Oleh Fitrah Tanzil
Bab 1
Wanita di Bawah Hujan
Rabu, 27 April pukul 2 siang. Alicia Kusuma setengah tidur di distronya.
Tak ada pelanggan sejak pagi dan yang sekilas terlihat cuma para tetangga yang menyapa atau sekadar berteduh di teras depan. Beberapa bulan ini, perempuan berjam tangan hiu ini lebih sibuk dengan pesanan yang datang melalui Whatsapp dan Instagram dibanding orang-orang yang langsung datang ke distro.
"Klik," pintu terbuka mengejutkan Alice yang sedang fokus di laptopnya. "Permisi," suara seorang wanita menyusul.
Ia refleks bangun dari tempat duduknya. “Silakan!”
Si pelanggan adalah gadis muda bermata sipit dengan kulit putih dan tubuh yang kurus. Ia mengenakan jaket merah bahan parasut dengan wajah yang tampak gugup.
"Permisi. Apa ini Distro Ichigo yang khusus untuk kostum cosplay anime itu?" tanyanya.
"Iya, benar," jawab si tuan rumah. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Hmm, saya mencari Alicia Kusuma."
"Iya, saya sendiri."
Si gadis mendekat dengan wajah penasaran. “Anda si detektif dengan jam tangan hiu itu?”
Untuk sepersekian mikro detik Alice terkejut, namun kemudian ia menggeleng sambil menyembunyikan tangan kirinya ke belakang. “Bukan,” ucapnya cepat. “Ngomong-ngomong, ada perlu apa ya?”
"Nama saya Pammy," si gadis menyodorkan tangan. "Saya menemukan alamat ini dari temannya teman saya. Namanya Ikhsan, dia merekomedasikan nama Anda."
"Rekomendasi? Maksudnya?"
Pammy menunduk sesaat sambil menarik napas dalam. "Begini, sebenarnya saya butuh bantuan Anda untuk menyelidiki kasus pembunuhan."
"Kasus pembunuhan,” dia terkekeh. “Maaf, tapi saya bukan detektif swasta. Saya enggak bisa bantu kamu.”
“Itu juga yang mereka bilang.”
“Mereka bilang?”
“Iya, mereka memperingatkan saya kalau Kak Alice akan mengatakan hal itu.”
“Sungguh, saya tidak bisa bantu kamu. Tapi saya kenal beberapa nama yang mungkin bisa.”
Si gadis memasang wajah sedih. “Sudah saya duga bakal seperti ini.”
“Sungguh, sorry banget, saya enggak …”
“Enggak, justru saya yang minta maaf sudah datang ke sini,” potong Pammy dengan cepat. “Sebelumnya, beberapa orang sudah melakukan hal itu ke saya, dan terakhir si Ikhsanul Arifin ini, dia menyuruh saya ke Distro Ichigo dan bertemu Anda."
Alice mengecap bibir. Entah apa yang ada di kepala si Muka Zombie itu hingga mengirim gadis kecil ini ke tempatnya.
"Maaf tapi saya sudah lama tidak buka praktik penyelidikan."
Namun Pammy tetap tak mau menyerah. “Anda berhasil memecahkan kasus yang rumit itu, kasus Topeng Gading tiga tahun yang lalu. Saya yakin Anda bisa menolong saya untuk menemukan si pelaku ini, sebab mereka pola yang hampir sama.”
“Tidak, saya tidak bisa membantu Anda,” ucapnya dingin.
"Yang terbunuh adalah kakak saya, Kimberly Oktaviani," si gadis berteriak dengan mata berkaca-kaca. “Saya enggak tahu harus pergi ke mana lagi. Saya bertemu dengan seorang detektif swasta tapi saya tidak percaya dengan mereka. Saya tidak pernah bisa percaya dengan laki-laki. Lalu saya menemukan alamat Anda dari seorang teman. Mereka bilang coba aja kamu hubungi detektif wanita ini, siapa tahu dia bisa membantu. Makanya siang ini saya berada di sini.”
Si hiu menggosok dagu. ”Oh, begitu. Saya mengerti tapi…”
“Saya mohon!” seru si gadis.
Untuk beberapa detik, ia terdiam. Hingga kemudian Alice berkata, “Baiklah, akan saya bantu. Tapi bukan hari ini.”
Pammy mengembang senyum. “Terima kasih!”
Ia pun membalas senyum dengan canggung.
Si gadis cantik berwajah chinesse itu balik badan dan berjalan ke pintu keluar. Namun Alice menghentikannya. “Bentar, Pammy, kejadian di mana?”
“Dia ditemukan di Taman Grande, BSD, sekitar jam 3 sore.”
“Kejadiannya di hari apa?”
“Kamis, 7 April lalu.”
Jam tangan hiu melangkah ke depan. “Hmm, Kimberly ini, dia bekerja atau kuliah?”
“Dia bekerja di sebuah kantor di Jagakarsa.”
“Hmm, dia tinggal di rumah atau ngekos?”
“Dia tinggal bersama kami di Cibubur.”
“Rumah keluarga.”
Pammy mengangguk. “Iya.”
“Oke, saya mulai membayangkannya. Itu terjadi pada hari kerja, siang ….”
“Dan hujan pula,” potong Pammy.
“Hujan?”
“Iya, hujan.”
“Hmm?” Jari Alice naik ke bibir, matanya melirik ke kanan atas.
“Saya yakin dia tidak pergi sendirian,” tambah si gadis berjaket merah. “Pasti ada orang di sana yang mengajaknya. Orang yang menyuruhnya datang ke taman dan membunuhnya.”
“Kamu sudah bicarakan teori itu ke polisi?”
“Justru polisi sudah menemukan siapa tersangkanya.”
Ia sedikit tersentak. “Eh, maksudnya?”
“Mereka menemukan dua preman ini,” jari menunjuk keluar. “Dua lelaki yang katanya berada di Taman Grande pada saat kejadian. Mereka merampok Kak Kimmy yang kebetulan berada di sana dan menusuk-nusuk tubuhnya. Mereka kabur, bersembunyi di daerah Bogor sampai kemudian polisi menemukannya.”
“Kalau begitu harusnya kasus ini sudah selesai dong?”
“Iya tapi saya tidak percaya dengan hal itu. Saya tidak yakin kalau mereka adalah pelakunya.”
“Kenapa?”
“Sebab saat diinterogasi, ditanya di mana mereka menyimpan handphone dan dompet Kak Kimmy, mereka cuma bilang handphonenya sudah dijual dan dompetnya sudah dibuang ke kali. Tapi sampai sekarang, dicari pun handphone dan dompet itu tidak ketemu.”
“Tapi mereka mengaku melakukannya?”
“Iya dengan wajah yang sudah bonyok.”
Alice melangkah mundur dan menarik napas dalam. “Hmm, oke, saya mulai paham situasinya.”
“Dugaan saya,” lanjut Pammy. “Para polisi itu menangkap dua preman itu untuk bicara apa yang mereka mau. Supaya kasus ini cepat selesai.”
“Tapi bagaimana kalau faktanya memang mereka pelakunya?”
Si gadis menggeleng. “Tidak, saya sangat yakin bukan mereka. Sebab…” tiba-tiba dia berhenti bicara. “Sebab… ada informasi lain yang saya kumpulkan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka paparkan.”
“Informasi apa?”
“Saya akan jelaskan nanti jika Kak Alice mau ikut dengan saya ke TKP.”
Ia terdiam sebelum membalas. “Oke tapi bukan sekarang.”
“Besok siang gimana?”
“Baik, besok siang.”
Pammy pun pamit dan berjalan ke arah pertigaan.
. . .
Lima menit berlalu dan ruangan kembali sepi.
Dengan cepat Jam Tangan Hiu mengambil handphone dan menelepon teman lamanya, Bimo si Inspektur muda di Polda Metro Jaya.
“Halo, Bim,” sapanya.
“Alice, tumben sekali?” balas si polisi.
“Iya, memang sangat tumben sekali. Begini, I need your help, kamu tahu kasus jasad wanita di Taman Grande BSD?”
“Oh, itu. Iya, aku tahu seorang cewek cantik yang ditemukan meninggal di tengah taman. Kalau enggak salah dua minggu yang lalu bukan?”
“Hampir tiga minggu tepatnya.”
“Iya, cuma itu urusan Polres Tangsel, bukan kantorku di Komdak sini.”
“Iya, aku ngerti,” ia terdiam beberapa detik di telepon. “Hmm, Bim, bisa minta tolong nih?”
“Tolong apa?”
“Bisa enggak kamu cari info tentang kasus ini, detailnya dari Polres Tangsel?”
Ada jeda di telepon, sebelum Bimo membalas. “Kalau diusahain sih, bisa. Tapi kamu ada urusan apa dengan kasus tersebut?”
Si Hiu menghela napas. “Tadi di sini, lima menit yang lalu datang seorang cewek yang ngaku adik dari wanita yang meninggal di BSD itu.”
“Oh, gitu. Dan dia minta bantuan kamu?”
“Iya, katanya tersangka sudah ditemukan, dua orang preman gitu. Tapi si cewek ini enggak yakin kalau para tersangka itu adalah pembunuh kakaknya. Sebab, kata dia, enggak mungkin kakaknya pergi sendirian, jauh-jauh dari Jagakarsa ke BSD di hari kerja dan hujan pula lagi, kecuali jika ada suatu urusan yang benar-benar penting.”
“Hmm, menarik!”
“Iya, aku penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku enggak punya banyak kenalan polisi jadi aku menghubungi kamu.”
Si laki-laki meledakkan tawa. “Hahaha, Alice, selalu.”
“Oke, itu aja dulu, thank you sebelumnya.”
“Sama-sama, by the way salam buat Radit,” ucap si Inspektur muda.
“Iya,” telepon pun ditutup.
. . .
Bab 03
Hujan di Taman Kota
Dari Jagakarsa Alice dan Pammy pergi ke Pasar Minggu, lalu naik bus yang menuju ke Serpong. Kebetulan, siang itu bus cukup lengang dan mereka mengambil kursi di pojok kanan.
Si detektif kembali menatap catatan kecilnya. Ada lima cara yang bisa digunakan seorang wanita muda dari ujung Jakarta Selatan menuju BSD. Pertama naik bus dari Kampung Rambutan yang masuk ke tol dalam kota menuju BSD; kedua naik kereta dari Stasiun Kebayoran Lama langsung ke stasiun Serpong; ketiga naik angkot melalui dari Jagakarsa terus ke Pondok Cabe lalu lewat Pamulang hingga ke Serpong; keempat menggunakan taksi atau mobil sewaan kemudian masuk ke jalan tol; dan terakhir naik ojek online melalui jalur Bintaro hingga ke TKP.
Nomor lima dicoret sebab rasanya enggak mungkin Kimmy naik ojek dari Jagakarsa ke Serpong di tengah cuaca yang sering hujan begini. Apalagi, perjalanan memang lumayan jauh, menempuh sekitar empat puluh menit sampai satu jam jika lewat tol dan mungkin bisa tiga jam jika melalui jalan biasa.
“Maaf soal yang tadi,” ujar Pammy.
Si detektif melirik. “Maaf yang mana?”
“Yang tadi,” jari si gadis menyilang di depan dada. “Sungguh, aku enggak tahu kalau Kak Kimmy pernah pergi ke Jepang.”
“Oh itu. Syukurnya, kita tahu sekarang.”
“Apa info itu bisa berguna?”
“Iya, info seperti ini sangat berharga dalam sebuah penyelidikan.”
“Tapi aku masih enggak ngerti apa hubungannya dengan kematian Kak Kimmy?”
Si hiu melempar senyum. “Semua akan terkuak pelan-pelan. Begitulah cerita detektif.”
“Menurut Kak Alice siapa yang dia temui?”
“Entahlah, aku belum tahu,” balasnya.
“Kenapa?” suaranya lirih. “Kenapa orang baik seperti dia bisa meninggal seperti itu?”
“Mungkin ini terdengar klise tapi, aku percaya dengan Tuhan. Aku percaya dengan amal baik, takdir, dan kehidupan selanjutnya. Aku percaya kalau kamu dan orang-orang tercinta bisa mengikhlaskannya. Di sana, dia pasti akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada yang pernah ia jalani di dunia ini,” ucap Alice mencoba menguatkan.
Si gadis menyeka matanya yang berkaca-kaca. “Iya, amin!”
. . .
Pukul 1 siang mereka sampai di Taman Grande BSD.
Begitu turun dari bus, rambutnya langsung terkena rintik hujan. Alice begitu menikmati suasana. Hujan adalah sebuah keajaiban di kota Jakarta yang panas. Hujan juga adalah mesin waktu yang bisa membawanya pergi ke masa lalu atau penghapus yang bisa menghilangkan jejak yang ingin ia hilangkan.
Di kanan dan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun hijau yang rimbun berusaha menutupi matahari. Angin dingin pun menerpa wajahnya bersama dengan serpihan hujan yang halus. Di bawahnya, jalan setapak dari kone block semen.
Memindai sekeliling, taman kota itu cukup luas. Panjangnya kira-kira dua kali Mall Pondok Indah. Tidak seperti di denah yang rata, aslinya ada kontur tanah yang tinggi dan rendah di taman tersebut. Itu kenapa meski pintu gerbang barat dan timur sejajar, tapi pengunjung tak bisa melihat orang yang masuk di ujung gerbang yang lain.
Mata si Hiu melirik ke sebelah kiri, ia memandang jauh ke jalan raya di balik hutan kecil. “Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah ke sini sebelumnya?”
“Iya, minggu lalu, setelah berita kematian Kak Kimmy.”
“Tempat ini enggak ada kamera CCTV-nya ya?”
Pammy menggeleng. “Kata mereka sih enggak ada.”
“Mereka?”
“Para polisi yang datang ke rumah kami waktu itu. Mereka bercerita banyak.”
“Oh, gitu.”
“Iya.”
Alice membuka smartphone-nya. “Aku sedikit riset tentang kematian Kimberly. Dari info yang kudapat, pembunuhan dilakukan antara jam 12 siang sampai 3 sore, sebelum tubuh korban ditemukan. Dan laporan cuaca hari itu, hujan deras dari jam 1 siang sampai jam 3 kurang.”
“Itu sebabnya tidak ada saksi mata dan bukti di tempat ini.”
Si detektif mendengus. “Bukan, tidak ada. Aku yakin cuma belum ditemukan aja.”
Pammy mengangguk. “Iya, semoga.”
Tak sampai lima menit berjalan, mereka sampai di titik X di mana Kimmy ditemukan meninggal. Alice memutar tubuhnya melihat sekitar. Selain sebab kontur tanah yang rendah, pohon-pohon yang saling menyilang membuat TKP korban ditemukan menjadi titik buta di taman itu.
“Kemarin kamu bilang ada sesuatu yang penting?” tanya si detektif.
“Oh ya,” si gadis mendongak. “Itu ingin kuceritakan. Tapi pertama apa yang ada di benak Kak Alice mengenai situasi ini?”
“Yang ada di kepalaku,” matanya berputar ke kiri atas. “Apakah pembunuhannya memang terjadi langsung di tempat ini ataukah di tempat lain.”
“Sama seperti yang mereka katakan.”
“Para penyelidik sebelumnya?”
“Iya, menurut Kak Alice gimana?”
“Aku belum bisa menjawab untuk hal itu. Aku butuh data, data, dan data.”
“Ala Sherlock Holmes.”
“Kamu baca Sherlock?”
Pammy menggeleng. “Aku cuma nonton filmnya aja.”
“Oh, gitu,” Alice memulas bibir. “Yang bisa aku lakukan adalah menelusuri dari apa yang sudah ada. Dari laporan yang sudah aku baca, kata para penyelidik itu, korban datang ke sini sendirian. Tapi hipotesisku dia enggak mungkin jauh-jauh ke sini datang sendirian. Pasti dia janjian sama seseorang atau pasti ada sesuatu yang sangat penting. Lalu secara kebetulan, ada dua preman yang juga hadir di sini. Mereka melihat korban dan menginginkan barang-barangnya tapi korban tidak menyerahkan benda berharganya. Si preman marah, kemudian terjadilah penusukan.”
“Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa preman itu menggunakan besi pemecah es? Kenapa bukan pisau?”
“Mungkin dia memang tidak punya pisau dan yang dia punya cuma itu, pemecah es.”
Pammy menekuk bibir. “Bisa sih.”
“Oke, lanjut ke skenario kedua, korban dibunuh di tempat lain dengan besi itu. Kemudian pelaku berinisiatif membuatnya seolah perampokan. Jadi dia membawanya ke sini. Mungkin dengan troli atau kursi roda. Pelaku lalu meletakkan korban di titik yang tidak dilihat orang dan meninggalkannya.”
Si sweter merah menggeleng. “Para polisi sudah memeriksa saksi di sekitar ini. Tak ada pengunjung yang membawa troli ataupun kursi roda ke sini. Dan menurut tim analis TKP, Kak Kimmy memang terbunuh di tempat ini. Setelah tubuhnya ditusuk-tusuk itu, dia sekarat dan merangkak,” Pammy menunjuk lima kaki dari sana. “Dari titik itu ke sini.”
Si detektif menggosok dagu. “Di kala pelaku menusuk korban, harusnya ada sesuatu dari tubuh pelaku yang tertinggal di tubuh korban dan ada apa yang dimiliki korban berpindah ke tubuh si pelaku.”
“Locard exchange principe . Iya, mereka juga bercerita itu. Tapi untuk kasus Kak Kimmy itu tidak terjadi!”
Alice mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Dengan cepat Pammy mengeluarkan spidol dan langsung menusuk perut Alicia Kusuma. “Sebab seperti ini,” bisiknya.
Mata si detektif membelalak dengan cepat dan tak terduga si sweter merah menusuknya. Secara refleks, tangan kanan Alice langsung mencekik leher Pammy dan tangan kiri mengenggam keras pergelangan lawannya.
“Ini yang terjadi, jika seseorang ditusuk,” ucap gadis itu. “Pasti dia akan refleks menyerang balik atau minimal menarik baju si pelaku. Tapi itu tidak terjadi pada Kak Kimmy, seolah si pelaku adalah hantu yang tidak dapat disentuh,” Pammy menarik lagi spidolnya dan melangkah mundur.
Begitu pula Alice melepaskan cengkeraman tangannya. Napasnya masih tersengal-sengal dari serangan kejut si sweter merah.
“Tak ada perlawanan?”
“Tidak ada.”
Mata si detektif menjadi lebih waspada. “Mungkin dia dibius dulu sebelum ditusuk-tusuk?”
“Jikalau itu terjadi, harusnya ada jejak tangan pelaku di tubuh korban tapi ini tidak ada,” lanjut Pammy.
Alice mencoba bernapas senormal mungkin. “Biasanya, untuk kasus seperti ini korban dibunuh di tempat lain, baru kemudian dibawa ke TKP.”
“Iya, itu juga yang kami bahas kemarin. Tapi yang janggal … tak ada jejak atau rekaman bahwa pelaku membawa korban dari tempat lain ke sini. Tidak ada troli, tidak ada kursi roda, tidak ada yang mengangkut korban ke sini.”
“Dia datang sendiri ke sini.”
“Namun tak ada jejak ataupun bekas perlawanan dari korban di tempat ini.”
S Hiu kembali berputar melihat sekeliling.
“Apa ya yang hilang? Apa yang missed dari penyelidikan ini?”
Untuk beberapa detik mereka terdiam.
Lalu si gadis berujar. “An exciting mystery, right!”
Seketika jam tangan hiu tersentak. Sejak awal Pammy muncul di distronya, gadis itu banyak bertingkah tak wajar. Tapi kali ini, kata-katanya jauh lebih aneh lagi. An exciting mystery dia ucapkan di tempat kakaknya ditemukan terbunuh. Sungguh-sungguh sangat mencurigakan.
“Bisa beri aku ruang?” bentak Alice.
“Ruang?”
“Iya,” tatapnya tajam. “Aku ingin sendirian di sini, sebentar.”
“Oke,” ucap si gadis yang berjalan ke tengah taman.
Si hiu menarik napas dalam dan berlutut di sana. Ia mengutuki dirinya sendiri yang kurang waspada.
“Jangan pernah percaya siapa pun, siapa pun dalam urusan penyelidikan kriminal!” kata-kata Ayahnya terngiang kembali.
Ia memutar jarum jam, membayangkan apa yang terjadi.
Kalau itu pisau, pastinya ia sudah berlumuran darah di sini, menggeliat di atas blok jalan setapak. Tak ada yang melihat dan tak ada yang akan menolongnya hingga ia kehabisan darah.
“Huh, sial, sial!!” makinya sendiri.
Tangannya mengepal keras.
Tidak, tidak. Kalau ia mati di sini, dibunuh orang pastinya, si pelaku akan langsung ditemukan. Si gadis itu akan langung ditangkap. Lagi pula, satu luka tusukan takkan membuatnya kalah. Tidak, Alice sudah berpengalaman dengan yang lebih sakit dari itu. Ia akan melawan balik meski ususnya sudah robek.
Ia menarik kembali napas dalam dan mengembuskannya dengan panjang.
Pertama, masalah lokasi pembunuhan. Kenapa pembunuhan terjadi di Taman BSD? Kenapa mesti di sini yang jauh dari tempat tinggal korban? Tak mungkin Kimmy jauh-jauh dari Jagakarsa pergi sendirian ke sebuah taman di BSD jika bukan untuk sebuah pertemuan penting.
Kedua hal-hal terkait identifikasi. Handphone dan kartu identitas korban hilang. Alasan kenapa pelaku membawa pergi handphone korban, sebab dia tidak ingin dilacak keberadaan. Dia tidak ingin dilacak dari komunikasi dengan korban? Sebab si pelaku adalah orang yang menyuruh korban untuk pergi ke sana.
Dengan teori bahwa ini adalah sebuah pertemuan penting? Pertanyaannya siapa orang penting yang bertemu dengan Kimmy itu? Kimmy punya wajah cantik. Artinya dia punya banyak penggemar atau setidaknya seorang pacar. Namun kata Pammy, saat ini dia sedang tidak memiliki hubungan romansa dengan siapa pun. Terakhir kali dia memiliki pacar adalah dua tahun yang lalu.
“Enam hal yang mungkin terjadi sebelum sarapan pagi,” ujarnya di atas con block.
Sepuluh menit kemudian, Alice menghampiri Pammy di tengah taman.
“Menemukan sesuatu?” tanya si gadis.
Ia menggeleng. “Tidak, aku belum mendapati ide bagaimana pelaku membunuh Kimmy.”
Pammy mengembuskan napas, sendu.
“Tapi aku menemukan hal yang lain. Enam hal yang mungkin terjadi pada kematian kakak kamu.”
“Enam hipotesis?”
“Iya, kalau kamu baca blog aku, kamu pasti pernah dengar kata enam hal sebelum sarapan pagi.”
“Apa itu?”
“Simpelnya, aku mengenumerasi siapa saja yang mungkin membunuh kakak kamu.”
Pammy mengangkat alis. “Enumerasi?”
“Singkatnya,” lanjut Alice. “Dari kondisi yang terjadi di sini, dari premis bahwa kakak kamu enggak mungkin pergi ke BSD untuk suatu hal yang tidak penting, maka—pertama—hipotesisku, pelakunya adalah mantan pacar Kimmy. Ia membunuh korban sebab dendam lama atau semacamnya. Kedua, yang juga mungkin terjadi adalah bahwa Kimmy memiliki pacar rahasia dengan motif yang hampir sama dengan yang pertama. Ketiga, mungkin bukan pacarnya, melainkan pihak ketiga yang bisa jadi punya hubungan dengan pacarnya atau mantannya. Singkatnya, si X ini cemburu, iri, dan marah pada Kimmy.”
“Oh, begitu…,” ucap si sweter merah.
“Ini belum selesai. Nomor empat, mungkin adalah anggota keluarga Kimmy. Seseorang cemburu sekaligus dendam dengan segala keberuntungan yang dimiliki oleh Kimmy. Si X ini, bisa jadi adalah saudaranya sendiri. Kelima, mungkin ini memang murni perampokan. Kebetulan Kimmy sedang boring dengan pekerjaan kantornya. Dia mencoba pergi ke tempat yang tidak pernah dia kunjungi. Dan kebetulan atau takdir memang sedang buruk. Dia bertemu dengan perampok di taman itu. Mereka menusuk Kimmy dan merampas barang-barang berharganya. Meninggalkan Kimmy sendirian, sekarat di sebuah taman di tengah hujan.”
“Keenam, masalah bisnis. Kimmy memang bekerja sebagai desain grafis tapi mungkin Kimmy tahu sesuatu yang penting tentang perusahaan, atau mungkin tentang bosnya atau kliennya yang berbahaya. Rahasia yang sangat penting diketahui olehnya. Si X ini tidak ingin rahasia itu diketahui publik apalagi sampai ke pihak berwajib. Jadi mereka membungkam Kimmy sebelum dia bicara. Dan cara yang mereka pilih adalah membunuhnya dengan membuat seolah aksi perampokan biasa di sebuah taman.”
Pammy terdiam beberapa detik sebelum berujar, “Petaka yang tak terelakkan!”
“Iya, petaka yang tidak terelakkan,” Alice mengangkat dagu, lalu tersenyum. “Oke, itu saja dulu yang bisa kusampaikan. Aku harus pamit, ada urusan mendadak di toko sore ini.”
“Pamit?”
“Iya, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Maaf, aku tidak banyak membantu.”
Pammy mengangguk. “Iya, aku mengerti.”
“Terima kasih,” balas Alice yang membalik badan.
Namun baru satu langkah, Pammy kembali bicara. “Tentang yang nomor empat tadi, apa Kak Alice curiga kalau aku punya kaitan dengan kematian Kak Kimmy?”
Alice menyeringai. “Aku tidak curiga. Cuma ayahku pernah bilang jangan percaya siapa pun, terutama jika ada hubungannya dengan perkara kriminal.”
Si sweter merah memasang wajah terkejut, namun kemudian padam dengan senyum simpul.
Alice mengangguk dan balik badan, dengan cepat ia melangkah pergi dari taman itu. .
. . .
Kembali ke Jakarta, Alice memilih naik kereta dari stasiun Serpong.
Matanya melihat sekeliling stasiun, begitu banyak orang yang berlalu lalang. Lalu ia bertanya-tanya sendiri kapan terakhir ia pernah berada di stasiun itu. Memang tempat itu tidak seperti stasiun kereta di Shibuya, namun ia ingat ada kenangan tersendiri di sana. Alice melihat ke pojok kiri atas, terdapat kamera CCTV. Apa mungkin mereka punya rekaman lengkapnya? batinnya.
Tiba-tiba handphonenya berdering, dengan nama Bimo tertera di sana.
"Halo, Bim, ada info baru?"
"Iya, aku sudah bertemu dengan penyelidik di Tangsel,” ujar suara berat itu. “Infonya persis seperti yang kamu dapat dari si cewek itu.”
“Pammy?”
“Iya, mereka sudah menangkap pelakunya, duaorang preman yang katanya menusuk almarhum.”
"Terus saksinya?"
"Mereka dapat dari orang-orang di sekitar Taman Grande itu."
"Tukang ojek, satpam, penjaga kios, and soon.”
"Iya, katanya mereka melihat dua preman itu berkeliaran di taman dari siang hingga sore."
"Hmm, oke. Tapi pas kejadian, enggak ada saksi langsung bukan?"
"Memang enggak ada. Namun dari orang-orang ini, mereka berujar bahwa sering melihat dua tersangka ini nongkrong-nongkrong di sana dan menganggu para pengunjung."
"Oh, gitu ya. Hmm, satu pertanyaan, siapa yang menemukan Kimmy pertama kali?"
"Di sini yang menemukannya bernama Parman, dia tukang sapu di jalanan situ, yang kebetulan sedang melintas di luar dengan sepedanya," ada jeda di telepon. "Dia melihat dari jauh. Awalnya, dia kira ada tumpukan sampah di jalan setepak, lalu pas dia dekatin ternyata itu seorang wanita. Dia panik, minta bantuan orang sekitar. Terus ada satu tukang ojek ini yang menelepon gawat darurat. Lalu mereka sama-sama mengangkut korban ke rumah sakit, namun sayangnya mereka sudah terlambat korban kehabisan darah dan meninggal di mobil ambulans.”
"Eh, bentar, dia meninggal di ambulans. Aku kira dia meninggal di taman?"
"Tidak, ini dari keterangan yang baru. Mereka bilang bahwa korban meninggal di ambulans."
Alice mengangkat dagu. "Oke, ada yang lain?"
"Ah, ini yang bikin kamu bakal suka."
"Apa?" si detektif menahan diri.
"Setengah jam sebelum korban ditemukan, ada seorang wanita yang menelepon ke Polsek Serpong. Dia bilang, bahwa dia melihat ada cewek yang ditusuk orang di Taman Grande."
“Beneran ini?”
“Iya.”
"Lalu?"
"Polsek menghubungi patroli yang berada di dekat situ dan memerintahkan mereka untuk memeriksa Taman Grande. Dan saat mereka sampai di sana, korban sudah ramai dikerubungi orang untuk diangkut ke RS."
"Oke, ini enggak kuduga. Terus?"
"Kata saksi pertama, si Parman ini, dia tidak melihat ada wanita lain di TKP saat menemukan korban."
"Terus siapa yang menelepon Polsek BSD?"
"Nah, itu yang jadi tanda tanya. Siapa yang menelepon ke Polsek sebelum ada orang yang menelepon. Tapi anehnya, si X ini enggak ada di sana di antara para saksi yang mengangkut korban ke ambulans."
"Harusnya mereka mencari dia!" jerit Alice.
"Mereka sudah mencarinya tapi sampai sekarang belum ketemu si saksi X ini."
“Huh.”
“Kamu memikirkan apa yang aku pikirkan!?” tanya Bimo excited.
"Iya,” balas Alice. "Oke, apa ada hal yang lain. Sesuatu mungkin yang tertinggal di TKP?”
“Dari keterangan di sini, korban tidak membawa apa-apa selain pakaian yang ia kenakan. Tak ada dompet handphone tas, dan lain sebagainya.”
“Iya, si Pammy juga mengatakan hal seperti itu. Tak ada yang tertinggal di TKP.”
“Uhm, kelihatannya enggak seperti itu dah.”
“Enggak seperti itu gimana?”
“Ada keterangan tambahan di sini? Saat menyisir TKP, sekitar sepuluh meter dari titik korban tergeletak, seorang petugas menemukan bangau kertas.”
“Apa?” Alice meninggikan suaranya.
“Bangau dari kertas lipat, origami maksudku,” jelas Bimo.
“Serius?”
“Iya.”
“Aku baru dengar ini. Kok enggak ada di berita acara atau yang lainnya?”
“Iya, ini informasi terbatas untuk penyelidik. Lagi pula, mereka sudah menemukan dua preman yang diduga membunuh Pammy. Jadi data ini enggak begitu mereka bahas.”
“Wow, gila, gila! Oke, thank you untuk infonya, Bim."
"Sama-sama,” ujar si perwira muda. “By the way, selalu waspada, Alice. Kita enggak tahu apa yang akan muncul di depan nanti."
"Siap, Komandan!" balas jam tangan hiu, lalu menutup telepon.
. . .
Monday, October 14, 2019
Sunday, October 6, 2019
Excerpt: Novel TRIAD KEMATIAN
Oleh Fitrah Tanzil
Bab 01
MATSURI
Di Parkir Timur Senayan.
