Sunday, October 26, 2014
Kamus Umum Detektif
Kamus Umum Detektif
By Ftrohx
Di bawah ini adalah istilah-istilah yang sering muncul ketika anda membaca novel detektif.
- Alibi: dalam bahasa latin alibi berarti 'berada di tempat lain'. Namun dalam praktek hukum dan kriminal, alibi adalah pembela atau pembuktian bahwa seseorang tidak bersalah. Berbeda dari bentuk pembelaan hokum lain, alibi dibuat berdasarkan premis bahwa seseorang benar-benar tidak bersalah / truly presumption of innocent.
- Deduksi: kata ini mulai menjadi populer dari serial Sherlock Holmes karya Arthur C. Doyle. Secara terminologi, deduksi adalah logika penalaran, dimana menggunakan data untuk membangun teori atau kesimpulan.
Contoh:
P1: Semua manusia adalah makhluk yang rapuh
P2: Saya terlahir sebagai manusia
K: Maka saya terlahir sebagai makhluk yang rapuh
Tapi ada catatan tersendiri di sini, bahwa 'Deduksi' versi Holmes berbeda dengan Deduksi dalam Matematik Diskrit. Deduksi Holmes sebenarnya abduktif yaitu menggabungkan antara penalaran deduksi dengan induksi sekaligus.
- Hipotesa: kata ini banyak muncul dan menjadi populer dalam serial Detektif Conan karya Gosho Aoyama. Ini menjadi ciri khas dari Conan Edogawa saat memecahkan kasus. Kata hipotesa sendiri sebenarnya berasal dari hipotesis yaitu pernyataan/serangkaian pernyataan yang menjelaskan suatu fenomena. Secara harfiah, hipotesa sama dengan kata teori. Tapi bedanya 'teori' tercipta setelah rangkaian analisa, sedangkan hipotesa sebelum analisa atau pre-research.
- Postmortem: adalah bahasa forensik, yang berarti pasca kematian. Kata postmortem biasanya digunakan untuk pemeriksa jasad pasca kematian atau postmortem examination.
- Adipocere: adalah istilah forensik untuk tahap pembusukan mayat, dimana jasad telah berubah menjadi seperti lilin ataupun sabun. Jasad yang mengalami adipocere sangat jarang ditemukan, karena membutuhkan lingkungan yang dingin dan lembab serta proses pembusukan yang lama, biasa antara 3 - 6 bulan. Seluruh jaringan tubuh telah berubah menjadi seperti lilin karena aktifitas bakteri yang berlangsung lambat dan sangat lama, biasanya jasad yang mengalami adipocere memiliki bau menyengat seperti keju busuk.
- Locked Room: Secara bahasa adalah ruangan tertutup, sedangkan secara istilah detektif adalah genre dimana kasus kriminal ataupun misteri yang melibatkan pembunuhan dalam ruang terkunci.
Biasanya korban ditemukan tewas dalam sebuah ruangan yang terkunci dari dalam, tak ada orang yang masuk ke dalam ruangan tersebut selain korban, namun setelah diperiksa jasadnya petugas menemukan bahwa dia dibunuh oleh orang lain atau pelaku yang seolah menghilang seperti asap.
- Rigor Mortis: adalah tahap dari postmortem, di mana jasad seseorang telah menjadi kaku. Biasanya terjadi setelah 12 jam dari kematian. Dalam bahasa forensik Indonesia, rigor mortis sering disebut juga dengan Kaku Mayat.
- Anagram: adalah pengacakan huruf dari suatu kalimat hingga membentuk huruf baru. Contoh Paul Sernine adalah anagram dari Arsene Lupin.
- Modus: adalah istilah statistik untuk data yang paling sering muncul. Sedangkan dalam dunia detektif; modus adalah tindakan atau cara kerja pelaku kejahatan. Modus sendiri dibagi dua menurut saya, modus dalam arti luas dan secara khusus.
Dalam arti luas, seperti sering kita dengar diberita kriminal televisi, “modus baru pencurian kendaraan bermotor” atau “modus baru pelaku penjabretan.” Cara kerja atau metode dalam melakukan tindak kejahatan disebut dengan modus, meski tindakan/metode itu baru pertama kali terjadi atau hanya sekali terjadi, tapi tetap mereka sebut dengan modus.
Sedangkan modus secara khusus yaitu M.O. atau modus operandi. Disini kata modus ditujukan untuk cara kerja pelaku kejahatan secara personal. Misalnya Penjahat X setelah menghabisi korbannya selalu memotong telinga korban atau pelaku menaruh bunga mawar dijasad korban, dan sebagainya.
- Enkripsi: adalah proses penyadian plain text (kata atau kalimat normal) menjadi bentuk cipher text (kata dalam bentuk abstrak) yang tak dapat dibaca kecuali jika sudah disandikan kembali. Karena dunia detektif tidak jauh dari pertukaran informasi, enkripsi dan kritografi menjadi ilmu yang sangat penting untuk menjaga keamanannya. Ilmu ini menjadi popular dalam dunia detektif sejak Sherlock Holmes menangani kasus the Dancing Men.
- FDR: atau Firearms Discharge Residue atau Gun Shot Residue adalah residu (asap ataupun debu mikro) dari selosong peluru yang dimuntahkan oleh pistol saat menembak. FDR bisa menjadi indikasi penting untuk mengetahui jenis senjata atau peluru apa yang dipakai pelaku penembakan. Biasanya FDR terdiri dari timah, karbon, barium, antimoni, sulfur, dan nitro.
- Signature: adalah tanda tangan dari sang pelaku kejahatan. Dia membuat sesuatu yang unik pada aksinya, membuat tanda yang tidak miliki oleh penjahat lain selain dirinya. Beda dengan modus yang merupakan cara kerja dengan pengulangan. Signature lebih personal lagi, signature biasanya dilakukan oleh penjahat psiko yang ingin agar dirinya ditangkap, layaknya surat tantangan bagi detektif namun yang lebih tersembunyi. Contoh di film Bone Collector di tubuh tiap korban terdapat planted evidence berupa potongan tulang yang dibentuk seperti pecahan jigsaw.
- Circumstantial Evidence: atau pembuktian secara circumstantial adalah metode pembuktian yang berdasarkan inference atau serangkaian kejadian untuk menciptakan konklusi atas fakta.
Misalkan seorang saksi melihat pelaku menusukan pisau ke perut korban hingga tewas maka kesaksian itu disebut bukti langsung, sedangkan bukti circumstantial sebaliknya saksi tidak melihat secara langsung kejadian namun saksi melihat tersangka masuk ke dalam rumah, dia mendengar jeritan korban, dan kemudian melihat tersangka keluar dengan berlumuran darah. Pernyataan-pernyataan ini bisa disebut bukti circumstantial karena membentuk serangkaian fakta.
- Spree Killer: istilah ini diciptakan oleh John Douglas mantan agen FBI dan pakar behaviorist yang menulis buku Anatomy of Motive. Jika serial killer membunuh dengan masa jeda atau rehat, mulai dari sehari sampai seminggu atau bahkan sebulan sebelum melakukan aksinya kembali. Maka Spree Killer mereka melakukan aksinya tanpa jeda rehat, tidak seperti serial killer mereka bisa membunuh lebih dari tiga orang di tempat berbeda dalam satu hari.
- Police Procedural: merupakan subgenre dari fiksi detektif.
Berbeda dengan detektif klasik yang bermain dengan deduksi sederhana atau kreatifitas imajinasi. PP menggunakan prosedur standar dari penyelidikan kepolisian, seperti ilmu forensik, autopsi, pengumpulan barang bukti, sampai dengan interogasi. Semua disesuaikan dengan text book yang berlaku.
Penyelidikan ala police procedural tidak bisa ujug-ujug langsung ke hasil ‘siapa pelaku pembunuhan’ atau ‘siapa penjahat’. Mereka lebih menekankan proses daripada hasil, contohnya seperti di serial CSI: Las Vegas.
- Red Herring: atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan 'Herring Merah' adalah bagian dari plot twist dalam cerita detektif ataupun film. Di mana penulis mengarahkan sang protagonis dan (terutama) para pembaca terhadap karakter antagonis yang salah. Atau dengan kata lain, tugas Red Herring adalah untuk jauh menarik perhatian pembaca dari penjahat yang sebenarnya.
Misalkan si X muncul sebagai antagonis, dan semua kecurigaan mengarah kepada si X, ternyata di klimaks novel si X bukanlah penjahat sebenarnya, ada orang lain yaitu si Y. yang menjadi dalangnya.
Contoh yang paling terkenal untuk Red Herring adalah karakter Uskup Aringarosa dalam novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Semua petunjuk di awal novel mengarahkan pembaca bahwa Aringasora-lah dalang dari konspirasi perburuan Holy Grail yang memakan banyak korban. Ternyata dibalik itu ada penjahat sebenarnya, yang selama ini justru sangat dekat dengan sang protagonis.
- Culprit: pelaku tindak kejahatan. Kata ini tentu saja anda sering dengar ketika membaca novel detektif. Culprit biasanya mengacu pada terduga pelaku kejahatan.
"Siapakah pelakunya?" atau "Siapa dalangnya?" tapi kadang diganti dengan kalimat "Siapa Culprit-nya?"
- Stalking: membuntuti dan mengobservasi seseorang secara persisten, kadang dimotivasi oleh obsesi personal. Kata 'stalking' sendiri mencerminkan tindakan negatif, karena pelaku cenderung mengintimidasi dan terlalu mencolok hingga selalu membuat target menjadi tidak nyaman.
- Surveillance: pengawasan dan mengobservasi seseorang atau kelompok atau sesuatu secara intens. Berbeda dengan stalking, surveillance dilakukan dengan motif yang non-personal atau legitimate, seperti penyelidikan latar belakang seseorang ataupun pencarian barang bukti. Dan yang paling membedakan dengan stalking, survellance dilakukan dengan halus dan tersembunyi tanpa membuat target gelisah apalagi terintimidasi.
- Polygraph: peralatan yang mengukur detak jantung, kestabilan pernafasan, dan respon galvanic pada kulit. Kombinasi dari ketiga reaksi tersebut digunakan dalam mendeteksi apakah seseorang mengalami stress secara psikologis yang merupakan tanda-tanda akan kebohongan. Walaupun sebenarnya polygraph tidak terlalu akurat dalam mengukur kebohongan seseorang, tapi karena begitu populer kata polygraph belakangan menjadi sinonim bagi 'lie detector' atau cara-cara mendeteksi kebohongan lainnya.
- Steganography: proses menyembunyikan data rahasia ke dalam informasi publik atau data yang tak terproteksi. Berbeda dengan enkripsi yang selalu berbentuk tulisan abstrak, steganograph justru bisa terlihat dan terbaca oleh publik, hanya saja apa yang dibaca belum tentu bisa dipahami atau dimengerti orang sebagai sesuatu yang penting.
Contoh yang paling terkenal untuk steganograph adalah kasus Purloined Letter karya Edgar Allan Poe. Di mana Auguste Dupin menerima tantangan untuk menemukan surat rahasia milik pemerintah Prancis yang disembunyikan oleh Minister D-. Saat semua tempat sudut kamar Minister D- telah diperiksa, para polisi tidak menemukan apapun. Justru Dupin lah yang menemukan surat itu, tersembunyi di antara tulisan puisi di kamar Sang Minister.
- Visum et repertum disingkat VeR adalah keterangan tertulis yang dibuat oleh dokter dalam ilmu kedokteran forensik atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medik terhadap manusia, baik hidup atau mati ataupun bagian atau diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah sumpah, untuk kepentingan pro yustisia.
- Otopsi: atau dikenal dengan pemeriksaan post-mortem adalah prosedur pembedahan khusus untuk memeriksa penyebab kematian dari suatu jasad, apakah itu karena penyakit atau luka fisik, dan sebagainya.
Biasanya Otopsi dilakukan oleh dokter bedah khusus yang disebut ahli pathologis.
Beda dengan Visum atau VeR adalah hasil pemeriksaan medis baik itu orang hidup atau mayat, sedangkan otopsi adalah prosesnya pemeriksa medis yang dilakukan terhadap jasad.
