Saturday, April 13, 2019

Kasus Tabung Gas Yang Hilang (part II)

Oleh Fitrah Tanzil


Dari ujung satu ke ujung yang lain. Beberapa siswa tampak berkerumun di depan pintu masuk ruang serba guna.

“Permisi,” ucap Nindi yang menerobos masuk.

Dan di sana di atas meja, tampak Heru yang pingsan dikelilingi beberapa orang. Lalu ada satu laki-laki ini, dia bertubuh besar dengan celena training dan baju olahraga. Dia menepuk-nepuk pipi si Heru.

“Itu Pak Polan, guru olahraga,” bisik Nindi.

“Oke,” aku mengangguk paham. “Permisi Pak, apa yang terjadi sama Heru?” tanyaku.

Dia menoleh dan memindaiku dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”

“Saya Kiddo, Pak, Detektif!”


“Oamong kosong!” bentaknya dengan mata melotot. “Masak, detektif nggak punya kumis.”

Untuk beberapa detik aku bengong, sebelum menjawab. “Saya Kiddo, Pak, detektif swasta.”

Kali ini wajahnya nampak jijik. “Detektif swasta opo, di Indonesia detektif swasta belum legal loh!”

Eh buset, dia benar. “Tapi Pak, saya sudah disewa ke sini untuk menyelidiki kasus…”

“Kasus apa?”

“Kasus hilangnya 4 tabung gas helium.”

“Oh, masalah itu. Bukannya sudah beres ya?”

“Belum Pak Polan, kami belum menemukannya,” ucap Nindi.

“Ah, paling itu cuma mereka aja,” yang dimaksud penyedia balon gas. “Yang bilang bahwa tabung gasnya hilang.”

“Benar loh, Pak, saya lihat tampang mereka, mereka tampak jujur.”

“Ah, apa yang kamu tahu soal bohong dan jujur. Kamu masih bocah, janggut aja belum punya,” ucapnya.

Aduh, gila kampret tuyul nyet nguk-nguk. Aku memang masih muda, amatiran, bodoh, dan belum punya pengalaman.Tapi aku meyakini, apa yang aku lakukan adalah benar.

“Lagi pula, siapa yang manggil kamu ke sini?” tambahnya.

“Mereka disewa sama Ringgo, Pak,” ucap Nindi.

Dia menaikkan alis. “Ringgo siapa?”

“Ringgo ituloh Pak, angkatan 2002 yang anak basket,” terang Nindi.

“Oh dia, bocah itu memang kebanyakan duit, hingga buang-buang untuk hal gak berguna kayak begini.”

Ucapannya membuatku sangat-sangat gregetan. Tapi, aku harus sabar dan tenang.

“Memangnya Heru kenapa Pak?” tanya Nindi.

Yang menjawab malah seorang siswa. “Heru pingsan di toilet, kelihatannya ada yang bius dia.”

“Ini dari baunya nyengat banget, kayak khrolofom,” ucap si guru olahraga.

“Saya rasa, ada sesuatu yang Heru tahu, yang membuatnya jadi seperti ini,” ucapku layak detektif.

“Apa maksud kamu?”

“Saya rasa, Heru punya informasi penting tentang hilangnya tabung helium semalam.”

“Nggak mungkin,” balasnya. “Kamu kira ini novel detektif?”

“Iya, di dunia nyata banyak hal yang lebih aneh dari cerita detektif, Pak, misalnya seperti guru bahasa Inggris yang sudah pulang terus balik lagi ke sekolah untuk mencari barangnya yang tertinggal di ruang guru.”

“Rasanya nggak ada guru yang seperti itu.”

“Semalam ada Pak, yaitu Pak Andi, dia kembali lagi ke sini pukul 8 atau 9an.”

“Kata siapa?”

“Saksinya ada, Pak Prapto penjaga sekolah,” tambahku.

Dia tampak terkejut. “Nggak mungkin, masak dia balik lagi ke sekolah jam segituh?”

“Iya, untuk mengetahuinya, baiknya Pak Polan telepon aja beliau?”

Dia diam sejenak berpikir, lalu kemudian melangkah mundur dan mengambil handphone-nya. “Halo Di, semalam kamu ke sekolahan?” lalu ada jeda lama di sana, mungkin penjelasan dari si guru bahasa Inggris. Lelaki tua galak itu pun sesekali melirik ke arahku dengan wajah yang makin lama berubah cemas. “Makasih Di,” dan telepon itu pun ditutup.

Si lelaki tua galak mendekatiku. “Pak Andi bilang, semalam dia ada acara sama istri dan mereka tidak mampir ke sekolahan.”

“Lalu siapa yang datang ke sekolahan?” tanya Nindi.

Pandangan mata si guru olahraga langsung terlempar ke si satpam. “Semalam yang ke sini Pak Andi, bukan?”

“Rasanya sih, kayak Pak Andi, Pak Polan,” ucap si satpam yang terpojok.

“Yakin Pak Andi?” matanya memelotot.

“Iya, yakin sih Pak. Dia tinggi, ganteng, pakai kemeja safari, lalu dibalut jaket hitam. Iya, rasanya sih dia, Pak!”

“Terus dia ngapain?”

“Dia minta kunci untuk ke ruang guru.”

“Terus, kamu kasih?”

“Iya, saya kasih,” jawabnya dengan nada ketakutan.

“Goblok,” bentak Pak Polan, lalu tangannya menyeret si satpam muda. “Ok, ambil kunci dan kita periksa ruang guru, ada yang hilang nggak!”

Mereka pun langsung melangkah keluar ruangan, meninggalkan Heru yang masih pingsan. 

Aku pun berbisik ke Arif. “Buset, itu guru galak banget.”

“Memang begitu dia,” sahut Nindi disusul tawa.
.  .  .

Kami berjalan cepat di lorong dan di depan terlihat si satpam sudah membuka pintu ruang guru. Pak Polan yang galak pun langsung masuk. Dia memeriksa satu persatu meja yang ada di sana dan berkeliling melihat apakah ada barang yang hilang.

“Arif, Nindi,” panggilku. “Bisa ikut saya bentar nggak?”

“Ke mana?” tanya si cewek SMA.

Aku hanya menunjuk ke depan lorong.

“Ngomong-ngomong di sekolah ada lemari arsip nggak? Lemari arsip yang gede maksud saya?”

Dia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ada sih, di ruang tata usaha, iya ruangan itu sekalian ruang arsip siswa.”

Aku mengembang senyum. Dan tepat saja begitu kami sampai di sana, tempat itu persis seperti yang ada di benakku.

“Memangnya ada apa?” kembali tanya Nindi.

Aku menyeringai. “Baiknya sih, kamu panggil Pak Satpam dan Pak Polan ke sini.”

“Ada apa?” Arif pun ikut bertanya.

Aku menunjuk dari jendela apa yang terjadi di dalam ruang tata usaha. “Itu lo lihat aja.”

Arif melongok ke kaca jendela, namun dia masih tampak tidak mengerti. Si satpam Prapto pun menghampir kami.

Aku berujar. “Mas, bisa tolong buka pintu ini nggak!”

“Memangnya ada apa di sini?” dia juga ikut melongok ke kaca. “Ada yang hilang juga?”

“Iya, kita periksa dulu.”

Dia langsung mencari kunci ruangan dan membukanya.

“Ah, benar dugaan saya,” ucapku begitu kami melangkah masuk.

“Apa yang benar?” Arif  menengok ke kanan dan kiri, namun dia tidak melihat apa yang tepat di bawah hidungnya.

