Oleh Fitrah Tanzil
Bab 1
Wanita di Bawah Hujan
Rabu, 27 April pukul 2 siang. Alicia Kusuma setengah tidur di distronya.
Tak ada pelanggan sejak pagi dan yang sekilas terlihat cuma para tetangga yang menyapa atau sekadar berteduh di teras depan. Beberapa bulan ini, perempuan berjam tangan hiu ini lebih sibuk dengan pesanan yang datang melalui Whatsapp dan Instagram dibanding orang-orang yang langsung datang ke distro.
"Klik," pintu terbuka mengejutkan Alice yang sedang fokus di laptopnya. "Permisi," suara seorang wanita menyusul.
Ia refleks bangun dari tempat duduknya. “Silakan!”
Si pelanggan adalah gadis muda bermata sipit dengan kulit putih dan tubuh yang kurus. Ia mengenakan jaket merah bahan parasut dengan wajah yang tampak gugup.
"Permisi. Apa ini Distro Ichigo yang khusus untuk kostum cosplay anime itu?" tanyanya.
"Iya, benar," jawab si tuan rumah. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Hmm, saya mencari Alicia Kusuma."
"Iya, saya sendiri."
Si gadis mendekat dengan wajah penasaran. “Anda si detektif dengan jam tangan hiu itu?”
Untuk sepersekian mikro detik Alice terkejut, namun kemudian ia menggeleng sambil menyembunyikan tangan kirinya ke belakang. “Bukan,” ucapnya cepat. “Ngomong-ngomong, ada perlu apa ya?”
"Nama saya Pammy," si gadis menyodorkan tangan. "Saya menemukan alamat ini dari temannya teman saya. Namanya Ikhsan, dia merekomedasikan nama Anda."
"Rekomendasi? Maksudnya?"
Pammy menunduk sesaat sambil menarik napas dalam. "Begini, sebenarnya saya butuh bantuan Anda untuk menyelidiki kasus pembunuhan."
"Kasus pembunuhan,” dia terkekeh. “Maaf, tapi saya bukan detektif swasta. Saya enggak bisa bantu kamu.”
“Itu juga yang mereka bilang.”
“Mereka bilang?”
“Iya, mereka memperingatkan saya kalau Kak Alice akan mengatakan hal itu.”
“Sungguh, saya tidak bisa bantu kamu. Tapi saya kenal beberapa nama yang mungkin bisa.”
Si gadis memasang wajah sedih. “Sudah saya duga bakal seperti ini.”
“Sungguh, sorry banget, saya enggak …”
“Enggak, justru saya yang minta maaf sudah datang ke sini,” potong Pammy dengan cepat. “Sebelumnya, beberapa orang sudah melakukan hal itu ke saya, dan terakhir si Ikhsanul Arifin ini, dia menyuruh saya ke Distro Ichigo dan bertemu Anda."
Alice mengecap bibir. Entah apa yang ada di kepala si Muka Zombie itu hingga mengirim gadis kecil ini ke tempatnya.
"Maaf tapi saya sudah lama tidak buka praktik penyelidikan."
Namun Pammy tetap tak mau menyerah. “Anda berhasil memecahkan kasus yang rumit itu, kasus Topeng Gading tiga tahun yang lalu. Saya yakin Anda bisa menolong saya untuk menemukan si pelaku ini, sebab mereka pola yang hampir sama.”
“Tidak, saya tidak bisa membantu Anda,” ucapnya dingin.
"Yang terbunuh adalah kakak saya, Kimberly Oktaviani," si gadis berteriak dengan mata berkaca-kaca. “Saya enggak tahu harus pergi ke mana lagi. Saya bertemu dengan seorang detektif swasta tapi saya tidak percaya dengan mereka. Saya tidak pernah bisa percaya dengan laki-laki. Lalu saya menemukan alamat Anda dari seorang teman. Mereka bilang coba aja kamu hubungi detektif wanita ini, siapa tahu dia bisa membantu. Makanya siang ini saya berada di sini.”
Si hiu menggosok dagu. ”Oh, begitu. Saya mengerti tapi…”
“Saya mohon!” seru si gadis.
Untuk beberapa detik, ia terdiam. Hingga kemudian Alice berkata, “Baiklah, akan saya bantu. Tapi bukan hari ini.”
Pammy mengembang senyum. “Terima kasih!”
Ia pun membalas senyum dengan canggung.
Si gadis cantik berwajah chinesse itu balik badan dan berjalan ke pintu keluar. Namun Alice menghentikannya. “Bentar, Pammy, kejadian di mana?”
“Dia ditemukan di Taman Grande, BSD, sekitar jam 3 sore.”
“Kejadiannya di hari apa?”
“Kamis, 7 April lalu.”
Jam tangan hiu melangkah ke depan. “Hmm, Kimberly ini, dia bekerja atau kuliah?”
“Dia bekerja di sebuah kantor di Jagakarsa.”
“Hmm, dia tinggal di rumah atau ngekos?”
“Dia tinggal bersama kami di Cibubur.”
“Rumah keluarga.”
Pammy mengangguk. “Iya.”
“Oke, saya mulai membayangkannya. Itu terjadi pada hari kerja, siang ….”
“Dan hujan pula,” potong Pammy.
“Hujan?”
“Iya, hujan.”
“Hmm?” Jari Alice naik ke bibir, matanya melirik ke kanan atas.
“Saya yakin dia tidak pergi sendirian,” tambah si gadis berjaket merah. “Pasti ada orang di sana yang mengajaknya. Orang yang menyuruhnya datang ke taman dan membunuhnya.”
“Kamu sudah bicarakan teori itu ke polisi?”
“Justru polisi sudah menemukan siapa tersangkanya.”
Ia sedikit tersentak. “Eh, maksudnya?”
“Mereka menemukan dua preman ini,” jari menunjuk keluar. “Dua lelaki yang katanya berada di Taman Grande pada saat kejadian. Mereka merampok Kak Kimmy yang kebetulan berada di sana dan menusuk-nusuk tubuhnya. Mereka kabur, bersembunyi di daerah Bogor sampai kemudian polisi menemukannya.”
“Kalau begitu harusnya kasus ini sudah selesai dong?”
“Iya tapi saya tidak percaya dengan hal itu. Saya tidak yakin kalau mereka adalah pelakunya.”
“Kenapa?”
“Sebab saat diinterogasi, ditanya di mana mereka menyimpan handphone dan dompet Kak Kimmy, mereka cuma bilang handphonenya sudah dijual dan dompetnya sudah dibuang ke kali. Tapi sampai sekarang, dicari pun handphone dan dompet itu tidak ketemu.”
“Tapi mereka mengaku melakukannya?”
“Iya dengan wajah yang sudah bonyok.”
Alice melangkah mundur dan menarik napas dalam. “Hmm, oke, saya mulai paham situasinya.”
“Dugaan saya,” lanjut Pammy. “Para polisi itu menangkap dua preman itu untuk bicara apa yang mereka mau. Supaya kasus ini cepat selesai.”
“Tapi bagaimana kalau faktanya memang mereka pelakunya?”
Si gadis menggeleng. “Tidak, saya sangat yakin bukan mereka. Sebab…” tiba-tiba dia berhenti bicara. “Sebab… ada informasi lain yang saya kumpulkan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka paparkan.”
“Informasi apa?”
“Saya akan jelaskan nanti jika Kak Alice mau ikut dengan saya ke TKP.”
Ia terdiam sebelum membalas. “Oke tapi bukan sekarang.”
“Besok siang gimana?”
“Baik, besok siang.”
Pammy pun pamit dan berjalan ke arah pertigaan.
. . .
Lima menit berlalu dan ruangan kembali sepi.
Dengan cepat Jam Tangan Hiu mengambil handphone dan menelepon teman lamanya, Bimo si Inspektur muda di Polda Metro Jaya.
“Halo, Bim,” sapanya.
“Alice, tumben sekali?” balas si polisi.
“Iya, memang sangat tumben sekali. Begini, I need your help, kamu tahu kasus jasad wanita di Taman Grande BSD?”
“Oh, itu. Iya, aku tahu seorang cewek cantik yang ditemukan meninggal di tengah taman. Kalau enggak salah dua minggu yang lalu bukan?”
“Hampir tiga minggu tepatnya.”
“Iya, cuma itu urusan Polres Tangsel, bukan kantorku di Komdak sini.”
“Iya, aku ngerti,” ia terdiam beberapa detik di telepon. “Hmm, Bim, bisa minta tolong nih?”
“Tolong apa?”
“Bisa enggak kamu cari info tentang kasus ini, detailnya dari Polres Tangsel?”
Ada jeda di telepon, sebelum Bimo membalas. “Kalau diusahain sih, bisa. Tapi kamu ada urusan apa dengan kasus tersebut?”
Si Hiu menghela napas. “Tadi di sini, lima menit yang lalu datang seorang cewek yang ngaku adik dari wanita yang meninggal di BSD itu.”
“Oh, gitu. Dan dia minta bantuan kamu?”
“Iya, katanya tersangka sudah ditemukan, dua orang preman gitu. Tapi si cewek ini enggak yakin kalau para tersangka itu adalah pembunuh kakaknya. Sebab, kata dia, enggak mungkin kakaknya pergi sendirian, jauh-jauh dari Jagakarsa ke BSD di hari kerja dan hujan pula lagi, kecuali jika ada suatu urusan yang benar-benar penting.”
“Hmm, menarik!”
“Iya, aku penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku enggak punya banyak kenalan polisi jadi aku menghubungi kamu.”
Si laki-laki meledakkan tawa. “Hahaha, Alice, selalu.”
“Oke, itu aja dulu, thank you sebelumnya.”
“Sama-sama, by the way salam buat Radit,” ucap si Inspektur muda.
“Iya,” telepon pun ditutup.
. . .
Bab 03
Hujan di Taman Kota
Dari Jagakarsa Alice dan Pammy pergi ke Pasar Minggu, lalu naik bus yang menuju ke Serpong. Kebetulan, siang itu bus cukup lengang dan mereka mengambil kursi di pojok kanan.
Si detektif kembali menatap catatan kecilnya. Ada lima cara yang bisa digunakan seorang wanita muda dari ujung Jakarta Selatan menuju BSD. Pertama naik bus dari Kampung Rambutan yang masuk ke tol dalam kota menuju BSD; kedua naik kereta dari Stasiun Kebayoran Lama langsung ke stasiun Serpong; ketiga naik angkot melalui dari Jagakarsa terus ke Pondok Cabe lalu lewat Pamulang hingga ke Serpong; keempat menggunakan taksi atau mobil sewaan kemudian masuk ke jalan tol; dan terakhir naik ojek online melalui jalur Bintaro hingga ke TKP.
Nomor lima dicoret sebab rasanya enggak mungkin Kimmy naik ojek dari Jagakarsa ke Serpong di tengah cuaca yang sering hujan begini. Apalagi, perjalanan memang lumayan jauh, menempuh sekitar empat puluh menit sampai satu jam jika lewat tol dan mungkin bisa tiga jam jika melalui jalan biasa.
“Maaf soal yang tadi,” ujar Pammy.
Si detektif melirik. “Maaf yang mana?”
“Yang tadi,” jari si gadis menyilang di depan dada. “Sungguh, aku enggak tahu kalau Kak Kimmy pernah pergi ke Jepang.”
“Oh itu. Syukurnya, kita tahu sekarang.”
“Apa info itu bisa berguna?”
“Iya, info seperti ini sangat berharga dalam sebuah penyelidikan.”
“Tapi aku masih enggak ngerti apa hubungannya dengan kematian Kak Kimmy?”
Si hiu melempar senyum. “Semua akan terkuak pelan-pelan. Begitulah cerita detektif.”
“Menurut Kak Alice siapa yang dia temui?”
“Entahlah, aku belum tahu,” balasnya.
“Kenapa?” suaranya lirih. “Kenapa orang baik seperti dia bisa meninggal seperti itu?”
“Mungkin ini terdengar klise tapi, aku percaya dengan Tuhan. Aku percaya dengan amal baik, takdir, dan kehidupan selanjutnya. Aku percaya kalau kamu dan orang-orang tercinta bisa mengikhlaskannya. Di sana, dia pasti akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada yang pernah ia jalani di dunia ini,” ucap Alice mencoba menguatkan.
Si gadis menyeka matanya yang berkaca-kaca. “Iya, amin!”
. . .
Pukul 1 siang mereka sampai di Taman Grande BSD.
Begitu turun dari bus, rambutnya langsung terkena rintik hujan. Alice begitu menikmati suasana. Hujan adalah sebuah keajaiban di kota Jakarta yang panas. Hujan juga adalah mesin waktu yang bisa membawanya pergi ke masa lalu atau penghapus yang bisa menghilangkan jejak yang ingin ia hilangkan.
Di kanan dan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun hijau yang rimbun berusaha menutupi matahari. Angin dingin pun menerpa wajahnya bersama dengan serpihan hujan yang halus. Di bawahnya, jalan setapak dari kone block semen.
Memindai sekeliling, taman kota itu cukup luas. Panjangnya kira-kira dua kali Mall Pondok Indah. Tidak seperti di denah yang rata, aslinya ada kontur tanah yang tinggi dan rendah di taman tersebut. Itu kenapa meski pintu gerbang barat dan timur sejajar, tapi pengunjung tak bisa melihat orang yang masuk di ujung gerbang yang lain.
Mata si Hiu melirik ke sebelah kiri, ia memandang jauh ke jalan raya di balik hutan kecil. “Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah ke sini sebelumnya?”
“Iya, minggu lalu, setelah berita kematian Kak Kimmy.”
“Tempat ini enggak ada kamera CCTV-nya ya?”
Pammy menggeleng. “Kata mereka sih enggak ada.”
“Mereka?”
“Para polisi yang datang ke rumah kami waktu itu. Mereka bercerita banyak.”
“Oh, gitu.”
“Iya.”
Alice membuka smartphone-nya. “Aku sedikit riset tentang kematian Kimberly. Dari info yang kudapat, pembunuhan dilakukan antara jam 12 siang sampai 3 sore, sebelum tubuh korban ditemukan. Dan laporan cuaca hari itu, hujan deras dari jam 1 siang sampai jam 3 kurang.”
“Itu sebabnya tidak ada saksi mata dan bukti di tempat ini.”
Si detektif mendengus. “Bukan, tidak ada. Aku yakin cuma belum ditemukan aja.”
Pammy mengangguk. “Iya, semoga.”
Tak sampai lima menit berjalan, mereka sampai di titik X di mana Kimmy ditemukan meninggal. Alice memutar tubuhnya melihat sekitar. Selain sebab kontur tanah yang rendah, pohon-pohon yang saling menyilang membuat TKP korban ditemukan menjadi titik buta di taman itu.
“Kemarin kamu bilang ada sesuatu yang penting?” tanya si detektif.
“Oh ya,” si gadis mendongak. “Itu ingin kuceritakan. Tapi pertama apa yang ada di benak Kak Alice mengenai situasi ini?”
“Yang ada di kepalaku,” matanya berputar ke kiri atas. “Apakah pembunuhannya memang terjadi langsung di tempat ini ataukah di tempat lain.”
“Sama seperti yang mereka katakan.”
“Para penyelidik sebelumnya?”
“Iya, menurut Kak Alice gimana?”
“Aku belum bisa menjawab untuk hal itu. Aku butuh data, data, dan data.”
“Ala Sherlock Holmes.”
“Kamu baca Sherlock?”
Pammy menggeleng. “Aku cuma nonton filmnya aja.”
“Oh, gitu,” Alice memulas bibir. “Yang bisa aku lakukan adalah menelusuri dari apa yang sudah ada. Dari laporan yang sudah aku baca, kata para penyelidik itu, korban datang ke sini sendirian. Tapi hipotesisku dia enggak mungkin jauh-jauh ke sini datang sendirian. Pasti dia janjian sama seseorang atau pasti ada sesuatu yang sangat penting. Lalu secara kebetulan, ada dua preman yang juga hadir di sini. Mereka melihat korban dan menginginkan barang-barangnya tapi korban tidak menyerahkan benda berharganya. Si preman marah, kemudian terjadilah penusukan.”
“Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa preman itu menggunakan besi pemecah es? Kenapa bukan pisau?”
“Mungkin dia memang tidak punya pisau dan yang dia punya cuma itu, pemecah es.”
Pammy menekuk bibir. “Bisa sih.”
“Oke, lanjut ke skenario kedua, korban dibunuh di tempat lain dengan besi itu. Kemudian pelaku berinisiatif membuatnya seolah perampokan. Jadi dia membawanya ke sini. Mungkin dengan troli atau kursi roda. Pelaku lalu meletakkan korban di titik yang tidak dilihat orang dan meninggalkannya.”
Si sweter merah menggeleng. “Para polisi sudah memeriksa saksi di sekitar ini. Tak ada pengunjung yang membawa troli ataupun kursi roda ke sini. Dan menurut tim analis TKP, Kak Kimmy memang terbunuh di tempat ini. Setelah tubuhnya ditusuk-tusuk itu, dia sekarat dan merangkak,” Pammy menunjuk lima kaki dari sana. “Dari titik itu ke sini.”