- Tanda-tanda Intravital: Tanda-tanda atau luka pada tubuh korban di mana (biasanya digunakan penyelidik atau petugas forensik) untuk menentukan apakah luka korban terjadi sebelum atau setelah kematian.
- Locard Exchange Principle: Teori yang dikembangkan oleh ahli forensik Prancis yaitu Edmond Locard, bahwa selalu terjadi perpindahan materi (bukti fisik yang terlihat maupun bukti mikro) dari pelaku kejahatan kepada korbannya, atau sebaliknya korban meninggalkan jejak dirinya pada si pelaku kejahatan.
- Plaintiff: adalah orang yang membawa atau mengajukan perkara ke kejaksaan ataupun pengadilan, atau sinonim dengan kata penggugat dalam bahasa Indonesia. Jujur saya pernah keliru dengan kata ini. Yang pasti plaintiff berbeda dengan plainthief.
. . .
Wednesday, October 22, 2014
Social Network (2011)
Social Network (2011)
Review by Ftrohx
Anda berada di sebuah pub, bersama seorang wanita cantik.
Dia sangat-sangat cantik, dan anda tidak ingin kehilangan moment tersebut. Anda berusaha untuk terlihat keren, anda pamer pengetahuan-pengetahuan terbaik yang anda miliki, berusaha untuk mempesona dirinya. Tapi dia tidak memahami anda, dia tidak pernah terpesona oleh kata-kata anda. Kemudian anda menjadi sangat emosional, tanpa sadar anda menyinggung satu hal tentang temannya. Keadaan semakin buruk, dia memaki anda sebagai seorang KEPARAT, lalu pergi begitu saja.
Anda frustasi, anda sangat marah, anda ingin meledak.
Anda ingin menghancurkan segala kemudian membangun segalanya dari reruntuhan tersebut.
Itulah yang terjadi pada Mark saat putus dari pacarnya Erica Albright, di sebuah Pub dalam opening film Social Network.
Gambar terus mengikuti Mark, dia berjalan cepat ke asrama-nya Kirkland, Harvard.
Masuk kamar, menulis sebuah curhatan di blog, memaki mantan pacarnya, dan membalas dendam. Seperti kata Putra Perdana "Kemarahan kadang bisa menjadi energi bagi kreatifitas," itupula lah yang dilakukan Mark. DIa menyalurkan kemarahannya pada blog dan kemampuan web programming-nya. Sambil mabuk dengan minum minuman beralkohol dia mengetik banyak kode HTML dan SQL server sekaligus menulis blog yang membantai mantannya.
Membuka desktop tampilan layar yang pertama dia lihat adalah The Kirkland Facebook, situs dari asrama tempat Mark tinggal.
Ide dari facebook sebenarnya simple, buku wajah atau dalam bahasa Indonesia terutama anak muda Jakarta di tahun 2004 KITA MENGENALNYA dengan BUKU TAHUNAN. Mau anak SMP atau SMA, nyaris 99% sekolah di Jakarta punya buku tahunan. Buku tentang data-data, profile, apa yang menarik dan apa yang tidak menarik dari para siswa. Terutama foto profile.
Tapi di sana di Harvard, mereka membuat buku database siswa antar asrama dalam bentuk website sederhana yang bisa di akses secara online.
"Hacking dimulai, rencananya simple seperti animal farm," kata Mark. Bicara apa itu animal farm, saya tidak akan menjelaskannya di sini. Anda bisa membacanya di blog Eka Kurniawan atau Bernard Batubara. Olson, temannya yang mengelola situs Kirkland's Facebook, menjelaskan bahwa mereka membuat tampilan anak-anak Kirkland's "tentang siapa yang Hot dan siapa yang tidak Hot?" Atau kalau di Buku Tahunan SMA 90 kami menulis dengan siswa terkeren, siswa terpopuler, siswa terjaim, siswa terfavorit.siswa terfriendly, dan ter-ter-ter lainnya.
Mark suka ide itu, menginspirasinya membuat website games yang membandingkan antar wajah para mahasiswi di Harvard. Games online untuk memilih siapa yang lebih 'hot' dan siapa yang tidak 'hot'.
Dia menyebut situs ini dengan FACEMASH.
Tentu saja untuk membuat Facemash tidaklah mudah karena membutuhkan foto-foto cewek S1 Harvard, masalah tidak ada database yang mencangkup semua foto itu sekaligus, jadi Mark harus mendownload-nya secara manual dari tiap asrama, syukurnya hampir setiap asrama di Harvard punya Buku Wajah dalam bentuk website yang online di internet.
Oh maaf, kita langsung masuk kasus.
Saya belum menjelaskan kenapa saya bisa menonton film ini.
Jujur, saya biasanya tidak suka buku ataupun film autobiografi, selalu membosankan, selalu linier, selalu mudah ditebak, dan kebanyakan alih-alih motivasi juga mereka terlalu banyak drama picisan.
Namun untuk The Social Network, saya salah. Premis seperti itu tidak ada dalam kamus mereka.
Secara alur, film ini mixed timeline, berselang-seling antara plot yang terjadi saat facebook dibuat dan setelahnya. Menggabungkan flashback Mark dengan meja sengketa para pengacara.
Memang agak rumit untuk dibaca, terutama bagi orang awam Indonesia yang terbiasa dengan plot linier.
Sebenarnya keseluruhan cerita adalah pertemuan Mark dan pengacara dengan Eduardo Saverin serta pengacarnya. Juga Winklevoss bersaudara dan Divya Narendra yang menuduh Mark bahwa facebook meniru website Harvard Connection yang mereka buat.
Sebelum ini, saya pernah nonton film tentang Harvard juga yaitu Black Jack 21. Tentang para mahasiswa Harvard dan MIT yang jago matematik, direkrut oleh dosennya untuk jadi mesin pengeruk uang dari permainan kartu di Las Vegas. Film yang luar biasa, tapi masih kalah dibanding Social Network dalam masalah cinematography dan visualnya.
Jujur, saya agak terkejut dengan biopiknya Mark Zuckerberg ini, karena mereka jauh menyentuh Harvard daripada Black Jack 21. Salut saya untuk sutradara dan tim-nya, mereka berhasil menyorot kampus itu dari sudut-sudut yang sangat tepat, seolah membawa penonton melihat dari matanya, seolah membuat kita berada di Harvard.
to be continued...
Tuesday, October 21, 2014
Lompatan Quantum
Lompatan Quantum
By Ftrohx
"Apa yang anda lakukan jika anda punya kemampuan untuk menulis 20ribu kata per-hari? 20ribu kata dalam bentuk cerita?"
Luarbiasa, sayangnya saya tidak punya kekuatan itu.
Dengan segala keterbatasan saya, dipaksa dengan sekeras apapun, saya hanya mampu menulis 2ribu kata per hari.
Tapi, saya punya teman dengan kemampuan seperti itu. Seorang cewek yang dalam sehari bisa menulis sampai 20ribu kata, 60 - 100 halaman cuma sekali duduk di depan laptop. Dan ini beneran fakta.
Sebenarnya, sejak dulu sudah jadi standar bahwa penulis hebat haruslah bisa menulis banyak (ribuan kata) dengan konsistensi setiap hari.
Beberapa penulis legendaris dunia juga punya kemampuan seperti itu, sebut saja Agatha Christie karena kemampuan menulis banyaknya itu dia menerbitkan lebih dari 70 novel detektif dalam karier kepenulisannya. Begitupula dengan Doestoyevsky, penulis level dewa ini menulis serial novel Brother Karamazov sampai 900ribu kata, dan novel-novel lainnya yang mencapai 200ribuan kata.
Saya menulis catatan ini karena saya sendiri sempat putusasa dengan kemampuan dan kapasitas kepenulisan saya yang pas-pasan. Dengan begitu banyak tuntutan saya justru tidak jalan kemana-mana.
Namun belakangan, saya keluar dari rumah dan melihat dunia dari sudut pandang yang lain. Saya melihat orang-orang yang bahkan tidak pernah menulis cerita di blog tapi kehidupan mereka sukses melalui internet. Dan saya belajar dari sana, bahwa menulis bukan hanya jumlah kata. Menulis adalah menyampaikan ide, dan kadang ide yang sederhana bisa disampaikan secara sederhana tanpa memaksakan diri menulis banyak kata.
Sebenarnya ini tentang pengalaman teman saya sendiri si Ade Josh, teman saya yang rada psiko itu. Hahahaha... Dulu saya dan dia sempat kepikiran membangun usaha bersama, ide yang sederhana bagaimana membangun usaha melalui internet. Melihat orang-orang yang bekerja di internet, kebanyakan adalah broker atau makelar, yang menjual barang orang lain secara online di kaskus, berniaga.com, ataupun tokobagus.com
Tapi kami tidak punya link untuk berjualan, kami tidak tahu barang apa yang bisa kami jual. Lalu dengan meriset di Google dan jalan-jalan keliling Petukangan Selatan, tiba-tiba dibenak Josh terpikir untuk membuat jasa mengcopy CD alias burning.
Dia berpikir bagaimana jika hanya bermodalkan sebuah PC atau Laptop kita membuka jasa itu. Beberapa warnet di sekitar Petukangan atau dekat SMA 90 juga membuka jasa itu. Tapi Josh punya ide mendobrak, bagaimana jika kita membuka jasa burning untuk puluhan dan ratusan CD.
Awalnya saya tidak yakin ide ini akan berhasil, apalagi hanya dengan satu PC dan satu laptop. Kami menghabiskan berhari-hari hanya untuk memenuhi pesanan 100 CD. Namun, belakangan si Josh membeli mesin burning yang membuatnya bisa memburning lebih banyak CD sekaligus. Dan saat ini usaha yang dia lakukan bertahan selama hampir 5 tahun. Dia sendiri baru menikah tanggal 20 kemarin. Layaknya lompatan quantum, dia melakukan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, saya sangat salut dengan Josh, hanya dengan sebuah ide sederhana namun berhasil membuat dirinya sukses.
Bukan hanya Josh, saya juga melihat orang-orang lain yang menjadi enterprenuer di internet, saya mengagumi byotenega dia foundernya nulisbuku.com Di saat begitu banyak orang yang ingin menjadi penulis, disaat begitu banyak naskah bagus yang ditolak penerbit major, Tenega melihat potensi itu sebagai bisnis yang bagus. Bukan sekedar bisnis tapi aksi solidaritasnya sebagai sesama penulis fiksi. Contoh lain yang ajaib adalah malesbanget.com dengan foundernya Christian Sugiono. Idenya simple, judulnya juga aneh. Saya nggak pernah tahu portal ini bisa cukup sukses setara dengan kapanlagi.com
Selain membuat website, lompatan quantum lain bagi anak-anakmuda digital ini adalah social media, terutama twitter. Seperti yang anda tahu, anak muda zaman sekarang (terutama Indonesia) makin males baca tulisan panjang. Mereka lebih memilih sesuatu yang singkat seperti sms.
Saya melihat lebih banyak anakmuda zaman sekarang yang sukses di twitter daripada dengan blogger. Baik itu yang memang benar-benar murni penulis kreatif ataupun dari jebolan acara stand up comedy. Ide-ide sederhana, tweet sederhana namun konsisten mulai dari motivasi-motivasi sampai dengan lelucon galau-galauan lalu anak-anak muda ini mendapat ribuan follower, dan BOOM anda jadi selebritis.
Jalan pintas lain, yang paling populer setelah twitter pastinya youtube. Nggak ada orang yang nggak kenal youtube sekarang. Bahkan ide paling bodohpun bisa jadi sesuatu yang populer di sana. Alamat palsu, sakitnya di sini, chai chai chai, semua bullshit itu bisa membuat orang jadi terkenal.
Konklusi: pelajaran penting yang saya dapat dari mereka adalah fokus, konsistensi, dan melakukan hal-hal sederhana namun tidak terpikirkan oleh lain. Tidak perlu meniru ataupun memaksakan diri. Cukup sebuah ide sederhana, sebuah gagasan yang bagus lalu kamu sampaikan secara konsisten.
Iya, pemuda yang hanya sanggup nulis 200kata perhari saja bisa beli rumah, apalagi yang bisa nulis 20ribu kata perhari? Harusnya bisa beli ratusan rumah.
