Oleh Fitrah Tanzil
“Sialnya mereka semua punya alibi, mereka mengaku berada di tempat lain pada tanggal lima dan enam pagi,” ujarku ke Farhan saat kami sudah sampai di rumah.
“Masalah lainnya adalah nggak ada saksi,” ucap Farhan.
“Iya, lo benar, sialnya juga nggak ada saksimata. Kejadiannya lewat tengah malam dan siapa pun bisa berada di sana. Terus lagi, mayat si Dave sudah busuk setelah 5 hari dan jelas itu masalah yang sangat menyusahkan para penyelidik. Mereka sekarang sudah berpikir gak penting lagi apakah Dave meninggal dibunuh orang atau karena kecelakaan jatuh di tangga rukonya sendiri.”
“Dan lo masih bermain-main sebagai seorang detektif?”
“Itu masalahnya gue ingin menuntaskan ini.”
“Kalau begitu lo mesti melakukan pendekatan yang berbeda.”
“Itu juga yang gue pikirin.”
“Bagaimana dengan senjata si pembunuh?” tanya Farhan. “Menurut cerita polisi ada luka di kepala korban.”
Aku membelalak. “Iya, elo benar, Han. Nyaris saja gue lupa memikirkan hal itu. Dan hal-hal lainnya juga pastinya ada sesuatu yang tertinggal di sana. Sesuatu yang bahkan polisi tidak melihatnya.”
Farhan memutar bola matanya. Dia ingin mengutarakan sesuatu. Namun dengan cepat aku memotongnya.
“Kita harus kembali ke sana Han, ke ruko itu.”
“Apa lo gila?” dia menaikan dahi. “Tempat itukan sudah disegel polisi.”
“Iya, karena itu kita harus menyusup diam-diam ke sana.”
Keesokan paginya sehabis subuh kami langsung berangkat ke ruko. Pagi adalah saat-saat yang paling tepat untuk berada di sana. Para tetangga ruko ini masih pada tidur dan setidaknya saat pagi tempat ini tidak begitu menyeramkan. Hah, mungkin aku terlalu percaya mitos.
Jam setengah enam pagi kami sudah sampai di sana. Tentu pintu depan dan belakang di kunci. Dan satu-satunya cara untuk masuk adalah melalui jendela yang terdapat di belakang. Bagian ini agak menyusahkan karena aku harus memanjat seperti maling. Sangat sulit melewati bagian belakang jadi kami mencari cara lain untuk naik ke sana yaitu melalui pipa di bagian paling ujung jajaran ruko. Kami lalu naik ke atap dan turun di bagian belakang ruko Dave dengan tali seadanya. Pinggiran jendela kucongkel dan tepat saja terbuka. Kami pun masuk ke sana.
Seharusnya ada cara lain yang lebih mudah untuk keluar masuk dari ruko daripada melalui jendela belakang ini. Mataku berputar dan melihat lubang di atas langit-langit itu. Dari lantai ke sana tingginya sekitar 2,5 meter. Aku sering melihat lubang yang kupikir cukup untuk orang bertubuh langsing tersebut. Namun aku tidak pernah tahu dimana ujungnya sehingga tadi kami berada di atas atap. Aku ingat ada pintu besi kecil. Mataku menyapu dinding dan sekitar pinggiran lubang.
“Nanti kita coba lewat situ,” tunjukku.
“Gila lo, itu lebih susah,”
“Tapi paling mungkin pelaku lewat situ.”
Mata Firman membelalak. “Tapi lo mesti jadi Jackie Chan untuk melompat dari sudut-sudut dinding supaya bisa sampai di lubang atap itu.”
Aku tersenyum. “Jika lo sering berlatih gimnastik pasti akan mudah.”
“Sial, lo memang detektif amatir yang songong Rie,” ujarnya.
Aku pun hanya tertawa. Tapi aku teringat akan sesuatu. Hal itulah yang membuatku mengurungkan untuk memanjat untuk menggapai lubang itu.
Selanjutnya mataku kembali berkeliling ruangan. Hanya sedikit barang-barang yang tersisa membuat seolah ruangan ini jauh lebih luas dari yang kukenal.