Si detektif menggosok dagu. “Di kala pelaku menusuk korban, harusnya ada sesuatu dari tubuh pelaku yang tertinggal di tubuh korban dan ada apa yang dimiliki korban berpindah ke tubuh si pelaku.”
“Locard exchange principe . Iya, mereka juga bercerita itu. Tapi untuk kasus Kak Kimmy itu tidak terjadi!”
Alice mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Dengan cepat Pammy mengeluarkan spidol dan langsung menusuk perut Alicia Kusuma. “Sebab seperti ini,” bisiknya.
Mata si detektif membelalak dengan cepat dan tak terduga si sweter merah menusuknya. Secara refleks, tangan kanan Alice langsung mencekik leher Pammy dan tangan kiri mengenggam keras pergelangan lawannya.
“Ini yang terjadi, jika seseorang ditusuk,” ucap gadis itu. “Pasti dia akan refleks menyerang balik atau minimal menarik baju si pelaku. Tapi itu tidak terjadi pada Kak Kimmy, seolah si pelaku adalah hantu yang tidak dapat disentuh,” Pammy menarik lagi spidolnya dan melangkah mundur.
Begitu pula Alice melepaskan cengkeraman tangannya. Napasnya masih tersengal-sengal dari serangan kejut si sweter merah.
“Tak ada perlawanan?”
“Tidak ada.”
Mata si detektif menjadi lebih waspada. “Mungkin dia dibius dulu sebelum ditusuk-tusuk?”
“Jikalau itu terjadi, harusnya ada jejak tangan pelaku di tubuh korban tapi ini tidak ada,” lanjut Pammy.
Alice mencoba bernapas senormal mungkin. “Biasanya, untuk kasus seperti ini korban dibunuh di tempat lain, baru kemudian dibawa ke TKP.”
“Iya, itu juga yang kami bahas kemarin. Tapi yang janggal … tak ada jejak atau rekaman bahwa pelaku membawa korban dari tempat lain ke sini. Tidak ada troli, tidak ada kursi roda, tidak ada yang mengangkut korban ke sini.”
“Dia datang sendiri ke sini.”
“Namun tak ada jejak ataupun bekas perlawanan dari korban di tempat ini.”
S Hiu kembali berputar melihat sekeliling.
“Apa ya yang hilang? Apa yang missed dari penyelidikan ini?”
Untuk beberapa detik mereka terdiam.
Lalu si gadis berujar. “An exciting mystery, right!”
Seketika jam tangan hiu tersentak. Sejak awal Pammy muncul di distronya, gadis itu banyak bertingkah tak wajar. Tapi kali ini, kata-katanya jauh lebih aneh lagi. An exciting mystery dia ucapkan di tempat kakaknya ditemukan terbunuh. Sungguh-sungguh sangat mencurigakan.
“Bisa beri aku ruang?” bentak Alice.
“Ruang?”
“Iya,” tatapnya tajam. “Aku ingin sendirian di sini, sebentar.”
“Oke,” ucap si gadis yang berjalan ke tengah taman.
Si hiu menarik napas dalam dan berlutut di sana. Ia mengutuki dirinya sendiri yang kurang waspada.
“Jangan pernah percaya siapa pun, siapa pun dalam urusan penyelidikan kriminal!” kata-kata Ayahnya terngiang kembali.
Ia memutar jarum jam, membayangkan apa yang terjadi.
Kalau itu pisau, pastinya ia sudah berlumuran darah di sini, menggeliat di atas blok jalan setapak. Tak ada yang melihat dan tak ada yang akan menolongnya hingga ia kehabisan darah.
“Huh, sial, sial!!” makinya sendiri.
Tangannya mengepal keras.
Tidak, tidak. Kalau ia mati di sini, dibunuh orang pastinya, si pelaku akan langsung ditemukan. Si gadis itu akan langung ditangkap. Lagi pula, satu luka tusukan takkan membuatnya kalah. Tidak, Alice sudah berpengalaman dengan yang lebih sakit dari itu. Ia akan melawan balik meski ususnya sudah robek.
Ia menarik kembali napas dalam dan mengembuskannya dengan panjang.
Pertama, masalah lokasi pembunuhan. Kenapa pembunuhan terjadi di Taman BSD? Kenapa mesti di sini yang jauh dari tempat tinggal korban? Tak mungkin Kimmy jauh-jauh dari Jagakarsa pergi sendirian ke sebuah taman di BSD jika bukan untuk sebuah pertemuan penting.
Kedua hal-hal terkait identifikasi. Handphone dan kartu identitas korban hilang. Alasan kenapa pelaku membawa pergi handphone korban, sebab dia tidak ingin dilacak keberadaan. Dia tidak ingin dilacak dari komunikasi dengan korban? Sebab si pelaku adalah orang yang menyuruh korban untuk pergi ke sana.
Dengan teori bahwa ini adalah sebuah pertemuan penting? Pertanyaannya siapa orang penting yang bertemu dengan Kimmy itu? Kimmy punya wajah cantik. Artinya dia punya banyak penggemar atau setidaknya seorang pacar. Namun kata Pammy, saat ini dia sedang tidak memiliki hubungan romansa dengan siapa pun. Terakhir kali dia memiliki pacar adalah dua tahun yang lalu.
“Enam hal yang mungkin terjadi sebelum sarapan pagi,” ujarnya di atas con block.
Sepuluh menit kemudian, Alice menghampiri Pammy di tengah taman.
“Menemukan sesuatu?” tanya si gadis.
Ia menggeleng. “Tidak, aku belum mendapati ide bagaimana pelaku membunuh Kimmy.”
Pammy mengembuskan napas, sendu.
“Tapi aku menemukan hal yang lain. Enam hal yang mungkin terjadi pada kematian kakak kamu.”
“Enam hipotesis?”
“Iya, kalau kamu baca blog aku, kamu pasti pernah dengar kata enam hal sebelum sarapan pagi.”
“Apa itu?”
“Simpelnya, aku mengenumerasi siapa saja yang mungkin membunuh kakak kamu.”
Pammy mengangkat alis. “Enumerasi?”
“Singkatnya,” lanjut Alice. “Dari kondisi yang terjadi di sini, dari premis bahwa kakak kamu enggak mungkin pergi ke BSD untuk suatu hal yang tidak penting, maka—pertama—hipotesisku, pelakunya adalah mantan pacar Kimmy. Ia membunuh korban sebab dendam lama atau semacamnya. Kedua, yang juga mungkin terjadi adalah bahwa Kimmy memiliki pacar rahasia dengan motif yang hampir sama dengan yang pertama. Ketiga, mungkin bukan pacarnya, melainkan pihak ketiga yang bisa jadi punya hubungan dengan pacarnya atau mantannya. Singkatnya, si X ini cemburu, iri, dan marah pada Kimmy.”
“Oh, begitu…,” ucap si sweter merah.
“Ini belum selesai. Nomor empat, mungkin adalah anggota keluarga Kimmy. Seseorang cemburu sekaligus dendam dengan segala keberuntungan yang dimiliki oleh Kimmy. Si X ini, bisa jadi adalah saudaranya sendiri. Kelima, mungkin ini memang murni perampokan. Kebetulan Kimmy sedang boring dengan pekerjaan kantornya. Dia mencoba pergi ke tempat yang tidak pernah dia kunjungi. Dan kebetulan atau takdir memang sedang buruk. Dia bertemu dengan perampok di taman itu. Mereka menusuk Kimmy dan merampas barang-barang berharganya. Meninggalkan Kimmy sendirian, sekarat di sebuah taman di tengah hujan.”
“Keenam, masalah bisnis. Kimmy memang bekerja sebagai desain grafis tapi mungkin Kimmy tahu sesuatu yang penting tentang perusahaan, atau mungkin tentang bosnya atau kliennya yang berbahaya. Rahasia yang sangat penting diketahui olehnya. Si X ini tidak ingin rahasia itu diketahui publik apalagi sampai ke pihak berwajib. Jadi mereka membungkam Kimmy sebelum dia bicara. Dan cara yang mereka pilih adalah membunuhnya dengan membuat seolah aksi perampokan biasa di sebuah taman.”
Pammy terdiam beberapa detik sebelum berujar, “Petaka yang tak terelakkan!”
“Iya, petaka yang tidak terelakkan,” Alice mengangkat dagu, lalu tersenyum. “Oke, itu saja dulu yang bisa kusampaikan. Aku harus pamit, ada urusan mendadak di toko sore ini.”
“Pamit?”
“Iya, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Maaf, aku tidak banyak membantu.”
Pammy mengangguk. “Iya, aku mengerti.”
“Terima kasih,” balas Alice yang membalik badan.
Namun baru satu langkah, Pammy kembali bicara. “Tentang yang nomor empat tadi, apa Kak Alice curiga kalau aku punya kaitan dengan kematian Kak Kimmy?”
Alice menyeringai. “Aku tidak curiga. Cuma ayahku pernah bilang jangan percaya siapa pun, terutama jika ada hubungannya dengan perkara kriminal.”
Si sweter merah memasang wajah terkejut, namun kemudian padam dengan senyum simpul.
Alice mengangguk dan balik badan, dengan cepat ia melangkah pergi dari taman itu. .
. . .
Kembali ke Jakarta, Alice memilih naik kereta dari stasiun Serpong.
Matanya melihat sekeliling stasiun, begitu banyak orang yang berlalu lalang. Lalu ia bertanya-tanya sendiri kapan terakhir ia pernah berada di stasiun itu. Memang tempat itu tidak seperti stasiun kereta di Shibuya, namun ia ingat ada kenangan tersendiri di sana. Alice melihat ke pojok kiri atas, terdapat kamera CCTV. Apa mungkin mereka punya rekaman lengkapnya? batinnya.
Tiba-tiba handphonenya berdering, dengan nama Bimo tertera di sana.
"Halo, Bim, ada info baru?"
"Iya, aku sudah bertemu dengan penyelidik di Tangsel,” ujar suara berat itu. “Infonya persis seperti yang kamu dapat dari si cewek itu.”
“Pammy?”
“Iya, mereka sudah menangkap pelakunya, duaorang preman yang katanya menusuk almarhum.”
"Terus saksinya?"
"Mereka dapat dari orang-orang di sekitar Taman Grande itu."
"Tukang ojek, satpam, penjaga kios, and soon.”
"Iya, katanya mereka melihat dua preman itu berkeliaran di taman dari siang hingga sore."
"Hmm, oke. Tapi pas kejadian, enggak ada saksi langsung bukan?"
"Memang enggak ada. Namun dari orang-orang ini, mereka berujar bahwa sering melihat dua tersangka ini nongkrong-nongkrong di sana dan menganggu para pengunjung."
"Oh, gitu ya. Hmm, satu pertanyaan, siapa yang menemukan Kimmy pertama kali?"
"Di sini yang menemukannya bernama Parman, dia tukang sapu di jalanan situ, yang kebetulan sedang melintas di luar dengan sepedanya," ada jeda di telepon. "Dia melihat dari jauh. Awalnya, dia kira ada tumpukan sampah di jalan setepak, lalu pas dia dekatin ternyata itu seorang wanita. Dia panik, minta bantuan orang sekitar. Terus ada satu tukang ojek ini yang menelepon gawat darurat. Lalu mereka sama-sama mengangkut korban ke rumah sakit, namun sayangnya mereka sudah terlambat korban kehabisan darah dan meninggal di mobil ambulans.”
"Eh, bentar, dia meninggal di ambulans. Aku kira dia meninggal di taman?"
"Tidak, ini dari keterangan yang baru. Mereka bilang bahwa korban meninggal di ambulans."
Alice mengangkat dagu. "Oke, ada yang lain?"
"Ah, ini yang bikin kamu bakal suka."
"Apa?" si detektif menahan diri.
"Setengah jam sebelum korban ditemukan, ada seorang wanita yang menelepon ke Polsek Serpong. Dia bilang, bahwa dia melihat ada cewek yang ditusuk orang di Taman Grande."
“Beneran ini?”
“Iya.”
"Lalu?"
"Polsek menghubungi patroli yang berada di dekat situ dan memerintahkan mereka untuk memeriksa Taman Grande. Dan saat mereka sampai di sana, korban sudah ramai dikerubungi orang untuk diangkut ke RS."
"Oke, ini enggak kuduga. Terus?"
"Kata saksi pertama, si Parman ini, dia tidak melihat ada wanita lain di TKP saat menemukan korban."
"Terus siapa yang menelepon Polsek BSD?"
"Nah, itu yang jadi tanda tanya. Siapa yang menelepon ke Polsek sebelum ada orang yang menelepon. Tapi anehnya, si X ini enggak ada di sana di antara para saksi yang mengangkut korban ke ambulans."
"Harusnya mereka mencari dia!" jerit Alice.
"Mereka sudah mencarinya tapi sampai sekarang belum ketemu si saksi X ini."
“Huh.”
“Kamu memikirkan apa yang aku pikirkan!?” tanya Bimo excited.
"Iya,” balas Alice. "Oke, apa ada hal yang lain. Sesuatu mungkin yang tertinggal di TKP?”
“Dari keterangan di sini, korban tidak membawa apa-apa selain pakaian yang ia kenakan. Tak ada dompet handphone tas, dan lain sebagainya.”
“Iya, si Pammy juga mengatakan hal seperti itu. Tak ada yang tertinggal di TKP.”
“Uhm, kelihatannya enggak seperti itu dah.”
“Enggak seperti itu gimana?”
“Ada keterangan tambahan di sini? Saat menyisir TKP, sekitar sepuluh meter dari titik korban tergeletak, seorang petugas menemukan bangau kertas.”
“Apa?” Alice meninggikan suaranya.
“Bangau dari kertas lipat, origami maksudku,” jelas Bimo.
“Serius?”
“Iya.”
“Aku baru dengar ini. Kok enggak ada di berita acara atau yang lainnya?”
“Iya, ini informasi terbatas untuk penyelidik. Lagi pula, mereka sudah menemukan dua preman yang diduga membunuh Pammy. Jadi data ini enggak begitu mereka bahas.”
“Wow, gila, gila! Oke, thank you untuk infonya, Bim."
"Sama-sama,” ujar si perwira muda. “By the way, selalu waspada, Alice. Kita enggak tahu apa yang akan muncul di depan nanti."
"Siap, Komandan!" balas jam tangan hiu, lalu menutup telepon.
. . .
Monday, October 14, 2019
Sunday, October 6, 2019
Excerpt: Novel TRIAD KEMATIAN
Oleh Fitrah Tanzil
Bab 01
MATSURI
Di Parkir Timur Senayan.
Azra turun dari Porsche-nya. Ia mengunci pintu mobil, menekan alarm, dan berjalan meninggalkan parkiran basah. Kepalanya masih sedikit pusing sebab perjalanan udara dari Lombok ke Jakarta. Sore tadi ia sampai di Bandara Soetta, lalu mengambil mobil di Kelapa Dua JakBar, dan malam ini menjemput pacarnya di Parkit Senayan.
“Darrr… Darrr… Darrr!” Suara dari ledakan di langit sedikit mengagetkannya.
Melihat ke jam di layar handphone-nya, baru 20:30, tapi Hanabi sudah dimulai atau mungkin hanya pembukaan pesta kembang api, pikirnya. Ledakan warna-warni terlihat membentuk jamur raksasa di atas Senayan.
Berjalan 40 meter, ia sampai di depan gapura berwarna merah. Di atasnya terlihat sebuah tulisan Jepang yang bisa diterjemahkan sebagai festival. Di pintu masuk, Azra langsung disambut oleh dua SPG cantik yang mengenakan yukata warna biru, juga seorang satpam dengan pakaian dinas hitamnya. Dari posisinya suara keramaian dari arak-arakan Omoidori sudah bisa terdengar, juga keriuhan dari panggung utama yang saat ini sedang diisi oleh band V-Kei lokal.
Si SPG cantik meminta tiket masuknya, tapi ia cukup menunjukan kartu panitia, kartu yang kemarin diberikan oleh kekasihnya, Sophie Aulia.
Melangkah ke dalam, Azra kembali disambut oleh spanduk warna merah muda, lalu lampion-lampion merah, pohon bunga sakura sintetis, dan para pengunjung yang membludak seperti station kereta di H-3 Lebaran. Semuanya begitu bising seolah dirinya berada di sarang lebah raksasa.
Di sekelilingnya berbagai macam anak muda berdandan warna-warni. Ada satu crew berkostum pemain basket warna biru putih dengan rambut warna pelangi. Lalu ada juga sekumpulan anak muda yang mengenakan kimono hitam bergambar awan merah, dan jaket hitam orange dengan lambang pusaran air. Juga baju biru dengan lambang kipas merah. Ia sangat mengenal lambang itu. Dan ada beberapa cewek cantik yang mengenakan seragam sekolah dengan cardigan hitam yang begitu ketat meniru idol group Jepang.
