroris demi negara telah menggelapkan mataku dari hal-hal yang indah dalam hidup. Menyesalkah aku? Mungkin. Tapi terlambat untuk mundur sekarang.


Kelima: Tahan Terhadap Segala Bentuk Tekanan.Tekanan bisa berupa fisik maupun mental. Jika fisikku tidak tahan, aku tak mungkin bisa menyelesaikan pendidikan militer:Pertahanan diri dan pengetahuan inteligen di SASR Australia yang rasanya seperti neraka.

Fisikku memang kebetulan juga di atas rata-rata. Seolah didukung oleh alam semesta, aku dikaruniai jumlah hemoglobin di atas rata-rata untuk standar perempuan, juga insting tajam dan liatnya tubuh seorang atlet. Ini mungkin merupakan pengaruh dari film-film aksi yang membuatku ingin meniru aksi-aksinya semenjak aku masih SMP hingga aku rajin melatih fisik bahkan sampai lulus SMA.

Ketahanan mentalku juga sudah teruji. Manusia normal mungkin sudah hilang akal atau jati diri jika menjalankan apa yang telah aku lalui. Sepulang dari pendidikan di Australia aku berpindah-pindah ke berbagai daerah di penjuru Indonesia,mulai dari Bukti Tinggi, Medan, Yogyakarta, Maluku, sampai ke Papua. Di tiap kota yang kudatangi aku selalu menggunakan identitas baru. KTP baru, ijazah baru, paspor baru, dan tentu saja nama baru. Aku adalah Putri; aku adalah Roxana; aku adalah Windy; aku adalah Yuanita; aku adalah Julie dan seterusnya.

Terkadang aku suka khawatir siapa sebenarnya aku.

Setelah kembali ke Jakarta orang yang memerintahku untuk menjalani pekerjaanku sekarang memberikanku identitas tetap; lengkap dengan ijazah S1 Ekonomi yang tidak pernah aku jalani dan pekerjaan sebagai staf akuntan layaknya orang normal. Nama Rania Rahardika Saraswati terbubuh di semua dokumen identitasku.


Keenam: Ahli Dalam Menjaga Rahasia.Ini syarat yang paling penting dari semuanya. Tak usah ragukan kemampuanku yang satu ini. Jika aku tidak ahli menjaga rahasia, bagaimana mungkin aku bisa menjaga hubunganku dengan Bram?

“Eh, Sayang, aku mau masuk lift nih. Udah dulu ya,” pamitnya.

“Oke, Kesatria Tampan.”

Arloji ditanganku meneriakkan waktu sudah pukul 12:59. Rupanya menceritakan tentang enam syarat utama pekerjaanku tadi terlalu banyak menghabiskan waktu.

Desir sendu mendadak menyergapku. Mematung dengan ponsel ini di tangan, aku mendadak melankolis. Mengingat misi yang sedang kujalankan, dan risiko yang kuhadapi, bisa jadi ini adalah pembicaraan telepon terakhirku dengannya. Apa selama ini aku membohongi diri sendiri dengan berpura-pura punya perasaan terhadapnya? Apa jangan-jangan perasaan itu nyata? Atau jangan-jangan dia juga berpura-pura? Sebagaimana yang dilakukan oleh lebih dari separuh penduduk Jakarta?

Halah, persetan! Kita semua menyangga sebuah rahasia, yang selalu dijaga agar tidak jatuh ke tanah dan menjelma rasa sakit. Laki-laki boleh saja merasa lebih kuat hingga bisa menanggung beban rahasia yang lebih besar tetapi aku berani bertaruh tak ada lelaki yang mampu menanggung beban lebih dari yang kuemban.

Lebih baik beban itu kualihkan. Seperti kata Javier Marias dalam novel A Heart So White, yang judulnya dikutip dari Shakespeare: Rahasia itu seperti energi dalam teori relativitas:Bebannya takkan berkurang atau hilang tetapi bisa dialihkan dengan membaginya. Siapa sangka ternyata teori Einstein itu berlaku juga untuk cinta. Ingin rasanya kulanggar syarat nomor 6 itu.

“Mmm, Sayang, tunggu sebentar dong.”

“Eh, kirain kamu udah mau tutup. Kenapa, Tuan Putriku yang cantik?”

“Ehm, gak papa.”

Terdengar desah tawa yang tertelan di seberang sana.

“Ini sih bukan ‘gak papa’, pasti ada sesuatu sama kamu. Gimana kalau nanti malam kita ke Kemang? Sebenarnya tadi ada temen aku yang ngajak makan. Tadinya mau aku tolak tapi kayaknya kamu perlu kumpul sama orang selain orang kantor deh.”

Desir sendu itu semakin menelanku bak lumpur isap. Sebagian tersangkut di tenggorokan; menelan kata-kata yang sudah tersusun rapi dalam benak. Apa orang yang berpura-pura akan memperhatikanku seperti ini? Mungkin tidak ada salahnya aku membiarkan perasaanku terhanyut. Sesekali melanggar aturan boleh saja, kan?

“Rasanya, aku pengen udahan, Bram.”

“Udahan?” Hening dari speaker itu menyeruak keluar dan ikut membuat senyap semesta. Riuh kesibukan di halte dan lalu lintas di sekitar pun tak terdengar. “Maksud kamu, mau putus aja?”

“Bukan udahan sama kamu, tapi... ah gak tahu deh.”

“Udahan... dari kerjaan kamu maksudnya?”

“Bukan.”

Sudut mataku menangkap sesuatu hingga aku lupa hal penting yang ingin kusampaikan. Seorang pria mengenakan tas gunung muncul dari lorong halte di arah berlawanan dengan arahku datang. Pandanganku segera fokus pada sesuatu sisi kiri kerah jaket hitamnya: Sebuah simbol mawar merah.

“Sayang?” tanya Bram, menanti respons dariku.

Segalanya berkecamuk dalam diri. Fantasi mulai merasukiku lagi. Mungkin setelah misi ini aku akan membagi beban rahasia yang selama ini kusangga dengan Bram. Aku akan berhenti dari pekerjaan ini untuk selamanya dan kembali ke kehidupan normal.

Untuk itu aku harus menyelesaikan misi ini dulu.

Mataku melihat jelas carrier bag kuning yang dipanggul pria berjaket hitam itu. Method of loci otomatis bekerja. Semua wajah kerumunan menjadi buram. Semua warna pakaian dan barang yang dibawa mereka menjadi hitam-putih-kelabu. Cuma pria bertas gunung itu yang tampak di lingkup pandangku. Segala suara teredam oleh adrenalinku yang memuncak sampai ubun-ubun. Hanya dengung yang terdengar.

“Bram?”

Terdengar hela napas bergetar yang menyiratkan kekhawatiran dalam suaranya. “Ya, Tuan Putri?”

Tekadku bulat. Akan kulanggar keenam syarat yang sedari tadi kuceritakan. Namun, lagi-lagi misi ini menjadi tembok penghalang yang kini rasanya terlalu tinggi untuk kulompati. Bisa jadi dorongan emosional ini mengaburkan objektivitasku.

Rasanya segala mikrogestur pria bertas gunung itu teramplifikasi. Kemarahan terlukis jelas di kedua matanya. Dahinya mengerut hingga hidungnya tertarik ke atas begitu jauh. Kedua lubangnya kini menyerupai gua di bukit Citatah tempatku latihan rappelling. Langkahnya yang berat dan gemetar bukan lagi menyiratkan emosi terpendam, melainkan jelas menyuratkan pesan yang seolah ingin diteriakkan pada dunia.

Kucelupkan tanganku ke tas jinjing, menggali dan mencari sepucuk Beretta Tomcat yang bersemayam di sana. Sorot mata dan gerakan leherku memerintahkan kedua dayang yang sedari tadi membayangiku. Kedua intel berpakaian preman itu segera mengerti dan bersiap mengambil posisi.

“Ksatria Tampan,...”

Kutarik pistol itu dari dalam tas jinjing.

“… sampai ketemu nanti malam.”