Azra turun dari Porsche-nya. Ia mengunci pintu mobil, menekan alarm, dan berjalan meninggalkan parkiran basah. Kepalanya masih sedikit pusing sebab perjalanan udara dari Lombok ke Jakarta. Sore tadi ia sampai di Bandara Soetta, lalu mengambil mobil di Kelapa Dua JakBar, dan malam ini menjemput pacarnya di Parkit Senayan.
“Darrr… Darrr… Darrr!” Suara dari ledakan di langit sedikit mengagetkannya.
Melihat ke jam di layar handphone-nya, baru 20:30, tapi Hanabi sudah dimulai atau mungkin hanya pembukaan pesta kembang api, pikirnya. Ledakan warna-warni terlihat membentuk jamur raksasa di atas Senayan.
Berjalan 40 meter, ia sampai di depan gapura berwarna merah. Di atasnya terlihat sebuah tulisan Jepang yang bisa diterjemahkan sebagai festival. Di pintu masuk, Azra langsung disambut oleh dua SPG cantik yang mengenakan yukata warna biru, juga seorang satpam dengan pakaian dinas hitamnya. Dari posisinya suara keramaian dari arak-arakan Omoidori sudah bisa terdengar, juga keriuhan dari panggung utama yang saat ini sedang diisi oleh band V-Kei lokal.
Si SPG cantik meminta tiket masuknya, tapi ia cukup menunjukan kartu panitia, kartu yang kemarin diberikan oleh kekasihnya, Sophie Aulia.
Melangkah ke dalam, Azra kembali disambut oleh spanduk warna merah muda, lalu lampion-lampion merah, pohon bunga sakura sintetis, dan para pengunjung yang membludak seperti station kereta di H-3 Lebaran. Semuanya begitu bising seolah dirinya berada di sarang lebah raksasa.
Di sekelilingnya berbagai macam anak muda berdandan warna-warni. Ada satu crew berkostum pemain basket warna biru putih dengan rambut warna pelangi. Lalu ada juga sekumpulan anak muda yang mengenakan kimono hitam bergambar awan merah, dan jaket hitam orange dengan lambang pusaran air. Juga baju biru dengan lambang kipas merah. Ia sangat mengenal lambang itu. Dan ada beberapa cewek cantik yang mengenakan seragam sekolah dengan cardigan hitam yang begitu ketat meniru idol group Jepang.
Juga yang tidak kalah seru Saint Seiya generasi baru. Ia suka modelnya, para cosplayer ini hebat, mereka membuat jubah dari stereofoam seolah dari bahan metalik.
Kamu di mana?
Sms Azra ke handphone Sophie.
Aku di depan stand Dorayaki samping panggung utama.
Balas cepat Sophie.
. . .
Bicara fisik, Azra berkulit putih dan berbadan tegap. Lengan dan bahunya selalu terlihat keras karena latihan fisik setiap hari. Sedangkan untuk wajah, Ia memiliki tampang mirip Jesse Eisenberg, hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak terlalu mancung. Rambutnya hitam tebal dan selalu disisir ke sebelah kanan.
Untuk urusan pakaian, ia biasa mengenakan kemeja warna biru dibalut jas abu-abu gelap, Seperti yang ia kenakan sore ini, kemeja kotak-kotak hitam koral, seperti Clark Kent saat datang ke Daily Planet. Bagian bawah selalu celana jeans biru gelap dan sneaker warna putih strip hitam. Ia juga tidak pernah menggunakan jam tangan, karena jam menghambat fleksibilitas tangannya. Apalagi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti bertarung, itu akan sangat menyulitkan.
Meski penampilan fisiknya terlihat biasa, namun siapa pun yang berjabat tangan dengan Azra Lazuardi, pasti bisa merasakan bahwa dia –adalah laki-laki mapan yang sangat berbahaya.
Sejak empat tahun yang lalu, Matsuri jadi acara tahunan wajib baginya. Selalu membuat bernostalgia dengan manga, anime, dan Japan pop culture lainnya. Kembali ke zaman-zaman dia kecil dan bahagia. Walau itu hanya acara komunitas Jejejapangan, namun selalu saja pengunjung berjubel seperti perayaan tahun baru. Stand-stand masakan Jepang berjajar panjang seperti gerbong kereta. Mulai dari masakan semi mentah seperti Sushi dan Sashimi, makanan berkuah panas seperti ramen dan kare, hingga berbagai jenis panggangan. Azra bisa mencium bau cumi bakar yang lezat di atas Takoyaki yang baru diangkat dari panggangan. Sayangnya, antrian begitu panjang sehingga ia harus melewatkannya.
Lalu di depannya, keramaian depan panggung utama yang menghadirkan group Idol terkenal JKT 48, para penggemarnya berteriak-teriak riuh seperti supporter sepak bola, benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba keriuhan itu seolah menghilang dari telingannya. Semua menjadi sepi dan panca inderanya hanya bisa fokus pada satu titik. Titik itu adalah wanita cantik yang tertawa di antara perempuan cantik yang lain. Ia berdiri tepat di depan stand Dorayaki. Wanita cantik itu mengenakan yukata putih dengan motif bunga sakura, ia mengenakan sepasang sandal kayu di kakinya dan sebuah kipas kertas merah di tangan kanannya. Dialah yang sejak tadi dicari oleh Azra, sang kekasih hati yaitu Sophie Aulia Sahab.
Mata itu membulat.
Sophie adalah cewek keturunan Arab dengan kulit putih seperti salju, mata indah seperti batu safir, hidung mancung, dagu lancip, bibir sensual, dan rambut yang merah menyala. Semua definisi keindahan dan kecantikan ada padanya. Dari kepribadian dan latar belakang keluarga, Sophie juga nyaris sempurna. Berasal dari keluarga kaya yang memiliki perusahaan parfum. Lulus S1 Teknik Kimia dari Universitas Tokyo, pernah menjadi model untuk Uniqlo, dan sekarang bekerja di divisi marketing untuk sebuah perusahaan elektronik Jepang.
Bersama dengan Sophie, Azra tahu ada percikan-percikan sombong di dadanya. Punya kekasih yang super-cantik membuatnya tidak tahan untuk selalu menyebut dan membanggakannya. Terutama pada teman-teman lama yang pernah meremehkannya dahulu. Rasanya seperti membalas dendam. Lebih dari itu Sophia Aulia juga mengubah jalan hidupnya. Azra yang tadinya seorang informan kepolisian, penyelidik lapangan, dan petarungan yang suka bertaruh nyawa. Sekarang beralih profesi sebagai pengelola franchise Minimarket.
Semua gara-gara sang wanita, Sophie.
“Hei,” panggil si wanita, namun si laki-laki masih kaku berdiri.
Sophie mendekatinya dan berteriak lagi. “Oii, Bengong aja?”
“Oh, sorry.” Azra terbangun dari lamunannya.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat bidadari.”
Si wanita menggeleng. “Huh, gombal.”
“Sumpah, beneran!!” si lelaki meyakinkan.
Sophie mendekat dan mencekik leher Azra, kemudian melepasnya dan memberikan kecupan di pipi. Seperti biasa, wanita itu memang jaim untuk menunjukan rindu dan kangennya pada sang kekasih.
“Gimana Lombok?” tanya Sophie Aulia.
“Panas!” balasnya.
“Hmm, beruntung aku di sini, hujan lebat dari tadi siang,” info si wanita.
Azra tersenyum. “Iya, sungguh cuaca yang hebat!”
Si wanita tertawa. “Masih jetlag?”
“Sedikit.”
“Tapi bisa bawa mobilkan?”
“Bisalah,” sekilas matanya melirik ke bawah. “Nice paper fan!”
“Oh ini,” si wanita mengangkat kipasnya. “Ini suvenir khusus panitia dan undangan.”
“Nggak dijual ya?”
“Ya, nggaklah.”
“Oh begitu,” Azra manggut. “Khas banget ya, maksudku kayak klan Uchiha.”
Dia tertawa. “Ya iyalah, sebab cewek-cewek sini fansnya Sasuke Uchiha.”
Azra ikut terbahak.
Sophie pun kembali sibuk dengan teman-temannya. Sementara si kekasih mengikutinya dari samping dan menyamali mereka. Namun ada satu temannya Sophie yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
“Miko, kenalkan ini Azra,” ucapnya ke pemuda tampan berwajah dingin yang berdiri di sebelah.
Ia mengulurkan lengan panjang. “Azra.”
“Miko,” balas si wajah dingin.
Azra bisa merasakan kulit jari yang keras dan agak kapalan di ujungnya, tekstur khas yang biasa ia temui pada teman-temannya yang biasa bermain guitar atau kuli angkut di pasar.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Rasanya tidak,” jawab si pemuda dengan senyum.
Matanya naik turun memindai si lawan bicara.
Pemuda itu begitu tampan, berkulit putih, alis yang tebal, mata yang bulat besar, pipi yang kencang serta hidung yang mancung. Wajah yang terlihat seperti lelaki kuat yang hobi rutin fitness atau seorang yang biasa bertarung di ring. Dan memang Azra bisa melihat bulatan otot bisepnya, pundaknya juga terlihat keras layaknya batu yang menonjol. Fisik ini lebih cocok menjadi pria metroseksual yang dipuja oleh tante-tante kaya daripada seorang geek yang hobinya nonton anime.
“Elo suka main di Blok M Square ya?”
Miko pun mengernyit.
“Maksud gue cari-cari buku di lantai dasarnya?”
Azra menatap wajah si lawan, terlihat si pemuda mengekspresikan keengganan, namun matanya melirik ke kiri atas yang mengisyaratkan sesuatu.
“Iya, pernah sesekali.”
“Elo suka komik detektif?”
“Iya,” balasnya singkat.
Dari wajah malasnya, terlihat, pertanyaan-pertanyaan singkat itu membuat si lawan bicara risih.
“Benar berarti kita memang pernah bertemu,” Azra pun tersenyum seperti menang hadiah tujuh belasan. “Elo yang tiga minggu lalu memborong komik Kindaichi di sana bukan?”
Miko menaikkan alis. “Wah, kok Anda tahu.”
Ada ekspresi samar antara terkejut dan marah di sana, namun sekejab wajahnya berubah menjadi senang.
“Iya, karena gue juga ada di sana, waktu itu gue lagi cari komik The Negotiator.”
“Itu sudah tiga minggu loh.”
Sophie Aulia tertawa kecil. “Azra ini punya kemampuan khusus loh,” jari si wanita naik ke dahi. “Apa istilahnya… Method of Loci?”
Miko melirik ke kanan. “Oh, Mind Palace, hebat! Jadi kayak Sherlock Holmes dong!?”
“Iya semacam itu,” jawabnya dengan bangga.
Perbincangan ringan pun berlanjut selama beberapa menit, tentang apa yang terjadi di Festival dari siang sampai sore tadi. Siapa saja bintang tamu yang mengisi acara di panggung utama, dan anime apa yang sedang nge-hits saat ini, siapa yang menjadi juara cosplay dan tentang perlombaan band indies.
Dari gestur dan postur penampilan si pemuda, sama sekali tidak menunjukan bahwa dia pernah jadi Otaku. Azra kenal cowok-cowok Otaku yang keren, yang sukses baik itu di akademik, di bisnis atau band dan lain sebagainya. Ia tahu, bahwa sesukses apa pun seorang otaku, mereka tetap memiliki gestur sebagai otaku. Agak pemalu, introvert, mencoba memberi jarak dan kadang menutup diri. Namun Miko, dia sama sekali tak seperti itu. Dia lebih mirip seorang ekstrovert tampan yang jago akting seperti Eza Gionino.
Memindai wajah si pemuda, Azra merasakan, ada sesuatu yang Miko sembunyikan, sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di permukaan. Dan instingnya mengatakan, itu adalah hal sangat berbahaya.
“Gue duluan ya,” ucap Azra kembali menjabat tangan.
Si pemuda membalas. “Oke.”
. . .
Dalam perjalanan pulang, di Porsche Azra.
Sophie menarik napasnya dalam-dalam, wangi lemon masuk ke paru-parunya. Lemon satu lagi kesamaannya dengan Azra selain novel detektif. Mencoba untuk relaks memandangi lampu-lampu jalan dan pemandangan melankolis malam Jakarta, tiba-tiba ia teringat wajah Miko dan percakapan tadi.
“Sayang,” ucap si gadis cantik.
“Iya,” Azra terdengar malas.
“Menurut kamu seperti apa Miko?”
“Dia tampan.”
“Iya, aku tahu itu,” si wanita terdiam sejenak, lalu secara mengejutkan ia berkata. “By the way, tadi kamu cemburu ya?”
“Cemburu!?”
“Iya, melihat aku dengan Miko tadi.”
“Aku nggak cemburu, aku cuma khawatir,” suara Azra terdengar lebih keras. “Kamu tidak lihat matanya, dia seperti seorang Sociopath tahu.”
Si wanita tertawa. “Hahaha, benarkan kamu memang cemburu!”
“Iya, iya aku ngaku aku cemburu, dia muda, tampan, dan dia berada di dekat kamu seharian ini.”
Sophie ingat pertama kali berkenalan dengan Azra di sebuah restoran pizza di Kemang. Saat itu mereka baru masuk SMA. Si pemuda tampak begitu canggung, seolah tak pernah bertemu gadis cantik seumur hidupnya.
Sekarang pun ia masih sering terlihat gugup seperti itu, kadang suka tersenyum malu-malu dengan pipinya yang memerah. Bahasa tubuh memang lebih banyak berbicara daripada kata-kata. Dan hal yang sama terjadi tadi, ketika ia sedang berbincang dengan Miko, Azra tampak mengerutkan dahi dengan mata yang memicing kecil.
“Oh iya, memang benaran kamu pernah bertemu Miko sebelumnya?”
“Di Blok M itu, iya beneran.”
“Kok kamu bisa mengingatnya. Rasanya nggak mungkin, meski kamu bisa Method of Loci.”
Azra menghentakan suaranya. “Tentu saja aku mengingatnya, karena dia itu ANEH.”
“Dan tampan.”
“Iya, dia memang tampan dan itulah yang membuatnya aneh.”
Sophie hanya tertawa.
“Iya, tentu saja aneh, saat itu aku ada di sana, di lapak komik. Tiba-tiba muncul pemuda tampan dengan jaket hitam ala anak band. Penampilannya terlihat begitu gaul dan nggak ada bau-baunya seorang geek, nerd, ataupun otaku. Rasanya sangat tidak masuk akal cowok seperti dia berada di lapak komik dan memborong Detektif Kindaichi.”
“Oh begitu ya konklusinya, tidak seperti kamu yang kurang populer di sekolah.”
Azra menepuk jidat. “Tapi kamu suka kan dengan aku yang sekarang!?”
Si wanita menekuk bibirnya. “Iya mau gimana lagi, nggak ada pilihan lain.”
Mobil sampai di bundaran Ratu Plasa, Azra mengambil putaran ke kanan masuk ke Pakubuwono. Sophie memperhatikan wajah sang kekasih, wajah itu seolah kembali berbicara. Ini bukan tentang cinta dan romansa, ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang mengganggunya.
Dan benar saja sebuah telepon berdering. “Halo… Iya… Oke, gue ke sana.”
“Telepon dari siapa?”
“Lufin,” tangannya tampak menggenggam stir lebih kera. “Dia ada di Pondok Indah.”
“Terus ada apa?” si wanita penasaran.
“Ada kasus baru, kasus yang sangat menarik katanya.”
Ia sedikit tertegun, inilah yang ia khawatirkan. Sang kekasih kembali ke jalanan dan mengejar kasus kriminal.
Tangan Sophie mengepal, perlahan menunjukan amarah yang ia pendam. Ego-nya memang sangat tinggi untuk menjaga apa yang ia cintai, tapi ia juga menyadari, inilah satu-satunya hal selain dirinya yang dapat mengisi lerung hati Azra, sebuah kasus kriminal yang sangat menantang untuk dipecahkan.
