Cerpen by Ftrohx
Sabtu pagi pun datang
Memang ada orang menyewa Auditorium saat itu. Mereka adalah keluarga dari mempelai pria yang akan mengadakan resepsi pernikahan di sana. Bilik VIP di depan lobi kanan dibuka dan memang pemegang kuncinya adalah Riani, Putri Sulung bang Faruq yang bekerja untuk Pak Ramdan. Tidak seperti yang kuduga sebelumnya, ternyata gadis itu sangat cantik.
Akupun mendekatinya, namun belum sempat menyapa dia sudah memanggilku duluan.
“Lufin ya, petugas baru di sini,” ucapnya dengan senyum yang merekah.
“Iya,” jawabku singkat.
“Saya dengar banyak dari Pak Ramdan.”
Aku tersenyum. “Semoga tidak terlalu banyak.”
Dia pun tertawa kecil.
Lalu kemudian hening.
Matanya menerawang ke langit-langit Auditorium. “Ayah saya baru meninggal kemarin dan banyak kenangan di tempat ini.”
“Saya turut berduka,” ucapku.
“Meski dia sangat galak, namun sebenarnya dia orang yang baik,” kata-kata itu terdengar pahit dari lidahnya. “Memang emosinya suka meluap-luap, tapi di dalamnya dia tidak seperti itu,” dia bicara seolah Faruq masih berada di sana. ”Kamu tahu orang seperti dia, kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor.”
“Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah,” potongku.
“Iya, seperti itu.”
Aku tersenyum kecut. Klasik, pembenaran atas boss yang jahat. “Apa anda tahu tentang ormas yang dibuat Ayah anda?”
“Panggil saja saya Riani,”
“Apa kamu tahu itu?”
“Iya, saya tahu,” sayangnya dia tidak melanjutkannya dan beralih ke hal yang lain. “Ngomong-ngomong bahasa kamu seperti seorang detektif?”
Aku menaikan alis, lalu tertawa kecil. “Detektif? Memangnya saya ada tampang seperti itu?”
Seperti yang lain matanya naik turun memperhatikan fisikku. Rambut gondrong, kulit pucat, tubuh kurus, dan wajah setengah zombie. Apa aku seperti detektif? Tentu saja tidak.
Dia menggeleng. “Kelihatannya nggak sih, kamu itu lebih mirip anak band Emo.”
“Kamu tahu Emo?” aku menaikan alis.
“Iya, aku pernah ikuti salah satu band itu.”
“Yang mana?”
“Saosin,”
“Hahaha… Saosin,”
“Iya, dulu waktu zaman SMA.”
“Pantes saja.”
“Kalau yang ada ditelinga kamu lagu apa?”
“Oh ini, Paramore,” jarinya menunjuk ke telinga. “Aku sekarang lagi suka Paramore.”
Aku mengangguk. “Itu bagus, Hayley Williams. Tapi jujur aku agak terkejut melihat penampilan kamu dan siapa Ayah kamu.”
“Siapa orangtua kita belum tentu menentukan kita menjadi apa bukan.”
“Iya, kamu benar.”
“Kamu sendiri suka band apa?”
Mataku berputar ke pipinya. “Seleraku mainstream, kamu tahu Nirvana?”
“Smell Like Teens Spirit!”
“Wow, sungguh sebuah kejutan.”
“Jadi kamu pernah main band?” pertanyaannya makin mengejutkan.
Diposisi ini rasanya sudah tak mungkin lagi berbohong. “Iya, pernah.”
“Wow, luar biasa. Aku nggak pernah nyangka ada OB yang pernah jadi anak band. Mungkin nanti jika ada acara dengan musik di sini kamu bisa naik ke atas panggung.”
“Iya, beresin panggungnya. Haha…”
Kami tertawa.
“Serius, kamu terlihat beda dari OB-OB lain di sini. Mereka tidak berpendidikan dan mereka seperti…” tiba-tiba kata-kata itu terhenti.
“Seperti apa?”
“Iya, seperti OB,” ada sesuatu yang tertahan di lidahnya. “Oh iya, apa nama band kamu itu?”
“Karena band kami rock indies, namanya cukup aneh sih.”
“Apa?” tanya seolah penasaran.
“Kamu pasti akan terkejut.”
“Iya, apa?”
