Sunday, June 26, 2016

Kasus di Auditorium (part I)

Cerpen by Ftrohx


Banyak yang bertanya padaku. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal di lantai 2 Auditorium BUMN di Jakarta Selatan? Bagaimana mungkin aku bisa tinggal lama di sana dan menjadikannya sebuah kantor? Bagaimana mungkin aku bisa mendapat izin untuk terus berada di sana? Dan apakah aku membayar untuk itu?

Pertanyaan-pertanyaan klasik. Faktanya aku tidak membayar uang untuk berada di sana. Aku selalu bilang ceritanya panjang hingga aku berakhir di sini. Dan kali ini aku akan bercerita untuk kamu.


Semuanya dimulai 5 tahun yang lalu. Saat itu aku baru saja selesai skripsi dan sedang menunggu wisuda. Aku bimbang akan kemana perjalanan hidupku selanjutnya. Apakah aku akan bekerja kantoran ataukah aku membuat bisnisku sendiri. Namun ada sebuah lubang harapan, aku sudah punya nama waktu itu.

Sejak kasus di Curug Seribu dan Mayat di Danau UI. Semua orang membicarakanku, bukan hanya di kampus namun juga orang-orang di sekitar rumah Ibuku di Jatiasih. Hingga sampai ke telinga Pak Joko. Dia adalah tetanggaku, rumah kami mungkin terpisah jarang 20 rumah, namun dia tahu kisahku. Lalu pada sabtu sore di muncul di depan rumah dan mengetuk pintu.

"Arifin," dia menyalami tanganku.

"Panggil saja Lufin, Pak," sahutku.

"Saya dengar kisah kamu di UI, kamu katanya berhasil menemukan pelaku pembunuhan di danau itu."

Aku mengangguk. "Alhamdulillah Pak!"

"Saya juga dengar yang heboh di Curug Seribu itu, kamu juga yang berhasil memecahkannya."

Pembicaraannya semakin menjurus dan aku bisa menebak kemana arahnya. "Iya, Pak!"

"Saya butuh bantuan nih," ucapnya.

Sebelum kesana aku mendeskripsikan dulu seperti Pak Joko. Badannya tidak terlalu tinggi sekitar 170 namun tubuhnya kekar dan lebar. Kulitnya agak kecoklatan dan biasa mengenakan kaos warna hitam. Seperti laki-laki kekar di film-film action atau orang-orang garang di sasana tinju. Aku sempat menyangka bahwa dia ketua para satpam, namun kenyataan bukan seperti itu. Profesi Pak Joko sebenarnya adalah wakil kepala OB di sebuah Lembaga BUMN di Jakarta Selatan. Aku sendiri gak ngerti kenapa seorang OB bisa memiliki aura segarang itu. Dan belakangan aku tahu jawabannya setelah menangani kasus ini.

"Apa yang bisa saya bantu Pak?"

"Atasan saya, Bang Faruq dia ditemukan meninggal kemarin pagi,"

Wajahnya tampak serius namun tanpa ada kesedihan di sana. "Dia meninggal di taman di samping Auditorium, tepatnya di jalan setapak menuju gedung penelitian Gas."

"Jadi?"

"Dia meninggal di sana begitu saja," potongnya cepat. "Tergeletak di jalan setapak itu tanpa ada saksi mata yang melihatnya jatuh, entah berapa lama dia berada di sana hingga seorang OB dari gedung sebelah yang sedang membuang sampah melihat tubuh itu tergeletak. Kemudian dia menelpon security tanpa mendekati tubuh Bang Faruq. Tak ada yang mendekatinya hingga para security itu datang dan mereka memastikan bahwa Bang Faruq telah meninggal dunia."

"Apa mereka tahu penyebabnya?"

"Para petugas itu bilang dia meninggal karena serangan jantung, namun kami tidak percaya itu. Tidak ada pemeriksaan dokter atau apapun, lagipula Bang Faruq adalah orang yang sangat sehat meski dia suka minum," ada jeda di lidahnya. "Alkohol tapi dia tetap orang yang sehat."

Di sini aku sudah merasakan hal yang aneh. Laki-laki bernama Faruq, biasanya orang Betawi terkenal dengan ketaatan ibadahnya, namun paradoks dia minum alkohol. Pastinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.

"Terus kenapa Pak?"

"Saya ingin kamu menyelidikinya, kami menduga Bang Faruq dibunuh orang. Entah itu saingannya atau mungkin orang dalam organisasinya sendiri."

Aku mengernyit. "Apa Pak? Organisasi?"

"Iya, Bang Faruq selain menjadi ketua OB dia juga ketua Ormas pemuda di tempat kami."

Sebenarnya aku ingin bilang bahwa jika pembunuhannya berhubungan dengan mafia ini akan menjadi thriller kriminal dan bukan cerita detektif. Namun Pak Joko pasti akan balik bertanya apa bedanya.

"Jadi apa yang harus saya lakukan?"

"Mungkin kamu bisa ke TKP-nya besok pagi."
.  .  .

Tiap kali kasus baru hadir selalu jantungku berdegup dengan kencang. Ada rasa aneh seolah akan naik kelas atau seperti pindah ke sekolah yang baru.

Minggu Pagi itu aku sudah mempersiapkan semuanya.

Pak Joko bilang bahwa ini akan jadi penyelidikan yang panjang dan aku mungkin akan menginap di sana selama sebulan. Jadi aku bawa sebuah cover dan tas ransel berisi pakaian dan beberapa makanan. Pak Joko menjemputku pukul 7 pagi, dia bahkan sampai menyewa mobil untuk ke sana.

Jujur aku jarang berpergian dan aku tidak tahu banyak tentang Jakarta Selatan. Paling-paling yang kutahu hanya sampai Pondok Indah. Tidak pernah tahu apa itu Cipulir dan seterusnya. Dalam perjalanan aku hanya berbincang sedikit selebihnya Pak Joko yang bicara. Sementara mataku terus memperhatikan jalanan, gedung-gedung, pohon-pohon, ruko-ruko, dan rumah-rumah yang tidak kukenal.

Cipulir adalah tempat yang tidak strategis. Namun Lembaga Penelitian Minyak itu berada di sana. Pak Joko bilang bahwa tempat itu hanya kantor para PNS. Dan penelitian tidak pernah benar-benar terjadi di sana. Kebanyakan di lakukan di tempat lain. Seperti R & D Pertamina dan seterusnya.

Dia bilang tempat ini mungkin akan dibuat menjadi satu lembaga yang baru. Dari jalan raya, Lembaga Penelitian itu terlihat sempit. Namun ketika masuk ke dalam tempat itu ternyata cukup luas.

LPM dibagi menjadi 3 sektor, sektor 1 yaitu bagian depan hingga ke mesjid, sektor 2 yaitu bagian tengah hingga ke gedung bawah, dan sektor 3 yaitu bagian dalam dimana Auditorium itu berada hingga ke tembok belakang yang jarang disentuh orang. Sektor 3 jelas bagian yang paling sepi di tempat ini. Hanya ada satu dua orang lewat pada jam kerja itupun hanya OB yang mengantar surat ataupun satpam yang dipaksa bertugas keliling. Sementara para PNS mereka lebih suka berdiam di dalam kantor hingga jam makan siang dimulai.

Masuk ke sektor 3 di sinilah Auditorium itu berada.

Aku membayangkan seperti di UI, namun ternyata tidak. Auditorium ini sedikit lebih kecil dan jauh lebih rapih daripada di sana. Hall-nya besar seperti ruangan di hotel juga cukup dingin meski tanpa AC yang menyala. Tidak banyak cahaya di ruang besar itu kecuali jika semua lampu dinyalakan. Di samping dan kiri terdapat pintu aku pun mengambil yang kanan. Pak Joko menyebutnya ruang sayap. Di sini terdapat lorong panjang yang terus ke belakang akan sampai ke toilet sedangkan ke depan akan masuk ke ruang kantor.

Berputar-putar cukup lama di dalam, kamipun kembali ke teras depan. Dan di sana sudah berdiri seorang laki-laki tua berkulit coklat gelap dengan kemeja warna abu-abu.

"Kenalkan, Pak Ramdan," ucap Joko.

"Selamat datang Ikhsan?" ujarnya.

Akupun menggapai tangan itu. "Panggil saja saya Lufin, Pak!" sahutku.

"Ok, Lufin. Gimana sudah lihat ke dalam?"

"Iya, sudah."

"Pak Ramdan ini yang mengelola Auditorium," ucap Joko.

Mataku berputar ke atas. Sedikit terkejut karena kupikir Pak Joko atau Bang Faruq lah yang mengelola tempat ini.

"Kamu sudah dijelaskan situasinya sama Joko?" lanjutnya.

Aku mengangguk. "Sudah Pak!"

"Bang Faruq itu orang yang tegas dan sangat dihormati di sini," ucapnya sambil berjalan di taman di samping bangunan.

"Dia punya banyak anakbuah dan para anakbuahnya itu ya bekerja di sini juga."

"Maaf saya tidak mengerti maksudnya anakbuah?"

"Anak buah dari organisasi-nya kebanyakan bekerja di sini atau jika kamu ingin masuk bekerja di sini kamu juga harus ikut organisasi dia? Namanya Front Fajar Betawi."

"Jadi semua OB di sini ikut organisasi itu?" tanyaku.

"Gak semuanya," jawab Pak Ramdan. "Ekskul di sekolah merupakan hal yang wajib, namun gak semua siswa ikut ekskul bukan. Beberapa ada yang memilih langsung pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai."

Aku tersenyum. "Seperti bapak berdua ini,"

Mereka pun balas tersenyum dan menjawab. "Iya,"

Kami pun sampai di taman kecil di samping kanan bangunan, dimana terdapat jalan setapak dan tangga menurun yang menuju ke gedung di sebelah Barat.

Kami menuruni anak-anak tangga itu dan jari Pak Ramdan menunjuk ke depan. "Di sinilah TKP-nya tempat Bang Faruq ditemukan sudah tidak bernyawa."

"Anda yakin Bang Faruq tidak meninggal secara alami?" tanyaku.

Mata Pak Ramdan berputar. "Kami tidak yakin, karena itu kami butuh bantuan kamu?"

"Kenapa tidak menghubungi polisi lalu meminta mereka untuk melakukan otopsi?"

"Kami tidak bisa melakukannya, jasad sudah dikubur kemarin dan kami tidak menyusahkan keluarga almarhum dengan prosedural-prosedural rumit itu. Jadi pilihan terbaik adalah kamu, penyelidik swasta."

"Satu pertanyaan pak, kenapa anda ingin sekali saya menyelidiki kematian Bang Faruq ini?"

"Karena dia orang baik," ucapnya dengan lidah yang tertahan. "Meski tabiatnya sangat kasar tapi banyak orang yang mendapat penghidupan dari bekerja dengannya. Sebab itu kebenaran atas kematian harus diungkap."

"Tapi ini akan jadi perjalanan yang sangat panjang Pak,"

"Berapa kamu ingin dibayar?" ujarnya mengejutkanku.

"Apa?"

"Sebutkan angka-nya? 10 juta?"

Aku mengernyit tanpa membalasnya.

Dia terdiam beberapa detik lalu berujar. "15 juta?"

Aku masih tidak berkata-kata. Sebenarnya, aku ingin bilang bahwa ini bukan soal angka.

"Bagaimana jika 10 juta plus sepeda motor?" lanjutnya.

"Tidak Pak, rasanya itu tidak cukup."

"Terus apa yang kamu mau?"

"Bagaimana jika gaji yang cukup plus saya boleh tinggal di Auditorium ini," tunjukku ke bangunan itu.

Sesaat dia mengerutkan dahi lalu berkata. "Ok, itu bisa saya atur," dia pun mengulurkan tangannya. "Deal!"