. . .
Bab 02
MENGHILANG
Pondok Indah, Jakarta Selatan
Dua mobil patroli polisi, sebuah Humvee, dan sebuah ambulance terparkir di halaman. Malam ini rumah putih dengan arsitektur minimalis itu menjadi TKP pembunuhan seorang anggota DPR.
Tidak ada garis polisi, namun terlihat 2 - 3 orang berseragam coklat mondar-mandir di teras depan.
Di sana juga berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jaket warna ungu, dialah Alvin, Inspektur muda yang selalu sukses membuat orang awam tidak mengenalinya sebagai polisi. Alvin memandang ke langit, ke kumpulan awam, ia tampak gelisah mencemaskan sesuatu.
Lalu seorang polisi berkulit gelap dengan tubuh kekar menghampiri, ia mengenakan seragam coklat dibungkus jaket polisi, ada tanda pangkat tiga balok di bahunya, sebuah name tag tertera di depan sakunya 'Zabar Rauf' penyelidik dari Bareskrim Mabes Polri.
Dengan suara beratnya ia berkata. “Apa dia akan datang ke sini?”
“Iya, dia pasti datang,” jawab Inspektur Alvin.
Polisi bertubuh kekar itu berdehem, lalu mengambil rokok dan menyalakannya. “Ngomong-ngomong, kenapa mereka memanggilnya sang Informan?”
Dengan wajah sedikit jijik, ia balas menatap AKP Zabar. “Karena dia seorang informan.”
“Iya, dia memang seorang informan. Tapi kenapa dia disebut sang Informan?”
“Karena dia pernah jadi informan jalanan untuk seorang detektif.”
“Informan Jalanan, menarik.” Si kapten polisi tersenyum licik. “Ngomong-ngomong siapa detektif itu?”
“Anda pasti tahu,” ujar si Inspektur dengan perlahan. “Dia adalah Ming.”
“Apa Ming?” dia tampak sangat terkejut. “MING yang itu?”
Inspektur Alvin mengangguk. “Iya, laki-laki yang berada di balik bayangan.”
“Ini GILA,” sang kapten polisi memasang wajah sangat senang. “Jadi dia ibarat anak-anak Baker Street yang menemani sang detektif Holmes.”
“Iya, persis seperti itu.”
“Luar biasa!” AKP Zabar tertawa.
Si Inspektur muda hanya diam mengkerut.
“Oh iya, saya dengar si laki-laki itu punya julukan lain selain sang Informan.”
“Setahu saya tidak.”
“Iya, saya pernah mendengarnya. Apa namanya Manusia Hujan?”
Alvin hanya menggeleng, berpura-pura tidak tahu.
Tak lama dari perbincangan, sebuah Porsche merah mengambil parkir di depan halaman. Seorang pemuda dengan sorot mata seperti elang dan seorang wanita cantik dengan rambut merah keluar dari pintunya.
“Nah, itu mereka,” ucap Alvin.
Azra berjalan dengan cepat lalu menyalami si lelaki berjaket. “Alvin… Wow, apa kabar?”
“Baik Az,” jawabnya sambil menyambut tangan. “Oh, iya kenalkan ini AKP Zabar dari Bareskrim,” tangan ke arah polisi bertanda tiga balok.
Sang Informan menyalami tangan si kapten polisi.
“Ngomong-ngomong di mana Lufin?”
“Dia di dalam, bersama Kombes Pol Hendra.”
Ia sedikit tersentak, nama yang disebut adalah masalah tersendiri.
Komisaris Besar Polisi Hendra Wiryawan, petinggi kepolisian dari Baintelkam -divisi khusus kepolisian yang menangani masalah intelijen dan keamanan negara. Terakhir bersama si Komisaris Besar, Azra menangani kasus tindak terorisme. Kasus yang tahun lalu heboh di media dengan sebutan ‘Insiden Thamrin,’ yang sayangnya, aksi tim kontra-intelijen mereka berakhir dengan kegagalan dengan banyak korban yang berjatuhan.
Mengingat kasus yang buruk itu, serta reputasi mereka di masa lalu. Ia yakin, siapa pun orang yang tewas di dalam sana pasti bukan orang sembarangan atau setidaknya korban punya hubungan dengan kasus kriminal besar yang terjadi di Jakarta.
Tiba-tiba Sophie menarik keras tangannya. Si wanita menatap dengan mata berkaca-kaca seolah berkata ‘jangan pergi ke sana,’ namun Azra balas menggenggam erat mencoba menenangkan, seraya berkata ‘semua akan baik-baik saja.’
Pintu dibuka oleh sang polisi.
Layaknya kelinci putih yang menunjukan jalan bagi gadis kecil untuk ke Wonderland.
Tapi AKP Zabar dengan sigap menghalangi. “Biar saya saja yang mengantar.”
Kembali Alvin memicingkan mata, memberi tanda hati-hati kepada sang Informan. Sedangkan ia sendiri memberi tanda dua jari untuk tetap waspada dan menjaga Sophie Aulia di teras.
Selalu mengantisipasi hal terburuk.
. . .
Azra mengorek telinga, terganggu oleh suara pantopel dari polisi di sebelahnya. Orang itu begitu berisik, bertingkah seperti pemimpin upacara bendera.
Melirik ke sekeliling, ruangan itu khas dengan interior modern minimalis. Dinding di cat putih dan keramik pada lantainya. Ruang depan cukup besar seukuran ruang kafe tempat biasa ia ngopi , di sana terdapat jajaran sofa putih dan meja kaca panjang di sana. Berjalan ke ruang tengah, masih tak tampak ada tanda-tanda sebagai tempat pembunuhan seorang pria.
Masuk lebih dalam, terdapat ruang terbuka di tengah dan ada sebuah tangga dengan railing menuju lantai dua. Dari sini, Instingnya langsung membuat simulasi, bagaimana pelaku masuk ke dalam? Bagaimana dia melangkah naik ke lantai dua? Bagaimana dia mengeksekusi korban? Hingga apakah pelaku turun lewat tangga ataukah melompat dari kamar jendela?
Tiba-tiba AKP Zabar berujar. “Istri Anda sangat cantik!”
“Oh dia,” lamunan Azra pecah. “Dia bukan istri saya, belum tepatnya.”
“Melihat siapa yang mendampingi Anda, orang pasti langsung tahu Anda adalah orang hebat.”
“Ah, biasa saja.”
Sambil menaiki tangga, Zabar menjelaskan tentang lantai dua rumah itu, terdapat tiga kamar di sana, dan kamar yang paling depan merupakan TKP-nya. Lalu tepat di pintu masuk kamar, berdiri pria yang sangat ia hormati –sang maestro investigasi kriminal Jakarta, Kombes Pol Hendra Wiryawan.
Dari tampilan fisik, Hendra Wiryawan terlihat layaknya bintang film action yang sangat mapan, bugar dengan otot bahu dan bisepnya yang menonjol di balik jas hitamnya. Wajahnya tetap tampan meski sudah menginjak usia 40an, dengan kulit putih, hidung mancung, mata sipit, rahang yang keras dengan kumis tipis dan jenggot, membuat ia terlihat seperti bapak yang bijaksana.
Ia tahu sampai hari ini pun, komandan penyelidik dari Baintelkam ini masih suka nge-gym dan lari 10 kilometer tiap minggu pagi. Masih rutin menjadi pelatih Taekwondo di pusat pelatihan kepolisian dan selalu hadir dalam pertandingan menembak cepat di Senayan.
AKP Zabar memberikan hormat kepada Hendra, sementara sang Informan tersenyum rapat kepada seorang sahabat.
“Azra,” ucap sang komandan.
“Pak Hendra,” jabat tangannya sambil berjalan masuk ke ruangan tempat korban tewas.
Melangkah masuk ke dalam ruangan, hidungnya langsung mencium bau alcohol yang harum, mungkin dari sejenis anggur putih pikirnya. Mungkin ini yang menyebabkan korban meninggal.
Tepat di bawah hidungnya, ia pun melihat ada sisa basah di lantai. Mungkin tadinya, sebuah botol tergeletak di sini. di samping lengan korban. Perlahan ia memperhatikan tubuh korban dari bawah ke atas. Jasad korban yang terlentang di lantai, kepalanya menghadap ke langit-langit.
“Ini alasannya kenapa saya memilih kamu,” tegas Hendra.
Azra perlahan membelalak, ia mengenali wajah jasad itu.
“Bastian Michaelis,” ucap lidahnya kelu.
“Iya,” Hendra mengangguk. “karena dia adalah mantan klien kamu.”
Si laki-laki sedikit tersentak.
Bagaimana mungkin dia tahu? Namun suara lain berkata. Tentu saja Hendra Wiryawan tahu, karena dia adalah Komandan dari Baintelkam, Tim intelijen yang paling dihormati di seluruh kepolisian.
Mata si laki-laki memutari ruangan. “Jadi bagaimana?”
“Saat ditemukan, jasad korban tertelungkup di sana,” tunjuk Hendra ke lantai putih.
“Tidak ada bekas perkelahian ataupun jejak darah, semua dieksekusi dengan bersih, hanya ada bekas pitingan dan tusukan jarum suntik yang sangat kecil di lehernya.”
Dengan cepat si dokter berkacamata besar dan dua petugas medis lain memasukan jasad tersebut ke kantong plastik besar.
Si dokter yang mengemasi mayat pun ikut bicara. “Korban tewas karena serangan jantung,” tangannya menunjuk ke dada si mayat. “Namun bisa jadi ada pemicu eksternal yang menyebabkan serangan jantung tersebut.”
“Anda yakin?” tanya si laki-laki
“Iya, dari tanda-tanda fisiknya. Tapi kami akan melakukan otopsi lebih lanjut.”
Ia mengangguk, lalu melirik ke Hendra Wiryawan. “Jadi bagaimana komandan?”
Tapi AKP Zabar yang justru bicara. “Kami ingin membereskan masalah ini sebersih mungkin, kami bahkan tidak menulis kematian korban sebagai kasus pembunuhan.”
Tentu saja, mengingat korban adalah kandidat Ketua KPK tahun ini. Kematian mendadaknya pasti bakal heboh jika ditulis sebagai pembunuhan, apalagi mengingat media sedang marak-maraknya menyoroti KPK dan POLRI.
Namun sang Informan tidak menggubris ucapan si Kapten Polisi, matanya justru menembus ke Kombes Pol Hendra Wiryawan.
“Saya mengerti, tapi maaf Dan tidak banyak yang bisa saya bantu.”
“Apa maksudnya ini,” bentak AKP Zabar yang jelas tidak sabaran.
Azra memiring kepala dan balas menatapnya. “Gue tidak menjadi penyelidik lapangan lagi.”
“Apa-apaan ini,” teriak si Kapten Polisi. “Kami sudah menunggu lama, berramah-tamah, mengantar Anda ke ruangan, dan Anda bilang tidak jadi menyelidiki.”
Ia paham betul tipikal orang seperti ini, Zabar tak lebih dari polisi penjilat yang sok tahu dan sok terlihat gagah. Dia berteriak-teriak sangar hanya untuk mengejar pangkat dan dipuji oleh atasannya.
Sepengalamannya, rasanya nggak mungkin seorang Hendra WIryawan memasukan orang seperti Zabar di dalam Timnya, nggak mungkin, kecuali jika sangat terpaksa atau ada titipan dari komandan yang lain.
“Kapan gue pernah bilang akan menyelidiki kasus ini,” ia melawan dengan balik melotot. “Gue ke sini cuma menjemput teman gue, Lufin.”
Nama yang dipanggil pun menengok ke belakang. Terlihat wajah datar si pemuda berkulit putih berwajah oriental. Lufin atau biasa mereka panggil si muka zombie.
“Oke, terserah kamu mau menyelidiki atau tidak,” ucap sang komandan sambil memainkan jari telunjuknya. “Tapi jika ada hal-hal yang terkait dengan diri kamu, saya tidak akan bertanggung jawab,” ada seringai di bibir Hendra Wiryawan.
Lalu ia memberi tanda kepada kedua petugas ambulance untuk mengangkut jasad Bastian ke bawah.
Zabar pun turun mengikuti sang Komandan.
Lantai dua pun menjadi sepi, hanya tinggal Azra dan Lufin bersama dengan ruangan yang berantakan dengan bau alkohol hasil olah TKP para petugas sebelumnya. Azra tersenyum sendiri, ia paham, si komandan sengaja meninggalkan mereka untuk melihat-lihat sebentar TKP.
. . .
Azra jarang punya rekan yang bertahan lama. Kebanyakan mereka pergi jauh, menghilang, mencari pekerjaan baru, berkhianat, atau sudah tewas dibunuh orang dalam sebuah misi, kecuali yang satu ini, Ikhsanul Arifin alias Lufin.
Ia mengenal si pemuda 7 tahun yang lalu, saat menyelidiki kasus pembunuhan di daerah Depok. Kasus meninggalnya seorang mahasiswa, anak dari anggota TNI Angkatan Udara. Tiga bulan kasus itu molor dan tak dapat dipecahkan oleh para polisi di sana. Seorang komandan yang ia kenal menghubungi dan memintanya untuk menyelidiki kasus tersebut dan menemukan siapa pembunuh sebenarnya.
Di sana, ia bertemu si mahasiswa berwajah pucat dan mengaku detektif kampus. Seorang yang freak, keras kepala, agresif, liar, dan angkuh seperti dirinya. Dan kini putaran roda itu kembali terulang.
“Jadi lo kenal dengan korban?” tanya Lufin yang duduk di lantai dan bersadar pada pinggiran kasur.
Azra mengangguk. “Iya, dia mantan klien gue. Tapi sudah lama gue nggak bertemu dengan dia, terakhir 3 tahun yang lalu, dia meminta gue untuk mencari beberapa data dari internet.”
“Mantan lo seorang calon ketua KPK, ini bakal heboh” ucapnya disusul tawa.
Azra hanya menekuk muka, ia sedang tak ingin berbasa-basi.
“Jadi gimana detailnya?”
Lufin pun menggerakkan jarinya. “Tadinya ada botol Wine yang pecah di sini,” tunjuknya ke lantai di mana terdapat garis kapur putih yang menggambarkan posisi korban.
“Yang menemukannya?”
Lufin membuka catatannya. “Mira Rosa, istrinya, tepatnya istri kedua, dan saat ditemukan pintu kamar ini sudah terbuka. Korban ditemukan pukul 8:30 tadi, lalu dari tanda-tanda kekakuan mayat, dokter memperkirakan korban tewas sejak tadi sore antara pukul 5 sampai pukul 6.”
“Oke, terus.”
“Sekitar jam delapan itu, si istri pulang, dia naik ke atas dan menemukan suaminya sudah tergeletak dilantai dengan sebuah botol yang pecah.”
“Lalu?” ia berjalan dengan mata yang terus menelusuri lantai.
“Si istri panik” tangan Lufin bergerak menjelaskan. “Dia berteriak-teriak minta tolong, dan kebetulan, ada pembantu yang tadi pergi bersamanya, si pembantu kemudian meminta pertolongan dari satpam di depan.”
“Kemudian ada tiga orang satpam naik ke sini, dan salah satunya memeriksa korban yang sudah tak bernapas. Kemudian si kepala satpam meminta si pembantu untuk menelpon rumah sakit dan meminta ambulance, dia bilang semoga masih ada harapan, lalu ada satpam lain yang berinisiatif menelpon Polsek Pondok Indah. Operator di polsek pun agak terkejut mendengar nama yang meninggal yaitu Bastian Michaelis yang merupakan kandidat ketua KPK. Operator lalu menghubungi atasanya, dan atasannya lalu menghubungi Kompol Hendra. Kebetulan dia sedang berada di sekitar Pondok Indah, lalu situasinya seperti yang kita hadapi sekarang.”
Azra menggosok dagu. “Serius, keterangannya rada anehloh. Yang satu menelpon rumah sakit dan yang satu menelpon Polsek, tapi yang datang ke sini duluan malah Kombes Pol Hendra.”
