Wednesday, September 27, 2017

Wanda dan Sakti

Petualangan Baru Dimulai
By Ftrohx



WANDA

Namaku Wanda, aku pernah kuliah, namun tak sampai lulus. Aku ingin sekali bekerja di kantoran, seperti teman-temanku yang lain, tapi sialnya aku tak memiliki ijasah S1. Jadi beginilah aku, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.

Aku pernah bekerja sebagai penjaga warnet, lalu penjaga toko elektronik, aku pernah jadi cleaning service, lalu bekerja di tempat fotocopy, penggandaan DVD, hingga terakhir aku bekerja sebagai SPG alat gelang kesehatan. Jujur, itu pekerjaan paling absurd yang pernah kujalani. Mereka menjual sesuatu yang sebenarnya nggak penting-penting banget, tapi dengan harga ratusan ribu. Dan aku yang berada di belakang meja tahu, harga sesungguhnya tidak semahal itu. Kemudian trend-nya berganti, barang-barang itu mulai tidak terjual, bossku tidak bisa membayar karyawan, dan kami berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Menganggur selama beberapa bulan, kemudian aku mendapati lowongan dari tetangga jauh.


"Hei, ada lowongan ini di Kalideres," ujarnya sambil memberikan sebuah kartu nama dengan alamat sebuah kantor.

Keesokan harinya aku ke sana.

Sialnya, aku terlambat, seharusnya interview pukul sembilan, namun aku sampai di sana pukul sepuluh. Sungguh, peluang itu terbuang begitu saja.

Jujur, aku belum pernah ke Kalideres, dan sejak pagi aku sudah berangkat ke sana, namun supir bus itu membuatku nyasar. Aku naik ojek pun juga salah alamat, hingga pukul sepuluh aku baru sampai di sana. Impianku untuk punya pekerjaan kantoranpun pupus.

Dua minggu berlalu setelah itu, seorang teman muncul di depan pintu rumahku.

"Ada lowongan ini," ucapnya sambil memberiku sebuah kartu nama.

Aku memicing dan membacanya. "Baker Street? Gue baru dengan nama itu?"

"Itu ada di dekat Sabang, Jakarta Pusat."

"Asli, gue baru tahu kalau ada nama jalan seperti ini?"

"Ya, di sanakan banyak bule dan kafe, mungkin karena itu mereka memberinya nama tersebut."

Aku menekuk bibir. "Mungkin."

Aku pernah beberapa kali ke jalan Sabang. Tempat itu punya banyak kafe dan jadi markas untuk para turis asing yang mencari penginapan murah.  Aku ingat, dulu aku juga pernah berjalan ke sana untuk melamar sebuah pekerjaan. Ada sebuah kantor BUMN yang katanya butuh karyawan. Tetanggaku meyakinkan bahwa aku bisa masuk di sana. Namun begitu lamaran kutaruh di sana, berbulan hilang tak ada jawaban. Tapi aku suka petualangannya, entah mungkin karena jauh dari rumahku di Selatan, Jakarta Pusat memiliki aura magis. Sesuatu yang bikin aku selalu penasaran untuk menelusurinya.

Bertanya ke beberapa orang, akhirnya aku sampai di alamat yang terterah. Ruko Hudson di jalan Baker no. 22. Sialnya, panas begitu menyengat, keringat menetes dari dahi hingga ke daguku. Make up-ku pasti lutur. Tapi aku tak peduli, aku juga tidak begitu yakin dengan pekerjaan ini.

Baker no. 22, aku sempat berpikir bahwa ini adalah toko roti, namun melihat halaman depannya jelas bukan. Dia juga tidak tampak seperti perkantoran. Aku curiga, tempat ini adalah tempat penyalur tenaga kerja, dimana kamu harus bayar beberapa ratus ribu untuk kemudian diterima dan dikirim entah kemana. Tapi aku tetap penasaran apa yang ada dibalik pintu itu. Melangkah masuk, seluruh lantai satu adalah ruang yang kosong. Tak ada apapun, tapi aku bisa melihat jejak seretan di lantai, mungkin pernah ada yang berkantor di sini, kemudian masa kontrak mereka habis dan mereka pergi dari sini.