“Namanya Detective Is A Rockstar,” aku menatapnya dan melihat pupil mata itu membesar.
“Wow, jadi benar Pak Ramdan memanggilmu kemarin sebagai seorang detektif.”
“Hahaha… Nggak seperti itu sih, ini cuma nama. Kamu tahu ada band yang namanya Sex Pistols, The Police, kenapa gak ada yang namanya Detective Is A Rockstar.”
“Kamu tahu, kamu itu terlalu pintar untuk jadi seorang OB. Sebaiknya kamu naik pangkat.”
“Iya, terus jadi apa? Kepala OB?”
“Bukan, maksudku jadi satpam, mereka memberi gaji yang lebih baik daripada OB.”
Pembincangan pun berakhir. Riani beranjak pergi mendekati teman-temannya para PNS berseragam LPM. Melihatnya dari jauh, rasanya butuh waktu lama untuk bertemu dan berbincang lagi dengan dia.
. . .
2 Minggu berlalu dengan cepat di Auditorium
Di sini aku merasa seperti Clousaue, si detektif idiot dari film Pink Panters itu. Melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang justru menjauhkan dirinya dari fakta-fakta yang ada di depan mata. Bahkan harusnya seorang bocah SD pun bisa memecahkan kasusnya.
Tapi itulah dia, kita butuh pelawak untuk melengkapi dunia yang muram ini.
Aku kenal nama-nama detektif hebat di Jakarta. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa bukan mereka? Kenapa aku yang baru cuma memecahkan dua kasus. Itupun terjadi karena kebetulan dan bukan karena otakku sendiri. Jujur, aku bahkan tidak mengerti apa itu analisa forensik? Apa itu police prosedural? Deduksi-Konklusi? Dan bahasa ngejelimet ala detektif lainnya. Satu-satunya yang bisa kuandalkan selama ini cuma intuisi. Perasaan alami, insting mereka menyebutnya –untuk menemukan siapa penjahat sesungguhnya.
Ok, aku butuh keajaiban dan inilah yang kulakukan.
Aku menunggunya di depan pintu. Diantara waktu luang antara jam 11 hingga jam 1 siang. Atau antara jam 5 hingga 6 sore. Aku terus memandangi jalan setapak yang membelah taman itu. Aku membayangkan hantu Bang Faruq ada di sana. Melakukan kegiatan yang berulang dan berulang. Dia berjalan sendirian di sana, lalu jatuh begitu saja terkapar sekarat di tanah. Tentunya dengan berbagai macam variasi gerakan. Aku membayangkan mulai dari yang mengerikan hingga kematian paling konyolnya.
“Jadi apa yang kamu temukan?” Pak Ramdan muncul dan wajahnya mirip seperti atasan Clousaue.
Seorang inspektur polisi yang ingin melihat bawahannya hancur dalam insiden yang goblok.
“Masih banyak yang belum saya temukan.”
“Tapi kamu punya nama-nama yang kamu curigai?” tanya-nya lagi.
Tentu saja ada dan dia adalah salah satunya. “Ada tapi saya belum bisa menyebutkan nama-nama mereka.”
“Tidak ada bukti?”
“Belum,” jawabku singkat.
Lalu bibirnya menyungging seolah dia baru saja menang lomba balap karung.
Sial. Wajah itu jelas menyiratkan bahwa dia sangat ingin kasus ini tidak terpecahkan olehku.
Mungkin dia punya rencana lain dengan Auditorium ini dan ruangannya. Mungkin dia ingin membuatnya menjadi kontrakan atau kantor dengan biaya sewa mahal perbulannya. Yang pasti dia ingin mengusirku secepatnya dari tempat ini tanpa biaya pesangon.
“Kalau cara kematiannya?” lanjut Ramdan.
Ini pertanyaan bagus. Syukurnya aku telah menyiapkan jawaban. “Kasus ini mirip dengan cerita detektif klasik Pak. Tidak ada saksimata, tidak ada siapapun yang berada di dekatnya saat dia meninggal. Dia sendirian seperti orang-orang meninggal dalam kasus ruang terkunci. Hanya saja ruang terkuncinya adalah sebuah kondisi di luar ruangan.”
“Ruang terkunci apa?”