Begitu Nindi, Satpam Prapto, dan beberapa siswa lain yang juga ikut masuk.

“Ada yang hilang juga di sini?” suara si guru olahraga menyusul di belakang.

“Dia ada di sini Pak Guru,” ucapku semringah.

“Dia siapa?”

“Si pencuri tabung gas helium itu, semalam dia ke sini.”

“Ah, itu lagi yang kalian bicarakan,” ucapnya masih dengan wajah kesal. “Omong kosong!”

“Saya nggak asal-asalan ngomong, saya bicara dengan fakta yang ada di sini,” tanganku menunjuk ke sekeliling meja. “Anda lihat sendiri bukan, begitu banyak arsip di sini,” aku membuka salah satunya, “Arsip data-data siswa dari tahun-tahun yang lalu. Semua ada di meja, bangku, bahkan sampai menumpuk di lantai. Harusnya ruang tata usaha dan administrasi sekolah tidak seperti ini,” aku mengangkat dagu. “Ini sudah begitu berlebihan.”

Dia terperangah, menyadarinya. “Jangan-jangan…”

“Iya, tabung helium itu ada di sini,” aku membalik badan dan mengetuk pintu besar lemari arsip. “Ngomong-ngomong, ini kuncinya di mana ya?”

Si satpam menggeleng, tanda tidak tahu.

“Oke, saya juga penasaran dengan peristiwa ini,” ucap si guru olahraga. Dia pun langsung mengambil handphone dan menelpon seseorang. “Bu Yuni, ini saya Pak Polan… Saya ada di ruang tata usaha… Iya, semalam ada masalah di sekolah… Kami sedang memeriksanya…” dia bicara beberapa menit. Sebelum kembali melemparkan pandangan ke arahku. “Iya, terima kasih.”

Dia berjalan ke meja nomor dua dari pintu, membuka lacinya, dan mengambil kunci yang tersembunyi di bawah tumpukkan kertas di sana. “Ini dia, coba dibuka,” ucapnya ke satpam.

Si satpam pun mengambil kunci itu.

“Jika tabung itu tidak ada,” ucapnya kali ini ke wajahku. “Saya akan laporkan kamu ke polisi, karena sudah bikin rusuh dan mengganggu ketertiban di sekolahan.”

Aku hanya menyeringai. Tapi sungguh, jantungku dagdigdug.

Satpam Prapto membuka sedikit pintu lemari, dia kemudian melempar pandangan pada kami. Lalu membukanya lebih lebar lagi. Dan ternyata tabung itu benar ada di sana.

“Huh, benarkan teori saya!” balasku di mukanya.

“Nggak mungkin,” ucapnya membelalak. “Bagaimana bisa tabung itu berada di sana?”

Sekilas aku melihat sesuatu yang digantung di atas tabung itu. “Aaa, itu dia, yang saya tunggu dari tadi, penjelasannya!”

“Gimana bisa di situh?” Nindi juga bertanya-tanya.

Kebetulan si Toto tukang balon gas pun muncul di sana.

“Begini situasinya,” ucapku keras. “Dari laporan yang kami dapat, ada 4 tabung gas helium ukuran 22 liter yang hilang, satunya cukup berat -sekitar 20 kilogram. Jadi, 4 tabung mungkin sekitar 80 kilogram. Dari wawancara dengan Mas Toto -penyedia balon gas-dia bilang ada yang aneh, yaitu kenapa setelah si pelaku memindahkan tabung, tapi  trolinya masih ada pada tempatnya. Jawaban, untuk hal ini sebab si pelaku menggunakan troli sendiri, tepatnya troli yang berada di gudang belakang sekolah. Ok, satu misteri terjawab,” tegasku. 

Mereka menatapku serius.

“Kedua,” lanjutku. “Apakah tabung itu dibawa keluar dari sekolah atau tidak? Dari penyelidikan yang kami lakukan, jawabannya adalah tidak. Pertama, pintu gerbang timur ditutup bada magrib dan para siswa banyak yang begadang di sana hingga larut pagi. Sedangkan gerbang selatan, dijaga oleh Mas Prapto. Dia meyakinkan jika ada mobil yang keluar dari gerbangnya membawa 4 tabung besar itu, pastilah dia lihat, namun nyatanya tidak ada. Kesimpulannya si pelaku tidak keluar dari gerbang timur ataupun selatan.  Lalu apa mungkin dia lewat belakang sekolah? Nah ini, kami juga memeriksanya, jawabannya adalah bisa jadi. Tapi dengan permasalahan, pagarnya lumayan tinggi hampir 2,5 meter. Seseorang mungkin bisa memanjat di sana dan membawa tabung itu. Tapi itu cukup sulit dan merepotkan. Kami lalu bertanya-tanya, kenapa mereka mesti mencuri tabung gas helium dan repot-repot keluar memanjat tembok sekolah? Kenapa nggak nyolong yang lain gituh yang mudah? Semisal laptop atau komputer kantor, atau kalau perlu maling motor. Lalu kami sampai ke kesimpulan, mungkin benar bahwa tabung itu sesungguhnya tidak dibawa keluar sekolah. Dia masih ada di tempat ini dan disembunyikan.”

Aku melihat wajah Pak Polan, dia bergeming dengan wajah serius. 

“Ini sungguh pelik,” lanjutku. “Dari keterangan Nindi, kalian sudah memeriksa semua tempat di sekolah ini dan tidak menemukan tabung-tabung itu. Kamu meyakinkan kami bahwa kamu sudah memeriksa tiap tempat, tiap ruangan, dan seterusnya. Tapi saya yakin ada tempat yang belum kalian periksa. Tempat yang tidak terpikirkan bahwa tabung-tabung itu ada di sana, yaitu ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha.”

Kali ini mereka membelalak.

“Awalnya, saya berpikir ruang kepala sekolah. Sebab, itu bakal sangat-sangat seru dan mengejutkan. Lalu saya bertanya ke Nindi, ada nggak lemari arsip di ruang kepala sekolah? Dan jawabannya tidak ada. Saya juga melongok ke sana, perabotannya sedikit dan sudut ruangnya bisa dilihat dari jendela. Jadi saya pikir, tabung itu tidak berada di sana. Lalu saat melihat ruang sebelahnya, buset ini ruang TU kok berantak banget, Arsip-arsip ditumpuk di atas meja dan bangku, ada apa ini? Saya bertanya-tanya dan melihat lemari besar itu. Mereka mengosongkannya. Inilah yang saya cari, tempat yang tidak terpikirkan oleh para siswa yang bisa dimasuki orang asing. Tempat, si culprit menyembunyikannya barang curiannya,” ketukku ke pintu lemari arsip.

“Wow, keren-keren!” Nindi takjub sampai mengangkat kedua tangan.

Arif pun memberiku jempol, begitu pula para siswa yang lain yang menonton di depan TU, mereka tampak semringah. Beberapa ada yang berbisik. “Wah, dia beneran detektif!”

Tapi tidak untuk Pak Polan, dia masih cemberut. “Ckck, orang goblok macam apa yang ngelakuin hal ini?”

“Satu hal yang anda salah Pak Polan, dia bukan orang yang bodoh,” ucapku sambil jari menunjuk ke atas. “Cara dia masuk ke ruangan ini juga sangat pintar. Dari percakapan anda tadi di telepon, kita tahu bahwa Pak Andi -guru bahasa Inggris- semalam tidak pergi ke sini. Yang berarti ada orang yang menyamar menjadi dirinya dengan begitu mirip dan meminjam kunci ruang guru, tepatnya kunci seluruh lantai satu, sebab kunci-kunci itu digabung semua dalam satu ring. Dia membuka pintu ruangan ini, lalu mengangkut tabung ukuran 22 L dengan troli sekolah, mengeluarkan semua arsip dari lemari, dan kemudian memasukan tabung-tabung itu ke dalam sini.”

