Wednesday, November 14, 2018

My Interview with Stefani Jovita

Talk about Fiction Fantasy, Comic Editor, & Visual Novel
By Fitrah Tanzil


Asli, saya nggak tahu mau kasih judul apa wawancara saya yang ini, hahaha. Stefani Jovita pertama kali saya kenal dia dari Facebook, tepatnya dari group menulis yaitu KANOI (Komunitas Novel Online Indonesia) yang dikelola oleh Ally Jane Parker, Putu Felisia, dan kawan-kawan. Stefani itu cewek tangguh dengan idealisme dan kepribadiannya yang kuat. Ketika ada orang yang mengkritik dia, dia pasti bakal langsung punch back, itu yang pernah terjadi pada saya dan membuat saya langsung recognize Stefani. Oke, untuk tahu lebih banyak, teman-teman bisa langsung baca interview saya di bawah ini. Enjoy it.

 

FT: Halo Stefani apa kabar?

SF: Baik nih, mas. Kadang saya bingung, kapan sakitnya ya biar bisa lebih sering libur. Hahah.


FT: Oke, basic question. Kamu besar di mana dan sekarang tinggal di mana?

SF: Besar di Bekasi, tinggal di Bekasi.


FT: SMA dan kuliah di ...

SF: SMA saya namanya Ananda, deket rumah, dari TK malah di situ. Benernya itu sekolah Buddha, tapi sejak SMP (atau SD?) ada pelajaran 5 agama. Saya masih hafal doa agama Buddha-nya sih tapi. Wkwkwk. Untuk kuliah, saya sempat kuliah di Binus 1 semester sambil nungguin info beasiswa. Puji Tuhan saya bisa dapat beasiswa kuliah ke Jepang, jadi belajar Bahasa Jepang 1 tahun di sana, lalu D2 Graphic Design selama 2 tahun di Nippon Engineering College of Hachioji, dan nerusin 2 tahun lagi sampai lulus S1 di Oberlin University.





FT: Langsung aja. Sejak kapan Stefani berminat dan terjun dalam dunia menulis fiksi?

SF: Hmm… Minat saya benernya udah ada sejak tahun ketiga kuliah. Waktu itu saya kenal yang namanya Visual Novel, genre misteri, judulnya Umineko no Naku Koro Ni. Setelah itu, saya mulai iseng bikin fanfiction, walau akhirnya malas-malasan karena saat itu saya masih lebih minat gambar daripada nulis. Pas diajakin temen bikin Visual Novel pun (ini pas masa kerja awal, sekitar tahun 2013), saya gak ngerti cara nulis dan lebih pengen gambar. Di situlah, saya tertarik dengan Light Novel dan bergabung dengan grup kepenulisan Light Novel Indonesia sebagai illustrator. Nah, saya mulai sangat serius nekunin kepenulisan itu sekitar akhir 2015, karena saya sedang jatuh-jatuhnya dalam profesi ilustrasi saya. Saya disarankan untuk berhenti gambar dulu. Di situlah, saya mulai mencoba menulis.


FT: Alasan saya ingin mewawancarai Stefani adalah Projek Crane. Tapi sebelum ke sana, kita bicarakan hal-hal mendasar dulu. Apa novel/fiksi pertama yang Stefani baca dan begitu berkesan hingga sekarang?

SF: Bisa dibilang, novel pertama yang saya baca itu sebenarnya karangan Sidney Sheldon, tapi sayangnya, saya malah lupa judulnya apa dan bisa dibilang berarti gak gitu berkesan, kecuali bagian dewasanya karena waktu itu saya masih sangat polos untuk mengerti artinya itu apa. Satu-satunya hal yang saya ingat adalah, ketika dibandingkan dengan novel lain yang waktu itu saya baca juga untuk tugas (judulnya Tabula Rasa), buku Sidney Sheldon ini mudah saya tangkap. Bahasanya enak. Udah gitu bikin nagih sampai saya bacanya sehari kelar. Kalau untuk buku fiksi pertama yang paling berkesan, mungkin jatuh ke novel Murder On The Orient Express (English version) oleh Agatha Christie.


FT: Apa projek fiksi pertama yang kamu tulis?