“Hah,” Lufin sedikit tersentak. “Iya ya, gue baru nyadar itu.”
“Oke, tandai dulu itu. Apalagi yang lo temukan di sini?”
“Ada pecahan botol di sini, tapi mereka sudah bersihkan.”
“Iya, gue paham, mereka sudah menyapuh petunjuk-petunjuk krusial.”
Ia melangkah mundur ke sudut ruangan memandang pintu itu lebih luas lagi. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus. Azra memicingkan mata ke pinggiran pintu yang rusak dan sekejap ia menemukannya.
“Oke, ke pertanyaan mendasar. Saat pertama kali dia naik ke atas sini, saat pertama kali dia menemukan jasad korban. Apa si istri ini bersama orang lain?”
“Tidak.”
“Apa dia melihat pintu terkunci?”
Lufin menggeleng. “Katanya sih, saat ditemukan pintu sudah terbuka.”
Tangan Azra terus menelusuri pintu, kemudian di baliknya ia menemukan hal yang aneh.
Kenapa ada garis dan potongan benang di balik pintu ini? Perlahan otaknya membuat visualisasi dari garis-garis yang ia lihat. Garis-garis itu terhubung membentuk triangulasi dengan handle pintu bagian dalam hingga ke handle pintu bagian luar. Seseorang menarik benangnya dan mekanisme itu berjalan mengunci pintu dari dalam.
“Saat ditemukan apa ada kunci yang menggantung lubang pintu?”
“Tidak, kami menemukan kunci itu berada di lantai.”
“Kemudian petugas memasukan kembali kuncinya, ke lubang ini” tunjuk Azra
“Iya.”
“Oke, gue ngerti kronologinya sekarang. Si istri yang pertama kali naik ke atas sini, pintu ‘kata dia’ sudah terbuka, dia menemukan jasad si suami, dia berteriak lalu orang-orang yang ada di sekitar sini berdatang. Dan membuat keadaan seperti yang kita lihat sekarang.”
Lufin mengangguk. “Iya.”
“Ngomong-ngomong lo lihat ini,” jari Azra menarik benang tipis yang terikat pada anak kunci. “Menurut lo ini apa?”
Dia memicingkan mata. “Sebuah benang.”
“Iya,” Azra membalik pintu dan menunjukan garis-garis yang nyaris tak terlihat di temboknya. “Kalau ini apa?”
Lufin tersentak, garis-garis ditembok itu membentuk segitiga yang transparan. “Jangan-jangan… Mekanisme ruang terkunci?”
Azra memasang wajah licik. “Iya, itu yang gue pikirkan.”
Untuk beberapa detik mereka berdua terdiam.
Kasus ini jauh lebih menarik daripada yang mereka harapkan.
Jari si laki-laki bergerak mengikuti garis yang membentuk segitiga besar di balik pintu. “Serius, lo gak lihat ini dari awal?”
Si rekan menggeleng.
“Tadi gue lebih fokus pada mayatnya, dan untuk masalah pintu sudah ada petugas lain yang memeriksanya.”
Azra mengadu gigi. “Alasan saja.”
Si pemuda pun tertawa remeh. “Hehe, sorry Boss, manusiawi.”
“Huh, gue rasa Pak Hendra pasti tahu hal ini.”
“Pastinya Boss!”
“Kembali lagi pertanyaan gue, harusnya ruangan ini terkunci namun tidak kunci?” kali ini ia bangun dari posisinya.
Si rekan hanya menggosok dagu tak mampu menjawab.
Tangan Azra yang berselimut glove terus bergerak di sudut-sudut pintu. Ia lalu memutar handle dan “Tik” terlihat ada baut yang lepas. Ia pun mencoba memutar kunci yang berada di lubang dan “Klik” batang pengunci itu langsung patah.
“Pintu yang harusnya terkunci dari dalam namun saat ditemukan sudah terbuka, menurut lo apa yang terjadi?”
“Seseorang mendobraknya!”
“Iya, tapi yang lebih penting lagi, saat si saksi utama datang pintu ini sudah terbuka, itu berarti…”
Lufin mengangkat dagu, ia baru menyadarinya. “Ada orang lain di sini, sebelum si istri datang.”
Azra menyeringai. “Semoga saja si istri ini jujur dengan segala keterangannya.”
Mereka pun kembali bergerak memutari ruangan dengan mata yang terus menelusuri lantai, seolah mereka melihat jejak yang tak kasat mata.
“Ini sekedar hipotesa, satu dari berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Menurutku akan sangat menarik jika ada dua orang atau mungkin lebih di sini. Salah satunya adalah si pelaku pembunuhan dan satu lagi mungkin orang yang mengejar si pembunuh –atau mungkin juga dia ingin melakukan pembunuhan, namun dia terlambat karena si target sudah tewas oleh pembunuh lain. Oke, akan ada banyak teori dari turunan kasus seperti ini.”
Lufin tersenyum. Seperti biasa Azra Lazuardi menunjukan taringnya.
. . .
Beberapa detik kemudian, Azra balik badan dan berjalan mundur di ruangan. Ia memindai tempat itu dengan pandangan yang lebih luas.
“Menurut lo apa penyebab kematian korban?”
“Tadi lo sudah dengar bukan, kata si dokter, dia meninggal sebab serangan jantung.”
“Lo yakin? Alasannya!?”
“Hmm, dia bilang karena si korban punya tanda-tanda itu, ada warna kebiruan di hidung, leher, dan dada korban,” Lufin menunjukan foto si mayat di kamera.
Sang Informan menggeleng dengan wajah kecewa. Kesimpulan sebab kematian diambil terlalu cepat oleh si dokter dan kedua serangan jantung itu sendiri, memiliki tanda-tanda pasca kematiannya terlalu umum dan untuk beberapa kasus sulit dikenali.
Azra mengernyit kesal, namun tak beberapa lama ia mengembang senyum. Kasus ini adalah sebuah tantangan yang sangat-sangat menyenangkan.
Melirik ke kamera, ada nyaris 50 foto di situ, ia dengan cepat melihat satu persatu hingga sampai di foto nomor sebelas. “Ini garis biru kecil apa menurut lo?”
“Seperti bekas luka, eh bukan guratan, mungkin tanda dibekap itu.”
“Iya, kelihatannya begitu,” lalu jarinya menunjuk ke foto yang lain. “Menurut lo ini apa?”
“Itu seperti bekas jari.”
Jari si laki-laki naik ke bibir, pikirnya mencoba merekontruksi apa yang sebenarnya terjadi.
“Seperti yang tadi dibilang dokter Budi,” si rekan mengulang lagi. “Hipotesanya, korban disuntikkan racun yang membuat dia terkena serang jantung.”
“Ck, asli ini ribet!”
“Sangat!”
“Lo yakin dengan yang diucapkan si Budi itu?”
“Yakin sih, kalau nggak gimana dia mempertahankan reputasinya di muka sang Komandan.”:
Si laki-laki terdiam serius sambil menggaruk dagu.
“Lagipula –seperti yang pernah gue baca, tanda-tanda kebiruan itu sesuai kok dengan ciri-ciri fisik korban yang meninggal karena serangan jantung.”
Azra menggeleng. “Ck, asli ini benar-benar ribet nggak masuk di logika orang sehat.”
Si rekan tertawa. “Ya iyalah, pembunuhan macam ini mana ada yang disebut waras.”
Ia juga ikut terkekeh. “Menurut lo gimana? Apa yang ada dipikiran si pelaku? Dia bisa saja milih alat pembunuh yang lain bukan, pisau, pistol, kabel, dan seterusnya?”
“Hmm, mungkin dia ingin melakukannya secara bersih.”
“Kalau ingin bersihkan, bisa saja dia menggunakan racun pada makanan atau minuman?”
Lufin membelalakan mata. “Hmm, iya ya, lo benar. Terus gimana menurut lo?”
Si laki-laki berjalan sambil tangan kirinya menggosok dagu, ia terdiam hampir satu menit.
Hingga ia menemukannya.
“Ah, itu dia, Pelaku ingin membuat kesan kematian korban terjadi secara alami. Tapi yang jadi pertanyaan, jika dia ingin membuat kesan alami, kenapa dia harus membuat ruang terkunci? Bisa saja, dia membiarkan pintunya terbuka, toh dia membuat korban tewas karena serangan jantung dan bukan tindak kekerasan.”
“Mungkin dia ingin menguatkan penyebab kematian?”
“Tidak, tidak, harusnya dia tidak perlu repot membuat mekanisme ini.” Azra kembali berjalan dari kiri ke kanan. “Jika gue pelakunya dan ingin menguatkan penyebab alami, gue akan mengunci ruangan dengan kunci biasa, dan nggak akan repot bermain dengan jarum dan benang. Atau mungkin nggak perlu mengunci ruangan”
“Hmm, mungkin dia ingin show off, dia ingin menunjukan kalau dia lebih pintar dari kita.”
“Iya, bisa jadi. Yang pasti siapa pun dia, dia sangat arogan.”
“Mungkin karena darah mudanya” seloroh Lufin.
Azra tertawa getir. “Pastinya.”
Si rekan menepuk-nepuk debu di kedua tangannya, seolah ingin segera mengakhirnya kunjungan di TKP. “Ngomong-ngomong benaran kita nggak ngambil kasus ini?”
“Iya, beneran,” mukanya menatap ke arah lain. “Oh iya, ruangan lainnya gimana?”
“Belum, belum gue lihat” ujar Lufin.
Sang Informan dengan bergegas berjalan keluar ruangan.
Si rekan jelas paham kebiasaan ini. Apa yang diucapkan berkebalikan dengan apa yang dilakukan. Azra terus bergerak menuruti kakinya yang berjalan sendiri, seolah menelusuri jejak dari sang pelaku sampai masuk ke ruangan sebelah.
“Apa yang elo cari?”
“TIDAK ADA, kita nggak akan menyelidiki apa-apa.”
Lufin tersenyum simpul. Seperti biasa, Azra melakukan apa yang dilarangnya sendiri.
Ia melangkah cepat lalu berhenti di antara dua kamar.
Dengan persiapan jarum dan benang, jelas si pelaku ingin keluar sesantai mungkin dari pintu depan rumah. Sialnya, ada orang lain di sana yang juga mencari korban. Azra bisa membayangkan. Si pelaku gusar, dia tidak bisa kabur dari pintu depan ataupun belakang. Si pelaku bisa saja menghabisi korban, tapi itu akan menambah permasalahan lain, ia bisa saja bersembunyi di sudut ruangan, tapi resiko untuk ditemukan juga cukup besar.
Untuk situasi seperti ini. Satu-satunya solusi adalah kabur dengan melompat dari jendela. Tapi, jelas si pelaku tidak keluar dari jendela kamar di mana korban ditemukan, ia memilih ruangan lain untuk kabur.
Azra memasuki kamar di sebelah kanannya, kamar ini lebih kecil. Tidak ada kasur ataupun karpet yang digelar di lantainya, hanya ada tiang besi memanjang di mana banyak pakaian wanita digantung di sana. Ia berjalan ke arah jendelanya dan membukanya tanpa bicara. Ia menengok ke kanan dan kiri. Lalu ia beranjak ke kamar lain yang berhadapan dengan kamar tersebut, kembali ia membuka jendela-nya tanpa bicara. Berhenti sejenak, lalu kembali ke kamar yang penuh dengan pakaian itu.
Mata itu terus memindai, berputar berlawanan arah jarum jam.
Harus bisa melihat sekali pada TKP, harus bisa melihat sekali pada TKP. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus.
Dan tak lama, ia pun menemukannya. Potongan kecil kertas merah yang terselip di pinggiran jendela.
“Apa yang lo lihat?” tanya Lufin menyentak rekannya.
Azra pun melirik balik sambil berujar. “Cara pelaku untuk kabur dari rumah”
“Gimana?”
“Tentu saja dia melompat dari kamar ini” Azra pun menunjuk plafon yang berada di bawah jendela yang memayungi samping rumah. “Hipotesis gue, dia turun dari sini, berjalan di plafon lalu melompat ke bagian belakang rumah, dia naik di tembok itu dan kabur melalui rumah tetangga itu.”
“Masuk akal,” ucap Lufin.
Azra kembali melihat ke sudut jendela, ke potongan kertas merah. Ia lalu menariknya.
“Itu apa?” tanya Lufin.
“Mungkin bukan apa-apa,” ujarnya sambil tangannya dengan cepat memasukan potongan kertas itu ke dalam kantung plastik kecil. “Tapi, adakalanya sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain justru adalah kunci untuk memecahkan kasus.”
. . .
Tak sampai sepuluh menit berada di lantai dua. Mereka turun ke bawah dan berhadapan kembali dengan Kombes Pol. Hendra.
“Jadi bagaimana?” tanya sang Komandan.
“Maaf Pak Hendra, seperti yang saya bilang tadi, saya tidak akan mengambil kasus ini.”
“Tapi kamu sudah melihat TKP-nya bukan,” Hendra melakukan persuasi. “Ini kasus yang sangat menarik, banyak teka-teki dan misteri, biasanya kamu sangat antusias dengan hal seperti ini, apalagi korban juga orang yang kamu kenal bukan.”
“Bukannya merendahkan,” si laki-laki berbicara dengan dingin. “Tapi dengan kemampuan dan pengalaman Anda sebagai penyelidik, Anda pasti bisa memecahkan kasus ini sendirian. Dan tentang korban, dia hanya mantan klien saya, sejujurnya, saya tidak pernah kenal siapa dia sebenarnya!”
Beberapa polisi menatap aneh wajah Azra.
Sedangkan Kombes Pol Hendra memaklumi sikap sang Informan, ia tahu, Azra pasti punya alasan penting tersendiri –apalagi ada kekasih di sampingnya yang tampak cemas sedari tadi. Si laki-laki langsung turun memohon pamit, disusul oleh Lufin, dan Sophie yang terlihat menganggukan kepala seperti orang Jepang memberi hormat.
. . .
Di seberang jalan, di antara keramaian.
Banyak orang awam yang berpikir pelaku tidak akan kembali ke TKP. Tapi mereka salah, Lelaki Bulan kembali ke TKP pembunuhannya. Dari pertigaan di depan rumah minimalis itu, di antara orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Lelaki Bulan melihat tiga orang dengan gelagat aneh yang keluar dari pintu rumah Burhan Simamorang. Ia melihat dengan jelas raut wajah mereka, cara berjalannya, gerakan tangannya, genggamannya, potongan rambut serta pakaiannya.
Mereka jelas bukan polisi, melainkan warga sipil. Tapi, Lelaki Bulan tahu, mereka bukan orang sembarangan.
Yang pertama melangkah keluar dengan gagah seorang pria muda dengan wajah seperti mantan atlet pencak silat yang menjadi bintang film, yang satu lagi seorang perempuan cantik berparas Arab dengan mata besar seperti burung hantu, dan seorang pemuda pucat dengan gestur yang agak bungkuk.
Tentu saja, untuk kalangan intel dan penyelidik profesional, tiga nama itu sangat terkenal; Azra, Sophie, dan Lufin. Mereka adalah penyelidik yang dipanggil untuk keadaan yang tidak lazim seperti sekarang.
“Menarik, ternyata Kota ini punya pasukan khusus di balik bayangan,” ujar Lelaki Bulan dalam benaknya. “Aku harus mengunjungi salah satu dari mereka.”
Tak sampai 5 menit di sana Lelaki Bulan masuk ke mobil.
Tangan masih menggenggam keras kemudi, terasa denyut dan getaran yang belum reda. Bukan rasa takut yang menghinggapi dirinya, melainkan adrenaline yang mendidih, bersiap untuk melakukan aksi yang jauh lebih spekta dari apa yang terjadi sekarang.
. . .
Bab 01
MATSURI
Di Parkir Timur Senayan.