"Deal!" balasku.

"Kamu bisa mulai bekerja pada hari senin besok,"

"Siap Pak!"
.  .  .

Aku seorang visioner dan kupikir Auditorium ini sangat bagus untuk mengembangkan karierku.

Tempat ini memiliki ruang kantor yang bagus, ruang kantor dari almarhum Bang Faruq. Tepat di bagian depan dari sayap kanan bangunan. Bentuknya seperti kotak persegi panjang dengan interior berwarna putih dengan jendela-jendela kaca besar yang menghadap ke halaman depan yang hijau. Kaca-kaca itu ditutup dengan gorden bambu dengan bau sangat khas. Untuk furniture terdapat meja kantor dan dua kursi hitam yang nyaman plus bangku tunggu yang memanjang. Lalu di sana juga ada lemari kabinet yang kosong melompong tanpa diisi apapun. Serta sebuah lemari lain dimana diisi peralatan cairan pembersih lantai, pengharum ruangan, dan koleksi sabun cuci.

Di ruang kantor ini juga terdapat tangga menuju lantai 2, dimana terdapat ruang kosong yang luas dan satu ruang terkunci yaitu tempat untuk sound system Auditorium. Ini sempurna. Dengan meminta izin pada Pak Ramdan ruang kosong di lantai 2 itupun diperbolehkan menjadi kamar pribadiku.

Hari senin pekerjaanku pun dimulai.

Untuk mengorek informasi dan berbaur. Pak Joko memberiku peran sebagai OB baru di Auditorium itu. Sebelumnya sudah ada dua OB di sana yaitu Taufik dan Iwan. Dan mereka lebih tua dariku jadi kutambahkan kata Bang di depannya.

Setelah diperkenalkan oleh Pak Joko, Bang Iwan pun langsung mengajarkanku ritual pagi di Auditorium.

Di mulai dari membersihkan ruang kantor di depan, lalu kemudian mengambil segelas air hangat dari gedung sebelah untuk ditaruh di ruang kantor Bang Faruq. Tentu saja, orang itu sudah meninggal namun untuk menghormatinya Bang Iwan memintaku terus melakukan ritual itu selama 40 hari ke depan.

“Jika gak ada yang minum air itu sampai Dzuhur, kamu minum saja,” ucapnya.

Aku hanya menggeleng dalam hati sungguh ajaib orang ini.

Setelah mengambil segelas air hangat aku melanjutkan pekerjaan bersih-bersih di sayap Auditorium. Bang Iwan selalu memperingatkanku. “Santai aja, sore masih lama,” ulangnya berkali-kali.

Entah kenapa rawut wajahnya sangat senang pagi itu.

Lalu pukul 10 muncul Bang Taufik. Sebenarnya adalah asisten dari almarhum Bang Faruq dan tugas adalah berkeliling sektor 3 untuk mengawasi kinerja para OB yang lain. Tapi karena si Boss sudah meninggal dan yang menggantikan adalah Pak Joko, dia bisa sedikit santai. “Siang nanti kita baru keliling, kamu nanti temanin saya ya, jadi asisten,” ujarnya sambil tertawa.

Setelah istirahat, pukul 1 siangpun kami pergi ke gedung 7 yaitu gedung yang paling pojok di sebelah timur. Aku disuruh membawa mesin Mop. Dan sampai di sana justru kami ngopi dulu bersama OB yang menjaga di lantai 2. Baru kemudian Mop dilakukan sejam kemudian dan satu jam kurang pun pekerjaan itu selesai. Aku ditinggal di mes OB gedung 7 sementara Bang Taufik entah pergi kemana. Di sini kesempatan untuk mengorek informasi dari OB gedung 7 yaitu Parman.

“Man, seperti apa almarhum Bang Faruq itu?” tanyaku.

Wajah Parman cemas namun diapun berkata. “Bang Faruq itu orang yang galak,” dia pun mendekat wajahnya lalu bersuara pelan. “Sebenarnya dia sangat menyeramkan seperti Bos Mafia, apapun yang dia perintahkan harus kita kerjakan sekarang, kalau tidak hari itu juga kamu akan dikeluarkan dari sini.”

“Walah separah itu!”

Jarinya pun naik ke bibir. “Sssstttt… jangan kencang-kencang yang lain bisa mendengar.”

“Apa?”

Wajah pemuda itu seperti ketakutan. “Di tempat ini sebenarnya ada tiga kubu, yang loyal dengan Bang Faruq, lalu kubu yang ingin memberontak melawannya, dan kami yang ingin hidup damai-damai saja. Bahayanya adalah orang-orang yang loyal dengan Bang Faruq membawur diantara kami yang ingin hidup damai-damai saja. Orang-orang ini yang menjadi mata dan telinga Bang Faruq dan merekalah yang membuat banyak dari kami yang dikeluarkan.”

Pemuda ini membuatku merasa masuk ke dunia spionase di zaman perang dingin. Siapapun di sini bisa menjadi pengkhianat dan karena itu tidak ada yang dapat dipercaya.

“Tapi Bang Faruq kan sudah gak ada?”

“Nah itu dia, meski dia sudah gak ada tapi terornya masih ada. Dan konon para anakbuahnya yang loyal itu ingin menghidupkan kembali cara-cara kerja ala Bang Faruq.”

“Cara kerja ala Bang Faruq? Maksudnya?”

“Iya, kayak waktu dulu, kalau kamu gak bayar 10% dari gaji kepada mereka maka kamu akan dikeluarkan.”

Aku mengernyit. “Apa membayar 10% gaji? Itu namanya pemerasan.”

“Dan memang itu pekerjaan Bang Faruq dulu, menjaga keamanan di wilayah sini.”
.  .  .

Kedengarannya memang aneh, namun faktanya orang-orang seperti ini memang ada di Jakarta.

Para penjahat yang memungut uang dari orang-orang miskin tanpa rasa bersalah, memalak dari orang-orang susah seolah mereka adalah raja-raja kecil yang minta upeti, dan mereka begitu kuat hingga teror mereka masuk ke dalam sumsum tulang tiap korbannya. Seperti apa yang dialami Parman, bahkan setelah Bang Faruq meninggal dia tetap takut untuk berbuat sesuatu. Takut-takut kalau mantan anak buah Bang Faruq mengganggunya.

Bicara tentang Auditorium, tempat ini memiliki banyak sisi yang kelam. Selain bang Faruq terdapat pula para PNS nakal dan sopir yang memanfaatkan tempat ini sebagai lokasi perjudian lokal. Mereka selalu memanfaatkan ruang kosong di belakang Auditorium sebagai tempat mereka main poker. Mulai dari jam 10 pagi hingga jam 7 malam. Bahkan kadang hingga tengah malam dan tak ada seorangpun yang melakukan inspeksi atau penggrebekan untuk mereka.

Benar-benar tempat yang buruk.

Mungkin ini pula yang menjadi penyebab kenapa seorang Faruq bisa begitu berkuasa di sini.

Dia memiliki aliansi dari para penjahat, memiliki pendanaan, dan teror bagi orang-orang baik yang tidak bisa berbuat apa-apa. Selain hanya ingin bekerja dan mendapatkan gaji dengan baik.

"Seperti apa bang Faruq, bang?" tanyaku ke Iwan saat kami berada di teras sembari makan siang.

"Dia sebenarnya orang yang baik, cuma kadang-kadang suka kumat aja," ujarnya diiringi senyum.

Akupun tertawa kecil. "Abang sendiri kok bisa tenang di sini, apa rahasianya?"

"Iya, dijalanin aja, lagipula saya punya tanggung jawab. Saya punya istri dan anak karena itu apapun yang terjadi pada saya di sini, saya harus tetap bekerja. Harus bisa bawa uang untuk mereka."

"Dan abang bisa bertahan,"

Dia mengangguk. "Sebenarnya gak gampang sih, tapi ada satu trik yang saya lakukan untuk menjaga jarak dari Bang Faruq."

"Apa bang?" aku penasaran.

"Saya pura-pura budek dan semua orang di sini tahu itu. Akting saya berhasil karena kebanyakan orang di sini mengira saya budek beneran. Tiap kali Bang Faruq berteriak-teriak saya makin pura-pura gak dengar dan lama-lama dia bosan juga berteriak kepada saya."

Entah cerita ini mengingatkanku pada sebuah novel.

Dimana seorang wanita dipaksa menjadi budak seks oleh tentara Jepang. Dan tiapkali ada tentara yang mensetubuhinya dia berakting kaku dan pura-pura mati. Itu cara yang sangat efektif untuk membuat para bajingan itu bosan dan meninggalkan dia sendirian di kamarnya.

"Tentang bayaran 10% dari gaji itu Bang? Apa itu benar semua OB wajib membayarnya?" pertanyaanku makin berbahaya.

Namun dia tersenyum. "Itu benar semua OB di sini wajib bayar 10% dari gaji ke Bang Faruq, kecuali saya dan Taufik."

Mataku membulat. "Apa? Kok bisa?"

“Karena kami tinggal di dekat rumahnya.”

“Apa?”

“Karena kami adalah tetangganya dan kenal dekat dengan keluarganya jadi mungkin dia sungkan untuk meminta 10% gaji pada kami. Jadi tidak pernah ada aturan itu, kecuali pajak bonus penyewa auditorium itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu baru kemudian dibagi rata.”

“Pajak bonus?”

“Tips maksud saya, jika ada penyewa auditorium di hari sabtu atau minggu, biasanya mereka kasih tips tambahan buat OB yang jaga di sini. Nah tips itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu, baru nanti dia yang bagi tips itu ke kita berempat.”

“Bukannya cuma ada tiga orang di Auditorium ini,”

Iwan menaikan alis. “Oh iya, saya lupa Farid sudah keluar, iya gara-gara masalah tips itupula dia diomelin habis-habisan sama Bang Faruq.”

“Bentar bukannya tips itu bersifat pribadi, maksud saya hanya masuk ke kantong penerimanya kan.”

“Iya, harusnya sih begitu. Tapi kalau kita gak ikutin aturan dia, bakal jadi keributan.”

“Hanya gara-gara uang tips bisa jadi keributan,” aku bicara agak ngotot.

Dia mengangguk. “Iya.”

“Ini benar-benar gila Bang, dia gak punya hati kali ya?”

“Syukurnya dia sudah gak ada,” Bang Iwan tertawa sangat ringan.

Semua orang yang berakal pasti tahu. Bahwa orang baik adalah orang yang bisa memberi lebih sekalipun hidup mereka susah. Bukan orang yang mengumpulkan kekayaan dari memeras orang kecil tanpa pernah memberi kebaikan apapun pada mereka.

Gilanya uang tips yang gak seberapapun masih diminta oleh si keparat Faruq ini.

Benar-benar sangat layak menurutku jika orang seperti dia mendapat balasan sebuah pembunuhan berencana.

Mungkin memang inilah yang terbaik bagi mereka. Namun disisi lain seseorang sudah mengorbankan dirinya sebagai martil untuk tujuan itu. Dan dia pasti tahu, cepat atau lambat kejahatan yang tersimpan akan terungkap oleh seseorang.

“Tentang Farid itu, gimana kabarnya?”

“Farid dia keluar 4 bulan yang lalu. Keadaan sangat buruk terakhir kali dia berada di sini.”

“Kenapa?”

“Itu hari senin dan terjadi setelah permasalahan tips itu. Kami membersihkan Auditorium bersama setelah kemarin ada acara pernikahan di sini. Saat itu bang Faruq seperti biasa berceramah atau aku menyebutnya meracau entah apa yang dia bicarakan ke kami. Tiba-tiba dia melemparkan pisau, pisau tukang buah kamu tahu yang besar itu ke muka Farid. Memang tidak kena tapi lemparan itu sangat keras hingga membentur nyaring di pintu kayu.”

