Tuesday, July 31, 2018

Endorsement Novel 1301

Naga, Koi, & Air Terjun




Ppenulis: Fitrah Tanzil, Putra Perdana, Jeni Suhadi.
Ilustrasi oleh Muhamad Ozat dan editor Chris Ichi Kudo.



Sinopsis

Tepat pukul 13.01 ledakan besar terjadi di Bundaran HI. Titik pusat Ibukota yang mempertemukan tiga orang yang terpaut takdir. Erlangga si pemuda jenius yang ingin
mengubah Indonesia, Fachrie si penulis cerita detektif yang mencoba menjadi pahlawan, dan Rania si agen rahasia dengan konflik pribadi versus negara. 


Mereka jatuh dalam pusaran peristiwa berbahaya. Saling bersilang, bertarung demi impian dan cinta.



Endorsement


“Membaca ini saya seperti menonton ide-ide yang tertuang dalam serial action Jepang. Hanya saja di sini, kita akan menemukan setting negeri Sakura itu beralih ke Indonesia. Ceritanya cukup asik untuk meramaikan khazanah pernovelan bernuansa kejahatan lainnya.” – Ayu Welirang, juara GWP generasi dua & penulis novel 7 Divisi.

“Dituturkan dengan sangat baik dari berbagai sudut pandang. Membuat novel ini patut dinikmati oleh para pecinta aksi-aksi spionase.” – Finn R, penulis novel Pendosa Suci & Subliminal Assassin.


“Sebuah novel thriller lokal yang terhebat yang pernah saya baca. Plot yang tak biasa, para tokoh yang kompleks, dan ending yang tak terduga. Membuat buku ini top list novel thriller yang harus Anda miliki.” – Agung Al Badamy, penulis novel Detective Chilock: Study in Mikrolet.

Monday, July 9, 2018

Kasus Manusia Ruko (part 2)

Oleh Fitrah Tanzil


“Sialnya mereka semua punya alibi, mereka mengaku berada di tempat lain pada tanggal lima dan enam pagi,” ujarku ke Farhan saat kami sudah sampai di rumah.

“Masalah lainnya adalah nggak ada saksi,” ucap Farhan.

“Iya, lo benar, sialnya juga nggak ada saksimata. Kejadiannya lewat tengah malam dan siapa pun bisa berada di sana. Terus lagi, mayat si Dave sudah busuk setelah 5 hari dan jelas itu masalah yang sangat menyusahkan para penyelidik. Mereka sekarang sudah berpikir gak penting lagi apakah Dave meninggal dibunuh orang atau karena kecelakaan jatuh di tangga rukonya sendiri.”

“Dan lo masih bermain-main sebagai seorang detektif?”

“Itu masalahnya gue ingin menuntaskan ini.”

“Kalau begitu lo mesti melakukan pendekatan yang berbeda.”

“Itu juga yang gue pikirin.”

“Bagaimana dengan senjata si pembunuh?” tanya Farhan. “Menurut cerita polisi ada luka di kepala korban.”

Aku membelalak. “Iya, elo benar, Han. Nyaris saja gue lupa memikirkan hal itu. Dan hal-hal lainnya juga pastinya ada sesuatu yang tertinggal di sana. Sesuatu yang bahkan polisi tidak melihatnya.”

Farhan memutar bola matanya. Dia ingin mengutarakan sesuatu. Namun dengan cepat aku memotongnya.

“Kita harus kembali ke sana Han, ke ruko itu.”

“Apa lo gila?” dia menaikan dahi. “Tempat itukan sudah disegel polisi.”

“Iya, karena itu kita harus menyusup diam-diam ke sana.”


Keesokan paginya sehabis subuh kami langsung berangkat ke ruko. Pagi adalah saat-saat yang paling tepat untuk berada di sana. Para tetangga ruko ini masih pada tidur dan setidaknya saat pagi tempat ini tidak begitu menyeramkan. Hah, mungkin aku terlalu percaya mitos.

Jam setengah enam pagi kami sudah sampai di sana. Tentu pintu depan dan belakang di kunci. Dan satu-satunya cara untuk masuk adalah melalui jendela yang terdapat di belakang. Bagian ini agak menyusahkan karena aku harus memanjat seperti maling. Sangat sulit melewati bagian belakang jadi kami mencari cara lain untuk naik ke sana yaitu melalui pipa di bagian paling ujung jajaran ruko. Kami lalu naik ke atap dan turun di bagian belakang ruko Dave dengan tali seadanya. Pinggiran jendela kucongkel dan tepat saja terbuka. Kami pun masuk ke sana.

Seharusnya ada cara lain yang lebih mudah untuk keluar masuk dari ruko daripada melalui jendela belakang ini. Mataku berputar dan melihat lubang di atas langit-langit itu. Dari lantai ke sana tingginya sekitar 2,5 meter. Aku sering melihat lubang yang kupikir cukup untuk orang bertubuh langsing tersebut. Namun aku tidak pernah tahu dimana ujungnya sehingga tadi kami berada di atas atap. Aku ingat ada pintu besi kecil. Mataku menyapu dinding dan sekitar pinggiran lubang.

“Nanti kita coba lewat situ,” tunjukku.

“Gila lo, itu lebih susah,”

“Tapi paling mungkin pelaku lewat situ.”

Mata Firman membelalak. “Tapi lo mesti jadi Jackie Chan untuk melompat dari sudut-sudut dinding supaya bisa sampai di lubang atap itu.”

Aku tersenyum. “Jika lo sering berlatih gimnastik pasti akan mudah.”

“Sial, lo memang detektif amatir yang songong Rie,” ujarnya.

Aku pun hanya tertawa. Tapi aku teringat akan sesuatu. Hal itulah yang membuatku mengurungkan untuk memanjat untuk menggapai lubang itu.

Selanjutnya mataku kembali berkeliling ruangan. Hanya sedikit barang-barang yang tersisa membuat seolah ruangan ini jauh lebih luas dari yang kukenal.

Dahulu di pojok kiri sana dekat jendela depan ada tumpukan kardus yang menggunung, sekarang tidak ada. Mungkin dibersihkan oleh para polisi atau petugas yang datang ke sini sebelumnya. Lalu televisi 42 inci yang ada di atas kabinet tengah sekarang sudah tidak ada. Mungkin dibawa pulang oleh istrinya atau mungkin saudaranya. Begitupula dengan kotak-kotak DVD yang biasanya berserakan di tengah sekarang tidak ada. Kecuali mesin-mesin DVD-nya dibiarkan tetap pada posisinya. Mesin-mesin itu cukup berat pastinya mereka tidak mau repot untuk memindahkannya.

Menuruni tangga, sekilas aku seolah melihat mayat Dave yang tergeletak di sini. Aku melompati bayangan itu dan sampai ke lantai bawah. Tepat seperti di lantai atas. Sudah banyak barang yang dikeluarkan. Dahulu ada dua bangku panjang di sini yang sering menghalangi jalanku. Namun sudah tidak ada. Yang tersisa hanya meja kabinet besar.

Mataku memindai seluruh ruangan. Mencari sesuatu yang harusnya ada namun tidak ada. Sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Sesuatu yang ditinggalkan oleh pelaku atau sesuatu yang tidak wajar yang harusnya tidak pada tempatnya.  Namun di bawah sini aku tidak menemukan satu pun hal yang janggal dan menarik.