Juga yang tidak kalah seru Saint Seiya generasi baru. Ia suka modelnya, para cosplayer ini hebat, mereka membuat jubah dari stereofoam seolah dari bahan metalik.
Kamu di mana?
Sms Azra ke handphone Sophie.
Aku di depan stand Dorayaki samping panggung utama.
Balas cepat Sophie.
. . .
Bicara fisik, Azra berkulit putih dan berbadan tegap. Lengan dan bahunya selalu terlihat keras karena latihan fisik setiap hari. Sedangkan untuk wajah, Ia memiliki tampang mirip Jesse Eisenberg, hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak terlalu mancung. Rambutnya hitam tebal dan selalu disisir ke sebelah kanan.
Untuk urusan pakaian, ia biasa mengenakan kemeja warna biru dibalut jas abu-abu gelap, Seperti yang ia kenakan sore ini, kemeja kotak-kotak hitam koral, seperti Clark Kent saat datang ke Daily Planet. Bagian bawah selalu celana jeans biru gelap dan sneaker warna putih strip hitam. Ia juga tidak pernah menggunakan jam tangan, karena jam menghambat fleksibilitas tangannya. Apalagi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti bertarung, itu akan sangat menyulitkan.
Meski penampilan fisiknya terlihat biasa, namun siapa pun yang berjabat tangan dengan Azra Lazuardi, pasti bisa merasakan bahwa dia –adalah laki-laki mapan yang sangat berbahaya.
Sejak empat tahun yang lalu, Matsuri jadi acara tahunan wajib baginya. Selalu membuat bernostalgia dengan manga, anime, dan Japan pop culture lainnya. Kembali ke zaman-zaman dia kecil dan bahagia. Walau itu hanya acara komunitas Jejejapangan, namun selalu saja pengunjung berjubel seperti perayaan tahun baru. Stand-stand masakan Jepang berjajar panjang seperti gerbong kereta. Mulai dari masakan semi mentah seperti Sushi dan Sashimi, makanan berkuah panas seperti ramen dan kare, hingga berbagai jenis panggangan. Azra bisa mencium bau cumi bakar yang lezat di atas Takoyaki yang baru diangkat dari panggangan. Sayangnya, antrian begitu panjang sehingga ia harus melewatkannya.
Lalu di depannya, keramaian depan panggung utama yang menghadirkan group Idol terkenal JKT 48, para penggemarnya berteriak-teriak riuh seperti supporter sepak bola, benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba keriuhan itu seolah menghilang dari telingannya. Semua menjadi sepi dan panca inderanya hanya bisa fokus pada satu titik. Titik itu adalah wanita cantik yang tertawa di antara perempuan cantik yang lain. Ia berdiri tepat di depan stand Dorayaki. Wanita cantik itu mengenakan yukata putih dengan motif bunga sakura, ia mengenakan sepasang sandal kayu di kakinya dan sebuah kipas kertas merah di tangan kanannya. Dialah yang sejak tadi dicari oleh Azra, sang kekasih hati yaitu Sophie Aulia Sahab.
Mata itu membulat.
Sophie adalah cewek keturunan Arab dengan kulit putih seperti salju, mata indah seperti batu safir, hidung mancung, dagu lancip, bibir sensual, dan rambut yang merah menyala. Semua definisi keindahan dan kecantikan ada padanya. Dari kepribadian dan latar belakang keluarga, Sophie juga nyaris sempurna. Berasal dari keluarga kaya yang memiliki perusahaan parfum. Lulus S1 Teknik Kimia dari Universitas Tokyo, pernah menjadi model untuk Uniqlo, dan sekarang bekerja di divisi marketing untuk sebuah perusahaan elektronik Jepang.
Bersama dengan Sophie, Azra tahu ada percikan-percikan sombong di dadanya. Punya kekasih yang super-cantik membuatnya tidak tahan untuk selalu menyebut dan membanggakannya. Terutama pada teman-teman lama yang pernah meremehkannya dahulu. Rasanya seperti membalas dendam. Lebih dari itu Sophia Aulia juga mengubah jalan hidupnya. Azra yang tadinya seorang informan kepolisian, penyelidik lapangan, dan petarungan yang suka bertaruh nyawa. Sekarang beralih profesi sebagai pengelola franchise Minimarket.
Semua gara-gara sang wanita, Sophie.
“Hei,” panggil si wanita, namun si laki-laki masih kaku berdiri.
Sophie mendekatinya dan berteriak lagi. “Oii, Bengong aja?”
“Oh, sorry.” Azra terbangun dari lamunannya.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat bidadari.”
Si wanita menggeleng. “Huh, gombal.”
“Sumpah, beneran!!” si lelaki meyakinkan.
Sophie mendekat dan mencekik leher Azra, kemudian melepasnya dan memberikan kecupan di pipi. Seperti biasa, wanita itu memang jaim untuk menunjukan rindu dan kangennya pada sang kekasih.
“Gimana Lombok?” tanya Sophie Aulia.
“Panas!” balasnya.
“Hmm, beruntung aku di sini, hujan lebat dari tadi siang,” info si wanita.
Azra tersenyum. “Iya, sungguh cuaca yang hebat!”
Si wanita tertawa. “Masih jetlag?”
“Sedikit.”
“Tapi bisa bawa mobilkan?”
“Bisalah,” sekilas matanya melirik ke bawah. “Nice paper fan!”
“Oh ini,” si wanita mengangkat kipasnya. “Ini suvenir khusus panitia dan undangan.”
“Nggak dijual ya?”
“Ya, nggaklah.”
“Oh begitu,” Azra manggut. “Khas banget ya, maksudku kayak klan Uchiha.”
Dia tertawa. “Ya iyalah, sebab cewek-cewek sini fansnya Sasuke Uchiha.”
Azra ikut terbahak.
Sophie pun kembali sibuk dengan teman-temannya. Sementara si kekasih mengikutinya dari samping dan menyamali mereka. Namun ada satu temannya Sophie yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
“Miko, kenalkan ini Azra,” ucapnya ke pemuda tampan berwajah dingin yang berdiri di sebelah.
Ia mengulurkan lengan panjang. “Azra.”
“Miko,” balas si wajah dingin.
Azra bisa merasakan kulit jari yang keras dan agak kapalan di ujungnya, tekstur khas yang biasa ia temui pada teman-temannya yang biasa bermain guitar atau kuli angkut di pasar.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Rasanya tidak,” jawab si pemuda dengan senyum.
Matanya naik turun memindai si lawan bicara.
Pemuda itu begitu tampan, berkulit putih, alis yang tebal, mata yang bulat besar, pipi yang kencang serta hidung yang mancung. Wajah yang terlihat seperti lelaki kuat yang hobi rutin fitness atau seorang yang biasa bertarung di ring. Dan memang Azra bisa melihat bulatan otot bisepnya, pundaknya juga terlihat keras layaknya batu yang menonjol. Fisik ini lebih cocok menjadi pria metroseksual yang dipuja oleh tante-tante kaya daripada seorang geek yang hobinya nonton anime.
“Elo suka main di Blok M Square ya?”
Miko pun mengernyit.
“Maksud gue cari-cari buku di lantai dasarnya?”
Azra menatap wajah si lawan, terlihat si pemuda mengekspresikan keengganan, namun matanya melirik ke kiri atas yang mengisyaratkan sesuatu.
“Iya, pernah sesekali.”
“Elo suka komik detektif?”
“Iya,” balasnya singkat.
Dari wajah malasnya, terlihat, pertanyaan-pertanyaan singkat itu membuat si lawan bicara risih.
“Benar berarti kita memang pernah bertemu,” Azra pun tersenyum seperti menang hadiah tujuh belasan. “Elo yang tiga minggu lalu memborong komik Kindaichi di sana bukan?”
Miko menaikkan alis. “Wah, kok Anda tahu.”
Ada ekspresi samar antara terkejut dan marah di sana, namun sekejab wajahnya berubah menjadi senang.
“Iya, karena gue juga ada di sana, waktu itu gue lagi cari komik The Negotiator.”
“Itu sudah tiga minggu loh.”
Sophie Aulia tertawa kecil. “Azra ini punya kemampuan khusus loh,” jari si wanita naik ke dahi. “Apa istilahnya… Method of Loci?”
Miko melirik ke kanan. “Oh, Mind Palace, hebat! Jadi kayak Sherlock Holmes dong!?”
“Iya semacam itu,” jawabnya dengan bangga.
Perbincangan ringan pun berlanjut selama beberapa menit, tentang apa yang terjadi di Festival dari siang sampai sore tadi. Siapa saja bintang tamu yang mengisi acara di panggung utama, dan anime apa yang sedang nge-hits saat ini, siapa yang menjadi juara cosplay dan tentang perlombaan band indies.
Dari gestur dan postur penampilan si pemuda, sama sekali tidak menunjukan bahwa dia pernah jadi Otaku. Azra kenal cowok-cowok Otaku yang keren, yang sukses baik itu di akademik, di bisnis atau band dan lain sebagainya. Ia tahu, bahwa sesukses apa pun seorang otaku, mereka tetap memiliki gestur sebagai otaku. Agak pemalu, introvert, mencoba memberi jarak dan kadang menutup diri. Namun Miko, dia sama sekali tak seperti itu. Dia lebih mirip seorang ekstrovert tampan yang jago akting seperti Eza Gionino.
Memindai wajah si pemuda, Azra merasakan, ada sesuatu yang Miko sembunyikan, sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di permukaan. Dan instingnya mengatakan, itu adalah hal sangat berbahaya.
“Gue duluan ya,” ucap Azra kembali menjabat tangan.
Si pemuda membalas. “Oke.”
. . .
Dalam perjalanan pulang, di Porsche Azra.
Sophie menarik napasnya dalam-dalam, wangi lemon masuk ke paru-parunya. Lemon satu lagi kesamaannya dengan Azra selain novel detektif. Mencoba untuk relaks memandangi lampu-lampu jalan dan pemandangan melankolis malam Jakarta, tiba-tiba ia teringat wajah Miko dan percakapan tadi.
“Sayang,” ucap si gadis cantik.
“Iya,” Azra terdengar malas.
“Menurut kamu seperti apa Miko?”
“Dia tampan.”
“Iya, aku tahu itu,” si wanita terdiam sejenak, lalu secara mengejutkan ia berkata. “By the way, tadi kamu cemburu ya?”
“Cemburu!?”
“Iya, melihat aku dengan Miko tadi.”
“Aku nggak cemburu, aku cuma khawatir,” suara Azra terdengar lebih keras. “Kamu tidak lihat matanya, dia seperti seorang Sociopath tahu.”
Si wanita tertawa. “Hahaha, benarkan kamu memang cemburu!”
“Iya, iya aku ngaku aku cemburu, dia muda, tampan, dan dia berada di dekat kamu seharian ini.”
Sophie ingat pertama kali berkenalan dengan Azra di sebuah restoran pizza di Kemang. Saat itu mereka baru masuk SMA. Si pemuda tampak begitu canggung, seolah tak pernah bertemu gadis cantik seumur hidupnya.
Sekarang pun ia masih sering terlihat gugup seperti itu, kadang suka tersenyum malu-malu dengan pipinya yang memerah. Bahasa tubuh memang lebih banyak berbicara daripada kata-kata. Dan hal yang sama terjadi tadi, ketika ia sedang berbincang dengan Miko, Azra tampak mengerutkan dahi dengan mata yang memicing kecil.
“Oh iya, memang benaran kamu pernah bertemu Miko sebelumnya?”
“Di Blok M itu, iya beneran.”
“Kok kamu bisa mengingatnya. Rasanya nggak mungkin, meski kamu bisa Method of Loci.”
Azra menghentakan suaranya. “Tentu saja aku mengingatnya, karena dia itu ANEH.”
“Dan tampan.”
“Iya, dia memang tampan dan itulah yang membuatnya aneh.”
Sophie hanya tertawa.
“Iya, tentu saja aneh, saat itu aku ada di sana, di lapak komik. Tiba-tiba muncul pemuda tampan dengan jaket hitam ala anak band. Penampilannya terlihat begitu gaul dan nggak ada bau-baunya seorang geek, nerd, ataupun otaku. Rasanya sangat tidak masuk akal cowok seperti dia berada di lapak komik dan memborong Detektif Kindaichi.”
“Oh begitu ya konklusinya, tidak seperti kamu yang kurang populer di sekolah.”
Azra menepuk jidat. “Tapi kamu suka kan dengan aku yang sekarang!?”
Si wanita menekuk bibirnya. “Iya mau gimana lagi, nggak ada pilihan lain.”
Mobil sampai di bundaran Ratu Plasa, Azra mengambil putaran ke kanan masuk ke Pakubuwono. Sophie memperhatikan wajah sang kekasih, wajah itu seolah kembali berbicara. Ini bukan tentang cinta dan romansa, ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang mengganggunya.
Dan benar saja sebuah telepon berdering. “Halo… Iya… Oke, gue ke sana.”
“Telepon dari siapa?”
“Lufin,” tangannya tampak menggenggam stir lebih kera. “Dia ada di Pondok Indah.”
“Terus ada apa?” si wanita penasaran.
“Ada kasus baru, kasus yang sangat menarik katanya.”
Ia sedikit tertegun, inilah yang ia khawatirkan. Sang kekasih kembali ke jalanan dan mengejar kasus kriminal.
Tangan Sophie mengepal, perlahan menunjukan amarah yang ia pendam. Ego-nya memang sangat tinggi untuk menjaga apa yang ia cintai, tapi ia juga menyadari, inilah satu-satunya hal selain dirinya yang dapat mengisi lerung hati Azra, sebuah kasus kriminal yang sangat menantang untuk dipecahkan.
. . .
Bab 02
MENGHILANG
Pondok Indah, Jakarta Selatan
Dua mobil patroli polisi, sebuah Humvee, dan sebuah ambulance terparkir di halaman. Malam ini rumah putih dengan arsitektur minimalis itu menjadi TKP pembunuhan seorang anggota DPR.
Tidak ada garis polisi, namun terlihat 2 - 3 orang berseragam coklat mondar-mandir di teras depan.
Di sana juga berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jaket warna ungu, dialah Alvin, Inspektur muda yang selalu sukses membuat orang awam tidak mengenalinya sebagai polisi. Alvin memandang ke langit, ke kumpulan awam, ia tampak gelisah mencemaskan sesuatu.
Lalu seorang polisi berkulit gelap dengan tubuh kekar menghampiri, ia mengenakan seragam coklat dibungkus jaket polisi, ada tanda pangkat tiga balok di bahunya, sebuah name tag tertera di depan sakunya 'Zabar Rauf' penyelidik dari Bareskrim Mabes Polri.
Dengan suara beratnya ia berkata. “Apa dia akan datang ke sini?”
“Iya, dia pasti datang,” jawab Inspektur Alvin.
Polisi bertubuh kekar itu berdehem, lalu mengambil rokok dan menyalakannya. “Ngomong-ngomong, kenapa mereka memanggilnya sang Informan?”
Dengan wajah sedikit jijik, ia balas menatap AKP Zabar. “Karena dia seorang informan.”
“Iya, dia memang seorang informan. Tapi kenapa dia disebut sang Informan?”
“Karena dia pernah jadi informan jalanan untuk seorang detektif.”
“Informan Jalanan, menarik.” Si kapten polisi tersenyum licik. “Ngomong-ngomong siapa detektif itu?”
“Anda pasti tahu,” ujar si Inspektur dengan perlahan. “Dia adalah Ming.”
“Apa Ming?” dia tampak sangat terkejut. “MING yang itu?”
Inspektur Alvin mengangguk. “Iya, laki-laki yang berada di balik bayangan.”
“Ini GILA,” sang kapten polisi memasang wajah sangat senang. “Jadi dia ibarat anak-anak Baker Street yang menemani sang detektif Holmes.”
“Iya, persis seperti itu.”
“Luar biasa!” AKP Zabar tertawa.
Si Inspektur muda hanya diam mengkerut.
“Oh iya, saya dengar si laki-laki itu punya julukan lain selain sang Informan.”
“Setahu saya tidak.”
“Iya, saya pernah mendengarnya. Apa namanya Manusia Hujan?”
Alvin hanya menggeleng, berpura-pura tidak tahu.
Tak lama dari perbincangan, sebuah Porsche merah mengambil parkir di depan halaman. Seorang pemuda dengan sorot mata seperti elang dan seorang wanita cantik dengan rambut merah keluar dari pintunya.
“Nah, itu mereka,” ucap Alvin.
Azra berjalan dengan cepat lalu menyalami si lelaki berjaket. “Alvin… Wow, apa kabar?”
“Baik Az,” jawabnya sambil menyambut tangan. “Oh, iya kenalkan ini AKP Zabar dari Bareskrim,” tangan ke arah polisi bertanda tiga balok.
Sang Informan menyalami tangan si kapten polisi.
“Ngomong-ngomong di mana Lufin?”
“Dia di dalam, bersama Kombes Pol Hendra.”
Ia sedikit tersentak, nama yang disebut adalah masalah tersendiri.