“Lalu apa yang Farid lakukan?”

“Dia hanya diam saja, kamu tahu kami tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu seminggu setelah itu Farid mengundurkan diri dari tempat ini.”

“Tentu saja Bang, siapa yang tidak mengundurkan diri setelah diperlakukan seperti itu.”

“Mungkin karena jiwa mudanya, diantara kami, Farid lah yang sangat ingin memberontak. Beberapa kali dia dipaksa ikut ormas-nya Bang Faruq namun dia menolaknya. Kamu tahu ekskul malam, menjaga parkiran ruko-ruko di depan situh namun dia tidak pernah datang ke sana.”

“Ya iyalah Bang, kita sudah bekerja keras seharian, masa malamnya disuruh bekerja lagi. Pekerjaan yang ilegal lagi.”

Iwan mengangguk. “Ya, kamu benar.” Lalu wajahnya menatapku curiga. “Ngomong-ngomong kenapa kamu banyak tanya tentang almarhum? Kayak kamu polisi saja?”

“Hahaha… gapapa Bang saya penasaran aja,” ucapku dengan wajah konyol.

“Saya dengar-dengar nih,” dia kembali mendekatkan wajahnya. “PNS di gedung depan itu, lantai 5 mereka menyewa detektif swasta untuk menyelidiki kematian Bang Faruq.”

“PNS lantai 5 siapa Bang?”

“Itu Pak Ramdan, yang saya dengar sih seperti itu. Katanya mereka menduga bahwa kematian Bang Faruq karena dibunuh orang.”

“Abang sendiri percaya dengan hal itu.”

Iwan menggeleng. “Percaya gak percaya, tapi kalau mengingat hari-hari yang buruk sebelum dia meninggal rasanya mungkin saja dia dibunuh orang.”

“Setahu abang apa dia punya musuh atau saingan gituh?”

“Dulu ada saingan dia waktu bikin ormas itu, Pak Syarif dari Laskar Betawi Hijau, cuma saya gak pernah dengar lagi pertengkaran mereka. Dan satu lagi Pak Latif mantan lurah di Cipulir sini. Cuma dia sudah pindah sekarang dan gak ada kabar lagi.”

“Kalau di lingkungan dekatnya Bang, tetangga atau keluarga?”

Dia kembali menggeleng. “Orang sini mah gak ada yang berani sama dia.”

Aku mengangguk. “Kalau keluarganya gimana?”

“Haduh, kamu itu nanya mulu, jangan-jangan kamu detektif swasta itu?”

“Hahaha… memangnya saya ada tampang sebagai detektif, Bang?”

Sesaat dia terdiam, matanya naik turun ke bawah memperhatikanku. “Nggak mungkin juga sih kamu adalah detektifnya.”

“Jadi seperti apa keluarganya Bang?”

“Setahu saya dia punya satu istri dan tiga anak perempuan.”

“Tidak pernah ada pertengkaran serius?”

“Setahu saya tidak pernah ada. Istrinya patuh banget sama bang Faruq dan anak-anaknya juga sayang banget sama dia. Nggak pernah ada konflik.”

Aku manggut-manggut.

Lalu Iwan memberi kejutan. “Kamu tahu putri sulungnya kerja di sini, di lantai 5 itu,” tunjuknya. “Dia entah bagaimana jadi PNS di sana.”

Mataku sedikit membulat. “Kerja di sini?”

“Iya, kalau gak salah dia jadi bawahannya Pak Ramdan.”

“Wah,” kepalaku mendongak ke atas menatap gedung yang berada di sebelah utara Auditorium. “Apa putrinya tahu kalau bapaknya suka ngambil upeti dari para OB di sini?”

“Kelihatannya dia gak tahu, begitupula dengan anggota keluarganya yang lain. Mereka gak pernah tahu.”

Aku membayangkan kehidupannya seperti mafia di film-film kriminal itu. Dihadapan keluarga mereka begitu baik namun diluar itu mereka sangat bengis. “Kehidupan ganda ya, kayak di film-film gituh.”

Iwan mengangguk. “Bang Faruq gak pernah bilang tentang penghasilan dan bisnis sampingannya. Begitupula dengan para OB di sini gak ada yang berani cerita. Tapi entah mungkin dia tahu atau tidak tahu.”

“Saya bisa bertemu dengan anak perempuannya itu gak?”

Mata Iwan menatapku curiga. Lalu dia berkata. “Biasanya dia nongol sih di sini, hari sabtu jika ada yang nyewa auditorium.”
.  .  .

Ilustrasi: Archdaily.Com

Kasus di Auditorium (part II)

Cerpen by Ftrohx


Sabtu pagi pun datang


Memang ada orang menyewa Auditorium saat itu. Mereka adalah keluarga dari mempelai pria yang akan mengadakan resepsi pernikahan di sana. Bilik VIP di depan lobi kanan dibuka dan memang pemegang kuncinya adalah Riani, Putri Sulung bang Faruq yang bekerja untuk Pak Ramdan. Tidak seperti yang kuduga sebelumnya, ternyata gadis itu sangat cantik.

Akupun mendekatinya, namun belum sempat menyapa dia sudah memanggilku duluan.

“Lufin ya, petugas baru di sini,” ucapnya dengan senyum yang merekah.

“Iya,” jawabku singkat.

“Saya dengar banyak dari Pak Ramdan.”

Aku tersenyum. “Semoga tidak terlalu banyak.”

Dia pun tertawa kecil.

Lalu kemudian hening.

Matanya menerawang ke langit-langit Auditorium. “Ayah saya baru meninggal kemarin dan banyak kenangan di tempat ini.”

“Saya turut berduka,” ucapku.

“Meski dia sangat galak, namun sebenarnya dia orang yang baik,” kata-kata itu terdengar pahit dari lidahnya. “Memang emosinya suka meluap-luap, tapi di dalamnya dia tidak seperti itu,” dia bicara seolah Faruq masih berada di sana. ”Kamu tahu orang seperti dia, kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor.”

“Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah,” potongku.

“Iya, seperti itu.”

Aku tersenyum kecut. Klasik, pembenaran atas boss yang jahat. “Apa anda tahu tentang ormas yang dibuat Ayah anda?”

“Panggil saja saya Riani,”

“Apa kamu tahu itu?”

“Iya, saya tahu,” sayangnya dia tidak melanjutkannya dan beralih ke hal yang lain. “Ngomong-ngomong bahasa kamu seperti seorang detektif?”

Aku menaikan alis, lalu tertawa kecil. “Detektif? Memangnya saya ada tampang seperti itu?”

Seperti yang lain matanya naik turun memperhatikan fisikku. Rambut gondrong, kulit pucat, tubuh kurus, dan wajah setengah zombie. Apa aku seperti detektif? Tentu saja tidak.

Dia menggeleng. “Kelihatannya nggak sih, kamu itu lebih mirip anak band Emo.”

“Kamu tahu Emo?” aku menaikan alis.

“Iya, aku pernah ikuti salah satu band itu.”

“Yang mana?”

“Saosin,”

“Hahaha… Saosin,”

“Iya, dulu waktu zaman SMA.”

“Pantes saja.”

“Kalau yang ada ditelinga kamu lagu apa?”

“Oh ini, Paramore,” jarinya menunjuk ke telinga. “Aku sekarang lagi suka Paramore.”

Aku mengangguk. “Itu bagus, Hayley Williams. Tapi jujur aku agak terkejut melihat penampilan kamu dan siapa Ayah kamu.”

“Siapa orangtua kita belum tentu menentukan kita menjadi apa bukan.”

“Iya, kamu benar.”

“Kamu sendiri suka band apa?”

Mataku berputar ke pipinya. “Seleraku mainstream, kamu tahu Nirvana?”

“Smell Like Teens Spirit!”

“Wow, sungguh sebuah kejutan.”

“Jadi kamu pernah main band?” pertanyaannya makin mengejutkan.

Diposisi ini rasanya sudah tak mungkin lagi berbohong. “Iya, pernah.”

“Wow, luar biasa. Aku nggak pernah nyangka ada OB yang pernah jadi anak band. Mungkin nanti jika ada acara dengan musik di sini kamu bisa naik ke atas panggung.”

“Iya, beresin panggungnya. Haha…”

Kami tertawa.

“Serius, kamu terlihat beda dari OB-OB lain di sini. Mereka tidak berpendidikan dan mereka seperti…” tiba-tiba kata-kata itu terhenti.

“Seperti apa?”

“Iya, seperti OB,” ada sesuatu yang tertahan di lidahnya. “Oh iya, apa nama band kamu itu?”

“Karena band kami rock indies, namanya cukup aneh sih.”

“Apa?” tanya seolah penasaran.

“Kamu pasti akan terkejut.”

“Iya, apa?”

“Namanya Detective Is A Rockstar,” aku menatapnya dan melihat pupil mata itu membesar.

“Wow, jadi benar Pak Ramdan memanggilmu kemarin sebagai seorang detektif.”

“Hahaha… Nggak seperti itu sih, ini cuma nama. Kamu tahu ada band yang namanya Sex Pistols, The Police, kenapa gak ada yang namanya Detective Is A Rockstar.”

“Kamu tahu, kamu itu terlalu pintar untuk jadi seorang OB. Sebaiknya kamu naik pangkat.”

“Iya, terus jadi apa? Kepala OB?”

“Bukan, maksudku jadi satpam, mereka memberi gaji yang lebih baik daripada OB.”

Pembincangan pun berakhir. Riani beranjak pergi mendekati teman-temannya para PNS berseragam LPM.  Melihatnya dari jauh, rasanya butuh waktu lama untuk bertemu dan berbincang lagi dengan dia.
.  .  .

2 Minggu berlalu dengan cepat di Auditorium

Di sini aku merasa seperti Clousaue, si detektif idiot dari film Pink Panters itu. Melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang justru menjauhkan dirinya dari fakta-fakta yang ada di depan mata. Bahkan harusnya seorang bocah SD pun bisa memecahkan kasusnya.

Tapi itulah dia, kita butuh pelawak untuk melengkapi dunia yang muram ini.

Aku kenal nama-nama detektif hebat di Jakarta. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa bukan mereka? Kenapa aku yang baru cuma memecahkan dua kasus. Itupun terjadi karena kebetulan dan bukan karena otakku sendiri. Jujur, aku bahkan tidak mengerti apa itu analisa forensik? Apa itu police prosedural? Deduksi-Konklusi? Dan bahasa ngejelimet ala detektif lainnya. Satu-satunya yang bisa kuandalkan selama ini cuma intuisi. Perasaan alami, insting mereka menyebutnya –untuk menemukan siapa penjahat sesungguhnya.

Ok, aku butuh keajaiban dan inilah yang kulakukan.

Aku menunggunya di depan pintu. Diantara waktu luang antara jam 11 hingga jam 1 siang. Atau antara jam 5 hingga 6 sore. Aku terus memandangi jalan setapak yang membelah taman itu. Aku membayangkan hantu Bang Faruq ada di sana. Melakukan kegiatan yang berulang dan berulang. Dia berjalan sendirian di sana, lalu jatuh begitu saja terkapar sekarat di tanah. Tentunya dengan berbagai macam variasi gerakan. Aku membayangkan mulai dari yang mengerikan hingga kematian paling konyolnya.

“Jadi apa yang kamu temukan?” Pak Ramdan muncul dan wajahnya mirip seperti atasan Clousaue.

Seorang inspektur polisi yang ingin melihat bawahannya hancur dalam insiden yang goblok.

“Masih banyak yang belum saya temukan.”

“Tapi kamu punya nama-nama yang kamu curigai?” tanya-nya lagi.

Tentu saja ada dan dia adalah salah satunya. “Ada tapi saya belum bisa menyebutkan nama-nama mereka.”

