Oleh Fitrah Tanzil
Saat itu pukul sembilan lewat tiga puluh menit pagi ketika mereka menjemputku. Aku baru tidur dua jam karena shift malam yang kuambil. Aku bahkan masih setengah sadar ketika sampai di Polres Tangerang Selatan. Selama perjalanan mereka tidak bilang apa-apa tentang kasusku. Hingga aku berada di ruang interogasi, mereka baru mengatakannya.
“Bos kamu yang bernama Dave ditemukan tewas di dalam rukonya kemarin pagi,”
“Apa? Dave?” mataku bulat terkejut.
“Kami punya banyak pertanyaan untuk Anda,” ucap si kapten polisi itu dengan wajah sangat menyebalkan.
Lalu aku pun berteriak. “Kenapa saya yang dibawa?”
“Karena anda adalah salah satu karyawan terakhir yang bekerja untuknya?”
“Tapi itu sudah tiga bulan yang lalu. Saya tidak menyentuh ruko itu lagi.”
Si Polisi menaikkan alis, dia sedikit terkejut. Lalu kuceritakan semua yang kutahu.
Dave adalah orang cerdas. Seorang introvert yang beradaptasi menjadi ekstrovert. Dave tidak menyukai orang-orang namun ia terpaksa berpura-pura menyukai banyak orang karena uang dan akan melakukan apa pun untuk menambah pundi-pundinya. Termasuk memeras keringat para anakbuahnya dan membayar seminimal mungkin untuk pekerjaan mereka.
Kegilaan Dave lainnya adalah dia seorang workaholic. Itu bagus untuk sebagian orang. Tapi untuk Dave itu sangat gila. Dave tidak mau mengerti dan tidak kenal etika dan memerintahkan karyawannya bekerja seenak perutnya. Dari pagi hingga malam hingga pagi lagi.
Dave telah menikah, lebih tepatnya menikah karena nafsu. Dia iri dengan orang-orang yang sudah menikah. Dan dia mengambil seorang wanita yang dia kenal di Facebook selama sebulan dan langsung melamarnya. Kemudian di bulan berikutnya mereka langsung menikah. Namun ujung-ujungnya dia lebih suka hidup di ruko daripada dengan keluarganya di rumah. Karena itulah ia dijuluki ‘Manusia Ruko’ oleh para karyawannya.
Kenyataannya semua orang benci Dave. Namun karena keterpaksaan ekonomi kami bekerja padanya. Satu persatu karyawannya keluar. Sedangkan aku menjadi karyawan sekaligus asisten pribadinya. Begitu banyak pekerjaan yang kukerjakan namun sialnya dengan bayaran yang begitu sedikit. Tentu saja aku sering protes dan berani untuk marah kepadanya.
Jasad Dave ditemukan oleh tetangga yang curiga karena mencium bau busuk dari dalam ruko yang sudah seminggu lebih tidak buka, padahal pintu ruko tersebut dikunci dari dalam yang harusnya ada orang yang tinggal di sana.
Lalu setelah didobrak mereka menemukan dirinya telah tewas di bawah tangga. Menurut petugas forensik, ia telah meninggal kurang lebih lima hari. Mungkin sekitar tanggal lima. Dave meninggal karena lehernya patah akibat terjatuh dari tangga. Di belakang kepalanya pun terdapat luka yang diduga dihasilkan saat Dave jatuh terguling. Awalnya polisi pun menduga dia jatuh dan meninggal secara alami di sana, mengingat semua ruangan tertutup rapat dan terkunci dari dalam. Namun setelah penyelidikan lebih lanjut, di anak tangga tempat Dave terjatuh tidak ditemukan bekas apa pun yang bisa menjelaskan luka di belakang kepalanya tersebut. Selain itu, polisi menemukan hal-hal yang janggal lainnya seperti laptop dan ponsel korban yang hilang, serta keterangan saksi yang mengatakan ada seorang tamu yang datang ke ruko malam sebelumnya dan kemudian menghilang. Polisi menduga tamu terakhir yang datang ke ruko ini adalah pelaku yang menghabisi korban di dalam ruko yang kemudian kabur. Yang polisi risaukan saat ini bagaimana cara sang pelaku keluar dari tempat itu sementara ruangan terkunci dari dalam.