Dahulu di pojok kiri sana dekat jendela depan ada tumpukan kardus yang menggunung, sekarang tidak ada. Mungkin dibersihkan oleh para polisi atau petugas yang datang ke sini sebelumnya. Lalu televisi 42 inci yang ada di atas kabinet tengah sekarang sudah tidak ada. Mungkin dibawa pulang oleh istrinya atau mungkin saudaranya. Begitupula dengan kotak-kotak DVD yang biasanya berserakan di tengah sekarang tidak ada. Kecuali mesin-mesin DVD-nya dibiarkan tetap pada posisinya. Mesin-mesin itu cukup berat pastinya mereka tidak mau repot untuk memindahkannya.
Menuruni tangga, sekilas aku seolah melihat mayat Dave yang tergeletak di sini. Aku melompati bayangan itu dan sampai ke lantai bawah. Tepat seperti di lantai atas. Sudah banyak barang yang dikeluarkan. Dahulu ada dua bangku panjang di sini yang sering menghalangi jalanku. Namun sudah tidak ada. Yang tersisa hanya meja kabinet besar.
Mataku memindai seluruh ruangan. Mencari sesuatu yang harusnya ada namun tidak ada. Sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. Sesuatu yang ditinggalkan oleh pelaku atau sesuatu yang tidak wajar yang harusnya tidak pada tempatnya. Namun di bawah sini aku tidak menemukan satu pun hal yang janggal dan menarik.
Setengah jam berlalu, kami pun memutuskan kembali naik ke lantai dua. Aku membayangkan senjata pembunuh korban adalah sebuah benda tumpul. Benda itu dihantamkan ke kepala Dave dari belakang. Kemudian dia jatuh terguling-guling hingga sampai anak tangga yang menyilang di pintu belakang. Jasadnya kemudian dimakan waktu hingga mengembung dan membusuk.
Mataku berputar ke seluruh ruangan. Lalu kembali membayangkannya. Sekelebat aku teringat dengan cerita Sheila tentang Nita yang sempat dicabuli oleh Dave. Jangan-jangan benda yang sama juga digunakan oleh sang pelaku. Benda tumpul itu adalah rak kotak DVD. Dengan lapisan besi beratnya sekitar 1,5 kilogram. Jika dihantamkan ke kepala, rak kotak itu cukup untuk membuatmu mengeluarkan banyak darah. Memang tidak cukup untuk membunuh, namun cukup memberikan luka yang membekas. Dan jika hantaman itu membuat korban terguling di tangga, lalu kepala berada di posisi kinetik yang tepat maka itu cukup untuk membunuh dengan trauma leher patah yang mematikan.
Namun yang jadi pertanyaannya dimana benda pembawa maut itu berada sekarang? Jika si pelaku cukup pintar, pastinya dia telah membuangnya jauh-jauh dari tempat ini. Mungkin di empang atau pun sungai yang dalam. Tapi jika dia cukup licik bisa jadi dia menyisipkan benda pembunuhan itu diantara rak kotak DVD lainnya setelah dia bersihkan cipratan darahnya mengingat pelaku sudah membersihkan semua bekas-bekas terjadi pembunuhan.
“Polisi sudah memeriksa semuanya, dan nggak mungkin ada sesuatu yang baru yang akan muncul di sini,” ucap Farhan kembali mengingatkanku.
“Iya, lo benar, tapi pasti ada sesuatu yang terlewatkan oleh mereka.”
“Tapi barang-barang itu gak ada di sini Rie, pelakunya sudah melenyapkan ponsel dan laptop si Dave. Nggak ada yang tersisa.”
Mataku membulat. Aku melihat sebuah sobekan kertas kuning di atas tumpukan DVD di bawah meja kabinet. Jariku pun mengambilnya.
“Dave memang mencatat semua transaksinya di laptop dan ponsel, tapi untuk deadline selalu dia tulis di atas kertas yang dia taruh di tumpukan DVD.”
Dari sini harapan itu muncul. Aku pun langsung menelpon seorang rekanan, pihak ketiga yang biasa mencetak amplop dan label DVD untuk Dave. Aku bertanya tentang tanggal itu dan dia pun membenarkan bahwa ada deadline 2000 keping DVD pada malam itu.
“2000 keping itu cukup berat. Bukannya dia sendirian di sini?” tanyaku.