Komisaris Besar Polisi Hendra Wiryawan, petinggi kepolisian dari Baintelkam -divisi khusus kepolisian yang menangani masalah intelijen dan keamanan negara. Terakhir bersama si Komisaris Besar, Azra menangani kasus tindak terorisme. Kasus yang tahun lalu heboh di media dengan sebutan ‘Insiden Thamrin,’ yang sayangnya, aksi tim kontra-intelijen mereka berakhir dengan kegagalan dengan banyak korban yang berjatuhan.
Mengingat kasus yang buruk itu, serta reputasi mereka di masa lalu. Ia yakin, siapa pun orang yang tewas di dalam sana pasti bukan orang sembarangan atau setidaknya korban punya hubungan dengan kasus kriminal besar yang terjadi di Jakarta.
Tiba-tiba Sophie menarik keras tangannya. Si wanita menatap dengan mata berkaca-kaca seolah berkata ‘jangan pergi ke sana,’ namun Azra balas menggenggam erat mencoba menenangkan, seraya berkata ‘semua akan baik-baik saja.’
Pintu dibuka oleh sang polisi.
Layaknya kelinci putih yang menunjukan jalan bagi gadis kecil untuk ke Wonderland.
Tapi AKP Zabar dengan sigap menghalangi. “Biar saya saja yang mengantar.”
Kembali Alvin memicingkan mata, memberi tanda hati-hati kepada sang Informan. Sedangkan ia sendiri memberi tanda dua jari untuk tetap waspada dan menjaga Sophie Aulia di teras.
Selalu mengantisipasi hal terburuk.
. . .
Azra mengorek telinga, terganggu oleh suara pantopel dari polisi di sebelahnya. Orang itu begitu berisik, bertingkah seperti pemimpin upacara bendera.
Melirik ke sekeliling, ruangan itu khas dengan interior modern minimalis. Dinding di cat putih dan keramik pada lantainya. Ruang depan cukup besar seukuran ruang kafe tempat biasa ia ngopi , di sana terdapat jajaran sofa putih dan meja kaca panjang di sana. Berjalan ke ruang tengah, masih tak tampak ada tanda-tanda sebagai tempat pembunuhan seorang pria.
Masuk lebih dalam, terdapat ruang terbuka di tengah dan ada sebuah tangga dengan railing menuju lantai dua. Dari sini, Instingnya langsung membuat simulasi, bagaimana pelaku masuk ke dalam? Bagaimana dia melangkah naik ke lantai dua? Bagaimana dia mengeksekusi korban? Hingga apakah pelaku turun lewat tangga ataukah melompat dari kamar jendela?
Tiba-tiba AKP Zabar berujar. “Istri Anda sangat cantik!”
“Oh dia,” lamunan Azra pecah. “Dia bukan istri saya, belum tepatnya.”
“Melihat siapa yang mendampingi Anda, orang pasti langsung tahu Anda adalah orang hebat.”
“Ah, biasa saja.”
Sambil menaiki tangga, Zabar menjelaskan tentang lantai dua rumah itu, terdapat tiga kamar di sana, dan kamar yang paling depan merupakan TKP-nya. Lalu tepat di pintu masuk kamar, berdiri pria yang sangat ia hormati –sang maestro investigasi kriminal Jakarta, Kombes Pol Hendra Wiryawan.
Dari tampilan fisik, Hendra Wiryawan terlihat layaknya bintang film action yang sangat mapan, bugar dengan otot bahu dan bisepnya yang menonjol di balik jas hitamnya. Wajahnya tetap tampan meski sudah menginjak usia 40an, dengan kulit putih, hidung mancung, mata sipit, rahang yang keras dengan kumis tipis dan jenggot, membuat ia terlihat seperti bapak yang bijaksana.
Ia tahu sampai hari ini pun, komandan penyelidik dari Baintelkam ini masih suka nge-gym dan lari 10 kilometer tiap minggu pagi. Masih rutin menjadi pelatih Taekwondo di pusat pelatihan kepolisian dan selalu hadir dalam pertandingan menembak cepat di Senayan.
AKP Zabar memberikan hormat kepada Hendra, sementara sang Informan tersenyum rapat kepada seorang sahabat.
“Azra,” ucap sang komandan.
“Pak Hendra,” jabat tangannya sambil berjalan masuk ke ruangan tempat korban tewas.
Melangkah masuk ke dalam ruangan, hidungnya langsung mencium bau alcohol yang harum, mungkin dari sejenis anggur putih pikirnya. Mungkin ini yang menyebabkan korban meninggal.
Tepat di bawah hidungnya, ia pun melihat ada sisa basah di lantai. Mungkin tadinya, sebuah botol tergeletak di sini. di samping lengan korban. Perlahan ia memperhatikan tubuh korban dari bawah ke atas. Jasad korban yang terlentang di lantai, kepalanya menghadap ke langit-langit.
“Ini alasannya kenapa saya memilih kamu,” tegas Hendra.
Azra perlahan membelalak, ia mengenali wajah jasad itu.
“Bastian Michaelis,” ucap lidahnya kelu.
“Iya,” Hendra mengangguk. “karena dia adalah mantan klien kamu.”
Si laki-laki sedikit tersentak.
Bagaimana mungkin dia tahu? Namun suara lain berkata. Tentu saja Hendra Wiryawan tahu, karena dia adalah Komandan dari Baintelkam, Tim intelijen yang paling dihormati di seluruh kepolisian.
Mata si laki-laki memutari ruangan. “Jadi bagaimana?”
“Saat ditemukan, jasad korban tertelungkup di sana,” tunjuk Hendra ke lantai putih.
“Tidak ada bekas perkelahian ataupun jejak darah, semua dieksekusi dengan bersih, hanya ada bekas pitingan dan tusukan jarum suntik yang sangat kecil di lehernya.”
Dengan cepat si dokter berkacamata besar dan dua petugas medis lain memasukan jasad tersebut ke kantong plastik besar.
Si dokter yang mengemasi mayat pun ikut bicara. “Korban tewas karena serangan jantung,” tangannya menunjuk ke dada si mayat. “Namun bisa jadi ada pemicu eksternal yang menyebabkan serangan jantung tersebut.”
“Anda yakin?” tanya si laki-laki
“Iya, dari tanda-tanda fisiknya. Tapi kami akan melakukan otopsi lebih lanjut.”
Ia mengangguk, lalu melirik ke Hendra Wiryawan. “Jadi bagaimana komandan?”
Tapi AKP Zabar yang justru bicara. “Kami ingin membereskan masalah ini sebersih mungkin, kami bahkan tidak menulis kematian korban sebagai kasus pembunuhan.”
Tentu saja, mengingat korban adalah kandidat Ketua KPK tahun ini. Kematian mendadaknya pasti bakal heboh jika ditulis sebagai pembunuhan, apalagi mengingat media sedang marak-maraknya menyoroti KPK dan POLRI.
Namun sang Informan tidak menggubris ucapan si Kapten Polisi, matanya justru menembus ke Kombes Pol Hendra Wiryawan.
“Saya mengerti, tapi maaf Dan tidak banyak yang bisa saya bantu.”
“Apa maksudnya ini,” bentak AKP Zabar yang jelas tidak sabaran.
Azra memiring kepala dan balas menatapnya. “Gue tidak menjadi penyelidik lapangan lagi.”
“Apa-apaan ini,” teriak si Kapten Polisi. “Kami sudah menunggu lama, berramah-tamah, mengantar Anda ke ruangan, dan Anda bilang tidak jadi menyelidiki.”
Ia paham betul tipikal orang seperti ini, Zabar tak lebih dari polisi penjilat yang sok tahu dan sok terlihat gagah. Dia berteriak-teriak sangar hanya untuk mengejar pangkat dan dipuji oleh atasannya.
Sepengalamannya, rasanya nggak mungkin seorang Hendra WIryawan memasukan orang seperti Zabar di dalam Timnya, nggak mungkin, kecuali jika sangat terpaksa atau ada titipan dari komandan yang lain.
“Kapan gue pernah bilang akan menyelidiki kasus ini,” ia melawan dengan balik melotot. “Gue ke sini cuma menjemput teman gue, Lufin.”
Nama yang dipanggil pun menengok ke belakang. Terlihat wajah datar si pemuda berkulit putih berwajah oriental. Lufin atau biasa mereka panggil si muka zombie.
“Oke, terserah kamu mau menyelidiki atau tidak,” ucap sang komandan sambil memainkan jari telunjuknya. “Tapi jika ada hal-hal yang terkait dengan diri kamu, saya tidak akan bertanggung jawab,” ada seringai di bibir Hendra Wiryawan.
Lalu ia memberi tanda kepada kedua petugas ambulance untuk mengangkut jasad Bastian ke bawah.
Zabar pun turun mengikuti sang Komandan.
Lantai dua pun menjadi sepi, hanya tinggal Azra dan Lufin bersama dengan ruangan yang berantakan dengan bau alkohol hasil olah TKP para petugas sebelumnya. Azra tersenyum sendiri, ia paham, si komandan sengaja meninggalkan mereka untuk melihat-lihat sebentar TKP.
. . .
Azra jarang punya rekan yang bertahan lama. Kebanyakan mereka pergi jauh, menghilang, mencari pekerjaan baru, berkhianat, atau sudah tewas dibunuh orang dalam sebuah misi, kecuali yang satu ini, Ikhsanul Arifin alias Lufin.
Ia mengenal si pemuda 7 tahun yang lalu, saat menyelidiki kasus pembunuhan di daerah Depok. Kasus meninggalnya seorang mahasiswa, anak dari anggota TNI Angkatan Udara. Tiga bulan kasus itu molor dan tak dapat dipecahkan oleh para polisi di sana. Seorang komandan yang ia kenal menghubungi dan memintanya untuk menyelidiki kasus tersebut dan menemukan siapa pembunuh sebenarnya.
Di sana, ia bertemu si mahasiswa berwajah pucat dan mengaku detektif kampus. Seorang yang freak, keras kepala, agresif, liar, dan angkuh seperti dirinya. Dan kini putaran roda itu kembali terulang.
“Jadi lo kenal dengan korban?” tanya Lufin yang duduk di lantai dan bersadar pada pinggiran kasur.
Azra mengangguk. “Iya, dia mantan klien gue. Tapi sudah lama gue nggak bertemu dengan dia, terakhir 3 tahun yang lalu, dia meminta gue untuk mencari beberapa data dari internet.”
“Mantan lo seorang calon ketua KPK, ini bakal heboh” ucapnya disusul tawa.
Azra hanya menekuk muka, ia sedang tak ingin berbasa-basi.
“Jadi gimana detailnya?”
Lufin pun menggerakkan jarinya. “Tadinya ada botol Wine yang pecah di sini,” tunjuknya ke lantai di mana terdapat garis kapur putih yang menggambarkan posisi korban.
“Yang menemukannya?”
Lufin membuka catatannya. “Mira Rosa, istrinya, tepatnya istri kedua, dan saat ditemukan pintu kamar ini sudah terbuka. Korban ditemukan pukul 8:30 tadi, lalu dari tanda-tanda kekakuan mayat, dokter memperkirakan korban tewas sejak tadi sore antara pukul 5 sampai pukul 6.”
“Oke, terus.”
“Sekitar jam delapan itu, si istri pulang, dia naik ke atas dan menemukan suaminya sudah tergeletak dilantai dengan sebuah botol yang pecah.”
“Lalu?” ia berjalan dengan mata yang terus menelusuri lantai.
“Si istri panik” tangan Lufin bergerak menjelaskan. “Dia berteriak-teriak minta tolong, dan kebetulan, ada pembantu yang tadi pergi bersamanya, si pembantu kemudian meminta pertolongan dari satpam di depan.”
“Kemudian ada tiga orang satpam naik ke sini, dan salah satunya memeriksa korban yang sudah tak bernapas. Kemudian si kepala satpam meminta si pembantu untuk menelpon rumah sakit dan meminta ambulance, dia bilang semoga masih ada harapan, lalu ada satpam lain yang berinisiatif menelpon Polsek Pondok Indah. Operator di polsek pun agak terkejut mendengar nama yang meninggal yaitu Bastian Michaelis yang merupakan kandidat ketua KPK. Operator lalu menghubungi atasanya, dan atasannya lalu menghubungi Kompol Hendra. Kebetulan dia sedang berada di sekitar Pondok Indah, lalu situasinya seperti yang kita hadapi sekarang.”
Azra menggosok dagu. “Serius, keterangannya rada anehloh. Yang satu menelpon rumah sakit dan yang satu menelpon Polsek, tapi yang datang ke sini duluan malah Kombes Pol Hendra.”
“Hah,” Lufin sedikit tersentak. “Iya ya, gue baru nyadar itu.”
“Oke, tandai dulu itu. Apalagi yang lo temukan di sini?”
“Ada pecahan botol di sini, tapi mereka sudah bersihkan.”
“Iya, gue paham, mereka sudah menyapuh petunjuk-petunjuk krusial.”
Ia melangkah mundur ke sudut ruangan memandang pintu itu lebih luas lagi. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus. Azra memicingkan mata ke pinggiran pintu yang rusak dan sekejap ia menemukannya.
“Oke, ke pertanyaan mendasar. Saat pertama kali dia naik ke atas sini, saat pertama kali dia menemukan jasad korban. Apa si istri ini bersama orang lain?”
“Tidak.”
“Apa dia melihat pintu terkunci?”
Lufin menggeleng. “Katanya sih, saat ditemukan pintu sudah terbuka.”
Tangan Azra terus menelusuri pintu, kemudian di baliknya ia menemukan hal yang aneh.
Kenapa ada garis dan potongan benang di balik pintu ini? Perlahan otaknya membuat visualisasi dari garis-garis yang ia lihat. Garis-garis itu terhubung membentuk triangulasi dengan handle pintu bagian dalam hingga ke handle pintu bagian luar. Seseorang menarik benangnya dan mekanisme itu berjalan mengunci pintu dari dalam.
“Saat ditemukan apa ada kunci yang menggantung lubang pintu?”
“Tidak, kami menemukan kunci itu berada di lantai.”
“Kemudian petugas memasukan kembali kuncinya, ke lubang ini” tunjuk Azra
“Iya.”
“Oke, gue ngerti kronologinya sekarang. Si istri yang pertama kali naik ke atas sini, pintu ‘kata dia’ sudah terbuka, dia menemukan jasad si suami, dia berteriak lalu orang-orang yang ada di sekitar sini berdatang. Dan membuat keadaan seperti yang kita lihat sekarang.”
Lufin mengangguk. “Iya.”
“Ngomong-ngomong lo lihat ini,” jari Azra menarik benang tipis yang terikat pada anak kunci. “Menurut lo ini apa?”
Dia memicingkan mata. “Sebuah benang.”
“Iya,” Azra membalik pintu dan menunjukan garis-garis yang nyaris tak terlihat di temboknya. “Kalau ini apa?”
Lufin tersentak, garis-garis ditembok itu membentuk segitiga yang transparan. “Jangan-jangan… Mekanisme ruang terkunci?”
Azra memasang wajah licik. “Iya, itu yang gue pikirkan.”
Untuk beberapa detik mereka berdua terdiam.
Kasus ini jauh lebih menarik daripada yang mereka harapkan.
Jari si laki-laki bergerak mengikuti garis yang membentuk segitiga besar di balik pintu. “Serius, lo gak lihat ini dari awal?”
Si rekan menggeleng.
“Tadi gue lebih fokus pada mayatnya, dan untuk masalah pintu sudah ada petugas lain yang memeriksanya.”
Azra mengadu gigi. “Alasan saja.”
Si pemuda pun tertawa remeh. “Hehe, sorry Boss, manusiawi.”
“Huh, gue rasa Pak Hendra pasti tahu hal ini.”
“Pastinya Boss!”
“Kembali lagi pertanyaan gue, harusnya ruangan ini terkunci namun tidak kunci?” kali ini ia bangun dari posisinya.
Si rekan hanya menggosok dagu tak mampu menjawab.
Tangan Azra yang berselimut glove terus bergerak di sudut-sudut pintu. Ia lalu memutar handle dan “Tik” terlihat ada baut yang lepas. Ia pun mencoba memutar kunci yang berada di lubang dan “Klik” batang pengunci itu langsung patah.
“Pintu yang harusnya terkunci dari dalam namun saat ditemukan sudah terbuka, menurut lo apa yang terjadi?”
“Seseorang mendobraknya!”
“Iya, tapi yang lebih penting lagi, saat si saksi utama datang pintu ini sudah terbuka, itu berarti…”
Lufin mengangkat dagu, ia baru menyadarinya. “Ada orang lain di sini, sebelum si istri datang.”
Azra menyeringai. “Semoga saja si istri ini jujur dengan segala keterangannya.”
Mereka pun kembali bergerak memutari ruangan dengan mata yang terus menelusuri lantai, seolah mereka melihat jejak yang tak kasat mata.