“Iya, tapi untuk apa?” tanya keras.

Kini giliran aku yang mendekatinya. “Si culprit ini ingin menyampaikan sebuah pesan, Pak Polan. Sebuah pesan!”

Dia mengerutkan dahi. “Pesan apa?”

Jariku menunjuk ke dalam lemari. “Sesuatu yang saya rasa, berhubungan dengan sekolah ini.”

“Itu seperti sebuah walkman,” tunjuk Arif ke dalam lemari.

“Itu pasti pesan dari si pelaku,” ucapku.

Aku mengeluarkan tape rekaman itu dan menaruhnya di meja.

“Coba kamu putar,” perintah si guru olahraga.

Dan suara itu pun muncul.

Selamat, kalian telah menemukannya. Sungguh, saya berharap tabung ini ditemukan hari senin, tapi dengan terpaksa saya mencoba mengikhlaskannya.

Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa saya melakukan hal ini? Simpel, karena kalian sudah melakukan sebelumnya dengan sangat buruk. Kalian ingat, tiga tahun yang lalu, seorang siswa kelas sepuluh bernama Andra, dia adalah teman saya.  Saya tahu itu memang sebuah kecelakaan. Tapi kalian mencoba mengulanginya lagi, terutama atas inisiatif ketua panitia, si Heru itu. Membuat promo sekolah dengan balon gas raksasa, kalian terlalu egois, angkuh, dan sok kaya. Ini adalah peringatan untuk kalian semua, jika mengulangi keangkuhan itu lagi, saya bisa melakukan yang lebih berbahaya dari ini. 

Dan untuk Kiddo, pertunjukkan yang hebat. Tadinya saya pikir, kalian akan menemukan tabung ini pada malam atau mungkin sore harinya. Tapi, ini masih jam makan siang dan kalian sudah menemukannya. Sungguh, di luar ekspektasi saya. Semoga kita bisa bertemu lagi. Salam, Musang Malam.

“Musang Malam,” Arif menatapku. “Siapa itu?”

Aku menggosok dagu. “Gue juga baru pertama dengar ini, namanya.”
.  .  .

Kasus Tabung Gas Yang Hilang (part I)

Oleh Fitrah Tanzil


Sabtu, 7 Febuari 2004

Empat hari setelah aku tulis iklan di forum majalah komputer itu. Puluhan permintaan kasus penyelidikan masuk ke kotak email-ku. Aku membaca beberapa, ada permintaan penyelidikan yang begitu serius tentang pembunuhan yang belum terpecahkan sampai ke kasus-kasus yang ringan seperti mencari kucing yang hilang. Huhuhu, aku tertawa sendiri. Siapa aku sampai dikira orang hebat yang bisa memecahkan kasus kriminal tingkat tinggi. Tidak, aku hanya Kurnia Andika alias Kiddo, seorang bocah yang baru belajar jadi detektif.

“Jadi bagaimana?” tanya Arif.

Aku menunjuk ke layar komputer yang menampilkan kotak emailku. “Lo lihat aja sendiri, banyak banget.”

“Lo sudah baca semua?”

“Sebagian sudah gue baca.”

“Ayolah, lo sudah ngaku jadi detektif, ambillah salah satu job ini?”

“Gue masih bingung, gue pengen cari kasus sedang-sedang aja gituh. Bukan yang pembunuhan.”

“Iya sih, lo terlalu culun untuk jadi detektif kasus pembunuhan.”

“Kampret!” dampratku.

Si Arif hanya tertawa. Kemudian jarinya menelusuri layar. “Di sini ada kasus pencurian handphone di Ciledug, lo mau ambil?”

“Nggak ah, susah nyari handphone, kecil bisa dimasukin ke dalam tas, bisa berpindah tangan dengan mudah, dan menghilang entah ke mana.”

“Iya, iya, gue ngerti.”

“Lagi pula gue sendiri aja nggak punya handphone, buat apa nyariin handphone orang.”

Dia terbahak-bahak. “Ok, ini pencurian laptop di SMA Neunzig, lo mau ambil?”

“Pencurian laptop lagi, empat hari ini lo lihat di kotak email gue, ada 12 permintaan pencarian laptop yang hilang. Huh, itu terlalu mainstream.”

“Oke, ini ada yang beda ini, mobil yang hilang di Kelapa Gading? Gimana?”

Aku sempat terbayangan film Fast and Furious juga Gone In Sixty Second. “Mobil ya, pengen sih gue coba. Tapi itu butuh banyak sumber daya, nggak dulu dah.”

“Hayolah, lo maunya apa?”

“Di situ ada apalagi?”

Selama tiga menit, dia kembali menatap layar. “Yang ini rada unik nih, bukan mobil yang hilang tapi mobil yang tiba-tiba muncul di rumah orang.”

“Apa?”

“Iya, ini mahasiswa arkeologi yang katanya nemu sebuah mobil di garasi rumahnya. Dia nggak tahu itu mobil siapa tapi dia belum mau nelpon ke polisi, dia butuh detektif swasta untuk nyelidikinnya.”

“Boleh itu di mana?”

“Di Lembang, Bandung.”

“Eh buset dah, lewat yang itu.”

Dia kembali tertawa.

“Padahal gue sudah nulis loh, khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, tapi iya begitu request dari luar kota masuk juga.”

“Oke, ada nih di Bekasi Timur, namanya Dabamian dia butuh bantuan untuk cari tabung asetilinnya yang hilang.”

“Asetilin, haduh apalagi itu?”

“Mana gue tahu.”

“Sial, ada yang lain nggak? Yang dekat-dekat sini aja.”

Dia terdiam beberapa detik, sebelum kembali bicara. “Nah, ada nih, baru masuk tadi jam 10 dari Ringgo di SMA Fortland.”

“Fortland? Fortland yang di sini?” tunjukku ke arah barat.

“Iya, Fortland sini. Dia bilang mereka kehilangan 4 tabung gas helium untuk balon promo acara SMA mereka.”

Promo dengan balon gas, iya belakangan ini memang jadi trend untuk SMA-SMA elit di Jakarta menggunakan itu dalam acara mereka. “Boleh nih, dekat pula.”

“Jadi?”

Aku berdiri dan mengambil jaket. “Kita langsung meluncur.”
.  .  .


SMA Fortland tak sampai 2 kilometer dari Pondok Pinang. Dia berada di jalan Delman Utara dekat Taman Besar di belakangan Tanah Kusir. Bisa di bilang daerah ini adalah salah satu zona paling asri di Jakarta Selatan bagian barat.  Kami sampai di sana pukul setengah 12. Suasananya ramai dengan banyak anak SMA berpakaian bebas, beberapa tampak mengenakan seragam basket dan ada juga yang pakai baju bola. Di depan pagar aku langsung disambut dengan spanduk bertuliskan “Fortland Cup 8”. Melihat ke atas ternyata balonnya sudah mereka terbangkan, huh ini aneh. 

Seorang lelaki berjas hitam rapih tampak berdiri di depan gerbang, dia pun langsung mendekat menyambut kami. “Mas dari agensi detektif itu ya, yang di forum komputer.

“Iya, itu kami, Kiddo Detective Agency.”

Wajahnya tampak sumringah, dia lalu mengulurkan tangan. “Saya Ringgo yang mengirim email tadi.”

