Friday, April 3, 2015

The Blue Nowhere (2001)

Review by Ftrohx


Bayangkan sebuah dunia sebelum ada facebook, twitter, path, instagram ataupun goodreads. Bayangkan dunia yang jauh sebelum itu di mana Google belum dibuat dan yahoo tidak ada yang kenal.

Bayangkan seperti apa dunia internet saat itu? Sebuah tempat yang kuno dan asing. Pertanyaan yang sama seperti apa dunia sebelum ada televisi dan radio? Mungkin bisa didefinisikan sebagai ruang yang gelap dengan kumpulan buku-buku usang di lorong labirin milik Jorge Lois Borges




Di thn 90an, internet adalah dunia lain seperti alam gaib yang ditempati para hantu. Tempat yang sulit dijamah orang kecuali lo berpenghasilan lebih dari 500 dollar perbulan. Tempat yang menjadi fantasi dan imajinasi liar bagi orang awam.

Meskipun ada peristiwa booming dot com dan Y2K (APAAN NTUH?), namun faktanya 95% populasi manusia saat itu buta internet. Hanya 5% manusia yang pakai internet saat itu dan mereka tentu saja warga kelas menengah keatas. 

Di era itu, banyak penulis fiksi yang berimajinasi liar tentang dunia internet, dan salah satunya adalah Jeffrey Deaver dengan karya-nya The Blue Nowhere.

Ok, banyak orang yang kritik buku ini, terutama anak-anak IT yang hobi baca buku. Mereka bilang, ide tentang internet, silicon valley, dan hacking-hackingannya sangat dangkal.Deaver seolah ceramah tentang dunia IT untuk anak kelas 1 SMA.

Dan tadi pas saya cek di goodreads, di halaman depan saja sudah terlihat beberapa orang yang kasih point 1 skala 5 untuk buku ini. Tapi banyak juga yang kasih 4 dan 5 bintang. Ok, bisa saya maklumi karena Deaver memang bukan orang IT dia lebih ke bidang crime thriller. Dan tentu saja dia memang jauh jika dibandingkan dengan William Gibson (yang nulis Necromancer), tapi menurut saya novel Blue Nowhere ini bisa di adu kok dengan Digital Fortress-nya Dan Brown.

Ceritanya sederhana, terjadi pembunuhan berantai di mana dilakukan oleh seorang sociopath yang menyebut dirinya Phate.

Dia mengincar dan membunuh para korbannya dengan terlebih dahulu mengekstrak informasi dari komputer korban. Atau mungkin kalau jaman sekarang seorang stalker di social media. Hanya saja jaman dulu, karena internet masih mahal jadi apa yang dia lakukan terlihat keren dan canggih. Phate bukan hanya membunuh warga sipil, dia juga membunuh beberapa orang polisi yang mencoba mendekati ataupun menyelidikinya, dan seperti para sociopath lainnya, Phate juga menganggap dirinya Dewa yang tidak terkalahkan.

Dan tentu saja, harus ada seseorang di sisi yang berbeda untuk menghentikannya. Dialah Wyatt Gillete, Ok, satu lagi nama aneh yang dibuat oleh Jeffrey Deaver. Wyatt adalah seorang hacker yang dipenjara karena berbagai masalah kriminal yang dibuatnya. Namun, kepolisian California tidak punya pilihan lain selain men-summon Wyatt untuk mengejar kasur marinkill.

Aksi kejar-kejaran dimulai, dengan tentu saja ceramah panjang mengenai dunia hacking-hackingan (yang sekarang sudah out of date) seperti dasar-dasar sniffing, bot, daemon, networking layer, IRC, firewalls, dan sejenisnya. Seperti yang saya bilang di atas, buku ini memperlihatkan pada kita dunia internet sebelum ada google, facebook dan teman-temannya. Layaknya, membuka buku-buku usang di perpustakaan LIPI untuk cara bahan skripsi. Selain itu yang patut diacungin jempol adalah keahlian Deaver, dia mampu menggembangkan ide yang mentok menjadi 100ribu kata, itu hal yang luar biasa menurut saya.

Oh iya, hampir lupa. Buku ini menyajikan ide Stenography atau kode-kode yang tersembunyi di dalam sebuah gambar. Ide tentang Stenography, lagi nge-HITS banget saat novel ini diterbitkan. Beberapa film detektif dan Sci-fi pada waktu buku ini terbit juga mengambil ide itu seperti Along Came Spider dan Copy Cat Murder. Sang pembunuh mengirim gambar ke calon korbannya, lalu gambar yang mereka unduh justru memuat virus komputer yang mengekstrak informasi dari komputer target. Sayangnya, Jeffrey Deaver belum akrab dengan istilah virus komputer pada zaman itu dan dia lebih milih menggunakan kata bot atau daemon untuk bicara tentang virus komputer.