SF: Visual Novel yang berjudul Grimmland. Genre fantasi yang mengambil tema fairy tale. Sayangnya, proyek ini gak lanjut karena waktu itu saya masih “cupu” dalam bidang kepenulisan. Baru prolog aja udah gak jalan-jalan. Gak ngerti nulis yang bagus tuh gimana.

FT: Siapa penulis fiksi nasional dan internasional yang sangat menginspirasi kamu?

SF: Untuk nasional, saat ini mungkin Primadonna Angela, yang bisa bertambah juga sama Eka Kurniawan. Kalau untuk internasional, Sidney Sheldon, Agatha Christie, Brandon Sanderson, dan Akiyoshi Rikako.

FT: Salah satu karya Stefani yang terkenal adalah Trace of Shadow (benar kan ya tulisannya), bisa cerita tentang Trace itu?

SF: Trace adalah novel fantasi isekai (portal fantasy atau yang bertema pindah ke dunia lain), yang menceritakan kisah seorang pemuda terkutuk yang bisu dan kesatria anak pengkhianat yang berjuang membasmi kutukan di kerajaan dengan cara mereka masing-masing. Si kesatria ini nantinya mau saya ubah jadi punya penyakit Ocular Albinism (matanya sensitif terhadap cahaya), supaya ada kesetaraan cacat fisik antara kedua pemeran utamanya. Perbedaan mereka, si pemuda bisu itu selalu kabur dari masalah, tapi si kesatria buta selalu teguh melawan masalah. Tema “lari dari tanggung jawab” inilah yang memang ingin saya bahas melalui Trace, tapi tanpa menggurui pembaca soal yang mana yang lebih baik.
Berhubung di Indonesia dan Jepang itu banyak banget yang punya masalah depresi dan keinginan bunuh diri, karakter utama di Trace juga punya kebiasaan self-harm. Ini karena saya juga maunya sih, orang-orang yang baca Trace seenggaknya merasa dimengerti dan gak sendirian ketika membaca Trace ini. Sama satu lagi. Trace mengangkat budaya dan mitologi Jepang karena kedekatan saya dengan Jepang setelah kuliah di sana, dan banyak orang Indonesia yang mau menulis tentang Jepang tapi belum terasa Jepangnya. Jadi, saya harap ada budaya Jepang yang bisa diambil juga dari sini.



FT: Lalu ada Golden Catalyst, itu tentang apa?

SF: Golden Catalyst adalah novel sci-fi ringan yang membahas perjuangan seorang pemuda bertangan-kaki prostetik membasmi markas alien, tapi tiba-tiba bertemu alien cewek berambut emas yang meminta damai. Temanya sendiri lebih ke arah keluarga dan persahabatan. Saya berpikir, banyak sekali cerita post-apocalypse yang berat dan kelam seperti Hunger Games dan Maze Runner. Nah, di Golden Catalyst ini, meskipun sedikit kelam, saya lebih ingin bikin ini ringan dan bisa dinikmati oleh banyak kalangan.


FT: Oh iya, KANOI saya hampir lupa. Pertama kali saya kenal Stefani itu dari KANOI, ngomong-ngomong gimana cerita Stefani bisa gabung dan jadi admin di group KANOI?

SF: Waktu itu sih, saya cuma iseng-iseng aja cari tahu grup kepenulisan supaya bisa belajar dan berbagi (promosi juga deng. Hehe). Nah, saya langsung aja tuh japri admin-adminnya, tanpa malu-malu, soal dunia pernovelan. Kayak perbandingan indie dan terbit mayor, atau genre yang laku di Indonesia. Awalnya dari kak Ally Jane Parker, terus lama-lama ngobrol juga sama Putu Felisia. Pas mereka lagi butuh admin, aku nawarin diri aja karena waktu itu pas lagi belum terlalu sibuk dan pengen cari pengalaman. Ternyata kepilih deh. Haha.

FT: Saya melihat KANOI itu punya admin yang beragam karakter dan kebanyakan memang cewek banget. Cuma saya melihat Stefani ke arah cowok, maksud saya tomboy, hahaha. Kok bisa gituh ngebland dengan mereka?