“Itu kiasan Pak, misteri ruang terkunci. Semacam sub-genre dalam fiksi detektif. Ada satu kasus klasik yang mirip dengan ini. Judulnya HollowMan dari John Dickson Carr. Seorang pria berjalan sendirian di tengah salju kemudian tanpa ada seorangpun yang mendekati tiba-tiba dia tewas terbunuh ditembak dari jarak dekat. Sayangnya, tak ada saksimata dan tak ada jejak dari siapapun yang ada di sekitar jasad. Seolah-olah dia dibunuh oleh hantu atau makhluk yang tak menyentuh tanah.”
“Bagaimana mungkin dia dibunuh oleh Hantu?”
“Itu trik Pak, seorang pesulap yang menghilangkan bola atau memunculkan burung dan kelinci dari balik topi. Dia mengalihkan pandangan mata anda Pak, dan membuat kita hanya fokus pada lokasi ditemukannya korban.”
“Maksud kamu?”
“Maksud saya bagaimana jika dia sudah mati sebelumnya, sudah sekarat dan kebetulan dia berjalan di setapak itu dan meninggal di sana.”
“Dia diracun?”
Jariku naik dan menutup bibir. Runut logika di kepalaku memang mengarah kesana. Sebuah racun. Aku bisa membayangkan Bang Faruq melakukan rutinitasnya. Minum segelas air hangat yang disediakan penjaga Auditorium di atas meja kantornya. Dia meneguknya sampai habis. Lalu berjalan-jalan ke samping Auditorium melewati taman dan masuk ke jalan setapak. Di saat itu, racun sudah bekerja dan maut sudah sampai ditenggorokan. Dia jatuh di sana, sekarat sendirian tanpa ada saksimata apalagi orang yang menolong.
Jadilah Bang Faruq sesosok mayat, sebuah misteri apakah dia meninggal oleh sebab alami ataukah dia adalah korban pembunuhan?
Sayangnya, bicara tentang metode racun. Aku tidak punya bukti racun apa yang dia masukan ke dalam gelas itu. Tidak ada CCTV di auditorium, tidak ada saksimata, tidak ada apapun. Lagipula waktu telah bergulir lama dan gelas itu pasti sudah dicuci berulang-ulang yang membuat jejak mikro bersih dari tiap sudutnya. Dan yang lebih penting lagi, aku bukan petugas forensik ataupun penyelidik resmi yang punya wewenang untuk mengotopsi korban. Dan sejak awalpun, kasus ini sudah amburadul karena kematian korban diasumsikan sebagai kematian alami tanpa pemeriksaan oleh dokter terlebih dahulu.
“Kalau begitu siapa yang meracuni dia?” lanjut Pak Ramdan.
Kembali aku hanya tersenyum simpul.
Disini berengsek-nya, ada begitu banyak orang yang membenci dan ingin menghabisi Faruq.
Bisa jadi adalah mereka yang memberontak, namun bisa jadi pula orang-orang yang loyal kepadanya yang melakukan pembunuhan. Atau bisa jadi dua orang yang memanggilku bekerja di sinilah konspiratornya Pak Joko dan Pak Ramdan sendiri.
Atau mungkin dua orang yang bekerja di Auditorium itu Bang Iwan dan Taufik mereka adalah dua orang yang tiap hari berada paling dengan Bang Faruq. Atau mungkin orang yang sudah keluar dari pekerjaan OB di sini. Iya, jika aku adalah pembunuhnya pastinya aku memilih keluar dari tempat ini begitu dia meninggal, pergi jauh tanpa meninggalkan jejak. Sialnya, tanpa runut bukti aku tidak bilang mereka adalah pelakunya.
“Maaf Pak, saya belum bisa memberikan jawabannya?”
“Lalu kapan kamu bisa?”
Jariku naik ke dahi. “Saya belum bisa memastikan.”
“Ok, kalau sampai akhir bulan ini kamu belum mendapatkan satu nama siapa pelakunya? Kontrak kerja kamu saya putus.”
Bibirku kembali membentuk simpul. Kisah ini makin bagus saja.
. . .
Ok, kembali ke coretan kertas. Ada dua gedung yang paling dekat dengan Auditorium. Gedung administrasi LPM yang tepat berada di depan Auditorium, sebelah utara bangunan. Dan gedung penelitian gas yang berada di sebelah kiri Auditorium atau sebelah barat bangunan.
Korban berada di jalan setapak di taman di sebelah barat bangunan. Dari posisi TKP ini, harusnya jasad korban dapat terlihat dari atas gedung administrasi ataupun penelitian gas.