Setengah jam berlalu, kami pun memutuskan kembali naik ke lantai dua. Aku membayangkan senjata pembunuh korban adalah sebuah benda tumpul. Benda itu dihantamkan ke kepala Dave dari belakang. Kemudian dia jatuh terguling-guling hingga sampai anak tangga yang menyilang di pintu belakang. Jasadnya kemudian dimakan waktu hingga mengembung dan membusuk.

Mataku berputar ke seluruh ruangan. Lalu kembali membayangkannya. Sekelebat aku teringat dengan cerita Sheila tentang Nita yang sempat dicabuli oleh Dave. Jangan-jangan benda yang sama juga digunakan oleh sang pelaku. Benda tumpul itu adalah rak kotak DVD. Dengan lapisan besi beratnya sekitar 1,5 kilogram. Jika dihantamkan ke kepala, rak kotak itu cukup untuk membuatmu mengeluarkan banyak darah. Memang tidak cukup untuk membunuh, namun cukup memberikan luka yang membekas. Dan jika hantaman itu membuat korban terguling di tangga, lalu kepala berada di posisi kinetik yang tepat maka itu cukup untuk membunuh dengan trauma leher patah yang mematikan.

Namun yang jadi pertanyaannya dimana benda pembawa maut itu berada sekarang? Jika si pelaku cukup pintar, pastinya dia telah membuangnya jauh-jauh dari tempat ini. Mungkin di empang atau pun sungai yang dalam. Tapi jika dia cukup licik bisa jadi dia menyisipkan benda pembunuhan itu diantara rak kotak DVD lainnya setelah dia bersihkan cipratan darahnya mengingat pelaku sudah membersihkan semua bekas-bekas terjadi pembunuhan.

“Polisi sudah memeriksa semuanya, dan nggak mungkin ada sesuatu yang baru yang akan muncul di sini,” ucap Farhan kembali mengingatkanku.

“Iya, lo benar, tapi pasti ada sesuatu yang terlewatkan oleh mereka.”

“Tapi barang-barang itu gak ada di sini Rie, pelakunya sudah melenyapkan ponsel dan laptop si Dave. Nggak ada yang tersisa.”

Mataku membulat. Aku melihat sebuah sobekan kertas kuning di atas tumpukan DVD di bawah meja kabinet. Jariku pun mengambilnya.

“Dave memang mencatat semua transaksinya di laptop dan ponsel, tapi untuk deadline selalu dia tulis di atas kertas yang dia taruh di tumpukan DVD.”

Dari sini harapan itu muncul. Aku pun langsung menelpon seorang rekanan, pihak ketiga yang biasa mencetak amplop dan label DVD untuk Dave. Aku bertanya tentang tanggal itu dan dia pun membenarkan bahwa ada deadline 2000 keping DVD pada malam itu.

“2000 keping itu cukup berat. Bukannya dia sendirian di sini?” tanyaku.

“Iya, dia sendiri, tapi katanya dia minta bantuan tetangga ruko itu,” ucapnya.

Aku berpikir kira-kira tetangga siapa yang bersedia mintai bantuan. Namun hal itu tidak mungkin, sebab mereka selalu tidak mau mengerjakan tugas dari Dave lebih dari jam sepuluh malam. Karena itu konklusiku mengarah pada nama yang lain. Seseorang yang Dave sangat kenal dan bisa membantunya, yang ada di dekat sini. Seseorang yang bisa dia paksa dengan iming-iming kerja lembur dan upah dua kali lipat.

“Rasanya tinggal selangkah lagi kita pada tersangka utama.”

“Lo sudah punya namanya?” tanya Farhan.

Aku bergeming. “Kita punya satu saksi terakhir yang harus kita periksa.”

Kali ini yang kukunjungi adalah Resti. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari sini yang hanya berjarak lima gang dari ruko tersebut. Resti memang tidak secantik Sheila dan Nita. Tapi ia punya pesona sendiri. Dia di sini tinggal bersama dengan kakaknya yang bekerja di gudang kain di Cipadu.

Pintu rumah kontrakan itu kuketuk. Namun yang justru keluar adalah kakaknya, Reni.

“Restinya sedang pergi ke Serang, memangnya ada apa ya?” ujar kakaknya.

“Kami sebenarnya ingin bertanya beberapa hal, terutama tentang kematian Dave.”

“Dave? Dave si Manusia Ruko?”

Aku tersenyum tak menyangka julukan itu sudah tersebar kemana-mana. “Iya, Dave yang itu.”

Wanita itu menaikkan alis. “Bagaimana bisa?” tanyanya.

Aku pun menjelaskan panjang seperti yang sudah-sudah. Bagaimana mayat Dave yang sudah membusuk ditemukan hingga bagaimana kami para mantan karyawan Dave ditarik ke kantor polisi dan diinterogasi. Hingga bicara tentang tiga nama yang mantan karyawan Dave yang tidak diperiksa oleh polisi yaitu Sheila, Nita, dan Resti.

“Resti, sudah keluar setahun yang lalu. Jadi nggak mungkin dia kembali ke sana,” kali ini nada bicara wanita itu berubah keras. Dia sangat tidak senang adiknya dituduh punya kaitan dengan kematian Dave. “Lagipula, dua minggu ini Resti berada di Serang, jadi gak mungkin dia tiba-tiba muncul di Ruko,” lanjutnya.

“Iya, saya paham Mbak,” ucapku. “Tapi kami hanya ingin mencari informasi yang mungkin bisa menjadi petunjuk tentang kematian Dave.”

“Masalahnya, Resti tidak tahu apa-apa tentang Dave,” ujarnya sambil berjalan masuk ke pintu.

Namun aku berusaha mencegahnya. “Izinkan kami bicara dengan Resti.”

“Izin bagaimana? Resti nggak ada di sini!”

“Kalau begitu saya bisa minta nomor telepon atau alamatnya di sana?” pintaku dengan memohon.

Wajahnya tetap keras. “Tidak bisa!”

Lalu dia menutup pintunya. Membiarkan kami hanya berdiri di luar.

Wanita itu terlalu angkuh. Aku punya banyak cara untuk menemukan Resti. Aku punya beberapa teman di Serang. Dan aku juga bisa melakukan cross-check informasi dengan teman-teman yang ada di sini untuk menemukannya.

Di sini, bisa dipastikan bahwa solusinya menuju pada satu titik kesimpulan. Sebenarnya, kasus ini simpel. Namun ada orang yang membuat kasus pembunuhan dengan motif yang sederhana ini menjadi rumit. Dan aku tahu siapa yang membuatnya menjadi rumit.
.  .  .


Jam terus berdetak dan matahari pun mulai tenggelam di barat. Beberapa nama yang kukenal sudah kutelepon dan mereka memberi jawaban yang saling terkait dan dapat melengkapi puzzle kasus ini.

“Dia berada di sana sore sebelumnya,” ujar satu orang,

Lalu yang lain bilang. “Iya, dia bertemu dengan wanita itu, kelihatannya ada satu masalah.”

Yang lebih mencengangkan, aku mendengar kabar yang terdengar unik. Mungkin bagi polisi terdengar biasa, namun bagiku menjadi luar biasa.

“Lo percaya nggak ada motor yang usianya satu tahun tapi dijual dengan harga murah?” celoteh salah satu orang yang kutelpon untuk mencari tambahan informasi.