. . .
Sunday, October 19, 2014
Dracula Untold (2014)
Review by Ftrohx
"Dracula, indeed, who inspired that other of his race who in a later age again and again brought his forces over the great river into Turkeyland, who, when he was beaten back, came again, and again, though he had to come alone from the bloody field where his troops were being slaughtered, since he knew that he alone could ultimately triumph! They said that he thought only of himself." - Bram Stoker, 1897
Faktanya, jauh sebelum kisah Dracula ditulis, sudah banyak cerita dan legenda vampir yang beredar di benua Eropa. Contoh yang terkenal adalah Carmilla dari Sheridan LaFenu, dan Varney the Vampire.
Sama seperti Holmes, dia juga bukan yang pertama dalam sejarah, namun dialah yang pertama melakukan pendobrakan budaya.
Sebelum Dracula, kisah para vampir biasanya hanya meneror satu tempat (hanya pada satu hutan atau satu gunung atau satu kota saja), atau hanya meneror satu dua orang saja. Namun, Dracula muncul dengan ide yang lebih besar lagi, terornya tidak hanya pada satu wilayah atau satu dua orang saja, melainkan global.
Ketika Sang Pangeran sudah menetapkan sasaran, kemanapun diujung dunia dia pergi, dia akan ditemukan. Sekencang apapun manusia itu berlari, sejauh apapun jarak yang dia tempuh, dia sudah mati ketika Dracula menatap matanya.
Sama seperti Holmes di Study in Scarlet, bab awal Dracula dimulai dengan sesuatu yang EPIC. Kisah pertempuran-pertempuran bersejarah bangsa Wallach, Transylvania yang bertarung dengan Kesultanan Turki Ustmani, yang pada abad itu adalah negara terkuat di Benua Asia maupun Eropa.
Pada dasar, novel Dracula adalah kisah cinta segitiga, antara Sang Pangeran dengan Mina Murray yang merupakan reinkarnasi dari mendiang istrinya. Yang sayangnya, Mina sudah memiliki kekasih yaitu Jonathan Harker. Mengutip kata Eka Kurniawan "Jika cinta hanya dihalangi oleh bapak yang galak, atau pesaing yang tanggung, atau status sosial yang menganga … ah, basi, banyak cara mengatasinya. Tapi berurusan dengan setan vampir? Ini masalah NOMOR SATU!"
Tapi film Dracula Untold ini belum sampai ke sana.
FIlm ini adalah awal bagaimana Dracula bisa memiliki kekuatan vampir, film ini juga menceritakan bagaimana Dracula bisa sampai kehilangan istrinya.
Berbeda dengan Dracula (1992) karya Francis Coppola dimana Dracula kehilangan istrinya, karena sang istri melompat bunuh diri mendengar kabar bahwa suaminya meninggal di medan perang. Di Dracula 2014, sang istri tidak bunuh diri, melainkan jatuh dari menara kastil, karena tempat mereka berlindung itu diserang oleh pasukan Turki.
Secara skenario, saya lebih suka Dracula 2014 ini. Lebih masuk akal bagaimana Sang Pangeran bisa mendapatkan kekuatan kegelapan (dari vampir sebelum dia), jika dibanding versi Gary Oldman di mana Dracula menjadi vampir karena mengutuk dirinya sendiri di Capel dengan minum darah dari salib yang ditusuk.
Cerita dimulai dengan mendeskripsikan sejarah Dracula, Pangeran Vlad merupakan ksatria yang pernah bekerja sebagai tentara untuk Turki Usmani. Seperti halnya Imperium Romawi di Gladiator ataupun Arthur, begitu besarnya kerajaan Turki saat itu sampai-sampai mereka merekrut bangsa lain sebagai pasukannya. Dan Pangeran Vlad adalah salah satunya, dia menjadi mesin pembunuh dibawah asuhan orang Turki, dia menjadi Vlad si penyula, pembantai yang meneror banyak musuh-musuh Turki.Memang cerita ini jauh dari fakta asli di sejarah, tapi cukup menarik bagaimana penulisnya membangun mitos itu.
Setelah bertahun-tahun berperang untuk Turki, akhirnya Pangeran Vlad diberi kebebasan untuk pulang ke kampung halamannya yaitu Transylvania. Dia kembali ke sana, menikah dengan wanita cantik, memiliki anak, memimpin kerajaan, dan membuat kedamaian bagi bangsanya. Semua baik-baik, hingga suatu sore dia menemukan helm mata-mata Turki berada di perbatasan negerinya.
Dengan menelusuri jejak dari helm tersebut, dia sampai ke sebuah Goa di puncak gunung yang angker. Awalnya dia menduga orang-orang Turki itu bersembunyi di sana, namun mereka menemukan hal lain. Sesuatu yang jauh lebih menyeramkan daripada orang-orang Turki. Monster yang memangsa manusia dari balik kegelapan.
Setelah berhasil meloloskan diri dari gunung, Pangeran Vlad kembali ke Kastilnya, termasuk meminta nasihat dari seorang pendeta tua. Si pendeta menjelaskan bahwa yang ditemui Vlad di gunung itu bukan beruang ataupun serigala, bukan pula manusia, melainkan suatu makhluk yang terkutuk, makhluk yang sangat tua yang ada dalam legenda Romawi kuno yaitu Vampir. Manusia yang telah bersekutu dengan setan, kemudian menjadi monster penghisap darah, makhluk terkutuk yang untuk selamanya tidak dapat keluar dari Gua, hingga ada orang lain yang menggantikannya. Mengetahui fakta-fakta menyeramkan ini, Vlad justru meminta si pendeta untuk merahasiakannya dari siapapun di Transylvania.
Hari berganti dan perayaan paskah pun diselenggarakan di istana Pangeran Vlad, semua orang bergembira di Hall utama, merayakan dengan makan-makan dan nyanyian. Namun, tamu tak diundangpun muncul yaitu uturan dari kerajaan Turki. Vlad memberikan berupa satu peti koin perak, tapi si utusan meminta lebih, bukan hanya perak melainkan seribu anak muda Transylvania untuk dilatih sebagai tentara Turki. Vlad pernah merasakan hidup sebagai tentara untuk Turki dan dia tidak mau pemuda-pemuda lain dibuat menjadi monster yang melalui ribuan siksaan seperti dirinya. Dengan berbagai protes dari rakyatnya, Vlad pun menolak permintaan utusan tersebut, dan mengajukan dirinya saja yang dibawa oleh orang Turki. Penolakan tidak dapat diterima, dan si utusan meminta, anak dari Vlad untuk dibawa.
Dengan posisi yang sangat buruk, dengan sangat terpaksa dia pun mendatangi tenda orang-orang Turki dan bernegosiasi dengan Sultan berjubah emas yaitu Mahmud. Dahulu Vlad dibesarkan oleh Ayah dari Mahmud, dan dia percaya Mahmud menganggapnya saudara sehingga tak perlu ada anak-anak Transylvania yang dibawa oleh pasukan Turki.
Tapi kehendak Sultan adalah sangat absolut, permintaannya tidak dapat diganggu-gugat apalagi penolakan. Dia tetap meminta seribu anak untuk dijadikan tentara kesultanan Turki atau negeri Transylvania dimusnahkan seluruhnya. Dengan keputusasaan, Pangeran Vlad mencari kekuataan dari tempat yang seharusnya dia hindari. Dia kembali ke gunung angker untuk bertemu sang vampir tua.
Seperti yang saya bilang di atas, Dracula bukanlah vampir yang pertama, tapi dialah yang membuat revolusi dalam dunia vampir. Bahwa sebelum Dracula muncul, para vampir hanyalah makhluk yang meneror satu tempat atau satu wilayah saja. Namun ketika Pangeran Vlad muncul dia mengubahnya, dia menjadi wabah yang bergerak, dia menjadi virus yang terus berkembang, dia menjadi monster yang meneror bukan hanya sebuah negeri melainkan seluruh penjuru dunia.
Selain itu, bagian menariknya baik di Dracula 1992 Gary Oldman, Dracula 2000 Gerald Butler, ataupun Richard Roxburgh di Van Helsing 2004. Semua karakter Dracula ini memiliki kesamaan, mereka mengutuk dirinya sendiri, dan menjadi vampir karena bersekutu dengan IBLIS (dalam arti sebenarnya.) Namun, kutukan dan iblis ini menjadi alegori dalam Dracula Untold. Iblis dan Kutukan menjadi simbol akan dirinya. Vlad si penyula mengutuk dirinya sendiri sejak melangkah masuk ke dalam Gua Vampir. Dia bersekutu dengan Iblis yaitu Sang Vampir Tua sendiri dengan meminum darahnya.
Begitu dia terbangun dari kematiannya menjadi vampir, dia baru mengetahui bahwa pasukan Turki sudah sampai di depan Kastilnya. Pertarungan brutal pun tak dapat dihindari.Layaknya Madara Uchiha, Pangeran Vlad dengan kekuataannya bertarung melawan ribuan orang sendirian. Dalam waktu kurang dari sepertiga malam, dia membantai seribu prajurit Turki dan menancapkan mayat-mayat mereka seperti daging sate, sebagai teror bagi pasukan Turki yang lain.
Seperti mottonya "Aku menjadi penyula, karena manusia tidak takut dengan pedang, manusia takut dengan MONSTER!" dan dengan menjadi monster dia bisa meneror pasukan-pasukan lain. Dengan membantai satu desa dan menyula warganya, dia bisa menghindari penaklukan dengan peperangan, dan tanpa peperangan dia bisa menghindari jatuhnya lebih banyak korban jiwa. Gagasan yang bagus menurut saya, bahwa ada sisi baik dari karakter Dracula, bahwa dia bukan sekedar penjahat haus darah, dia lebih dari itu. Saya suka dengan penulisnya, menjadikan Dracula sebagai karakter anti-hero dengan filosofi tersendiri, mencoba berbuat baik namun dengan jalan yang SALAH. Saya suka skenario seperti ini.
Satu lagi yang saya suka adalah bagaimana mereka membangun karakter Dracula, bukan sebagai Superman versi kegelapan, melainkan sebagai makhluk yang punya banyak kelemahan. Dracula lemah terhadap perak juga dengan sinar matahari, Dracula juga membuat perjanjian dengan Sang Vampir Tua, bahwa jika dia bisa bertahan dengan darah vampir selama 3 hari tanpa meminum darah maka dia akan selamat dari kutukan tersebut.
Namun, sialnya dia tidak selamat dalam 3 hari.
Konflik-konflik yang terjadi baik itu serangan dari para pasukan Turki maupun penolakan dari para warganya ketika mengetahui bahwa dirinya adalah vampir, membuat dirinya berada dalam dilema. Dia sangat ingin menyelamatkan orang-orang namun mereka yang ingin dia selamatkan justru membenci dirinya. Lalu disaat yang sangat sulit itu, para pasukan Turki berhasil sampai ke Istana Vlad yang berada di puncak gunung.
Mereka menculik anak laki-laki Vlad dan membuat Istri Sang Pangeran terjatuh dari tebing, meski memiliki kekuatan vampir dia tak dapat menyelamatkannya karena matahari sudah terbit dibalik gunung. Dengan kekuatan yang sangat terbatas dibawah matahari, Sang Pangeran gagal menyelamatkan istrinya. Lalu di saat sekarat, sang istri mengajukan diri untuk dihisap darahnya.
Dracula pun secara insting melakukan hal tersebut, dia meminum darah manusia untuk pertama kalinya, darah dari orang yang sangat dia cintai yaitu istrinya sendiri.
Dengan darah tersebut, Pangeran Vlad bertransformasi menjadi vampir yang sebenarnya, menjadi makhluk terkutuk diantara yang terkutuk. Dengan meminum darah manusia dia melanggar sumpahnya sendiri, sekaligus membebaskan Sang Vampir Tua dari keterikatannya atas Gunung Angker. Juga membawa ERA BARU bagi dunia vampir, setelah sebelumnya para vampir hanya terikat pada satu tempat pada satu waktu.
Bersama dengan amarah dan dendam, Pangeran membangkit warga Transylvania untuk melawan orang-orang Turki, dalam keputusasaannya mereka pun menuruti keinginan Dracula dan mengubah diri mereka menjadi pasukan vampir.