“Ini sekedar hipotesa, satu dari berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Menurutku akan sangat menarik jika ada dua orang atau mungkin lebih di sini. Salah satunya adalah si pelaku pembunuhan dan satu lagi mungkin orang yang mengejar si pembunuh –atau mungkin juga dia ingin melakukan pembunuhan, namun dia terlambat karena si target sudah tewas oleh pembunuh lain. Oke, akan ada banyak teori dari turunan kasus seperti ini.”
Lufin tersenyum. Seperti biasa Azra Lazuardi menunjukan taringnya.
. . .
Beberapa detik kemudian, Azra balik badan dan berjalan mundur di ruangan. Ia memindai tempat itu dengan pandangan yang lebih luas.
“Menurut lo apa penyebab kematian korban?”
“Tadi lo sudah dengar bukan, kata si dokter, dia meninggal sebab serangan jantung.”
“Lo yakin? Alasannya!?”
“Hmm, dia bilang karena si korban punya tanda-tanda itu, ada warna kebiruan di hidung, leher, dan dada korban,” Lufin menunjukan foto si mayat di kamera.
Sang Informan menggeleng dengan wajah kecewa. Kesimpulan sebab kematian diambil terlalu cepat oleh si dokter dan kedua serangan jantung itu sendiri, memiliki tanda-tanda pasca kematiannya terlalu umum dan untuk beberapa kasus sulit dikenali.
Azra mengernyit kesal, namun tak beberapa lama ia mengembang senyum. Kasus ini adalah sebuah tantangan yang sangat-sangat menyenangkan.
Melirik ke kamera, ada nyaris 50 foto di situ, ia dengan cepat melihat satu persatu hingga sampai di foto nomor sebelas. “Ini garis biru kecil apa menurut lo?”
“Seperti bekas luka, eh bukan guratan, mungkin tanda dibekap itu.”
“Iya, kelihatannya begitu,” lalu jarinya menunjuk ke foto yang lain. “Menurut lo ini apa?”
“Itu seperti bekas jari.”
Jari si laki-laki naik ke bibir, pikirnya mencoba merekontruksi apa yang sebenarnya terjadi.
“Seperti yang tadi dibilang dokter Budi,” si rekan mengulang lagi. “Hipotesanya, korban disuntikkan racun yang membuat dia terkena serang jantung.”
“Ck, asli ini ribet!”
“Sangat!”
“Lo yakin dengan yang diucapkan si Budi itu?”
“Yakin sih, kalau nggak gimana dia mempertahankan reputasinya di muka sang Komandan.”:
Si laki-laki terdiam serius sambil menggaruk dagu.
“Lagipula –seperti yang pernah gue baca, tanda-tanda kebiruan itu sesuai kok dengan ciri-ciri fisik korban yang meninggal karena serangan jantung.”
Azra menggeleng. “Ck, asli ini benar-benar ribet nggak masuk di logika orang sehat.”
Si rekan tertawa. “Ya iyalah, pembunuhan macam ini mana ada yang disebut waras.”
Ia juga ikut terkekeh. “Menurut lo gimana? Apa yang ada dipikiran si pelaku? Dia bisa saja milih alat pembunuh yang lain bukan, pisau, pistol, kabel, dan seterusnya?”
“Hmm, mungkin dia ingin melakukannya secara bersih.”
“Kalau ingin bersihkan, bisa saja dia menggunakan racun pada makanan atau minuman?”
Lufin membelalakan mata. “Hmm, iya ya, lo benar. Terus gimana menurut lo?”
Si laki-laki berjalan sambil tangan kirinya menggosok dagu, ia terdiam hampir satu menit.
Hingga ia menemukannya.
“Ah, itu dia, Pelaku ingin membuat kesan kematian korban terjadi secara alami. Tapi yang jadi pertanyaan, jika dia ingin membuat kesan alami, kenapa dia harus membuat ruang terkunci? Bisa saja, dia membiarkan pintunya terbuka, toh dia membuat korban tewas karena serangan jantung dan bukan tindak kekerasan.”
“Mungkin dia ingin menguatkan penyebab kematian?”
“Tidak, tidak, harusnya dia tidak perlu repot membuat mekanisme ini.” Azra kembali berjalan dari kiri ke kanan. “Jika gue pelakunya dan ingin menguatkan penyebab alami, gue akan mengunci ruangan dengan kunci biasa, dan nggak akan repot bermain dengan jarum dan benang. Atau mungkin nggak perlu mengunci ruangan”
“Hmm, mungkin dia ingin show off, dia ingin menunjukan kalau dia lebih pintar dari kita.”
“Iya, bisa jadi. Yang pasti siapa pun dia, dia sangat arogan.”
“Mungkin karena darah mudanya” seloroh Lufin.
Azra tertawa getir. “Pastinya.”
Si rekan menepuk-nepuk debu di kedua tangannya, seolah ingin segera mengakhirnya kunjungan di TKP. “Ngomong-ngomong benaran kita nggak ngambil kasus ini?”
“Iya, beneran,” mukanya menatap ke arah lain. “Oh iya, ruangan lainnya gimana?”
“Belum, belum gue lihat” ujar Lufin.
Sang Informan dengan bergegas berjalan keluar ruangan.
Si rekan jelas paham kebiasaan ini. Apa yang diucapkan berkebalikan dengan apa yang dilakukan. Azra terus bergerak menuruti kakinya yang berjalan sendiri, seolah menelusuri jejak dari sang pelaku sampai masuk ke ruangan sebelah.
“Apa yang elo cari?”
“TIDAK ADA, kita nggak akan menyelidiki apa-apa.”
Lufin tersenyum simpul. Seperti biasa, Azra melakukan apa yang dilarangnya sendiri.
Ia melangkah cepat lalu berhenti di antara dua kamar.
Dengan persiapan jarum dan benang, jelas si pelaku ingin keluar sesantai mungkin dari pintu depan rumah. Sialnya, ada orang lain di sana yang juga mencari korban. Azra bisa membayangkan. Si pelaku gusar, dia tidak bisa kabur dari pintu depan ataupun belakang. Si pelaku bisa saja menghabisi korban, tapi itu akan menambah permasalahan lain, ia bisa saja bersembunyi di sudut ruangan, tapi resiko untuk ditemukan juga cukup besar.
Untuk situasi seperti ini. Satu-satunya solusi adalah kabur dengan melompat dari jendela. Tapi, jelas si pelaku tidak keluar dari jendela kamar di mana korban ditemukan, ia memilih ruangan lain untuk kabur.
Azra memasuki kamar di sebelah kanannya, kamar ini lebih kecil. Tidak ada kasur ataupun karpet yang digelar di lantainya, hanya ada tiang besi memanjang di mana banyak pakaian wanita digantung di sana. Ia berjalan ke arah jendelanya dan membukanya tanpa bicara. Ia menengok ke kanan dan kiri. Lalu ia beranjak ke kamar lain yang berhadapan dengan kamar tersebut, kembali ia membuka jendela-nya tanpa bicara. Berhenti sejenak, lalu kembali ke kamar yang penuh dengan pakaian itu.
Mata itu terus memindai, berputar berlawanan arah jarum jam.
Harus bisa melihat sekali pada TKP, harus bisa melihat sekali pada TKP. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus.
Dan tak lama, ia pun menemukannya. Potongan kecil kertas merah yang terselip di pinggiran jendela.
“Apa yang lo lihat?” tanya Lufin menyentak rekannya.
Azra pun melirik balik sambil berujar. “Cara pelaku untuk kabur dari rumah”
“Gimana?”
“Tentu saja dia melompat dari kamar ini” Azra pun menunjuk plafon yang berada di bawah jendela yang memayungi samping rumah. “Hipotesis gue, dia turun dari sini, berjalan di plafon lalu melompat ke bagian belakang rumah, dia naik di tembok itu dan kabur melalui rumah tetangga itu.”
“Masuk akal,” ucap Lufin.
Azra kembali melihat ke sudut jendela, ke potongan kertas merah. Ia lalu menariknya.
“Itu apa?” tanya Lufin.
“Mungkin bukan apa-apa,” ujarnya sambil tangannya dengan cepat memasukan potongan kertas itu ke dalam kantung plastik kecil. “Tapi, adakalanya sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain justru adalah kunci untuk memecahkan kasus.”
. . .
Tak sampai sepuluh menit berada di lantai dua. Mereka turun ke bawah dan berhadapan kembali dengan Kombes Pol. Hendra.
“Jadi bagaimana?” tanya sang Komandan.
“Maaf Pak Hendra, seperti yang saya bilang tadi, saya tidak akan mengambil kasus ini.”
“Tapi kamu sudah melihat TKP-nya bukan,” Hendra melakukan persuasi. “Ini kasus yang sangat menarik, banyak teka-teki dan misteri, biasanya kamu sangat antusias dengan hal seperti ini, apalagi korban juga orang yang kamu kenal bukan.”
“Bukannya merendahkan,” si laki-laki berbicara dengan dingin. “Tapi dengan kemampuan dan pengalaman Anda sebagai penyelidik, Anda pasti bisa memecahkan kasus ini sendirian. Dan tentang korban, dia hanya mantan klien saya, sejujurnya, saya tidak pernah kenal siapa dia sebenarnya!”
Beberapa polisi menatap aneh wajah Azra.
Sedangkan Kombes Pol Hendra memaklumi sikap sang Informan, ia tahu, Azra pasti punya alasan penting tersendiri –apalagi ada kekasih di sampingnya yang tampak cemas sedari tadi. Si laki-laki langsung turun memohon pamit, disusul oleh Lufin, dan Sophie yang terlihat menganggukan kepala seperti orang Jepang memberi hormat.
. . .
Di seberang jalan, di antara keramaian.
Banyak orang awam yang berpikir pelaku tidak akan kembali ke TKP. Tapi mereka salah, Lelaki Bulan kembali ke TKP pembunuhannya. Dari pertigaan di depan rumah minimalis itu, di antara orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Lelaki Bulan melihat tiga orang dengan gelagat aneh yang keluar dari pintu rumah Burhan Simamorang. Ia melihat dengan jelas raut wajah mereka, cara berjalannya, gerakan tangannya, genggamannya, potongan rambut serta pakaiannya.
Mereka jelas bukan polisi, melainkan warga sipil. Tapi, Lelaki Bulan tahu, mereka bukan orang sembarangan.
Yang pertama melangkah keluar dengan gagah seorang pria muda dengan wajah seperti mantan atlet pencak silat yang menjadi bintang film, yang satu lagi seorang perempuan cantik berparas Arab dengan mata besar seperti burung hantu, dan seorang pemuda pucat dengan gestur yang agak bungkuk.
Tentu saja, untuk kalangan intel dan penyelidik profesional, tiga nama itu sangat terkenal; Azra, Sophie, dan Lufin. Mereka adalah penyelidik yang dipanggil untuk keadaan yang tidak lazim seperti sekarang.
“Menarik, ternyata Kota ini punya pasukan khusus di balik bayangan,” ujar Lelaki Bulan dalam benaknya. “Aku harus mengunjungi salah satu dari mereka.”
Tak sampai 5 menit di sana Lelaki Bulan masuk ke mobil.
Tangan masih menggenggam keras kemudi, terasa denyut dan getaran yang belum reda. Bukan rasa takut yang menghinggapi dirinya, melainkan adrenaline yang mendidih, bersiap untuk melakukan aksi yang jauh lebih spekta dari apa yang terjadi sekarang.
. . .
Bab 01
MATSURI
Di Parkir Timur Senayan.
Azra turun dari Porsche-nya. Ia mengunci pintu mobil, menekan alarm, dan berjalan meninggalkan parkiran basah. Kepalanya masih sedikit pusing sebab perjalanan udara dari Lombok ke Jakarta. Sore tadi ia sampai di Bandara Soetta, lalu mengambil mobil di Kelapa Dua JakBar, dan malam ini menjemput pacarnya di Parkit Senayan.
“Darrr… Darrr… Darrr!” Suara dari ledakan di langit sedikit mengagetkannya.
Melihat ke jam di layar handphone-nya, baru 20:30, tapi Hanabi sudah dimulai atau mungkin hanya pembukaan pesta kembang api, pikirnya. Ledakan warna-warni terlihat membentuk jamur raksasa di atas Senayan.
Berjalan 40 meter, ia sampai di depan gapura berwarna merah. Di atasnya terlihat sebuah tulisan Jepang yang bisa diterjemahkan sebagai festival. Di pintu masuk, Azra langsung disambut oleh dua SPG cantik yang mengenakan yukata warna biru, juga seorang satpam dengan pakaian dinas hitamnya. Dari posisinya suara keramaian dari arak-arakan Omoidori sudah bisa terdengar, juga keriuhan dari panggung utama yang saat ini sedang diisi oleh band V-Kei lokal.
Si SPG cantik meminta tiket masuknya, tapi ia cukup menunjukan kartu panitia, kartu yang kemarin diberikan oleh kekasihnya, Sophie Aulia.
Melangkah ke dalam, Azra kembali disambut oleh spanduk warna merah muda, lalu lampion-lampion merah, pohon bunga sakura sintetis, dan para pengunjung yang membludak seperti station kereta di H-3 Lebaran. Semuanya begitu bising seolah dirinya berada di sarang lebah raksasa.
Di sekelilingnya berbagai macam anak muda berdandan warna-warni. Ada satu crew berkostum pemain basket warna biru putih dengan rambut warna pelangi. Lalu ada juga sekumpulan anak muda yang mengenakan kimono hitam bergambar awan merah, dan jaket hitam orange dengan lambang pusaran air. Juga baju biru dengan lambang kipas merah. Ia sangat mengenal lambang itu. Dan ada beberapa cewek cantik yang mengenakan seragam sekolah dengan cardigan hitam yang begitu ketat meniru idol group Jepang.
Juga yang tidak kalah seru Saint Seiya generasi baru. Ia suka modelnya, para cosplayer ini hebat, mereka membuat jubah dari stereofoam seolah dari bahan metalik.
Kamu di mana?
Sms Azra ke handphone Sophie.
Aku di depan stand Dorayaki samping panggung utama.
Balas cepat Sophie.
. . .
Bicara fisik, Azra berkulit putih dan berbadan tegap. Lengan dan bahunya selalu terlihat keras karena latihan fisik setiap hari. Sedangkan untuk wajah, Ia memiliki tampang mirip Jesse Eisenberg, hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak terlalu mancung. Rambutnya hitam tebal dan selalu disisir ke sebelah kanan.
Untuk urusan pakaian, ia biasa mengenakan kemeja warna biru dibalut jas abu-abu gelap, Seperti yang ia kenakan sore ini, kemeja kotak-kotak hitam koral, seperti Clark Kent saat datang ke Daily Planet. Bagian bawah selalu celana jeans biru gelap dan sneaker warna putih strip hitam. Ia juga tidak pernah menggunakan jam tangan, karena jam menghambat fleksibilitas tangannya. Apalagi untuk keadaan-keadaan tertentu seperti bertarung, itu akan sangat menyulitkan.
Meski penampilan fisiknya terlihat biasa, namun siapa pun yang berjabat tangan dengan Azra Lazuardi, pasti bisa merasakan bahwa dia –adalah laki-laki mapan yang sangat berbahaya.
Sejak empat tahun yang lalu, Matsuri jadi acara tahunan wajib baginya. Selalu membuat bernostalgia dengan manga, anime, dan Japan pop culture lainnya. Kembali ke zaman-zaman dia kecil dan bahagia. Walau itu hanya acara komunitas Jejejapangan, namun selalu saja pengunjung berjubel seperti perayaan tahun baru. Stand-stand masakan Jepang berjajar panjang seperti gerbong kereta. Mulai dari masakan semi mentah seperti Sushi dan Sashimi, makanan berkuah panas seperti ramen dan kare, hingga berbagai jenis panggangan. Azra bisa mencium bau cumi bakar yang lezat di atas Takoyaki yang baru diangkat dari panggangan. Sayangnya, antrian begitu panjang sehingga ia harus melewatkannya.
Lalu di depannya, keramaian depan panggung utama yang menghadirkan group Idol terkenal JKT 48, para penggemarnya berteriak-teriak riuh seperti supporter sepak bola, benar-benar luar biasa.
Tiba-tiba keriuhan itu seolah menghilang dari telingannya. Semua menjadi sepi dan panca inderanya hanya bisa fokus pada satu titik. Titik itu adalah wanita cantik yang tertawa di antara perempuan cantik yang lain. Ia berdiri tepat di depan stand Dorayaki. Wanita cantik itu mengenakan yukata putih dengan motif bunga sakura, ia mengenakan sepasang sandal kayu di kakinya dan sebuah kipas kertas merah di tangan kanannya. Dialah yang sejak tadi dicari oleh Azra, sang kekasih hati yaitu Sophie Aulia Sahab.
Mata itu membulat.
Sophie adalah cewek keturunan Arab dengan kulit putih seperti salju, mata indah seperti batu safir, hidung mancung, dagu lancip, bibir sensual, dan rambut yang merah menyala. Semua definisi keindahan dan kecantikan ada padanya. Dari kepribadian dan latar belakang keluarga, Sophie juga nyaris sempurna. Berasal dari keluarga kaya yang memiliki perusahaan parfum. Lulus S1 Teknik Kimia dari Universitas Tokyo, pernah menjadi model untuk Uniqlo, dan sekarang bekerja di divisi marketing untuk sebuah perusahaan elektronik Jepang.