Malamnya, aku meminta Roy untuk mengumpulkan teman-teman mantan karyawan Dave di ruko almarhum. Tentu pada awalnya Roy menolak dengan tegas. Namun aku meyakinkan pada dia bahwa kebenaran akan terungkap dan semua akan baik-baik saja. Tujuh orang yang muncul pada malam itu adalah Andi, Sueb, Bondan, Alvin, Roy, Sheila dan Nita. Plusdua orang lagi yaitu Bu Mayang dan kakak dari Resti. Aku sendiri membawa Farhan sebagai rekan penyelidikku danempat anggota reserse yang kutelepon untuk membuka ruko tersebut.  Bagian ini agak sulit karena aku harus menghubungi AKP Tora yang menginterogasiku kemarin di Polres Tangerang Selatan. Butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka bahwa apa yang aku lakukan ini adalah sesuatu yang benar. Termasuk meminta izin untuk kembali membuka pintu ruko Dave. 

“Kenapa kita harus kembali ke sini?” ujar Alvin.

“Iya, kita sudah bicara banyak di Polres kemarin,” sahut Sueb.

 “Dave memang layak untuk mendapatkan itu,” celoteh Sheila menggerutu.

“Dia tewas di tangga bukan, bisa jadi kematiannya memang sebab alami,” ujar Bondan.

Mereka semua saling bicara, sahut-menyahut.

“Waktu kalian cuma sebentar di sini,” ujar polisi berpakaian preman ke arahku. “Langsung saja, jelaskan apa yang kamu temukan?”

Mataku berkeliling ke mereka lalu aku menunjuk sudut-sudut ruangan. “Masalah utamanya adalah tidak ada kamera CCTV di sini.Karena itu tidak ada saksi mata yang bisa kita andalkan,” lanjutku sambil berjalan ke pintu depan. “Tapi kita punya satu saksi yang bisa menjadi kunci di sini.”

“Maksud lo?” tanya Sheila.

“Saksi ini dia tidak melihat langsung siapa si pelaku, namun dia melihat satu petunjuk penting yang bisa mengarahkan kita pada penjahat sebenarnya,” aku mencoba berteatrikal. “Dia tak lain adalah Bu Mayang.”

Orang yang kutunjuk langsung membelalak. “Tapi saya kan cuma…”

“Sssttt…” aku memotongnya. “Anda punya cerita lain yang tidak anda sampaikan ke polisi, betul bukan?”

Tangannya bergetar menahan takut.

“Tapi sebelum ke Bu Mayang ada satu petunjuk penting yang ingin kusampaikan. Satu bukti tepatnya yang bahkan terlewatkan oleh polisi.”

“Nggak mungkin,” ucap Andi.

Mata itu membulat. Sekarang saatnya senjata itu kukeluarkan. “Kertas ini kalian mengenalinya bukan,” tanganku menaikkan kertas berwarna kuning. “Biasanya Dave menulis catatan deadline-nya di sini.”

“Gue masih nggak ngerti? Maksud lo apa?”

Jariku pun menunjuk tanggalnya. “Lo lihat ini, di sini tertulis deadline pagi tanggal enam, dan kematian Dave tanggal lima tengah malam. Malam yang sama dimana harusnya dia mengejar deadline pekerjaan ini.” Aku berjalan ke tengah-tengah mereka. “Kalian pasti hafal kelakuannya, dia selalu memaksakan diri tiap kali dapat pekerjaan baru apalagi yang dadakan. Pekerjaan yang butuh waktu dua hari dia bilang bisa diselesaikan dalam waktu satu hari. Dan malam itu pastinya dia bekerja gila-gilaan. Ribuan keping mesti di-burning dan diamplopkan. Tentu saja, Dave tidak bisa mengerjakannya sendiri. Karena itu dia pasti meminta bantuan satu atau dua orang, terutama dari mantan karyawannya yang sudah berpengalaman. Seseorang yang bisa diandalkan yang dapat bekerja dengan rapi. Dari sini semua merunut pada satu fakta bahwa tamu yang datang malam itu tidak lain adalah mantan karyawannya Dave.”

Mereka membelalak. 

“Kurang ajar! Elo kembali menunduh seperti itu,” teriak Bondan.

“Ini bukan tuduhan, ini pembuktian. Penjahat ini adalah eks-karyawan Dave yang paling banyak membagi informasi kepada para polisi.” Aku memandangi mereka. Mataku terhenti di Reni, kakak dari Resti.

“Dan dia tidak lain adalah Resti.” Kini mataku beralih ke arah Roy. “Bukan begitu, Roy?”

Pemuda kurus itu terkejut. “Sialan! Lo berani nuduh sembarangan!” teriak Roy.

“Itu tidak mungkin. Adikku tak mungkin membunuh,” teriak Reni dengan galak. “Dan apa hubungannya dengan Roy?”

“Sebentar. Gue bukan asal nuduh. Seperti yang gue bilang sebelumnya, ada saksi kunci dia tidak lain adalah Bu Mayang.”

“Tapi dia tidak melihat siapa pun bukan?” kata Farhan.

“Dia memang tidak melihat wajah dari para tamu yang datang ke ruko, tapi dia melihat sesuatu yang lain, satu petunjuk yang sangat penting. Bukan begitu Bu Mayang?” tatapku.

Bu Mayang pun mengangguk. “Iya, saya memang tidak melihat siapa tamu yang datang ke sana. Namun saya melihat hal yang lain. Hampir tiap malam Dave selalu berisik, namun malam itu entah kenapa saya sangat penasaran. Lalu sekitar tengah malam, saya melihat motor yang terparkir di depan. Saya mengintipnya dan melihat seorang wanita yang membawanya pergi. Saya tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi saya mengenali motor tersebut. Entah apa ingatan saya salah tapi saya merasa motor matic warna merah itu persis sama dengan motor matic yang sering dibawa Roy ke sini.”

Kali ini si pemuda kurus itu bukan hanya tercengang, tubuhnya juga nyaris jatuh ke belakang.

“Tapi bisa jadi itu motor yang lain bukan,” ujar Bondan. “Kan banyak motor matic warna merah seperti itu?”

 “Tentu saja banyak, tapi apa mungkin sebuah kebetulan jika motor yang baru berumur satu tahun itu tiba-tiba saja dijual cepat dengan harga murah dua hari setelah mayat Dave ditemukan membusuk di ruko.”

Mereka menaikan alis.

“Anggaplah itu memang motornya,” ujar Sheila. “Tapi nggak ada saksimata yang melihat Roy benar-benar berada di sana bukan?”

“Memang benar tidak ada yang melihat Roy berada di sana, kecuali wanita yang membawa motor itu pergi, dan wanita itu tidak lain adalah Resti. Betul bukan Roy?”

“Nggak dia nggak ada di sana,” teriak Roy.

“Iya, karena Bu Mayang si saksi kunci tidak melihat wajahnya jadi lo bisa bilang begitu. Tapi Resti adalah adalah orang yang memiliki motif yang paling personal untuk membunuh Dave. Karena setelah gue selidiki lebih lanjut, ini sebenarnya perkara yang buruk. Gue menghubungi seorang teman di Serang untuk menyelidikinya dan hasilnya mengejutkan. Bahwa ternyata Resti hamil di luar nikah oleh pacarnya, dan si pacar ini tidak mau bertanggung jawab. Ok, kita tahu bahwa Dave terkadang menjadi sangat bodoh terhadap wanita, dia punya nafsu tinggi dan kadang bertindak amoral. Dan fakta-fakta ini mengerucut pada satu hal, dugaanku orang yang menghamili Resti tidak lain adalah Dave.”