“Menurut pendapat kami,” lanjut sang polisi, “siapa pun tamu terakhir ini dia pastinya sangat kenal dengan Dave. Prioritas kami saat ini adalah mengumpulkan informasi dari pihak yang kenal dekat dengan korban.”
Polisi itu pun menjelaskan bahwa berdasarkan informasi yang didapat, aku adalah karyawan yang bekerja terakhir di ruko itu. Aku pun tidak menampik fakta itu. Tapi itu sudah tiga bulan yang lalu semenjak aku meninggalkan ruko tersebut.
“Semua orang membencinya Pak,” tegasku sekali lagi ke Polisi itu. “Dan bukan hanya saya, ada delapan orang mantan karyawannya. Lima laki-laki dan tiga perempuan. Ada lagi dua orang relasinya serta pekerja lepas yaitu dua ibu-ibu yang tinggal di dekat ruko..” Aku pun menyebut nama mereka satu persatu.
“Yang jelas Pak, ada banyak motif bagi siapa pun pembunuhnya untuk menghabisi Dave.”
Setelah lima jam dihujani pertanyaan-pertanyaan, akhirnya mereka memperbolehkanku pulang. Sesampai rumah aku pun istirahat dan menelpon Bosku di pos satpam. Bercerita tentang apa yang terjadi sekaligus meminta izin pada untuk istirahat pada hari itu. Syukurnya Bosku yang baru ini cukup baik dan memaklumi apa yang terjadi padaku. Tentu saja setelahnya aku tetap tidak bisa tidur. Begitupula hari-hari berikutnya hingga aku memutuskan untuk kembali ke ruko.
Lima hari setelah diinterogasi, aku berada di ruko almarhum Dave.Aku ke sini bersama dengan sepupuku, Farhan, yang kebetulan adalah mantan pacar dari istri Dave. Begitu banyak hal tentang Dave yang terkait denganku.
Ruko Bulak adalah delapan jajaran ruko milik Haji Usman. Empat ruko di kanan dan empat ruko di kiri, lalu di tengahnya terdapat pintu gerbang dari besi berkarat untuk masuk ke lahan kosong di belakang ruko yang dijadikan kebun mengkudu yang tak terurus. Mungkin Haji Usman ingin mengembangkan lahan itu tapi belum ada biaya.Sedangkan Dave sendiri menyewa Ruko ke empat dari kanan, tepat berada di samping pintu gerbang berkarat.
Eksterior ruko seperti dua kotak persegi panjang yang ditumpuk. Lebarnya tiga meter dan panjangnya sembilan meter serta tinggi sekitar lima meter. Ada ruang terbuka di atapnya, namun tanpa ada tangga, jadi jika ingin naik ke sana seseorang harus menembus lorong terlebih dahulu atau memanjat pipa besi yang berada jauh di ujung kanan dan kiri jajaran ruko.
Ada dua pintu masuk ke dalam ruko, pintu masuk depan dan pintu masuk belakang. Pintu masuk depan adalah pintu kaca yang di luarnya terdapat rolling door. Sedangkan pintu belakang adalah pintu kayu biasa. Jarang ada yang lewat belakang karena bagian belakang adalah kebun yang hanya bisa diakses dari pintu gerbang di tengah kompleks ruko yang selalu dikunci.
Dave sendiri ditemukan dalam ruko yang terkunci dari dalam. Baik pintu depan mau pun belakang, semua rapat terkunci. Kunci pintu depan tentu sulit untuk dibuka karena berlapis dua sedangkan pintu belakang lebih mudah hanya satu kunci.
Aku menemui Bu Mayang, salah satu penjual soto ayam yang warungnya bersebelahan dengan ruko milik Dave sekaligus orang yang sering dimintai bantuan secara freelance oleh Dave.
“Kalau nggak salah, ada dua tamu yang malam itu muncul di sini. Mungkin mereka klien,” ucap Bu Mayang saat kutanya tentang kejadian malam itu.
Bu Mayang memang tidak melihat secara langsung para tamu itu karena ruko soto ayamnya sendiri sudah tutup. Namun pada tengah malam itu dia mendengar suara motor yang berhenti di depan ruko milik Dave.
“Antara jam dua belas malam dan jam satu pagi,” lanjutnya.