SF: Hahah. Emang saya tomboy abis. Cuma saya ini tipe yang cukup mudah menyesuaikan diri demi keuntungan pribadi *eh, maksud saya, buat belajar. Apa pun yang menurut saya patut dipelajari, pasti saya pelajari, demi terus naik level, karena saya termasuk yang telat mulai. Dan btw, benernya kecocokan itu gak tergantung dari seberapa tomboy atau femininnya seseorang sih. Kecocokan itu lebih tergantung ke banyaknya persamaan pandangan. Salah satu yang paling sama itu adalah kepositivan. Setelah bergabung sama KANOI, admin-adminnya ngebantu banget untuk bikin lingkunganku bersih dari hal-hal negatif. Hehe.

FT: Dibanding admin yang lain yang followernya cewek. Sosmed-nya Stefani itu lebih banyak difollow n dikomen sama cowok-cowok terutama otaku gituh, kok bisa, why why? Hahaha.

SF: Oh jelas. Karena target pembaca saya emang otaku cowok. Hahah. Salah satu contohnya, yang tadi udah disebut aja, One Last Crane juga game dating untuk cowok. Kalau ditanya kenapa saya gak bikin untuk cewek, bukan karena gak mau. Karena saat ini lom ada kesempatannya aja. Hahah (Singkat kata, emang dari awal saya itu otaku dan otaku Indonesia itu banyakan cowok…).

FT: Bagian mengejutkan di tengah tahun ini adalah ... tiba-tiba Stefani muncul sebagai editor di Ciayo Comic. Itu gimana ceritanya?

SF: Wah, saya juga kaget nih. Benernya sih, mungkin udah dari 1-2 tahun yang lalu saya pengen jadi editor. Sayangnya, waktu itu saya terikat sama game company dan enggan untuk ganti pekerjaan. Game company tersebut kurang jalan dan akhirnya awal tahun ini saya keluar. Nyari kerjaan editor fiksi rupanya sangat sulit, karena banyak yang memberi syarat umur. Satu-satunya yang gak kasih syarat umur adalah editor komik. Kebetulan, saya suka gambar, jadi ya coba aja. Pertama, editor di studio komik lain, tapi saya gagal. Dari situ, seperti biasa, saya japri kepala studionya dan meminta referensi untuk belajar. Setelah lebih banyak belajar, nyoba lagi di CIAYO, keterima deh. Jadi, temen-temen, gak usah ragu-ragu untuk japri orang pro sebenernya, selama kamu tahu manner dan sabar.


FT: By the way, seperti apa sih pekerjaan komik editor itu?

SF: Singkat kata, tukang bersih-bersih. Hahah. Saat ini sih kerjaan saya lebih ke arah review submisi dan talent scout, bukan editor komik official-nya, karena memang pekerjaan komik editor di sini ada 2 jenis. Cuma memang kebanyakan ya kita review karya dan kasih saran, bahkan kalau ada gambarnya, ya kita kasih saran perbaikan gambarnya seperti apa.

FT: Dan kenal dengan Ditta Amalia (HelloDitta) itu keren banget. Hahaha.

SF: Wkwkwk. Sebelahan gitu sama saya.


FT: Oke, ini pertanyaan utama, One Last Crane. Kononnya itu adalah salah satu projek besar dari Stefani Jovita. Apa itu One Last Crane, bisa diceritakan?

SF: One Last Crane adalah proyek Visual Novel dating sim, di mana pemain berperan sebagai tokoh cowok remaja yang mengidap kanker otak dan ingin menemui teman masa kecil yang dia tinggalkan dulu untuk membuat temannya ini bahagia, sebagai tugas terakhirnya di masa-masa akhir hidupnya. Pemain bisa memilih opsi-opsi di momen-momen tertentu, yang bisa membawa mereka ke salah satu dari 3 rute cewek. Inilah kenapa disebut dating sim, karena pemain bisa pacaran sama salah satu cewek yang ada di game, tergantung pilihan pemain itu.


FT: Yang menarik, waktu itu saya dapat info bahwa One Last Crane dapat pembiayaan dengan jumlah yang besar banget -saya nggak ingin menyebut angka- tapi kok bisa hingga sampai ke sana?