Dan tentang Phate sang sociopath, untuk saya tidak ada yang signifikan dengan aksinya. Tidak seperti Live Free or Die Hard yang ingin melumpuhkan sebuah negara dengan manipulasi IT. Tidak pula seperti Digital Fortress yang mengambil tema grande tentang NSA ataupun Girl with Dragon Tatoo yang mengambil tema spionase dan hacking-hackingan.

Di Blue Nowhere, sang penjahat hanya terobsesi pada dirinya sendiri dan aksi pembunuhan berantainya. Tak lebih dari itu. 

Namun, Deaver membuatnya dengan sangat serius. Dia sangat serius dengan ceramahnya (meski sudah out of date) tentang masalah keamanan informasi. Layaknya Dan Brown di Lost Symbol, Deaver juga sangat menegaskan bahwa INFORMASI adalah SENJATA, dengan keahlian mencari dan menemukan informasi di internet, kita bukan hanya bisa menemukan orang, namun juga rahasia-rahasia, bahkan bisa membuat orang menjadi susah dengan memanipulasi data-data rekening bank, kependudukan, dan social security lainnya.

Seperti Light Yagami yang bertarung secara intelektual melawan L. Lawliet, itupula yang terjadi pada Wyatt Gillete versus Phate si Sociopath.

Alur cerita yang penuh dengan plot twist terus berjalan, untuk menemukan di mana keberadaan Phate yang sesungguhnya, sang hacker mesti meretas data-data terenskripsi yang melintas di internet.  Dia menggunakan metode yang pada saat itu di larang oleh pemerintah. Hal ini memang aneh, saya sendiri tidak pernah mendengar ada hukum pidana yang mengatur masalah pemecahan algorimta. Seperti dilemma dalam film Hollywood, dia melakukan pelanggaran untuk menemukan sang penjahat. Dan tentu saja mengorbankan apapun yang dia miliki demi menegakan keadilan.

.  .  .

Konklusi

Novel ini saya kasih point 69 skala 100 karena aksi hacking-hackingan nya cukup menghibur dan gak kalah dari Digital Fotress.


Wednesday, April 1, 2015

Devil Teardrop (1999)

Review by Ftrohx


Secara keseluruhan gesture, gaya dan perilaku, karakternya tetap sama atau boleh saya bilang Parker Kincaid adalah Lincoln Rhyme versi Washington DC.

Buku ini 'Devil Teardrop' sudah lama ada di rak buku saya, dan saya juga sudah lama tidak membacanya, sampai kemarin saya butuh referensi untuk sebuah projek yang membuat saya kembali membuka buku ini.




Singkat cerita 'Devil Teardrop' terinspirasi dari kasus penculikan Lindenberg yang terkenal itu dan kasus The Dancing Men dari Sherlock Holmes plus buku analisa dokumen karya Albert S. Osborn.

Skema-nya, bagaimana jika ada seorang detektif yang memecahkan kasus dengan menganalisa tulisan surat ancaman anonim dari seorang penjahat. Itulah dia, penyelidik swasta Parker Kincaid (OK, penamaan tokoh utamanya memang rada ancur,) saya sendiri selalu salah merapalkannya dengan nama Peter Kincaid. Iya, nama yang kurang greget dan itulah yang menurut saya membuat novel ini kurang nge-hits.

Tapi bukan itu saja kesalahannya, nama asisten-nya lebih tidak cukup menjual yaitu Margaret Lukas (Ok, nama ini banyak dikritik di goodreads) atau mereka sering menyebutnya dengan kata 'Lukas' yang seperti kita tahu kebanyakan nama Lukas adalah untuk karakter cowok, meski memang banyak penulis yang menggunakan nama cowok untuk asisten detektif cewek. Tapi di sini, ide cukup buruk untuk menurunkan omset penjualan. Beda dengan novel Jeffrey Deaver yang lain yaitu Bone Collector dan The Cold Moon dengan sang detektif Lincoln Rhyme dan asisten detektif Amelia Sachs. Dua nama itu jelas jauh lebih menjual.


Ok, meski penamaan karakternya cukup buruk, tapi JALAN CERITA-nya BEUH lewat Cuckoo's Calling J K Rowling.

Kisah terjadi di akhir bulan Desember thn 1999 atau mereka menyebutnya detik-detik menjelang pergantian Millenium.

Sebuah surat berisi teror yang datang ke meja kerja walikota Washington D C. Ancaman bahwa jika mereka tidak memberi uang sebesar 20 juta dollar pada si pengirim surat anonim maka dia akan membunuh banyak orang di kota tersebut. Dan saat surat ancaman itu berada di tangan walikota, 20an warga sipil telah tewas oleh penembak misterius di station kereta bawah tanah.

Ini adalah Washington D C Ibukota bagi dunia politik dan pemerintahan Amerika, jika sesuatu hal yang buruk terjadi di sini, apa kata dunia. Karena itu dengan sangat terpaksa walikota mengumpulkan dana 20 juta dollar untuk membayar tuntutan dari sang teroris. Selain itu mereka mengumpulkan tim penyelidik terbaik gabungan antara polisi lokal dengan FBI dan seorang detektif swasta atau lebih tepatnya ahli analisis dokumen Parker Kincaid dipanggil untuk memburu si penembak misterius.