“Tidak ada bukti?”

“Belum,” jawabku singkat.

Lalu bibirnya menyungging seolah dia baru saja menang lomba balap karung.

Sial. Wajah itu jelas menyiratkan bahwa dia sangat ingin kasus ini tidak terpecahkan olehku.

Mungkin dia punya rencana lain dengan Auditorium ini dan ruangannya. Mungkin dia ingin membuatnya menjadi kontrakan atau kantor dengan biaya sewa mahal perbulannya. Yang pasti dia ingin mengusirku secepatnya dari tempat ini tanpa biaya pesangon.

“Kalau cara kematiannya?” lanjut Ramdan.

Ini pertanyaan bagus. Syukurnya aku telah menyiapkan jawaban. “Kasus ini mirip dengan cerita detektif klasik Pak. Tidak ada saksimata, tidak ada siapapun yang berada di dekatnya saat dia meninggal. Dia sendirian seperti orang-orang meninggal dalam kasus ruang terkunci. Hanya saja ruang terkuncinya adalah sebuah kondisi di luar ruangan.”

“Ruang terkunci apa?”

“Itu kiasan Pak, misteri ruang terkunci.  Semacam sub-genre dalam fiksi detektif. Ada satu kasus klasik yang mirip dengan ini. Judulnya HollowMan dari John Dickson Carr. Seorang pria berjalan sendirian di tengah salju kemudian tanpa ada seorangpun yang mendekati tiba-tiba dia tewas terbunuh ditembak dari jarak dekat. Sayangnya, tak ada saksimata dan tak ada jejak dari siapapun yang ada di sekitar jasad. Seolah-olah dia dibunuh oleh hantu atau makhluk yang tak menyentuh tanah.”

“Bagaimana mungkin dia dibunuh oleh Hantu?”

“Itu trik Pak, seorang pesulap yang menghilangkan bola atau memunculkan burung dan kelinci dari balik topi. Dia mengalihkan pandangan mata anda Pak, dan membuat kita hanya fokus pada lokasi ditemukannya korban.”

“Maksud kamu?”

“Maksud saya bagaimana jika dia sudah mati sebelumnya, sudah sekarat dan kebetulan dia berjalan di setapak itu dan meninggal di sana.”

“Dia diracun?”

Jariku naik dan menutup bibir. Runut logika di kepalaku memang mengarah kesana. Sebuah racun. Aku bisa membayangkan Bang Faruq melakukan rutinitasnya. Minum segelas air hangat yang disediakan penjaga Auditorium di atas meja kantornya. Dia meneguknya sampai habis. Lalu berjalan-jalan ke samping Auditorium melewati taman dan masuk ke jalan setapak. Di saat itu, racun sudah bekerja dan maut sudah sampai ditenggorokan. Dia jatuh di sana, sekarat sendirian tanpa ada saksimata apalagi orang yang menolong.

Jadilah Bang Faruq sesosok mayat, sebuah misteri apakah dia meninggal oleh sebab alami ataukah dia adalah korban pembunuhan?

Sayangnya, bicara tentang metode racun. Aku tidak punya bukti racun apa yang dia masukan ke dalam gelas itu. Tidak ada CCTV di auditorium, tidak ada saksimata, tidak ada apapun. Lagipula waktu telah bergulir lama dan gelas itu pasti sudah dicuci berulang-ulang yang membuat jejak mikro bersih dari tiap sudutnya. Dan yang lebih penting lagi, aku bukan petugas forensik ataupun penyelidik resmi yang punya wewenang untuk mengotopsi korban. Dan sejak awalpun, kasus ini sudah amburadul karena kematian korban diasumsikan sebagai kematian alami tanpa pemeriksaan oleh dokter terlebih dahulu.

“Kalau begitu siapa yang meracuni dia?” lanjut Pak Ramdan.

Kembali aku hanya tersenyum simpul.

Disini berengsek-nya, ada begitu banyak orang yang membenci dan ingin menghabisi Faruq.

Bisa jadi adalah mereka yang memberontak, namun bisa jadi pula orang-orang yang loyal kepadanya yang melakukan pembunuhan. Atau bisa jadi dua orang yang memanggilku bekerja di sinilah konspiratornya Pak Joko dan Pak Ramdan sendiri.

Atau mungkin dua orang yang bekerja di Auditorium itu Bang Iwan dan Taufik mereka adalah dua orang yang tiap hari berada paling dengan Bang Faruq. Atau mungkin orang yang sudah keluar dari pekerjaan OB di sini. Iya, jika aku adalah pembunuhnya pastinya aku memilih keluar dari tempat ini begitu dia meninggal, pergi jauh tanpa meninggalkan jejak. Sialnya, tanpa runut bukti aku tidak bilang mereka adalah pelakunya.

“Maaf Pak, saya belum bisa memberikan jawabannya?”

“Lalu kapan kamu bisa?”

Jariku naik ke dahi. “Saya belum bisa memastikan.”

“Ok, kalau sampai akhir bulan ini kamu belum mendapatkan satu nama siapa pelakunya? Kontrak kerja kamu saya putus.”

Bibirku kembali membentuk simpul. Kisah ini makin bagus saja.
.  .  .

Ok, kembali ke coretan kertas. Ada dua gedung yang paling dekat dengan Auditorium. Gedung administrasi LPM yang tepat berada di depan Auditorium, sebelah utara bangunan. Dan gedung penelitian gas yang berada di sebelah kiri Auditorium atau sebelah barat bangunan.

Korban berada di jalan setapak di taman di sebelah barat bangunan. Dari posisi TKP ini, harusnya jasad korban dapat terlihat dari atas gedung administrasi ataupun penelitian gas.

Tapi mereka bilang tak ada saksi yang melihatnya jatuh. Ini mungkin disebabkan karena waktu kematiannya pada jam sibuk. Namun si pelaku pembunuhan sangat bisa mengawasi korban dari dua gedung. Pertanyaannya yang mana? Apakah dari Gedung Administrasi ataukah dari Gedung Penelitian Gas?

Masalah utamanya lagi, meski tempat ini besar dan terlihat modern. Sayangnya dengan sangat-sangat disayangkan tidak kamera CCTV. Baik itu di dalam ataupun di luar Auditorium. Ini membuat tempat ini menjadi sangat sempurna untuk sebuah aksi pembunuhan berencana.

Tak ada saksimata dan tak ada apapun. karena itu tidak ada cara lain selain cara manual yaitu bertanya untuk menemukan petunjuk yang tersisa.

Sore, saat pekerjaanku sudah tidak sibuk, aku kembali mendatangi Gedung Penelitian Gas.

Kebetulan aku sudah kenal OB utama di sana yaitu Pak Syarif. Dibanding dengan yang lain yang lebih banyak pekerjaan bersih-bersih lantai. Pak Syarif tugasnya hanya menjaga penting dan menyiapkan minuman untuk para PNS. Kadang dia juga menyiapkan makanan ringan bahkan memasak mie instan untuk mereka. Terkadang almarhum Bang Faruq pun meminta mie instan darinya.

Pak Syarif berkumis tebal dengan wajah yang agak berkeriput. Badannya kurus dan tiap hari dia suka mengenakan baju safari putih yang usang. Kadang dia suka terlihat gugup. Namun jika kamu sudah kenal akrab dengannya, dia akan jadi orang yang sangat ramah. Untuk amannya, aku mengajak dia mengobrol di halaman belakang Gedung Penelitian Gas dimana terparkir dua mobil dinas tua yang jarang dipakai. Setelah berbincang basa-basi selama 5 menit. Menu utamapun langsung kusajikan.

“Pagi dimana Bang Faruq meninggal, Pak Syarif yang membuatkan air minum untuknya ya?”

Pak tua itu langsung membelalak. Kemudian dia berkata dengan sangat gugup. “Iiyyaa, memangnya ada apa?”

“Siapa yang membawa minuman itu ke ruang Bang Faruq?”

Dengan wajah yang masih terkejut, dia melanjutkan. “Eee, Iwan dia yang membawanya. Memangnya ada apa?”

“Sebenarnya saya di sini untuk memastikan sesuatu Pak,”

“Memastikan apa?”

“Memastikan bahwa Bang Faruq meninggal karena dibunuh orang!”

Dia makin terkejut dengan wajah mirip orang yang baru bertemu setan. “Dibunuh orang!” dia setengah berteriak.

Jariku naik ke atas. “Sstttt… Jangan kencang-kencang Pak, nanti didengar yang lain. Saya sebenarnya penyelidik swasta. Saya disewa oleh Pak Ramdan untuk memastikan itu.”

Alis Pak Syarif kembali naik. “Jangan-jangan kamu mengira saya meracuni air minumnya Bang Faruq?”

“Tidak Pak saya cuma memastikan,” tanganku naik ke bahu mencoba membuatnya tenang. “Anda bilang kan ada yang lain pagi itu yaitu Iwan yang mengantar gelasnya.”

“Jadi maksud kamu Iwan?”

“Tidak, tidak seperti itu. Pertanyaan saya apa anda melihat Iwan berjalan sampai ke Auditorium?”

Dia menggeleng. “Saya hanya ada di pantry pagi itu. Tapi OB yang lain mungkin melihatnya.”

“Kalau begitu baiknya, anda panggil teman-teman OB yang ada pada pagi itu.”

Tanpa memberitahu detail sebenarnya tentang penyelidikan ini. Pak Syarif memanggil 3 OB yang bekerja pada pagi itu. Ketiganya ikut berbincang dengan kami di taman belakang, namun hanya satu orang yang saat itu berjaga di depan.

Diapun menjelaskan, saat Pak Syarif mengambil minuman dia ada di teras depan bersama Iwan. Mereka berbincang tentang pertandingan bola yang terjadi malam sebelumnya. Lalu gelas berisi air hangat datang dan Iwan pun pamit dari sana. Tidak ada hal yang aneh waktu itu. Semua berjalan seperti biasa.

“Tapi ada OB dari gedung 7. Rohmat, dia berpapasan dengan Iwan di depan jalan itu. Mungkin dia melihat sesuatu yang gak kami lihat di sini.”

Dari satu petunjuk ke petunjuk yang lain.

Tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung ke gedung 7 mencari OB itu.

Syukurnya dia belum pulang dan kamipun berbicara.

“Iya, saya memang berpapasan dengan Iwan di depan gedung Penelitian Gas,” ujarnya.

Lalu disinilah kunci kotak pandora-nya. “Pertanyaan saya, sebelum ke gedung PG kamu melewati Auditorium kan?”

Dia mengangguk. “Iya,”

“Pertanyaannya apa ada orang yang masuk ke sana di saat Iwan keluar?”

Matanya membulat. “Iya, ada.”

Aku pun menunjukkan sebuah foto di handphoneku. “Apakah dia?”

Mata si pemuda seolah ingin keluar. “Iya, iya, benar dia.”

“Kamu yakin?” tegasku.

“Iya saya yakin itu memang dia. Saya ingat betul pakaiannya itu,” balas Rahmat seterang-terangnya.

Aku tersenyum.

Akhirnya setelah nyaris sebulan berada di sini. Semua kepingan menjadi utuh.
.  .  .

Tentu untuk memastikan sebuah kebenaran kamu harus melihat dari banyak sisi.

Keesokan paginya aku pergi ke gedung itu.

Bertanya pada beberapa orang yang berada di sana dan memastikan bahwa dia tidak berada di gedung tersebut di pagi sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal. Tepat saja, mereka berkata bahwa itu benar. Dan lebih beruntung lagi di lobi gedung itu terdapat kamera CCTV yang membuat kami bisa memastikan kebenarannya.

Siangnya, bersama dengan Pak Joko dan Pak Ramdan aku mengumpulkan semua saksi-saksi penting ini di ruang kantor Auditorium. Pak Ramdan pun menjelaskan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Beberapa hadirin tampak terkejut namun yang lain diam karena sudah tahu ceritanya.