Bersama dengan Sophie, Azra tahu ada percikan-percikan sombong di dadanya. Punya kekasih yang super-cantik membuatnya tidak tahan untuk selalu menyebut dan membanggakannya. Terutama pada teman-teman lama yang pernah meremehkannya dahulu. Rasanya seperti membalas dendam. Lebih dari itu Sophia Aulia juga mengubah jalan hidupnya. Azra yang tadinya seorang informan kepolisian, penyelidik lapangan, dan petarungan yang suka bertaruh nyawa. Sekarang beralih profesi sebagai pengelola franchise Minimarket.
Semua gara-gara sang wanita, Sophie.
“Hei,” panggil si wanita, namun si laki-laki masih kaku berdiri.
Sophie mendekatinya dan berteriak lagi. “Oii, Bengong aja?”
“Oh, sorry.” Azra terbangun dari lamunannya.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat bidadari.”
Si wanita menggeleng. “Huh, gombal.”
“Sumpah, beneran!!” si lelaki meyakinkan.
Sophie mendekat dan mencekik leher Azra, kemudian melepasnya dan memberikan kecupan di pipi. Seperti biasa, wanita itu memang jaim untuk menunjukan rindu dan kangennya pada sang kekasih.
“Gimana Lombok?” tanya Sophie Aulia.
“Panas!” balasnya.
“Hmm, beruntung aku di sini, hujan lebat dari tadi siang,” info si wanita.
Azra tersenyum. “Iya, sungguh cuaca yang hebat!”
Si wanita tertawa. “Masih jetlag?”
“Sedikit.”
“Tapi bisa bawa mobilkan?”
“Bisalah,” sekilas matanya melirik ke bawah. “Nice paper fan!”
“Oh ini,” si wanita mengangkat kipasnya. “Ini suvenir khusus panitia dan undangan.”
“Nggak dijual ya?”
“Ya, nggaklah.”
“Oh begitu,” Azra manggut. “Khas banget ya, maksudku kayak klan Uchiha.”
Dia tertawa. “Ya iyalah, sebab cewek-cewek sini fansnya Sasuke Uchiha.”
Azra ikut terbahak.
Sophie pun kembali sibuk dengan teman-temannya. Sementara si kekasih mengikutinya dari samping dan menyamali mereka. Namun ada satu temannya Sophie yang tak pernah ia kenal sebelumnya.
“Miko, kenalkan ini Azra,” ucapnya ke pemuda tampan berwajah dingin yang berdiri di sebelah.
Ia mengulurkan lengan panjang. “Azra.”
“Miko,” balas si wajah dingin.
Azra bisa merasakan kulit jari yang keras dan agak kapalan di ujungnya, tekstur khas yang biasa ia temui pada teman-temannya yang biasa bermain guitar atau kuli angkut di pasar.
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Rasanya tidak,” jawab si pemuda dengan senyum.
Matanya naik turun memindai si lawan bicara.
Pemuda itu begitu tampan, berkulit putih, alis yang tebal, mata yang bulat besar, pipi yang kencang serta hidung yang mancung. Wajah yang terlihat seperti lelaki kuat yang hobi rutin fitness atau seorang yang biasa bertarung di ring. Dan memang Azra bisa melihat bulatan otot bisepnya, pundaknya juga terlihat keras layaknya batu yang menonjol. Fisik ini lebih cocok menjadi pria metroseksual yang dipuja oleh tante-tante kaya daripada seorang geek yang hobinya nonton anime.
“Elo suka main di Blok M Square ya?”
Miko pun mengernyit.
“Maksud gue cari-cari buku di lantai dasarnya?”
Azra menatap wajah si lawan, terlihat si pemuda mengekspresikan keengganan, namun matanya melirik ke kiri atas yang mengisyaratkan sesuatu.
“Iya, pernah sesekali.”
“Elo suka komik detektif?”
“Iya,” balasnya singkat.
Dari wajah malasnya, terlihat, pertanyaan-pertanyaan singkat itu membuat si lawan bicara risih.
“Benar berarti kita memang pernah bertemu,” Azra pun tersenyum seperti menang hadiah tujuh belasan. “Elo yang tiga minggu lalu memborong komik Kindaichi di sana bukan?”
Miko menaikkan alis. “Wah, kok Anda tahu.”
Ada ekspresi samar antara terkejut dan marah di sana, namun sekejab wajahnya berubah menjadi senang.
“Iya, karena gue juga ada di sana, waktu itu gue lagi cari komik The Negotiator.”
“Itu sudah tiga minggu loh.”
Sophie Aulia tertawa kecil. “Azra ini punya kemampuan khusus loh,” jari si wanita naik ke dahi. “Apa istilahnya… Method of Loci?”
Miko melirik ke kanan. “Oh, Mind Palace, hebat! Jadi kayak Sherlock Holmes dong!?”
“Iya semacam itu,” jawabnya dengan bangga.
Perbincangan ringan pun berlanjut selama beberapa menit, tentang apa yang terjadi di Festival dari siang sampai sore tadi. Siapa saja bintang tamu yang mengisi acara di panggung utama, dan anime apa yang sedang nge-hits saat ini, siapa yang menjadi juara cosplay dan tentang perlombaan band indies.
Dari gestur dan postur penampilan si pemuda, sama sekali tidak menunjukan bahwa dia pernah jadi Otaku. Azra kenal cowok-cowok Otaku yang keren, yang sukses baik itu di akademik, di bisnis atau band dan lain sebagainya. Ia tahu, bahwa sesukses apa pun seorang otaku, mereka tetap memiliki gestur sebagai otaku. Agak pemalu, introvert, mencoba memberi jarak dan kadang menutup diri. Namun Miko, dia sama sekali tak seperti itu. Dia lebih mirip seorang ekstrovert tampan yang jago akting seperti Eza Gionino.
Memindai wajah si pemuda, Azra merasakan, ada sesuatu yang Miko sembunyikan, sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di permukaan. Dan instingnya mengatakan, itu adalah hal sangat berbahaya.
“Gue duluan ya,” ucap Azra kembali menjabat tangan.
Si pemuda membalas. “Oke.”
. . .
Dalam perjalanan pulang, di Porsche Azra.
Sophie menarik napasnya dalam-dalam, wangi lemon masuk ke paru-parunya. Lemon satu lagi kesamaannya dengan Azra selain novel detektif. Mencoba untuk relaks memandangi lampu-lampu jalan dan pemandangan melankolis malam Jakarta, tiba-tiba ia teringat wajah Miko dan percakapan tadi.
“Sayang,” ucap si gadis cantik.
“Iya,” Azra terdengar malas.
“Menurut kamu seperti apa Miko?”
“Dia tampan.”
“Iya, aku tahu itu,” si wanita terdiam sejenak, lalu secara mengejutkan ia berkata. “By the way, tadi kamu cemburu ya?”
“Cemburu!?”
“Iya, melihat aku dengan Miko tadi.”
“Aku nggak cemburu, aku cuma khawatir,” suara Azra terdengar lebih keras. “Kamu tidak lihat matanya, dia seperti seorang Sociopath tahu.”
Si wanita tertawa. “Hahaha, benarkan kamu memang cemburu!”
“Iya, iya aku ngaku aku cemburu, dia muda, tampan, dan dia berada di dekat kamu seharian ini.”
Sophie ingat pertama kali berkenalan dengan Azra di sebuah restoran pizza di Kemang. Saat itu mereka baru masuk SMA. Si pemuda tampak begitu canggung, seolah tak pernah bertemu gadis cantik seumur hidupnya.
Sekarang pun ia masih sering terlihat gugup seperti itu, kadang suka tersenyum malu-malu dengan pipinya yang memerah. Bahasa tubuh memang lebih banyak berbicara daripada kata-kata. Dan hal yang sama terjadi tadi, ketika ia sedang berbincang dengan Miko, Azra tampak mengerutkan dahi dengan mata yang memicing kecil.
“Oh iya, memang benaran kamu pernah bertemu Miko sebelumnya?”
“Di Blok M itu, iya beneran.”
“Kok kamu bisa mengingatnya. Rasanya nggak mungkin, meski kamu bisa Method of Loci.”
Azra menghentakan suaranya. “Tentu saja aku mengingatnya, karena dia itu ANEH.”
“Dan tampan.”
“Iya, dia memang tampan dan itulah yang membuatnya aneh.”
Sophie hanya tertawa.
“Iya, tentu saja aneh, saat itu aku ada di sana, di lapak komik. Tiba-tiba muncul pemuda tampan dengan jaket hitam ala anak band. Penampilannya terlihat begitu gaul dan nggak ada bau-baunya seorang geek, nerd, ataupun otaku. Rasanya sangat tidak masuk akal cowok seperti dia berada di lapak komik dan memborong Detektif Kindaichi.”
“Oh begitu ya konklusinya, tidak seperti kamu yang kurang populer di sekolah.”
Azra menepuk jidat. “Tapi kamu suka kan dengan aku yang sekarang!?”
Si wanita menekuk bibirnya. “Iya mau gimana lagi, nggak ada pilihan lain.”
Mobil sampai di bundaran Ratu Plasa, Azra mengambil putaran ke kanan masuk ke Pakubuwono. Sophie memperhatikan wajah sang kekasih, wajah itu seolah kembali berbicara. Ini bukan tentang cinta dan romansa, ada sesuatu yang lain di sana sesuatu yang mengganggunya.
Dan benar saja sebuah telepon berdering. “Halo… Iya… Oke, gue ke sana.”
“Telepon dari siapa?”
“Lufin,” tangannya tampak menggenggam stir lebih kera. “Dia ada di Pondok Indah.”
“Terus ada apa?” si wanita penasaran.
“Ada kasus baru, kasus yang sangat menarik katanya.”
Ia sedikit tertegun, inilah yang ia khawatirkan. Sang kekasih kembali ke jalanan dan mengejar kasus kriminal.
Tangan Sophie mengepal, perlahan menunjukan amarah yang ia pendam. Ego-nya memang sangat tinggi untuk menjaga apa yang ia cintai, tapi ia juga menyadari, inilah satu-satunya hal selain dirinya yang dapat mengisi lerung hati Azra, sebuah kasus kriminal yang sangat menantang untuk dipecahkan.
. . .
Bab 02
MENGHILANG
Pondok Indah, Jakarta Selatan
Dua mobil patroli polisi, sebuah Humvee, dan sebuah ambulance terparkir di halaman. Malam ini rumah putih dengan arsitektur minimalis itu menjadi TKP pembunuhan seorang anggota DPR.
Tidak ada garis polisi, namun terlihat 2 - 3 orang berseragam coklat mondar-mandir di teras depan.
Di sana juga berdiri seorang pemuda tampan yang mengenakan jaket warna ungu, dialah Alvin, Inspektur muda yang selalu sukses membuat orang awam tidak mengenalinya sebagai polisi. Alvin memandang ke langit, ke kumpulan awam, ia tampak gelisah mencemaskan sesuatu.
Lalu seorang polisi berkulit gelap dengan tubuh kekar menghampiri, ia mengenakan seragam coklat dibungkus jaket polisi, ada tanda pangkat tiga balok di bahunya, sebuah name tag tertera di depan sakunya 'Zabar Rauf' penyelidik dari Bareskrim Mabes Polri.
Dengan suara beratnya ia berkata. “Apa dia akan datang ke sini?”
“Iya, dia pasti datang,” jawab Inspektur Alvin.
Polisi bertubuh kekar itu berdehem, lalu mengambil rokok dan menyalakannya. “Ngomong-ngomong, kenapa mereka memanggilnya sang Informan?”
Dengan wajah sedikit jijik, ia balas menatap AKP Zabar. “Karena dia seorang informan.”
“Iya, dia memang seorang informan. Tapi kenapa dia disebut sang Informan?”
“Karena dia pernah jadi informan jalanan untuk seorang detektif.”
“Informan Jalanan, menarik.” Si kapten polisi tersenyum licik. “Ngomong-ngomong siapa detektif itu?”
“Anda pasti tahu,” ujar si Inspektur dengan perlahan. “Dia adalah Ming.”
“Apa Ming?” dia tampak sangat terkejut. “MING yang itu?”
Inspektur Alvin mengangguk. “Iya, laki-laki yang berada di balik bayangan.”
“Ini GILA,” sang kapten polisi memasang wajah sangat senang. “Jadi dia ibarat anak-anak Baker Street yang menemani sang detektif Holmes.”
“Iya, persis seperti itu.”
“Luar biasa!” AKP Zabar tertawa.
Si Inspektur muda hanya diam mengkerut.
“Oh iya, saya dengar si laki-laki itu punya julukan lain selain sang Informan.”
“Setahu saya tidak.”
“Iya, saya pernah mendengarnya. Apa namanya Manusia Hujan?”
Alvin hanya menggeleng, berpura-pura tidak tahu.
Tak lama dari perbincangan, sebuah Porsche merah mengambil parkir di depan halaman. Seorang pemuda dengan sorot mata seperti elang dan seorang wanita cantik dengan rambut merah keluar dari pintunya.
“Nah, itu mereka,” ucap Alvin.
Azra berjalan dengan cepat lalu menyalami si lelaki berjaket. “Alvin… Wow, apa kabar?”
“Baik Az,” jawabnya sambil menyambut tangan. “Oh, iya kenalkan ini AKP Zabar dari Bareskrim,” tangan ke arah polisi bertanda tiga balok.
Sang Informan menyalami tangan si kapten polisi.
“Ngomong-ngomong di mana Lufin?”
“Dia di dalam, bersama Kombes Pol Hendra.”
Ia sedikit tersentak, nama yang disebut adalah masalah tersendiri.
Komisaris Besar Polisi Hendra Wiryawan, petinggi kepolisian dari Baintelkam -divisi khusus kepolisian yang menangani masalah intelijen dan keamanan negara. Terakhir bersama si Komisaris Besar, Azra menangani kasus tindak terorisme. Kasus yang tahun lalu heboh di media dengan sebutan ‘Insiden Thamrin,’ yang sayangnya, aksi tim kontra-intelijen mereka berakhir dengan kegagalan dengan banyak korban yang berjatuhan.
Mengingat kasus yang buruk itu, serta reputasi mereka di masa lalu. Ia yakin, siapa pun orang yang tewas di dalam sana pasti bukan orang sembarangan atau setidaknya korban punya hubungan dengan kasus kriminal besar yang terjadi di Jakarta.
Tiba-tiba Sophie menarik keras tangannya. Si wanita menatap dengan mata berkaca-kaca seolah berkata ‘jangan pergi ke sana,’ namun Azra balas menggenggam erat mencoba menenangkan, seraya berkata ‘semua akan baik-baik saja.’
Pintu dibuka oleh sang polisi.
Layaknya kelinci putih yang menunjukan jalan bagi gadis kecil untuk ke Wonderland.
Tapi AKP Zabar dengan sigap menghalangi. “Biar saya saja yang mengantar.”
Kembali Alvin memicingkan mata, memberi tanda hati-hati kepada sang Informan. Sedangkan ia sendiri memberi tanda dua jari untuk tetap waspada dan menjaga Sophie Aulia di teras.
Selalu mengantisipasi hal terburuk.
. . .
Azra mengorek telinga, terganggu oleh suara pantopel dari polisi di sebelahnya. Orang itu begitu berisik, bertingkah seperti pemimpin upacara bendera.
Melirik ke sekeliling, ruangan itu khas dengan interior modern minimalis. Dinding di cat putih dan keramik pada lantainya. Ruang depan cukup besar seukuran ruang kafe tempat biasa ia ngopi , di sana terdapat jajaran sofa putih dan meja kaca panjang di sana. Berjalan ke ruang tengah, masih tak tampak ada tanda-tanda sebagai tempat pembunuhan seorang pria.
Masuk lebih dalam, terdapat ruang terbuka di tengah dan ada sebuah tangga dengan railing menuju lantai dua. Dari sini, Instingnya langsung membuat simulasi, bagaimana pelaku masuk ke dalam? Bagaimana dia melangkah naik ke lantai dua? Bagaimana dia mengeksekusi korban? Hingga apakah pelaku turun lewat tangga ataukah melompat dari kamar jendela?
Tiba-tiba AKP Zabar berujar. “Istri Anda sangat cantik!”
“Oh dia,” lamunan Azra pecah. “Dia bukan istri saya, belum tepatnya.”
“Melihat siapa yang mendampingi Anda, orang pasti langsung tahu Anda adalah orang hebat.”
“Ah, biasa saja.”
Sambil menaiki tangga, Zabar menjelaskan tentang lantai dua rumah itu, terdapat tiga kamar di sana, dan kamar yang paling depan merupakan TKP-nya. Lalu tepat di pintu masuk kamar, berdiri pria yang sangat ia hormati –sang maestro investigasi kriminal Jakarta, Kombes Pol Hendra Wiryawan.