Kincaid dipanggil untuk menganalisa surat ancaman tersebut. Apakah itu asli? Jika asli pertanyaannya darimana sumbernya? Dan seperti wujud dari orang yang menulis ancaman ini?

Seperti detektif-detektif KEREN lainnya, pada awalnya Kincaid menolak, dia bahkan mengajukan nama lain yang katanya lebih jago daripada dirinya dalam menganalisa dokumen. Namun karena terus dan terus dibujuk akhirnya dia memutuskan untuk ikut dalam tim.

Satu hal yang menarik dari Kincaid adalah prinsip dan metode-nya. Dia tidak seperti detektif-detektif lain yang percaya dengan Graphology atau ilmu menganalisa karakter orang dari hanya melihat tanda tangannya. Menurut Kincaid, ilmu Graphology sama mistis dengan permainan kartu tarot, dan Graphology tidak efektif dalam memecahkan kasus kriminal yang nyata.  Di sini arogansi Kincaid persis sama dengan Lincoln Rhyme yang benci terhadap analisa behaviorist. Namun seperti juga Lincoln Rhyme di saat-saat terdesak Kincaid juga melakukan apa yang dia larang sendiri.

Seperti halnya novel-novel Jeffrey Deaver yang lain, di bagian awal Kincaid terlihat sangat profesional dalam bidangnya, dia benar-benar memamerkan pengetahuannya dalam menganalisa dokumen dan tulisan. Dengan deduksi panjang, sambil menggunakan kaca pembesar seperti Sherlock Holmes akhir Kincaid menemukan satu petunjuk, satu titik yang sangat langka ada, pada dokumen-dokumen dan kasus-kasus yang pernah dia tangani. Satu titik yaitu DEVIL TEARDROP yang menjadi judul bagi novel ini.

Dari satu titik petualangan berlanjut ke tempat-tempat yang lain. Namun sangat disayangkan, petunjuk dan teka-teki yang ditinggalkan oleh si pelaku hanya satu surat itu saja. Ini membuat lingkup penyelidikan dan analisa menjadi terbatas hanya pada surat itu saja, namun yang luar biasa dari Jeffrey Deaver dia bisa membuat hal yang sangat terbatas itu menjadi 100ribu kata.

Sedangkan tentang penjahat, mereka menyebutnya The Digger yang berasal dari kata Gravedigger atau tukang gali kuburan. Dia adalah penembak misterius dengan senapan semi-otomatif berperedam. Dia datang dan pergi seperti hantu, tidak terlihat dan disadari oleh orang-orang. Seperti Bunglon dia bisa menyamar di keramaian. Dan bodohnya para penyelidik ini memaksakan diri menganalisa "surat ancaman" daripada menganalisa rekaman CCTV atau mungkin karena itu adalah thn 1999 jadi CCTV belum beredar di tempat-tempat umum. Dan The Digger itu tidak sendirian, ada orang lain di belakang, seseorang dibalik layar menjadi dalangnya bernama Edward Fielding, seorang sociopath yang terobsesi menciptakan kejahatan yang sempurna.

Ok, ide tentang kejahatan yang sempurna-nya benar-benar keren (terutama pada zamannya.) Sang penjahat membuat skema pencuri sekaligus aksi terorisme yang brutal yang menghabisi warga sipil dan membobol markas besar FBI. Sayangnya, meski idenya cukup grande, tapi masih ada beberapa mis -dalam novel ini. Terutama tentang plot twist-nya.

Ide tentang penjahat utama Len Hardy yang merupakan anggota tim penyelidik kasus MetShoot memang sangat keren. Namun kurang sekali petunjuk yang menunjukan bahwa Len Hardy adalah Edward Fielding. Saya agak kesal dengan pernyataan Parker Kincaid di bagian akhir, bahwa sejak awal sebenarnya dia curiga dengan tangan Len Hardy yang bergetar saat menulis apa yang dia diktekan. Tapi saat saya baca ulang bab-bab awal, saya tidak dapat menemukan apa dimaksud Kincaid tentang kecurigaan itu. Seolah-olah gagasan 'Tremble' atau gemetaran saat menulis muncul begitu saja di bagian akhir.

Oh iya, satu hal lagi, yang membedakan novel ini dengan novel Jeffrey Deaver lainnya adalah 3 bab full adegan kejar-kejaran dan tembak-tembakan ala film Hollywood. Ini sesuatu yang jarang dari Deaver, karena itu buku ini saya rekomendasikan untuk teman-teman yang ingin bikin action thriller.

.  .  .

Konklusi

Secara keseluruhan novel ini keren, saya kasih point 75 skala 100.

Meski jalannya berliku-liku tapi analisa-nya BEUH anda mesti baca.