Ibu Mayang ini adalah orang baik dan sepertinya dia hanya ingin mengenang Dave di sisi baik saja. Meski dia berusaha untuk tidak tahu menahu tentang kelakuan ganjil si manusia ruko itu.
Aku menggosok dagu. “Apa Ibu yakin ada suara motor?”
“Iya saya sangat yakin, saya mendengarnya sendiri begitu juga dengan suami saya.”
“Bukannya Dave suka begadang sampai pagi, dan biasanya jika dia begadang sampai pagi dia akan menyetel musik keras-keras? Apa ibu mendengar suara musik?”
Mata Bu Mayang membelalak. Entah apa dia benar-benar terkejut ataukah ada sesuatu yang lupa dia sampaikan.
“Iya kamu benar, dia menyetel lagu keras-keras sampai jam tiga pagi, dan itu adalah lagu terakhir yang pernah kami dengar karena lima hari setelahnya tidak pernah ada lagi lagu-lagu seperti itu. Seolah tidak pernah ada orang yang tinggal di ruko sebelah.”
Mata itu Ibu itu menyiratkan ketakutan begitu pula dengan Farhan yang menatapku.
“Jadi apa benar ada tamu di malam terakhir itu? Ataukah hanya suara dari lagu-lagu yang dia setel?” tanya Farhan .
Bu Mayang gelagapan dia bingung sendiri.
“Apa jangan-jangan Ibu tidak menceritakan ini ke para polisi yang kemari?” tanyaku.
Tangan Bu Mayang naik ke atas dan memijat kepalanya sendiri. “Iya, saya lupa mengatakan itu ke para polisi. Saya juga lupa mengatakan kalau saya sempat melihat motor matic bewarna merah. Saya sepertinya kenal dengan motor itu. Tapi yang kulihat motor itu ditunggangi seorang wanita yang kemudian pergi meninggalkan ruko itu pada malam tanggal lima,” tangannya lalu turun dan pandangan itu menjurus ke arahku. “Apa saya harus mengatakan hal itu ke polisi?”
“Ibu sempat melihat wanita yang naik motor matic itu?” tanyaku.
“Iya. Tapi saya lupa memberikan keterangan itu kepada polisi.”
Aku dan Farhan saling bertukar pandangan.
“Satu lagi, Bu,” kataku tiba-tiba dan membuat Bu Mayang sedikit terkejut dan latah. “Bagaimana polisi bisa menemukan alamat dan menginterogasi para mantan karyawannya?”
Bu Mayang sedikit menunduk lalu kemudian berkata.
“Para polisi itu bertanya siapa saja orang yang pernah bekerja di ruko ini. Dan saya menyebut beberapa nama yang pernah bekerja disini. Beberapa dari mereka juga rumahnya tidak terlalu jauh dari sini. Ada yang jalan kaki, tapi banyak juga yang naik….”
Bu Mayang tidak meneruskan kalimatnya. Sepertinya ia mengingat sesuatu, tapi ia tidak mengatakannya pada kami. Saat ditanya, ia malah mengalihkan pembicaraan. Jelas ada yang dia tutup-tutupi.
Merasa sudah cukup mendapatkan keterangan dari Bu Mayang, kami pun berpamitan. Aku pun mencari tempat lain untuk mengobrol dengan Farhan. Kami bicara banyak tentang almarhum Dave. Farhan mungkin juga salah satu orang yang memiliki masalah pribadi dengan Dave, mengingat mantan pacarnya menjadi istri Dave.
“Bukan lo yang nongol di ruko waktu itu, kan?”
“Lo gila kali, mengira gue yang ke sana?” teriak Farhan.
Aku pun tertawa. Aku yakin bukan Farhan pembunuhnya, karena ia belum pernah menginjakkan kakinya ke ruko itu. Karena siapa pun yang membunuh Dave, orang tersebut tahu segala seluk-beluk ruko.
Farhan pun menyerang balik. “Lo sendiri juga bukannya punya masalah sama Dave?”
Aku tersenyum. “Tentu saja gue punya masalah dengan Dave, dia sangat menyebalkan dan itu juga yang membuat gue keluar dari ruko.”
“Kalau begitu lo juga punya motif untuk menghabisi dia?”