“Kurnia Andika,” ucapku sambil menjabat tangannya. “Saya pikir Anda anak SMA?”

“Oh nggak, saya alumni, cuma saya masih sering bantu-bantu klub Basket di sini.”

“Oh begitu,” aku pun memperkenalkan rekan di sebelah. “Oh iya, ini Arif rekan saya.”

Dia menyalaminya pula.

“Jadi gimana situasinya?” tanyaku to the point.

“Begini Mas Kiddo, untuk acara Fortland Cup ke delapan ini, kami panitia sengaja nyewa balon gas untuk promonya, lebih keren dan efektif dibanding pasang spanduk di jalan.”

“Iya, bisa dilihat dari jauh.”

“Semalam, penyedia balon itu datang mereka bawa 4 tabung helium dan model balon yang sudah kami pesan. Mereka menaruhnya di situh,” tunjuknya ke depan teras sekolah.

“Sengaja ditaruh di luar supaya pagi-pagi balon bisa diisi dan diterbangkan di atas sekolah. Tapi tadi, sekitar subuh, kami baru sadar bahwa tabung gas itu sudah nggak ada di sana. 4 tabung helium ukuran 22 liter. Sebenarnya nggak mahal sih, kami bisa tutupi kerugiannya. Cuma aneh aja itu tabung tiba-tiba menghilang, tanpa ada orang yang melihat.”

“Mungkin ada maling yang menggotongnya keluar?”

Dia menggeleng. “Tidak Mas Arif, semalam kami semua terjaga, jikalau ada orang yang bawa 4 tabung gas itu keluar lewat pintu depan sini, pasti ada yang melihat. Tapi nggak ada satupun yang melihat tabung gas itu keluar.”

“Jadi mungkin dia masih berada di dalam?”

“Nah itu masalahnya, Mas Kiddo, kami juga sudah memeriksa tiap ruangan di sekolah dan tak menemukan ada tabung itu di sana.”

“Anda yakin, tabung gas itu nggak dibawa keluar sekolah, mungkin ada pintu belakang atau semacamnya?”

“Tidak, terjaga semalam, sebagai panitia ada yang begadang di depan gerbang ini dan yang lain begadang di gerbang samping. Jikalau ada yang bawa tabung ukuran 22 liter harusnya ketahuan, tapi nggak ada yang mengaku lihat.”

Aku menyeringai. “Oke, ini menarik, saya akan ambil kasus ini.”

“Mau lapor polisi, masalahnya sebenarnya kecil, tapi mau ganti rugi biaya tabung itu juga rasanya ngeselin banget. Makanya, saya menghubungi Anda, mungkin Anda bisa menemukan mereka jadi kami nggak harus bayar kerugian itu.”

“Iya, saya mengerti,” mataku berputar ke sekeliling. “Satu pertanyaan, itu yang di atas itu, balon yang Anda pesan bukan?”

“Iya, memang itu yang kami pesan. Tadi kami meminta mereka untuk membawa tabung helium yang baru dan saya bilang saya akan bayar kerugiannya. Ada sedikit keributan sih tadi, tapi syukurnya bisa kami atasi.”

“Oke, apa penyedia balon gas itu masih ada di sini.”

“Iya, mereka masih ada di sini dan menunggu pertanggungjawaban kami.”

“Mereka di mana?”

“Di sini,” Ringgo mengantarkan kami ke parkiran motor.


Keterangan:
A1: Gedung 1            G1: pintu gerbang barat    P2: parkir motor
A2: Gedung 2            G2: pintu gerbang selatan    X1: lokasi terakhir tabung itu berada
B1: lapangan basket    P1: parkir mobil

Setelah memperkenalkanku pada si penyedia balon gas, Ringgo meninggalkan kami.

“Saya Kiddo,” ucapku menyalaminya.

“Toto,” balas si lelaki berperawakan usia kepala empat itu. “Mas ini yang detektif itu ya?”

“Iya,” aku mengangguk. “Ngomong-ngomong Anda tahu dari mana?”

“Itu sedari tadi, mereka bicara akan menyewa detektif online untuk menemukan tabung gas kami,” wajahnya tampak menahan tawa.

“Oh begitu.”

“Iya Mas Kiddo, jujur saya sendiri nggak percaya dengan anak-anak SMA itu. Masak, 4 tabung ukuran 22 liter bisa hilang begitu aja, pindahin satu aja lumayan berat loh, lah ini sampai 4, dan lagi mereka kan ramai di sana. Masak nggak ada yang lihat itu tabung dipindahin ke mana.”

“Oke, sedikit banyak saya bisa membayangkan."

“Mas Toto, bisa cerita detail, apa yang terjadi semalam sampai kemudian 4 tabung helium itu hilang?”

“Semalam, iya kami melakukan hal yang biasa kami lakukan. Kami menyiapkan tabung helium, model balon, tali untuk mengikatnya, serta menentukan posisi akan di mana nanti kira-kira balon itu diterbangkan. Lalu setelah semua beres, biasanya memang kami tinggal, apalagi jika ada panitia acara di sana. Kami biasanya percaya dengan mereka. Tapi yang kali ini saya benar-benar sedang apes.”

“Pukul berapa Anda membawa tabung-tabung itu ke sini?”

“Sekitar jam 7 malam, kami beres-beres sampai jam 9, lalu karena kebetulan saya ada acara di tempat lain jadi saya langsung pamit.”

“Terus?”

“Paginya saya baru ke sini, sekitar jam 7an. Saya pikir bakal aman-aman aja, seperti biasa yang isi gas ke balon dan menerbangkannya. Balonnya ada, tapi tabung helium yang nggak ada. Bangke, sial banget itu.”

“Lalu apa yang Anda lakukan?”

“Iya, saya tanya ke mereka, lihat tabung helium yang ada di sini nggak? Apa ada yang pindahin atau bagaimana? Saya tanya satu-satu panitia yang ada di situ, namun mereka bilang nggak lihatlah, nggak tahulah, dan seterusnya. Benar-benar menyebalkan. Lalu datang ini si ketua panitia, Heru namanya, dia yang malah marah-marah ke saya. Gimana sih Pak, katanya mau terbangin balonnya pagi-pagi, kok malah nggak jadi. Lah wong saya sudah nyiapin semuanya kok semalam. Terus, dia bilang bapak lupa kali, belum nyiapin heliumnya semalam. Curut, dia pikir saya pikun apa. Orang saya bertiga loh sama teman saya ke sini, nurunin model balon dan tabung dari pick up, terus angkut ke teras depan ruang guru itu. Dia malah nuduh saya yang justru nghilangin tabung, huh sialan!”

Aku mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?”

“Di saat saya debat sama si panitia kampret itu, datang ini anak muda ini, Ringgo. Ngobrol-ngobrol, yaudah kirim lagi aja heliumnya, nanti 4 tabung yang hilang itu akan kami ganti. Yang penting model balon bisa dinaikin ke udara. Terus saya nelpon boss saya, dengan hilangnya 4 tabung itu, jelas dia marah-marah. Tapi saya jelasin mereka akan ganti rugi jika tabung itu tidak ditemukan sampai sore. Si Boss akhirnya bilang, ok setuju, tapi cuma kasih 2 tabung aja. Jikalau heliumnya habis dan balonnya turun, ya itu konsekuensi mereka.”

“Satu pertanyaan, bagaimana Anda memindahkan tabung itu dari mobil pick up ke teras itu.”

“Oh itu saya pakai troli Mas,” jarinya membentuk pistol. “Nah, itu juga yang jadi pertanyaan kami tadi.”