“Ini hipotesaku. Pada malam itu Resti muncul di Ruko di saat Dave sedang pusing-pusingnya dengan deadline mengerjakansemua DVD tersebut. Resti datang dan meminta pertanggungjawaban tapi Dave menolaknya dengan alasan dia sudah menikah dan punya anak. Di sini terjadi pertengkaran hebat diantara mereka, pertengkaran yang samar-samar terdengar dibalik kebisingan suara musik yang disetel Dave. Resti terus menangis, namun Dave tidak menggubris hingga kemudian pada satu kesempatan di saat Dave sedang berjalan ke tangga, Resti menghantamkan DVD player berlapis besi itu ke belakang kepala Dave. Si lelaki itu jatuh berguling-guling ke bawah tangga. Lebih buruk lagi posisi jatuhnya yang terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas membuat beban yang sangat berat di lehernya, seketika itu juga lehernya patah dan menjadi penyebab utama kematiannya.”

“Ini omong kosong,” teriak Roy.

“Tapi bagaimana mungkin ruko ini bisa terkunci dari dalam? Bagaimana Resti melakukannya?” tanya Bondan.

Aku kembali tersenyum. “Ini dia yang ingin kubahas sedari tadi. Gara-gara rukonya terkunci kasus ini menjadi sangat pelik. Ok, kematian di ruang terkunci biasanya disebabkan oleh si korban sendiri, seperti bunuh diri atau pun kecelakaan tunggal. Tapi bisa juga kasus kematian di ruang terkunci dibuat sebagai trik pembunuh untuk menyamarkan aksi pembunuhannya. Dan itulah yang terjadi di sini. Resti membuat Dave tewas namun bagaimana dia bisa menyamarkan aksi pembunuhannya tersebut sementara kondisinya sedang terguncang karena habis membunuh korban?”

Semua saling pandang satu sama lain.

“Beruntungnya, di sana muncul Roy. Ia bisa saja melaporkan Resti ke polisi, namun ia tidak melakukan itu. Sebaliknya ia membantu si wanita untuk menyamarkan pembunuhan Dave. Roy menyuruh Resti untuk langsung pulang menggunakan motor maticnya yang terparkir di depan. Di sini seperti yang kita tahu, Bu Mayang sempat melihat si wanita yang keluar dari ruko malam itu. Memang wajahnya tidak kentara tapi Bu Mayang jelas mengenali motor siapa yang dibawanya itu, yang tidak lain adalah milik Roy. Bu Mayang mencoba menutupi bahwa dia mengenal motor itu karena ia tidak ingin Roy yang dianggap pria baik-baik tersangkut dengan kasus ini.”

Mata mereka menatap ke pemuda kurus itu, layaknya juri yang menghakimi terdakwa di ruang sidang.

“Sedangkan di dalam,” lanjutku. “Roy sendiri membersihkan TKP. Dia menghapus sidik-sidik jari Resti yang terpencar dimana-mana. Dia juga membereskan barang-barang milik Resti yang tertinggal di sana, termasuk membereskan ponsel dan laptop milik Dave. Roy paham untuk lolos dari jerat hukum dia harus membuat semua petunjuk yang terkait dengan malam itu menghilang seluruhnya, termasuk kontak-kontak Dave dengan orang-orang yang ada pada hari itu serta membersihkan darah dari senjata yang digunakan untuk membunuh.”

“Kemudian bagian yang paling penting, membuat ruangan itu terkunci dari dalam. Roy pasti berpikir keras untuk perkara yang satu ini. Bagaimana caranya dia bisa keluar dan menghilang darisana tanpa dilihat orang dan tanpa ada jejak yang bisa ditemukan oleh polisi. Bertahan lama di lantai dua, Roy melihat ke atas. Ada lubang sempit di langit-langit. Jarak dari lantai ke langit-langit memang sangat tinggi. Roy pernah bilang kalau iajuga pernah kerja di bangunan. Pasti hal ini tidak akan sulit bagi orang yang pernah kerja di bangunan sepertimu.”

Mereka kembali terdiam dengan pandangan terpaku ke arahku.

“Setelah menelusuri loteng ia menemukan jalan keluar menuju atap ruko. Dari sini kita semua tahu kemana arah dia selanjutnya. Lalu setelah jauh dan merasa aman, Roy membuang semua benda yang terkait dengan Dave. Ponsel, laptop, buku dan seterusnya. Sehingga tak ada bukti fisik yang mengaitkan dirinya dengan Dave atau pun si Resti, termasuk motor yang dijual murah. Bukan begitu Roy?”

Roy tertunduk kaku, namun tak lama dia mengangkat kepalanya. “Omong kosong, lo menuduh gue tanpa bukti atau pun saksi,” teriaknya dengan wajah yang sangat marah.

Tentu saja sampai di sini semua orang masih tidak percaya.

“Siapa bilang tidak ada bukti? Cara lo meloloskan diri memang sangat-sangat hebat, namun ada yang lo lupa atau lebih tepatnya terlalu percaya diri. Saat memeriksa lantai duaini, gue mencoba untuk naik ke atas melalui lubang yang lo panjat dan menelusuri lorong loteng yang sempit itu. Namun gue mengurungkannya.Tahu kenapa? Karena jika gue ke atas sana sama saja gue mengkontaminasi bukti yang sudah ada.”

Paparanku membuat matanya membelalak.

“Nggak mungkin ada bukti disitu. Gue pakai sarung tangan saat keluar dari situ, tidak mungkin….”kata-kata Roy mendadak berhenti. Itulah momen yang kutunggu. Skak Mat.

“Apa yang lo bilang?Keluar dari situ? Jadi benar, lo memang pelakunya Roy.” ujarku.

Si pemuda kurus ini pun melangkah mundur dan terduduk di belakang. Ia tidak sadar telah membuat dirinya mengakui perbuatannya.

“Ada satulagi yang lo salah duga. Bukti fisik bukan cuma sidik jari, jejak dan ukuran telapak tangan. Tapi serat dari pakaian yang lo kenakan pada saat itujuga bisa menjadi bukti fisik yang penting. Seperti celana jeans lo, dia bergesekan dengan dinding lorong yang sempit itu. Lo membawa jejak mikro dari atas sana. Begitu pula sebaliknya, tempat itu juga  mengambil jejak mikro dari diri lo. Dan itu jelas sebuah bukti yang tak terelakkan. Seandainya Polisi memeriksa lubang itu dan pakaian lo, pasti itu cukup jadi bukti fisik. Ditambah lagi dengan senjata pembunuh yang tersembunyi di antara rak DVD itu bisa diperiksa reaksi luminolnya meski lo sudah menghapus darah korban.”

Roy pun menunduk dan keadaan ruko menjadi hening.Hingga kemudian dia berkata pelan.

“Bebaskan Resti, gue lah pelaku pembunuhan Dave yang sebenarnya. Gue yang menghabisi Dave di bawah tangga, kemudian membersihkan jejak sidik jari serta menghilangkan laptop dan ponsel-nya. Resti tidak ada sangkut pautnya, gue lah yang bersalah.”

Sebelum perkataannya selesai, polisi itu sudah menarik tangannya. “Semua kamu jelaskan di kantor saja.”
.  .  .


Sore itu mereka membawa Roy dan tak lama Resti pun ditemukan. Dia tidak kemana-mana, dia sebenarnya berlindung di rumah kakaknya sendiri.