“Iya, gue memang punya motif tapi gue orang yang logis dan masih punya hati nurani.”
“Kalau begitu, bagaimana dengan kemungkinan lain? Tadi ibu itu bilang Dave kedatangan tamu yang kemungkinan kliennya. Apa mungkin mereka pembunuhnya?”
“Tidak,” aku menggeleng. “Gue kurang yakin tentang itu. Memang sih ada beberapa klien dan mantan klien yang marah dengan Dave tapi rasanya terlalu jauh jika mereka sampai menghabisi Dave. Paling mungkin jika mereka membuatnya babakbelur atau menuntut dan membawanya ke pengadilan. Lagipula tentang siapa pelakunya ini, gue sangat yakin dia tahu selukbeluk ruko itu hingga dia mampu membuat trik pembunuhan ruang tertutup.”
“Trik apa?” Farhan mengernyit.
“Trik pembunuhan ruang tertutup. Kasus dimana si pelaku melakukan aksi pembunuhan di sebuah ruangan dan membuat ruangan itu terkunci dari dalam. Karena terkunci dari dalam dia mengarahkan asumsi orang-orang bahwa kematian tersebut terjadi karena sebab alami atau kecelakaan.”
“Tapi jelas ini pembunuhan, kan?”
“Iya, tapi tidak ada saksi yang melihat si pelaku keluar dari ruko dan lagipula ruko terkunci dari dalam.”
“Bisa saja dia keluar dari jendela di atas.”
“Gue juga sempat berpikir ke situ. Jendela di lantai dua yang menghadap jalanan, dari situ untuk lompat ke bawah hanya 2,2 meter itu ketinggian yang aman. Namun saat gue di ruang interogasi, gue bertanya pada para polisi itu. Mereka bilang tidak mungkin. Jendela di lantai dua tertutup dari dalam. Lalu gue bertanya yang lain, ada satu jendela lagi di lantai dua yang menghadap ke belakang ke kebun kosong. Namun mereka bilang jendela itu juga ditutup dari dalam. Dan misalkan ada orang yang melompat darisana terlalu berbahaya. Tingginya lebih dari 3 meter. Kalau pun ada yang nekad melompat darisana pastinya akan didengar tetangga atau setidaknya orang tersebut pincang untuk sementara waktu.”
“Lalu darimana?”
“Nah, itu juga yang lagi gue pikirkan.”
Aku pun mengambil kertas dan mulai mencorat-coret.
“Ia ditemukan tewas pada tanggal sepuluh kemarin dan diperkirakan sudah meninggal lima hari sebelumnya. Memasuki tanggal enam pukul tiga pagi musik dari ruko berhenti dan tidak terdengar lagi seperti biasanya. Teori gue, tepat di tengah malam ia dibunuh di sana. Musik dimulai pukul dua belas malam bersamaan dengan tamu yang datang ke ruko. Lalu berhenti pukul tiga pagi.”
“Ada kemungkinan dia dibunuh diselang waktu itu, jam dua belas sampai jam tiga pagi,” ucap Farhan.
Aku mengangguk. “Nah itu dia, masalah musik keras menguntungkan pelaku yang tidak hanya bisa menyamarkan aksi pembunuhan Dave tapi juga memberi ruang bagi si pelaku untuk membuat rekaan TKP dan keluar dari ruko.”
“Dia mungkin membunuh Dave di tempat lain di dalam ruko, bisa ruang depan di lantai satu atau bisa juga di lantai dua. Lalu kemudian dia memindahkannya ke bawah tangga yang tepat berhadapan dengan pintu belakang agar mudah ditemukan jika sudah membusuk. Lalu setelah merekayasa posisi mayat dia membersihkan sidik-sidik jarinya yang menyebar di dalam ruko. Dia menyapu semuanya baik yang dia sentuh atau pun tidak dia sentuh. Kemudian setelah rapi semua,ia keluar dari ruko dengan cara yang tak terpikirkan oleh polisi.”
“Wow, rapi banget,” sahut Farhan. “Rasanya gak ada orang yang akan melakukan serunut itu kecuali dia adalah pembaca cerita detektif seperti elo Rie.”
“Apa? Gue?” aku mengernyit. “Sial, lo nuduh gue lagi.”