“Ada kemungkinan dia diracun,” ujar Pak Ramdan. “Racun tersebut dimasukkan ke gelas minuman yang biasa dia minum setiap pagi.”

“Nggak mungkin,” ujar Iwan. “Bang Faruq memang orang berengsek, tapi saya gak pernah ada niatan untuk bertindak jahat padanya.”

“Saya nggak bicara tentang kamu Iwan. Saya hanya bicara metode dan yang memberi racun belum tentu kamu. Melainkan ada orang lain di sini.”

“Di sini,” para hadirin bingung dan saling menatap satu persatu.

Akupun ikut bicara. “Iya, pelakunya ada di sini. Kamipun sudah melaporkannya pada polisi. Saat ini mereka sedang membongkar makamnya dan sore nanti akan dilakukan otopsi pada jasad Bang Faruq untuk memastikan racun jenis apa yang membunuhnya.”

“Anda tidak bisa melakukan itu,” teriak Riani putri tertuanya. “Anda harus meminta izin keluarga dahulu.”

Pak Ramdan mendekatinya. “Iya, kami sudah bicara pada seluruh keluarga kecuali kamu.”

Riani membelalak kemudian berteriak. “Apa-apaan ini!”

“Baiknya kamu jujur,” ucapku tanpa memandangnya.

“Kalian menunduh saya yang membunuh Ayah saya sendiri,” ujarnya penuh kemarahan. Diapun berjalan kesal menuju pintu keluar, namun Pak Joko menutupnya. “Kalian semua gila, gak mungkin saya membunuh Ayah sendiri. Apa buktinya kalian menuduh saya?”

“Sialnya, memang tidak ada kamera CCTV di Auditorium ini,” ucapku. “Namun di gedung seberang di lobi kanan Gedung Administrasi, di sana ada kamera CCTV. Dan gambar kamu tertangkap di situh tepat di pukul 8:30 pagi yaitu satu jam sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal.”

“Itu belum masuk jam kantor, wajar jika aku atau karyawan lain keluar masuk lobi.”

“Tidak itu sangat tidak wajar untuk anda sendiri. Itu melawan kebiasaan anda yang jika sudah masuk kantor dan naik ke lantai 5 tidak akan turun darisana kecuali sudah waktu jam makan siang. Dan rekaman itupun memperlihatkan anomali anda.”

“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti, saya keluar pagi itu ke gedung arsip di sektor 2.”

“Memang benar anda pergi ke sektor 2 tapi itu hanya untuk berputar kemudian menuju ke Auditorium. Dan kami punya saksinya, Rohmat OB dari gedung 7 saat dia sedang berjalan menuju gedung Penelitian Gas, dia melihat anda masuk ke ruang kantor Auditorium.”

“Itu masih pagi, wajar jika Ayah saya menelpon untuk bertemu dan saya datang menemuninya di Auditorium.”

“Dalam kondisi dan situasi yang lain tentu saja itu sangat wajar,” ucapku sambil berjalan mendekatinya. “Namun pagi itu anda tahu bahwa Bang Faruq belum ada di sana. Jadi bagaimana mungkin dia menelpon anda,” tunjukku ke handphone. “Yang pasti tidak ada panggilan dari Faruq pagi itu. Anda tahu bahwa Auditorium kosong karena Iwan pun sedang mengambil segelas air untuk ditaruh di meja Bang Faruq. Dan disinilah anda menjalankan rencana jahat anda.”

Dia membelalak lalu berteriak dengan sangat marah. “Ini GILA!!”

“Anda bersembunyi di lantai 2 Auditorium,” tunjukku ke atas ruang kantor. “Darisana anda bisa melihat Bang Iwan masuk membawa segelas air putih hangat. Anda menunggu sambil terus mengawasi, ketika Iwan sudah pergi ke lorong kiri bangunan. Anda turun dan membubuhkan racun diminuman milik Ayah anda sendiri. Saya yakin tadinya anda pikir dosis itu tidak cukup berbahaya setidaknya hanya akan mengirim dia ke rumah sakit. Namun diluar dugaan dia benar-benar meninggal di sini.”

Kali ini matanya berkaca-kaca. “Tidak ada saksi untuk hal itu.”

“Kamu salah,” jariku naik ke atas memberi kode dan mereka pun turun. Para polisi beserta seorang gadis yaitu Mala –rekan kerja Riani di lantai 5.  Dan tentu Riani sangat tersentak.

“Kamu bilang pagi itu kamu turun untuk ke toilet bawah,” ucap Mala. “Kenapa kamu berbohong? Lalu kamu turun ke lobi keluar dari gedung dan pergi ke Auditorium. Kenapa? Apa yang sebenarnya kamu lakukan pagi itu?”

“Itu bukan apa-apa,” kembali Riani berteriak.

“Pagi itu, setelah dari lantai bawah, wajah kamu terlihat sangat sedih. Lalu kamu bilang ada masalah pribadi tentang pacar yang tidak ingin kamu bicarakan.”

Riani histeris. “Sudah hentikan!”

“Pagi itu diluar kebiasaan kamu, setelah kembali dari bawah kamu bekerja di meja yang tepat menghadap jendela kaca besar. Kamu terus melihat ke arah Auditorium sambil mencemaskan sesuatu.”

“Aku mohon sudah hentikan.”

“Sejak awal aku tahu kalau kamu berbohong. Bahwa kamu tidak pernah suka dengan Ayah kamu sendiri,” lanjut Mala.

Dia pun mengangkat kepalanya. “Iya, kamu benar. Aku tidak pernah suka dengan si Bangsat itu. Dia adalah orang munafik bermuka dua. Orang yang selalu berpura-pura baik didepan masyarakat namun jahat dibelakangnya. Di dalam rumah dia mendidik kami menjadi orang yang sama munafiknya seperti dia.”

“Kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor,” ucapku. “Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah.”

Riani melirikku dalam lalu melempar muka ke yang lain. “Dia benar-benar keparat dan kalian semua cuma bisa tunduk padanya.”

“Kamu ingin melanjutkan kata-kata itu, bahwa para OB tidak berpendidikan dan mereka seperti…”

“Budak yang hanya bisa menjilat kaki majikannya,” Riani mengejutkan semua. “Kenapa kalian tidak melawan, kenapa kalian tidak protes atau melaporkannya ke HRD atau pihak berwenang siapapun di sini.”

“Karena kami tidak berdaya Nona,” ucap Bang Iwan. “Karena kami gak punya pilihan lain, kami tidak tahu dimana lagi kami bisa bekerja selain di sini.”

Pak Ramdan pun ikut bicara. “Iya, kebanyakan kami yang ada di sini tidak memiliki pilihan. Namun sekarang dia sudah tidak ada lagi, semua berkat kamu.”

Riani menatap lama Pak Tua itu. Sebelum kemudian menyerahkan kedua tangannya kepada polisi.
.  .  .

Riani tidak pernah berniat untuk membunuh Ayahnya sendiri. Dia hanya ingin mengirim Faruq masuk ke rumah sakit. Dan menghentikan kegilaan dari kampanye organisasi pemudanya.

Tapi dibalik itu motif utamanya adalah kemarahan Riani. Suatu ketika dia mendapati kabar bahwa laki-laki yang disukai dihajar orang dalam perjalanan pulang. Belakangan diketahui pelaku pengeroyokan tersebut adalah orang-orang dari Organisasi yang diketuai oleh Ayahnya sendiri. Riani menyimpan dendam, hingga dia menemukan waktu dan kondisi yang tepat yaitu tanggal 5 kemarin untuk melakukan eksekusi.

Riani menggunakan setengah dari dosis mematikan. Namun yang tidak dia ketahui adalah, Ayahnya pada malam sebelum itu minum arak Korea yang keras. Lambung dan ususnya sudah mengalami peradangan parah. Ditambah lagi dengan racun yang dia minum pagi itu. Menciptakan reaksi yang sangat mematikan.

Setelah meneguk air itu, Faruq tahu ada sesuatu yang tidak beres pada minumannya. Dia pun berjalan menuju ke gedung Penelitian Gas untuk bicara pada Pak Syarif mengenai rasa aneh dari air yang diminumnya. Namun belum sempat sampai ke sana. Dia sudah merasa sangat sakit dan jatuh di jalan setapak itu. Tak lama maut pun menjemputnya di sana.

Sore setelah Riani ditangkap, polisi melakukan otopsi terhadap jasad Faruq Rohman. Lalu 3 hari kemudian laporannya keluar dan benar bahwa ketua organisasi pemuda itu meninggal karena racun ditubuhnya yaitu racun sianida.

“Kamu sangat hebat Fin, kemarin,” ujar Pak Joko orang yang membawaku dari Jakarta Timur ke tempat ini.

“Alhamdulillah Pak,”

“Jujur saat pertama kali membawa kamu, saya tidak yakin penyelidikan ini akan terpecahkan. Saya cuma ingin mencoba saja.”

“Iya, syukurnya kita berhasil Pak!”

“Kamu tahu sebenarnya ada rasa sesal di dada saya atas penangkapan Riani.”

“Sesal kenapa Pak?”

“Sesal, karena saya sudah menganggap Riani sebagai anak sendiri,” diampun terdiam sejenak. “Saya takut jika kejadian Bang Faruq itu terjadi pada saya. Saya juga punya anak perempuan dan saya tidak tahu seperti apa masa depannya nanti.”

Aku hanya menarik napas dan mendengarkan.

“Kamu percaya dengan karma Fin?”

“Tidak terlalu Pak,” ucapku sambil memandangi lantai 5 gedung Administrasi. “Tapi saya percaya jika kita berbuat baik maka kita akan mendapat balasan yang baik nantinya.”

“Iya kamu benar Fin,” ucapnya.

Tak lama Pak Jokopun beranjak dari duduknya. Meninggalkanku sendirian di sini menikmati dingin malam di depan teras Auditorium.

Seminggu kemudian tempat ini mengalami banyak perubahan.

Pak Ramdan berinisiatif memasang kamera CCTV di sudut-sudut penting Auditorium. Berjaga-jaga jikalau terjadi insiden-insiden kriminal seperti yang dilakukan Riani. Lalu aku sendiri, mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Pak Ramdan yaitu izin tinggal gratis di sana untuk jangka waktu yang sangat panjang. Aku boleh menggunakan lantai 2 sebagai tempat tinggalku dan boleh memakai kantor Auditorium untuk melayani klien-klien jasa penyelidikanku, jikalau ada yang datang katanya. Hahaha… Luar biasa, padahal ini baru kasus ketiga yang kupecahkan. []
.  .  .

Ilustrasi: Archdaily.Com 

Saturday, June 25, 2016

Backdrop tuk Acara Launching Product

WanBackDrop



Selain menangani Desain Backdrop tuk acara seminar. Kami dari WanBackdrop juga menangani Desain Backdrop tuk Product Launching. 


Bagi Kamu yang akan mengadakan Acara-acara Kantor maupun Perusahaan penggunaan Backdrop adalah solusi terbaik, terlebih jika acara tersebut dilaksanakan di Hotel-hotel besar.