Di interogasi selanjutnya, Resti pun mengaku bahwa dia yang memukul Dave hingga jatuh terguling-guling ke bawah tangga. Saat itu dia sedang sangat emosinal dan dia sendiri tidak mengerti kenapa dia bertindak seperti itu. Tapi apa yang tidak diketahui Resti adalah Dave tidak langsung tewas pada saat itu. Butuh waktu puluhan menit sebelum si manusia ruko itu benar-benar meninggal. Malam itu sebenarnya Dave masih bisa ditolong, namun karena dendam dan kebencian Roy membiarkan si mantan boss sekarat di sana hingga menghembuskan napas terakhir.

Saat ini berkas perkara Roy sedang disusun oleh Kejaksaan, kemungkinan besar minggu depan kasusnya akan disidangkan. Sementara Resti masih dalam proses entah mungkin lebih lama daripada Roy.

Sore ini aku mengunjungi makam Dave, entah aku tidak tahu harus berdoa apa untuknya. Mungkin aku hanya ingin sekedar mengenangnya sebagai seorang teman SMA, sahabat yang pernah membantuku dikala susah. Semoga dia mendapat sesuatu yang baik di sana, atau setidaknya dia tidak berbuat ulah lagi.[]

***


Nb: Tulisan ini ditulis di tahun 2016, sebelumnya telah tayang di antologi Detectives ID (2017).
Tertanda Fitrah Tanzil.

Kasus Manusia Ruko (Part 1)

Oleh Fitrah Tanzil


Saat itu pukul sembilan lewat tiga puluh menit pagi ketika mereka menjemputku. Aku baru tidur dua jam karena shift malam yang kuambil. Aku bahkan masih setengah sadar ketika sampai di Polres Tangerang Selatan. Selama perjalanan mereka tidak bilang apa-apa tentang kasusku. Hingga aku berada di ruang interogasi, mereka baru mengatakannya.

“Bos kamu yang bernama Dave ditemukan tewas di dalam rukonya kemarin pagi,”

“Apa? Dave?” mataku bulat terkejut.

“Kami punya banyak pertanyaan untuk Anda,” ucap si kapten polisi itu dengan wajah sangat menyebalkan.

Lalu aku pun berteriak. “Kenapa saya yang dibawa?”

“Karena anda adalah salah satu karyawan terakhir yang bekerja untuknya?”

“Tapi itu sudah tiga bulan yang lalu. Saya tidak menyentuh ruko itu lagi.”

Si Polisi menaikkan alis, dia sedikit terkejut. Lalu kuceritakan semua yang kutahu.

Dave adalah orang cerdas. Seorang introvert yang beradaptasi menjadi ekstrovert. Dave tidak menyukai orang-orang namun ia terpaksa berpura-pura menyukai banyak orang karena uang dan akan melakukan apa pun untuk menambah pundi-pundinya. Termasuk memeras keringat para anakbuahnya dan membayar seminimal mungkin untuk pekerjaan mereka.

Kegilaan Dave lainnya adalah dia seorang workaholic. Itu bagus untuk sebagian orang. Tapi untuk Dave itu sangat gila. Dave tidak mau mengerti dan tidak kenal etika dan memerintahkan karyawannya bekerja seenak perutnya. Dari pagi hingga malam hingga pagi lagi.

Dave telah menikah, lebih tepatnya menikah karena nafsu. Dia iri dengan orang-orang yang sudah menikah. Dan dia mengambil seorang wanita yang dia kenal di Facebook selama sebulan dan langsung melamarnya. Kemudian di bulan berikutnya mereka langsung menikah. Namun ujung-ujungnya dia lebih suka hidup di ruko daripada dengan keluarganya di rumah. Karena itulah ia dijuluki ‘Manusia Ruko’ oleh para karyawannya.

Kenyataannya semua orang benci Dave. Namun karena keterpaksaan ekonomi kami bekerja padanya. Satu persatu karyawannya keluar. Sedangkan aku menjadi karyawan sekaligus asisten pribadinya. Begitu banyak pekerjaan yang kukerjakan namun sialnya dengan bayaran yang begitu sedikit. Tentu saja aku sering protes dan berani untuk marah kepadanya.

Jasad Dave ditemukan oleh tetangga yang curiga karena mencium bau busuk dari dalam ruko yang sudah seminggu lebih tidak buka, padahal pintu ruko tersebut dikunci dari dalam yang harusnya ada orang yang tinggal di sana.

Lalu setelah didobrak mereka menemukan dirinya telah tewas di bawah tangga. Menurut petugas forensik, ia telah meninggal kurang lebih lima hari. Mungkin sekitar tanggal lima. Dave meninggal karena lehernya patah akibat terjatuh dari tangga. Di belakang kepalanya pun terdapat luka yang diduga dihasilkan saat Dave jatuh terguling. Awalnya polisi pun menduga dia jatuh dan meninggal secara alami di sana, mengingat semua ruangan tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Namun setelah penyelidikan lebih lanjut, di anak tangga tempat Dave terjatuh tidak ditemukan bekas apa pun yang bisa menjelaskan luka di belakang kepalanya tersebut. Selain itu, polisi menemukan hal-hal yang janggal lainnya seperti laptop dan ponsel korban yang hilang, serta keterangan saksi yang mengatakan ada seorang tamu yang datang ke ruko malam sebelumnya dan kemudian menghilang. Polisi menduga tamu terakhir yang datang ke ruko ini adalah pelaku yang menghabisi korban di dalam ruko yang kemudian kabur. Yang polisi risaukan saat ini bagaimana cara sang pelaku keluar dari tempat itu sementara ruangan terkunci dari dalam.

“Menurut pendapat kami,” lanjut sang polisi, “siapa pun tamu terakhir ini dia pastinya sangat kenal dengan Dave. Prioritas kami saat ini adalah mengumpulkan informasi dari pihak yang kenal dekat dengan korban.”

Polisi itu pun menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang didapat, aku adalah karyawan yang bekerja terakhir di ruko itu. Aku pun tidak menampik fakta itu. Tapi itu sudah tiga bulan yang lalu semenjak aku meninggalkan ruko tersebut.

“Semua orang membencinya Pak,” tegasku sekali lagi ke Polisi itu. “Dan bukan hanya saya, ada delapan orang mantan karyawannya. Lima laki-laki dan tiga perempuan. Ada lagi dua orang relasinya serta pekerja lepas yaitu dua ibu-ibu yang tinggal di dekat ruko..” Aku pun menyebut nama mereka satu persatu.

“Yang jelas Pak, ada banyak motif bagi siapa pun pembunuhnya untuk menghabisi Dave.”

Setelah lima jam dihujani pertanyaan-pertanyaan, akhirnya mereka memperbolehkanku pulang. Sesampai rumah aku pun istirahat dan menelpon Bosku di pos satpam. Bercerita tentang apa yang terjadi sekaligus meminta izin pada untuk istirahat pada hari itu. Syukurnya  Bosku yang baru ini cukup baik dan memaklumi apa yang terjadi padaku. Tentu saja setelahnya aku tetap tidak bisa tidur. Begitupula hari-hari berikutnya hingga aku memutuskan untuk kembali ke ruko.


Lima hari setelah diinterogasi, aku berada di ruko almarhum Dave.Aku ke sini bersama dengan sepupuku, Farhan, yang kebetulan adalah mantan pacar dari istri Dave. Begitu banyak hal tentang Dave yang terkait denganku.

Ruko Bulak adalah delapan jajaran ruko milik Haji Usman. Empat ruko di kanan dan empat ruko di kiri, lalu di tengahnya terdapat pintu gerbang dari besi berkarat untuk masuk ke lahan kosong di belakang ruko yang dijadikan kebun mengkudu yang tak terurus. Mungkin Haji Usman ingin mengembangkan lahan itu tapi belum ada biaya.Sedangkan Dave sendiri menyewa Ruko ke empat dari kanan, tepat berada di samping pintu gerbang berkarat.