“Terus siapa? Teman-teman lo mungkin? Mantan karyawannya Dave, mereka pasti tahu banget seluk-beluk rukonya.”
“Itu juga yang gue pikirkan. Ada Andi, Sueb, Alvin, Bondan, dan Roy. Terus ceweknya ada Resti, Nita, dan Sheila. Empat cowoknya mereka pernah punya masalah dengan Dave. Tapi jika gue pikirkan lagi karakter mereka adalah karakter yang lebih suka menghajar orang di jalan daripada bikin sesuatu yang rumit kayak begini. Andi, Sueb, dan Bondan jika mereka dendam banget sama Dave gue yakin mereka pasti lebih milih menabraknya dengan motor di jalan atau menghajarnya hingga babak belur di luar ruko. Sedangkan Alvin, gue nggak yakin apa dia cukup berani untuk menghajar Dave tapi bisa jadi dia yang paling banyak menyimpan dendam dan orang seperti itu kadang bisa melakukan apa pun. Tapi gue tahu banget Alvin, dia tidak sepintar itu apalagi untuk bikin plot pembunuhan ruang terkunci.”
“Kalau si Roy?” tanya Farhan lagi.
Aku mengecap bibir. Ini bagian yang sulit. “Dia orang baik, terlalu baik. Dibanding dengan yang lain kelihatannya dia yang paling gak memiliki masalah dengan Dave. Tapi gue gak tahu apa isi hatinya, mungkin juga Roy pernah punya masalah tapi karena dia terlalu baik jadi dia memilih tidak bercerita. Roy memutuskan keluar begitu aja dari Ruko, padahal lo tahu dia itu yang terbaik dari semua anakbuah Dave.”
“Kalau begitu lo temuin dia dong?”
“Itu juga yang gue rencanain besok.”
“Satu lagi,” tanya Farhan. “Tentang tiga karyawan cewek itu? Bagaimana cerita mereka?”
“Oh mereka, nanti gue ceritakan,” ucapku mengakhiri percakapan.
Keesokan harinya sekitar pukul dua siang. Setelah menelpon sebelumnya, aku pun menemui Roy di bengkel barunya. Dia menyebut bengkel namun tempat itu lebih terlihat sebagai sebuah lapak TV dan radio bekas. Di sini dia hanya beristirahat, pekerjaan sesungguhnya adalah tukang servis yang datang ke rumah-rumah. Dia menyervis apa pun, mulai dari radio, televisi, sepeda motor, kulkas hingga AC.
“Roy,” ucapku sambil menyalami tangannya.
“Fachrie,” sahutnya.
“Gimana kabar lo?”
“Baik, lo sendiri?”
“Alhamdulillah.”
Perbincangan pun berlanjut dengan basa-basi. Dia bertanya tentang apa pekerjaanku sekarang. Sebaliknya aku juga bertanya bagaimana mana bisa jasa servis yang dia kerjakan, sukses atau tidak dan seterusnya. Hingga aku rasa sudah cukup santai, baru aku keluarkan pertanyaan-pertanyaan kunci.
“Gue punya pertanyaan nih, kenapa lo keluar dari ruko? Padahal kerja lo waktu itu lagi bagus-bagusnya bukan?”
Roy menaikkan alis namun ekspresi wajahnya masih tetap tenang. “Kan gue sudah sering bilang, gue dapat pekerjaan lain, iya di bengkel ini.”
“Serius, asli gue penasaran, lo satu-satunya orang yang gak bermasalah dengan Dave?”
“Ok, gue akan terbuka, selama ini gue juga punya masalah dengan Dave. Tapi karena masalah dalam pekerjaan adalah hal yang wajar jadi gue gak ingin mengeluhkannya pada kalian.”
“Maksud lo?”
“Maksud gue, hal-hal seperti omelan, caci-makian, kata-kata bodoh dan tolol itu biasa dalam pekerjaan. Sebelum dengan Dave gue juga pernah mengalami hal seperti itu juga. Sebelum di ruko, gue pernah bekerja di bangunan, pekerjaannya sangat melelahkan dan bos kami lebih menyebalkan lagi. Jadi gue pikir kelakuan Dave itu wajar dan gak perlu dibesar-besarkan.”