Tapi mereka bilang tak ada saksi yang melihatnya jatuh. Ini mungkin disebabkan karena waktu kematiannya pada jam sibuk. Namun si pelaku pembunuhan sangat bisa mengawasi korban dari dua gedung. Pertanyaannya yang mana? Apakah dari Gedung Administrasi ataukah dari Gedung Penelitian Gas?
Masalah utamanya lagi, meski tempat ini besar dan terlihat modern. Sayangnya dengan sangat-sangat disayangkan tidak kamera CCTV. Baik itu di dalam ataupun di luar Auditorium. Ini membuat tempat ini menjadi sangat sempurna untuk sebuah aksi pembunuhan berencana.
Tak ada saksimata dan tak ada apapun. karena itu tidak ada cara lain selain cara manual yaitu bertanya untuk menemukan petunjuk yang tersisa.
Sore, saat pekerjaanku sudah tidak sibuk, aku kembali mendatangi Gedung Penelitian Gas.
Kebetulan aku sudah kenal OB utama di sana yaitu Pak Syarif. Dibanding dengan yang lain yang lebih banyak pekerjaan bersih-bersih lantai. Pak Syarif tugasnya hanya menjaga penting dan menyiapkan minuman untuk para PNS. Kadang dia juga menyiapkan makanan ringan bahkan memasak mie instan untuk mereka. Terkadang almarhum Bang Faruq pun meminta mie instan darinya.
Pak Syarif berkumis tebal dengan wajah yang agak berkeriput. Badannya kurus dan tiap hari dia suka mengenakan baju safari putih yang usang. Kadang dia suka terlihat gugup. Namun jika kamu sudah kenal akrab dengannya, dia akan jadi orang yang sangat ramah. Untuk amannya, aku mengajak dia mengobrol di halaman belakang Gedung Penelitian Gas dimana terparkir dua mobil dinas tua yang jarang dipakai. Setelah berbincang basa-basi selama 5 menit. Menu utamapun langsung kusajikan.
“Pagi dimana Bang Faruq meninggal, Pak Syarif yang membuatkan air minum untuknya ya?”
Pak tua itu langsung membelalak. Kemudian dia berkata dengan sangat gugup. “Iiyyaa, memangnya ada apa?”
“Siapa yang membawa minuman itu ke ruang Bang Faruq?”
Dengan wajah yang masih terkejut, dia melanjutkan. “Eee, Iwan dia yang membawanya. Memangnya ada apa?”
“Sebenarnya saya di sini untuk memastikan sesuatu Pak,”
“Memastikan apa?”
“Memastikan bahwa Bang Faruq meninggal karena dibunuh orang!”
Dia makin terkejut dengan wajah mirip orang yang baru bertemu setan. “Dibunuh orang!” dia setengah berteriak.
Jariku naik ke atas. “Sstttt… Jangan kencang-kencang Pak, nanti didengar yang lain. Saya sebenarnya penyelidik swasta. Saya disewa oleh Pak Ramdan untuk memastikan itu.”
Alis Pak Syarif kembali naik. “Jangan-jangan kamu mengira saya meracuni air minumnya Bang Faruq?”
“Tidak Pak saya cuma memastikan,” tanganku naik ke bahu mencoba membuatnya tenang. “Anda bilang kan ada yang lain pagi itu yaitu Iwan yang mengantar gelasnya.”
“Jadi maksud kamu Iwan?”
“Tidak, tidak seperti itu. Pertanyaan saya apa anda melihat Iwan berjalan sampai ke Auditorium?”
Dia menggeleng. “Saya hanya ada di pantry pagi itu. Tapi OB yang lain mungkin melihatnya.”
“Kalau begitu baiknya, anda panggil teman-teman OB yang ada pada pagi itu.”
Tanpa memberitahu detail sebenarnya tentang penyelidikan ini. Pak Syarif memanggil 3 OB yang bekerja pada pagi itu. Ketiganya ikut berbincang dengan kami di taman belakang, namun hanya satu orang yang saat itu berjaga di depan.
Diapun menjelaskan, saat Pak Syarif mengambil minuman dia ada di teras depan bersama Iwan. Mereka berbincang tentang pertandingan bola yang terjadi malam sebelumnya. Lalu gelas berisi air hangat datang dan Iwan pun pamit dari sana. Tidak ada hal yang aneh waktu itu. Semua berjalan seperti biasa.