“Iya, dia sendiri, tapi katanya dia minta bantuan tetangga ruko itu,” ucapnya.
Aku berpikir kira-kira tetangga siapa yang bersedia mintai bantuan. Namun hal itu tidak mungkin, sebab mereka selalu tidak mau mengerjakan tugas dari Dave lebih dari jam sepuluh malam. Karena itu konklusiku mengarah pada nama yang lain. Seseorang yang Dave sangat kenal dan bisa membantunya, yang ada di dekat sini. Seseorang yang bisa dia paksa dengan iming-iming kerja lembur dan upah dua kali lipat.
“Rasanya tinggal selangkah lagi kita pada tersangka utama.”
“Lo sudah punya namanya?” tanya Farhan.
Aku bergeming. “Kita punya satu saksi terakhir yang harus kita periksa.”
Kali ini yang kukunjungi adalah Resti. Kebetulan rumahnya tidak jauh dari sini yang hanya berjarak lima gang dari ruko tersebut. Resti memang tidak secantik Sheila dan Nita. Tapi ia punya pesona sendiri. Dia di sini tinggal bersama dengan kakaknya yang bekerja di gudang kain di Cipadu.
Pintu rumah kontrakan itu kuketuk. Namun yang justru keluar adalah kakaknya, Reni.
“Restinya sedang pergi ke Serang, memangnya ada apa ya?” ujar kakaknya.
“Kami sebenarnya ingin bertanya beberapa hal, terutama tentang kematian Dave.”
“Dave? Dave si Manusia Ruko?”
Aku tersenyum tak menyangka julukan itu sudah tersebar kemana-mana. “Iya, Dave yang itu.”
Wanita itu menaikkan alis. “Bagaimana bisa?” tanyanya.
Aku pun menjelaskan panjang seperti yang sudah-sudah. Bagaimana mayat Dave yang sudah membusuk ditemukan hingga bagaimana kami para mantan karyawan Dave ditarik ke kantor polisi dan diinterogasi. Hingga bicara tentang tiga nama yang mantan karyawan Dave yang tidak diperiksa oleh polisi yaitu Sheila, Nita, dan Resti.
“Resti, sudah keluar setahun yang lalu. Jadi nggak mungkin dia kembali ke sana,” kali ini nada bicara wanita itu berubah keras. Dia sangat tidak senang adiknya dituduh punya kaitan dengan kematian Dave. “Lagipula, dua minggu ini Resti berada di Serang, jadi gak mungkin dia tiba-tiba muncul di Ruko,” lanjutnya.
“Iya, saya paham Mbak,” ucapku. “Tapi kami hanya ingin mencari informasi yang mungkin bisa menjadi petunjuk tentang kematian Dave.”
“Masalahnya, Resti tidak tahu apa-apa tentang Dave,” ujarnya sambil berjalan masuk ke pintu.
Namun aku berusaha mencegahnya. “Izinkan kami bicara dengan Resti.”
“Izin bagaimana? Resti nggak ada di sini!”
“Kalau begitu saya bisa minta nomor telepon atau alamatnya di sana?” pintaku dengan memohon.
Wajahnya tetap keras. “Tidak bisa!”
Lalu dia menutup pintunya. Membiarkan kami hanya berdiri di luar.
Wanita itu terlalu angkuh. Aku punya banyak cara untuk menemukan Resti. Aku punya beberapa teman di Serang. Dan aku juga bisa melakukan cross-check informasi dengan teman-teman yang ada di sini untuk menemukannya.
Di sini, bisa dipastikan bahwa solusinya menuju pada satu titik kesimpulan. Sebenarnya, kasus ini simpel. Namun ada orang yang membuat kasus pembunuhan dengan motif yang sederhana ini menjadi rumit. Dan aku tahu siapa yang membuatnya menjadi rumit.
. . .
Jam terus berdetak dan matahari pun mulai tenggelam di barat. Beberapa nama yang kukenal sudah kutelepon dan mereka memberi jawaban yang saling terkait dan dapat melengkapi puzzle kasus ini.
“Dia berada di sana sore sebelumnya,” ujar satu orang,
Lalu yang lain bilang. “Iya, dia bertemu dengan wanita itu, kelihatannya ada satu masalah.”