“Pertanyaan apa?”

“Tadi pagi saat saya dan Ujo,” dia menunjuk rekan di sampingnya, “sampai ke sini, semuanya masih lengkap seperti semalam, model balon, tali, selang, alat pengaman, dan juga troli masih pada tempatnya, kecuali tabung heliumnya aja yang nggak ada. Maka-nya itu aneh banget. Jikalau si maling ini ngangkut itu tabung, kenapa trolinya masih ada di sana? Atau kenapa trolinya mesti dia balikin? Atau apa dia ngangkutnya nggak pakai troli? Itu yang jadi banyak pertanyaan antara saya dengan teman saya ini.”

Aku menyeringai. “Ini sangat menarik.”

“Ini antara kita aja Mas Kiddo, saya yakin tabung itu masih ada di sini disembunyikan oleh mereka bocah-bocah kampret itu.”

Asli, aku nyaris meledakkan tawa.

Setelah percakapan itu, aku dan Arif pun meninggalkan si Toto tukang balon helium. Kami berjalan mengelilingi gedung SMA Fortland. Sialnya, acara Cup ini membuat Fortland diisi begitu banyak perwakilan anak SMA dari sekolah-sekolah di seputar Jakarta Selatan. Melirik ke jam tanganku, sekarang pukul 12 siang.

“Jadi bagaimana lo akan menemukannya?” tanya Arif.

“Gue nggak tahu,” jawabku.

Sobatku ini langsung membelalak. “Lo nggak tahu? Lo kan detektif?”

“Iya, gue nggak tahulah, ini kasus pertama gue, mana gue tahu cara menemukan barang yang hilang dengan situasi pelik dan ramai kayak begini.”

“Ah dudul, tapi mereka sudah manggil kita ke sini!?”

“Iya, kalau nggak ketemu ya, mereka nggak usah bayar. Kalau ketemu baru mereka bayar.”

“Ah, gila lo!!”

“Jaelah nggak usah panik gituh napa, gue yang jadi tokoh utamanya aja nggak panik.”

“Ugh, goblok-goblok!”

Aku tertawa melihat kelakukan sobatku. “Jangan-jangan lo nggak tahu ya, kenapa kita di sini?”

“Apa?” dia menaikan alis. “Apa maksud lo?”

“Wah benar, lo benar-benar nggak tahu.”

“Apa yang gue nggak tahu? Apa yang gue lewatkan, kampret!?”

 “Ini SMA Fortland Man! Masa lo nggak ingat peristiwa 3 tahun yang lalu.”

“Ya iyalah gue nggak tahu, SMA kita kan di Eight Fan, bukan di sini.”

“Tapi beritanya sampai masuk TV loh.”

“Berita apa?”

“Tiga tahun yang lalu di sini, ada siswa SMA yang meninggal,” aku menunjuk ke arah tangga di tengah gedung. “Tepatnya di situh, dia terkena benturan dari tabung helium yang meledak.”

“Serius?”

“Iya, kebetulan siswa yang meninggal itu alumni dari SMP gue. Moment-nya hampir sama dengan acara Cup ini, mereka menyewa balon raksasa untuk promo sekolah. Tapi sayangnya, saat menyiapkan balon itu terjadi kecelakaan, tabung itu meledak dan meluncur bagai torpedo, menghantam dia yang kebetulan berada di dekatnya.”

“Walah!”

“Sejak saat itu, tiap ada cara ekskul, pensi, atau pertandingan antar sekolah seperti ini, Fortland nggak pakai promo balon udara lagi. Namun kali ini, mereka baru pakai lagi.”

Arif mendongak. “Jangan-jangan, alasan lo ke sini karena…”

Aku mengangguk. “Iya, gue yakin, hilangnya tabung itu ada hubungan dengan peristiwa 3 tahun yang lalu.”
.  .  .

Bagian tengah sekolah terlalu bising, terlalu banyak siswa. Jadi, aku dan Arif memulai penyelidikan dari belakang sekolah. Kami menelusuri bagian belakang hingga ke pintu kecil di pojok timur. Aku mengeceknya, pintu itu digembok dan jelas sudah lama tidak ada orang yang membukanya.

“Menurut lo, itu tabung dibawa keluar sama maling atau masih ada di sini?” tanyaku ke Arif.

Dia berpikir sejenak, sambil melihat pagar belakang sekolah yang tinggi. “Mereka sudah nyari bukan, muter-muter ke sekeliling sekolah dan nggak ketemu. Gue rasa sudah dibawa keluar sama malingnya.”

“Lo yakin itu maling bisa bawa keluar, 4 tabung besar itu lewat sini?”

Dia menyentuh pintu belakang yang terbuat dari teralis besi. “Terlalu sepit sih, nggak bisa diangkut lewat sini, kecuali laptop. Sedangkan lewat atas tinggi, bisa sih, tapi agak sulit.”

“Nah, itu dia yang gue pikir, mereka mungkin aja membawa tabung itu lewat sini, tapi mereka harus memaksakan diri manjat sambil bawa tabung itu. Lagi pula untuk apa susah-susah mengangkut tabung besi, kalau bisa nyolong yang lain, yang lebih ringan semisal laptop atau peralatan kantor. Atau jika perlu motor dan mobil, buat apa nyolong tabung gas helium.”

Arif mengangguk. “Iya, lo benar juga. Terus, menurut lo di mana tabung-tabung itu?”

“Gue, hmm, masih belum kepikiran di mana mereka berada.”

“Ckck, Kiddo! Terus gimana nih?”

Lalu aku kepikiran satu nama. “Eh, tadi si Toto itu nyebut Heru ya, si ketua panitia. Kita cari dia aja yuk, siapa tahu dia punya info menarik atau mungkin petunjuk.”

“Huh, oke,” Arif pun berjalan malas di belakangku.
.  .  .

Kami kembali ke tengah sekolah dan mencari siswa yang bernama Heru. Tanya sana-sini, lalu seorang siswa menunjuk ke pemuda tinggi dengan wajah keras dan tampan yang berdiri di teras belakang tiang basket.Pakaiannya rapih, seperti baru beli dari distro, dengan sepatu kets yang mengkilap. Gerak-geriknya begitu gagah dan berwibawa. Dugaanku, begitu lulus SMA dia langsung dikirim orang tuanya masuk UI, atau jika tidak, pasti dia masuk Trisakti atau Binus.

"Mas Heru ya," tanyaku mendekatinya. "Saya ditugaskan oleh Ringgo untuk..."

Tapi anak muda itu langsung memotong. "Maaf ya Mas, saya lagi sibuk, untuk masalah hilangnya tabung gas itu sebenarnya saya begitu peduli. Toh, kami sudah bayar, salah sendiri mereka yang menghilangkan," ucapnya lalu melangkah melewati kami begitu saja.

Buset, dalam hatiku. Ini anak muda gabung antara Giant, Suneo, dan Dekisugi. Sok kaya, sok tinggi, dan menganggap kami beda kelas, huhuhu. Namun ada satu anak cewek yang tiba-tiba berujar. "Maaf bang detektif, kelakukannya memang begitu kalau lagi pusing," ucapnya.

Aku memindai si cewek; dia cantik, muda, dan tampak pintar. Aku membayangkan, begitu lulus dia langsung ikut SPMB dan masuk jurusan Hubungan International atau mungkin Psikologi di UI.

"Oh gapapa," jawabku.

"Saya Nindi," tiba-tiba si cewek muda memperkenalkan diri.

"Kurnia Andika alias Kiddo," ucapku. "Dan ini rekan saya, Arif."

Dia menyalaminya juga. "Terima kasih sebelumnya sudah datang ke sini. Inisiatif untuk memanggil anda -detektif online- adalah idenya Kak Ringgo.”

“Oh iya, tadi kami sudah ketemu Ringgo.”

“Ya begitu bang. Setelah kami muter-muter dan nggak ketemu itu tabung helium, Kak Ringgo punya ide ini -memanggil anda yang katanya detektif.”

“Sejujurnya kami baru, tapi kami akan coba yang terbaik.”

“Baru ya, pantas wajah abang-abang ini kelihatan muda.”

Aku tertawa, dalam hati buset ini cewek terlalu pintar untuk bocah SMA. "Ngomong-ngomong sudah lama kenal dengan Ringgo?"

"Saya baru ketemu sih kemarin,” Nindi berjalan ke ujung ring basket. “Tapi kata para senior, dia orangnya baik dan royal gituh -suka kasih sumbangan untuk acara-acara seperti ini."

"Oh begitu."

Dia mengangguk. “Iya.”

"Jadi, kalian sudah memeriksa sekeliling sekolah ini sejak pagi?" tanyaku.

“Benar bang,” dia mengangguk. “Siapa tadi? Kiddo ya.”

“Iya.,” balasku. “Ngomong-ngomong, kalian tadi pagi sudah memeriksa semua tempat di sini,” tanganku berputar di udara. 

“Benar bang, tapi nggak ketemu.”

“Kami tadi dari belakang,” tunjukku ke pojok timur. “Mengecek pintu itu, digembok dengan keras dan kelihatannya tak ada tanda-tanda telah dibuka semalam.”

“Nah itu yang bikin kami bingung. Jikalau si pelaku gotong lewat atas pagar juga agak susah.”

“Jadi menurut kamu bagaimana?”

“Entahlah bang saya pusing.”

Aku tertawa kecil.  “Ngomong-ngomong, itu ruangan apa?” tunjukku ke belakang ring basket.

“Oh itu ruang serba guna, kadang buat seminar atau ngumpulin siswa dari berbagai kelas, ya di situh.”

“Kalau yang di ujung basket sana,” aku menunjuk ke arah sebaliknya.

“Yang itu perpustakaan,” ucapnya, lalu jarinya menunjuk ke pojok bangunan. “Kalau toilet di sebelah sana,” lalu dia menunjuk ke arah kanan. “Itu ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tata usaha.”

“Oke,” jariku berputar di udara. “Saya mulai merangkai peta sekolah ini di benak saya.”

Denah Lantai 1 Fortland


Keterangan:
LR: Ruang Guru                  AR: Ruang Tata Usaha    NR: Ruang UKS
HR: Ruang Kepala Sekolah    N1: Ruang serba guna    SC: Ruang kelas X
CC: Tangga                         T1: Toilet                      P1: Perpustakaan

“Satu pertanyaan,” ucapku. “Apa di sini ada troli?”

Dia menaikkan alis. “Troli?”

“Iya, troli untuk ngangkut barang, seperti itu,” tunjukku ke tengah lapangan di mana Toto meletakkan barang-barangnya semalam.

“Oh itu, rasanya ada dah,” dia berpikir sejenak. “Kalau nggak salah, di gudang di belakang ruang serba guna ini ada dah.”

“Oke, mungkin bisa kita lihat nanti,” ujarku.

Dia mengangguk.

“Ngomong-ngomong, apa hanya kalian –panitia- yang ada di sini?”

Jari si gadis naik ke bibir. "Ada Pak Satpam juga di sini."

"Pak Satpam,” aku menggaruk dagu. “Orangnya masih ada di sini gak?”

“Tadi, iya saya lihat masih di sini,” dia memutar badan. “Kebetulan dia juga bantu kita nyari itu tabung gas.”

“Bisa saya ketemu orangnya?”

“Hmm, bisa. Tadi sih, saya lihat ada di parkiran depan,” tunjuknya ke pintu gerbang.
.  .  .

Sampai di sana, kami bertemu lelaki muda ini, tampang usia 30an dengan kulit coklat dan baju safari warna hitam. Dia sedang merokok di belakang SUV warna putih. Nindi bicara pada, menjelaskan kedatangan kami.

Lalu aku pun memperkenalkan diri. "Saya Kiddo, dari agensi detektif itu."

"Prapto," balasnya.

"Jadi, Mas ini ada di sini semalam?" tanyaku.

"Iya, saya ada di sini semalam.”

“Hmm, sejak kapan anda tahu tabung gas helium itu hilang?”

“Saya tahunya sih tadi pagi, jam tujuh-an. Tapi, aduh sulit menjelaskannya" wajahnya tampak gusar.

"Sulit bagaimana?" tanyaku serius.

"Sebenarnya," dia menggerakkan kedua tangannya. "Dari tadi pagi, kami sudah mencari ke mana-mana, tapi nggak ada. Rasanya, memang sudah nggak ada di sekolah ini, Mas, tapi..."

"Tapi kenapa?"

"Tapi, rasanya nggak mungkin juga dibawa keluar."

"Kenapa nggak mungkin?"

"Begini Mas, di sekolah ini memang ada dua pintu, gerbang barat," tunjuknya lurus ke depan. "Dan gerbang selatan," tunjuknya ke sebelah kiri. "Gerbang barat, khusus untuk pejalan kaki atau yang turun dari angkot, sedangkan yang selatan khusus untuk yang bawa kendaraan. Jadi mobil dan motor ya hanya lewat situh.

Aku manggut. 

"Saat malam, gerbang barat ditutup. Jadi, hanya ada satu akses yaitu pintu gerbang selatan. Tapi saya dan rekan saya, menjaga di pos itu. Kami mengawasi semua yang keluar dan masuk melalui pintu itu. Jikalau ada orang atau kendaraan yang bawa keluar 4 tabung besar itu, pasti kami tahu. Tapi, nyatanya tidak ada. Tak ada tanda-tanda orang yang bawa itu tabung keluar, apalagi lewatin pos kami."

 "Oke, lalu?"

"Iya, tadi kami muter-muter seluruh sekolah, kami periksa tiap ruangan, mulai kelas satu sampai kelas tiga, toilet, bahkan gudang di belakang sekolah. Tak ada bekas ataupun penampakan dari tabung-tabung itu."

“Kalau pintu di pojok timur sini, gimana?”

“Oh pintu belakang yang itu, itu dikunci gembok, Mas, dan nampaknya nggak ada bekas kalau pintu itu dibuka.”

“Kenapa?”

“Iya, pintu itu sudah karatan Mas, kalau ada yang buka pasti ada jejak gesekkan di bawahnya. Begitu pula dengan gembok itu, jika dibuka bekas karatannya akan rontok.”

Aku tersenyum, pintar juga ini orang. "Jadi kesimpulan, anda?"

"Mungkin tabung itu dibawa keluar, tapi yang pasti tidak lewat gerbang barat ataupun selatan, juga tidak lewat pintu belakang. Mungkin, ehm, ini cuma dugaan saya, si tukang tabung itu bohong. Sebenarnya, dia sendiri yang menyembunyikan dan mengangkutnya keluar pakai pick up, sewaktu kami lengah."

“Anda yakin itu?”

“Hmm, iya, itu hanya dugaan saya sih, Mas.”

Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Semalam ada berapa mobil yang ada di sini?"

"Semalam ada 4 mobil di sini, punya Kepsek, punya Pak Cahyo -tetangga sini, dan dua lagi dari anak-anak OSIS itu."

“Oke, mereka menginap di sini?”

