Saturday, April 13, 2019

Kasus Tabung Gas Yang Hilang (part II)

Oleh Fitrah Tanzil


Dari ujung satu ke ujung yang lain. Beberapa siswa tampak berkerumun di depan pintu masuk ruang serba guna.

“Permisi,” ucap Nindi yang menerobos masuk.

Dan di sana di atas meja, tampak Heru yang pingsan dikelilingi beberapa orang. Lalu ada satu laki-laki ini, dia bertubuh besar dengan celena training dan baju olahraga. Dia menepuk-nepuk pipi si Heru.

“Itu Pak Polan, guru olahraga,” bisik Nindi.

“Oke,” aku mengangguk paham. “Permisi Pak, apa yang terjadi sama Heru?” tanyaku.

Dia menoleh dan memindaiku dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”

“Saya Kiddo, Pak, Detektif!”


“Oamong kosong!” bentaknya dengan mata melotot. “Masak, detektif nggak punya kumis.”

Untuk beberapa detik aku bengong, sebelum menjawab. “Saya Kiddo, Pak, detektif swasta.”

Kali ini wajahnya nampak jijik. “Detektif swasta opo, di Indonesia detektif swasta belum legal loh!”

Eh buset, dia benar. “Tapi Pak, saya sudah disewa ke sini untuk menyelidiki kasus…”

“Kasus apa?”

“Kasus hilangnya 4 tabung gas helium.”

“Oh, masalah itu. Bukannya sudah beres ya?”

“Belum Pak Polan, kami belum menemukannya,” ucap Nindi.

“Ah, paling itu cuma mereka aja,” yang dimaksud penyedia balon gas. “Yang bilang bahwa tabung gasnya hilang.”

“Benar loh, Pak, saya lihat tampang mereka, mereka tampak jujur.”

“Ah, apa yang kamu tahu soal bohong dan jujur. Kamu masih bocah, janggut aja belum punya,” ucapnya.

Aduh, gila kampret tuyul nyet nguk-nguk. Aku memang masih muda, amatiran, bodoh, dan belum punya pengalaman.Tapi aku meyakini, apa yang aku lakukan adalah benar.

“Lagi pula, siapa yang manggil kamu ke sini?” tambahnya.

“Mereka disewa sama Ringgo, Pak,” ucap Nindi.

Dia menaikkan alis. “Ringgo siapa?”

“Ringgo ituloh Pak, angkatan 2002 yang anak basket,” terang Nindi.

“Oh dia, bocah itu memang kebanyakan duit, hingga buang-buang untuk hal gak berguna kayak begini.”

Ucapannya membuatku sangat-sangat gregetan. Tapi, aku harus sabar dan tenang.

“Memangnya Heru kenapa Pak?” tanya Nindi.

Yang menjawab malah seorang siswa. “Heru pingsan di toilet, kelihatannya ada yang bius dia.”

“Ini dari baunya nyengat banget, kayak khrolofom,” ucap si guru olahraga.

“Saya rasa, ada sesuatu yang Heru tahu, yang membuatnya jadi seperti ini,” ucapku layak detektif.

“Apa maksud kamu?”

“Saya rasa, Heru punya informasi penting tentang hilangnya tabung helium semalam.”

“Nggak mungkin,” balasnya. “Kamu kira ini novel detektif?”

“Iya, di dunia nyata banyak hal yang lebih aneh dari cerita detektif, Pak, misalnya seperti guru bahasa Inggris yang sudah pulang terus balik lagi ke sekolah untuk mencari barangnya yang tertinggal di ruang guru.”

“Rasanya nggak ada guru yang seperti itu.”

“Semalam ada Pak, yaitu Pak Andi, dia kembali lagi ke sini pukul 8 atau 9an.”

“Kata siapa?”

“Saksinya ada, Pak Prapto penjaga sekolah,” tambahku.

Dia tampak terkejut. “Nggak mungkin, masak dia balik lagi ke sekolah jam segituh?”

“Iya, untuk mengetahuinya, baiknya Pak Polan telepon aja beliau?”

Dia diam sejenak berpikir, lalu kemudian melangkah mundur dan mengambil handphone-nya. “Halo Di, semalam kamu ke sekolahan?” lalu ada jeda lama di sana, mungkin penjelasan dari si guru bahasa Inggris. Lelaki tua galak itu pun sesekali melirik ke arahku dengan wajah yang makin lama berubah cemas. “Makasih Di,” dan telepon itu pun ditutup.