Yang lebih mencengangkan, aku mendengar kabar yang terdengar unik. Mungkin bagi polisi terdengar biasa, namun bagiku menjadi luar biasa.
“Lo percaya nggak ada motor yang usianya satu tahun tapi dijual dengan harga murah?” celoteh salah satu orang yang kutelpon untuk mencari tambahan informasi.
Malamnya, aku meminta Roy untuk mengumpulkan teman-teman mantan karyawan Dave di ruko almarhum. Tentu pada awalnya Roy menolak dengan tegas. Namun aku meyakinkan pada dia bahwa kebenaran akan terungkap dan semua akan baik-baik saja. Tujuh orang yang muncul pada malam itu adalah Andi, Sueb, Bondan, Alvin, Roy, Sheila dan Nita. Plusdua orang lagi yaitu Bu Mayang dan kakak dari Resti. Aku sendiri membawa Farhan sebagai rekan penyelidikku danempat anggota reserse yang kutelepon untuk membuka ruko tersebut. Bagian ini agak sulit karena aku harus menghubungi AKP Tora yang menginterogasiku kemarin di Polres Tangerang Selatan. Butuh waktu lama untuk meyakinkan mereka bahwa apa yang aku lakukan ini adalah sesuatu yang benar. Termasuk meminta izin untuk kembali membuka pintu ruko Dave.
“Kenapa kita harus kembali ke sini?” ujar Alvin.
“Iya, kita sudah bicara banyak di Polres kemarin,” sahut Sueb.
“Dave memang layak untuk mendapatkan itu,” celoteh Sheila menggerutu.
“Dia tewas di tangga bukan, bisa jadi kematiannya memang sebab alami,” ujar Bondan.
Mereka semua saling bicara, sahut-menyahut.
“Waktu kalian cuma sebentar di sini,” ujar polisi berpakaian preman ke arahku. “Langsung saja, jelaskan apa yang kamu temukan?”
Mataku berkeliling ke mereka lalu aku menunjuk sudut-sudut ruangan. “Masalah utamanya adalah tidak ada kamera CCTV di sini.Karena itu tidak ada saksi mata yang bisa kita andalkan,” lanjutku sambil berjalan ke pintu depan. “Tapi kita punya satu saksi yang bisa menjadi kunci di sini.”
“Maksud lo?” tanya Sheila.
“Saksi ini dia tidak melihat langsung siapa si pelaku, namun dia melihat satu petunjuk penting yang bisa mengarahkan kita pada penjahat sebenarnya,” aku mencoba berteatrikal. “Dia tak lain adalah Bu Mayang.”
Orang yang kutunjuk langsung membelalak. “Tapi saya kan cuma…”
“Sssttt…” aku memotongnya. “Anda punya cerita lain yang tidak anda sampaikan ke polisi, betul bukan?”
Tangannya bergetar menahan takut.
“Tapi sebelum ke Bu Mayang ada satu petunjuk penting yang ingin kusampaikan. Satu bukti tepatnya yang bahkan terlewatkan oleh polisi.”
“Nggak mungkin,” ucap Andi.
Mata itu membulat. Sekarang saatnya senjata itu kukeluarkan. “Kertas ini kalian mengenalinya bukan,” tanganku menaikkan kertas berwarna kuning. “Biasanya Dave menulis catatan deadline-nya di sini.”
“Gue masih nggak ngerti? Maksud lo apa?”
Jariku pun menunjuk tanggalnya. “Lo lihat ini, di sini tertulis deadline pagi tanggal enam, dan kematian Dave tanggal lima tengah malam. Malam yang sama dimana harusnya dia mengejar deadline pekerjaan ini.” Aku berjalan ke tengah-tengah mereka. “Kalian pasti hafal kelakuannya, dia selalu memaksakan diri tiap kali dapat pekerjaan baru apalagi yang dadakan. Pekerjaan yang butuh waktu dua hari dia bilang bisa diselesaikan dalam waktu satu hari. Dan malam itu pastinya dia bekerja gila-gilaan. Ribuan keping mesti di-burning dan diamplopkan. Tentu saja, Dave tidak bisa mengerjakannya sendiri. Karena itu dia pasti meminta bantuan satu atau dua orang, terutama dari mantan karyawannya yang sudah berpengalaman. Seseorang yang bisa diandalkan yang dapat bekerja dengan rapi. Dari sini semua merunut pada satu fakta bahwa tamu yang datang malam itu tidak lain adalah mantan karyawannya Dave.”