Wajah Roy terlihat memelas percampuran antara sedih dan malu. Lalu kemudian melanjutkan.
“Sebenarnya gue juga punya masalah dengan Dave, gue nggak cerita ke kalian. Gue sendirian, Andi dan Alvin sudah keluar dari ruko. Gak ada yang bantu Dave saat itu selain gue. Kemudian datang sebuah proyek yang lumayan besar. Dave meminta gue untuk mengerjakan selama sebulan, padahal waktu itu gue sudah benar-benar lelah, gue minta cuti namun karena proyek sudah masuk jadi gue jalanin aja.”
“Oh begitu, lalu lo keluar dari Ruko?”
“Lo tahu, awalnya gue minta libur seminggu namun kemudian gue minta ke dia untuk libur sebulan. Seperti yang gue bilang tadi, gue sudah sampai batasan diri gue. Gue sudah sangat-sangat lelah di sana dan kadang gue bisa mati jika terus berada di sana. Jadi gue memutuskan untuk minta cuti sebulan sembari mencari pekerjaan lain. Hingga kemudian gue sampai di bengkel ini dan bersyukur bisa keluar dari sana.”
Aku mengangguk dan memberi Roy waktu untuk bermelankolis. Sampai kemudian satu pertanyaan lagi kutembakkan. “Saat gue keluar dari ruko tiga bulan yang lalu, apa Dave menelpon lo?”
“Iya, dia menelpon gue dan bilang elo sudah keluar. Dia juga meminta gue untuk kembali ke ruko.”
“Tentu saja, lo yang terbaik Roy dan dia sangat membutuhkan lo.”
Roy mengangguk. “Tapi gue bilang ke dia gue sudah kerja di bengkel dan dia gak bisa memaksa gue.”
“Lalu?”
“Dia juga menelpon yang lain. Andi, Bondan, dan Alvin namun semua menolak kembali ke ruko.”
Aku tersenyum. “Itu bagus. Ada yang lain?”
“Dia juga menghubungi Nita dan Sheila untuk kembali ke ruko.”
“Terus?”
“Tentu saja mereka nggak mau, Sheila sudah dapat pekerjaan sebagai SPG di Senayan sedangkan Nita jadi waiters di restoran Pizza.”
“Terus satu lagi Resti gimana?”
“Oh dia, gue nggak tahu kabarnya. Mungkin Dave menghubunginya, mungkin juga nggak.”
Percakapan pun berakhir. Aku berjalan meninggalkan Roy di bengkelnya dan yakin bahwa ketiga karyawan wanita itu perlu dikorek keterangannya juga.
Sheila dan Nita adalah dua cewek cantik. Tepatnya terlalu cantik untuk bekerja bagi seorang Dave yang berwajah awur-awuran dan berbadan bau. Sungguh disesalkan tapi mau bagaimana lagi mencari pekerjaan di Jakarta seperti mencari nomor undian. Sialnya, lebih banyak nomor undian yang salah yang membuat kamu jatuh di pekerjaan yang menyebalkan.
Dua hari setelah dari tempat Roy aku pun menemui Sheila di tempat kerja. Tepatnya kami berbincang di lorong parkir motor. Sheila adalah leader dan jelas jika ada apa-apa dengan dua cewek yang lain, pastinya dia yang akan bertanggung jawab.
“Tumben lo cari gue? Ada apa?” tanyanya.
“Gue cuma ingin bicara tentang Dave.”
“Haduh, orang itu lagi. Pasti lo ingin menginterogasi gue tentang kematiannya.”
“Nggak, gue cuma ingin mencari beberapa informasi aja?”
“Sama saja,”
“Ayolah rasanya nggak adil jika kalian gak berbagi informasi. Gue cuma ingin mengungkap kebenaran aja tentang siapa pembunuh Dave? Lagipula se-Bangke apa pun dia, Dave tetap teman gue dan dia pernah berbuat baik pada gue.”
Sheila mengerut kesal dengan mata yang memandang ke lantai semen. Dia terdiam beberapa detik lalu berkata.
“Lo tahu semua orang membenci Dave, dan karena itu semua punya motif untuk membunuhnya.”
Aku mengangguk. Inilah waktunya menembakkan peluru.
“Kenapa kamu keluar dari ruko?”