Si lelaki tua galak mendekatiku. “Pak Andi bilang, semalam dia ada acara sama istri dan mereka tidak mampir ke sekolahan.”

“Lalu siapa yang datang ke sekolahan?” tanya Nindi.

Pandangan mata si guru olahraga langsung terlempar ke si satpam. “Semalam yang ke sini Pak Andi, bukan?”

“Rasanya sih, kayak Pak Andi, Pak Polan,” ucap si satpam yang terpojok.

“Yakin Pak Andi?” matanya memelotot.

“Iya, yakin sih Pak. Dia tinggi, ganteng, pakai kemeja safari, lalu dibalut jaket hitam. Iya, rasanya sih dia, Pak!”

“Terus dia ngapain?”

“Dia minta kunci untuk ke ruang guru.”

“Terus, kamu kasih?”

“Iya, saya kasih,” jawabnya dengan nada ketakutan.

“Goblok,” bentak Pak Polan, lalu tangannya menyeret si satpam muda. “Ok, ambil kunci dan kita periksa ruang guru, ada yang hilang nggak!”

Mereka pun langsung melangkah keluar ruangan, meninggalkan Heru yang masih pingsan. 

Aku pun berbisik ke Arif. “Buset, itu guru galak banget.”

“Memang begitu dia,” sahut Nindi disusul tawa.
.  .  .

Kami berjalan cepat di lorong dan di depan terlihat si satpam sudah membuka pintu ruang guru. Pak Polan yang galak pun langsung masuk. Dia memeriksa satu persatu meja yang ada di sana dan berkeliling melihat apakah ada barang yang hilang.

“Arif, Nindi,” panggilku. “Bisa ikut saya bentar nggak?”

“Ke mana?” tanya si cewek SMA.

Aku hanya menunjuk ke depan lorong.

“Ngomong-ngomong di sekolah ada lemari arsip nggak? Lemari arsip yang gede maksud saya?”

Dia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ada sih, di ruang tata usaha, iya ruangan itu sekalian ruang arsip siswa.”

Aku mengembang senyum. Dan tepat saja begitu kami sampai di sana, tempat itu persis seperti yang ada di benakku.

“Memangnya ada apa?” kembali tanya Nindi.

Aku menyeringai. “Baiknya sih, kamu panggil Pak Satpam dan Pak Polan ke sini.”

“Ada apa?” Arif pun ikut bertanya.

Aku menunjuk dari jendela apa yang terjadi di dalam ruang tata usaha. “Itu lo lihat aja.”

Arif melongok ke kaca jendela, namun dia masih tampak tidak mengerti. Si satpam Prapto pun menghampir kami.

Aku berujar. “Mas, bisa tolong buka pintu ini nggak!”

“Memangnya ada apa di sini?” dia juga ikut melongok ke kaca. “Ada yang hilang juga?”

“Iya, kita periksa dulu.”

Dia langsung mencari kunci ruangan dan membukanya.

“Ah, benar dugaan saya,” ucapku begitu kami melangkah masuk.

“Apa yang benar?” Arif  menengok ke kanan dan kiri, namun dia tidak melihat apa yang tepat di bawah hidungnya.

Begitu Nindi, Satpam Prapto, dan beberapa siswa lain yang juga ikut masuk.

“Ada yang hilang juga di sini?” suara si guru olahraga menyusul di belakang.

“Dia ada di sini Pak Guru,” ucapku semringah.

“Dia siapa?”

“Si pencuri tabung gas helium itu, semalam dia ke sini.”

“Ah, itu lagi yang kalian bicarakan,” ucapnya masih dengan wajah kesal. “Omong kosong!”

“Saya nggak asal-asalan ngomong, saya bicara dengan fakta yang ada di sini,” tanganku menunjuk ke sekeliling meja. “Anda lihat sendiri bukan, begitu banyak arsip di sini,” aku membuka salah satunya, “Arsip data-data siswa dari tahun-tahun yang lalu. Semua ada di meja, bangku, bahkan sampai menumpuk di lantai. Harusnya ruang tata usaha dan administrasi sekolah tidak seperti ini,” aku mengangkat dagu. “Ini sudah begitu berlebihan.”

Dia terperangah, menyadarinya. “Jangan-jangan…”

“Iya, tabung helium itu ada di sini,” aku membalik badan dan mengetuk pintu besar lemari arsip. “Ngomong-ngomong, ini kuncinya di mana ya?”