Mereka membelalak.
“Kurang ajar! Elo kembali menunduh seperti itu,” teriak Bondan.
“Ini bukan tuduhan, ini pembuktian. Penjahat ini adalah eks-karyawan Dave yang paling banyak membagi informasi kepada para polisi.” Aku memandangi mereka. Mataku terhenti di Reni, kakak dari Resti.
“Dan dia tidak lain adalah Resti.” Kini mataku beralih ke arah Roy. “Bukan begitu, Roy?”
Pemuda kurus itu terkejut. “Sialan! Lo berani nuduh sembarangan!” teriak Roy.
“Itu tidak mungkin. Adikku tak mungkin membunuh,” teriak Reni dengan galak. “Dan apa hubungannya dengan Roy?”
“Sebentar. Gue bukan asal nuduh. Seperti yang gue bilang sebelumnya, ada saksi kunci dia tidak lain adalah Bu Mayang.”
“Tapi dia tidak melihat siapa pun bukan?” kata Farhan.
“Dia memang tidak melihat wajah dari para tamu yang datang ke ruko, tapi dia melihat sesuatu yang lain, satu petunjuk yang sangat penting. Bukan begitu Bu Mayang?” tatapku.
Bu Mayang pun mengangguk. “Iya, saya memang tidak melihat siapa tamu yang datang ke sana. Namun saya melihat hal yang lain. Hampir tiap malam Dave selalu berisik, namun malam itu entah kenapa saya sangat penasaran. Lalu sekitar tengah malam, saya melihat motor yang terparkir di depan. Saya mengintipnya dan melihat seorang wanita yang membawanya pergi. Saya tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi saya mengenali motor tersebut. Entah apa ingatan saya salah tapi saya merasa motor matic warna merah itu persis sama dengan motor matic yang sering dibawa Roy ke sini.”
Kali ini si pemuda kurus itu bukan hanya tercengang, tubuhnya juga nyaris jatuh ke belakang.
“Tapi bisa jadi itu motor yang lain bukan,” ujar Bondan. “Kan banyak motor matic warna merah seperti itu?”
“Tentu saja banyak, tapi apa mungkin sebuah kebetulan jika motor yang baru berumur satu tahun itu tiba-tiba saja dijual cepat dengan harga murah dua hari setelah mayat Dave ditemukan membusuk di ruko.”
Mereka menaikan alis.
“Anggaplah itu memang motornya,” ujar Sheila. “Tapi nggak ada saksimata yang melihat Roy benar-benar berada di sana bukan?”
“Memang benar tidak ada yang melihat Roy berada di sana, kecuali wanita yang membawa motor itu pergi, dan wanita itu tidak lain adalah Resti. Betul bukan Roy?”
“Nggak dia nggak ada di sana,” teriak Roy.
“Iya, karena Bu Mayang si saksi kunci tidak melihat wajahnya jadi lo bisa bilang begitu. Tapi Resti adalah adalah orang yang memiliki motif yang paling personal untuk membunuh Dave. Karena setelah gue selidiki lebih lanjut, ini sebenarnya perkara yang buruk. Gue menghubungi seorang teman di Serang untuk menyelidikinya dan hasilnya mengejutkan. Bahwa ternyata Resti hamil di luar nikah oleh pacarnya, dan si pacar ini tidak mau bertanggung jawab. Ok, kita tahu bahwa Dave terkadang menjadi sangat bodoh terhadap wanita, dia punya nafsu tinggi dan kadang bertindak amoral. Dan fakta-fakta ini mengerucut pada satu hal, dugaanku orang yang menghamili Resti tidak lain adalah Dave.”