Pertempuran dan pembantaian tak terelakkan.
Dengan kekuatan penuhnya, Dracula mengendalikan cuaca, dia menutupi matahari dengan awam hitam penuh dengan hujan petir. Semua orang Turki ketakutan, bahkan Mahmud si Raja dengan jubah emaspun berjalan mundur ke belakang. Dia tahu, dia tidak dapat mengalahkan monster seperti Dracula dengan kekuatan manusia biasa.
Dan di sini brilliant-nya.
Raja Turki memiliki intel yang keren, mereka (entah bagaimana) berhasil mengumpulkan informasi tentang kelemahan Dracula terhadap sinar matahari dan perak. Dengan info itu mereka menyiapkan strategi untuk mengalahkan Dracula tanpa perlu menjadi vampir.
Di antara kekacauan dari serbuan para vampir, Sultan Jubah Emas menggiring Dracula ke dalam tenda, di sana Sang Pangeran melihat anak laki-lakinya yang ditawan, untuk membebaskannya hanya ada satu cara yaitu mengalahkan Sultan Mahmud dalam pertarungan pedang. Tapi melihat ke bawah, kekuataan dari Dracula melemah karena berdiri di atas ribuan koin perak, bukan itu saja mereka telah menyiapkan kantung-kantung berisi koin perak yang digantung di langit-langit. Di sini koin perak menjadi semacam kriptonite yang melemahkan tubuh Dracula hingga tak lebih dari manusia biasa.
Saya suka dengan ide hujan koin perak ini, nyaris tak terpikirkan di film-film vampir lain. Penulis skenario-nya genius menurut saya. Ide koin perak itu sederhana tapi sangat ampuh untuk melumpuhkan Dracula ataupun para vampir lain.
Dalam pertarungan akhir ini, jelas Dracula menjadi raja dari para vampir bukan karena kesaktiannya, bukan karena kekuatan fisiknya, melainkan kekuatan dari dalam jiwanya. Dia tidak hanya petarungan dengan fisik yang super kuat, namun dia juga memiliki jiwa yang sangat kuat dalam menahan berbagai rasa sakit dan keputusasaan.
Setelah merobek leher Sang Sultan, Dracula pun keluar dari tenda bersama dengan anak laki-lakinya. Seluruh pasukan Turki telah musnah yang ada hanyalah para vampir dari warga Transylvania. Para vampir haus darah itu menginginkan satu manusia lagi sebagai korban yaitu anak dari Dracula.
Pangeran Vlad tentu saja tidak bisa membiarkan para monster penghisap darah membunuh anaknya ataupun manusia-manusia lain di Benua Eropa. Dia tahu jika mereka dibiarkan hidup, para vampir ini akan membuat wabah besar yang akan menghancurkan seluruh peradaban dunia. Saya suka akhir cerita yang EPIC, pengambilan keputusan yang tak terduga, apalagi dengan pengorbanan dari karakter Anti-Hero.
Dracula lah yang menciptakan para vampir, maka dia pulalah yang mencabut kekuatan para vampir tersebut dari muka bumi. Bukan seperti mencabut kutukan tapi menghancurkan semua vampir itu sekaligus dengan sinar matahari. Sang Pangeran dengan kekuatan mengubah cuaca, menyibak tabir awan gelap dan memberikan langit cerah dengan matahari yang terang. Sinar itu membakar semua vampir tanpa ampun, termasuk tubuhnya sendiri yang rontok terbakar.
Benar-benar akhir yang tak terduga untuk saya.
Konklusi: secara keseluruhan film ini memiliki ide yang brilliant menurut saya, meski hanya kurang dipenyajiannya, yang pastinya disebabkan karena kurang budget.
Di epilog, anak laki-laki dari Vlad diangkat menjadi Raja Transylvania. Dan dia berkata. "Meski tidak dibangun monumen atau patung untuk mengenangnya, Ayah adalah pahlawan sebenarnya yang melindungi peradaban Eropa dari serangan Turki!" Hahahaha... saya suka ini, mereka mencoba membangun mitologinya sendiri.
Gambar lalu berpindah ke tenda yang hancur, ternyata Dracula masih hidup meski jasadnya sudah hangus terbakar. Dia kembali dibangkitkan dengan darah, dan waktupun berlalu ke zaman modern. Memasuki abad-20 Sang Pangeran berjalan diantara keramaian Kota London. Lalu dia bertemu dengan wanita yang sangat mirip dengan istrinya, dia berkata bahwa "Cinta jauh tercipta dari kehidupan sebelumnya." dan keduanya pun berjalan bersama. Namun, dari belakang muncul Sang Vampir Tua yang mengikuti mereka, diringi kata-kata terakhir. "Permainan baru DIMULAI."
Tentu saja kisah baru dimulai dengan pertemuan bersama Mina Murray, saya berharap kelanjutannya jauh lebih bagus daripada ini. Saya berharap siapapun yang nanti akan berperan sebagai Jonathan Harker, minimal bisa setara dengan Keanu Revees.
. . .
Sunday, October 5, 2014
Walk Among The Tombstone
Walk Among The Tombstone (2014)
Review by Ftrohx
Lagi-lagi kasus penculikan dan ini bukan yang pertama bagi Liam Neeson setelah dua film sebelumnya Taken satu dan dua.
Tapi di sini, dia berperan sebagai karakter yang berbeda. Bukan seorang mantan agen rahasia yang mampu membantai puluhan orang sekaligus, melainkan hanya seorang detektif swasta dengan kemampuan fisik biasa.
Sebelumnya, untuk film Hollywood yang mengambil tema penculikan, ada dua yang jadi favorit saya; Man on Fire (2004) yang dibintangi oleh Denzel Washington dan Dakota Fanning. Dan Taken satu yang diperankan oleh Liam Neeson sendiri. Di Man on Fire, terjadi penculikan seorang anak pejabat yaitu Dakota Fanning, namun meski uang tebusan sudah dikirimkan, anak yang diculik itu tetap terbunuh. Karena itu Denzel sebagai pengawalnya punya tanggung jawab sekaligus dendam kesumat pada para penculik. Yang kemudian dia membantai seluruh penculik itu satu per satu. Sedangkan Taken, seorang gadis diculik. Sayangnya, mereka menculik cewek yang salah karena bokap dari cewek itu adalah mantan agen rahasia yang punya lisensi untuk membunuh, dan tentu saja Liam Neeson membantai mereka semua dari hulu sampai hilir.
Selain itu tentang fiksi detektif dengan tema penculikan ada Along Come Spider yang dibintangi Morgan Freeman, dan Lindbergh Kidnapping Case (yang ini bukan fiksi) namun menginspirasi Agatha Christie menciptakan salah satu kasus detektif paling mencengangkan sepanjang sejarah yaitu Murder in Orient Express. Saat ini saya masih membaca keduanya, kasus penculikan seorang anak yang menghebohkan seluruh media massa di Amerika bahkan dunia. Kasus Lindenbergh yang konon melibatkan orang dalam, bahkan ada teori bahwa kasus tersebut di rekayasa sendiri oleh kedua orangtua dari anak yang diculik tersebut. Entah, rasanya sungguh mengerikan membayangkan ada orang tua yang tega melakukan hal tersebut, mungkin saja media massa membuat-buat teori mereka sendiri dengan sangat berlebihan agar korannya laku.
Ok, bagaimana dengan Walk Among The Tombstone.
Cerita ini kembali ke akar permasalahan, kembali ke tema klasik, penculikan yang memang murni penculikan tanpa ada teori konspirasi.
Para pelakunya, mereka bukan penjahat super, mereka hanya penjahat biasa yang sedikit lebih pintar. Mereka adalah psikopat yang sangat menikmati menyakiti orang (terutama wanita) menyiksa para korban hingga tewas dan melakukan aksi mutilasi jasad korban, seolah hal yang biasa seperti candu ataupun seks.
Sedangkan jagoannya, Detektif Matthew (Liam Neeson) adalah mantan detektif kepolisian yang ingin menjadi orang baik dan pengurus gereja bagi mereka yang kecanduan alkohol. Dia hanya ingin menjadi orang baik, namun hal-hal yang buruk selalu mengikutinya seperti bayangan.
Suatu malam, seorang pecandung yang sering membantunya sebagai informan datang. Dia mengganggu Matthew saat makan malam dengan sebuah permintaan bantuan penyelidikan.
Matthew menolaknya, namun melihat wajah si pecandung yang murung di trotoar yang sedang hujan deras itu. Rasa belas kasihan pun membuatnya turun tangan.
Diperkenalkanlah sang kakak, seorang pria kelas menengah yang mengaku bekerja di bidang real estate, namun Matthew bilang bahwa si lelaki tersebut berbohong, pekerjaan sebenarnya adalah seorang bandar narkoba. Istri dari si bandar diculik, dia pun telah mengirim uang tebusan sebesar 600ribu dollar. Namun, setelah tebusan itu diberikan justru istrinya tetap ditemukan dalam keadaan tewas. Si Bandar ingin membalas dendam dia meminta Detektif Matthew untuk melacak, para penculiknya.
Tapi sang detektif menolaknya, dia bilang lebih baik kasus ini dilaporkan ke polisi, namun si Bandar tetap ngotot bahkan memohon.
Di sini uniknya Detektif Matthew. Tidak ada pamer deduksi ala Sherlock Holmes, analisis body language ala Carl Lightman, ataupun ilmu forensik ala Tim CSI. Film ini benar-benar bersih dari ilmu itu. Saya sendiri, sebenarnya bertanya-tanya, bagaimana Matthew bisa menebak kalau kliennya adalah seorang bandar narkoba dari hanya melihat furniture dan interior rumahnya. Saya sendiri masih ingin menonton ulang film ini, mungkin ada sesuatu yang saya lewatkan saat Matthew melihat rumah tersebut.
Karakter sang detektif sendiri benar-benar sepi seolah kuburan yang diguyur hujan. Dia menyimpan semuanya sendiri, baik deduksi atau metode penyelidikannya. Bahkan jika dibanding film Zodiac yang tidak memiliki karakter problem solver pun, masih ada deduksi dalam film tersebut. Sedangkan di sini, seolah sang sutradara sengaja membiarkannya, sengaja membuat para penonton mengambil kesimpulan mereka sendiri. Tapi mungkin di sini tujuan, sang penulis ingin menyampaikan karakter detektif yang REAL yang murni detektif, bukan jagoan, bukan super-hero apalagi anti-hero. DIa hanya orang biasa yang melakukan pekerjaan berbahaya demi sesuatu yang sangat dia yakini.
Sang detektif pun tergerak hatinya, takala dia pesan dalam bentuk kaset yang ditinggalkan penculik.
Benar-benar oldschool. Sebuah kaset, sudah lama saya tidak pernah melihat apalagi menyentuh benda itu. Klasik, hampir lupa saya, bahwa film ini bersetting di bulan Juni / Juli di tahun 1999. Iya, enam bulan sebelum pergantian milenium dengan hebohnya issue Y2K yang akan menghentikan jam di semua peralatan elektronik. Rasanya benar-benar memorable, bahkan saya sendiri nyaris tak sadar bahwa saya besar di tahun 90-an. Hahahaha...
Penyelidikan dimulai dengan cara-cara yang juga klasik, sang detektif mengunjungi TKP terakhir di mana korban ditemukan, lalu sang detektif meng-interview satu per satu warga yang ada di sekitar TKP. Selain itu dia juga menyelidiki melalui artikel-artikel di koran, dan asiknya Amerika adalah tiap artikel koran dibuat versi e-paper nya yang bisa dibaca secara gratis di perpustakaan umum. Sial, tidak ada seperti itu di Indonesia. Lalu, secara kebetulan di perpustakaan itu Detektif Matthew bertemu dengan anakmuda kulit hitam bernama TJ. Dia meminta bantuannya untuk pencarian melalui database e-paper, dari sini duet mereka pun dimulai, meski tidak benar-benar duet detektif dan asistennya, tapi mereka punya keterikatan yang unik dan jadi bumbu tersendiri bagi film ini.