Kuputus panggilan itu namun tak ada waktu untuk menyimpan ponsel kembali dalam tas. Tangan kiriku melepasnya dan segera menjadi landasan untuk menstabilkan bidikan. Ponsel pemberian kantor itu menghantam lantai seng halte busway bersamaan dengan letusan yang memuntahkan peluru 9mm dari moncong Beretta-ku.

Jeritan telah menggantikan dengung yang menenggelamkan segala bunyi sejurus lalu. Orang-orang di sekitarku berhamburan ketakutan. Dua pengawal pribadiku memberi jalan bagi orang-orang untuk lari, sekaligus mengisolasi lajur evakuasi target kami.

Rupanya peluruku hanya menggoresnya. Si sialan itu bereaksi begitu cepat. Selempang tasnya putus sebelah hingga langkahnya tidak seimbang.

“Berhenti!” teriakku. Mendekat dengan langkah siaga. Moncong Berreta tak lepas darinya. “Berlutut di lantai dan lepaskan ranselnya!”

Si teroris masih berusaha lari tetapi segera dihadang oleh Ipda Mahe—salah satu dayangku. Terasa ketegangan yang luar biasa di antara mereka. Rasanya ada ledakan yang tercipta dari pijar halilintar yang meluncur dari mata kedua orang itu. Ini bukan lagi tentang polisi dan penjahat. Ini bukan lagi tentang tim anti-teroris dan teroris. Ini sesuatu yang lain.

Si teroris berlutut perlahan dan melonggarkan selempang carrier bag-nya.

“Angkat tanganmu tinggi-tinggi!” bentak Ipda Mahe pada teroris itu.

Karena pintu dan rampa sempit menuju halte, evakuasi tersendat akibat sumbatan leher botol di dekat pintu keluar-masuk. Masih banyak penduduk tak bersalah di sini.

“Hati-hati, Mahe. Masih banyak warga sipil di sini!”

Si teroris menoleh ke arahku dan tersenyum. Lalu dia kembali menghadap Mahe. Tertukar kata di antara mereka sebelum Mahe menerjang dan menarik jaketnya. Tersibaklah jaket hitamnya dan tampak sesuatu yang segera membuat mataku terbelalak: Sebuah bom yang terikat pada tubuhnya.

Kembali dia bertukar kata dengan Ipda Mahe. Kali ini dalam bahasa Jawa.

Layaknya berada di tepi Reichenbach. Aku tahu, jika jatuh aku takkan kembali. Dengan cepat kutarik pelatuk yang menghantam dasar peluru. Campuran besi timbal itu meledak, melesat lurus, menyisahkan selongsong logam yang jatuh bersama bau mesiu.

 Waktu berhenti bersama dengan mataku yang melihat jam di dinding yang menunjukan pukul 13.01 []

.  .  .

Saturday, August 4, 2018

Point of View dari Novel 1301

Oleh Fitrah Tanzil


Point of View / Sudut Pandang.


Bab 1 Enam Syarat
PoV 1 Rania Rahardika

Bab 2 Geliat Ikan Koi
PoV 1 Achmad Fachrie

Bab 3 Catatan Kaki
PoV 1 Riri Nabila

Bab 4 Kamar Belakang
PoV 1 Eriska (Pacar dari Gagak)

Bab 5 Malaikat Hitam
PoV 1 Maja (Pelaku Bom Bunuh Diri)



Bab 6 Spiral
PoV 1 Gagak (Si Assassins)

Bab 7 Namaku Nio
PoV 1 Nio (Adik angkat Riri)

Bab 8 Terminal
PoV 1 J-No (Si Hacker)

Bab 9 Transendence
PoV 1 Erlangga Prapanca

Bab 10 Nephilim
PoV 1 Rudi (Si Penculik)



Bab 11 Angsa Hitam
PoV 1 Rania Rahardika

Bab 12 Benang Merah
PoV 1 Kombes Pol Hendra

Bab 13 Dering Telepon
PoV 1 Harry (Sahabat dari Fachrie)

Bab 14 Di Puncak Air Terjun
PoV 1 Achmad Fachrie

Bab 15 Sang Pewaris
Narator PoV 3

.  .  .





.  .  .