SF: Perjuangan banyak orang nih :’) Ketuanya itu aktif banget nyari-nyariin akun Twitter yang proyeknya mirip sama kita. Satu orang lagi udah pengalaman marketing proyek seperti ini dan udah sukses duluan. Saya sendiri waktu itu nugas jadi tukang DM Twitter. Saya waktu itu begadang dari jam 12 malam sampai 4 pagi cuma untuk aktif di Twitter, karena memang Twitter barat, yang jadi target pasar kita, waktu aktifnya itu beda 12 jam. Kita juga pakai forum-forum pembahasan Visual Novel untuk membahas proyek kita ini, tapi bukan dalam bentuk promosi. Biasanya kita akan membuka topik semacam “Diminta kritik dan sarannya”. Promosi halus kan seperti itu. Hehe.


FT: Apa Stefani punya rencana-rencana besar seperti itu lagi?

SF: Ada. Kebetulan aku juga sudah diminta (dan sudah selesai) bikin proyek VN berikutnya, tapi ini kecil-kecilan. Aku konsepnya aja sih, karena masih harus kelarin One Last Crane juga. Sisanya, tentu aku bakal perjuangin Trace hingga sampai ke Jepang! Mimpiku memang terbitin di sana sih kalau untuk Trace :D


FT: Dalam interview saya, selalu ada yang namanya fans question, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang di luar konteks kepenulisan. Dan ini bagian yang paling menarik yang ingin dibaca oleh para follower.

SF: Oh iya. Boleh-boleh.


FT: Apa makanan dan minuman favorit Stefani?

SF: Makanan favorit ya… Benernya aku suka banyak makanan sih, tapi kalau harus pilih satu, mungkin Indomie aja *eh (gak sehat banget :’D). Minuman favoritku saat ini kopi, khususnya Monark Coffee Shake deket kantor. Heheh.

FT: Jika dapat kesempatan liburan sebulan ke luar negeri? Stefani ingin pergi ke mana aja?

SF: Ke Jepang lagi, buat ketemu temen-temen. Ke Eropa juga, karena ada temen FB di sana yang bisa dibilang cukup deket. Kalau gak ada batasan, tentunya aku mau berkunjung ke tempat sebanyak mungkin supaya bisa belajar kebudayaan di dunia, bahkan ke Afrika sekalipun.

FT: Nah ini fans question yang pamungkas. Pernah gak kamu jatuh cinta sama cowok; penulis atau komikus gituh, jatuh cinta beneran maksud saya?

SF: Hmm… Penulis atau komikus ya… Saya cuma pernah jatuh cinta sama penulis puisi temen saya, bukan penulis atau komikus terkenal. Soalnya saya bukan tipe yang mudah jatuh cinta sama orang yang gak dikenal sih, jadi saya harus kenal dulu. Kalau untuk komikus, sayangnya sampai saat ini belum ada yang kenal dekat, jadi sepertinya belum sampai jatuh cinta banget sebesar cinta saya sama penulis puisi itu. Eheheh.


FT: Oke, ini benar-benar luar biasa. Nggak ada di wawancara manapun.

SF: Pertanyaan sebelumnya ya, terutama.


FT: Satu pertanyaan terakhir, apa ada projek fiksi yang sedang Stefani kerjakan?

SF: Banyaaaak. Saya masih harus kelarin Trace volume terakhir, revisi, dan bikin versi Inggrisnya. One Last Crane juga rencananya bakal kelar ditulis bulan Februari (memang karena ketika Kickstarter sukses itu bukan berarti sebuah proyek sudah kelar, tapi baru akan mulai). Selain itu, saya juga masih harus editing 1 Visual Novel lain dan proyek bareng temen-temen KANOI. Bila masih ada kesempatan, saya masih ingin menyempurnakan novel-novel pribadi saya juga sih.


FT: Wow, thank you Stefani Jovita untuk interview. Ini benar-benar keren. Semoga di masa depan kita bisa ngobrol panjang seperti ini lagi. Arigatou Gozaimasu.

SF: Dou itashimashite. Senang juga bisa dikasih kesempatan wawancara seperti ini.

.  .  .

2 comments:

  1. Sugoii..
    Hebatnya jd penulis, wawasannya berjibun..

    ReplyDelete