Oleh Fitrah Tanzil
Sabtu, 7 Febuari 2004
Empat hari setelah aku tulis iklan di forum majalah komputer itu. Puluhan permintaan kasus penyelidikan masuk ke kotak email-ku. Aku membaca beberapa, ada permintaan penyelidikan yang begitu serius tentang pembunuhan yang belum terpecahkan sampai ke kasus-kasus yang ringan seperti mencari kucing yang hilang. Huhuhu, aku tertawa sendiri. Siapa aku sampai dikira orang hebat yang bisa memecahkan kasus kriminal tingkat tinggi. Tidak, aku hanya Kurnia Andika alias Kiddo, seorang bocah yang baru belajar jadi detektif.
“Jadi bagaimana?” tanya Arif.
Aku menunjuk ke layar komputer yang menampilkan kotak emailku. “Lo lihat aja sendiri, banyak banget.”
“Lo sudah baca semua?”
“Sebagian sudah gue baca.”
“Ayolah, lo sudah ngaku jadi detektif, ambillah salah satu job ini?”
“Gue masih bingung, gue pengen cari kasus sedang-sedang aja gituh. Bukan yang pembunuhan.”
“Iya sih, lo terlalu culun untuk jadi detektif kasus pembunuhan.”
“Kampret!” dampratku.
Si Arif hanya tertawa. Kemudian jarinya menelusuri layar. “Di sini ada kasus pencurian handphone di Ciledug, lo mau ambil?”
“Nggak ah, susah nyari handphone, kecil bisa dimasukin ke dalam tas, bisa berpindah tangan dengan mudah, dan menghilang entah ke mana.”
“Iya, iya, gue ngerti.”
“Lagi pula gue sendiri aja nggak punya handphone, buat apa nyariin handphone orang.”
Dia terbahak-bahak. “Ok, ini pencurian laptop di SMA Neunzig, lo mau ambil?”
“Pencurian laptop lagi, empat hari ini lo lihat di kotak email gue, ada 12 permintaan pencarian laptop yang hilang. Huh, itu terlalu mainstream.”
“Oke, ini ada yang beda ini, mobil yang hilang di Kelapa Gading? Gimana?”
Aku sempat terbayangan film Fast and Furious juga Gone In Sixty Second. “Mobil ya, pengen sih gue coba. Tapi itu butuh banyak sumber daya, nggak dulu dah.”
“Hayolah, lo maunya apa?”
“Di situ ada apalagi?”
Selama tiga menit, dia kembali menatap layar. “Yang ini rada unik nih, bukan mobil yang hilang tapi mobil yang tiba-tiba muncul di rumah orang.”
“Apa?”
“Iya, ini mahasiswa arkeologi yang katanya nemu sebuah mobil di garasi rumahnya. Dia nggak tahu itu mobil siapa tapi dia belum mau nelpon ke polisi, dia butuh detektif swasta untuk nyelidikinnya.”
“Boleh itu di mana?”
“Di Lembang, Bandung.”
“Eh buset dah, lewat yang itu.”
Dia kembali tertawa.
“Padahal gue sudah nulis loh, khusus untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, tapi iya begitu request dari luar kota masuk juga.”
“Oke, ada nih di Bekasi Timur, namanya Dabamian dia butuh bantuan untuk cari tabung asetilinnya yang hilang.”
“Asetilin, haduh apalagi itu?”
“Mana gue tahu.”
“Sial, ada yang lain nggak? Yang dekat-dekat sini aja.”
Dia terdiam beberapa detik, sebelum kembali bicara. “Nah, ada nih, baru masuk tadi jam 10 dari Ringgo di SMA Fortland.”
“Fortland? Fortland yang di sini?” tunjukku ke arah barat.
“Iya, Fortland sini. Dia bilang mereka kehilangan 4 tabung gas helium untuk balon promo acara SMA mereka.”
Promo dengan balon gas, iya belakangan ini memang jadi trend untuk SMA-SMA elit di Jakarta menggunakan itu dalam acara mereka. “Boleh nih, dekat pula.”