Eksterior ruko seperti dua kotak persegi panjang yang ditumpuk. Lebarnya tiga meter dan panjangnya sembilan meter serta tinggi sekitar lima meter. Ada ruang terbuka di atapnya, namun tanpa ada tangga, jadi jika ingin naik ke sana seseorang harus menembus lorong terlebih dahulu atau memanjat pipa besi yang berada jauh di ujung kanan dan kiri jajaran ruko.

Ada dua pintu masuk ke dalam ruko, pintu masuk depan dan pintu masuk belakang. Pintu masuk depan adalah pintu kaca yang di luarnya terdapat rolling door. Sedangkan pintu belakang adalah pintu kayu biasa. Jarang ada yang lewat belakang karena bagian belakang adalah kebun yang hanya bisa diakses dari pintu gerbang di tengah kompleks ruko yang selalu dikunci.

Dave sendiri ditemukan dalam ruko yang terkunci dari dalam. Baik pintu depan mau pun belakang, semua rapat terkunci. Kunci pintu depan tentu sulit untuk dibuka karena berlapis dua sedangkan pintu belakang lebih mudah hanya satu kunci.

Aku menemui Bu Mayang, salah satu penjual soto ayam yang warungnya bersebelahan dengan ruko milik Dave sekaligus orang yang sering dimintai bantuan secara freelance oleh Dave.

“Kalau nggak salah, ada dua tamu yang malam itu muncul di sini. Mungkin mereka klien,” ucap Bu Mayang saat kutanya tentang kejadian malam itu.

Bu Mayang memang tidak melihat secara langsung para tamu itu karena ruko soto ayamnya sendiri sudah tutup. Namun pada tengah malam itu dia mendengar suara motor yang berhenti di depan ruko milik Dave.

“Antara jam dua belas malam dan jam satu pagi,” lanjutnya.

Ibu Mayang ini adalah orang baik dan sepertinya dia hanya ingin mengenang Dave di sisi baik saja. Meski dia berusaha untuk tidak tahu menahu tentang kelakuan ganjil si manusia ruko itu.

Aku menggosok dagu. “Apa Ibu yakin ada suara motor?”

“Iya saya sangat yakin, saya mendengarnya sendiri begitu juga dengan suami saya.”

“Bukannya Dave suka begadang sampai pagi, dan biasanya jika dia begadang sampai pagi dia akan menyetel musik keras-keras? Apa ibu mendengar suara musik?”

Mata Bu Mayang membelalak. Entah apa dia benar-benar terkejut ataukah ada sesuatu yang lupa dia sampaikan.

“Iya kamu benar, dia menyetel lagu keras-keras sampai jam tiga pagi, dan itu adalah lagu terakhir yang pernah kami dengar karena lima hari setelahnya tidak pernah ada lagi lagu-lagu seperti itu. Seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di ruko sebelah.”

Mata itu Ibu itu menyiratkan ketakutan begitu pula dengan Farhan yang menatapku.

“Jadi apa benar ada tamu di malam terakhir itu? Ataukah hanya suara dari lagu-lagu yang dia setel?” tanya Farhan .

Bu Mayang gelagapan dia bingung sendiri.

“Apa jangan-jangan Ibu tidak menceritakan ini ke para polisi yang kemari?” tanyaku.

Tangan Bu Mayang naik ke atas dan memijat kepalanya sendiri. “Iya, saya lupa mengatakan itu ke para polisi. Saya juga lupa mengatakan kalau saya sempat melihat motor matic bewarna merah. Saya sepertinya kenal dengan motor itu. Tapi yang kulihat motor itu ditunggangi seorang wanita yang kemudian pergi meninggalkan ruko itu pada malam tanggal lima,” tangannya lalu turun dan pandangan itu menjurus ke arahku. “Apa saya harus mengatakan hal itu ke polisi?”

“Ibu sempat melihat wanita yang naik motor matic itu?” tanyaku.

“Iya. Tapi saya lupa memberikan keterangan itu kepada polisi.”

Aku dan Farhan saling bertukar pandangan.

“Satu lagi, Bu,” kataku tiba-tiba dan membuat Bu Mayang sedikit terkejut dan latah. “Bagaimana polisi bisa menemukan alamat dan menginterogasi para mantan karyawannya?”

Bu Mayang sedikit menunduk lalu kemudian berkata.

“Para polisi itu bertanya siapa saja orang yang pernah bekerja di ruko ini. Dan saya menyebut beberapa nama yang pernah bekerja disini. Beberapa dari mereka juga rumahnya tidak terlalu jauh dari sini. Ada yang jalan kaki, tapi banyak juga yang naik….”

Bu Mayang tidak meneruskan kalimatnya. Sepertinya ia mengingat sesuatu, tapi ia tidak mengatakannya pada kami. Saat ditanya, ia malah mengalihkan pembicaraan. Jelas ada yang dia tutup-tutupi.

Merasa sudah cukup mendapatkan keterangan dari Bu Mayang, kami pun berpamitan. Aku pun mencari tempat lain untuk mengobrol dengan Farhan. Kami bicara banyak tentang almarhum Dave. Farhan mungkin juga salah satu orang yang memiliki masalah pribadi dengan Dave, mengingat mantan pacarnya menjadi istri Dave.

“Bukan lo yang nongol di ruko waktu itu, kan?”

“Lo gila kali, mengira gue yang ke sana?” teriak Farhan.

Aku pun tertawa. Aku yakin bukan Farhan pembunuhnya, karena ia belum pernah menginjakkan kakinya ke ruko itu. Karena siapa pun yang membunuh Dave, orang tersebut tahu segala seluk-beluk ruko.

Farhan pun menyerang balik. “Lo sendiri juga bukannya punya masalah sama Dave?”

Aku tersenyum. “Tentu saja gue punya masalah dengan Dave, dia sangat menyebalkan dan itu juga yang membuat gue keluar dari ruko.”

“Kalau begitu lo juga punya motif untuk menghabisi dia?”

“Iya, gue memang punya motif tapi gue orang yang logis dan masih punya hati nurani.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan kemungkinan lain? Tadi ibu itu bilang Dave kedatangan tamu yang kemungkinan kliennya. Apa mungkin mereka pembunuhnya?”

“Tidak,” aku menggeleng. “Gue kurang yakin tentang itu. Memang sih ada beberapa klien dan mantan klien yang marah dengan Dave tapi rasanya terlalu jauh jika mereka sampai menghabisi Dave. Paling mungkin jika mereka membuatnya babakbelur atau menuntut dan membawanya ke pengadilan. Lagipula tentang siapa pelakunya ini, gue sangat yakin dia tahu selukbeluk ruko itu hingga dia mampu membuat trik pembunuhan ruang tertutup.”

“Trik apa?” Farhan mengernyit.

“Trik pembunuhan ruang tertutup. Kasus dimana si pelaku melakukan aksi pembunuhan di sebuah ruangan dan membuat ruangan itu terkunci dari dalam. Karena terkunci dari dalam dia mengarahkan asumsi orang-orang bahwa kematian tersebut terjadi karena sebab alami atau kecelakaan.”

“Tapi jelas ini pembunuhan, kan?”

“Iya, tapi tidak ada saksi yang melihat si pelaku keluar dari ruko dan lagipula ruko terkunci dari dalam.”

“Bisa saja dia keluar dari jendela di atas.”