Si satpam menggeleng, tanda tidak tahu.

“Oke, saya juga penasaran dengan peristiwa ini,” ucap si guru olahraga. Dia pun langsung mengambil handphone dan menelpon seseorang. “Bu Yuni, ini saya Pak Polan… Saya ada di ruang tata usaha… Iya, semalam ada masalah di sekolah… Kami sedang memeriksanya…” dia bicara beberapa menit. Sebelum kembali melemparkan pandangan ke arahku. “Iya, terima kasih.”

Dia berjalan ke meja nomor dua dari pintu, membuka lacinya, dan mengambil kunci yang tersembunyi di bawah tumpukkan kertas di sana. “Ini dia, coba dibuka,” ucapnya ke satpam.

Si satpam pun mengambil kunci itu.

“Jika tabung itu tidak ada,” ucapnya kali ini ke wajahku. “Saya akan laporkan kamu ke polisi, karena sudah bikin rusuh dan mengganggu ketertiban di sekolahan.”

Aku hanya menyeringai. Tapi sungguh, jantungku dagdigdug.

Satpam Prapto membuka sedikit pintu lemari, dia kemudian melempar pandangan pada kami. Lalu membukanya lebih lebar lagi. Dan ternyata tabung itu benar ada di sana.

“Huh, benarkan teori saya!” balasku di mukanya.

“Nggak mungkin,” ucapnya membelalak. “Bagaimana bisa tabung itu berada di sana?”

Sekilas aku melihat sesuatu yang digantung di atas tabung itu. “Aaa, itu dia, yang saya tunggu dari tadi, penjelasannya!”

“Gimana bisa di situh?” Nindi juga bertanya-tanya.

Kebetulan si Toto tukang balon gas pun muncul di sana.

“Begini situasinya,” ucapku keras. “Dari laporan yang kami dapat, ada 4 tabung gas helium ukuran 22 liter yang hilang, satunya cukup berat -sekitar 20 kilogram. Jadi, 4 tabung mungkin sekitar 80 kilogram. Dari wawancara dengan Mas Toto -penyedia balon gas-dia bilang ada yang aneh, yaitu kenapa setelah si pelaku memindahkan tabung, tapi  trolinya masih ada pada tempatnya. Jawaban, untuk hal ini sebab si pelaku menggunakan troli sendiri, tepatnya troli yang berada di gudang belakang sekolah. Ok, satu misteri terjawab,” tegasku. 

Mereka menatapku serius.

“Kedua,” lanjutku. “Apakah tabung itu dibawa keluar dari sekolah atau tidak? Dari penyelidikan yang kami lakukan, jawabannya adalah tidak. Pertama, pintu gerbang timur ditutup bada magrib dan para siswa banyak yang begadang di sana hingga larut pagi. Sedangkan gerbang selatan, dijaga oleh Mas Prapto. Dia meyakinkan jika ada mobil yang keluar dari gerbangnya membawa 4 tabung besar itu, pastilah dia lihat, namun nyatanya tidak ada. Kesimpulannya si pelaku tidak keluar dari gerbang timur ataupun selatan.  Lalu apa mungkin dia lewat belakang sekolah? Nah ini, kami juga memeriksanya, jawabannya adalah bisa jadi. Tapi dengan permasalahan, pagarnya lumayan tinggi hampir 2,5 meter. Seseorang mungkin bisa memanjat di sana dan membawa tabung itu. Tapi itu cukup sulit dan merepotkan. Kami lalu bertanya-tanya, kenapa mereka mesti mencuri tabung gas helium dan repot-repot keluar memanjat tembok sekolah? Kenapa nggak nyolong yang lain gituh yang mudah? Semisal laptop atau komputer kantor, atau kalau perlu maling motor. Lalu kami sampai ke kesimpulan, mungkin benar bahwa tabung itu sesungguhnya tidak dibawa keluar sekolah. Dia masih ada di tempat ini dan disembunyikan.”

Aku melihat wajah Pak Polan, dia bergeming dengan wajah serius. 

“Ini sungguh pelik,” lanjutku. “Dari keterangan Nindi, kalian sudah memeriksa semua tempat di sekolah ini dan tidak menemukan tabung-tabung itu. Kamu meyakinkan kami bahwa kamu sudah memeriksa tiap tempat, tiap ruangan, dan seterusnya. Tapi saya yakin ada tempat yang belum kalian periksa. Tempat yang tidak terpikirkan bahwa tabung-tabung itu ada di sana, yaitu ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha.”