"Permisi, ada orang?" teriakku di ruang yang sepi.

Sialnya, tak ada jawaban selain gema dari suaraku sendiri.

Harusnya aku melangkah keluar meninggalkan tempat itu. Namun entah intuisi, insting, rasa penasaran, firasat bodoh, menuntunku untuk terus berjalan ke dalam. Di ujung ada tangga menuju ke lantai atas. Aku melangkah di sana, menaikan anak tangga, dan sampai di lantai 2. Di sana terdapat sebuah pintu bertulisan 22 B.

Ada suara televisi di sana, yang menjadi tanda ada penghuni di dalamnya.

"Permisi," ucapku sambil mengetuk.

Dan tak lama pintu terbuka dengan jantungku yang berdetak kencang.

"Hmm, iya ada apa?" ucap lelaki tinggi dengan rambut yang ikal.

"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."

"Oh begitu," wajahnya setengah jijik. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."

"PIndah?"

"Iya, pindah," diapun langsung menutup pintu.

Untuk beberapa detik aku termenung di sana, memandang pintu yang bercat warna karamel. Harusnya aku tidak naik ke sana, tapi entahlah aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian aku balik badan dan melangkah ke bawah. Belum sempat aku melangkah ke pintu keluar, aku mendengar suara langkah terburu mengejarku.

"Tunggu, ada lowongan," teriak pemuda di belakangku. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."

Aku termenung. Kali ini dia sudah mengenakan jakat dan ada tas gunung di tangan kanannya.

"Bisnis?" tanyaku.

"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."

Aku membelalak, detektif? Sungguh, aku tidak pernah mendengar ada orang yang bekerja sebagai detektif swasta di Jakarta. Maksudku, pekerjaan detektif hanya ada di cerita fiksi, lebih buruk lagi, aku nyaris tidak pernah melihat cerita detektif di pertelevisian Indonesia.

"Apa ini lelucon?" ucapku spontan.

"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda."

Kembali aku termenung. Aku sangat ingin bilang tidak, tapi lidahku tak mampu mengeluarkan suara.

Sementara itu dengan cepat dia berjalan ke mukaku. "Ok, saya jelaskan sambil jalan."

.   .  .

SAKTI


Akhir-akhir ini keadaan makin memburuk. Tak ada klien baru yang berarti tak ada pemasukan bagiku. Namaku Sakti, pekerjaanku detektif swasta, tepatnya detektif masalah cinta. Tidak banyak yang bisa kudeskripsikan tentang kehidupanku yang buruk belakangan ini..

Aku tinggal di lantai 2 ruko Hudson di gang Baker no. 22. Tepatnya berada di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Ruko ini adalah rumah sekaligus kantorku. Kamu bisa membayangkan betapa panasnya siang hingga sore di sini.

Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Huh, ceritanya panjang.

Dahulu, setelah aku resign dari pekerjaan sebagai satpam, aku mendapati pekerjaan baru sebagai sopir dari seorang manajer bank bernama Pak Akbar. Singkat cerita, Pak Akbar ini punya teman yang konon katanya si istrinya selingkuh. Aku kemudian ditugaskan oleh si boss –disela pekerjaan rutin sebagai supir pribadi– untuk menyelidiki si wanita tersebut. Aku diberi handphone kamera untuk memfoto setiap kegiatan si target. Aku mengumpulkan data-data serta fakta bahwa si istri memang selingkuh.

Selama dua bulan melakukan penyelidikan, data-data yang kudapati cukup banyak yang mengarahkan ke fakta bahwa perselingkuhan itu memang terjadi. Aku diberi hadiah oleh bossku. “Mobil ini buat kamu saja,” plus uang juga dari si klien. Lalu namaku dibicarakan banyak orang, hingga tak beberapa lama kasus lain serupapun datang. Aku memutuskan resign dari pekerjaan sebagai supir dan menyewa ruko ini sebagai kantor. Pekerjaan terus datang lagi dan aku merekrut beberapa orang sebagai asistenku di lapangan.

