Tuesday, November 20, 2018

Lady Rockstar Writer Ayu Welirang

Interview by Fitrah Tanzil

 
Ayu Welirang, saya kenal nama ini dari obrolan teman-teman di group WA. Katanya ada penulis muda yang sudah nembus major yang mau masuk ke group. Saya googling namanya -Ayu Welirang- dan ternyata dia memang sudah punya dua buku di major yaitu 7 Divisi di Grasindo dan Hello Tifa di GPU. Waktu itu, isinya group kebanyakan penulis pemula yang belum nembus major. Jadi, ketika kami dengar Ayu Welirang masuk, kami sangat antusias. Dia join di 2016 akhir (kalau gak salah ingat), lalu kemudian lebih banyak jadi silent reader. Saya telisik, ternyata waktu itu ia sedang sibuk dengan persiapan pernikahannya, jadi nggak begitu aktif. Sampai kemudian di tengah tahun 2017, di mana acara pernikahannya sudah beres. Barulah energi membaranya dan bikin banyak perubahan serta kejutan di dalam group. Oke, tanpa basa-basi, teman-teman bisa mengenalnya lebih lanjut dari interview saya. Selamat membaca.


FT: Halo Ayu Welirang apa kabar?

AY: Saya baik, setidaknya lagi nggak mood swing hari ini. Haha.


FT: Oke, basic question. Kamu besar di mana dan sekarang tinggal di ...

AY: Saya besar di Cimahi sih, lahir di Riung Bandung lalu sekeluarga pindah ke Kota Cimahi (disebutnya Bandung coret). Sekarang ini saya berdomisili di Ciputat, Tangerang Selatan. Tapi mungkin tahun depan akan pindah ke Gunung Sindur atau entah deh ke mana. Sebenarnya saya bisa dibilang nomaden sih.


FT: SMA dan kuliah di ...

AY: Saya nggak sekolah SMA, tapi STM. Di salah satu sekolah kejuruan yang hanya ada 8 di Indonesia, dan saya dapat sekolah di STM Negeri Pembangunan Bandung (sekarang SMKN 1 Cimahi). Kalau kuliah ya di sekitar Tangsel aja. Saya kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Jakarta jurusan Ilmu Komunikasi Periklanan dan akan memutuskan pindah ke kampus lain di tahun depan. (Nomaden lyfe~)


FT: Masih pertanyaan standar, sejak kapan Ayu berminat dan terjun dalam dunia menulis fiksi?

AY: Kalau ditanya sejak, ya pasti semua orang mulai “mengarang” itu sejak ditugaskan mengerjakan PR tentang karangan liburan di rumah nenek. Itu mungkin SD kelas empat. Tapi kalau minatnya, muncul sejak kelas 3 SMP dan sampai saat ini aktif. Benar-benar aktif itu ketika bergabung di situs kemudian.com tahun 2008.


FT: Apa novel pertama yang kamu baca dan bikin kamu jatuh cinta dengan dunia fiksi?

AY: Novel pertama yang aku baca sebenarnya novel-novel teenlit sih, dan novel-novelnya Hilman Hariwijaya mulai dari Lupus dan Olga. Terus saya dulu baca novel-novel misteri yang remaja gitu sih, kayak Alfred Hitchcock dan Enid Blyton. Kalau yang bikin jatuh cinta banget, mungkin malah novelnya Seno Gumira Ajidarma yang berjudul Sepotong Senja untuk Pacarku.


FT: Apa novel yang menginspirasi dan mempengaruhi tulisan kamu?

AY: Novel yang menginspirasi dan memengaruhi tulisan-tulisan saya itu kalau boleh dibilang mungkin karyanya Nukila Amal yang berjudul Cala Ibi. Entah kenapa, sampai sekarang saya itu ingin sekali bisa menulis seperti itu, walau bisa dibilang itu hanya fantasmagoria. Selain itu, saya juga dipengaruhi oleh beberapa buku Jules Verne, mulai Journey to the Centre of the Earth, Twenty Thousand Leagues Under the Sea, dan macam-macam cerita petualangan bercampur sci-fi yang ditulisnya.


FT: Apa projek fiksi pertamanya Ayu Welirang?