Azra turun dari Porsche-nya. Ia mengunci pintu mobil, menekan alarm, dan berjalan meninggalkan parkiran basah. Kepalanya masih sedikit pusing sebab perjalanan udara dari Lombok ke Jakarta. Sore tadi ia sampai di Bandara Soetta, lalu mengambil mobil di Kelapa Dua JakBar, dan malam ini menjemput pacarnya di Parkit Senayan.
“Darrr… Darrr… Darrr!” Suara dari ledakan di langit sedikit mengagetkannya.
Melihat ke jam di layar handphone-nya, baru 20:30, tapi Hanabi sudah dimulai atau mungkin hanya pembukaan pesta kembang api, pikirnya. Ledakan warna-warni terlihat membentuk jamur raksasa di atas Senayan.
Berjalan 40 meter, ia sampai di depan gapura berwarna merah. Di atasnya terlihat sebuah tulisan Jepang yang bisa diterjemahkan sebagai festival. Di pintu masuk, Azra langsung disambut oleh dua SPG cantik yang mengenakan yukata warna biru, juga seorang satpam dengan pakaian dinas hitamnya. Dari posisinya suara keramaian dari arak-arakan Omoidori sudah bisa terdengar, juga keriuhan dari panggung utama yang saat ini sedang diisi oleh band V-Kei lokal.
Si SPG cantik meminta tiket masuknya, tapi ia cukup menunjukan kartu panitia, kartu yang kemarin diberikan oleh kekasihnya, Sophie Aulia.
Melangkah ke dalam, Azra kembali disambut oleh spanduk warna merah muda, lalu lampion-lampion merah, pohon bunga sakura sintetis, dan para pengunjung yang membludak seperti station kereta di H-3 Lebaran. Semuanya begitu bising seolah dirinya berada di sarang lebah raksasa.
Di sekelilingnya berbagai macam anak muda berdandan warna-warni. Ada satu crew berkostum pemain basket warna biru putih dengan rambut warna pelangi. Lalu ada juga sekumpulan anak muda yang mengenakan kimono hitam bergambar awan merah, dan jaket hitam orange dengan lambang pusaran air. Juga baju biru dengan lambang kipas merah. Ia sangat mengenal lambang itu. Dan ada beberapa cewek cantik yang mengenakan seragam sekolah dengan cardigan hitam yang begitu ketat meniru idol group Jepang.
Juga yang tidak kalah seru Saint Seiya generasi baru. Ia suka modelnya, para cosplayer ini hebat, mereka membuat jubah dari stereofoam seolah dari bahan metalik.
Kamu di mana?
Sms Azra ke handphone Sophie.
Aku di depan stand Dorayaki samping panggung utama.
Balas cepat Sophie.
. . .
Bicara fisik, Azra berkulit putih dan berbadan tegap. Lengan dan bahunya selalu terlihat keras karena latihan fisik setiap hari. Sedangkan untuk wajah, Ia memiliki tampang mirip Jesse Eisenberg, hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak terlalu mancung. Rambutnya hitam tebal dan selalu disisir ke sebelah kanan.
Untuk urusan pakaian, ia biasa mengenakan kemeja warna biru dibalut jas abu-abu gelap, Seperti yang ia kenakan sore ini, kemeja kotak-kotak hitam koral, seperti Clark Kent saat datang ke Daily Planet. Bagian bawah selalu celana jeans biru gelap dan sneaker warna putih strip hitam. Ia juga tidak pernah menggunakan jam tangan, karena jam menghambat fleksibilitas tangannya. Apalagi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti bertarung, itu akan sangat menyulitkan.
Meski penampilan fisiknya terlihat biasa, namun siapa pun yang berjabat tangan dengan Azra Lazuardi, pasti bisa merasakan bahwa dia –adalah laki-laki mapan yang sangat berbahaya.
Sejak empat tahun yang lalu, Matsuri jadi acara tahunan wajib baginya. Selalu membuat bernostalgia dengan manga, anime, dan Japan pop culture lainnya. Kembali ke zaman-zaman dia kecil dan bahagia. Walau itu hanya acara komunitas Jejejapangan, namun selalu saja pengunjung berjubel seperti perayaan tahun baru. Stand-stand masakan Jepang berjajar panjang seperti gerbong kereta. Mulai dari masakan semi mentah seperti Sushi dan Sashimi, makanan berkuah panas seperti ramen dan kare, hingga berbagai jenis panggangan. Azra bisa mencium bau cumi bakar yang lezat di atas Takoyaki yang baru diangkat dari panggangan. Sayangnya, antrian begitu panjang sehingga ia harus melewatkannya.
Lalu di depannya, keramaian depan panggung utama yang menghadirkan group Idol terkenal JKT 48, para penggemarnya berteriak-teriak riuh seperti supporter sepak bola, benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba keriuhan itu seolah menghilang dari telingannya. Semua menjadi sepi dan panca inderanya hanya bisa fokus pada satu titik. Titik itu adalah wanita cantik yang tertawa di antara perempuan cantik yang lain. Ia berdiri tepat di depan stand Dorayaki. Wanita cantik itu mengenakan yukata putih dengan motif bunga sakura, ia mengenakan sepasang sandal kayu di kakinya dan sebuah kipas kertas merah di tangan kanannya. Dialah yang sejak tadi dicari oleh Azra, sang kekasih hati yaitu Sophie Aulia Sahab.
Mata itu membulat.
Sophie adalah cewek keturunan Arab dengan kulit putih seperti salju, mata indah seperti batu safir, hidung mancung, dagu lancip, bibir sensual, dan rambut yang merah menyala. Semua definisi keindahan dan kecantikan ada padanya. Dari kepribadian dan latar belakang keluarga, Sophie juga nyaris sempurna. Berasal dari keluarga kaya yang memiliki perusahaan parfum. Lulus S1 Teknik Kimia dari Universitas Tokyo, pernah menjadi model untuk Uniqlo, dan sekarang bekerja di divisi marketing untuk sebuah perusahaan elektronik Jepang.
Bersama dengan Sophie, Azra tahu ada percikan-percikan sombong di dadanya. Punya kekasih yang super-cantik membuatnya tidak tahan untuk selalu menyebut dan membanggakannya. Terutama pada teman-teman lama yang pernah meremehkannya dahulu. Rasanya seperti membalas dendam. Lebih dari itu Sophia Aulia juga mengubah jalan hidupnya. Azra yang tadinya seorang informan kepolisian, penyelidik lapangan, dan petarungan yang suka bertaruh nyawa. Sekarang beralih profesi sebagai pengelola franchise Minimarket.
Semua gara-gara sang wanita, Sophie.
“Hei,” panggil si wanita, namun si laki-laki masih kaku berdiri.
Sophie mendekatinya dan berteriak lagi. “Oii, Bengong aja?”
“Oh, sorry.” Azra terbangun dari lamunannya.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat bidadari.”
Si wanita menggeleng. “Huh, gombal.”
“Sumpah, beneran!!” si lelaki meyakinkan.
Sophie mendekat dan mencekik leher Azra, kemudian melepasnya dan memberikan kecupan di pipi. Seperti biasa, wanita itu memang jaim untuk menunjukan rindu dan kangennya pada sang kekasih.
“Gimana Lombok?” tanya Sophie Aulia.
“Panas!” balasnya.
“Hmm, beruntung aku di sini, hujan lebat dari tadi siang,” info si wanita.
Azra tersenyum. “Iya, sungguh cuaca yang hebat!”
Si wanita tertawa. “Masih jetlag?”
“Sedikit.”
“Tapi bisa bawa mobilkan?”
“Bisalah,” sekilas matanya melirik ke bawah. “Nice paper fan!”
“Oh ini,” si wanita mengangkat kipasnya. “Ini suvenir khusus panitia dan undangan.”
“Nggak dijual ya?”
“Ya, nggaklah.”
“Oh begitu,” Azra manggut. “Khas banget ya, maksudku kayak klan Uchiha.”
Dia tertawa. “Ya iyalah, sebab cewek-cewek sini fansnya Sasuke Uchiha.”
Azra ikut terbahak.
Sophie pun kembali sibuk dengan teman-temannya. Sementara si kekasih mengikutinya dari samping dan menyamali mereka. Namun ada satu temannya Sophie yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
“Miko, kenalkan ini Azra,” ucapnya ke pemuda tampan berwajah dingin yang berdiri di sebelah.
Ia mengulurkan lengan panjang. “Azra.”
“Miko,” balas si wajah dingin.
Azra bisa merasakan kulit jari yang keras dan agak kapalan di ujungnya, tekstur khas yang biasa ia temui pada teman-temannya yang biasa bermain guitar atau kuli angkut di pasar.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Rasanya tidak,” jawab si pemuda dengan senyum.
Matanya naik turun memindai si lawan bicara.
Pemuda itu begitu tampan, berkulit putih, alis yang tebal, mata yang bulat besar, pipi yang kencang serta hidung yang mancung. Wajah yang terlihat seperti lelaki kuat yang hobi rutin fitness atau seorang yang biasa bertarung di ring. Dan memang Azra bisa melihat bulatan otot bisepnya, pundaknya juga terlihat keras layaknya batu yang menonjol. Fisik ini lebih cocok menjadi pria metroseksual yang dipuja oleh tante-tante kaya daripada seorang geek yang hobinya nonton anime.
“Elo suka main di Blok M Square ya?”
Miko pun mengernyit.
“Maksud gue cari-cari buku di lantai dasarnya?”
Azra menatap wajah si lawan, terlihat si pemuda mengekspresikan keengganan, namun matanya melirik ke kiri atas yang mengisyaratkan sesuatu.
“Iya, pernah sesekali.”
“Elo suka komik detektif?”
“Iya,” balasnya singkat.
Dari wajah malasnya, terlihat, pertanyaan-pertanyaan singkat itu membuat si lawan bicara risih.
“Benar berarti kita memang pernah bertemu,” Azra pun tersenyum seperti menang hadiah tujuh belasan. “Elo yang tiga minggu lalu memborong komik Kindaichi di sana bukan?”
Miko menaikkan alis. “Wah, kok Anda tahu.”
Ada ekspresi samar antara terkejut dan marah di sana, namun sekejab wajahnya berubah menjadi senang.
“Iya, karena gue juga ada di sana, waktu itu gue lagi cari komik The Negotiator.”
“Itu sudah tiga minggu loh.”
Sophie Aulia tertawa kecil. “Azra ini punya kemampuan khusus loh,” jari si wanita naik ke dahi. “Apa istilahnya… Method of Loci?”
Miko melirik ke kanan. “Oh, Mind Palace, hebat! Jadi kayak Sherlock Holmes dong!?”
“Iya semacam itu,” jawabnya dengan bangga.
Perbincangan ringan pun berlanjut selama beberapa menit, tentang apa yang terjadi di Festival dari siang sampai sore tadi. Siapa saja bintang tamu yang mengisi acara di panggung utama, dan anime apa yang sedang nge-hits saat ini, siapa yang menjadi juara cosplay dan tentang perlombaan band indies.
Dari gestur dan postur penampilan si pemuda, sama sekali tidak menunjukan bahwa dia pernah jadi Otaku. Azra kenal cowok-cowok Otaku yang keren, yang sukses baik itu di akademik, di bisnis atau band dan lain sebagainya. Ia tahu, bahwa sesukses apa pun seorang otaku, mereka tetap memiliki gestur sebagai otaku. Agak pemalu, introvert, mencoba memberi jarak dan kadang menutup diri. Namun Miko, dia sama sekali tak seperti itu. Dia lebih mirip seorang ekstrovert tampan yang jago akting seperti Eza Gionino.
Memindai wajah si pemuda, Azra merasakan, ada sesuatu yang Miko sembunyikan, sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di permukaan. Dan instingnya mengatakan, itu adalah hal sangat berbahaya.
“Gue duluan ya,” ucap Azra kembali menjabat tangan.
Si pemuda membalas. “Oke.”
. . .
Dalam perjalanan pulang, di Porsche Azra.
Sophie menarik napasnya dalam-dalam, wangi lemon masuk ke paru-parunya. Lemon satu lagi kesamaannya dengan Azra selain novel detektif. Mencoba untuk relaks memandangi lampu-lampu jalan dan pemandangan melankolis malam Jakarta, tiba-tiba ia teringat wajah Miko dan percakapan tadi.
“Sayang,” ucap si gadis cantik.
“Iya,” Azra terdengar malas.
“Menurut kamu seperti apa Miko?”
“Dia tampan.”
“Iya, aku tahu itu,” si wanita terdiam sejenak, lalu secara mengejutkan ia berkata. “By the way, tadi kamu cemburu ya?”
“Cemburu!?”
“Iya, melihat aku dengan Miko tadi.”
“Aku nggak cemburu, aku cuma khawatir,” suara Azra terdengar lebih keras. “Kamu tidak lihat matanya, dia seperti seorang Sociopath tahu.”
Si wanita tertawa. “Hahaha, benarkan kamu memang cemburu!”
“Iya, iya aku ngaku aku cemburu, dia muda, tampan, dan dia berada di dekat kamu seharian ini.”
Sophie ingat pertama kali berkenalan dengan Azra di sebuah restoran pizza di Kemang. Saat itu mereka baru masuk SMA. Si pemuda tampak begitu canggung, seolah tak pernah bertemu gadis cantik seumur hidupnya.
Sekarang pun ia masih sering terlihat gugup seperti itu, kadang suka tersenyum malu-malu dengan pipinya yang memerah. Bahasa tubuh memang lebih banyak berbicara daripada kata-kata. Dan hal yang sama terjadi tadi, ketika ia sedang berbincang dengan Miko, Azra tampak mengerutkan dahi dengan mata yang memicing kecil.
“Oh iya, memang benaran kamu pernah bertemu Miko sebelumnya?”
“Di Blok M itu, iya beneran.”
“Kok kamu bisa mengingatnya. Rasanya nggak mungkin, meski kamu bisa Method of Loci.”
Azra menghentakan suaranya. “Tentu saja aku mengingatnya, karena dia itu ANEH.”
“Dan tampan.”
“Iya, dia memang tampan dan itulah yang membuatnya aneh.”
Sophie hanya tertawa.
“Iya, tentu saja aneh, saat itu aku ada di sana, di lapak komik. Tiba-tiba muncul pemuda tampan dengan jaket hitam ala anak band. Penampilannya terlihat begitu gaul dan nggak ada bau-baunya seorang geek, nerd, ataupun otaku. Rasanya sangat tidak masuk akal cowok seperti dia berada di lapak komik dan memborong Detektif Kindaichi.”
“Oh begitu ya konklusinya, tidak seperti kamu yang kurang populer di sekolah.”
Azra menepuk jidat. “Tapi kamu suka kan dengan aku yang sekarang!?”
Si wanita menekuk bibirnya. “Iya mau gimana lagi, nggak ada pilihan lain.”
Mobil sampai di bundaran Ratu Plasa, Azra mengambil putaran ke kanan masuk ke Pakubuwono. Sophie memperhatikan wajah sang kekasih, wajah itu seolah kembali berbicara. Ini bukan tentang cinta dan romansa, ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang mengganggunya.
Dan benar saja sebuah telepon berdering. “Halo… Iya… Oke, gue ke sana.”
“Telepon dari siapa?”
“Lufin,” tangannya tampak menggenggam stir lebih kera. “Dia ada di Pondok Indah.”
“Terus ada apa?” si wanita penasaran.
“Ada kasus baru, kasus yang sangat menarik katanya.”
Ia sedikit tertegun, inilah yang ia khawatirkan. Sang kekasih kembali ke jalanan dan mengejar kasus kriminal.
Tangan Sophie mengepal, perlahan menunjukan amarah yang ia pendam. Ego-nya memang sangat tinggi untuk menjaga apa yang ia cintai, tapi ia juga menyadari, inilah satu-satunya hal selain dirinya yang dapat mengisi lerung hati Azra, sebuah kasus kriminal yang sangat menantang untuk dipecahkan.