Tapi masa suram pun datang tanpaku antisipasi. Klien mulai jarang muncul dan tagihan makin menumpuk. Beberapa teman, menyarankanku untuk kembali ke pekerjaan lamaku, menjadi satpam atau menjadi supir taksi online.

Sungguh, aku tidak ingin kembali seperti dulu. Meski bossku yang terakhir itu sangat baik, tapi aku sudah berjanji padanya untuk menjadi sosok yang mandiri.

Sejujurnya, aku sulit berinteraksi dengan orang-orang yang tak sepaham denganku, apalagi harus bekerja dengan mereka yang tidak satu selera denganku. Seorang psikolog bilang, bahwa aku memang terlahir introvert dan sulit beradaptasi dengan lingkungan kerja. Tapi, aku sadar aku cukup pintar. Kepintaranku ini ku yakini sangat berguna untuk menjadi orang yang bebas mengerjakan apa yang aku mau.

Mereka bilang ini soal ego, aku adalah orang yang egois.

Aku pernah punya seorang kekasih. Dia wanita yang sangat pintar, dia bekerja di pengadilan. Namun karena pekerjaanku kadang ada dan kadang tidak ada, membuatnya memilih orang lain, seseorang yang punya kepastian gaji datang tepat tiap awal bulan. Mungkin gara-gara dia belakangan ini aku berpikir hal-hal negatif, semua menjadi suram, dan alam semesta membuat apa yang ada dibenakku menjadi sebuah realita. Kesuraman di mana-mana, termasuk klien yang lebih memilih ke agensi lain.

Aku punya saingan, mereka adalah Rana Agency.

Bangsatnya, mereka berkantor di ujung jalan ini juga. Dengan front office yang cerah gemilang ber-interior modern minimalis dengan tembok warna putih gading dan wangi lemon, plus para SPG cantik. Mereka punya banyak wanita yang bekerja di lapangan, dan para wanita ini  bisa pergi kemanapun yang mereka mau tanpa diketahui. Jelas, mereka lebih efektif daripadaku yang laki-laki dengan tampilan mencolok. Tanpa pemasukan, jelas aku jadi pengangguran sungguhan. Tagihan terus menumpuk dan rasanya tak ada jalan keluar selain menutup kantor kecilku ini.

Tapi semua itu berubah sejak munculnya dia.

Pagi itu aku terbangun pukul 10. Samar-samar aku ingat semalaman, berada di kios rokok di depan gang., ngobrol dengan si penjaga kios dan seorang satpam yang selalu membicarakan artis dangdut. Sungguh, perbincangan sampah. Lalu pukul 3 pagi aku baru kembali ke ruko sambil menimbang-nimbang, apakah aku akan kembali menjadi supir di tempat bossku yang dulu atau tidak. Lalu aku jatuh tertidur di sofa.

Bangun tidur dengan tubuh serasa remuk, aku memasak mie instan seperti biasa dan menyalahkan televisi. Entah, tak ada yang jelas kutonton selain mendengar suara penyiar infotaiment. Lalu dering telepon itupun muncul, nama yang tertera adalah Fadil, si anak muda yang menggantikanku menjadi supir di kantor Pak Akbar setahun lalu.

“Iya, Dil ada apa?”

“Sudah dengar kabarnya Pak Akbar, Sak?”

“Belum ada apa?”

“Dia meninggal kemarin sore.”

“Innalillahi wa innaillaihi rojiun.”

“Bukan itu aja Sak, katanya dia meninggal bunuh diri.”

“Apa bunuh diri?”

“Iya, dia melompat dari gedung kantornya?”

“Serius?”

“Iya, serius.”

“Lah kok gue nggak dengar, gak ada di berita TV.”

“Mungkin belum disiarin kali.”

“Eh, ini serius?”

“Iya.”