“Gue juga sempat berpikir ke situ. Jendela di lantai dua yang menghadap jalanan, dari situ untuk lompat ke bawah hanya 2,2 meter itu ketinggian yang aman. Namun saat gue di ruang interogasi, gue bertanya pada para polisi itu. Mereka bilang tidak mungkin. Jendela di lantai dua tertutup dari dalam. Lalu gue bertanya yang lain, ada satu jendela lagi di lantai dua yang menghadap ke belakang ke kebun kosong. Namun mereka bilang jendela itu juga ditutup dari dalam. Dan misalkan ada orang yang melompat darisana terlalu berbahaya. Tingginya lebih dari 3 meter. Kalau pun ada yang nekad melompat darisana pastinya akan didengar tetangga atau setidaknya orang tersebut pincang untuk sementara waktu.”

“Lalu darimana?”

“Nah, itu juga yang lagi gue pikirkan.”

Aku pun mengambil kertas dan mulai mencorat-coret.

“Ia ditemukan tewas pada tanggal sepuluh kemarin dan diperkirakan sudah meninggal lima hari sebelumnya. Memasuki tanggal enam pukul tiga pagi musik dari ruko berhenti dan tidak terdengar lagi seperti biasanya. Teori gue, tepat di tengah malam ia dibunuh di sana. Musik dimulai pukul dua belas malam bersamaan dengan tamu yang datang ke ruko. Lalu berhenti pukul tiga pagi.”

“Ada kemungkinan dia dibunuh diselang waktu itu, jam dua belas sampai jam tiga pagi,” ucap Farhan.

Aku mengangguk. “Nah itu dia, masalah musik keras menguntungkan pelaku yang tidak hanya bisa menyamarkan aksi pembunuhan Dave tapi juga memberi ruang bagi si pelaku untuk membuat rekaan TKP dan keluar dari ruko.”

“Dia mungkin membunuh Dave di tempat lain di dalam ruko, bisa ruang depan di lantai satu atau bisa juga di lantai dua. Lalu kemudian dia memindahkannya ke bawah tangga yang tepat berhadapan dengan pintu belakang agar mudah ditemukan jika sudah membusuk. Lalu setelah merekayasa posisi mayat dia membersihkan sidik-sidik jarinya yang menyebar di dalam ruko. Dia menyapu semuanya baik yang dia sentuh atau pun tidak dia sentuh. Kemudian setelah rapi semua,ia keluar dari ruko dengan cara yang tak terpikirkan oleh polisi.”

“Wow, rapi banget,” sahut Farhan. “Rasanya gak ada orang yang akan melakukan serunut itu kecuali dia adalah pembaca cerita detektif seperti elo Rie.”

“Apa? Gue?” aku mengernyit. “Sial, lo nuduh gue lagi.”

“Terus siapa? Teman-teman lo mungkin? Mantan karyawannya Dave, mereka pasti tahu banget seluk-beluk rukonya.”

“Itu juga yang gue pikirkan. Ada Andi, Sueb, Alvin, Bondan, dan Roy. Terus ceweknya ada Resti, Nita, dan Sheila. Empat cowoknya mereka pernah punya masalah dengan Dave. Tapi jika gue pikirkan lagi karakter mereka adalah karakter yang lebih suka menghajar orang di jalan daripada bikin sesuatu yang rumit kayak begini. Andi, Sueb, dan Bondan jika mereka dendam banget sama Dave gue yakin mereka pasti lebih milih menabraknya dengan motor di jalan atau menghajarnya hingga babak belur di luar ruko. Sedangkan Alvin, gue nggak yakin apa dia cukup berani untuk menghajar Dave tapi bisa jadi dia yang paling banyak menyimpan dendam dan orang seperti itu kadang bisa melakukan apa pun. Tapi gue tahu banget Alvin, dia tidak sepintar itu apalagi untuk bikin plot pembunuhan ruang terkunci.”

“Kalau si Roy?” tanya Farhan lagi.

Aku mengecap bibir. Ini bagian yang sulit. “Dia orang baik, terlalu baik. Dibanding dengan yang lain kelihatannya dia yang paling gak memiliki masalah dengan Dave. Tapi gue gak tahu apa isi hatinya, mungkin juga Roy pernah punya masalah tapi karena dia terlalu baik jadi dia memilih tidak bercerita. Roy memutuskan keluar begitu aja dari Ruko, padahal lo tahu dia itu yang terbaik dari semua anakbuah Dave.”

“Kalau begitu lo temuin dia dong?”

“Itu juga yang gue rencanain besok.”

“Satu lagi,” tanya Farhan. “Tentang tiga karyawan cewek itu? Bagaimana cerita mereka?”

“Oh mereka, nanti gue ceritakan,” ucapku mengakhiri percakapan.


Keesokan harinya sekitar pukul dua siang.  Setelah menelpon sebelumnya, aku pun menemui Roy di bengkel barunya. Dia menyebut bengkel namun tempat itu lebih terlihat sebagai sebuah lapak TV dan radio bekas. Di sini dia hanya beristirahat, pekerjaan sesungguhnya adalah tukang servis yang datang ke rumah-rumah. Dia menyervis apa pun, mulai dari radio, televisi, sepeda motor, kulkas hingga AC.

“Roy,” ucapku sambil menyalami tangannya.

“Fachrie,” sahutnya.

“Gimana kabar lo?”

“Baik, lo sendiri?”

“Alhamdulillah.”

Perbincangan pun berlanjut dengan basa-basi. Dia bertanya tentang apa pekerjaanku sekarang. Sebaliknya aku juga bertanya bagaimana mana bisa jasa servis yang dia kerjakan, sukses atau tidak dan seterusnya. Hingga aku rasa sudah cukup santai, baru aku keluarkan pertanyaan-pertanyaan kunci.

“Gue punya pertanyaan nih, kenapa lo keluar dari ruko? Padahal kerja lo waktu itu lagi bagus-bagusnya bukan?”

Roy menaikkan alis namun ekspresi wajahnya masih tetap tenang. “Kan gue sudah sering bilang, gue dapat pekerjaan lain, iya di bengkel ini.”

“Serius, asli gue penasaran, lo satu-satunya orang yang gak bermasalah dengan Dave?”

“Ok, gue akan terbuka, selama ini gue juga punya masalah dengan Dave. Tapi karena masalah dalam pekerjaan adalah hal yang wajar jadi gue gak ingin mengeluhkannya pada kalian.”

“Maksud lo?”

“Maksud gue, hal-hal seperti omelan, caci-makian, kata-kata bodoh dan tolol itu biasa dalam pekerjaan. Sebelum dengan Dave gue juga pernah mengalami hal seperti itu juga. Sebelum di ruko, gue pernah bekerja di bangunan, pekerjaannya sangat melelahkan dan bos kami lebih menyebalkan lagi. Jadi gue pikir kelakuan Dave itu wajar dan gak perlu dibesar-besarkan.”

Wajah Roy terlihat memelas percampuran antara sedih dan malu. Lalu kemudian melanjutkan.

“Sebenarnya gue juga punya masalah dengan Dave, gue nggak cerita ke kalian. Gue sendirian, Andi dan Alvin sudah keluar dari ruko. Gak ada yang bantu Dave saat itu selain gue. Kemudian datang sebuah proyek yang lumayan besar. Dave meminta gue untuk mengerjakan selama sebulan, padahal waktu itu gue sudah benar-benar lelah, gue minta cuti namun karena proyek sudah masuk jadi gue jalanin aja.”

“Oh begitu, lalu lo keluar dari Ruko?”

“Lo tahu, awalnya gue minta libur seminggu namun kemudian gue minta ke dia untuk libur sebulan. Seperti yang gue bilang tadi, gue sudah sampai batasan diri gue. Gue sudah sangat-sangat lelah di sana dan kadang gue bisa mati jika terus berada di sana. Jadi gue memutuskan untuk minta cuti sebulan sembari mencari pekerjaan lain. Hingga kemudian gue sampai di bengkel ini dan bersyukur bisa keluar dari sana.”

Aku mengangguk dan memberi Roy waktu untuk bermelankolis. Sampai kemudian satu pertanyaan lagi kutembakkan. “Saat gue keluar dari ruko tiga bulan yang lalu, apa Dave menelpon lo?”

“Iya, dia menelpon gue dan bilang elo sudah keluar. Dia juga meminta gue untuk kembali ke ruko.”

“Tentu saja, lo yang terbaik Roy dan dia sangat membutuhkan lo.”

Roy mengangguk. “Tapi gue bilang ke dia gue sudah kerja di bengkel dan dia gak bisa memaksa gue.”

“Lalu?”

“Dia juga menelpon yang lain. Andi, Bondan, dan Alvin namun semua menolak kembali ke ruko.”

Aku tersenyum. “Itu bagus. Ada yang lain?”

“Dia juga menghubungi Nita dan Sheila untuk kembali ke ruko.”

“Terus?”

“Tentu saja mereka nggak mau, Sheila sudah dapat pekerjaan sebagai SPG di Senayan sedangkan Nita jadi waiters di restoran Pizza.”

“Terus satu lagi Resti gimana?”

“Oh dia, gue nggak tahu kabarnya. Mungkin Dave menghubunginya, mungkin juga nggak.”

Percakapan pun berakhir. Aku berjalan meninggalkan Roy di bengkelnya dan yakin bahwa ketiga karyawan wanita itu perlu dikorek keterangannya juga.

Sheila dan Nita adalah dua cewek cantik. Tepatnya terlalu cantik untuk bekerja bagi seorang Dave yang berwajah awur-awuran dan berbadan bau. Sungguh disesalkan tapi mau bagaimana lagi mencari pekerjaan di Jakarta seperti mencari nomor undian. Sialnya, lebih banyak nomor undian yang salah yang membuat kamu jatuh di pekerjaan yang menyebalkan.

Dua hari setelah dari tempat Roy aku pun menemui Sheila di tempat kerja. Tepatnya kami berbincang di lorong parkir motor. Sheila adalah leader dan jelas jika ada apa-apa dengan dua cewek yang lain, pastinya dia yang akan bertanggung jawab.

“Tumben lo cari gue? Ada apa?” tanyanya.

“Gue cuma ingin bicara tentang Dave.”

“Haduh, orang itu lagi. Pasti lo ingin menginterogasi gue tentang kematiannya.”

“Nggak, gue cuma ingin mencari beberapa informasi aja?”

“Sama saja,”   

“Ayolah rasanya nggak adil jika kalian gak berbagi informasi. Gue cuma ingin mengungkap kebenaran aja tentang siapa pembunuh Dave? Lagipula se-Bangke apa pun dia, Dave tetap teman gue dan dia pernah berbuat baik pada gue.”

Sheila mengerut kesal dengan mata yang memandang ke lantai semen. Dia terdiam beberapa detik lalu berkata.

 “Lo tahu semua orang membenci Dave, dan karena itu semua punya motif untuk membunuhnya.”

Aku mengangguk. Inilah waktunya menembakkan peluru.

“Kenapa kamu keluar dari ruko?”

Matanya tiba-tiba membulat. Lalu dia berteriak marah. “Lo sudah tahu ceritanya bukan, si manusia cabul itu,” kata-katanya terhenti. “Sangat-sangat menyebalkan.”

“Iya gue sering dengar itu, tapi gue nggak tahu detailnya.”

“Ok, kejadiannya hampir setahun yang lalu. Saat itu anak-anak yang lain sudah pulang. Sedangkan yang jaga ruko adalah gue dan Nita. Dave gak kelihatan saat itu dan kami pikir dia nggak akan muncul di ruko sampai besok pagi. Tapi gue salah. Jam dua belasan malam saat kami sudah lelahnya ngurusin DVD. Dia pun muncul. Lo tahukan Dave selalu merasa dirinya sangat hebat, merasa dirinya tampan padahal buruk rupa. Dia naik ke lantai dua melihat kami sejenak, lalu membuka baju begitu saja. Lo tahu badan dia sangat bau tapi dia nggak pernah merasa seperti itu. Tiba-tiba dia mendekati Nita, tangannya pura-pura menyentuh DVD-DVD. Namun lo tahu sebenarnya dia mengincar tubuh gadis itu. Setelah jaraknya begitu dekat, tiba-tiba dia langsung memeluknya dari belakang dan sontak Nita jatuh di lantai. Dia menjerit dan jelas gue sangat marah. Gue mengambil apa pun yang ada di sekitar gue dan menghantam si keparat itu. Satu pukulan keras menggunakan rak DVD gue berikan ke batok kepalanya yang berhasil membuat dia kelimpungan. Guebisa saja membunuhnya waktu itu tapi gue lebih memilih menarik Nita dan membawanya keluar dari ruko. Setelah itu gue tidak pernah kembali lagi ke sana, begitupula dengan Nita.

“Apa hanya itu?” tanya-ku.

Dan mata Sheila kembali membelalak. “Lo benar-benar nggak punya perasaan ya, mengorek luka dari seorang wanita,” lalu dia berteriak. “Tentu saja banyak, bukan cuma itu dihari-hari sebelumnya dia juga mencoba seperti itu, namun malam itu adalah puncaknya dan kami sudah sampai pada batas kami karena itu nggak ada jalan lain selain keluar darisana.”

Aku memasang wajah simpatik. “Maaf aku bertanya seperti itu. Karena aku penasaran apa yang ada dibalik masalah kalian.”

“Yang lain juga punya motif yang kuat, Fachrie, bukan cuma gue dan Nita.”

“Iya, kamu benar,” aku melihat lurus ke wajahnya. Gadis garang itu terlihat berkaca-kaca. “Oh iya, satu lagi Resti bagaimana? Kamu tahu kenapa dia keluar?”

Matanya berputar ke kiri atas, lalu dia berkata. “Aku tidak tahu, tapi mungkin kasusnya nggak jauh beda dengan kami.”

“Terakhir tanggal 5 atau 6 kemarin kamu dan Nita berada di mana?”

Dia mengernyit. “Lo masih menginterogasi gue.”

“Cuma memastikan.”

“Siang kami bekerja dan malamnya kami di rumah. Tidak kemana-mana, jika kamu masih tidak percaya, kamu bisa bertanya pada siapa pun yang ada di rumah dan tempat kerja kami.”

Aku mengangguk. “Aku mengerti semuanya, rasanya cukup.”

Dengan wajah yang kesal tanpa basa-basi lagi Sheila pun langsung beranjak dari parkir. Namun beberapa langkah sebelum pintu keluar dia berkata.

“Harusnya, gue yang bunuh Dave dan itu akan jadi hal yang sangat indah.”

“Harusnya. Tapi bukan kamu, kan?” ucapku pelan.

.  .  .


Nb: Tulisan ini ditulis di tahun 2016, sebelumnya telah tayang di antologi Detectives ID (2017).
Tertanda Fitrah Tanzil.