AY: Proyek fiksi pertama saya berjudul ISSUE. Kiprah seorang wartawan wanita. Entah kenapa saya ini agak sok-sok feminisme gitu sih, jadi setiap tokoh saya biasanya cewek dan mencoba untuk mendobrak tatanan patriarkis haha. Proyek ini nggak beres, tapi saya melanjutkan proyek duet novel sama teman bernama Ida Haryati, dan masih seputar perempuan serta kekerasan berikut pelecehan seksual pada perempuan ART (asisten rumah tangga). Proyek ini juga belum beres keseluruhan karena hingga saat ini masih dirombak, padahal sudah ditulis sejak tahun 2010 mungkin.


FT: Saya lihat di laman Goodreads, Ayu banyak track record kepenulisan, mulai dari blog pribadi, lalu Kompasiana, Jakarta Beat, dan sebagainya, bisa di sharing?

AY: Itu sebenarnya cara saya untuk terus menulis, entah apa. Baik blogging, esai-esai di Kompasiana mengenai musik yang saya gemari, kritik saya terhadap buku dan musik di laman JakartaBeat, bahkan sampai cerita pendek yang sesuai standar cerpen Minggu di koran-koran. Memang nggak semua masuk ke tempat yang saya tuju, tapi setidaknya saya menulis. Hal ini juga untuk membantu saya terus menulis, supaya tidak ada kata writer’s block dalam kehidupan saya. Haha. Walau memang hal itu ada dan saya tidak menulis novel, setidaknya kan saya punya tulisan di blog, media alternatif seperti JakartaBeat, bahkan cerita pendek atau sekadar esai dan opini di rubrik hari Minggu punya Kompas, Tempo, Pikiran Rakyat, dan lain-lain.


FT: Setahu saya ada dua buku yang bikin Ayu terkenal, yaitu Novel 7 Divisi Grasindo dan Hello Tifa? Bisa cerita tentang dua novel itu?

AY: Terkenal? Nggak banget sih kalau terkenal itu. Saya nggak merasa terkenal haha. Tapi kalau tulisan saya mulai dibaca orang ramai-ramai, ya itu sudah pasti dong. Sebab, bukunya kan ada di toko buku. Buku 7 Divisi ini bisa dibilang proyek fiksi saya yang ke-10 (dari sekian banyaknya draft tidak selesai di harddisk dan draft yang hilang atau terlupa). Karena saya suka banget Jules Verne, saya ingin membuat cerita petualangan yang menyelipkan unsur kearifan lokal, yaitu sejarah suatu kerajaan kuno di Indonesia (khususnya pulau Jawa dan Bali) serta sedikit unsur klenik dan ilmu “langit” (ya namanya juga kearifan lokal kan?). Seperti yang kita tahu, sebelum ada agama-agama samawi masuk Indonesia, dulu kita juga dipengaruhi sama beberapa kegiatan pagan dan hal itu memang sudah jadi akar bangsa kita juga. Seiring perkembangan zaman, entah bagaimana praktik-praktik ilmu hitam, sesembahan, dan lain-lain ini melebur dengan budaya yang lebih baru, atau dengan modernisasi, makanya hal itu sudah tidak begitu memunculkan diri. Namun, kalau kita mencaritahunya, sebenarnya masih ada aja kok praktik-praktik klenik tersebut. Nah, saya ingin memunculkan itu di novel 7 Divisi.

Mengenai Halo, Tifa, sebenarnya ini proyek senang-senang saja. Saya menulis Halo, Tifa ketika sedang jadi pengangguran dan nggak punya uang. Lalu, saya tulis novel ini selama satu bulan dan selesai lalu dikirim. Ternyata masuk lini Young Adult di Gramedia Pustaka Utama. Saya jadi bahagia juga sih, karena ini kan sebetulnya hanya proyek senang-senang. Cuma, saya betul-betul menulisnya dengan senang hati karena ini menggambarkan kehidupan anak SMK yang nggak selalu gemerlap kayak kehidupan anak-anak sekolah di SMA, bukan di kejuruan kayak saya.


FT: Oh iya, hampir lupa, Ayu juga terkenal gara-gara GWP, bisa sharing apa projek Ayu di GWP waktu itu? Dan gimana bisa jadi juara di sana?

AY: Proyek di GWP itu berjudul Cipher. Saya menulis Cipher, sebuah techno-thriller, murni karena saya memang kerja di bidang IT. Selain itu, saya ingin menulis ini pasca saya menonton Ghost / Phantom (drama Korea yang ada So Ji Sub-nya dan ikemen itu). Saya suka sama premis yang ditawarkan, yaitu tentang bagaimana teknologi bisa mengontrol hampir sebagian besar pemerintah di Korea Selatan. Saya jadi berpikir, bagaimana kalau di Indonesia ada hal seperti itu? Dan hanya dengan teknologi lah kita bisa melawan kapitalis yang mengangkangi negara kita itu?