Dia menggeleng. "Nggak, Mas, pukul 9an ada satu mobil yang keluar -punya siswa itu- jadi yang menginap hanya 3 di sini."

“Oh gituh,” aku memutar tubuhku memandang ke tiang basket. “Semalam, anak-anak panitia itu memakai ruangan mana?”

"Ruang serba guna, yang di sana itu,” dia menunjuknya. “Selebihnya, ruang yang lain saya kunci."

"Hanya para siswa saja yang ada di sini?"

Dia berpikir beberapa detik sebelum menjawab. "Tidak, ada satu orang guru semalam, Pak Andi, guru bahasa Inggris, dia datang ke sini, jam 8an.”

"Apa yang dilakukan guru ini?"

"Katanya ada yang ketinggalan, terus dia minjam kunci ruang guru."

Aku menggosok dagu. "Apa dia biasa seperti itu, sampai malam berada di sekolah?"

"Tidak,” dia menggeleng. “Biasanya sih, paling lama bada magrib para guru sudah pulang, jarang ada yang sampai isya ada di sini."

"Dia meminjam kunci ruang guru,” tanganku menyilang di depannya. “Hmm, bisa saya lihat kuncinya?"

“Bisa, sebentar,” si satpam mengambil kunci dari posnya. "Ah, ini dia."

Dia memberikannya padaku, kunci itu tergantung dalam cincin bersama kunci-kunci yang lain.

"Yang mana yang ruang guru?" tanyaku.

"Yang ini," dia mengambil yang tengah dengan warna besi yang cerah.

"Oke," aku mengangkatnya. "Kalau yang lain?"

"Itu untuk ruang-ruang yang lain di lantai 1 ini."

"Semuanya ada di sini?" tanyaku.

Namun, sebelum lelaki itu menjawab tiba-tiba seorang pemuda menepuk bahuku.

“Sudah makan Mas Kiddo,” tanyanya.

Aku menoleh, dia adalah Ringgo. “Oh, Mas Ringgo,” sebenarnya saya belum makan, tapi mau jawab nggak enak.

“Saya mau beli ketoprak bentar,” ujarnya semringah. “Sekalian Mas Kiddo, Mas Arif, Nindi mau juga.”

“Makasih Kak, saya nanti aja,” jawab Nindi.

“Oke, by the way, good luck with the case,” ucapnya tersenyum dan membalik badan.

Dia melangkah keluar di gerbang selatan dan berbelok ke kiri.

“Uhm, bukannya yang banyak tukang jualan di sebelah kanan ya,” ucapku.

“Mungkin dia ingin ke mini market dulu kali,” sahut Arif yang sedari tadi hanya diam menjadi bayanganku.

Aku hanya mengangguk. “Mungkin,” lalu kembali melihat wajah si satpam, aduh sesuatu tadi kulupa. Sial, gara-gara si pemuda itu aku terdistraksi. “Ngomong-ngomong tadi kita bicarain apa ya?”

“Kunci Mas Kiddo, kunci,” ucap si satpam.

"Oh iya,” aku mendongak tertawa. “Terima kasih infonya Mas Prapto!”

Namun kejutan lain muncul.

“Kak Nindi, bisa ke belakang bentar gak?” ucap si gadis kecil, mungkin siswa kelas 1 SMA.

“Hmm, itu,” mukanya tampak begitu cemas. “Kak Heru, dia pingsan di toilet.”
.  .  .

Wednesday, April 10, 2019

My Interview with Vasca Vannisa

By Fitrah Tanzil


Setelah beberapa bulan hiatus, akhirnya ada juga konten baru di blog ini, hikhik. Kali ini saya menginterview Vasca Vanissa, seorang penulis mantan model n DJ. Aaaaa. Ia sudah menulis 8 novel dengan 6 buku yang sudah terbit di sebuah penerbit indies. Oke, saya nggak ingin berbasi-basi. Jadi teman-teman bisa langsung saja simak interview saya di bawah ini.

Selamat membaca!!


FT: Halo Kak Vasca, apa kabar?

VV: Kabar baik Dek, hanya sedikit bete karena penjualan buku dan segala sesuatu tentang kerjaan berjalan lambat. 


FT: Oke, saya agak bingung sebenarnya? Saya nggak tahu harus mulai dari mana? Haha.

VV: Mari kita mulai dengan membaca doa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa, mulai… Hahahah


FT: Oh iya, perkenalan dulu kali ya? Cerita tentang siapa Vasca Vannisa?

VV: Bukan siapa-siapa Dek, cuma seorang wanita yang terdampar di dunia tulis menulis karena masa lalu yang salah. Hahaha… Kidding. Oke, Kakak akan perkenalkan diri, Kakak anak pertama dari empat bersaudara, cewek semua. Kakak asal Pekanbaru Riau, Papa asli China, Mama yang orang Melayu. Mulai publish novel pertama tahun 2010. Sampai sekarang udah nulis delapan novel semuanya genre misteri, Fiksi kriminal dan Psikologi horor, tapi baru enam judul yang publish. Kakak dulunya hobi hangout ke klub malam, karena dulu tinggal di daerah Kemang. Di sana juga Kakak belajar DJ di kursus yang dibuka DJ Riri, Spinach Academy dan sejak itu mulai jadi DJ, banyaknya tampil seputaran Kemang. Kalau foto-foto hunting di mulai dari seorang teman yang ngenalin aku ke fotografer dan seminggu setelah itu dia bawa temen-temennya buat moto juga, dan keterusan. Tapi diantara itu sejujurnya belom ada yang mencapai memuaskan, karena Kakak berhenti di pertengahan jalan di saat karir mulai naik. Saat ini Kakak niat focus di dunia tulis menulis dulu,mau belajar bikin Skenario Film.


FT: Uhm, sekolah n besar di mana?

VV Sekolah dan tumbuh di Riau, tamat sekolah setahun langsung kabur ke Jakarta, bilangnya cuma ke rumah temen, udah nyampe Jakarta baru ngabari ortu. Gak sopan banget ya, jangan dicontoh! Hahahaha


FT: And sekarang tinggal di ...

VV: Sekarang tinggal di Padang, ikut Suami yang kerja di sini.


FT: Masuk ke pertanyaan semi utama. Dari foto model beralih ke penulis, ini gimana ceritanya?

VV: Kakak malah aktif ikutan foto setelah nulis novel. Kalau cerita kenapa kerjaan kakak beragam, karena ingin tahu segalanya. Dulu kakak pernah juga kerja kantoran loh, sebagai pialang saham di perusahaan Indeks dan Forex di Menara Sudirman Jakarta, juga sebagai pegawai dadakan tim sukses salah satu Partai Politik, jadi SPG juga pernah hahaha.


FT: Novel atau buku-buku apa aja yang menginspirasi Kak Vasca?

VV: Yang menginspirasi Kakak novel-novel thriller karangan Sidney Sheldon, Mario Puzo dan Harlan Coben, juga Komik detective Jepang, kayak Conan dan Kindaichi. Kalau dari Indonesia,novel-novel horror stensilan jaman dulu, S Mara Gd dan Ruwi Meita juga.


FT: Jujur, saya ndak tahu banyak tentang tulisannya Kak Vasca, kecuali Pyschopath Diary. Itu hits banget di tahun 2016an. Bisa cerita tentang novel itu?

VV: Itu novel tentang wanita yang semasa kecil di rusak oleh seorang pemerkosa pedofil. Dia juga mendapat perlakuan buruk di dalam keluarga. Di jual oleh Kekasihnya sendiri, pokoknya semua nasib apes yang terapes ada di dia. Tapi ketika terpuruk seorang Psikiater merubah cara pandangnya, dia mulai berhenti baperan dan memandang segala sesuatu dengan logika seorang Psikopat yang nggak punya perasaan. Dia mulai membunuh demi pembalasan dan kesenangan saja, dan cerita pembunuhan-pembunuhannya dia kirim ke seorang novelis. Karena menuliskan cerita dia anggap sebagai terapi, agar penampakan orang-orang yang dibunuhnya tak lagi mengganggunya, tetapi terperangkap dalam pikiran orang-orang yang membaca buku tersebut. Di situ nanti ada tebak-tebakan pelaku, siapakah dia di antara empat orang wanita, seorang Pengusaha hotel, seorang penulis teenlit, seorang DJ atau seorang aktris. Tebakan pembaca salah semua loh, hihihi.


FT: Selain itu saya dengar yang ada novel Paranoid dan Deja Vu, mereka bercerita tentang apa?

VV: Paranoid tentang sepasang remaja yang melakukan perjalanan jauh dengan mobil, tapi di Pom bensin si cowok yang pergi ke toilet nggak pernah kembali. Si cewek ini memburu mobil yang di duga menculik cowoknya dan ngadapi banyak banget rintangan dan tempat-tempat menyeramkan. Ini novel yang paling banyak bikin orang nangis. Karena akhirnya surprise banget.

Kalau Dejavu bercerita tentang cewek yang punya ingatan berbeda dengan fakta yang saat ini dia jalani. Dia kenal orang-orang yang seharusnya nggak dia kenal dan malah nggak kenal dengan orang-orang yang berada di dekatnya saat ini. Ini tentang multiple universe. Lebih ke fantasi.


FT: Oh iya, satu lagi ada saya lihat di IG Pulau Terlarang ya? Ceritanya seperti apa?


VV: Pulau Terlarang hampir sama dengan Paranoid. Mencari orang yang hilang. Empat orang yang saling berpasangan berlibur ke sebuah pulau terpencil. Seorang cewek menghilang, sementara yang satunya lagi kayak dapat gangguan-gangguan gaib. Novel yang ini juga mengejutkan bagi orang yang belum pernah baca novel Paranoid. Cerita dibikin sedikit mirip karena rencananya di kasih judul Paranoid 2.


FT: Uhm, saya pengen tanya tentang proses kreatif kepenulisan, tapi sayangnya sudah ditanya sama interview di blog sebelah. Hmm, jadi saya harus nyiapin pertanyaan yang lain. Hahaha.

VV: Kalau Kakak lagi nulis, kakak lebih banyak minum kopi, banyak baca buku, standar sih kayak penulis lain. Tapi kadang kakak juga sering jalan sendirian malam hari. Waktu masih di Jakarta pernah bolak-balik Kemang-Blok M buat bikin pikiran yang ruwet kembali tenang, tapi waktu itu bukan dalam rangka nyari inspirasi, lagi bete aja. Intinya jalan kaki jarak jauh selalu bikin pikiran kakak jernih, untuk ngindari gangguan karena aku cewek, aku pakai sandal jepit dan jaket dengan tudung kepala, jalan dibikin kayak cowok.


FT: Dari yang saya baca Kak Vasca suka travel, suka berpindah dari satu kota ke kota lain, bisa diceritakan?

VV: Kakak biasanya berpindah kota buat ganti suasana setelah putus cinta. Hahaha. Selebihnya karena pengen jalan-jalan aja.


FT: Dan perjalanan-perjalanan itu menjadi jiwa dalam tulisan anda? Apa saja itu yang paling berkesan?

VV: Ya, pasti. Perjalanan-perjalanan itu akan masuk dalam cerita. Yang paling berkesan di Bali. Karena itu tempat yang paling nyaman bagi Kakak. Pengalaman kakak disana ditumpahkan di novel yang lagi proses layout, tentang pembunuhan di Bali. Doakan publish tahun ini.


FT: Oh iya, balik lagi ke Psycopath Diary. Dua tahun yang lalu, waktu ke toko buku sebenarnya saya pengen beli, cuma sayang saya lagi nggak ada duit, hahaha. Tapi yang jadi pertanyaan saya, yang bikin greget adalah novel itu dicetak sampai .... copy, itu gimana ceritanya?

VV: Lupakan masa lalu yang miris itu, kirim aja alamat Fitrah lewat WA, nanti aku kirim bukunya. Tukeran sama buku yang Fitrah tulis itu “Naga, Koi dan Air Terjun” hahaha


FT:  Oke, ini sesi wawancara yang nggak ada di interview lain, khusus di saya. Namanya fans questions, yaitu pertanyaan-pertanyaan fans di luar dunia kepenulisan. Apa kamu siap!


VV: Siap sejak lahir


FT: Fans question satu, siapa model atau foto model favorit Kak Vasca?

VV: Giselle bundchen, alasan pertama karena dia model yang keras kepala dan punya hati baik. Alasan kedua karena tiap temen ngantuk selalu bilang “gue udah ngantuk berat nih, udah kabur mandangin orang, elo udah keliatan kayak Giselle bundchen”, sialan, hahaha.


FT:  Kak Vasca pernah jadi DJ, hmm, ini menarik nih. Siapa DJ atau musikus EDM favorit Kak Vasca?

VV: EDM luar so pasti Tiesto, tapi sebenernya aku sukanya genre David Guetta dan Afrojack. Kalau dalam negeri ceweknya DJ Devina (sepupu mantan pacar) hahaha… Kalau cowoknya Angger Dimas. Kalau aku sendiri suka empat genre, breakbeat, dutch, EDM/Electro dan Progressive.


FT: Fans question terakhir, dulu waktu di Jakarta suka nongkrong di mana saja?

VV: Sering nongkrong di kafe Ohlala Kemang Food Fest, di situ biasa melamun dari buka ampe tutup jam 3 pagi kalau lagi galau. Di kafe Splash, Little Baghdad, Warung Pasta (semua di kemang). Fitnes di Plaza Indonesia. Nonton di Grand Indonesia. Di nasi goreng Bang Robi jalan Sabang. Di Blok M. Ambassador. Kalau dugemnya selain klub-klun kemang, ya di Stadium, Crown, X2 sama Miles. Kalau pendinginannya nongkrong di pinggir jalan Senayan dekat mobil-mobil yang jual pletokan dan Shisha, kalau udah agak pagi, makan bubur di menteng. Hahaha. Komplit semua diceritain.


FT: Sisa dua pertanyaan lagi. Apa saran n masukan Kak Vasca untuk penulis-penulis muda yang pengen berkecimpung di genre fiksi kriminal atau thriller?

VV: Banyak-banyaklah bergaul. Karena cerita thriller itu akan mudah ngalir jika dibumbui pengalaman pribadi. Penulis cerita thriller harus bias menyeimbangkan semua emosi. Marah, sedih, takut dan bahagia jika bisa dalam takaran yang tidak berlebihan agar tidak melunturkan ketegangan yang ditonjolkan oleh cerita thriller itu sendiri.


FT: Apa ada projek buku baru yang sedang dikerjakan?


VV: Novel Inisial B.M tentang pembunuhan dalam komunitas pelukis-pelukis bule di Bali dan novel inisial B.M.S tentang Ilmu hitam, persekutuan dengan mahluk yang dinamakan Syetan. Hihihi…


FT: Wow, selesai. Thank you untuk wawancaranya Kak Vasca.

VV: Sama-sama Fitrah, sukses untuk kamu, salam kreatif