“Jadi?”
Aku berdiri dan mengambil jaket. “Kita langsung meluncur.”
. . .
SMA Fortland tak sampai 2 kilometer dari Pondok Pinang. Dia berada di jalan Delman Utara dekat Taman Besar di belakangan Tanah Kusir. Bisa di bilang daerah ini adalah salah satu zona paling asri di Jakarta Selatan bagian barat. Kami sampai di sana pukul setengah 12. Suasananya ramai dengan banyak anak SMA berpakaian bebas, beberapa tampak mengenakan seragam basket dan ada juga yang pakai baju bola. Di depan pagar aku langsung disambut dengan spanduk bertuliskan “Fortland Cup 8”. Melihat ke atas ternyata balonnya sudah mereka terbangkan, huh ini aneh.
Seorang lelaki berjas hitam rapih tampak berdiri di depan gerbang, dia pun langsung mendekat menyambut kami. “Mas dari agensi detektif itu ya, yang di forum komputer.
“Iya, itu kami, Kiddo Detective Agency.”
Wajahnya tampak sumringah, dia lalu mengulurkan tangan. “Saya Ringgo yang mengirim email tadi.”
“Kurnia Andika,” ucapku sambil menjabat tangannya. “Saya pikir Anda anak SMA?”
“Oh nggak, saya alumni, cuma saya masih sering bantu-bantu klub Basket di sini.”
“Oh begitu,” aku pun memperkenalkan rekan di sebelah. “Oh iya, ini Arif rekan saya.”
Dia menyalaminya pula.
“Jadi gimana situasinya?” tanyaku to the point.
“Begini Mas Kiddo, untuk acara Fortland Cup ke delapan ini, kami panitia sengaja nyewa balon gas untuk promonya, lebih keren dan efektif dibanding pasang spanduk di jalan.”
“Iya, bisa dilihat dari jauh.”
“Semalam, penyedia balon itu datang mereka bawa 4 tabung helium dan model balon yang sudah kami pesan. Mereka menaruhnya di situh,” tunjuknya ke depan teras sekolah.
“Sengaja ditaruh di luar supaya pagi-pagi balon bisa diisi dan diterbangkan di atas sekolah. Tapi tadi, sekitar subuh, kami baru sadar bahwa tabung gas itu sudah nggak ada di sana. 4 tabung helium ukuran 22 liter. Sebenarnya nggak mahal sih, kami bisa tutupi kerugiannya. Cuma aneh aja itu tabung tiba-tiba menghilang, tanpa ada orang yang melihat.”
“Mungkin ada maling yang menggotongnya keluar?”
Dia menggeleng. “Tidak Mas Arif, semalam kami semua terjaga, jikalau ada orang yang bawa 4 tabung gas itu keluar lewat pintu depan sini, pasti ada yang melihat. Tapi nggak ada satupun yang melihat tabung gas itu keluar.”
“Jadi mungkin dia masih berada di dalam?”
“Nah itu masalahnya, Mas Kiddo, kami juga sudah memeriksa tiap ruangan di sekolah dan tak menemukan ada tabung itu di sana.”
“Anda yakin, tabung gas itu nggak dibawa keluar sekolah, mungkin ada pintu belakang atau semacamnya?”
“Tidak, terjaga semalam, sebagai panitia ada yang begadang di depan gerbang ini dan yang lain begadang di gerbang samping. Jikalau ada yang bawa tabung ukuran 22 liter harusnya ketahuan, tapi nggak ada yang mengaku lihat.”
Aku menyeringai. “Oke, ini menarik, saya akan ambil kasus ini.”
“Mau lapor polisi, masalahnya sebenarnya kecil, tapi mau ganti rugi biaya tabung itu juga rasanya ngeselin banget. Makanya, saya menghubungi Anda, mungkin Anda bisa menemukan mereka jadi kami nggak harus bayar kerugian itu.”
“Iya, saya mengerti,” mataku berputar ke sekeliling. “Satu pertanyaan, itu yang di atas itu, balon yang Anda pesan bukan?”
“Iya, memang itu yang kami pesan. Tadi kami meminta mereka untuk membawa tabung helium yang baru dan saya bilang saya akan bayar kerugiannya. Ada sedikit keributan sih tadi, tapi syukurnya bisa kami atasi.”
“Oke, apa penyedia balon gas itu masih ada di sini.”
“Iya, mereka masih ada di sini dan menunggu pertanggungjawaban kami.”
“Mereka di mana?”
“Di sini,” Ringgo mengantarkan kami ke parkiran motor.
Keterangan:
A1: Gedung 1 G1: pintu gerbang barat P2: parkir motor
A2: Gedung 2 G2: pintu gerbang selatan X1: lokasi terakhir tabung itu berada
B1: lapangan basket P1: parkir mobil
Setelah memperkenalkanku pada si penyedia balon gas, Ringgo meninggalkan kami.
“Saya Kiddo,” ucapku menyalaminya.
“Toto,” balas si lelaki berperawakan usia kepala empat itu. “Mas ini yang detektif itu ya?”
“Iya,” aku mengangguk. “Ngomong-ngomong Anda tahu dari mana?”
“Itu sedari tadi, mereka bicara akan menyewa detektif online untuk menemukan tabung gas kami,” wajahnya tampak menahan tawa.
“Oh begitu.”
“Iya Mas Kiddo, jujur saya sendiri nggak percaya dengan anak-anak SMA itu. Masak, 4 tabung ukuran 22 liter bisa hilang begitu aja, pindahin satu aja lumayan berat loh, lah ini sampai 4, dan lagi mereka kan ramai di sana. Masak nggak ada yang lihat itu tabung dipindahin ke mana.”
“Oke, sedikit banyak saya bisa membayangkan."
“Mas Toto, bisa cerita detail, apa yang terjadi semalam sampai kemudian 4 tabung helium itu hilang?”
“Semalam, iya kami melakukan hal yang biasa kami lakukan. Kami menyiapkan tabung helium, model balon, tali untuk mengikatnya, serta menentukan posisi akan di mana nanti kira-kira balon itu diterbangkan. Lalu setelah semua beres, biasanya memang kami tinggal, apalagi jika ada panitia acara di sana. Kami biasanya percaya dengan mereka. Tapi yang kali ini saya benar-benar sedang apes.”
“Pukul berapa Anda membawa tabung-tabung itu ke sini?”
“Sekitar jam 7 malam, kami beres-beres sampai jam 9, lalu karena kebetulan saya ada acara di tempat lain jadi saya langsung pamit.”
“Terus?”
“Paginya saya baru ke sini, sekitar jam 7an. Saya pikir bakal aman-aman aja, seperti biasa yang isi gas ke balon dan menerbangkannya. Balonnya ada, tapi tabung helium yang nggak ada. Bangke, sial banget itu.”
“Lalu apa yang Anda lakukan?”
“Iya, saya tanya ke mereka, lihat tabung helium yang ada di sini nggak? Apa ada yang pindahin atau bagaimana? Saya tanya satu-satu panitia yang ada di situ, namun mereka bilang nggak lihatlah, nggak tahulah, dan seterusnya. Benar-benar menyebalkan. Lalu datang ini si ketua panitia, Heru namanya, dia yang malah marah-marah ke saya. Gimana sih Pak, katanya mau terbangin balonnya pagi-pagi, kok malah nggak jadi. Lah wong saya sudah nyiapin semuanya kok semalam. Terus, dia bilang bapak lupa kali, belum nyiapin heliumnya semalam. Curut, dia pikir saya pikun apa. Orang saya bertiga loh sama teman saya ke sini, nurunin model balon dan tabung dari pick up, terus angkut ke teras depan ruang guru itu. Dia malah nuduh saya yang justru nghilangin tabung, huh sialan!”
Aku mengangguk. “Lalu apa yang terjadi?”
“Di saat saya debat sama si panitia kampret itu, datang ini anak muda ini, Ringgo. Ngobrol-ngobrol, yaudah kirim lagi aja heliumnya, nanti 4 tabung yang hilang itu akan kami ganti. Yang penting model balon bisa dinaikin ke udara. Terus saya nelpon boss saya, dengan hilangnya 4 tabung itu, jelas dia marah-marah. Tapi saya jelasin mereka akan ganti rugi jika tabung itu tidak ditemukan sampai sore. Si Boss akhirnya bilang, ok setuju, tapi cuma kasih 2 tabung aja. Jikalau heliumnya habis dan balonnya turun, ya itu konsekuensi mereka.”
“Satu pertanyaan, bagaimana Anda memindahkan tabung itu dari mobil pick up ke teras itu.”
“Oh itu saya pakai troli Mas,” jarinya membentuk pistol. “Nah, itu juga yang jadi pertanyaan kami tadi.”
“Pertanyaan apa?”
“Tadi pagi saat saya dan Ujo,” dia menunjuk rekan di sampingnya, “sampai ke sini, semuanya masih lengkap seperti semalam, model balon, tali, selang, alat pengaman, dan juga troli masih pada tempatnya, kecuali tabung heliumnya aja yang nggak ada. Maka-nya itu aneh banget. Jikalau si maling ini ngangkut itu tabung, kenapa trolinya masih ada di sana? Atau kenapa trolinya mesti dia balikin? Atau apa dia ngangkutnya nggak pakai troli? Itu yang jadi banyak pertanyaan antara saya dengan teman saya ini.”
Aku menyeringai. “Ini sangat menarik.”
“Ini antara kita aja Mas Kiddo, saya yakin tabung itu masih ada di sini disembunyikan oleh mereka bocah-bocah kampret itu.”
Asli, aku nyaris meledakkan tawa.
Setelah percakapan itu, aku dan Arif pun meninggalkan si Toto tukang balon helium. Kami berjalan mengelilingi gedung SMA Fortland. Sialnya, acara Cup ini membuat Fortland diisi begitu banyak perwakilan anak SMA dari sekolah-sekolah di seputar Jakarta Selatan. Melirik ke jam tanganku, sekarang pukul 12 siang.
“Jadi bagaimana lo akan menemukannya?” tanya Arif.
“Gue nggak tahu,” jawabku.
Sobatku ini langsung membelalak. “Lo nggak tahu? Lo kan detektif?”
“Iya, gue nggak tahulah, ini kasus pertama gue, mana gue tahu cara menemukan barang yang hilang dengan situasi pelik dan ramai kayak begini.”
“Ah dudul, tapi mereka sudah manggil kita ke sini!?”
“Iya, kalau nggak ketemu ya, mereka nggak usah bayar. Kalau ketemu baru mereka bayar.”
“Ah, gila lo!!”
“Jaelah nggak usah panik gituh napa, gue yang jadi tokoh utamanya aja nggak panik.”
“Ugh, goblok-goblok!”
Aku tertawa melihat kelakukan sobatku. “Jangan-jangan lo nggak tahu ya, kenapa kita di sini?”
“Apa?” dia menaikan alis. “Apa maksud lo?”
“Wah benar, lo benar-benar nggak tahu.”
“Apa yang gue nggak tahu? Apa yang gue lewatkan, kampret!?”
“Ini SMA Fortland Man! Masa lo nggak ingat peristiwa 3 tahun yang lalu.”
“Ya iyalah gue nggak tahu, SMA kita kan di Eight Fan, bukan di sini.”
“Tapi beritanya sampai masuk TV loh.”
“Berita apa?”
“Tiga tahun yang lalu di sini, ada siswa SMA yang meninggal,” aku menunjuk ke arah tangga di tengah gedung. “Tepatnya di situh, dia terkena benturan dari tabung helium yang meledak.”
“Serius?”
“Iya, kebetulan siswa yang meninggal itu alumni dari SMP gue. Moment-nya hampir sama dengan acara Cup ini, mereka menyewa balon raksasa untuk promo sekolah. Tapi sayangnya, saat menyiapkan balon itu terjadi kecelakaan, tabung itu meledak dan meluncur bagai torpedo, menghantam dia yang kebetulan berada di dekatnya.”
“Walah!”
“Sejak saat itu, tiap ada cara ekskul, pensi, atau pertandingan antar sekolah seperti ini, Fortland nggak pakai promo balon udara lagi. Namun kali ini, mereka baru pakai lagi.”
Arif mendongak. “Jangan-jangan, alasan lo ke sini karena…”
Aku mengangguk. “Iya, gue yakin, hilangnya tabung itu ada hubungan dengan peristiwa 3 tahun yang lalu.”
. . .
Bagian tengah sekolah terlalu bising, terlalu banyak siswa. Jadi, aku dan Arif memulai penyelidikan dari belakang sekolah. Kami menelusuri bagian belakang hingga ke pintu kecil di pojok timur. Aku mengeceknya, pintu itu digembok dan jelas sudah lama tidak ada orang yang membukanya.
“Menurut lo, itu tabung dibawa keluar sama maling atau masih ada di sini?” tanyaku ke Arif.
Dia berpikir sejenak, sambil melihat pagar belakang sekolah yang tinggi. “Mereka sudah nyari bukan, muter-muter ke sekeliling sekolah dan nggak ketemu. Gue rasa sudah dibawa keluar sama malingnya.”
“Lo yakin itu maling bisa bawa keluar, 4 tabung besar itu lewat sini?”
Dia menyentuh pintu belakang yang terbuat dari teralis besi. “Terlalu sepit sih, nggak bisa diangkut lewat sini, kecuali laptop. Sedangkan lewat atas tinggi, bisa sih, tapi agak sulit.”
“Nah, itu dia yang gue pikir, mereka mungkin aja membawa tabung itu lewat sini, tapi mereka harus memaksakan diri manjat sambil bawa tabung itu. Lagi pula untuk apa susah-susah mengangkut tabung besi, kalau bisa nyolong yang lain, yang lebih ringan semisal laptop atau peralatan kantor. Atau jika perlu motor dan mobil, buat apa nyolong tabung gas helium.”
Arif mengangguk. “Iya, lo benar juga. Terus, menurut lo di mana tabung-tabung itu?”
“Gue, hmm, masih belum kepikiran di mana mereka berada.”
“Ckck, Kiddo! Terus gimana nih?”
Lalu aku kepikiran satu nama. “Eh, tadi si Toto itu nyebut Heru ya, si ketua panitia. Kita cari dia aja yuk, siapa tahu dia punya info menarik atau mungkin petunjuk.”
“Huh, oke,” Arif pun berjalan malas di belakangku.
. . .
Kami kembali ke tengah sekolah dan mencari siswa yang bernama Heru. Tanya sana-sini, lalu seorang siswa menunjuk ke pemuda tinggi dengan wajah keras dan tampan yang berdiri di teras belakang tiang basket.Pakaiannya rapih, seperti baru beli dari distro, dengan sepatu kets yang mengkilap. Gerak-geriknya begitu gagah dan berwibawa. Dugaanku, begitu lulus SMA dia langsung dikirim orang tuanya masuk UI, atau jika tidak, pasti dia masuk Trisakti atau Binus.
"Mas Heru ya," tanyaku mendekatinya. "Saya ditugaskan oleh Ringgo untuk..."
Tapi anak muda itu langsung memotong. "Maaf ya Mas, saya lagi sibuk, untuk masalah hilangnya tabung gas itu sebenarnya saya begitu peduli. Toh, kami sudah bayar, salah sendiri mereka yang menghilangkan," ucapnya lalu melangkah melewati kami begitu saja.
Buset, dalam hatiku. Ini anak muda gabung antara Giant, Suneo, dan Dekisugi. Sok kaya, sok tinggi, dan menganggap kami beda kelas, huhuhu. Namun ada satu anak cewek yang tiba-tiba berujar. "Maaf bang detektif, kelakukannya memang begitu kalau lagi pusing," ucapnya.
Aku memindai si cewek; dia cantik, muda, dan tampak pintar. Aku membayangkan, begitu lulus dia langsung ikut SPMB dan masuk jurusan Hubungan International atau mungkin Psikologi di UI.
"Oh gapapa," jawabku.
"Saya Nindi," tiba-tiba si cewek muda memperkenalkan diri.
"Kurnia Andika alias Kiddo," ucapku. "Dan ini rekan saya, Arif."
Dia menyalaminya juga. "Terima kasih sebelumnya sudah datang ke sini. Inisiatif untuk memanggil anda -detektif online- adalah idenya Kak Ringgo.”
“Oh iya, tadi kami sudah ketemu Ringgo.”
“Ya begitu bang. Setelah kami muter-muter dan nggak ketemu itu tabung helium, Kak Ringgo punya ide ini -memanggil anda yang katanya detektif.”
“Sejujurnya kami baru, tapi kami akan coba yang terbaik.”
“Baru ya, pantas wajah abang-abang ini kelihatan muda.”
Aku tertawa, dalam hati buset ini cewek terlalu pintar untuk bocah SMA. "Ngomong-ngomong sudah lama kenal dengan Ringgo?"
"Saya baru ketemu sih kemarin,” Nindi berjalan ke ujung ring basket. “Tapi kata para senior, dia orangnya baik dan royal gituh -suka kasih sumbangan untuk acara-acara seperti ini."
"Oh begitu."
Dia mengangguk. “Iya.”
"Jadi, kalian sudah memeriksa sekeliling sekolah ini sejak pagi?" tanyaku.
“Benar bang,” dia mengangguk. “Siapa tadi? Kiddo ya.”
“Iya.,” balasku. “Ngomong-ngomong, kalian tadi pagi sudah memeriksa semua tempat di sini,” tanganku berputar di udara.
“Benar bang, tapi nggak ketemu.”
“Kami tadi dari belakang,” tunjukku ke pojok timur. “Mengecek pintu itu, digembok dengan keras dan kelihatannya tak ada tanda-tanda telah dibuka semalam.”
“Nah itu yang bikin kami bingung. Jikalau si pelaku gotong lewat atas pagar juga agak susah.”
“Jadi menurut kamu bagaimana?”
“Entahlah bang saya pusing.”
Aku tertawa kecil. “Ngomong-ngomong, itu ruangan apa?” tunjukku ke belakang ring basket.
“Oh itu ruang serba guna, kadang buat seminar atau ngumpulin siswa dari berbagai kelas, ya di situh.”
“Kalau yang di ujung basket sana,” aku menunjuk ke arah sebaliknya.
“Yang itu perpustakaan,” ucapnya, lalu jarinya menunjuk ke pojok bangunan. “Kalau toilet di sebelah sana,” lalu dia menunjuk ke arah kanan. “Itu ruang guru, ruang kepala sekolah, dan tata usaha.”
“Oke,” jariku berputar di udara. “Saya mulai merangkai peta sekolah ini di benak saya.”
Denah Lantai 1 Fortland
Keterangan:
LR: Ruang Guru AR: Ruang Tata Usaha NR: Ruang UKS
HR: Ruang Kepala Sekolah N1: Ruang serba guna SC: Ruang kelas X
CC: Tangga T1: Toilet P1: Perpustakaan
“Satu pertanyaan,” ucapku. “Apa di sini ada troli?”
Dia menaikkan alis. “Troli?”
“Iya, troli untuk ngangkut barang, seperti itu,” tunjukku ke tengah lapangan di mana Toto meletakkan barang-barangnya semalam.
“Oh itu, rasanya ada dah,” dia berpikir sejenak. “Kalau nggak salah, di gudang di belakang ruang serba guna ini ada dah.”
“Oke, mungkin bisa kita lihat nanti,” ujarku.
Dia mengangguk.
“Ngomong-ngomong, apa hanya kalian –panitia- yang ada di sini?”
Jari si gadis naik ke bibir. "Ada Pak Satpam juga di sini."
"Pak Satpam,” aku menggaruk dagu. “Orangnya masih ada di sini gak?”
“Tadi, iya saya lihat masih di sini,” dia memutar badan. “Kebetulan dia juga bantu kita nyari itu tabung gas.”
“Bisa saya ketemu orangnya?”
“Hmm, bisa. Tadi sih, saya lihat ada di parkiran depan,” tunjuknya ke pintu gerbang.
. . .
Sampai di sana, kami bertemu lelaki muda ini, tampang usia 30an dengan kulit coklat dan baju safari warna hitam. Dia sedang merokok di belakang SUV warna putih. Nindi bicara pada, menjelaskan kedatangan kami.
Lalu aku pun memperkenalkan diri. "Saya Kiddo, dari agensi detektif itu."
"Prapto," balasnya.
"Jadi, Mas ini ada di sini semalam?" tanyaku.
"Iya, saya ada di sini semalam.”
“Hmm, sejak kapan anda tahu tabung gas helium itu hilang?”
“Saya tahunya sih tadi pagi, jam tujuh-an. Tapi, aduh sulit menjelaskannya" wajahnya tampak gusar.
"Sulit bagaimana?" tanyaku serius.
"Sebenarnya," dia menggerakkan kedua tangannya. "Dari tadi pagi, kami sudah mencari ke mana-mana, tapi nggak ada. Rasanya, memang sudah nggak ada di sekolah ini, Mas, tapi..."
"Tapi kenapa?"
"Tapi, rasanya nggak mungkin juga dibawa keluar."
"Kenapa nggak mungkin?"
"Begini Mas, di sekolah ini memang ada dua pintu, gerbang barat," tunjuknya lurus ke depan. "Dan gerbang selatan," tunjuknya ke sebelah kiri. "Gerbang barat, khusus untuk pejalan kaki atau yang turun dari angkot, sedangkan yang selatan khusus untuk yang bawa kendaraan. Jadi mobil dan motor ya hanya lewat situh.
Aku manggut.
"Saat malam, gerbang barat ditutup. Jadi, hanya ada satu akses yaitu pintu gerbang selatan. Tapi saya dan rekan saya, menjaga di pos itu. Kami mengawasi semua yang keluar dan masuk melalui pintu itu. Jikalau ada orang atau kendaraan yang bawa keluar 4 tabung besar itu, pasti kami tahu. Tapi, nyatanya tidak ada. Tak ada tanda-tanda orang yang bawa itu tabung keluar, apalagi lewatin pos kami."
"Oke, lalu?"
"Iya, tadi kami muter-muter seluruh sekolah, kami periksa tiap ruangan, mulai kelas satu sampai kelas tiga, toilet, bahkan gudang di belakang sekolah. Tak ada bekas ataupun penampakan dari tabung-tabung itu."
“Kalau pintu di pojok timur sini, gimana?”
“Oh pintu belakang yang itu, itu dikunci gembok, Mas, dan nampaknya nggak ada bekas kalau pintu itu dibuka.”
“Kenapa?”
“Iya, pintu itu sudah karatan Mas, kalau ada yang buka pasti ada jejak gesekkan di bawahnya. Begitu pula dengan gembok itu, jika dibuka bekas karatannya akan rontok.”
Aku tersenyum, pintar juga ini orang. "Jadi kesimpulan, anda?"
"Mungkin tabung itu dibawa keluar, tapi yang pasti tidak lewat gerbang barat ataupun selatan, juga tidak lewat pintu belakang. Mungkin, ehm, ini cuma dugaan saya, si tukang tabung itu bohong. Sebenarnya, dia sendiri yang menyembunyikan dan mengangkutnya keluar pakai pick up, sewaktu kami lengah."
“Anda yakin itu?”
“Hmm, iya, itu hanya dugaan saya sih, Mas.”
Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. “Semalam ada berapa mobil yang ada di sini?"
"Semalam ada 4 mobil di sini, punya Kepsek, punya Pak Cahyo -tetangga sini, dan dua lagi dari anak-anak OSIS itu."
“Oke, mereka menginap di sini?”
Dia menggeleng. "Nggak, Mas, pukul 9an ada satu mobil yang keluar -punya siswa itu- jadi yang menginap hanya 3 di sini."
“Oh gituh,” aku memutar tubuhku memandang ke tiang basket. “Semalam, anak-anak panitia itu memakai ruangan mana?”
"Ruang serba guna, yang di sana itu,” dia menunjuknya. “Selebihnya, ruang yang lain saya kunci."
"Hanya para siswa saja yang ada di sini?"
Dia berpikir beberapa detik sebelum menjawab. "Tidak, ada satu orang guru semalam, Pak Andi, guru bahasa Inggris, dia datang ke sini, jam 8an.”
"Apa yang dilakukan guru ini?"
"Katanya ada yang ketinggalan, terus dia minjam kunci ruang guru."
Aku menggosok dagu. "Apa dia biasa seperti itu, sampai malam berada di sekolah?"
"Tidak,” dia menggeleng. “Biasanya sih, paling lama bada magrib para guru sudah pulang, jarang ada yang sampai isya ada di sini."
"Dia meminjam kunci ruang guru,” tanganku menyilang di depannya. “Hmm, bisa saya lihat kuncinya?"
“Bisa, sebentar,” si satpam mengambil kunci dari posnya. "Ah, ini dia."
Dia memberikannya padaku, kunci itu tergantung dalam cincin bersama kunci-kunci yang lain.
"Yang mana yang ruang guru?" tanyaku.
"Yang ini," dia mengambil yang tengah dengan warna besi yang cerah.
"Oke," aku mengangkatnya. "Kalau yang lain?"
"Itu untuk ruang-ruang yang lain di lantai 1 ini."
"Semuanya ada di sini?" tanyaku.
Namun, sebelum lelaki itu menjawab tiba-tiba seorang pemuda menepuk bahuku.
“Sudah makan Mas Kiddo,” tanyanya.
Aku menoleh, dia adalah Ringgo. “Oh, Mas Ringgo,” sebenarnya saya belum makan, tapi mau jawab nggak enak.
“Saya mau beli ketoprak bentar,” ujarnya semringah. “Sekalian Mas Kiddo, Mas Arif, Nindi mau juga.”
“Makasih Kak, saya nanti aja,” jawab Nindi.
“Oke, by the way, good luck with the case,” ucapnya tersenyum dan membalik badan.
Dia melangkah keluar di gerbang selatan dan berbelok ke kiri.
“Uhm, bukannya yang banyak tukang jualan di sebelah kanan ya,” ucapku.
“Mungkin dia ingin ke mini market dulu kali,” sahut Arif yang sedari tadi hanya diam menjadi bayanganku.
Aku hanya mengangguk. “Mungkin,” lalu kembali melihat wajah si satpam, aduh sesuatu tadi kulupa. Sial, gara-gara si pemuda itu aku terdistraksi. “Ngomong-ngomong tadi kita bicarain apa ya?”
“Kunci Mas Kiddo, kunci,” ucap si satpam.
"Oh iya,” aku mendongak tertawa. “Terima kasih infonya Mas Prapto!”
Namun kejutan lain muncul.
“Kak Nindi, bisa ke belakang bentar gak?” ucap si gadis kecil, mungkin siswa kelas 1 SMA.
“Hmm, itu,” mukanya tampak begitu cemas. “Kak Heru, dia pingsan di toilet.”
. . .
Nb: ilustrasi dari unsplash .com | free image
ReplyDelete