“Tapi ada OB dari gedung 7. Rohmat, dia berpapasan dengan Iwan di depan jalan itu. Mungkin dia melihat sesuatu yang gak kami lihat di sini.”
Dari satu petunjuk ke petunjuk yang lain.
Tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung ke gedung 7 mencari OB itu.
Syukurnya dia belum pulang dan kamipun berbicara.
“Iya, saya memang berpapasan dengan Iwan di depan gedung Penelitian Gas,” ujarnya.
Lalu disinilah kunci kotak pandora-nya. “Pertanyaan saya, sebelum ke gedung PG kamu melewati Auditorium kan?”
Dia mengangguk. “Iya,”
“Pertanyaannya apa ada orang yang masuk ke sana di saat Iwan keluar?”
Matanya membulat. “Iya, ada.”
Aku pun menunjukkan sebuah foto di handphoneku. “Apakah dia?”
Mata si pemuda seolah ingin keluar. “Iya, iya, benar dia.”
“Kamu yakin?” tegasku.
“Iya saya yakin itu memang dia. Saya ingat betul pakaiannya itu,” balas Rahmat seterang-terangnya.
Aku tersenyum.
Akhirnya setelah nyaris sebulan berada di sini. Semua kepingan menjadi utuh.
. . .
Tentu untuk memastikan sebuah kebenaran kamu harus melihat dari banyak sisi.
Keesokan paginya aku pergi ke gedung itu.
Bertanya pada beberapa orang yang berada di sana dan memastikan bahwa dia tidak berada di gedung tersebut di pagi sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal. Tepat saja, mereka berkata bahwa itu benar. Dan lebih beruntung lagi di lobi gedung itu terdapat kamera CCTV yang membuat kami bisa memastikan kebenarannya.
Siangnya, bersama dengan Pak Joko dan Pak Ramdan aku mengumpulkan semua saksi-saksi penting ini di ruang kantor Auditorium. Pak Ramdan pun menjelaskan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Beberapa hadirin tampak terkejut namun yang lain diam karena sudah tahu ceritanya.
“Ada kemungkinan dia diracun,” ujar Pak Ramdan. “Racun tersebut dimasukkan ke gelas minuman yang biasa dia minum setiap pagi.”
“Nggak mungkin,” ujar Iwan. “Bang Faruq memang orang berengsek, tapi saya gak pernah ada niatan untuk bertindak jahat padanya.”
“Saya nggak bicara tentang kamu Iwan. Saya hanya bicara metode dan yang memberi racun belum tentu kamu. Melainkan ada orang lain di sini.”
“Di sini,” para hadirin bingung dan saling menatap satu persatu.
Akupun ikut bicara. “Iya, pelakunya ada di sini. Kamipun sudah melaporkannya pada polisi. Saat ini mereka sedang membongkar makamnya dan sore nanti akan dilakukan otopsi pada jasad Bang Faruq untuk memastikan racun jenis apa yang membunuhnya.”
“Anda tidak bisa melakukan itu,” teriak Riani putri tertuanya. “Anda harus meminta izin keluarga dahulu.”
Pak Ramdan mendekatinya. “Iya, kami sudah bicara pada seluruh keluarga kecuali kamu.”
Riani membelalak kemudian berteriak. “Apa-apaan ini!”
“Baiknya kamu jujur,” ucapku tanpa memandangnya.
“Kalian menunduh saya yang membunuh Ayah saya sendiri,” ujarnya penuh kemarahan. Diapun berjalan kesal menuju pintu keluar, namun Pak Joko menutupnya. “Kalian semua gila, gak mungkin saya membunuh Ayah sendiri. Apa buktinya kalian menuduh saya?”
“Sialnya, memang tidak ada kamera CCTV di Auditorium ini,” ucapku. “Namun di gedung seberang di lobi kanan Gedung Administrasi, di sana ada kamera CCTV. Dan gambar kamu tertangkap di situh tepat di pukul 8:30 pagi yaitu satu jam sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal.”
“Itu belum masuk jam kantor, wajar jika aku atau karyawan lain keluar masuk lobi.”