Dari tampilan fisik, Hendra Wiryawan terlihat layaknya bintang film action yang sangat mapan, bugar dengan otot bahu dan bisepnya yang menonjol di balik jas hitamnya. Wajahnya tetap tampan meski sudah menginjak usia 40an, dengan kulit putih, hidung mancung, mata sipit, rahang yang keras dengan kumis tipis dan jenggot, membuat ia terlihat seperti bapak yang bijaksana.
Ia tahu sampai hari ini pun, komandan penyelidik dari Baintelkam ini masih suka nge-gym dan lari 10 kilometer tiap minggu pagi. Masih rutin menjadi pelatih Taekwondo di pusat pelatihan kepolisian dan selalu hadir dalam pertandingan menembak cepat di Senayan.
AKP Zabar memberikan hormat kepada Hendra, sementara sang Informan tersenyum rapat kepada seorang sahabat.
“Azra,” ucap sang komandan.
“Pak Hendra,” jabat tangannya sambil berjalan masuk ke ruangan tempat korban tewas.
Melangkah masuk ke dalam ruangan, hidungnya langsung mencium bau alcohol yang harum, mungkin dari sejenis anggur putih pikirnya. Mungkin ini yang menyebabkan korban meninggal.
Tepat di bawah hidungnya, ia pun melihat ada sisa basah di lantai. Mungkin tadinya, sebuah botol tergeletak di sini. di samping lengan korban. Perlahan ia memperhatikan tubuh korban dari bawah ke atas. Jasad korban yang terlentang di lantai, kepalanya menghadap ke langit-langit.
“Ini alasannya kenapa saya memilih kamu,” tegas Hendra.
Azra perlahan membelalak, ia mengenali wajah jasad itu.
“Bastian Michaelis,” ucap lidahnya kelu.
“Iya,” Hendra mengangguk. “karena dia adalah mantan klien kamu.”
Si laki-laki sedikit tersentak.
Bagaimana mungkin dia tahu? Namun suara lain berkata. Tentu saja Hendra Wiryawan tahu, karena dia adalah Komandan dari Baintelkam, Tim intelijen yang paling dihormati di seluruh kepolisian.
Mata si laki-laki memutari ruangan. “Jadi bagaimana?”
“Saat ditemukan, jasad korban tertelungkup di sana,” tunjuk Hendra ke lantai putih.
“Tidak ada bekas perkelahian ataupun jejak darah, semua dieksekusi dengan bersih, hanya ada bekas pitingan dan tusukan jarum suntik yang sangat kecil di lehernya.”
Dengan cepat si dokter berkacamata besar dan dua petugas medis lain memasukan jasad tersebut ke kantong plastik besar.
Si dokter yang mengemasi mayat pun ikut bicara. “Korban tewas karena serangan jantung,” tangannya menunjuk ke dada si mayat. “Namun bisa jadi ada pemicu eksternal yang menyebabkan serangan jantung tersebut.”
“Anda yakin?” tanya si laki-laki
“Iya, dari tanda-tanda fisiknya. Tapi kami akan melakukan otopsi lebih lanjut.”
Ia mengangguk, lalu melirik ke Hendra Wiryawan. “Jadi bagaimana komandan?”
Tapi AKP Zabar yang justru bicara. “Kami ingin membereskan masalah ini sebersih mungkin, kami bahkan tidak menulis kematian korban sebagai kasus pembunuhan.”
Tentu saja, mengingat korban adalah kandidat Ketua KPK tahun ini. Kematian mendadaknya pasti bakal heboh jika ditulis sebagai pembunuhan, apalagi mengingat media sedang marak-maraknya menyoroti KPK dan POLRI.
Namun sang Informan tidak menggubris ucapan si Kapten Polisi, matanya justru menembus ke Kombes Pol Hendra Wiryawan.
“Saya mengerti, tapi maaf Dan tidak banyak yang bisa saya bantu.”
“Apa maksudnya ini,” bentak AKP Zabar yang jelas tidak sabaran.
Azra memiring kepala dan balas menatapnya. “Gue tidak menjadi penyelidik lapangan lagi.”
“Apa-apaan ini,” teriak si Kapten Polisi. “Kami sudah menunggu lama, berramah-tamah, mengantar Anda ke ruangan, dan Anda bilang tidak jadi menyelidiki.”
Ia paham betul tipikal orang seperti ini, Zabar tak lebih dari polisi penjilat yang sok tahu dan sok terlihat gagah. Dia berteriak-teriak sangar hanya untuk mengejar pangkat dan dipuji oleh atasannya.
Sepengalamannya, rasanya nggak mungkin seorang Hendra WIryawan memasukan orang seperti Zabar di dalam Timnya, nggak mungkin, kecuali jika sangat terpaksa atau ada titipan dari komandan yang lain.
“Kapan gue pernah bilang akan menyelidiki kasus ini,” ia melawan dengan balik melotot. “Gue ke sini cuma menjemput teman gue, Lufin.”
Nama yang dipanggil pun menengok ke belakang. Terlihat wajah datar si pemuda berkulit putih berwajah oriental. Lufin atau biasa mereka panggil si muka zombie.
“Oke, terserah kamu mau menyelidiki atau tidak,” ucap sang komandan sambil memainkan jari telunjuknya. “Tapi jika ada hal-hal yang terkait dengan diri kamu, saya tidak akan bertanggung jawab,” ada seringai di bibir Hendra Wiryawan.
Lalu ia memberi tanda kepada kedua petugas ambulance untuk mengangkut jasad Bastian ke bawah.
Zabar pun turun mengikuti sang Komandan.
Lantai dua pun menjadi sepi, hanya tinggal Azra dan Lufin bersama dengan ruangan yang berantakan dengan bau alkohol hasil olah TKP para petugas sebelumnya. Azra tersenyum sendiri, ia paham, si komandan sengaja meninggalkan mereka untuk melihat-lihat sebentar TKP.
. . .
Azra jarang punya rekan yang bertahan lama. Kebanyakan mereka pergi jauh, menghilang, mencari pekerjaan baru, berkhianat, atau sudah tewas dibunuh orang dalam sebuah misi, kecuali yang satu ini, Ikhsanul Arifin alias Lufin.
Ia mengenal si pemuda 7 tahun yang lalu, saat menyelidiki kasus pembunuhan di daerah Depok. Kasus meninggalnya seorang mahasiswa, anak dari anggota TNI Angkatan Udara. Tiga bulan kasus itu molor dan tak dapat dipecahkan oleh para polisi di sana. Seorang komandan yang ia kenal menghubungi dan memintanya untuk menyelidiki kasus tersebut dan menemukan siapa pembunuh sebenarnya.
Di sana, ia bertemu si mahasiswa berwajah pucat dan mengaku detektif kampus. Seorang yang freak, keras kepala, agresif, liar, dan angkuh seperti dirinya. Dan kini putaran roda itu kembali terulang.
“Jadi lo kenal dengan korban?” tanya Lufin yang duduk di lantai dan bersadar pada pinggiran kasur.
Azra mengangguk. “Iya, dia mantan klien gue. Tapi sudah lama gue nggak bertemu dengan dia, terakhir 3 tahun yang lalu, dia meminta gue untuk mencari beberapa data dari internet.”
“Mantan lo seorang calon ketua KPK, ini bakal heboh” ucapnya disusul tawa.
Azra hanya menekuk muka, ia sedang tak ingin berbasa-basi.
“Jadi gimana detailnya?”
Lufin pun menggerakkan jarinya. “Tadinya ada botol Wine yang pecah di sini,” tunjuknya ke lantai di mana terdapat garis kapur putih yang menggambarkan posisi korban.
“Yang menemukannya?”
Lufin membuka catatannya. “Mira Rosa, istrinya, tepatnya istri kedua, dan saat ditemukan pintu kamar ini sudah terbuka. Korban ditemukan pukul 8:30 tadi, lalu dari tanda-tanda kekakuan mayat, dokter memperkirakan korban tewas sejak tadi sore antara pukul 5 sampai pukul 6.”
“Oke, terus.”
“Sekitar jam delapan itu, si istri pulang, dia naik ke atas dan menemukan suaminya sudah tergeletak dilantai dengan sebuah botol yang pecah.”
“Lalu?” ia berjalan dengan mata yang terus menelusuri lantai.
“Si istri panik” tangan Lufin bergerak menjelaskan. “Dia berteriak-teriak minta tolong, dan kebetulan, ada pembantu yang tadi pergi bersamanya, si pembantu kemudian meminta pertolongan dari satpam di depan.”
“Kemudian ada tiga orang satpam naik ke sini, dan salah satunya memeriksa korban yang sudah tak bernapas. Kemudian si kepala satpam meminta si pembantu untuk menelpon rumah sakit dan meminta ambulance, dia bilang semoga masih ada harapan, lalu ada satpam lain yang berinisiatif menelpon Polsek Pondok Indah. Operator di polsek pun agak terkejut mendengar nama yang meninggal yaitu Bastian Michaelis yang merupakan kandidat ketua KPK. Operator lalu menghubungi atasanya, dan atasannya lalu menghubungi Kompol Hendra. Kebetulan dia sedang berada di sekitar Pondok Indah, lalu situasinya seperti yang kita hadapi sekarang.”
Azra menggosok dagu. “Serius, keterangannya rada anehloh. Yang satu menelpon rumah sakit dan yang satu menelpon Polsek, tapi yang datang ke sini duluan malah Kombes Pol Hendra.”
“Hah,” Lufin sedikit tersentak. “Iya ya, gue baru nyadar itu.”
“Oke, tandai dulu itu. Apalagi yang lo temukan di sini?”
“Ada pecahan botol di sini, tapi mereka sudah bersihkan.”
“Iya, gue paham, mereka sudah menyapuh petunjuk-petunjuk krusial.”
Ia melangkah mundur ke sudut ruangan memandang pintu itu lebih luas lagi. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus. Azra memicingkan mata ke pinggiran pintu yang rusak dan sekejap ia menemukannya.
“Oke, ke pertanyaan mendasar. Saat pertama kali dia naik ke atas sini, saat pertama kali dia menemukan jasad korban. Apa si istri ini bersama orang lain?”
“Tidak.”
“Apa dia melihat pintu terkunci?”
Lufin menggeleng. “Katanya sih, saat ditemukan pintu sudah terbuka.”
Tangan Azra terus menelusuri pintu, kemudian di baliknya ia menemukan hal yang aneh.
Kenapa ada garis dan potongan benang di balik pintu ini? Perlahan otaknya membuat visualisasi dari garis-garis yang ia lihat. Garis-garis itu terhubung membentuk triangulasi dengan handle pintu bagian dalam hingga ke handle pintu bagian luar. Seseorang menarik benangnya dan mekanisme itu berjalan mengunci pintu dari dalam.
“Saat ditemukan apa ada kunci yang menggantung lubang pintu?”
“Tidak, kami menemukan kunci itu berada di lantai.”
“Kemudian petugas memasukan kembali kuncinya, ke lubang ini” tunjuk Azra
“Iya.”
“Oke, gue ngerti kronologinya sekarang. Si istri yang pertama kali naik ke atas sini, pintu ‘kata dia’ sudah terbuka, dia menemukan jasad si suami, dia berteriak lalu orang-orang yang ada di sekitar sini berdatang. Dan membuat keadaan seperti yang kita lihat sekarang.”
Lufin mengangguk. “Iya.”
“Ngomong-ngomong lo lihat ini,” jari Azra menarik benang tipis yang terikat pada anak kunci. “Menurut lo ini apa?”
Dia memicingkan mata. “Sebuah benang.”
“Iya,” Azra membalik pintu dan menunjukan garis-garis yang nyaris tak terlihat di temboknya. “Kalau ini apa?”
Lufin tersentak, garis-garis ditembok itu membentuk segitiga yang transparan. “Jangan-jangan… Mekanisme ruang terkunci?”
Azra memasang wajah licik. “Iya, itu yang gue pikirkan.”
Untuk beberapa detik mereka berdua terdiam.
Kasus ini jauh lebih menarik daripada yang mereka harapkan.
Jari si laki-laki bergerak mengikuti garis yang membentuk segitiga besar di balik pintu. “Serius, lo gak lihat ini dari awal?”
Si rekan menggeleng.
“Tadi gue lebih fokus pada mayatnya, dan untuk masalah pintu sudah ada petugas lain yang memeriksanya.”
Azra mengadu gigi. “Alasan saja.”
Si pemuda pun tertawa remeh. “Hehe, sorry Boss, manusiawi.”
“Huh, gue rasa Pak Hendra pasti tahu hal ini.”
“Pastinya Boss!”
“Kembali lagi pertanyaan gue, harusnya ruangan ini terkunci namun tidak kunci?” kali ini ia bangun dari posisinya.
Si rekan hanya menggosok dagu tak mampu menjawab.
Tangan Azra yang berselimut glove terus bergerak di sudut-sudut pintu. Ia lalu memutar handle dan “Tik” terlihat ada baut yang lepas. Ia pun mencoba memutar kunci yang berada di lubang dan “Klik” batang pengunci itu langsung patah.
“Pintu yang harusnya terkunci dari dalam namun saat ditemukan sudah terbuka, menurut lo apa yang terjadi?”
“Seseorang mendobraknya!”
“Iya, tapi yang lebih penting lagi, saat si saksi utama datang pintu ini sudah terbuka, itu berarti…”
Lufin mengangkat dagu, ia baru menyadarinya. “Ada orang lain di sini, sebelum si istri datang.”
Azra menyeringai. “Semoga saja si istri ini jujur dengan segala keterangannya.”
Mereka pun kembali bergerak memutari ruangan dengan mata yang terus menelusuri lantai, seolah mereka melihat jejak yang tak kasat mata.
“Ini sekedar hipotesa, satu dari berbagai macam kemungkinan yang bisa terjadi. Menurutku akan sangat menarik jika ada dua orang atau mungkin lebih di sini. Salah satunya adalah si pelaku pembunuhan dan satu lagi mungkin orang yang mengejar si pembunuh –atau mungkin juga dia ingin melakukan pembunuhan, namun dia terlambat karena si target sudah tewas oleh pembunuh lain. Oke, akan ada banyak teori dari turunan kasus seperti ini.”
Lufin tersenyum. Seperti biasa Azra Lazuardi menunjukan taringnya.
. . .
Beberapa detik kemudian, Azra balik badan dan berjalan mundur di ruangan. Ia memindai tempat itu dengan pandangan yang lebih luas.
“Menurut lo apa penyebab kematian korban?”
“Tadi lo sudah dengar bukan, kata si dokter, dia meninggal sebab serangan jantung.”
“Lo yakin? Alasannya!?”
“Hmm, dia bilang karena si korban punya tanda-tanda itu, ada warna kebiruan di hidung, leher, dan dada korban,” Lufin menunjukan foto si mayat di kamera.
Sang Informan menggeleng dengan wajah kecewa. Kesimpulan sebab kematian diambil terlalu cepat oleh si dokter dan kedua serangan jantung itu sendiri, memiliki tanda-tanda pasca kematiannya terlalu umum dan untuk beberapa kasus sulit dikenali.
Azra mengernyit kesal, namun tak beberapa lama ia mengembang senyum. Kasus ini adalah sebuah tantangan yang sangat-sangat menyenangkan.
Melirik ke kamera, ada nyaris 50 foto di situ, ia dengan cepat melihat satu persatu hingga sampai di foto nomor sebelas. “Ini garis biru kecil apa menurut lo?”
“Seperti bekas luka, eh bukan guratan, mungkin tanda dibekap itu.”
“Iya, kelihatannya begitu,” lalu jarinya menunjuk ke foto yang lain. “Menurut lo ini apa?”
“Itu seperti bekas jari.”
Jari si laki-laki naik ke bibir, pikirnya mencoba merekontruksi apa yang sebenarnya terjadi.
“Seperti yang tadi dibilang dokter Budi,” si rekan mengulang lagi. “Hipotesanya, korban disuntikkan racun yang membuat dia terkena serang jantung.”
“Ck, asli ini ribet!”
“Sangat!”
“Lo yakin dengan yang diucapkan si Budi itu?”
“Yakin sih, kalau nggak gimana dia mempertahankan reputasinya di muka sang Komandan.”:
Si laki-laki terdiam serius sambil menggaruk dagu.
“Lagipula –seperti yang pernah gue baca, tanda-tanda kebiruan itu sesuai kok dengan ciri-ciri fisik korban yang meninggal karena serangan jantung.”
Azra menggeleng. “Ck, asli ini benar-benar ribet nggak masuk di logika orang sehat.”
Si rekan tertawa. “Ya iyalah, pembunuhan macam ini mana ada yang disebut waras.”
Ia juga ikut terkekeh. “Menurut lo gimana? Apa yang ada dipikiran si pelaku? Dia bisa saja milih alat pembunuh yang lain bukan, pisau, pistol, kabel, dan seterusnya?”
“Hmm, mungkin dia ingin melakukannya secara bersih.”
“Kalau ingin bersihkan, bisa saja dia menggunakan racun pada makanan atau minuman?”