“Terus ada apalagi?” aku nggak ingin berbasa-basi.

“Nyonya Akbar, Sak, dia yang meminta gue untuk menelpon lo.”

“Nelpon gue, ada apa?”

“Dia nggak percaya kalau suaminya bunuh diri lompat dari gedung, karena menurut dia semuanya baik-baik aja. Paginya mereka masih sarapan bareng, dan siangnya mereka masih teleponan dan semua baik seperti hari biasa.”

Aku menyernyit. “Iya, asli, gue juga kaget dengarnya sih.”

“Maka-nya itu, mending lo ke sini deh, bantu kami di sini.”

“Bantu gimana?”

“Lo kan detektif swasta, kami dengar juga pekerjaan lo bagus akhir-akhir ini. Jadi, keluarga meminta lo untuk menyelidiki kematian Pak Akbar.”

“Hei, gue memang detektif swasta, tapi gue bukan detektif swasta macam itu, lagipula kalau ini memang pembunuhan, kenapa nggak lo hubungi polisi?”

“Justru itu, kemarin polisi sudah memeriksa ke sini, dan kata mereka kematian Pak Akbar murni bunuh diri, karena nggak didapati tanda-tanda trauma lain ditubuhnya selain jatuh dari gedung dan lagipula saat dia melompat pintu di atap itu dia kunci dari luar hingga hanya dia sendiri yang ada di sana.”

“Fadil, asli gue bukan detektif macam itu, sungguh gue nggak bisa banyak bantu lo.”

“Ok, kalaupun lo nggak bisa bantu, lo ke sini deh ke pemakamannya, sebab banyak yang ingin kami bicarakan.”

Aku menghela napas dan terdiam untuk beberapa detik, sebelum menjawab. “Ok, gue ke sana.”

Huh sial, sungguh sial. Jantungku berdetak kencang dan tanganku bergetar menggenggam gagang telepon. Aku sudah lama tidak mengalami perasaan seperti ini, rasa cemas sekaligus excited yang sulit untukku deskripsikan.

Tok tok tok… Ketukan pintu mengejutkanku.

“Permisi,” lebih mengejutkan lagi itu suara seorang wanita.

Akupun membukanya. Demi Tuhan, aku tidak pernah menyangka ada SPG cantik yang tiba-tiba muncul di sini di depan pintuku. “Hmm, iya ada apa?”

"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."

Butuh beberapa detik untuk mencerna kata-katanya. “Oh begitu,” dan aku ingat, dia pasti mencari kantor travel yang di bawah. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."

"PIndah?"

"Iya, pindah,” otakku masih rada kacau dan mendadak pintu kututup.

Aku menarik napas dalam, mencoba berkonsentrasi. Apa yang harusku lakukan?

Dan layar-layar itu muncul di hadapanku, ingatan tentang Pak Akbar, ingatan tentang ruko ini, dan saingan kami Rana Agency. Sial, sial, sial. Aku harus berimporvisasi, aku harus bertindak lebih, melakukan sesuatu yang belum kucoba sebelumnya. Dan kesempatan itu tidak boleh.

Pintu kembali kubuka.

"Tunggu, ada lowongan," teriakku ke wanita yang beranjak pergi. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."

Dia menoleh. "Bisnis?"

"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."

"Apa ini lelucon?" balasnya.

"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda.”

Wanita itu termenung, begitupula denganku, entah aku harus bayar dia dengan apa, itu urusan nanti. Mungkin keluarga almarhum akan bayar di muka atau apalah. “Ok, saya jelaskan sambil jalan,” ucapku sambil mengenakan jaket dan melintas di sampingnya.

Sekilas, aku bisa melihat bibir yang naik tersenyum.

Aku merasakan hangat mentari menerpa wajahku. Dan dari sini, kisah panjang itupun dimulai.
.   .  .

2 comments:

  1. Ada lanjutannya gak nih? Aku demen loh yang ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ada nanti di buku saya, hehehe.

      "Hujan, Distro, & Pembunuhan" coming soon.

      Delete