. . .
Bab 02
MENGHILANG
Pondok Indah, Jakarta Selatan
Dua mobil patroli polisi, sebuah Humvee, dan sebuah ambulance terparkir di halaman. Malam ini rumah putih dengan arsitektur minimalis itu menjadi TKP pembunuhan seorang anggota DPR.
Tidak ada garis polisi, namun terlihat 2 - 3 orang berseragam coklat mondar-mandir di teras depan.
Di sana juga berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jaket warna ungu, dialah Alvin, Inspektur muda yang selalu sukses membuat orang awam tidak mengenalinya sebagai polisi. Alvin memandang ke langit, ke kumpulan awam, ia tampak gelisah mencemaskan sesuatu.
Lalu seorang polisi berkulit gelap dengan tubuh kekar menghampiri, ia mengenakan seragam coklat dibungkus jaket polisi, ada tanda pangkat tiga balok di bahunya, sebuah name tag tertera di depan sakunya 'Zabar Rauf' penyelidik dari Bareskrim Mabes Polri.
Dengan suara beratnya ia berkata. “Apa dia akan datang ke sini?”
“Iya, dia pasti datang,” jawab Inspektur Alvin.
Polisi bertubuh kekar itu berdehem, lalu mengambil rokok dan menyalakannya. “Ngomong-ngomong, kenapa mereka memanggilnya sang Informan?”
Dengan wajah sedikit jijik, ia balas menatap AKP Zabar. “Karena dia seorang informan.”
“Iya, dia memang seorang informan. Tapi kenapa dia disebut sang Informan?”
“Karena dia pernah jadi informan jalanan untuk seorang detektif.”
“Informan Jalanan, menarik.” Si kapten polisi tersenyum licik. “Ngomong-ngomong siapa detektif itu?”
“Anda pasti tahu,” ujar si Inspektur dengan perlahan. “Dia adalah Ming.”
“Apa Ming?” dia tampak sangat terkejut. “MING yang itu?”
Inspektur Alvin mengangguk. “Iya, laki-laki yang berada di balik bayangan.”
“Ini GILA,” sang kapten polisi memasang wajah sangat senang. “Jadi dia ibarat anak-anak Baker Street yang menemani sang detektif Holmes.”
“Iya, persis seperti itu.”
“Luar biasa!” AKP Zabar tertawa.
Si Inspektur muda hanya diam mengkerut.
“Oh iya, saya dengar si laki-laki itu punya julukan lain selain sang Informan.”
“Setahu saya tidak.”
“Iya, saya pernah mendengarnya. Apa namanya Manusia Hujan?”
Alvin hanya menggeleng, berpura-pura tidak tahu.
Tak lama dari perbincangan, sebuah Porsche merah mengambil parkir di depan halaman. Seorang pemuda dengan sorot mata seperti elang dan seorang wanita cantik dengan rambut merah keluar dari pintunya.
“Nah, itu mereka,” ucap Alvin.
Azra berjalan dengan cepat lalu menyalami si lelaki berjaket. “Alvin… Wow, apa kabar?”
“Baik Az,” jawabnya sambil menyambut tangan. “Oh, iya kenalkan ini AKP Zabar dari Bareskrim,” tangan ke arah polisi bertanda tiga balok.
Sang Informan menyalami tangan si kapten polisi.
“Ngomong-ngomong di mana Lufin?”
“Dia di dalam, bersama Kombes Pol Hendra.”
Ia sedikit tersentak, nama yang disebut adalah masalah tersendiri.
Komisaris Besar Polisi Hendra Wiryawan, petinggi kepolisian dari Baintelkam -divisi khusus kepolisian yang menangani masalah intelijen dan keamanan negara. Terakhir bersama si Komisaris Besar, Azra menangani kasus tindak terorisme. Kasus yang tahun lalu heboh di media dengan sebutan ‘Insiden Thamrin,’ yang sayangnya, aksi tim kontra-intelijen mereka berakhir dengan kegagalan dengan banyak korban yang berjatuhan.
Mengingat kasus yang buruk itu, serta reputasi mereka di masa lalu. Ia yakin, siapa pun orang yang tewas di dalam sana pasti bukan orang sembarangan atau setidaknya korban punya hubungan dengan kasus kriminal besar yang terjadi di Jakarta.
Tiba-tiba Sophie menarik keras tangannya. Si wanita menatap dengan mata berkaca-kaca seolah berkata ‘jangan pergi ke sana,’ namun Azra balas menggenggam erat mencoba menenangkan, seraya berkata ‘semua akan baik-baik saja.’
Pintu dibuka oleh sang polisi.
Layaknya kelinci putih yang menunjukan jalan bagi gadis kecil untuk ke Wonderland.
Tapi AKP Zabar dengan sigap menghalangi. “Biar saya saja yang mengantar.”
Kembali Alvin memicingkan mata, memberi tanda hati-hati kepada sang Informan. Sedangkan ia sendiri memberi tanda dua jari untuk tetap waspada dan menjaga Sophie Aulia di teras.
Selalu mengantisipasi hal terburuk.
. . .
Azra mengorek telinga, terganggu oleh suara pantopel dari polisi di sebelahnya. Orang itu begitu berisik, bertingkah seperti pemimpin upacara bendera.
Melirik ke sekeliling, ruangan itu khas dengan interior modern minimalis. Dinding di cat putih dan keramik pada lantainya. Ruang depan cukup besar seukuran ruang kafe tempat biasa ia ngopi , di sana terdapat jajaran sofa putih dan meja kaca panjang di sana. Berjalan ke ruang tengah, masih tak tampak ada tanda-tanda sebagai tempat pembunuhan seorang pria.
Masuk lebih dalam, terdapat ruang terbuka di tengah dan ada sebuah tangga dengan railing menuju lantai dua. Dari sini, Instingnya langsung membuat simulasi, bagaimana pelaku masuk ke dalam? Bagaimana dia melangkah naik ke lantai dua? Bagaimana dia mengeksekusi korban? Hingga apakah pelaku turun lewat tangga ataukah melompat dari kamar jendela?
Tiba-tiba AKP Zabar berujar. “Istri Anda sangat cantik!”
“Oh dia,” lamunan Azra pecah. “Dia bukan istri saya, belum tepatnya.”
“Melihat siapa yang mendampingi Anda, orang pasti langsung tahu Anda adalah orang hebat.”
“Ah, biasa saja.”
Sambil menaiki tangga, Zabar menjelaskan tentang lantai dua rumah itu, terdapat tiga kamar di sana, dan kamar yang paling depan merupakan TKP-nya. Lalu tepat di pintu masuk kamar, berdiri pria yang sangat ia hormati –sang maestro investigasi kriminal Jakarta, Kombes Pol Hendra Wiryawan.
Dari tampilan fisik, Hendra Wiryawan terlihat layaknya bintang film action yang sangat mapan, bugar dengan otot bahu dan bisepnya yang menonjol di balik jas hitamnya. Wajahnya tetap tampan meski sudah menginjak usia 40an, dengan kulit putih, hidung mancung, mata sipit, rahang yang keras dengan kumis tipis dan jenggot, membuat ia terlihat seperti bapak yang bijaksana.
Ia tahu sampai hari ini pun, komandan penyelidik dari Baintelkam ini masih suka nge-gym dan lari 10 kilometer tiap minggu pagi. Masih rutin menjadi pelatih Taekwondo di pusat pelatihan kepolisian dan selalu hadir dalam pertandingan menembak cepat di Senayan.
AKP Zabar memberikan hormat kepada Hendra, sementara sang Informan tersenyum rapat kepada seorang sahabat.
“Azra,” ucap sang komandan.
“Pak Hendra,” jabat tangannya sambil berjalan masuk ke ruangan tempat korban tewas.
Melangkah masuk ke dalam ruangan, hidungnya langsung mencium bau alcohol yang harum, mungkin dari sejenis anggur putih pikirnya. Mungkin ini yang menyebabkan korban meninggal.
Tepat di bawah hidungnya, ia pun melihat ada sisa basah di lantai. Mungkin tadinya, sebuah botol tergeletak di sini. di samping lengan korban. Perlahan ia memperhatikan tubuh korban dari bawah ke atas. Jasad korban yang terlentang di lantai, kepalanya menghadap ke langit-langit.
“Ini alasannya kenapa saya memilih kamu,” tegas Hendra.
Azra perlahan membelalak, ia mengenali wajah jasad itu.
“Bastian Michaelis,” ucap lidahnya kelu.
“Iya,” Hendra mengangguk. “karena dia adalah mantan klien kamu.”
Si laki-laki sedikit tersentak.
Bagaimana mungkin dia tahu? Namun suara lain berkata. Tentu saja Hendra Wiryawan tahu, karena dia adalah Komandan dari Baintelkam, Tim intelijen yang paling dihormati di seluruh kepolisian.
Mata si laki-laki memutari ruangan. “Jadi bagaimana?”
“Saat ditemukan, jasad korban tertelungkup di sana,” tunjuk Hendra ke lantai putih.
“Tidak ada bekas perkelahian ataupun jejak darah, semua dieksekusi dengan bersih, hanya ada bekas pitingan dan tusukan jarum suntik yang sangat kecil di lehernya.”
Dengan cepat si dokter berkacamata besar dan dua petugas medis lain memasukan jasad tersebut ke kantong plastik besar.
Si dokter yang mengemasi mayat pun ikut bicara. “Korban tewas karena serangan jantung,” tangannya menunjuk ke dada si mayat. “Namun bisa jadi ada pemicu eksternal yang menyebabkan serangan jantung tersebut.”
“Anda yakin?” tanya si laki-laki
“Iya, dari tanda-tanda fisiknya. Tapi kami akan melakukan otopsi lebih lanjut.”
Ia mengangguk, lalu melirik ke Hendra Wiryawan. “Jadi bagaimana komandan?”
Tapi AKP Zabar yang justru bicara. “Kami ingin membereskan masalah ini sebersih mungkin, kami bahkan tidak menulis kematian korban sebagai kasus pembunuhan.”
Tentu saja, mengingat korban adalah kandidat Ketua KPK tahun ini. Kematian mendadaknya pasti bakal heboh jika ditulis sebagai pembunuhan, apalagi mengingat media sedang marak-maraknya menyoroti KPK dan POLRI.
Namun sang Informan tidak menggubris ucapan si Kapten Polisi, matanya justru menembus ke Kombes Pol Hendra Wiryawan.
“Saya mengerti, tapi maaf Dan tidak banyak yang bisa saya bantu.”
“Apa maksudnya ini,” bentak AKP Zabar yang jelas tidak sabaran.
Azra memiring kepala dan balas menatapnya. “Gue tidak menjadi penyelidik lapangan lagi.”
“Apa-apaan ini,” teriak si Kapten Polisi. “Kami sudah menunggu lama, berramah-tamah, mengantar Anda ke ruangan, dan Anda bilang tidak jadi menyelidiki.”
Ia paham betul tipikal orang seperti ini, Zabar tak lebih dari polisi penjilat yang sok tahu dan sok terlihat gagah. Dia berteriak-teriak sangar hanya untuk mengejar pangkat dan dipuji oleh atasannya.
Sepengalamannya, rasanya nggak mungkin seorang Hendra WIryawan memasukan orang seperti Zabar di dalam Timnya, nggak mungkin, kecuali jika sangat terpaksa atau ada titipan dari komandan yang lain.
“Kapan gue pernah bilang akan menyelidiki kasus ini,” ia melawan dengan balik melotot. “Gue ke sini cuma menjemput teman gue, Lufin.”
Nama yang dipanggil pun menengok ke belakang. Terlihat wajah datar si pemuda berkulit putih berwajah oriental. Lufin atau biasa mereka panggil si muka zombie.
“Oke, terserah kamu mau menyelidiki atau tidak,” ucap sang komandan sambil memainkan jari telunjuknya. “Tapi jika ada hal-hal yang terkait dengan diri kamu, saya tidak akan bertanggung jawab,” ada seringai di bibir Hendra Wiryawan.
Lalu ia memberi tanda kepada kedua petugas ambulance untuk mengangkut jasad Bastian ke bawah.
Zabar pun turun mengikuti sang Komandan.
Lantai dua pun menjadi sepi, hanya tinggal Azra dan Lufin bersama dengan ruangan yang berantakan dengan bau alkohol hasil olah TKP para petugas sebelumnya. Azra tersenyum sendiri, ia paham, si komandan sengaja meninggalkan mereka untuk melihat-lihat sebentar TKP.
. . .
Azra jarang punya rekan yang bertahan lama. Kebanyakan mereka pergi jauh, menghilang, mencari pekerjaan baru, berkhianat, atau sudah tewas dibunuh orang dalam sebuah misi, kecuali yang satu ini, Ikhsanul Arifin alias Lufin.
Ia mengenal si pemuda 7 tahun yang lalu, saat menyelidiki kasus pembunuhan di daerah Depok. Kasus meninggalnya seorang mahasiswa, anak dari anggota TNI Angkatan Udara. Tiga bulan kasus itu molor dan tak dapat dipecahkan oleh para polisi di sana. Seorang komandan yang ia kenal menghubungi dan memintanya untuk menyelidiki kasus tersebut dan menemukan siapa pembunuh sebenarnya.
Di sana, ia bertemu si mahasiswa berwajah pucat dan mengaku detektif kampus. Seorang yang freak, keras kepala, agresif, liar, dan angkuh seperti dirinya. Dan kini putaran roda itu kembali terulang.
“Jadi lo kenal dengan korban?” tanya Lufin yang duduk di lantai dan bersadar pada pinggiran kasur.
Azra mengangguk. “Iya, dia mantan klien gue. Tapi sudah lama gue nggak bertemu dengan dia, terakhir 3 tahun yang lalu, dia meminta gue untuk mencari beberapa data dari internet.”
“Mantan lo seorang calon ketua KPK, ini bakal heboh” ucapnya disusul tawa.
Azra hanya menekuk muka, ia sedang tak ingin berbasa-basi.
“Jadi gimana detailnya?”
Lufin pun menggerakkan jarinya. “Tadinya ada botol Wine yang pecah di sini,” tunjuknya ke lantai di mana terdapat garis kapur putih yang menggambarkan posisi korban.
“Yang menemukannya?”
Lufin membuka catatannya. “Mira Rosa, istrinya, tepatnya istri kedua, dan saat ditemukan pintu kamar ini sudah terbuka. Korban ditemukan pukul 8:30 tadi, lalu dari tanda-tanda kekakuan mayat, dokter memperkirakan korban tewas sejak tadi sore antara pukul 5 sampai pukul 6.”
“Oke, terus.”
“Sekitar jam delapan itu, si istri pulang, dia naik ke atas dan menemukan suaminya sudah tergeletak dilantai dengan sebuah botol yang pecah.”
“Lalu?” ia berjalan dengan mata yang terus menelusuri lantai.
“Si istri panik” tangan Lufin bergerak menjelaskan. “Dia berteriak-teriak minta tolong, dan kebetulan, ada pembantu yang tadi pergi bersamanya, si pembantu kemudian meminta pertolongan dari satpam di depan.”
“Kemudian ada tiga orang satpam naik ke sini, dan salah satunya memeriksa korban yang sudah tak bernapas. Kemudian si kepala satpam meminta si pembantu untuk menelpon rumah sakit dan meminta ambulance, dia bilang semoga masih ada harapan, lalu ada satpam lain yang berinisiatif menelpon Polsek Pondok Indah. Operator di polsek pun agak terkejut mendengar nama yang meninggal yaitu Bastian Michaelis yang merupakan kandidat ketua KPK. Operator lalu menghubungi atasanya, dan atasannya lalu menghubungi Kompol Hendra. Kebetulan dia sedang berada di sekitar Pondok Indah, lalu situasinya seperti yang kita hadapi sekarang.”