“Tidak itu sangat tidak wajar untuk anda sendiri. Itu melawan kebiasaan anda yang jika sudah masuk kantor dan naik ke lantai 5 tidak akan turun darisana kecuali sudah waktu jam makan siang. Dan rekaman itupun memperlihatkan anomali anda.”
“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti, saya keluar pagi itu ke gedung arsip di sektor 2.”
“Memang benar anda pergi ke sektor 2 tapi itu hanya untuk berputar kemudian menuju ke Auditorium. Dan kami punya saksinya, Rohmat OB dari gedung 7 saat dia sedang berjalan menuju gedung Penelitian Gas, dia melihat anda masuk ke ruang kantor Auditorium.”
“Itu masih pagi, wajar jika Ayah saya menelpon untuk bertemu dan saya datang menemuninya di Auditorium.”
“Dalam kondisi dan situasi yang lain tentu saja itu sangat wajar,” ucapku sambil berjalan mendekatinya. “Namun pagi itu anda tahu bahwa Bang Faruq belum ada di sana. Jadi bagaimana mungkin dia menelpon anda,” tunjukku ke handphone. “Yang pasti tidak ada panggilan dari Faruq pagi itu. Anda tahu bahwa Auditorium kosong karena Iwan pun sedang mengambil segelas air untuk ditaruh di meja Bang Faruq. Dan disinilah anda menjalankan rencana jahat anda.”
Dia membelalak lalu berteriak dengan sangat marah. “Ini GILA!!”
“Anda bersembunyi di lantai 2 Auditorium,” tunjukku ke atas ruang kantor. “Darisana anda bisa melihat Bang Iwan masuk membawa segelas air putih hangat. Anda menunggu sambil terus mengawasi, ketika Iwan sudah pergi ke lorong kiri bangunan. Anda turun dan membubuhkan racun diminuman milik Ayah anda sendiri. Saya yakin tadinya anda pikir dosis itu tidak cukup berbahaya setidaknya hanya akan mengirim dia ke rumah sakit. Namun diluar dugaan dia benar-benar meninggal di sini.”
Kali ini matanya berkaca-kaca. “Tidak ada saksi untuk hal itu.”
“Kamu salah,” jariku naik ke atas memberi kode dan mereka pun turun. Para polisi beserta seorang gadis yaitu Mala –rekan kerja Riani di lantai 5. Dan tentu Riani sangat tersentak.
“Kamu bilang pagi itu kamu turun untuk ke toilet bawah,” ucap Mala. “Kenapa kamu berbohong? Lalu kamu turun ke lobi keluar dari gedung dan pergi ke Auditorium. Kenapa? Apa yang sebenarnya kamu lakukan pagi itu?”
“Itu bukan apa-apa,” kembali Riani berteriak.
“Pagi itu, setelah dari lantai bawah, wajah kamu terlihat sangat sedih. Lalu kamu bilang ada masalah pribadi tentang pacar yang tidak ingin kamu bicarakan.”
Riani histeris. “Sudah hentikan!”
“Pagi itu diluar kebiasaan kamu, setelah kembali dari bawah kamu bekerja di meja yang tepat menghadap jendela kaca besar. Kamu terus melihat ke arah Auditorium sambil mencemaskan sesuatu.”
“Aku mohon sudah hentikan.”
“Sejak awal aku tahu kalau kamu berbohong. Bahwa kamu tidak pernah suka dengan Ayah kamu sendiri,” lanjut Mala.
Dia pun mengangkat kepalanya. “Iya, kamu benar. Aku tidak pernah suka dengan si Bangsat itu. Dia adalah orang munafik bermuka dua. Orang yang selalu berpura-pura baik didepan masyarakat namun jahat dibelakangnya. Di dalam rumah dia mendidik kami menjadi orang yang sama munafiknya seperti dia.”
“Kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor,” ucapku. “Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah.”
Riani melirikku dalam lalu melempar muka ke yang lain. “Dia benar-benar keparat dan kalian semua cuma bisa tunduk padanya.”
“Kamu ingin melanjutkan kata-kata itu, bahwa para OB tidak berpendidikan dan mereka seperti…”
“Budak yang hanya bisa menjilat kaki majikannya,” Riani mengejutkan semua. “Kenapa kalian tidak melawan, kenapa kalian tidak protes atau melaporkannya ke HRD atau pihak berwenang siapapun di sini.”