“Ini hipotesaku. Pada malam itu Resti muncul di Ruko di saat Dave sedang pusing-pusingnya dengan deadline mengerjakansemua DVD tersebut. Resti datang dan meminta pertanggungjawaban tapi Dave menolaknya dengan alasan dia sudah menikah dan punya anak. Di sini terjadi pertengkaran hebat diantara mereka, pertengkaran yang samar-samar terdengar dibalik kebisingan suara musik yang disetel Dave. Resti terus menangis, namun Dave tidak menggubris hingga kemudian pada satu kesempatan di saat Dave sedang berjalan ke tangga, Resti menghantamkan DVD player berlapis besi itu ke belakang kepala Dave. Si lelaki itu jatuh berguling-guling ke bawah tangga. Lebih buruk lagi posisi jatuhnya yang terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas membuat beban yang sangat berat di lehernya, seketika itu juga lehernya patah dan menjadi penyebab utama kematiannya.”
“Ini omong kosong,” teriak Roy.
“Tapi bagaimana mungkin ruko ini bisa terkunci dari dalam? Bagaimana Resti melakukannya?” tanya Bondan.
Aku kembali tersenyum. “Ini dia yang ingin kubahas sedari tadi. Gara-gara rukonya terkunci kasus ini menjadi sangat pelik. Ok, kematian di ruang terkunci biasanya disebabkan oleh si korban sendiri, seperti bunuh diri atau pun kecelakaan tunggal. Tapi bisa juga kasus kematian di ruang terkunci dibuat sebagai trik pembunuh untuk menyamarkan aksi pembunuhannya. Dan itulah yang terjadi di sini. Resti membuat Dave tewas namun bagaimana dia bisa menyamarkan aksi pembunuhannya tersebut sementara kondisinya sedang terguncang karena habis membunuh korban?”
Semua saling pandang satu sama lain.
“Beruntungnya, di sana muncul Roy. Ia bisa saja melaporkan Resti ke polisi, namun ia tidak melakukan itu. Sebaliknya ia membantu si wanita untuk menyamarkan pembunuhan Dave. Roy menyuruh Resti untuk langsung pulang menggunakan motor maticnya yang terparkir di depan. Di sini seperti yang kita tahu, Bu Mayang sempat melihat si wanita yang keluar dari ruko malam itu. Memang wajahnya tidak kentara tapi Bu Mayang jelas mengenali motor siapa yang dibawanya itu, yang tidak lain adalah milik Roy. Bu Mayang mencoba menutupi bahwa dia mengenal motor itu karena ia tidak ingin Roy yang dianggap pria baik-baik tersangkut dengan kasus ini.”
Mata mereka menatap ke pemuda kurus itu, layaknya juri yang menghakimi terdakwa di ruang sidang.
“Sedangkan di dalam,” lanjutku. “Roy sendiri membersihkan TKP. Dia menghapus sidik-sidik jari Resti yang terpencar dimana-mana. Dia juga membereskan barang-barang milik Resti yang tertinggal di sana, termasuk membereskan ponsel dan laptop milik Dave. Roy paham untuk lolos dari jerat hukum dia harus membuat semua petunjuk yang terkait dengan malam itu menghilang seluruhnya, termasuk kontak-kontak Dave dengan orang-orang yang ada pada hari itu serta membersihkan darah dari senjata yang digunakan untuk membunuh.”
“Kemudian bagian yang paling penting, membuat ruangan itu terkunci dari dalam. Roy pasti berpikir keras untuk perkara yang satu ini. Bagaimana caranya dia bisa keluar dan menghilang darisana tanpa dilihat orang dan tanpa ada jejak yang bisa ditemukan oleh polisi. Bertahan lama di lantai dua, Roy melihat ke atas. Ada lubang sempit di langit-langit. Jarak dari lantai ke langit-langit memang sangat tinggi. Roy pernah bilang kalau iajuga pernah kerja di bangunan. Pasti hal ini tidak akan sulit bagi orang yang pernah kerja di bangunan sepertimu.”
Mereka kembali terdiam dengan pandangan terpaku ke arahku.
“Setelah menelusuri loteng ia menemukan jalan keluar menuju atap ruko. Dari sini kita semua tahu kemana arah dia selanjutnya. Lalu setelah jauh dan merasa aman, Roy membuang semua benda yang terkait dengan Dave. Ponsel, laptop, buku dan seterusnya. Sehingga tak ada bukti fisik yang mengaitkan dirinya dengan Dave atau pun si Resti, termasuk motor yang dijual murah. Bukan begitu Roy?”
Roy tertunduk kaku, namun tak lama dia mengangkat kepalanya. “Omong kosong, lo menuduh gue tanpa bukti atau pun saksi,” teriaknya dengan wajah yang sangat marah.