WanBackDrop telah berpengalaman dalam pengadaan Backdrop dengan kualitas yang terbaik dan berkualita sehingga merasa nyaman


Hubungi kami di 0877 7455 1147
Atau di no. 0815 8616 7586


Detail Backdrop:
Minimal : 2 Meter (Tinggi) x 4 Meter (Panjang)
Maksimal : 3,5 Meter (Tinggi) x 15 Meter (Panjang)
Harga Backdrop Rp 250.000/m2/hari (NETT)


Example:
Ukuran 3 x 5 Meter = 15m2
Harga Backdrop= 15 m2 x Rp 250.000/m2/hari Harga Backdrop= Rp 3.750.000/hari
Backdrop kami tersedia dalam berbagai Ukuran (Kelipatan 20cm) dengan Minimal order Rp 3.000.000


Minimal order berlaku untuk ukuran 3×4 meter ke bawah


Harga tersebut diatas (Rp 250.000/m2/Hari) sudah termasuk: 1. Design Backdrop 2. Printing Flexi (Korea-High Resolution) 3. Set Lampu Sorot / Lampu Pijar (sewa) 4. Ongkos Bongkar Pasang Backdrop 5. Biaya kurir, dan lain-lain.


Kamu tinggal menyiapkan acaranya saja…


Hubungi kami di 0877 7455 1147
Atau di no. 0815 8616 7586

Tuesday, June 21, 2016

FlightPlan vs NonStop

by Ftrohx

Kemarin gw baru nonton film Nonstop-nya Liam Neeson.

Itu film yang lumayan bagus. Gw sempat berpikir untuk mereview-nya. Namun begitu masuk ke bagian-bagian akhir ternyata tidak sebagus itu. Jadi gw pikir ulang, gimana jika gw adu saja? Nonstop dengan film lain yang memiliki tema sama yaitu psychological thriller di dalam pesawat. Dan gw pun jatuh pada satu referensi yaitu FlightPlan.


Sinopsis


Nonstop adalah film Psychological Thriller dengan setting di dalam pesawat.

Kisah dimulai dari Liam Neeson, seorang lelaki yang memiliki sejarah kelam dan tragedi dalam hidupnya. Namun bagian ini tidak diceritakan sampai film memasuki bagian tengah. Diawal-awal Neeson muncul sebagai protagonis stereotype yang misterius. Kita tahu bahwa dia adalah sang jagoan, dia akan menangkap si penjahat dan menghajarnya habis-habisan seperti di film Taken.

Satu yang gw suka dari film-filmnya Neeson adalah bagian awalnya. Suasana dingin dan misterius. Diawal-awal lo bertanya-tanya. "Apa yang akan terjadi selanjutnya?" Bahkan dari awal lo sudah menebak-nebak. "Siapa penjahatnya?" Tadinya gw pikir bahwa di sini Neeson bekerja sebagai seorang agen rahasia. Namun aneh untuk apa dia berpergian dengan pesawat jika dia takut naik pesawat.

Lalu jawabannya mengejutkan ini adalah pekerjaannya, sebagai Air Marshall. Polisi rahasia yang ditugaskan untuk mengamankan tiap penerbangan pesawat. Bahkan pramugari dan kru-pesawat lainnya pun mengenal dirinya.

Tapi dengan ketenarannya di dalam pesawat membuat musuh mudah mencari celah. Bahkan meng-kambinghitamkan dirinya untuk sebuah aksi kejahatan yang besar. Atau istilah kriminal-nya dia adalah korban yang tepat. Neeson punya latar belakang yang buruk, berpindah-pindah pekerjaan, pernah kecanduan alkohol, dan pernah kehilangan anak gadisnya. Sebuah tragedi yang dimanfaatkan oleh penjahat anonim.

Entah, bagaimana sebuah pesan ancaman muncul di handphone Neeson. "Setiap 10 menit akan ada orang yang terbunuh di dalam kabin pesawat ini!" Awalnya Neeson berpikir bahwa pesan itu dari salah satu kolega-nya, seorang intel polisi juga yang berada di dalam pesawat.

Dia pun memeriksanya, mereka berbicara di toilet. Koleganya bilang tentang sejumlah besar uang yang bisa mereka bagi setelah dia turun dari pesawat. Neeson marah, dia berpikir bahwa koleganya adalah orang yang menyebar ancaman dalam pesawat. Terjadi perkelahian dan si kolega itupun mati. Di sini bagian yang mengejutkan, handphone kembali berdering dan pesan baru kembali masuk.

Ternyata kematian kolega-nya itu sudah diprediksi oleh si penjahat anonim. Bagian ini membuat gw merinding, sempat mengingatkan gw dengan karakter penjahat di novel Curtain-nya Agatha Christie. Penjahat X yang bisa membunuh orang tanpa harus membunuh secara langsung, melainkan dengan plot dan sugesti-sugesti pada orang-orang yang berada di sekitar target. Membuat mereka saling membunuh satu sama lain. Brilliant.

Kemudian mata Neeson pun menyorot ke sudut yang berbeda. Ke wajah orang yang selama ini mengenalnya berada di dalam pesawat. Orang itu tak lain adalah si pramugari cantik.

Ok, bagian-bagian awal ini sangat bagus, bahkan sampai ke tengah film. Mereka berhasil membuat gw bertanya-tanya seperti apa sih wujud asli dari si penjahat anonim ini. Sejenius apakah dia hingga bisa membuat plot yang mengerikan seperti ini. Sayangnya, di sepertiga terakhir dari film semua berbalik menjadi buruk. Seperti yang sering gw bilang di review-review gw sebelumnya. Sebuah revelation yang buruk ibarat nila setitik yang menghancurkan susu sebelangan. Dan kasus itu kembali terjadi di sini. Selanjutnya dari sini kamu nonton saja.


Itu tentang Nonstop, sedangkan Flightplan iya film ini membuat gw merinding sejak bagian-bagian awal.


Menurut wikipedia, Flightplan terinspirasi dari film lama Alfred Hitchcock berjudul "Lady Vanished" Atau menghilangnya sang wanita. Bagaimana jika lo pergi dengan seseorang, namun ketika lo sudah berada di dalam pesawat, ternyata orang itu tidak ada. Lo bertanya ke orang-orang sekitar dan mereka mengaku tidak pernah melihatnya. Seolah-olah entitas dari orang yang bersama lo pergi di dalam pesawat tidak pernah ada sedari awal.

Kasus ini terjadi pada Jodie Foster dan anak gadisnya.

Si gadis kecil itu menghilang dari kursi di sampingnya dan ketika dia bertanya ke pramugari lalu ke orang-orang tidak ada satupun yang mengetahui. Keributan terjadi di kabin pesawat dan kapten pun turun tangan. Dia menelpon ke bandara dan mendapati Jodie hanya terbang sendirian di dalam pesawat tersebut. Tidak ada anak gadis yang menyertainya dan belakangan diketahui bahwa gadis kecil itu telah meninggal dalam kecelakaan bersama dengan almarhum suaminya.

Cerita menjadi pelik karena tak ada satupun orang di dalam pesawat yang percaya dengannya.

Mereka menganggap Jodie mengindap schizophrenia dan bahkan memberi psikiater untuk mendampinginya selama dalam perjalanan. Yang gw suka dari film-film thriller modern adalah satu peristiwa menuntun ke peristiwa yang lain. Dan inilah yang terjadi, peristiwa tersebut adalah bagian awal dari sebuah rangkaian plot kriminal yang sangat besar. Pembajakan pesawat dengan tuntutan uang sebesar 50juta dollar kepada maskapai penerbangannya.

Ditengah kegilaan itu Jodie Foster dijadikan kambing hitam. Dia dibuat sebagai wanita yang menderita karena kehilangan suami dan anaknya yang kemudian menjadi gila dan meledakkan pesawat tersebut jika tuntutan uangnya tidak dipenuhi.

Dibanding dengan Nonstop menurut gw Flightplan plotnya lebih well-crafted. Dia bersih dan konsisten. Dingin dari awal sampai akhir. Pembangunan karakternya pun kuat dan fokus hanya pada tiga karakter penting.  Tidak ada feature-feature tambahan di tengah cerita ataupun karakter yamg mubazir.


Jika diadu

Nonstop dengan Liam Neeson-nya tentu memiliki bonus yaitu lebih banyak adegan action. Sayangnya, seperti yang gw bilang di atas alur ceritanya kurang greget. Plot twistnya agak mengecewakan. Seandainya si penjahat anonim itu adalah karakter yang lain. Misalnya pramugari dan co-pilot pesawat gw rasa film ini akan jauh lebih baik. Sayangnya, penjahat anonimnya adalah salah satu penumpang itu, plus motifnya pun juga tidak cukup greget menurut saya.

Sedangkan Flightplan, seperti yang gw bilang di atas mereka lebih fokus. Plot twistnya pun juga gak macem-macem karena mereka bukan fokus pada siapa tersangkanya, melainkan dimana anak gadisnya menghilang? Dan apa yang sebenarnya terjadi dibalik kejadian tersebut? Dibagian akhirnya semuanyapun menjadi utuh dengan paparan bagaimana kejahatan itu bisa dilakukan. Semi-inverted detective story menurut gw, hahaha...

Ok, sedikit catatan sebenarnya ada satu lagi film psychological thriller di dalam pesawat yang layak dibahas juga yaitu Red Eyes-nya Cillian Murphy. Tapi karena film itu gak se-greget Nonstop-nya Liam Neeson jadi mungkin akan gw bahas di kesempatan yang lain.



Konklusi

Untuk Nonstop-nya Om Liam Neeson, sebenanrya ini film bagus sih. Sayang aja bagian akhirnya yang jelek. Jadi untuk dia gw kasih point 65 skala 100 walau agak mengecewakan tapi masih enak kok untuk ditonton sepulang kerja. Sedangkan Flightplan, ini gw kasih 81 skala 100 Beuh jauh lebih baik daripada Nonstop dan sangat direkomendasikan untuk teman-teman penggemar psychological thriller.

Tuesday, June 14, 2016

Desain Backdrop tuk Acara Seminar

WanBackDrop



Apakah kamu yang akan mengadakan: Meeting, Rapat, Diskusi, Penkamutanganan, Peluncuran Produk dan Layanan, Bincang-bincang, Rapat Tahunan, Rapat Bulanan maupun Harian, Promosi dan lain-lain dapat sepenuhnya menggunakan jasa kami.


Kamu Berada di termpat yang tepat!


Bagi Kamu yang akan mengadakan Acara-acara Kantor maupun Perusahaan penggunaan Backdrop adalah solusi terbaik, terlebih jika acara tersebut dilaksanakan di Hotel-hotel besar.


WanBackDrop telah berpengalaman dalam pengadaan Backdrop dengan kualitas yang terbaik dan berkualita sehingga merasa nyaman


Hubungi kami di 0877 7455 1147

Atau di no. 0815 8616 7586


Detail Backdrop:

Minimal : 2 Meter (Tinggi) x 4 Meter (Panjang)

Maksimal : 3,5 Meter (Tinggi) x 15 Meter (Panjang)

Harga Backdrop Rp 250.000/m2/hari (NETT)


Example:

Ukuran 3 x 5 Meter = 15m2

Harga Backdrop= 15 m2 x Rp 250.000/m2/hari Harga Backdrop= Rp 3.750.000/hari

Backdrop kami tersedia dalam berbagai Ukuran (Kelipatan 20cm) dengan Minimal order Rp 3.000.000

 

Minimal order berlaku untuk ukuran 3×4 meter ke bawah


Harga tersebut diatas (Rp 250.000/m2/Hari) sudah termasuk: 1. Design Backdrop 2. Printing Flexi (Korea-High Resolution) 3. Set Lampu Sorot / Lampu Pijar (sewa) 4. Ongkos Bongkar Pasang Backdrop 5. Biaya kurir, dan lain-lain.


Kamu tinggal menyiapkan acaranya saja…


Hubungi kami di 0877 7455 1147

Atau di no. 0815 8616 7586

. . .

Wednesday, June 8, 2016

Top 10 Espionage Films

by Ftrohx


10. Man from UNCLE



Biasanya seorang pemain yang sudah main di satu karakter hebat. Sulit untuk main di karakter hebat yang lain. Maksud gw ketika lo sudah jadi Harry Potter sulit bagi lo untuk bermain di film Box Office lainnya. Namun Henry Cavill si Superman ini berhasil bermain di karakter yang berbeda. Memang aura seorang Clark Kent-nya masih sangat terasa namun di film spionase ini. Gw lihat dia cukup asik dengan perannya sebagai mantan pencuri yang direkrut sebagai agen rahasia. Begitupula dengan Armie Hammer yang terkenal sebagai Winklevos di Social Network. Di sini dia jadi orang Rusia, karakter yang sangat berbeda dan cukup kampret menurut gw. Dan satu lagi Elizabeth Debicki yang jadi karakter antagonis. Gw ngelihat dia kayak versi Hollywood dari Marissa Nasution. Hahaha... Tentang cerita dan aksi-aksi di film ini lumayan asik meski gak hebat-hebat amat.


9. A Most Wanted Man


John LeCarre memang Mpu-nya novel Spionase dan ini adalah salah satunya A Most Wanted Man. Bukunya memang gak bagus-bagus banget, tapi filmnya jauh lebih baik. Asli gw suka sinematrographi-nya. Mereka membawa gw ke Jerman Barat dengan suasana yang terang namun juga dingin. Suasana yang nyaris sama gw dapat saat nonton film Social Network. Yang gw suka dari LeCarre dalam tiap ceritanya adalah bahwa para agen rahasia ini hanyalah manusia biasa. Mereka pintar dan profesional, namun mereka bukan jagoan yang bisa melakukan segalanya. Seperti yang gw bilang di note sebelah, mereka hanya orang biasa yang bekerja di bidang yang tidak biasa. Dan disitu serunya, pengalaman yang mereka sharing.


8. Quantum of Solace


Gw bukan penggemar James Bond. Karakter Bond itu terlalu aneh buat gw. Tapi sejak Daniel Craig masuk gw ngelihat film ini sedikit lebih baik. Quantum of Solace yang gw suka dari film ini adalah plotnya yang asik. Opening dimulai dengan kejar-kejaran mobil, lalu kemudian bertemu dengan M. (Judi Dence) lalu kemudian ada aksi tembak-tembakan lagi. Non-stop action gw suka ini. Plot juga rapet banget dan masih sangat terkait dengan film sebelumnya Casino Royale. Bisa dibilang dua film ini adalah James Bond terbaik yang Hollywood punya, bahkan jauh lebih baik daripada James Bond versi-nya Jeffrey Deaver yaitu Carte Blanche


7. Mission Impossible III


Mission Impossible sudah banyak, tapi yang ketiga ini adalah favorit gw. Plotnya itu dibuka dengan Ethan dan istrinya yang diculik. Kita gak tahu dimana dia berada, lalu kemudian flashback ke aksi penyelamatan Ethan tuk anakbuahnya yang terjebak di Jerman. Lalu kemudian si anakbuahnya tewas. Namun sebelum tewas dia sudah mengirimkan petunjuk micro-dot ke kartu pos yang dikirim ke alamatnya Ethan. Dari sini petualangan panjang dimulai hingga mereka bertemu dengan Owen Davian.

Satu kunci yang bikin film ini begitu greget dibanding Mission Impossible yang lain adalah... The Rabbit Foot. Sandi itu benar-benar bangke, bahkan sampai film itu selesai gak dijelaskan apa itu Rabbit Foot sebenarnya?


6. Body of Lies


Tiap kali gw nonton film ini gw seolah nonton prequel dari film Inception. Leonardo DiCaprio berada di negeri Arab 1001 malam menjalani misi rahasia untuk menemukan seorang teroris. Tapi style-nya gaya pengambilan gambarnya persis sama dengan gaya Dom Cobb saat berada di Mombasa. Dan teknologinya itu mata di angkasa. Film ini memang bukan yang pertama, namun mereka menyajikannya jauh lebih baik daripada di film Enemy of the State-nya Will Smith. Dan iya dia bersanding dengan Eyes of Eagle-nya Shia LeBouf. Hanya saja Body of Lies jauh lebih ke spionase daripada science fiction.


5. Bourne Identity


Seperti yang gw bilang di atas. Gw suka yang versi original. Yang pertama ini bisa gw bilang yang terbaik dari serial Bourne-nya Matt Damon. Gw ingat sebelumnya Matt Damon pada tahun-tahun itu lagi naik daun gara-gara dia main di sebuah film dimana dia menjadi seorang autis yang jenius. Dan di sini jelas Bourne adalah karakter agen rahasia yang jenius. Dia jauh lebih baik daripada James Bond pada waktu itu yang diperankan oleh Pierce Brosnan. Satu lagi yang menarik dari Bourne Identity adalah debut dari Clive Owen, damn dia menjadi pembunuh bayaran dengan kode The Professor, asli ini orang mengingatkan gw dengan Valentino Rossi the Doctor. Hahaha...


4. Casino Royale


Ini James Bond paling berhasil yang pernah gw tonton. Di sini taste-nya benar-benar original. Beginilah seharusnya seorang Bond. Jago berantem, brutal, jago tembak, cerdas dalam mengambil langkah, ahli strategi, jago ngecengin cewek, dan terutama bisa main poker.

Dibanding film-film Bond yang terbaru ini. Gw lebih suka Casino Royale karena keoriginalannya. Gw ngerasa kayak masuk di zaman-zaman Gods of Gamblers nya Chow Yun Fat dan Andy Lau. Atau film-film Triad Hongkongnya Ekin Cheng. Hanya saja versi Hollywood dan modern-nya, plus style-style mahal ala bangsawan. Dan setting tempat di Montenegro-nya cukup kampret MAHAL.


3. Tinker Tailor Soldier and Spy


Kalau ngomongin film spionase yang satu ini bakal sangat panjang. Detailnya bisa ente lihat di artikel saya yang lain di tahun 2015 kemarin. Sebenarnya film ini tidak seperti ekspektasi gw. Gw berharap lebih dari karya John LeCarre ini. Meski begitu film ini tetap asik dinikmati dan gw bisa mengambil banyak ilmu di sini.

Tinker Tailor Soldier and Spy bercerita tentang pencarian mole (agen ganda) yang berada di jajaran atas Circus (MI6) dan seorang pensiunan MI6 yaitu George Smiley ditugaskan untuk menemukan si Mole (pengkhianat) ini. Plotnya berlangsung lambat, namun taste-nya sangat-sangat klasik. Seperti lo pergi ke sebuah kedai kopi legendaris dan langsung mendapat sajian kopi Arabika termahal. Asli taste-nya beda banget.


2. Unknown -Liam Nesson


Wikipedia memberi label film ini Pyschological Thriller. Tapi menurut gw film ini lebih ke spionase tepatnya kontra-intelijen. Sinematografinya ntuh dingin sekaligus cerah kayak A Most Wanted Men. Dibuka dengan cerita seorang ilmuwan Amerika yang berkunjung ke Berlin untuk sebuah seminar bioteknologi. Ok, bagian awal ini rada-rada kayak Dan Brown, lalu sesampainya di hotelnya dia baru sadar bahwa salah satu covernya tertinggal di bandara. Lalu dia pun bergegas kembali ke sana. Naas dalam perjalanan dia mengalami kecelakaan, taksi yang ditumpanginya jatuh ke sungai dan kepala Liam Neeson ini terbentur keras dengan kaca jendela mobil. Kalau gw cerita di sini bakal panjang. Singkatnya petualangan Liam Neeson di sini gak kalah dari petualangan Jason Bourne dalam The Bourne Identity. Dan menurut gw jauh lebih baik daripada film Taken-nya dia.


1. Mission Impossible I


Kembali lagi gw mengulang kata-kata ini. “Gw suka yang versi original.”

Jika gw bikin daftar seperti S. S. Van Dine versi spionase. Film ini gw masukkan ke dalam contoh BAIK dan BENAR dari sebuah fiksi spionase. Di sini semuanya masih murni sebuah film agen rahasia. Openingnya dimulai dengan sebuah penjebakan dimana Tim Ethan dibantai satu persatu. Hingga akhirnya Ethan satu-satunya yang selamat. Dia menelpon markas dan mereka sudah menduga bahwa misi itu adalah penjebakkan untuk mengungkap 'mole' pengkhianat diantara para agen IMF. Dan karena yang selamat adalah Ethan maka dialah yang disangka sebagai 'mole'-nya.

Cerita berlangsung panjang hingga akhirnya Ethan menemukan Mole yang sesungguhnya. Film ini mengingatkan gw Tinker Tailor Soldier and Spy. Hanya saja Mission Impossible dulu hadir atau Tinker Tailor Soldier and Spy yang hadir duluan tapi gw belum nonton versi lamanya. Meski buatan tahun 90an tapi menurut gw film ini sangat klasik dan menjadi legenda tersendiri di dunia fiksi spionase.
.  .  .

Desain Backdrop dan Tata Panggung

WanBackDrop



Ada butuh Backdrop dan Tata Panggung untuk seminar, event, ataupun pensi di sekolah

Hub: 0877 7455 1147

Q n A

 

T: Proses Pembuatan Design?

J: Pembuatan Design Backdrop dan Design Backwall tidak dikenakan biaya. Dan jika ada memiliki design dan ingin direvisi bisa dilakukan maksimal hingga 5 kali.

Harga Backdrop mulai dari Rp 250.000/m2/hari (NET) tersedia dalam berbagai Ukuran (Kelipatan 20cm) dengan Minimal order Rp 3.000.000

 

Catatan:

 

1. Mengirimkan Seluruh Konsep Design yang akan dibuat dalam format File PSD (Photoshop), Ai (Adobe Illustrator), PDF, JPEG, PNG, MsWord, PowerPoint

 

2. Melampirkan Logo-Logo atau file khusus dalam Format File yang memiliki Resolusi Tinggi (PSD, Ai, CorelDraw, PDF).

 

3. Melampirkan jenis FONT yang anda mau, jika tidak maka design akan kami kerjakan sesuai dengan Stock FONT yang kami miliki.

Jika anda memiliki design sendiri silahkan mengirimkannya dengan format file PSD, Ai, dan PDF. Jika file design anda cukup besar silahkan di Upload pada situs-situs penyedia dan akan kami download.

Seluruh Design baik yang kami buat atau yang kami download dari link anda akan dipreview kembali oleh pihak anda selaku client, apabaila disetujui dan sudah ok, maka design langsung diproses cetak pada saat itu juga.

 

T: Cara Order BACKDROP?

J: Untuk Order BACKDROP dapat dilakukan paling lambat 3 HARI Sebelum acara, untuk acara yang tinggal 2 HARI masuk dalam kategori order dadakan dan akan dikenakan biaya lain.

 

Order BACKDROP dapat dilakukan melalui

1. email ke : wanbackdrop@yahoo.com

2. CALL/WA/SMS ke : 0877 7455 1147

.  .  .

Sunday, June 5, 2016

Career of Evil -Robert Galbraith

Review by Ftrohx


Setelah membaca sebuah buku biasanya gw langsung tahu bagaimana cara mereview-nya. Namun tidak untuk buku yang ini, Career of Evil.

Asli, gw nggak tahu bagaimana harus mereviewnya. Mungkin permasalahannya adalah gw jarang baca buku sejenis ini. Gw menyukai Cuckoo's Calling, itu novel detektif yang lumayan bagus. Banyak yang bilang masih terasa detektif Inggrisnya, sedangkan Career of Evil teman gw menyebutnya lebih ke detektif Amerika atau Hardboiled Detective. Beda dengan detektif Inggris yang lebih fokus pada pemecahan kasus bagaimana metodenya, bagaimana trik-trik yang digunakan pelaku, atau detektif ilmu-ilmu forensik. Hardboiled lebih ke drama, ke perjalanan menelusuri lorong-lorong kota dan bertemu dengan orang-orang mencurigakan.