“Karena kami tidak berdaya Nona,” ucap Bang Iwan. “Karena kami gak punya pilihan lain, kami tidak tahu dimana lagi kami bisa bekerja selain di sini.”
Pak Ramdan pun ikut bicara. “Iya, kebanyakan kami yang ada di sini tidak memiliki pilihan. Namun sekarang dia sudah tidak ada lagi, semua berkat kamu.”
Riani menatap lama Pak Tua itu. Sebelum kemudian menyerahkan kedua tangannya kepada polisi.
. . .
Riani tidak pernah berniat untuk membunuh Ayahnya sendiri. Dia hanya ingin mengirim Faruq masuk ke rumah sakit. Dan menghentikan kegilaan dari kampanye organisasi pemudanya.
Tapi dibalik itu motif utamanya adalah kemarahan Riani. Suatu ketika dia mendapati kabar bahwa laki-laki yang disukai dihajar orang dalam perjalanan pulang. Belakangan diketahui pelaku pengeroyokan tersebut adalah orang-orang dari Organisasi yang diketuai oleh Ayahnya sendiri. Riani menyimpan dendam, hingga dia menemukan waktu dan kondisi yang tepat yaitu tanggal 5 kemarin untuk melakukan eksekusi.
Riani menggunakan setengah dari dosis mematikan. Namun yang tidak dia ketahui adalah, Ayahnya pada malam sebelum itu minum arak Korea yang keras. Lambung dan ususnya sudah mengalami peradangan parah. Ditambah lagi dengan racun yang dia minum pagi itu. Menciptakan reaksi yang sangat mematikan.
Setelah meneguk air itu, Faruq tahu ada sesuatu yang tidak beres pada minumannya. Dia pun berjalan menuju ke gedung Penelitian Gas untuk bicara pada Pak Syarif mengenai rasa aneh dari air yang diminumnya. Namun belum sempat sampai ke sana. Dia sudah merasa sangat sakit dan jatuh di jalan setapak itu. Tak lama maut pun menjemputnya di sana.
Sore setelah Riani ditangkap, polisi melakukan otopsi terhadap jasad Faruq Rohman. Lalu 3 hari kemudian laporannya keluar dan benar bahwa ketua organisasi pemuda itu meninggal karena racun ditubuhnya yaitu racun sianida.
“Kamu sangat hebat Fin, kemarin,” ujar Pak Joko orang yang membawaku dari Jakarta Timur ke tempat ini.
“Alhamdulillah Pak,”
“Jujur saat pertama kali membawa kamu, saya tidak yakin penyelidikan ini akan terpecahkan. Saya cuma ingin mencoba saja.”
“Iya, syukurnya kita berhasil Pak!”
“Kamu tahu sebenarnya ada rasa sesal di dada saya atas penangkapan Riani.”
“Sesal kenapa Pak?”
“Sesal, karena saya sudah menganggap Riani sebagai anak sendiri,” diampun terdiam sejenak. “Saya takut jika kejadian Bang Faruq itu terjadi pada saya. Saya juga punya anak perempuan dan saya tidak tahu seperti apa masa depannya nanti.”
Aku hanya menarik napas dan mendengarkan.
“Kamu percaya dengan karma Fin?”
“Tidak terlalu Pak,” ucapku sambil memandangi lantai 5 gedung Administrasi. “Tapi saya percaya jika kita berbuat baik maka kita akan mendapat balasan yang baik nantinya.”
“Iya kamu benar Fin,” ucapnya.
Tak lama Pak Jokopun beranjak dari duduknya. Meninggalkanku sendirian di sini menikmati dingin malam di depan teras Auditorium.
Seminggu kemudian tempat ini mengalami banyak perubahan.
Pak Ramdan berinisiatif memasang kamera CCTV di sudut-sudut penting Auditorium. Berjaga-jaga jikalau terjadi insiden-insiden kriminal seperti yang dilakukan Riani. Lalu aku sendiri, mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Pak Ramdan yaitu izin tinggal gratis di sana untuk jangka waktu yang sangat panjang. Aku boleh menggunakan lantai 2 sebagai tempat tinggalku dan boleh memakai kantor Auditorium untuk melayani klien-klien jasa penyelidikanku, jikalau ada yang datang katanya. Hahaha… Luar biasa, padahal ini baru kasus ketiga yang kupecahkan. []
. . .
Ilustrasi: Archdaily.Com