Bersama dengan TJ dan informasi dari database koran e-paper, Detektif Matthew menemukan kasus-kasus yang serupa dengan yang dia tangani, para korbannya adalah wanita cantik, mereka diculik, diperkosa, dan dimutilasi. Para korbannya juga memiliki keterkaitan yaitu mereka adalah orang-orang yang punya kekasih ataupun keluarga seorang bandar narkoba. Kemudian sang detektif menemukan korban pertama (saya lupa namanya) dia ditemukan di sebuah kolam di tempat pemakaman umum. Nah, di sinilah kenapa judulnya Walking Among the Tombstone.
Sebelum masuk ke penjahat, dari pengalaman saya, ada empat jenis penculikan; pertama penculikan yang murni karena uang (contoh RANSOM filmnya Mel Gibson,) kedua penculikan untuk mengancam atau aksi teror (ini seperti yang dilakukan Joker di film Dark Knight,) ketiga penculikan dengan motif pemuasan diri/ego yang biasanya dilakukan oleh para psikopat (contoh kasus di film Seven-nya Brad Pitt), dan terakhir penculikan dengan teori konspirasi (contoh kasus Lindenbergh dimana terdapat banyak dan tiap teori selalu buntu atau membuat percabangan teori yang lain.)
Di film ini karakter penjahatnya adalah murni psikopat, mereka memang mengincar uang dari keluarga korban yang diculik namun tak masalah apakah uang itu mereka dapat atau tidak, karena dari para korban mereka mendapatkan kepuasan tersendiri dengan aksi-aksi brutalnya. Tema psikopat seperti ini memang khas era 90an. Sederhana tapi cukup keren.
Tidak seperti Taken, penyelidikan di film ini berjalan dengan plot yang lambat, minim ketegangan. Namun, di sini bagusnya mereka menciptakan karakter yang nyata apa adanya dari sosok seorang detekif swasta. Bahwa penyelidikan kadang berjalan dengan sangat membosankan apalagi jika kamu melakukan semuanya sendiri. TJ memang ada dan hadir sebagai asisten. Tapi Matthew terlalu mengkhawatirkan keselamatannya, sehingga lebih banyak penyelidikan dia lakukan sendiri.
Di sela-sela penyelidikan, terdapat pertemuan dengan percakapan ringan antara Sang Detektif dengan informan kecilnya si TJ. Mereka bicara tentang teori detektif fiksi, bahwa karakter detektif itu mesti punya nama yang KEREN kayak Phillip Marlowe-nya Raymond Chadler. Juga, teori-teori yang lain. Saya sempat tertawa sendiri dengan scene di restoran kecil itu. Asli "GUE BANGET!!"
Tempat-tempat yang dituju sang detektif juga khas, pinggiran kota New York lingkungan Urban yang seolah ditinggalkan penghuninya, juga cuacanya saya suka 'HUJAN' baik di flash back saat sang bandar memberikan uang tebusan dan menemukan jasad istrinya, maupun saat klimaks di mana sang detektif menemukan rumah dari dua penculik psikopat itu. Hujan berhasil membuatnya menjadi sangat dramatis. Visualnya juga saya suka, menelusuri jalan-jalanan malam. Mengingatkan saya dengan film Zodiac (2007) juga Perfect Number (2012.) Iya, beginilah harusnya Noir Detective. Memang banyak lubang dalam plot di sana-sini. Memang ada beberapa kekurangan. Tapi kembali lagi, inilah asiknya novel dan film detektif. Kita tidak bisa menikmatinya hanya dengan sekali baca, kita harus baca lagi dan lagi untuk memahami misterinya (atau cara untuk memecahkannya.) Dan unsur ini berhasil dibawakan oleh sutradaranya, mungkin karena itupula IMDB memberi rating 7 skala 10.
. . .
Percakapan Dengan Jenderal
Cerpen by Ftrohx
Virli masih memandangi ranting dan dedaunan yang basah dari balik kaca mobilnya, mungkin karena embun pagi tadi atau mungkin sisa dari hujan semalam, pikirnya.
Selesai menikmati bubur ayam yang panas di daerah Pasar Minggu, bersama dengan Bripda Febry yang memegang setir, mereka melaju ke daerah Ciganjur.
Di kursi depan sebelah kiri, matanya yang coklat bening terarah pada daun-daun hijau yang lebat, pohon rambutan, pohon jambu, pisang, hingga pohon nangka dan cimpedak. Perjalanan ini benar-benar khas, Virli sangat menyukai pinggiran wilayah Jakarta Selatan. Masih banyak tumbuh pepohonan yang rindang di kanan dan kiri jalan. Dia bisa relax sejenak dalam perjalanan sebelum menghadapi situasi yang mendebarkan selanjutnya.
Sejenak Virli mengingat kembali percakapannya enam jam yang lalu.
“Hipotesa hanyalah hipotesa sebelum ada bukti,” tegas Kombes Hendra ke muka sang informan, tapi jelas kata-kata untuk bukan hanya satu orang di ruangan. “Seperti yang saya bilang tadi, tidak peduli apakah kamu sudah mewawancarinya atau belum kita perlu melakukan cross-check data lagi, Karena yang saya butuhkan adalah fakta yang bisa mendukung bukti-bukti, tak peduli bagaimana pun caranya, jika perlu kalian pun harus mewawancarinya berkali-kali untuk menemukan informasi yang benar.”
“Iya pak, tapi untuk efisiennya…” ujar Azra.
“Nggak,” lanjut Kombes Hendra. “Begini saja masalah wawancara keluarga almarhum Muhdi, saya akan kirim anggota yang lain. Saya sendiri juga pernah mempelajari kasus kematian Muhdi dan banyak issue bahwa kasus ini berhubungan dengan Badan Intelijen Negara.”
"Tentu saja,"
“Jadi biar lebih efektif. Virli,” panggilnya. “Kamu pagi ini akan mewawancari seseorang penting yang di issue kan terkait kasus ini tujuh tahun yang lalu.”
. . .
Camry hitamnya memasuki rumah dengan pagar tembok yang sangat panjang. Virli memperkirakan sekitar 30 meter lebih hanya untuk halaman saja, Benar-benar khas sebuah rumah mantan pejabat tinggi.
Masuk ke dalam kembali terlihat lingkungan tropis khas pinggiran kota, pohon rambutan dan pohon cimpedak lagi. Sementara di rerumputan halaman terdapat angsa putih yang berkeliaran bebas.
Dua mobil sedan hitam terparkir di garasi, dengan sebuah SUV berwarna putih di sampingnya, dan sebuah mobil klasik berwarna biru telur. Di teras tampak meja besi berwarna putih bundar dengan empat bangku yang di ukir klasik, pastinya biasa digunakan untuk santai minum teh pada pagi atau sore hari.
Rumahnya memang besar berlantai dua dari depan dan ke belakang ada satu tingkat lagi.
Eksterior terlihat vintage, cukup mewah seperti yang sering dia lihat di film-film Indonesia 70an - 80an. Tidak bisa disebut klasik tapi tidak juga bisa dibilang modern, karena itu untuk model seperti ini sering dia sebut Retro.
Cat temboknya luarnya berwarna broken white dengan beberapa pilar yang berwarna hijau. Mungkin karena usia dan selera pemilik rumahnya. Untuk di jamannya, model seperti ini bisa dibilang sangat keren. Di beberapa sudut juga tampak ornament khas arsitektur Bali. Ukiran-ukiran pada furniture di teras, serta beberapa patung yang etnik, juga yang paling mencolok gerbang kecil yang khas seperti pintu masuk Pura. Suasana seperti ini membawa rasa kangen Virli untuk kembali ke kampung halaman-nya di Gianyar.
Seperti yang dijelaskan Kombes Hendra, bahwa mereka memiliki sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai insiden kematian Muhdi 7 tahun yang lalu. Seorang mantan pejabat tinggi di BIN (Badan Intelijen Negara) Tahun di mana kasus Muhdi terjadi adalah tahun terakhir dari pejabat itu bekerja.
Virli sendiri juga sudah melakukan riset cepat tentang orang yang akan di wawancari ini. Di beberapa photo yang dia lihat di table-nya Jenderal bintang 3 ini memiliki mata agak sipit dengan wajah gemuk yang ramah, namun dibalik itu ada banyak isu mengenai dirinya dan beberapa insiden-insiden militer di perbatasan. Satu lagi hal penting yang di share pada Febry dalam perjalanan, kebanyakan orang berpikir bahwa kantor BIN itu berada di tengah kota atau di distrik elit seperti Kuningan atau wilayah SCBD Senayan, atau mungkin di MH. Thamrin atau dekat Istana. Padahal justru kantor BIN yang sebenarnya berada di wilayah pinggiran Jakarta yaitu Pejaten Timur daerah Pasar Minggu. Begitu pula dengan pesiunan pejabat ini, dia lebih memilih wilayah yang tenang dan sejuk dipinggiran kota daripada di pusat kota yang modern.
Dari balik kaca mobil Virli sudah melihat tuan rumah duduk santai menunggu mereka di teras. Kakek gemuk itu tersenyum sambil sesekali tertawa bicara dengan ajudannya. Tidak jauh beda dengan yang dia lihat di table, Jenderal Tubagus adalah orang yang berperawakan sedang bertubuh gemuk berambut putih dan berwajah ramah. Namun dibalik senyuman itu Virli bisa merasakan bahwa orang ini adalah salah satu orang yang paling berbahaya pada zamannya.
Tuan rumah menyabut Virli seolah seorang kakek menyambut cucu-nya, dia juga menawarkan Teh dan roti hangat tuk sarapan bersama di teras.
View di belakangnya adalah taman yang asri, Virli rasanya pernah melihat pemandangan ini di sebuah talk show khusus di TV, di mana seorang anchor terkenal mewawancari para pejabat sambil menemaninya berjalan ringan di sebuah taman. Mungkin pesiunan militer ini juga pernah masuk acara TV itu, atau mungkin mengajak media atau wartawan untuk duduk bersama di sini.
Bagi Virli sendiri, ini bukan kali pertama dia mewawancari seorang Jenderal atau pejabat tinggi negara.
Dia tidak pernah gugup dengan orang yang jauh lebih kaya darinya. ‘Jika ditusuk mereka pun akan berdarah’ begitu kata Ayahnya. Tapi tidak untuk Bripda Febry yang sudah terlihat gugup sejak keluar dari mobil dan berjalan di sampingnya.
. . .
Di atas meja minum teh warna putih yang berlabel IKEA, Jenderal Tubagus lah yang memulai pembicaraan, obrolan paginya di buka dengan topik-topik ringan seputar isu politik beberapa kandidat presiden, juga masalah ekonomi, hingga berita tentang penanganan banjir di Jakarta. Selalu tanggapan aneh tak berujung, menyalahkan pemerintah, saya akan laporkan ke pemerintah pada yang bicara itu adalah gubernur lalu siapa pemerintahnya? Bahkan presiden juga terkadang mengucapkan kata-kata klise seperti itu? Saya akan bicarakan dengan Pemerintah.
Kemudian pembicaraan memasuki babak baru ketika dia menyebut sebuah nama.
“Hendra Wiryawan,” ujarnya dengan menaikan suara. “Harusnya dia bekerja di Badan Intelijen, bakat dan prestasinya itu. Ah sayang idealismenya membuat dia tetap menjadi perwira di Polda.”
“Anda pernah bekerjasama dengan Pak Hendra?”
“Iya tentu saja siapa yang tidak kenal dengan Hendra Wiryawan.”
Berhadapan dengan orang-orang seperti ini, terkadang Virli bertanya-tanya sendiri apa yang membuat orang yang diwawancarinya seolah begitu kuat, apakah karena jabatannya, kekayaannya, atau kecerdasaannya, sampai sekarang Virli masih sering bertanya-tanya apa itu karisma seorang laki-laki? Sesuatu yang bahkan lebih daripada sekedar wajah yang tampan atau tubuh yang berotot. Sesuatu yang lain, sebuah energy kalau tidak menyebutnya sebuah aura.
“Kami pernah bekerjasama untuk beberapa kasus. Terakhir teroris yang melakukan pencurian bahan peledak dari PT. Merapi Enji itu. Kami berhasil menemukan lokasi persembunyian mereka dengan bantuan Hendra. Dia ahli dalam, apa namanya pelacakan geografi?”
Virli diam sejenak, matanya bergerak ke kiri. “Triangulasi.”
“Iya itu, dia melacak lokasi para tersangka dari tempat muncul dan menghilangnnya pelaku di atas peta, dengan perhitungan matematik trigonometri dan bagaimana dia mengaris satu titik ke titik yang lain. Dia bisa memperhitungkan di mana markas para penjahat itu bersembunyi, sampai di mana mereka akan melakukan aksi selanjutnya. Luarbiasa untuk kepolisian Indonesia pada saat itu. Tapi sekarang kalian sudah menggunakan program komputer ya untuk melakukan pelacakan bukan.”
Virli tersenyum simpul.
Jenderal di hadapannya bicara banyak hal dengan begitu semangat. “Selama saya berkarier di intelijen, dia polisi pertama di Indonesia yang mempraktekan teknik itu, dan berhasil menangkap pelaku.”
“Wah saya baru tahu.”
“Iya, apalagi sekarang. Dia tambah hebat saja dengan kamu di dalam Tim-nya.”
Pujian itu membuat Virli tersenyum lebar. “Ah saya tidak sehebat itu, lagipula saya bukan polisi.”
Pria berambut putih itu meledakan tawa.
Menghabiskan teh hangat dari cangkir putih lalu, percakapan yang sebenarnya di mulai.
“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Tentang kasus Muhdi, tujuh tahun yang lalu itu?”
“Oh, itu lagi. Semua orang selalu mendatangi saya untuk membicarakan tentang itu. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagikan, kamu pasti sudah pernah baca kisahnya. Di jurnal, di artikel, di majalah, di koran atau apapun. Sudah terlalu banyak beritanya.”
“Iya, tapi saya ingin melihat dari pandangan anda.”
“Secara langsung? Apakah ini interogasi? Saya juga membaca riwayat anda Nona Virli, anda seorang detektif partikelir specialis interogasi,”
Virli tersenyum. “Mereka terlalu berlebihan Pak.”
“Hahaha…” sang Jenderal tertawa keras.
“Muhdi memang seorang kritikus,” lanjut purnawirawan tersebut dengan suara yang tinggi. “Tapi dia tidak masuk radar kami, lagipula soal kritik di Koran banyak orang yang lebih vocal daripada dia tapi mereka baik-baik saja bukan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang mengacam keamanan Negara bukan seseorang yang hanya bicara di media.”
Si gadis cantik hanya diam saja kecuali matanya yang tentang melakukan scanning gesture.
“Virli, kamu juga seorang pengamat bukan, kamu pasti sudah melakukan riset cepat tentang Muhdi dari beberapa media? Ada hal-hal yang berlebihan bukan? Tahun sebelum dia meninggal kamu tidak menemukan catatan special mengenai Muhdi, sekalipun kamu menemukan beberapa artikel itu hanya catatan biasa. Seperti istilah dari cucu saya, mereka penulis blogger yang kurang populer.”
Virli tertawa ringan. “Iya, benar.”
“Lalu setelah setahun dia meninggal begitu banyak catatan yang mengagungkan prestasi-prestasinya, tapi kamu sendiri nggak pernah tahu tentang itu. Kamu bertanya-tanya apakah catatan-catatan setelah dia meninggal itu valid?
Jenderal Tubagus pun menjelaskan seperti apa yang telah dia jelaskan ke media-media. Hal-hal yang dia tahu, dan Virli memvalidasi dari gerak tubuh pria berambut putih itu.
Semuanya terlihat jujur, tidak ada deviasi, tidak ada yang dibuat-buat. Meski ada satu atau dua anomali tapi itu bukan menyatakan tentang kebohongan melainkan memang ada hal lain yang dia tahu, tapi menurutnya tidak layak untuk diungkapkan di sini.
“Sebagai seorang investigator, kamu menangani banyak kasus pembunuhan dan kadang merasa janggal ketika satu kasus dipilih sementara kasus yang lain ditunda, padahal keduanya adalah sama-sama kasus pembunuhan. Tapi para atasan memaksa kamu untuk melakukan diskriminasi terhadap para korban. Satu anak pejabat tinggi diculik dan kamu harus menemukannya, sedangkan beberapa anak dari keluarga miskin menghilang dan kamu harusnya menundanya dengan alasan yang tidak masuk akal. Kamu tahu ada kasus-kasus yang di blow up oleh media, dan seolah-olah suara masyarakat yang memaksa kamu untuk menuntaskan kasus tersebut, memaksa kamu untuk mengerahkan banyak energi yang kamu rasa percuma, sementara kasus lain yang kamu juga ketahui keadaan korbannya jauh lebih parah malah kamu abaikan.”
Virli setuju dengan konsep itu keadilan bagi semua orang, tidak pilih-pilih kasus apakah pejabat tinggi atau orang biasa. Semua harus dilayani dengan baik.
Kata-kata klasik yang sudah di dengar dari Ayahnya saat dia SMP.
“Kadang kita harus menjalani perintah yang tidak sesuai dengan hati nurani kita, saya akui saya membuat banyak kesalahan dahulu. Saya tidak benar-benar berbuat baik, ketidakadilan bagi para korban, diskriminasi. Korban yang satu seolah sangat penting sementara yang lain seolah dianggap tidak penting. Lalu kasus pun mendingin dan menghilang di antara tumpukan kertas file di gudang arsip. Para ahli forensic UI itu bilang bahwa sejak semula, procedural pemeriksaan jasadnya sudah salah, apalagi saat visum semua informasi yang sangat penting sudah menjadi kabur.”
“Maksud anda ada manipulasi?” Tanya Virli.
“Sejak awal menurut saya laporan forensik itu sudah di manipulasi? Lalu datang ahli forensik lain yang menyatakan berbeda, namun berkas sudah masuk pengadilan, Jaksa sudah mengajukan tuntutan, dan hakim sudah memutuskan perkara. Informasi yang salah, ditambah dengan apa kata para pakar yang masih sekedar rumor dan asumsi, serta issue public pun saling bertautan. Semuanya campur aduk, dan kamu pasti tahu prinsip dalam penyelidikan. Terlalu banyak informasi mengkontaminasi kebenaran yang sesungguhnya.”
“Jadi anda merasa tidak terkait dengan semua ini?”
Tubagus tertawa keras. “Tentu saja, saya bahkan baru bertemu nama-nama yang disebutkan itu di pengadilan. Tak ada satu pun yang terkait dengan saya. Persidangan itupun menurut saya hanya omong kosong, Terlalu banyak rotasi, terlalu banyak yang diganti, terlalu banyak disorot media, “
Jenderal Tubagus bicara panjang mengenai persidangan yang dihadirinya, mengenai para jaksa-nya, para saksi, serta para hakimnya. Tentang dakwaan, tentang bantahan, tentang alibi, perdebatan forensik, dan sebagainya.
Tidak jauh beda dari informasi yang dibacanya dua jam yang lalu.
Informasi yang sama dengan wawancara Jenderal Tubagus bersama wartawan majalah politik ternama itu. Catatan yang sama, alasan yang sama, tidak ada yang baru. Hanya saja kali ini dia memvalidasi informasi tersebut langsung dari sumbernya.
Para jaksa mengungkapkan alibi-alibi yang salah, juga tentang motif yang salah, juga tentang dirinya di fitnah, saksi-saksi yang palsu, lalu masalah konspiras yang mengaitkan kasus Muhdi dengan pemenangan partai politik tertentu saat pemilu beberapa tahun yang lalu, hingga isu scenario kepentingan asing terhadap intelijen Indonesia.
Setelah menjabarkan pandangan-pandangannya terhadap kasus Muhdi, Jenderal Tubagus pun menanyakan kembali apa maksud dan tujuan Virli ke rumahnya.
Virli tidak langsung menjelaskan, dia hanya sharing sedikit bahwa Kombes Hendra sedang menangani kasus kematian misterius Bastian Michaelis alias Burhan Simamorang yang merupakan pengacara dari terpidana Pladius Purnomo. Jenderal Purnawirawan itu menunjukan mimik terkejut sewaktu Virli menyebut nama Pladius, namun sedetik kemudian reaksi itu menjadi samar dan kembali dia bicara dengan tenang.
. . .
“Iya, Pernyataan Pak Tubagus sangat masuk akal. Tapi pertanyaan saya apa benar anda tidak terkait dengan Pladius Purnomo? Apa benar dia bukan anggota anda? Dan bagaimana dengan Protokol hantu yang katanya dijalankan oleh Pladius?”
“Protokol Hantu,” Jenderal Tubagus terkekeh. “Iya, protokol itu memang ada, tapi kamu bisa lihat pernyataan Pladius dalam persidangan, bukan kah itu aneh. Dia bicara semua, dia berkicau seperti burung beo. Kamu pasti tahukan seorang agen dengan protocol hantu lebih baik bunuh diri daripada bicara tentang sebuah rahasia.Tapi orang yang kita bahas ini sebaliknya dia dengan bangga mengakui bahwa dia adalah seorang intel.”
Pria di hadapannya kembali tertawa. “Hahahaha… bukankah itu konyol.”
“Kamu juga tahu kan, sebuah kehormatan, sebuah prinsip yang harus dijunjung. Kamu pasti punya kode etik tersendiri dan kamu tidak akan bicara tentang kode etik kamu, bahkan di pengadilan, karena ada hal-hal rahasia yang mesti kamu jaga. Ini prinsip paling utama, syarat utama untuk bekerja di bidang intelijen, kamu harus ahli dalam menjaga rahasia.”
Kata-kata itu begitu berwibawa.
Virli melakukan scanning pada seluruh posture dan gesture pria di hadapannya. Orang ini 95% terlihat jujur, sama seperti pada awal percakapan. Tidak ada deviasi dari baseline, tidak ada tanda-tanda berbohong, dan penjelasannya pun terdengar sangat masuk akal. Dia juga setuju dengan gagasan Tubagus, rasanya terlalu aneh ketika seorang agen intelijen mengungkap jati dirinya di pengadilan negeri. Pengadilan kecil yang seharusnya menindak lanjuti masalah kriminal umum.
Si gadis cantik melirik jam tangan, waktu habis.
Sang Jenderal juga bisa membaca gerak tubuh Virli, ada kegelisahan di sana.
“Sebenarnya kalian sedang menyelidikan apa sih? Apa yang Hendra Wiryawan kerjakan?” Tanya Tubagus.
“Tapi kami…”
“Iya, saya tahu. Tidak perlu detail cukup di permukaan saja, siapa tahu saya juga punya informasi yang bisa membantu kamu.”
Virli agak ragu, tapi karena ini sudah final harus dia katakan. “Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, kami menyelidiki kematian Bastian Michaelis, lalu semalam seperti yang anda tahu di beritakan di media-media. Bahwa Boss dari Johadi Telco. yaitu Said Johadi ditemukan tewas dalam. Kami curiga kalau kedua kasus itu saling terkait tapi kami sampai sekarang belum menemukan bukti yang pasti mengenai keterkaitan antara mereka berdua.”
“Saya tidak percaya itu, kalian lebih pintar daripada bawah-bawahan saya yang sekarang menjabat di BIN. Kalian pasti menemukan sesuatu semalam?” Desak Tubagus.
Virli menghela nafas, dengan sangat terpaksa dia bicara. “Sebenarnya ada satu keterkaitan antara mereka berdua, satu nama yang mengaitkan mereka berdua. Meski begitu saya belum punya bukti bisnis apa yang pernah mereka lakukan bersama.”
“Tak usah bertele-tele, sebut saja namanya?”
“Dia Batara Billy, pimpinan Batara Corp.”
“Oh anak muda itu, Pangeran dari keluarga Batara.”
“Iya, secara tidak langsung saya menemukan korelasi dua korban tewas itu dengan Batara Billy, pertama Bastian Michaelis dia pernah bekerja sebagai konsultan hukum untuk keluarga Batara, sedangkan Said Johadi jelas adalah pesaing bisnis mereka di bidang telekomunikasi dan internet. Tapi keterkaitan itu terlalu kecil dan tidak bisa menjadi petunjuk untuk sebuah motif pembunuhan.”
Virli menghabiskan Teh di cangkirnya, menunggu apa yang sang Jenderal tahu.
Tubagus pun mengubah gesture, kedua tangannya naik ke atas meja. Dia mengerti situasi apa yang sedang mereka hadapi, saatnya menyampaikan pendapat.
“Ini bukan bicara tentang politik menjelang pemilu, tapi dari pandangan saya, keluarga Batara memang keluarga elit yang sangat berbahaya. Empat tahun yang lalu, sahabat saya di KPK bercerita bahwa sehari sebelum surat perintah pemeriksaan terhadap kantor dan arsip-arsip Perusahaan Batara keluar, tiba-tiba terjadi kebakaran yang menyebabkan semua arsip itu hilang. Di lain waktu, saat akan menyelidiki dokumen-dokumen keuangan Batara Corp. hanya beberapa jam sebelum polisi dan petugas KPK datang. Tiba-tiba tempat yang dituju itu di rampok orang. Hal-hal yang tidak masuk akal, kami bahkan tidak punya bukti. Lalu sahabat saya di KPK. di saat sedikit lagi mendapatkan bukti tiba-tiba dia terkena kasus yang saya yakin dia bahkan tidak pernah melakukannya.”
Virli tahu siapa sahabat Jenderal yang dimaksud, berita memang begitu luar biasa di koran ketika pejabat KPK sendiri yang seharusnya memburu koruptor tiba-tiba terkait sebuah skandal.
“Permainan klasik,”
“Iya, saya sendiri juga membicarakan ini dengan cucu-cucu saya! Hahaha…” sang Jenderal kembali tawa. “Kamu tahu, kamu persis dengan cucu saya, dia penggemar film-film Korea. Kemarin kami nonton bersama sebuah film action yang mengambil tema serius, cerita di film itu mengingatkan zaman saya waktu bekerja di BIN. Ah, luar biasa mereka. Sayang Indonesia belum sampai ke sana.”
. . .
Virli masih memandangi ranting dan dedaunan yang basah dari balik kaca mobilnya, mungkin karena embun pagi tadi atau mungkin sisa dari hujan semalam, pikirnya.
Selesai menikmati bubur ayam yang panas di daerah Pasar Minggu, bersama dengan Bripda Febry yang memegang setir, mereka melaju ke daerah Ciganjur.
Di kursi depan sebelah kiri, matanya yang coklat bening terarah pada daun-daun hijau yang lebat, pohon rambutan, pohon jambu, pisang, hingga pohon nangka dan cimpedak. Perjalanan ini benar-benar khas, Virli sangat menyukai pinggiran wilayah Jakarta Selatan. Masih banyak tumbuh pepohonan yang rindang di kanan dan kiri jalan. Dia bisa relax sejenak dalam perjalanan sebelum menghadapi situasi yang mendebarkan selanjutnya.
Sejenak Virli mengingat kembali percakapannya enam jam yang lalu.
“Hipotesa hanyalah hipotesa sebelum ada bukti,” tegas Kombes Hendra ke muka sang informan, tapi jelas kata-kata untuk bukan hanya satu orang di ruangan. “Seperti yang saya bilang tadi, tidak peduli apakah kamu sudah mewawancarinya atau belum kita perlu melakukan cross-check data lagi, Karena yang saya butuhkan adalah fakta yang bisa mendukung bukti-bukti, tak peduli bagaimana pun caranya, jika perlu kalian pun harus mewawancarinya berkali-kali untuk menemukan informasi yang benar.”
“Iya pak, tapi untuk efisiennya…” ujar Azra.
“Nggak,” lanjut Kombes Hendra. “Begini saja masalah wawancara keluarga almarhum Muhdi, saya akan kirim anggota yang lain. Saya sendiri juga pernah mempelajari kasus kematian Muhdi dan banyak issue bahwa kasus ini berhubungan dengan Badan Intelijen Negara.”
"Tentu saja,"
“Jadi biar lebih efektif. Virli,” panggilnya. “Kamu pagi ini akan mewawancari seseorang penting yang di issue kan terkait kasus ini tujuh tahun yang lalu.”
. . .
Camry hitamnya memasuki rumah dengan pagar tembok yang sangat panjang. Virli memperkirakan sekitar 30 meter lebih hanya untuk halaman saja, Benar-benar khas sebuah rumah mantan pejabat tinggi.
Masuk ke dalam kembali terlihat lingkungan tropis khas pinggiran kota, pohon rambutan dan pohon cimpedak lagi. Sementara di rerumputan halaman terdapat angsa putih yang berkeliaran bebas.
Dua mobil sedan hitam terparkir di garasi, dengan sebuah SUV berwarna putih di sampingnya, dan sebuah mobil klasik berwarna biru telur. Di teras tampak meja besi berwarna putih bundar dengan empat bangku yang di ukir klasik, pastinya biasa digunakan untuk santai minum teh pada pagi atau sore hari.
Rumahnya memang besar berlantai dua dari depan dan ke belakang ada satu tingkat lagi.
Eksterior terlihat vintage, cukup mewah seperti yang sering dia lihat di film-film Indonesia 70an - 80an. Tidak bisa disebut klasik tapi tidak juga bisa dibilang modern, karena itu untuk model seperti ini sering dia sebut Retro.
Cat temboknya luarnya berwarna broken white dengan beberapa pilar yang berwarna hijau. Mungkin karena usia dan selera pemilik rumahnya. Untuk di jamannya, model seperti ini bisa dibilang sangat keren. Di beberapa sudut juga tampak ornament khas arsitektur Bali. Ukiran-ukiran pada furniture di teras, serta beberapa patung yang etnik, juga yang paling mencolok gerbang kecil yang khas seperti pintu masuk Pura. Suasana seperti ini membawa rasa kangen Virli untuk kembali ke kampung halaman-nya di Gianyar.
Seperti yang dijelaskan Kombes Hendra, bahwa mereka memiliki sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai insiden kematian Muhdi 7 tahun yang lalu. Seorang mantan pejabat tinggi di BIN (Badan Intelijen Negara) Tahun di mana kasus Muhdi terjadi adalah tahun terakhir dari pejabat itu bekerja.
Virli sendiri juga sudah melakukan riset cepat tentang orang yang akan di wawancari ini. Di beberapa photo yang dia lihat di table-nya Jenderal bintang 3 ini memiliki mata agak sipit dengan wajah gemuk yang ramah, namun dibalik itu ada banyak isu mengenai dirinya dan beberapa insiden-insiden militer di perbatasan. Satu lagi hal penting yang di share pada Febry dalam perjalanan, kebanyakan orang berpikir bahwa kantor BIN itu berada di tengah kota atau di distrik elit seperti Kuningan atau wilayah SCBD Senayan, atau mungkin di MH. Thamrin atau dekat Istana. Padahal justru kantor BIN yang sebenarnya berada di wilayah pinggiran Jakarta yaitu Pejaten Timur daerah Pasar Minggu. Begitu pula dengan pesiunan pejabat ini, dia lebih memilih wilayah yang tenang dan sejuk dipinggiran kota daripada di pusat kota yang modern.
Dari balik kaca mobil Virli sudah melihat tuan rumah duduk santai menunggu mereka di teras. Kakek gemuk itu tersenyum sambil sesekali tertawa bicara dengan ajudannya. Tidak jauh beda dengan yang dia lihat di table, Jenderal Tubagus adalah orang yang berperawakan sedang bertubuh gemuk berambut putih dan berwajah ramah. Namun dibalik senyuman itu Virli bisa merasakan bahwa orang ini adalah salah satu orang yang paling berbahaya pada zamannya.
Tuan rumah menyabut Virli seolah seorang kakek menyambut cucu-nya, dia juga menawarkan Teh dan roti hangat tuk sarapan bersama di teras.
View di belakangnya adalah taman yang asri, Virli rasanya pernah melihat pemandangan ini di sebuah talk show khusus di TV, di mana seorang anchor terkenal mewawancari para pejabat sambil menemaninya berjalan ringan di sebuah taman. Mungkin pesiunan militer ini juga pernah masuk acara TV itu, atau mungkin mengajak media atau wartawan untuk duduk bersama di sini.
Bagi Virli sendiri, ini bukan kali pertama dia mewawancari seorang Jenderal atau pejabat tinggi negara.
Dia tidak pernah gugup dengan orang yang jauh lebih kaya darinya. ‘Jika ditusuk mereka pun akan berdarah’ begitu kata Ayahnya. Tapi tidak untuk Bripda Febry yang sudah terlihat gugup sejak keluar dari mobil dan berjalan di sampingnya.
. . .
Di atas meja minum teh warna putih yang berlabel IKEA, Jenderal Tubagus lah yang memulai pembicaraan, obrolan paginya di buka dengan topik-topik ringan seputar isu politik beberapa kandidat presiden, juga masalah ekonomi, hingga berita tentang penanganan banjir di Jakarta. Selalu tanggapan aneh tak berujung, menyalahkan pemerintah, saya akan laporkan ke pemerintah pada yang bicara itu adalah gubernur lalu siapa pemerintahnya? Bahkan presiden juga terkadang mengucapkan kata-kata klise seperti itu? Saya akan bicarakan dengan Pemerintah.
Kemudian pembicaraan memasuki babak baru ketika dia menyebut sebuah nama.
“Hendra Wiryawan,” ujarnya dengan menaikan suara. “Harusnya dia bekerja di Badan Intelijen, bakat dan prestasinya itu. Ah sayang idealismenya membuat dia tetap menjadi perwira di Polda.”
“Anda pernah bekerjasama dengan Pak Hendra?”
“Iya tentu saja siapa yang tidak kenal dengan Hendra Wiryawan.”
Berhadapan dengan orang-orang seperti ini, terkadang Virli bertanya-tanya sendiri apa yang membuat orang yang diwawancarinya seolah begitu kuat, apakah karena jabatannya, kekayaannya, atau kecerdasaannya, sampai sekarang Virli masih sering bertanya-tanya apa itu karisma seorang laki-laki? Sesuatu yang bahkan lebih daripada sekedar wajah yang tampan atau tubuh yang berotot. Sesuatu yang lain, sebuah energy kalau tidak menyebutnya sebuah aura.
“Kami pernah bekerjasama untuk beberapa kasus. Terakhir teroris yang melakukan pencurian bahan peledak dari PT. Merapi Enji itu. Kami berhasil menemukan lokasi persembunyian mereka dengan bantuan Hendra. Dia ahli dalam, apa namanya pelacakan geografi?”
Virli diam sejenak, matanya bergerak ke kiri. “Triangulasi.”
“Iya itu, dia melacak lokasi para tersangka dari tempat muncul dan menghilangnnya pelaku di atas peta, dengan perhitungan matematik trigonometri dan bagaimana dia mengaris satu titik ke titik yang lain. Dia bisa memperhitungkan di mana markas para penjahat itu bersembunyi, sampai di mana mereka akan melakukan aksi selanjutnya. Luarbiasa untuk kepolisian Indonesia pada saat itu. Tapi sekarang kalian sudah menggunakan program komputer ya untuk melakukan pelacakan bukan.”
Virli tersenyum simpul.
Jenderal di hadapannya bicara banyak hal dengan begitu semangat. “Selama saya berkarier di intelijen, dia polisi pertama di Indonesia yang mempraktekan teknik itu, dan berhasil menangkap pelaku.”
“Wah saya baru tahu.”
“Iya, apalagi sekarang. Dia tambah hebat saja dengan kamu di dalam Tim-nya.”
Pujian itu membuat Virli tersenyum lebar. “Ah saya tidak sehebat itu, lagipula saya bukan polisi.”
Pria berambut putih itu meledakan tawa.
Menghabiskan teh hangat dari cangkir putih lalu, percakapan yang sebenarnya di mulai.
“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Tentang kasus Muhdi, tujuh tahun yang lalu itu?”
“Oh, itu lagi. Semua orang selalu mendatangi saya untuk membicarakan tentang itu. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagikan, kamu pasti sudah pernah baca kisahnya. Di jurnal, di artikel, di majalah, di koran atau apapun. Sudah terlalu banyak beritanya.”
“Iya, tapi saya ingin melihat dari pandangan anda.”
“Secara langsung? Apakah ini interogasi? Saya juga membaca riwayat anda Nona Virli, anda seorang detektif partikelir specialis interogasi,”
Virli tersenyum. “Mereka terlalu berlebihan Pak.”
“Hahaha…” sang Jenderal tertawa keras.
“Muhdi memang seorang kritikus,” lanjut purnawirawan tersebut dengan suara yang tinggi. “Tapi dia tidak masuk radar kami, lagipula soal kritik di Koran banyak orang yang lebih vocal daripada dia tapi mereka baik-baik saja bukan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang mengacam keamanan Negara bukan seseorang yang hanya bicara di media.”
Si gadis cantik hanya diam saja kecuali matanya yang tentang melakukan scanning gesture.
“Virli, kamu juga seorang pengamat bukan, kamu pasti sudah melakukan riset cepat tentang Muhdi dari beberapa media? Ada hal-hal yang berlebihan bukan? Tahun sebelum dia meninggal kamu tidak menemukan catatan special mengenai Muhdi, sekalipun kamu menemukan beberapa artikel itu hanya catatan biasa. Seperti istilah dari cucu saya, mereka penulis blogger yang kurang populer.”
Virli tertawa ringan. “Iya, benar.”
“Lalu setelah setahun dia meninggal begitu banyak catatan yang mengagungkan prestasi-prestasinya, tapi kamu sendiri nggak pernah tahu tentang itu. Kamu bertanya-tanya apakah catatan-catatan setelah dia meninggal itu valid?
Jenderal Tubagus pun menjelaskan seperti apa yang telah dia jelaskan ke media-media. Hal-hal yang dia tahu, dan Virli memvalidasi dari gerak tubuh pria berambut putih itu.
Semuanya terlihat jujur, tidak ada deviasi, tidak ada yang dibuat-buat. Meski ada satu atau dua anomali tapi itu bukan menyatakan tentang kebohongan melainkan memang ada hal lain yang dia tahu, tapi menurutnya tidak layak untuk diungkapkan di sini.
“Sebagai seorang investigator, kamu menangani banyak kasus pembunuhan dan kadang merasa janggal ketika satu kasus dipilih sementara kasus yang lain ditunda, padahal keduanya adalah sama-sama kasus pembunuhan. Tapi para atasan memaksa kamu untuk melakukan diskriminasi terhadap para korban. Satu anak pejabat tinggi diculik dan kamu harus menemukannya, sedangkan beberapa anak dari keluarga miskin menghilang dan kamu harusnya menundanya dengan alasan yang tidak masuk akal. Kamu tahu ada kasus-kasus yang di blow up oleh media, dan seolah-olah suara masyarakat yang memaksa kamu untuk menuntaskan kasus tersebut, memaksa kamu untuk mengerahkan banyak energi yang kamu rasa percuma, sementara kasus lain yang kamu juga ketahui keadaan korbannya jauh lebih parah malah kamu abaikan.”
Virli setuju dengan konsep itu keadilan bagi semua orang, tidak pilih-pilih kasus apakah pejabat tinggi atau orang biasa. Semua harus dilayani dengan baik.
Kata-kata klasik yang sudah di dengar dari Ayahnya saat dia SMP.
“Kadang kita harus menjalani perintah yang tidak sesuai dengan hati nurani kita, saya akui saya membuat banyak kesalahan dahulu. Saya tidak benar-benar berbuat baik, ketidakadilan bagi para korban, diskriminasi. Korban yang satu seolah sangat penting sementara yang lain seolah dianggap tidak penting. Lalu kasus pun mendingin dan menghilang di antara tumpukan kertas file di gudang arsip. Para ahli forensic UI itu bilang bahwa sejak semula, procedural pemeriksaan jasadnya sudah salah, apalagi saat visum semua informasi yang sangat penting sudah menjadi kabur.”
“Maksud anda ada manipulasi?” Tanya Virli.
“Sejak awal menurut saya laporan forensik itu sudah di manipulasi? Lalu datang ahli forensik lain yang menyatakan berbeda, namun berkas sudah masuk pengadilan, Jaksa sudah mengajukan tuntutan, dan hakim sudah memutuskan perkara. Informasi yang salah, ditambah dengan apa kata para pakar yang masih sekedar rumor dan asumsi, serta issue public pun saling bertautan. Semuanya campur aduk, dan kamu pasti tahu prinsip dalam penyelidikan. Terlalu banyak informasi mengkontaminasi kebenaran yang sesungguhnya.”
“Jadi anda merasa tidak terkait dengan semua ini?”
Tubagus tertawa keras. “Tentu saja, saya bahkan baru bertemu nama-nama yang disebutkan itu di pengadilan. Tak ada satu pun yang terkait dengan saya. Persidangan itupun menurut saya hanya omong kosong, Terlalu banyak rotasi, terlalu banyak yang diganti, terlalu banyak disorot media, “
Jenderal Tubagus bicara panjang mengenai persidangan yang dihadirinya, mengenai para jaksa-nya, para saksi, serta para hakimnya. Tentang dakwaan, tentang bantahan, tentang alibi, perdebatan forensik, dan sebagainya.
Tidak jauh beda dari informasi yang dibacanya dua jam yang lalu.
Informasi yang sama dengan wawancara Jenderal Tubagus bersama wartawan majalah politik ternama itu. Catatan yang sama, alasan yang sama, tidak ada yang baru. Hanya saja kali ini dia memvalidasi informasi tersebut langsung dari sumbernya.
Para jaksa mengungkapkan alibi-alibi yang salah, juga tentang motif yang salah, juga tentang dirinya di fitnah, saksi-saksi yang palsu, lalu masalah konspiras yang mengaitkan kasus Muhdi dengan pemenangan partai politik tertentu saat pemilu beberapa tahun yang lalu, hingga isu scenario kepentingan asing terhadap intelijen Indonesia.
Setelah menjabarkan pandangan-pandangannya terhadap kasus Muhdi, Jenderal Tubagus pun menanyakan kembali apa maksud dan tujuan Virli ke rumahnya.
Virli tidak langsung menjelaskan, dia hanya sharing sedikit bahwa Kombes Hendra sedang menangani kasus kematian misterius Bastian Michaelis alias Burhan Simamorang yang merupakan pengacara dari terpidana Pladius Purnomo. Jenderal Purnawirawan itu menunjukan mimik terkejut sewaktu Virli menyebut nama Pladius, namun sedetik kemudian reaksi itu menjadi samar dan kembali dia bicara dengan tenang.
. . .
“Iya, Pernyataan Pak Tubagus sangat masuk akal. Tapi pertanyaan saya apa benar anda tidak terkait dengan Pladius Purnomo? Apa benar dia bukan anggota anda? Dan bagaimana dengan Protokol hantu yang katanya dijalankan oleh Pladius?”
“Protokol Hantu,” Jenderal Tubagus terkekeh. “Iya, protokol itu memang ada, tapi kamu bisa lihat pernyataan Pladius dalam persidangan, bukan kah itu aneh. Dia bicara semua, dia berkicau seperti burung beo. Kamu pasti tahukan seorang agen dengan protocol hantu lebih baik bunuh diri daripada bicara tentang sebuah rahasia.Tapi orang yang kita bahas ini sebaliknya dia dengan bangga mengakui bahwa dia adalah seorang intel.”
Pria di hadapannya kembali tertawa. “Hahahaha… bukankah itu konyol.”
“Kamu juga tahu kan, sebuah kehormatan, sebuah prinsip yang harus dijunjung. Kamu pasti punya kode etik tersendiri dan kamu tidak akan bicara tentang kode etik kamu, bahkan di pengadilan, karena ada hal-hal rahasia yang mesti kamu jaga. Ini prinsip paling utama, syarat utama untuk bekerja di bidang intelijen, kamu harus ahli dalam menjaga rahasia.”
Kata-kata itu begitu berwibawa.
Virli melakukan scanning pada seluruh posture dan gesture pria di hadapannya. Orang ini 95% terlihat jujur, sama seperti pada awal percakapan. Tidak ada deviasi dari baseline, tidak ada tanda-tanda berbohong, dan penjelasannya pun terdengar sangat masuk akal. Dia juga setuju dengan gagasan Tubagus, rasanya terlalu aneh ketika seorang agen intelijen mengungkap jati dirinya di pengadilan negeri. Pengadilan kecil yang seharusnya menindak lanjuti masalah kriminal umum.
Si gadis cantik melirik jam tangan, waktu habis.
Sang Jenderal juga bisa membaca gerak tubuh Virli, ada kegelisahan di sana.
“Sebenarnya kalian sedang menyelidikan apa sih? Apa yang Hendra Wiryawan kerjakan?” Tanya Tubagus.
“Tapi kami…”
“Iya, saya tahu. Tidak perlu detail cukup di permukaan saja, siapa tahu saya juga punya informasi yang bisa membantu kamu.”
Virli agak ragu, tapi karena ini sudah final harus dia katakan. “Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, kami menyelidiki kematian Bastian Michaelis, lalu semalam seperti yang anda tahu di beritakan di media-media. Bahwa Boss dari Johadi Telco. yaitu Said Johadi ditemukan tewas dalam. Kami curiga kalau kedua kasus itu saling terkait tapi kami sampai sekarang belum menemukan bukti yang pasti mengenai keterkaitan antara mereka berdua.”
“Saya tidak percaya itu, kalian lebih pintar daripada bawah-bawahan saya yang sekarang menjabat di BIN. Kalian pasti menemukan sesuatu semalam?” Desak Tubagus.
Virli menghela nafas, dengan sangat terpaksa dia bicara. “Sebenarnya ada satu keterkaitan antara mereka berdua, satu nama yang mengaitkan mereka berdua. Meski begitu saya belum punya bukti bisnis apa yang pernah mereka lakukan bersama.”
“Tak usah bertele-tele, sebut saja namanya?”
“Dia Batara Billy, pimpinan Batara Corp.”
“Oh anak muda itu, Pangeran dari keluarga Batara.”
“Iya, secara tidak langsung saya menemukan korelasi dua korban tewas itu dengan Batara Billy, pertama Bastian Michaelis dia pernah bekerja sebagai konsultan hukum untuk keluarga Batara, sedangkan Said Johadi jelas adalah pesaing bisnis mereka di bidang telekomunikasi dan internet. Tapi keterkaitan itu terlalu kecil dan tidak bisa menjadi petunjuk untuk sebuah motif pembunuhan.”
Virli menghabiskan Teh di cangkirnya, menunggu apa yang sang Jenderal tahu.
Tubagus pun mengubah gesture, kedua tangannya naik ke atas meja. Dia mengerti situasi apa yang sedang mereka hadapi, saatnya menyampaikan pendapat.
“Ini bukan bicara tentang politik menjelang pemilu, tapi dari pandangan saya, keluarga Batara memang keluarga elit yang sangat berbahaya. Empat tahun yang lalu, sahabat saya di KPK bercerita bahwa sehari sebelum surat perintah pemeriksaan terhadap kantor dan arsip-arsip Perusahaan Batara keluar, tiba-tiba terjadi kebakaran yang menyebabkan semua arsip itu hilang. Di lain waktu, saat akan menyelidiki dokumen-dokumen keuangan Batara Corp. hanya beberapa jam sebelum polisi dan petugas KPK datang. Tiba-tiba tempat yang dituju itu di rampok orang. Hal-hal yang tidak masuk akal, kami bahkan tidak punya bukti. Lalu sahabat saya di KPK. di saat sedikit lagi mendapatkan bukti tiba-tiba dia terkena kasus yang saya yakin dia bahkan tidak pernah melakukannya.”
Virli tahu siapa sahabat Jenderal yang dimaksud, berita memang begitu luar biasa di koran ketika pejabat KPK sendiri yang seharusnya memburu koruptor tiba-tiba terkait sebuah skandal.
“Permainan klasik,”
“Iya, saya sendiri juga membicarakan ini dengan cucu-cucu saya! Hahaha…” sang Jenderal kembali tawa. “Kamu tahu, kamu persis dengan cucu saya, dia penggemar film-film Korea. Kemarin kami nonton bersama sebuah film action yang mengambil tema serius, cerita di film itu mengingatkan zaman saya waktu bekerja di BIN. Ah, luar biasa mereka. Sayang Indonesia belum sampai ke sana.”
. . .
Subscribe to:
Posts (Atom)