Azra menggosok dagu. “Serius, keterangannya rada anehloh. Yang satu menelpon rumah sakit dan yang satu menelpon Polsek, tapi yang datang ke sini duluan malah Kombes Pol Hendra.”
“Hah,” Lufin sedikit tersentak. “Iya ya, gue baru nyadar itu.”
“Oke, tandai dulu itu. Apalagi yang lo temukan di sini?”
“Ada pecahan botol di sini, tapi mereka sudah bersihkan.”
“Iya, gue paham, mereka sudah menyapuh petunjuk-petunjuk krusial.”
Ia melangkah mundur ke sudut ruangan memandang pintu itu lebih luas lagi. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus. Azra memicingkan mata ke pinggiran pintu yang rusak dan sekejap ia menemukannya.
“Oke, ke pertanyaan mendasar. Saat pertama kali dia naik ke atas sini, saat pertama kali dia menemukan jasad korban. Apa si istri ini bersama orang lain?”
“Tidak.”
“Apa dia melihat pintu terkunci?”
Lufin menggeleng. “Katanya sih, saat ditemukan pintu sudah terbuka.”
Tangan Azra terus menelusuri pintu, kemudian di baliknya ia menemukan hal yang aneh.
Kenapa ada garis dan potongan benang di balik pintu ini? Perlahan otaknya membuat visualisasi dari garis-garis yang ia lihat. Garis-garis itu terhubung membentuk triangulasi dengan handle pintu bagian dalam hingga ke handle pintu bagian luar. Seseorang menarik benangnya dan mekanisme itu berjalan mengunci pintu dari dalam.
“Saat ditemukan apa ada kunci yang menggantung lubang pintu?”
“Tidak, kami menemukan kunci itu berada di lantai.”
“Kemudian petugas memasukan kembali kuncinya, ke lubang ini” tunjuk Azra
“Iya.”
“Oke, gue ngerti kronologinya sekarang. Si istri yang pertama kali naik ke atas sini, pintu ‘kata dia’ sudah terbuka, dia menemukan jasad si suami, dia berteriak lalu orang-orang yang ada di sekitar sini berdatang. Dan membuat keadaan seperti yang kita lihat sekarang.”
Lufin mengangguk. “Iya.”
“Ngomong-ngomong lo lihat ini,” jari Azra menarik benang tipis yang terikat pada anak kunci. “Menurut lo ini apa?”
Dia memicingkan mata. “Sebuah benang.”
“Iya,” Azra membalik pintu dan menunjukan garis-garis yang nyaris tak terlihat di temboknya. “Kalau ini apa?”
Lufin tersentak, garis-garis ditembok itu membentuk segitiga yang transparan. “Jangan-jangan… Mekanisme ruang terkunci?”
Azra memasang wajah licik. “Iya, itu yang gue pikirkan.”
Untuk beberapa detik mereka berdua terdiam.
Kasus ini jauh lebih menarik daripada yang mereka harapkan.
Jari si laki-laki bergerak mengikuti garis yang membentuk segitiga besar di balik pintu. “Serius, lo gak lihat ini dari awal?”
Si rekan menggeleng.
“Tadi gue lebih fokus pada mayatnya, dan untuk masalah pintu sudah ada petugas lain yang memeriksanya.”
Azra mengadu gigi. “Alasan saja.”
Si pemuda pun tertawa remeh. “Hehe, sorry Boss, manusiawi.”
“Huh, gue rasa Pak Hendra pasti tahu hal ini.”
“Pastinya Boss!”
“Kembali lagi pertanyaan gue, harusnya ruangan ini terkunci namun tidak kunci?” kali ini ia bangun dari posisinya.
Si rekan hanya menggosok dagu tak mampu menjawab.
Tangan Azra yang berselimut glove terus bergerak di sudut-sudut pintu. Ia lalu memutar handle dan “Tik” terlihat ada baut yang lepas. Ia pun mencoba memutar kunci yang berada di lubang dan “Klik” batang pengunci itu langsung patah.
“Pintu yang harusnya terkunci dari dalam namun saat ditemukan sudah terbuka, menurut lo apa yang terjadi?”
“Seseorang mendobraknya!”
“Iya, tapi yang lebih penting lagi, saat si saksi utama datang pintu ini sudah terbuka, itu berarti…”
Lufin mengangkat dagu, ia baru menyadarinya. “Ada orang lain di sini, sebelum si istri datang.”
Azra menyeringai. “Semoga saja si istri ini jujur dengan segala keterangannya.”
Mereka pun kembali bergerak memutari ruangan dengan mata yang terus menelusuri lantai, seolah mereka melihat jejak yang tak kasat mata.
“Ini sekedar hipotesa, satu dari berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Menurutku akan sangat menarik jika ada dua orang atau mungkin lebih di sini. Salah satunya adalah si pelaku pembunuhan dan satu lagi mungkin orang yang mengejar si pembunuh –atau mungkin juga dia ingin melakukan pembunuhan, namun dia terlambat karena si target sudah tewas oleh pembunuh lain. Oke, akan ada banyak teori dari turunan kasus seperti ini.”
Lufin tersenyum. Seperti biasa Azra Lazuardi menunjukan taringnya.
. . .
Beberapa detik kemudian, Azra balik badan dan berjalan mundur di ruangan. Ia memindai tempat itu dengan pandangan yang lebih luas.
“Menurut lo apa penyebab kematian korban?”
“Tadi lo sudah dengar bukan, kata si dokter, dia meninggal sebab serangan jantung.”
“Lo yakin? Alasannya!?”
“Hmm, dia bilang karena si korban punya tanda-tanda itu, ada warna kebiruan di hidung, leher, dan dada korban,” Lufin menunjukan foto si mayat di kamera.
Sang Informan menggeleng dengan wajah kecewa. Kesimpulan sebab kematian diambil terlalu cepat oleh si dokter dan kedua serangan jantung itu sendiri, memiliki tanda-tanda pasca kematiannya terlalu umum dan untuk beberapa kasus sulit dikenali.
Azra mengernyit kesal, namun tak beberapa lama ia mengembang senyum. Kasus ini adalah sebuah tantangan yang sangat-sangat menyenangkan.
Melirik ke kamera, ada nyaris 50 foto di situ, ia dengan cepat melihat satu persatu hingga sampai di foto nomor sebelas. “Ini garis biru kecil apa menurut lo?”
“Seperti bekas luka, eh bukan guratan, mungkin tanda dibekap itu.”
“Iya, kelihatannya begitu,” lalu jarinya menunjuk ke foto yang lain. “Menurut lo ini apa?”
“Itu seperti bekas jari.”
Jari si laki-laki naik ke bibir, pikirnya mencoba merekontruksi apa yang sebenarnya terjadi.
“Seperti yang tadi dibilang dokter Budi,” si rekan mengulang lagi. “Hipotesanya, korban disuntikkan racun yang membuat dia terkena serang jantung.”
“Ck, asli ini ribet!”
“Sangat!”
“Lo yakin dengan yang diucapkan si Budi itu?”
“Yakin sih, kalau nggak gimana dia mempertahankan reputasinya di muka sang Komandan.”:
Si laki-laki terdiam serius sambil menggaruk dagu.
“Lagipula –seperti yang pernah gue baca, tanda-tanda kebiruan itu sesuai kok dengan ciri-ciri fisik korban yang meninggal karena serangan jantung.”
Azra menggeleng. “Ck, asli ini benar-benar ribet nggak masuk di logika orang sehat.”
Si rekan tertawa. “Ya iyalah, pembunuhan macam ini mana ada yang disebut waras.”
Ia juga ikut terkekeh. “Menurut lo gimana? Apa yang ada dipikiran si pelaku? Dia bisa saja milih alat pembunuh yang lain bukan, pisau, pistol, kabel, dan seterusnya?”
“Hmm, mungkin dia ingin melakukannya secara bersih.”
“Kalau ingin bersihkan, bisa saja dia menggunakan racun pada makanan atau minuman?”
Lufin membelalakan mata. “Hmm, iya ya, lo benar. Terus gimana menurut lo?”
Si laki-laki berjalan sambil tangan kirinya menggosok dagu, ia terdiam hampir satu menit.
Hingga ia menemukannya.
“Ah, itu dia, Pelaku ingin membuat kesan kematian korban terjadi secara alami. Tapi yang jadi pertanyaan, jika dia ingin membuat kesan alami, kenapa dia harus membuat ruang terkunci? Bisa saja, dia membiarkan pintunya terbuka, toh dia membuat korban tewas karena serangan jantung dan bukan tindak kekerasan.”
“Mungkin dia ingin menguatkan penyebab kematian?”
“Tidak, tidak, harusnya dia tidak perlu repot membuat mekanisme ini.” Azra kembali berjalan dari kiri ke kanan. “Jika gue pelakunya dan ingin menguatkan penyebab alami, gue akan mengunci ruangan dengan kunci biasa, dan nggak akan repot bermain dengan jarum dan benang. Atau mungkin nggak perlu mengunci ruangan”
“Hmm, mungkin dia ingin show off, dia ingin menunjukan kalau dia lebih pintar dari kita.”
“Iya, bisa jadi. Yang pasti siapa pun dia, dia sangat arogan.”
“Mungkin karena darah mudanya” seloroh Lufin.
Azra tertawa getir. “Pastinya.”
Si rekan menepuk-nepuk debu di kedua tangannya, seolah ingin segera mengakhirnya kunjungan di TKP. “Ngomong-ngomong benaran kita nggak ngambil kasus ini?”
“Iya, beneran,” mukanya menatap ke arah lain. “Oh iya, ruangan lainnya gimana?”
“Belum, belum gue lihat” ujar Lufin.
Sang Informan dengan bergegas berjalan keluar ruangan.
Si rekan jelas paham kebiasaan ini. Apa yang diucapkan berkebalikan dengan apa yang dilakukan. Azra terus bergerak menuruti kakinya yang berjalan sendiri, seolah menelusuri jejak dari sang pelaku sampai masuk ke ruangan sebelah.
“Apa yang elo cari?”
“TIDAK ADA, kita nggak akan menyelidiki apa-apa.”
Lufin tersenyum simpul. Seperti biasa, Azra melakukan apa yang dilarangnya sendiri.
Ia melangkah cepat lalu berhenti di antara dua kamar.
Dengan persiapan jarum dan benang, jelas si pelaku ingin keluar sesantai mungkin dari pintu depan rumah. Sialnya, ada orang lain di sana yang juga mencari korban. Azra bisa membayangkan. Si pelaku gusar, dia tidak bisa kabur dari pintu depan ataupun belakang. Si pelaku bisa saja menghabisi korban, tapi itu akan menambah permasalahan lain, ia bisa saja bersembunyi di sudut ruangan, tapi resiko untuk ditemukan juga cukup besar.
Untuk situasi seperti ini. Satu-satunya solusi adalah kabur dengan melompat dari jendela. Tapi, jelas si pelaku tidak keluar dari jendela kamar di mana korban ditemukan, ia memilih ruangan lain untuk kabur.
Azra memasuki kamar di sebelah kanannya, kamar ini lebih kecil. Tidak ada kasur ataupun karpet yang digelar di lantainya, hanya ada tiang besi memanjang di mana banyak pakaian wanita digantung di sana. Ia berjalan ke arah jendelanya dan membukanya tanpa bicara. Ia menengok ke kanan dan kiri. Lalu ia beranjak ke kamar lain yang berhadapan dengan kamar tersebut, kembali ia membuka jendela-nya tanpa bicara. Berhenti sejenak, lalu kembali ke kamar yang penuh dengan pakaian itu.
Mata itu terus memindai, berputar berlawanan arah jarum jam.
Harus bisa melihat sekali pada TKP, harus bisa melihat sekali pada TKP. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus.
Dan tak lama, ia pun menemukannya. Potongan kecil kertas merah yang terselip di pinggiran jendela.
“Apa yang lo lihat?” tanya Lufin menyentak rekannya.
Azra pun melirik balik sambil berujar. “Cara pelaku untuk kabur dari rumah”
“Gimana?”
“Tentu saja dia melompat dari kamar ini” Azra pun menunjuk plafon yang berada di bawah jendela yang memayungi samping rumah. “Hipotesis gue, dia turun dari sini, berjalan di plafon lalu melompat ke bagian belakang rumah, dia naik di tembok itu dan kabur melalui rumah tetangga itu.”
“Masuk akal,” ucap Lufin.
Azra kembali melihat ke sudut jendela, ke potongan kertas merah. Ia lalu menariknya.
“Itu apa?” tanya Lufin.
“Mungkin bukan apa-apa,” ujarnya sambil tangannya dengan cepat memasukan potongan kertas itu ke dalam kantung plastik kecil. “Tapi, adakalanya sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain justru adalah kunci untuk memecahkan kasus.”
. . .
Tak sampai sepuluh menit berada di lantai dua. Mereka turun ke bawah dan berhadapan kembali dengan Kombes Pol. Hendra.
“Jadi bagaimana?” tanya sang Komandan.
“Maaf Pak Hendra, seperti yang saya bilang tadi, saya tidak akan mengambil kasus ini.”
“Tapi kamu sudah melihat TKP-nya bukan,” Hendra melakukan persuasi. “Ini kasus yang sangat menarik, banyak teka-teki dan misteri, biasanya kamu sangat antusias dengan hal seperti ini, apalagi korban juga orang yang kamu kenal bukan.”
“Bukannya merendahkan,” si laki-laki berbicara dengan dingin. “Tapi dengan kemampuan dan pengalaman Anda sebagai penyelidik, Anda pasti bisa memecahkan kasus ini sendirian. Dan tentang korban, dia hanya mantan klien saya, sejujurnya, saya tidak pernah kenal siapa dia sebenarnya!”
Beberapa polisi menatap aneh wajah Azra.
Sedangkan Kombes Pol Hendra memaklumi sikap sang Informan, ia tahu, Azra pasti punya alasan penting tersendiri –apalagi ada kekasih di sampingnya yang tampak cemas sedari tadi. Si laki-laki langsung turun memohon pamit, disusul oleh Lufin, dan Sophie yang terlihat menganggukan kepala seperti orang Jepang memberi hormat.
. . .
Di seberang jalan, di antara keramaian.
Banyak orang awam yang berpikir pelaku tidak akan kembali ke TKP. Tapi mereka salah, Lelaki Bulan kembali ke TKP pembunuhannya. Dari pertigaan di depan rumah minimalis itu, di antara orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Lelaki Bulan melihat tiga orang dengan gelagat aneh yang keluar dari pintu rumah Burhan Simamorang. Ia melihat dengan jelas raut wajah mereka, cara berjalannya, gerakan tangannya, genggamannya, potongan rambut serta pakaiannya.
Mereka jelas bukan polisi, melainkan warga sipil. Tapi, Lelaki Bulan tahu, mereka bukan orang sembarangan.
Yang pertama melangkah keluar dengan gagah seorang pria muda dengan wajah seperti mantan atlet pencak silat yang menjadi bintang film, yang satu lagi seorang perempuan cantik berparas Arab dengan mata besar seperti burung hantu, dan seorang pemuda pucat dengan gestur yang agak bungkuk.
Tentu saja, untuk kalangan intel dan penyelidik profesional, tiga nama itu sangat terkenal; Azra, Sophie, dan Lufin. Mereka adalah penyelidik yang dipanggil untuk keadaan yang tidak lazim seperti sekarang.
“Menarik, ternyata Kota ini punya pasukan khusus di balik bayangan,” ujar Lelaki Bulan dalam benaknya. “Aku harus mengunjungi salah satu dari mereka.”
Tak sampai 5 menit di sana Lelaki Bulan masuk ke mobil.
Tangan masih menggenggam keras kemudi, terasa denyut dan getaran yang belum reda. Bukan rasa takut yang menghinggapi dirinya, melainkan adrenaline yang mendidih, bersiap untuk melakukan aksi yang jauh lebih spekta dari apa yang terjadi sekarang.
. . .
Subscribe to:
Posts (Atom)