Tapi untuk Career of Evil agak sulit gw mendefinisikannya. Sebab dia berada di masa sekarang tahun 2010an dan dia lebih bermain dengan banyak cerita cinta.

Nah itu dia cerita cinta. Hubungan antara Cormoran dan Robin, lalu hubungan Robin dengan tunangannya yaitu Matthew dan seterusnya. Sedangkan untuk penyelidikan kriminalnya, rasanya terlalu mediocre. Meski Robert Galbraith menjanjikan hal baru di novel ini yaitu PoV dari Sang Penjahat. Namun tetap rasanya kok begini doank.

Ok, langsung saja masuk ke pembahasan.


Sinopsis

Cerita dimulai dengan Robin yang menerima sebuah paket yang ternyata di dalamnya adalah tungkai manusia. Tungkai di sini semacam potongan kaki. Tentu, Robin sangat ketakutan dan panik. Cormoran pun menelpon polisi karena paket menakutkan tersebut. Dia detektif dan dia perlu menelpon polisi? Apakah ini tindakan yang benar dan efektif? Rasanya bagian ini bisa kita bahas nanti di kolom komen. Lalu polisi menanyai Cormoran, kira-kira siapa orang yang begitu berani mengirimkan potongan tubuh manusia kepada dirinya. Cormoran pun merenung dan ingat ada 4 nama yang mungkin mengirimi dia dengan potongan tubuh manusia. Ini dia tanpa basa-basi langsung masuk ke 4 Red Herrings atau lebih tepatnya 3 karena yang pertama adalah anggota mafia. Dan menurut hukum S S Van Dine, pembunuhan oleh mafia gak masuk dalam genre detektif. Hahaha… Ok, ini bisa kita perdebatkan di bawah.

Penyelidikan berjalan lambat, selama 3 bulan hingga akhirnya mereka mendapati siapa pelaku sebenarnya. Sama seperti penyelidikannya, plotnya juga berjalan sangat lambat. Gw nyaris bosan di beberapa bagian, terutama bagian yang membahas kisah romansa antara Cormoran, Robin, dan Matthew.

Asli ini lambat banget.

Plus ada subplot yaitu pekerjaan survailance Cormoran terhadap seorang wanita muda dan seorang suami yang selingkuh. Ini juga berjalan sama lambatnya.

Iya, iya, gw tahu kenyataannya. Pekerjaan seorang detektif adalah pekerjaan yang membosankan. Gw tahu dari catatan-catatan para penyelidik swasta sungguhan bahwa mereka lebih banyak menunggu dan mengawasi target daripada melakukan deduksi ataupun memecahkan teka-teki. Mereka jauh dari itu. Kebanyakan mereka menunggu bukti-bukti naik ke permukaan dan jelas itu sangat sulit. Dan seperti kata Mbak WIndry di Metropolis “bukti-bukti kebanyakan datang terlambat atau tidak datang sama sekali!” Seperti menunggu durian runtuh di bawah pohon rambutan. Faktanya justru lebih banyak detektif fiksi yang kaya-raya daripada detektif sungguhan yang kaya.

Haduh, pembicaraan gw ngalor-ngidul.

Ok, kembali lagi ke sinopsis.

Dua nama yang menjadi Red Herrings adalah dua orang yang pernah dikenal Cormoran sewaktu masih jadi polisi militer sedangkan satu nama terakhir tidak lain adalah Ayah Tiri-nya, ex-bintang rock era 80an yang terobsesi dengan Blue Osyter Cult. Nama yang aneh yang mengingatkan gw “puja kerang ajaib” dari serial SpongeBob.

Mereka bilang bahwa lirik-lirik lagunya itu sadis dan berhubungan dengan pembunuhan berantai, namun gw sendiri melihatnya sebagai sebuah kebetulan yang dikait-kaitkan sedemikian rupa. Seperti mencoba buat teori konspirasi namun dasar-dasarnya gak sampai ke sana, seperti “Apakah Candi Borobudur berhubungan dengan Benua Atlantis yang tenggelamg?” Lalu teori-teorinya dipaksakan.

Penyelidikan berlanjut.

Cormoran berpetualang terus ke Utara London hingga ke Skotlandia untuk menemukan orang-orang yang dia curigai. Di sini gw suka detailnya bagaimana Robert Galbraith bercerita tentang Inggris Utara yang lembab dan dingin. Jajaran-jajaran Pub tempat minum bir dan rumah-rumah era industrialis yang diubah menjadi kafe serta tanah-tanah lapang yang menginspirasi Shiredan LaFenu menciptakan Carmilla atau Endensor yang dideskripsikan Ikal di serial Laskar Pelangi. Dan kota pelabuhan suram hasil peninggalan zaman Titanic.

Pertanyaan gw dimana cerita detektifnya? Maksud gw di sini Sang Detektif seolah kehilangan metodologisnya, meski tetap melankolis namun Cormoran rasanya tidak setajam dia di Cuckoo’s Calling.

Klimaks-nya tentu Robin yang diserang Sang Ripper. Nyaris saja dia tewas seandainya dia tidak menyiapkan peralatan keamanan. Dan kemudian penyerangan itu menjadi alasan kuat bagi Matthew untuk menarik Robin keluar dari Firma Detektif tersebut. Di sisi lain, Cormoran pun seperti Rangga yang seolah membenci Cinta dengan alasan demi keselamatan Robin, dia mengusirnya.

Dan endingnya seperti yang para fans J K Rowling bilang di goodreads “Kejutan yang tragis untuk Robin.” Hahaha… Gw juga cukup kaget dia menikah dengan Matthew sementara Cormoran cuma bisa nonton doank. Haduh, spoiler gw ini. Lalu kalian pasti bertanya gimana dengan karakter Shackwell Rippernya? Ah, dia menjadi karakter antagonis yang tidak penting, tidak seperti Matthew yang mendapatkan Robin, hahaha…


Tentang si Penjahat

Nah disinilah nilai lebih Career of Evil. Seperti yang dipromokan di berbagai media (terutama oleh para fans J K Rowling). Bahwa Career of Evil sebagai novel detektif pertama (mungkin dari J K Rowling) yang menggunakan PoV dari Sang Penjahat. Untuk gw sendiri, kenyataannya tidak.

Banyak kok novel detektif di luar sana yang menggunakan PoV dari Sang Penjahat-nya. Banyak yang menurut gw jauh lebih baik dari ini. Di sini karakter penjahatnya adalah mantan anggota militer (ups, gw spoiler) Penjahatnya brutal, kuat, dan sadis namun dia tidak sehebat itu. Gw masih jauh suka karakter Mal'akh di Lost Symbol atau Watchmaker di Lincoln Rhyme atau Hanibal dari Silence of the Lambs. Mereka pakai PoV 1, mereka sadis, dan mereka jauh lebih pintar. Gw juga lebih suka si Unsub 522 dari novel Broken Window. Sama-sama menggunakan PoV dan dia jauh lebih menyentuh gw daripada si Sharkwell Ripper ini.

Robert Galbraith bilang bahwa idenya terinspirasi dari Jack the Ripper. Tapi kesalahannya di Career of Evil adalah dia nggak membangun legenda-nya, justru dia malah lebih fokus membangun kisah Blue Osyter Cult daripada si Ripper ini.

Ok, perbandingan dengan mereka terlalu jauh.

Bandingkan aja dengan John Bristow dari novel sebelumnya Cuckoo's Calling. Menurut gw Bristow jauh lebih baik, lebih pintar, dan berakhir dengan cara yang elegan yaitu paparan deduksi panjang dari Cormoran sendiri. Itu bagus, maksud gw beginilah novel detektif seharusnya. Namun di sini si penjahat hanya mengutip potongan-potongan lirik lagu dari Blue Osyter Cult. Tanpa membuat sesuatu yang memorable. Beda dengan John Bristow dimana gw ingat banget dia bersembunyi diantara tumpukan bunga mawar sebelum mengeksekusi Lula Landry.

Sedangkan si Shackwell Ripper, tiap tindakannya mediocre banget.

Nggak perlu sebenarnya Sang Detektif menerjemahkan lirik-lirik lagu tersebut untuk menangkap si pelaku. Dan tepat memang Cormoran tidak melakukannya. Di sisi lain tindakan Cormoran dengan tidak mempedulikan lirik lagu tersebut menjadi bumerang sendiri buat Robert Galbraith. Bahwa Blue Osyter Cult gak nyetuh-nyetuh amat ke pembaca. 


Catatan lain

Di sini gw melihat karakter Robin lebih sebagai cewek insecure yang cemas dengan masa depannya. Juga masalah pertunangan dan persiapan pernikahan. Gw nggak melihat Robin sebagai asisten detektif atau sidekick. Di sini Robin lebih ke karakter Alya dari film AADC, oh mungkin Alya dengan nasib yang sebaik Cinta di AADC 2. Justru asisten detektif sebenarnya adalah Shanker. Si Informan Jalanan yang bekerja untuk Cormoran Strike. Gw suka karakter Shanker, seolah-olah benar-benar real bahwa dia adalah asisten detektif. Dan iya, jelas dia lebih eksentrik daripada John Watson. Hahaha...

Satu lagi tentang Elin yang disebut sebagai pacar barunya Cormoran, kok gw gak lihat dia sebagai sosok pacar ya? Melainkan cuma pacar tempelan yang dengan mudah gw lupakan. Bahkan gw nyaris lupa untuk membicarakannya karena gak ada yang signifikan dari si Elin ini.


Konklusi

Entah kenapa gw jadi ingat sama Dewi Lestari dan buku Supernove: KPBJ. Di sana ada karakter yang supreme bernama Diva Anastasia. Tadinya gw berpikir bahwa Diva akan muncul di buku-buku Supernova selanjutnya, namun ternyata tidak. Dewi Lestari hanya seorang perempuan biasa. Tidak ada Diva selanjutnya dan dia tidak sejenius itu. Layak seorang perempuan biasa dia punya batasan.

Dan di sini di Career of Evil gw merasakan kekecewaan yang sama. Ternyata Robert Galbraith tidak sehebat itu. Dia hanya penulis biasa atau lebih tepatnya J K Rowling hanyalah J K Rowling. Dia punya keterbatasan

Gw percaya bahwa semua penulis novel detektif terkemuka punya kelebihannya masing-masing. Agatha Christie basic-nya adalah perawat yang tahu banyak tentang dunia farmasi. Itu kenapa dia tahu banyak tentang metode pembunuhan dengan racun dan segala spesifikasinya. Sedangkan Austin Freeman adalah seorang dokter dan di novelnya jelas Dr. Thorndyke adalah ahli forensik yang hebat dan metodis. Lalu ada Sir. Arthur Conan Doyle basic-nya juga kedokteran dan petualangan itu kenapa Holmes begitu cemerlang dalam petualangan-petualangannya. Kemudian ada Jeffrey Deaver dengan Lincoln Rhyme-nya mereka lebih fokus pada police procedural dan bukti fisik.

Sedangkan Robert Galbraith aka J K Rowling ini gw lihat masih bereksperimen.

Seolah dia masih mencari bentuk yang tepat dari serial Cormoran Strike. Gw suka yang pertama karena si Cormoran cukup metodis dan sangat meyakinkan sebagai mantan polisi militer. Namun ke sini gw melihat dia agak goyah. Dan justru jauh lebih bermain ke drama. Gw memprediksi mungkin buku-buku selanjutnya juga akan seperti ini. Lebih fokus ke drama atau cinta segitiga antara Cormoran, Robin, dan Matthew. Entahlah.

Point: bagi gw sendiri cukup mengecewakan. Ini cuma sebuah novel drama detektif mediocre, jadi gw kasih point 64 skala 100. Iya, mungkin teman-teman punya pendapat lain.
.  .  .

Ilustrasi dari Zincmoon.com