Kira-kira sesederhana itu lah. Kalau mengenai juara, itu murni karena weird luck aja. Saya memang kadang suka dapat keberuntungan yang aneh. Ketika saya nggak berharap sama sekali, saya malah mendapatkan sesuatu atau memenangkan sesuatu. Mungkin ini maksudnya supaya nggak terlalu ngoyo atau mengejar sesuatu sampai mati-matian kali ya. Mungkin supaya saya bisa sans aja~ (sans, red: santai).


FT: Nah ini nih, masuk menu utama. Sesuatu yang sangat mengejutkan untuk kami, Ayu membuat penerbitan sendiri?

AY: Saya bikin penerbitan sendiri itu tujuan awalnya karena saya ingin menerbitkan karya-karya saya sendiri. Haha! Udah gitu aja sih alasannya.

Kebetulan saya ada dana untuk bikin perusahaan (asyik, enterpreneur~), ya udahlah langsung sikat aja! Kenapa harus punya perusahaan? Karena saat menerbitkan buku dan ingin agar buku tersebut dicatat di arsip dunia, maka saya perlu ISBN. Penomoran / barcode ISBN ini didapat dengan mendaftarkan badan usaha kita, maka nanti ada kode badan usaha yang tertera di ISBN-nya, diikuti dengan kode bukunya.

Namun, seiring waktu, saya melihat kalau cuma saya yang menerbitkan kok nggak asyik. Akhirnya, saya ajak teman-teman untuk ikut bergabung dan menulis bersama lalu membesarkan genre yang dicintai bersama-sama.


FT: Walau masih kecil dan baru, tapi menurut saya Maneno itu penerbit yang signifikan. Sebab langung kerja sama dengan para bookstagram yang biasa bekerja dengan penerbit besar. Sungguh, dibanding yang lain -saya pengen nyebut beberapa merk sebenarnya- Maneno punya website yang catchy. Penulis-penulis yang beuh, keren. Dan promo-promo yang gencar. Kok bisa gituh, apa sudah direncanakan jauh-jauh hari sebelum bikin penerbit atau bagaimana?

AY: Sekali lagi, kalau soal promosi, ini murni karena saya mengaplikasikan apa yang saya dapat di bangku kuliah. Cara-cara promosi, positioning merk, membaca pangsa pasar itu saya sudah biasa dapat teorinya di kampus. Sekarang, tinggal bagaimana cara mengaplikasikan itu?

Soal website, ini pun murni karena saya berasal dari blogger, sudah kerja IT pula. Sekarang gini aja deh. Kalau kita sudah punya keterampilan yang biasa dilakukan, sudah punya ilmu, sudah punya fasilitas mumpuni dan bisa didapat dengan ekonomis pula karena kita punya channel-nya, masa iya sih tidak kita gunakan? Saya sih orangnya menerapkan prinsip uses & gratification, saya pakai sebanyak-banyaknya benda dan hal-hal yang memberikan manfaat bagi saya dan itu bisa membantu saya serta brand Maneno Books yang lagi saya kembangkan.

Hasilnya, puji syukur lancar~ Walau tetap saja kalau mau ngomongin untung sih itu masih jauh dari harapan. Tapi, setidaknya genre yang saya sukai itu lama-lama mulai diperhatikan orang lain.


FT: Wow, luar biasa. Kelihatannya tahun ini Ayu lebih sibuk di penerbitan dan promosi daripada menulis fiksi? Atau mungkin saya salah? Hahaha.

AY: Antara benar dan salah. Saya sudah membereskan Mata Pena dan ada di meja juri (juri apa? Nanti tahu sendiri sih, tapi saya nggak yakin menang juga wkwkwk). Novel itu favorit saya, karena sebenarnya pengembangan dari proyek pertama saya yang berjudul ISSUE. Seputar wartawan dan kongkalikong pemerintah dengan kapitalis~

Dan sekarang, saya lagi membereskan spin off Geneva (sebuah cerita cozy mystery), juga beberapa naskah lain salah satunya Tinta Arang yang masih seputar thriller, tapi tokohnya pemadam kebakaran. Penerbitan juga tetap jalan. Namun memang, saya capek sih sebenarnya. Capek, tapi senang. Haha.