Tentu saja sampai di sini semua orang masih tidak percaya.
“Siapa bilang tidak ada bukti? Cara lo meloloskan diri memang sangat-sangat hebat, namun ada yang lo lupa atau lebih tepatnya terlalu percaya diri. Saat memeriksa lantai duaini, gue mencoba untuk naik ke atas melalui lubang yang lo panjat dan menelusuri lorong loteng yang sempit itu. Namun gue mengurungkannya.Tahu kenapa? Karena jika gue ke atas sana sama saja gue mengkontaminasi bukti yang sudah ada.”
Paparanku membuat matanya membelalak.
“Nggak mungkin ada bukti disitu. Gue pakai sarung tangan saat keluar dari situ, tidak mungkin….”kata-kata Roy mendadak berhenti. Itulah momen yang kutunggu. Skak Mat.
“Apa yang lo bilang?Keluar dari situ? Jadi benar, lo memang pelakunya Roy.” ujarku.
Si pemuda kurus ini pun melangkah mundur dan terduduk di belakang. Ia tidak sadar telah membuat dirinya mengakui perbuatannya.
“Ada satulagi yang lo salah duga. Bukti fisik bukan cuma sidik jari, jejak dan ukuran telapak tangan. Tapi serat dari pakaian yang lo kenakan pada saat itujuga bisa menjadi bukti fisik yang penting. Seperti celana jeans lo, dia bergesekan dengan dinding lorong yang sempit itu. Lo membawa jejak mikro dari atas sana. Begitu pula sebaliknya, tempat itu juga mengambil jejak mikro dari diri lo. Dan itu jelas sebuah bukti yang tak terelakkan. Seandainya Polisi memeriksa lubang itu dan pakaian lo, pasti itu cukup jadi bukti fisik. Ditambah lagi dengan senjata pembunuh yang tersembunyi di antara rak DVD itu bisa diperiksa reaksi luminolnya meski lo sudah menghapus darah korban.”
Roy pun menunduk dan keadaan ruko menjadi hening.Hingga kemudian dia berkata pelan.
“Bebaskan Resti, gue lah pelaku pembunuhan Dave yang sebenarnya. Gue yang menghabisi Dave di bawah tangga, kemudian membersihkan jejak sidik jari serta menghilangkan laptop dan ponsel-nya. Resti tidak ada sangkut pautnya, gue lah yang bersalah.”
Sebelum perkataannya selesai, polisi itu sudah menarik tangannya. “Semua kamu jelaskan di kantor saja.”
. . .
Sore itu mereka membawa Roy dan tak lama Resti pun ditemukan. Dia tidak kemana-mana, dia sebenarnya berlindung di rumah kakaknya sendiri.
Di interogasi selanjutnya, Resti pun mengaku bahwa dia yang memukul Dave hingga jatuh terguling-guling ke bawah tangga. Saat itu dia sedang sangat emosinal dan dia sendiri tidak mengerti kenapa dia bertindak seperti itu. Tapi apa yang tidak diketahui Resti adalah Dave tidak langsung tewas pada saat itu. Butuh waktu puluhan menit sebelum si manusia ruko itu benar-benar meninggal. Malam itu sebenarnya Dave masih bisa ditolong, namun karena dendam dan kebencian Roy membiarkan si mantan boss sekarat di sana hingga menghembuskan napas terakhir.
Saat ini berkas perkara Roy sedang disusun oleh Kejaksaan, kemungkinan besar minggu depan kasusnya akan disidangkan. Sementara Resti masih dalam proses entah mungkin lebih lama daripada Roy.
Sore ini aku mengunjungi makam Dave, entah aku tidak tahu harus berdoa apa untuknya. Mungkin aku hanya ingin sekedar mengenangnya sebagai seorang teman SMA, sahabat yang pernah membantuku dikala susah. Semoga dia mendapat sesuatu yang baik di sana, atau setidaknya dia tidak berbuat ulah lagi.[]
***
Nb: Tulisan ini ditulis di tahun 2016, sebelumnya telah tayang di antologi Detectives ID (2017).
Tertanda Fitrah Tanzil.
Ilustrasi, sumber unsplash .com beautiful and free images.
ReplyDelete