Kali ini mereka membelalak.

“Awalnya, saya berpikir ruang kepala sekolah. Sebab, itu bakal sangat-sangat seru dan mengejutkan. Lalu saya bertanya ke Nindi, ada nggak lemari arsip di ruang kepala sekolah? Dan jawabannya tidak ada. Saya juga melongok ke sana, perabotannya sedikit dan sudut ruangnya bisa dilihat dari jendela. Jadi saya pikir, tabung itu tidak berada di sana. Lalu saat melihat ruang sebelahnya, buset ini ruang TU kok berantak banget, Arsip-arsip ditumpuk di atas meja dan bangku, ada apa ini? Saya bertanya-tanya dan melihat lemari besar itu. Mereka mengosongkannya. Inilah yang saya cari, tempat yang tidak terpikirkan oleh para siswa yang bisa dimasuki orang asing. Tempat, si culprit menyembunyikannya barang curiannya,” ketukku ke pintu lemari arsip.

“Wow, keren-keren!” Nindi takjub sampai mengangkat kedua tangan.

Arif pun memberiku jempol, begitu pula para siswa yang lain yang menonton di depan TU, mereka tampak semringah. Beberapa ada yang berbisik. “Wah, dia beneran detektif!”

Tapi tidak untuk Pak Polan, dia masih cemberut. “Ckck, orang goblok macam apa yang ngelakuin hal ini?”

“Satu hal yang anda salah Pak Polan, dia bukan orang yang bodoh,” ucapku sambil jari menunjuk ke atas. “Cara dia masuk ke ruangan ini juga sangat pintar. Dari percakapan anda tadi di telepon, kita tahu bahwa Pak Andi -guru bahasa Inggris- semalam tidak pergi ke sini. Yang berarti ada orang yang menyamar menjadi dirinya dengan begitu mirip dan meminjam kunci ruang guru, tepatnya kunci seluruh lantai satu, sebab kunci-kunci itu digabung semua dalam satu ring. Dia membuka pintu ruangan ini, lalu mengangkut tabung ukuran 22 L dengan troli sekolah, mengeluarkan semua arsip dari lemari, dan kemudian memasukan tabung-tabung itu ke dalam sini.”

“Iya, tapi untuk apa?” tanya keras.

Kini giliran aku yang mendekatinya. “Si culprit ini ingin menyampaikan sebuah pesan, Pak Polan. Sebuah pesan!”

Dia mengerutkan dahi. “Pesan apa?”

Jariku menunjuk ke dalam lemari. “Sesuatu yang saya rasa, berhubungan dengan sekolah ini.”

“Itu seperti sebuah walkman,” tunjuk Arif ke dalam lemari.

“Itu pasti pesan dari si pelaku,” ucapku.

Aku mengeluarkan tape rekaman itu dan menaruhnya di meja.

“Coba kamu putar,” perintah si guru olahraga.

Dan suara itu pun muncul.

Selamat, kalian telah menemukannya. Sungguh, saya berharap tabung ini ditemukan hari senin, tapi dengan terpaksa saya mencoba mengikhlaskannya.

Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa saya melakukan hal ini? Simpel, karena kalian sudah melakukan sebelumnya dengan sangat buruk. Kalian ingat, tiga tahun yang lalu, seorang siswa kelas sepuluh bernama Andra, dia adalah teman saya.  Saya tahu itu memang sebuah kecelakaan. Tapi kalian mencoba mengulanginya lagi, terutama atas inisiatif ketua panitia, si Heru itu. Membuat promo sekolah dengan balon gas raksasa, kalian terlalu egois, angkuh, dan sok kaya. Ini adalah peringatan untuk kalian semua, jika mengulangi keangkuhan itu lagi, saya bisa melakukan yang lebih berbahaya dari ini. 

Dan untuk Kiddo, pertunjukkan yang hebat. Tadinya saya pikir, kalian akan menemukan tabung ini pada malam atau mungkin sore harinya. Tapi, ini masih jam makan siang dan kalian sudah menemukannya. Sungguh, di luar ekspektasi saya. Semoga kita bisa bertemu lagi. Salam, Musang Malam.

“Musang Malam,” Arif menatapku. “Siapa itu?”

Aku menggosok dagu. “Gue juga baru pertama dengar ini, namanya.”
.  .  .

3 comments: