Sunday, October 5, 2014

Walk Among The Tombstone


Walk Among The Tombstone (2014)
Review by Ftrohx


Lagi-lagi kasus penculikan dan ini bukan yang pertama bagi Liam Neeson setelah dua film sebelumnya Taken satu dan dua.

Tapi di sini, dia berperan sebagai karakter yang berbeda. Bukan seorang mantan agen rahasia yang mampu membantai puluhan orang sekaligus, melainkan hanya seorang detektif swasta dengan kemampuan fisik biasa.



Sebelumnya, untuk film Hollywood yang mengambil tema penculikan, ada dua yang jadi favorit saya; Man on Fire (2004) yang dibintangi oleh Denzel Washington dan Dakota Fanning. Dan Taken satu yang diperankan oleh Liam Neeson sendiri. Di Man on Fire, terjadi penculikan seorang anak pejabat yaitu Dakota Fanning, namun meski uang tebusan sudah dikirimkan, anak yang diculik itu tetap terbunuh. Karena itu Denzel sebagai pengawalnya punya tanggung jawab sekaligus dendam kesumat pada para penculik. Yang kemudian dia membantai seluruh penculik itu satu per satu. Sedangkan Taken, seorang gadis diculik. Sayangnya, mereka menculik cewek yang salah karena bokap dari cewek itu adalah mantan agen rahasia yang punya lisensi untuk membunuh, dan tentu saja Liam Neeson membantai mereka semua dari hulu sampai hilir.

Selain itu tentang fiksi detektif dengan tema penculikan ada Along Come Spider yang dibintangi Morgan Freeman, dan Lindbergh Kidnapping Case (yang ini bukan fiksi) namun menginspirasi Agatha Christie menciptakan salah satu kasus detektif paling mencengangkan sepanjang sejarah yaitu Murder in Orient Express. Saat ini saya masih membaca keduanya, kasus penculikan seorang anak yang menghebohkan seluruh media massa di Amerika bahkan dunia. Kasus Lindenbergh yang konon melibatkan orang dalam, bahkan ada teori bahwa kasus tersebut di rekayasa sendiri oleh kedua orangtua dari anak yang diculik tersebut. Entah, rasanya sungguh mengerikan membayangkan ada orang tua yang tega melakukan hal tersebut, mungkin saja media massa membuat-buat teori mereka sendiri dengan sangat berlebihan agar korannya laku.

Ok, bagaimana dengan Walk Among The Tombstone.

Cerita ini kembali ke akar permasalahan, kembali ke tema klasik, penculikan yang memang murni penculikan tanpa ada teori konspirasi.

Para pelakunya, mereka bukan penjahat super, mereka hanya penjahat biasa yang sedikit lebih pintar. Mereka adalah psikopat yang sangat menikmati menyakiti orang (terutama wanita) menyiksa para korban hingga tewas dan melakukan aksi mutilasi jasad korban, seolah hal yang biasa seperti candu ataupun seks.

Sedangkan jagoannya, Detektif Matthew (Liam Neeson) adalah mantan detektif kepolisian yang ingin menjadi orang baik dan pengurus gereja bagi mereka yang kecanduan alkohol. Dia hanya ingin menjadi orang baik, namun hal-hal yang buruk selalu mengikutinya seperti bayangan.

Suatu malam, seorang pecandung yang sering membantunya sebagai informan datang. Dia mengganggu Matthew saat makan malam dengan sebuah permintaan bantuan penyelidikan.

Matthew menolaknya, namun melihat wajah si pecandung yang murung di trotoar yang sedang hujan deras itu. Rasa belas kasihan pun membuatnya turun tangan.

Diperkenalkanlah sang kakak, seorang pria kelas menengah yang mengaku bekerja di bidang real estate, namun Matthew bilang bahwa si lelaki tersebut berbohong, pekerjaan sebenarnya adalah seorang bandar narkoba. Istri dari si bandar diculik, dia pun telah mengirim uang tebusan sebesar 600ribu dollar. Namun, setelah tebusan itu diberikan justru istrinya tetap ditemukan dalam keadaan tewas. Si Bandar ingin membalas dendam dia meminta Detektif Matthew untuk melacak, para penculiknya.

Tapi sang detektif menolaknya, dia bilang lebih baik kasus ini dilaporkan ke polisi, namun si Bandar tetap ngotot bahkan memohon.

Di sini uniknya Detektif Matthew. Tidak ada pamer deduksi ala Sherlock Holmes, analisis body language ala Carl Lightman, ataupun ilmu forensik ala Tim CSI. Film ini benar-benar bersih dari ilmu itu. Saya sendiri, sebenarnya bertanya-tanya, bagaimana Matthew bisa menebak kalau kliennya adalah seorang bandar narkoba dari hanya melihat furniture dan interior rumahnya. Saya sendiri masih ingin menonton ulang film ini, mungkin ada sesuatu yang saya lewatkan saat Matthew melihat rumah tersebut.

Karakter sang detektif sendiri benar-benar sepi seolah kuburan yang diguyur hujan. Dia menyimpan semuanya sendiri, baik deduksi atau metode penyelidikannya. Bahkan jika dibanding film Zodiac yang tidak memiliki karakter problem solver pun, masih ada deduksi dalam film tersebut. Sedangkan di sini, seolah sang sutradara sengaja membiarkannya, sengaja membuat para penonton mengambil kesimpulan mereka sendiri. Tapi mungkin di sini tujuan, sang penulis ingin menyampaikan karakter detektif yang REAL yang murni detektif, bukan jagoan, bukan super-hero apalagi anti-hero. DIa hanya orang biasa yang melakukan pekerjaan berbahaya demi sesuatu yang sangat dia yakini.

Sang detektif pun tergerak hatinya, takala dia pesan dalam bentuk kaset yang ditinggalkan penculik.

Benar-benar oldschool. Sebuah kaset, sudah lama saya tidak pernah melihat apalagi menyentuh benda itu. Klasik, hampir lupa saya, bahwa film ini bersetting di bulan Juni / Juli di tahun 1999. Iya, enam bulan sebelum pergantian milenium dengan hebohnya issue Y2K yang akan menghentikan jam di semua peralatan elektronik. Rasanya benar-benar memorable, bahkan saya sendiri nyaris tak sadar bahwa saya besar di tahun 90-an. Hahahaha...

Penyelidikan dimulai dengan cara-cara yang juga klasik, sang detektif mengunjungi TKP terakhir di mana korban ditemukan, lalu sang detektif meng-interview satu per satu warga yang ada di sekitar TKP. Selain itu dia juga menyelidiki melalui artikel-artikel di koran, dan asiknya Amerika adalah tiap artikel koran dibuat versi e-paper nya yang bisa dibaca secara gratis di perpustakaan umum. Sial, tidak ada seperti itu di Indonesia. Lalu, secara kebetulan di perpustakaan itu Detektif Matthew bertemu dengan anakmuda kulit hitam bernama TJ. Dia meminta bantuannya untuk pencarian melalui database e-paper, dari sini duet mereka pun dimulai, meski tidak benar-benar duet detektif dan asistennya, tapi mereka punya keterikatan yang unik dan jadi bumbu tersendiri bagi film ini.

Bersama dengan TJ dan informasi dari database koran e-paper, Detektif Matthew menemukan kasus-kasus yang  serupa dengan yang dia tangani, para korbannya adalah wanita cantik, mereka diculik, diperkosa, dan dimutilasi. Para korbannya juga memiliki keterkaitan yaitu mereka adalah orang-orang yang punya kekasih ataupun keluarga seorang bandar narkoba. Kemudian sang detektif menemukan korban pertama (saya lupa namanya) dia ditemukan di sebuah kolam di tempat pemakaman umum. Nah, di sinilah kenapa judulnya Walking Among the Tombstone.

Sebelum masuk ke penjahat, dari pengalaman saya, ada empat jenis penculikan; pertama penculikan yang murni karena uang (contoh RANSOM filmnya Mel Gibson,) kedua penculikan untuk mengancam atau aksi teror (ini seperti yang dilakukan Joker di film Dark Knight,) ketiga penculikan dengan motif pemuasan diri/ego yang biasanya dilakukan oleh para psikopat (contoh kasus di film Seven-nya Brad Pitt), dan terakhir penculikan dengan teori konspirasi (contoh kasus Lindenbergh dimana terdapat banyak dan tiap teori selalu buntu atau membuat percabangan teori yang lain.) 

Di film ini karakter penjahatnya adalah murni psikopat, mereka memang mengincar uang dari keluarga korban yang diculik namun tak masalah apakah uang itu mereka dapat atau tidak, karena dari para korban mereka mendapatkan kepuasan tersendiri dengan aksi-aksi brutalnya. Tema psikopat seperti ini memang khas era 90an. Sederhana tapi cukup keren.

Tidak seperti Taken, penyelidikan di film ini berjalan dengan plot yang lambat, minim ketegangan. Namun, di sini bagusnya mereka menciptakan karakter yang nyata apa adanya dari sosok seorang detekif swasta. Bahwa penyelidikan kadang berjalan dengan sangat membosankan apalagi jika kamu melakukan semuanya sendiri. TJ memang ada dan hadir sebagai asisten. Tapi Matthew terlalu mengkhawatirkan keselamatannya, sehingga lebih banyak penyelidikan dia lakukan sendiri.

Di sela-sela penyelidikan, terdapat pertemuan dengan percakapan ringan antara Sang Detektif dengan informan kecilnya si TJ. Mereka bicara tentang teori detektif fiksi, bahwa karakter detektif itu mesti punya nama yang KEREN kayak Phillip Marlowe-nya Raymond Chadler. Juga, teori-teori yang lain. Saya sempat tertawa sendiri dengan scene di restoran kecil itu. Asli "GUE BANGET!!"

Tempat-tempat yang dituju sang detektif juga khas, pinggiran kota New York lingkungan Urban yang seolah ditinggalkan penghuninya, juga cuacanya saya suka 'HUJAN' baik di flash back saat sang bandar memberikan uang tebusan dan menemukan jasad istrinya, maupun saat klimaks di mana sang detektif menemukan rumah dari dua penculik psikopat itu. Hujan berhasil membuatnya menjadi sangat dramatis. Visualnya juga saya suka, menelusuri jalan-jalanan malam. Mengingatkan saya dengan film Zodiac (2007) juga Perfect Number (2012.) Iya, beginilah harusnya Noir Detective. Memang banyak lubang dalam plot di sana-sini. Memang ada beberapa kekurangan. Tapi kembali lagi, inilah asiknya novel dan film detektif. Kita tidak bisa menikmatinya hanya dengan sekali baca, kita harus baca lagi dan lagi untuk memahami misterinya (atau cara untuk memecahkannya.) Dan unsur ini berhasil dibawakan oleh sutradaranya, mungkin karena itupula IMDB memberi rating 7 skala 10.

.  .  .

No comments:

Post a Comment