FT: Ah hampir lupa, ada Thriller Mystery Club di Wattpad itu gimana itu ceritanya?

AY: Sepertinya Wattpad ini sudah ditinggalkan, karena penulisnya juga pada sibuk ya? Mungkin nanti akan dilanjutkan kalau para penulisnya sudah tidak sibuk. :’)


FT: Dan projek Detektif Geneva? Apa akan dilanjutin atau mungkin di remake?

AY: Seperti yang saya sebut di atas tadi, Geneva sedang dibereskan spin off-nya, mengambil latar ketika Geneva dan Hira baru masuk SMA.


FT: Keren-keren. Oke, seperti biasa di interview saya, ada yang namanya fans question. Jadi pertanyaan untuk penulis yang di luar masalah kepenulisan.

AY: Oke boleh.


FT: Fans question satu, kok bisa sih Ayu menikah muda?

AY: Menikah muda? Nggak juga sih. Kan saya udah 26 tahun nih. Kalau itu dianggap masih muda, waduh senang saya. Berarti muka saya nggak boros. WKWKWK.


FT: Fans question dua. "Kak Ayu kasih tips dong biar bisa dapat suami ganteng dan pengertian?"

AY: Semuanya berkat doa~

Halah. Nggak semua dari doa sih, semua berkat usaha keras. Intinya dalam hal apapun, kalau kita berusaha, ya kita pasti mencapai tujuan. Intinya konsisten aja. Jadi, maksudnya apa ya? Saya konsisten cari pacar? Kayaknya begitu dulu ya. Haha. Pokoknya, saya bersyukur sih bisa menikah sama suami saya sekarang ini, karena dia sangat mendukung apa pun yang saya lakukan selama itu bermanfaat dan bisa membuat saya jadi orang yang lebih baik.


FT: Ini pertanyaan pribadi dari saya. Kasih tips dong supaya saya bisa menikah dengan cewek cantik? Aaaaaaaaa.


AY: Mungkin harus memperbaiki diri aja kali? Bukan ke penampilan. Sebenarnya penampilan itu kan cuma “bungkus” ya. Mungkin, kita harus bisa jadi orang yang lebih baik secara pribadi, mental, dan lain-lain. Karena setelah menikah itu kan banyak hal yang bakal kita hadapi. Kalau hanya mengandalkan bungkus ya agak sulit nanti, karena ketika istrinya sudah berubah tua dan tidak secantik dulu, apakah kalian akan secinta dulu?  Paling ya, coba berusaha untuk introspeksi diri dulu baru mulai memantapkan tujuan-tujuan hidup. Setelah mendapatkannya, cantik atau tidak itu hanya jadi hal yang fana.


FT: Lanjut, dua pertanyaan terakhir. Ada tips atau saran untuk anak-anak muda ini yang ingin memulai karier di dunia kepenulisan?

AY: Saran saya, konsisten aja! Kalau dikit-dikit lemah, dikit-dikit banyak diganggu hal-hal tidak relevan, ya nanti karir kepenulisannya akan lenyap. Ujung-ujungnya, malah akan mengejar hal yang lain dan bukan tujuan awal ingin menulis. Jadi, pertama-tama, saya mau tanya dulu sama para calon penulis: apa tujuanmu menulis? Udah gitu aja.


FT: Terakhir, apa ada projek besar, fiksi atau novel yang sedang Ayu kerjakan?

AY: Proyek besar ada Mata Pena itu dan Tinta Arang yang dijadwalkan harus beres November ini dan sudah saya ikutkan ke BNNS Storial serta NaNoWriMo 2018.


FT: Oke, terima kasih interviewnya. Sungguh ini luar biasa, thanks sekali lagi Ayu Welirang. 

AY: Sama-sama. Terima kasih juga untuk interview ini dan saya ingin bilang: “Naskah pribadi lo kirim dong, Troh!” HAHA!

.  .  .

4 comments:

  1. Replies
    1. @ Ayu Welirang, sip sip, segera saya bereskan naskah saya.

      Delete
  2. Ajegile.. keren interviu nya. Inspiratif.. "ga ngoyo g ngarep malah strike", saya bgt.

    Agan ftrohx, ijin gabung WAG penulis donk.. makasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. @ Gogo, wah, boleh-boleh. Nanti kirimin aja nomornya PM via Twitter, tahukan Twitter saya.

      Delete