Matanya tiba-tiba membulat. Lalu dia berteriak marah. “Lo sudah tahu ceritanya bukan, si manusia cabul itu,” kata-katanya terhenti. “Sangat-sangat menyebalkan.”
“Iya gue sering dengar itu, tapi gue nggak tahu detailnya.”
“Ok, kejadiannya hampir setahun yang lalu. Saat itu anak-anak yang lain sudah pulang. Sedangkan yang jaga ruko adalah gue dan Nita. Dave gak kelihatan saat itu dan kami pikir dia nggak akan muncul di ruko sampai besok pagi. Tapi gue salah. Jam dua belasan malam saat kami sudah lelahnya ngurusin DVD. Dia pun muncul. Lo tahukan Dave selalu merasa dirinya sangat hebat, merasa dirinya tampan padahal buruk rupa. Dia naik ke lantai dua melihat kami sejenak, lalu membuka baju begitu saja. Lo tahu badan dia sangat bau tapi dia nggak pernah merasa seperti itu. Tiba-tiba dia mendekati Nita, tangannya pura-pura menyentuh DVD-DVD. Namun lo tahu sebenarnya dia mengincar tubuh gadis itu. Setelah jaraknya begitu dekat, tiba-tiba dia langsung memeluknya dari belakang dan sontak Nita jatuh di lantai. Dia menjerit dan jelas gue sangat marah. Gue mengambil apa pun yang ada di sekitar gue dan menghantam si keparat itu. Satu pukulan keras menggunakan rak DVD gue berikan ke batok kepalanya yang berhasil membuat dia kelimpungan. Guebisa saja membunuhnya waktu itu tapi gue lebih memilih menarik Nita dan membawanya keluar dari ruko. Setelah itu gue tidak pernah kembali lagi ke sana, begitupula dengan Nita.
“Apa hanya itu?” tanya-ku.
Dan mata Sheila kembali membelalak. “Lo benar-benar nggak punya perasaan ya, mengorek luka dari seorang wanita,” lalu dia berteriak. “Tentu saja banyak, bukan cuma itu dihari-hari sebelumnya dia juga mencoba seperti itu, namun malam itu adalah puncaknya dan kami sudah sampai pada batas kami karena itu nggak ada jalan lain selain keluar darisana.”
Aku memasang wajah simpatik. “Maaf aku bertanya seperti itu. Karena aku penasaran apa yang ada dibalik masalah kalian.”
“Yang lain juga punya motif yang kuat, Fachrie, bukan cuma gue dan Nita.”
“Iya, kamu benar,” aku melihat lurus ke wajahnya. Gadis garang itu terlihat berkaca-kaca. “Oh iya, satu lagi Resti bagaimana? Kamu tahu kenapa dia keluar?”
Matanya berputar ke kiri atas, lalu dia berkata. “Aku tidak tahu, tapi mungkin kasusnya nggak jauh beda dengan kami.”
“Terakhir tanggal 5 atau 6 kemarin kamu dan Nita berada di mana?”
Dia mengernyit. “Lo masih menginterogasi gue.”
“Cuma memastikan.”
“Siang kami bekerja dan malamnya kami di rumah. Tidak kemana-mana, jika kamu masih tidak percaya, kamu bisa bertanya pada siapa pun yang ada di rumah dan tempat kerja kami.”
Aku mengangguk. “Aku mengerti semuanya, rasanya cukup.”
Dengan wajah yang kesal tanpa basa-basi lagi Sheila pun langsung beranjak dari parkir. Namun beberapa langkah sebelum pintu keluar dia berkata.
“Harusnya, gue yang bunuh Dave dan itu akan jadi hal yang sangat indah.”
“Harusnya. Tapi bukan kamu, kan?” ucapku pelan.
. . .
Nb: Tulisan ini ditulis di tahun 2016, sebelumnya telah tayang di antologi Detectives ID (2017).
Tertanda Fitrah Tanzil.
Ilustrasi, sumber unsplash .com beautiful and free images.
ReplyDeleteMantab.. Keren abis, hanyut dalam rangkaian drama nya. Berharap di publish utuh 1 jilid novel.
ReplyDeleteKisah ala detektif conan dalam nuansa lokal..
@ Gogo, thank you sudah mampir, hihihi.
Delete