Lufin membelalakan mata. “Hmm, iya ya, lo benar. Terus gimana menurut lo?”
Si laki-laki berjalan sambil tangan kirinya menggosok dagu, ia terdiam hampir satu menit.
Hingga ia menemukannya.
“Ah, itu dia, Pelaku ingin membuat kesan kematian korban terjadi secara alami. Tapi yang jadi pertanyaan, jika dia ingin membuat kesan alami, kenapa dia harus membuat ruang terkunci? Bisa saja, dia membiarkan pintunya terbuka, toh dia membuat korban tewas karena serangan jantung dan bukan tindak kekerasan.”
“Mungkin dia ingin menguatkan penyebab kematian?”
“Tidak, tidak, harusnya dia tidak perlu repot membuat mekanisme ini.” Azra kembali berjalan dari kiri ke kanan. “Jika gue pelakunya dan ingin menguatkan penyebab alami, gue akan mengunci ruangan dengan kunci biasa, dan nggak akan repot bermain dengan jarum dan benang. Atau mungkin nggak perlu mengunci ruangan”
“Hmm, mungkin dia ingin show off, dia ingin menunjukan kalau dia lebih pintar dari kita.”
“Iya, bisa jadi. Yang pasti siapa pun dia, dia sangat arogan.”
“Mungkin karena darah mudanya” seloroh Lufin.
Azra tertawa getir. “Pastinya.”
Si rekan menepuk-nepuk debu di kedua tangannya, seolah ingin segera mengakhirnya kunjungan di TKP. “Ngomong-ngomong benaran kita nggak ngambil kasus ini?”
“Iya, beneran,” mukanya menatap ke arah lain. “Oh iya, ruangan lainnya gimana?”
“Belum, belum gue lihat” ujar Lufin.
Sang Informan dengan bergegas berjalan keluar ruangan.
Si rekan jelas paham kebiasaan ini. Apa yang diucapkan berkebalikan dengan apa yang dilakukan. Azra terus bergerak menuruti kakinya yang berjalan sendiri, seolah menelusuri jejak dari sang pelaku sampai masuk ke ruangan sebelah.
“Apa yang elo cari?”
“TIDAK ADA, kita nggak akan menyelidiki apa-apa.”
Lufin tersenyum simpul. Seperti biasa, Azra melakukan apa yang dilarangnya sendiri.
Ia melangkah cepat lalu berhenti di antara dua kamar.
Dengan persiapan jarum dan benang, jelas si pelaku ingin keluar sesantai mungkin dari pintu depan rumah. Sialnya, ada orang lain di sana yang juga mencari korban. Azra bisa membayangkan. Si pelaku gusar, dia tidak bisa kabur dari pintu depan ataupun belakang. Si pelaku bisa saja menghabisi korban, tapi itu akan menambah permasalahan lain, ia bisa saja bersembunyi di sudut ruangan, tapi resiko untuk ditemukan juga cukup besar.
Untuk situasi seperti ini. Satu-satunya solusi adalah kabur dengan melompat dari jendela. Tapi, jelas si pelaku tidak keluar dari jendela kamar di mana korban ditemukan, ia memilih ruangan lain untuk kabur.
Azra memasuki kamar di sebelah kanannya, kamar ini lebih kecil. Tidak ada kasur ataupun karpet yang digelar di lantainya, hanya ada tiang besi memanjang di mana banyak pakaian wanita digantung di sana. Ia berjalan ke arah jendelanya dan membukanya tanpa bicara. Ia menengok ke kanan dan kiri. Lalu ia beranjak ke kamar lain yang berhadapan dengan kamar tersebut, kembali ia membuka jendela-nya tanpa bicara. Berhenti sejenak, lalu kembali ke kamar yang penuh dengan pakaian itu.
Mata itu terus memindai, berputar berlawanan arah jarum jam.
Harus bisa melihat sekali pada TKP, harus bisa melihat sekali pada TKP. Hal-hal yang bagi orang lain tidak penting, bisa menjadi kunci yang sangat penting dalam memecahkan kasus.
Dan tak lama, ia pun menemukannya. Potongan kecil kertas merah yang terselip di pinggiran jendela.
“Apa yang lo lihat?” tanya Lufin menyentak rekannya.
Azra pun melirik balik sambil berujar. “Cara pelaku untuk kabur dari rumah”
“Gimana?”
“Tentu saja dia melompat dari kamar ini” Azra pun menunjuk plafon yang berada di bawah jendela yang memayungi samping rumah. “Hipotesis gue, dia turun dari sini, berjalan di plafon lalu melompat ke bagian belakang rumah, dia naik di tembok itu dan kabur melalui rumah tetangga itu.”
“Masuk akal,” ucap Lufin.
Azra kembali melihat ke sudut jendela, ke potongan kertas merah. Ia lalu menariknya.
“Itu apa?” tanya Lufin.
“Mungkin bukan apa-apa,” ujarnya sambil tangannya dengan cepat memasukan potongan kertas itu ke dalam kantung plastik kecil. “Tapi, adakalanya sesuatu yang kecil, sesuatu yang tidak terpikirkan oleh orang lain justru adalah kunci untuk memecahkan kasus.”
. . .
Tak sampai sepuluh menit berada di lantai dua. Mereka turun ke bawah dan berhadapan kembali dengan Kombes Pol. Hendra.
“Jadi bagaimana?” tanya sang Komandan.
“Maaf Pak Hendra, seperti yang saya bilang tadi, saya tidak akan mengambil kasus ini.”
“Tapi kamu sudah melihat TKP-nya bukan,” Hendra melakukan persuasi. “Ini kasus yang sangat menarik, banyak teka-teki dan misteri, biasanya kamu sangat antusias dengan hal seperti ini, apalagi korban juga orang yang kamu kenal bukan.”
“Bukannya merendahkan,” si laki-laki berbicara dengan dingin. “Tapi dengan kemampuan dan pengalaman Anda sebagai penyelidik, Anda pasti bisa memecahkan kasus ini sendirian. Dan tentang korban, dia hanya mantan klien saya, sejujurnya, saya tidak pernah kenal siapa dia sebenarnya!”
Beberapa polisi menatap aneh wajah Azra.
Sedangkan Kombes Pol Hendra memaklumi sikap sang Informan, ia tahu, Azra pasti punya alasan penting tersendiri –apalagi ada kekasih di sampingnya yang tampak cemas sedari tadi. Si laki-laki langsung turun memohon pamit, disusul oleh Lufin, dan Sophie yang terlihat menganggukan kepala seperti orang Jepang memberi hormat.
. . .
Di seberang jalan, di antara keramaian.
Banyak orang awam yang berpikir pelaku tidak akan kembali ke TKP. Tapi mereka salah, Lelaki Bulan kembali ke TKP pembunuhannya. Dari pertigaan di depan rumah minimalis itu, di antara orang-orang yang penasaran dengan apa yang terjadi. Lelaki Bulan melihat tiga orang dengan gelagat aneh yang keluar dari pintu rumah Burhan Simamorang. Ia melihat dengan jelas raut wajah mereka, cara berjalannya, gerakan tangannya, genggamannya, potongan rambut serta pakaiannya.
Mereka jelas bukan polisi, melainkan warga sipil. Tapi, Lelaki Bulan tahu, mereka bukan orang sembarangan.
Yang pertama melangkah keluar dengan gagah seorang pria muda dengan wajah seperti mantan atlet pencak silat yang menjadi bintang film, yang satu lagi seorang perempuan cantik berparas Arab dengan mata besar seperti burung hantu, dan seorang pemuda pucat dengan gestur yang agak bungkuk.
Tentu saja, untuk kalangan intel dan penyelidik profesional, tiga nama itu sangat terkenal; Azra, Sophie, dan Lufin. Mereka adalah penyelidik yang dipanggil untuk keadaan yang tidak lazim seperti sekarang.
“Menarik, ternyata Kota ini punya pasukan khusus di balik bayangan,” ujar Lelaki Bulan dalam benaknya. “Aku harus mengunjungi salah satu dari mereka.”
Tak sampai 5 menit di sana Lelaki Bulan masuk ke mobil.
Tangan masih menggenggam keras kemudi, terasa denyut dan getaran yang belum reda. Bukan rasa takut yang menghinggapi dirinya, melainkan adrenaline yang mendidih, bersiap untuk melakukan aksi yang jauh lebih spekta dari apa yang terjadi sekarang.
. . .
Friday, September 6, 2019
Para tokoh dari novel Triad Kematian
Oleh Fitrah Tanzil
Azra Lazuardi
Dari segi fisik, Azra memiliki wajah mirip Jesse Eisenberg pemeran Lex Luthor di Batman vs Superman.
Hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak begitu mancung.
Dia memiliki tinggi 176cm dengan tubuh yang kekar berotot karena latihan fisik setiap hari.
Azra juga memiliki bekas luka panjang di lengan sebelah kanannya.
Untuk pakaian dia memilih kemeja warna biru yang kadang dibalut jaket ataupun jas.
Celana selalu jeans warna gelap dan sepatu kets. Memang terlihat umum,
namun Azra memiliki ciri khas dia hanya memiliki tiga warna, biru, hitam, dan putih.
tidak ada merah, kuning ataupun yang lain.
Secara finansial, Azra adalah pemuda yang sangat mapan.
Memiliki dua buah mobil, dua motor sport, sebuah ruko, dan sebuah rumah minimalis.
Tentang usaha di luar dunia investigasi dia punya:
Dua buah (franchise) Minimarket dan sebuah restoran Chinese Food di BSD yang dikelola bersama adiknya.
Sewaktu SMA, Azra pernah jadi atlet Pencak Silat yang mewakili DKI Jakarta.
Lalu selulus SMA dia kuliah jurusan IT, meski putus ditengah jalan
tapi Azra cukup mahir dalam bahasa peprograman Java dan SQL Server.
Itupula yang membawa menjadi seorang penjual informasi-informasi rahasia.
Azra memiliki banyak keahlian,
Namun ada satu kelemahan yang paling dia sesali yaitu dia tidak bisa bermain musik.
Kelemahan yang membuat dia suka menghantam kepalanya sendiri ke tembok
tiap kali menemukan profesional (di bidang apapun) yang bisa bermain musik. Karena dia sangat iri akan hal itu.
Ikhsanul Arifin aka. Lufin
Secara fisik Lufin memiliki kulit putih pucat, mukanya mirip Kenichi Matsuyama sewaktu masih kurus. Hahaha...
Rambut gondrong dan wajah seperti orang yang nggak tidur selama seminggu. Itupula yang membuat dia dipanggil si Muka Zombie.
Lufin memiliki tinggi 181cm dengan tubuh yang ceking, tentunya.
Untuk pakaian Lufin cuma punya satu jenis pakaian, kaos putih lengan panjang.
Dia punya 12 setel pakaian seperti itu di dalam lemarinya. Sedangkan bagian bawah celana jeans dan sepatu kets.
Secara finansial, berbeda dengan Azra, Lufin hidup dengan ekonomi yang pas-pasan.
Dia tidak memiliki pekerjaan lain selain menjadi penyelidik kriminal. Lufin pernah buka toko online yang sayangnya tidak sukses.
Meski tidak jago dalam ilmu forensik, namun Lufin punya kelebihan sebagai penyelidik yang memiliki empati dan intuisinya yang sangat kuat.
Sekarang dia tinggal di lantai 2 sebuah Auditorium di daerah Cipulir. Punya satu buah skuter matic dan laptop warna putih.
Pernah kuliah S1 jurusan Sastra Inggris dan memiliki pacar bernama Amelia yang kerja di PN Jakarta Selatan.
Satu keunggulan Lufin dibanding Azra adalah,
Lufin merupakan ex-guitaris band rock indies di kampusnya. Itu yang membuat Lufin memiliki banyak pengetahuan tentang musik dan membuat Azra sangat iri.
Sebaliknya Lufin juga iri dengan Azra, karena dia nggak bisa berantem kecuali nendang orang dari belakang. []
Virli Carmilla
Adalah gadis cantik yang tercipta dari hasil kecelakaan.
Ibunya adalah seorang pelayan di sebuah klub malam di Bali dan Ayahnya adalah seorang programmer jenius asal Silicon Valley yang sedang berlibur.
Setelah lahir, Ibunya meninggalkan Virli di depan pintu sebuah Villa mewah yang dimiliki sepasang warga Australia yang sedang tinggal di Ubud. Beruntung, sepasang suami-istri itu adalah orang baik. Mereka pun mengadopsi Virli kecil dan membesarkannya seperti anak sendiri. Hingga saat usianya 10 tahun secara kebetulan Virli menemukan fakta yang sebenarnya. Saat itu dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memilih pindah sekolah ke Jakarta.
Dari segi fisik, Virli memiliki wajah mirip Famke Jansen saat bermain di film X-Men yang pertama. Tinggi 175 cm dengan tubuh yang sangat proposional. Satu ciri khas dari penampilan Virli adalah poni lempar sampingnya yang menutupi dahi sebelah kiri.
Dimana pada dahi itu terdapat bekas luka yang menyilang.
Pakaian yang sering dia kenakan adalah blus warna putih dibalut dengan kardigan biru gelap. Layaknya pakaian sekretaris di perusahaan multinasional. Virli juga biasa mengenakan kacamata frame tipis dan membawa Ipad kemana-mana yang membuat dia terkesan cantik sekaligus nerd.
Dalam bidang investigasi, spesialisasi Virli adalah interogasi.
Dia sangat ahli dalam menguak informasi dari para tersangka. Sangat memahami ilmu kinesik dan tahu kapan serta bagaimana seseorang berbohong dari gerak tubuhnya. Selain dunia investigasi, Virli bekerja sebagai Arsitektur untuk sebuah firma Arsitek yang berkantor di Wijaya Satu. Keahlian utamanya di sini adalah desain interior.
Di luar pekerjaan Virli suka kegiatan fisik. Dia kadang menghabiskan waktu untuk berlari 10 km di atas tredmil. Dia juga rajin berlatih Kendo dan kadang dia juga ikut latihan menembak di Senayan.
Dibanding teman-teman yang lain. Virli sebenarnya memiliki otak yang paling berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dari Azra (Haduh, spoiler)
Dari segi finansial Virli sangat mapan. Dia memiliki sebuah BMW silver terbaru. Dua buah motor Ducati. Sebuah apartemen di Kemayoran dan flat mewah di daerah Permata Hijau. Dari semua kelebihannya, Virli memiliki satu kekurangan yaitu dia tidak memiliki pacar. Tentu saja dia terlalu hebat untuk punya pacar manusia biasa, hahaha...
Sophia Aulia Sahab
Kekasih dari Azra ini ada cewek keturunan Arab yang super-cantik yang memiliki wajah mirip dengan Susan Coffey. Huh, luar biasa. Hidung mancung, mata bulat besar, kulit putih, dan yang menjadi ciri khasnya rambut berwarna merah darah. Sophia memiliki tinggi 171 cm dengan tubuh yang proposional.
Untuk pakaian kerja dia bisa mengenakan kemeja putih dibalut dengan kardigan abu-abu gelap. Sedangkan untuk sehari-hari dia mengenakan kaos putih bergambar anime random yang biasa dipadu dengan jaket atau sweater warna merah. Bawahan selalu celana jeans biru dan sepatu kets. Tidak pernah ada rok untuk Sophia kecuali acara Lebaran.
Keluarga Sophia adalah pendiri dan pemilik sebuah perusahaan parfum terkenal di Jakarta. Terlahir dari keluarga yang sangat mapan, sejak kecil Sophia selalu mendapatkan apapun yang dia mau. Itulah yang membuat dia tumbuh menjadi cewek galak, arogan, dan selalu ingin menang sendiri.
Di masa SMA, Sophia pernah menjadi juara cover majalah remaja. Kemudian setelah lulus dia memilih kuliah jurusan teknik Kimia di Universitas Keio. Saat kuliah di Jepang dia pernah menjadi model iklan untuk Uniqlo. Kemudian selepas kuliah dia sempat bekerja di perusahaan keluarga sebelum akhirnya dia keluar dan bekerja sendiri di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta.
Di bidang penyelidikan, keahlian utama Sophia adalah analisa zat kimia (termasuk menganalisa darah) dan pelacak bukti mikro. Dia juga memahami berbagai jenis racun populer dan zat-zat kimia berbahaya, serta sedikit ilmu kedokteran.
Bicara tentang kepribadian, sebagai gadis yang terlahir super-cantik. Sophia adalah sosok yang paradoks. Dia apatis dan sangat malas dalam melakukan penyelidikan. Bahkan sebisa mungkin dia tidak ingin terlibat dalam penyelidikan kriminal (terutama yang dikerjakan kekasihnya) apalagi sampai jatuh dalam aksi-aksi menantang maut.
Tapi jikalaupun dia terjebak bersama penjahat, jikalaupun dia diculik ataupun dihajar orang. Berbeda dengan gadis-gadis lain, Sophia tidak akan pernah menangis. []
. . .
Azra Lazuardi
Dari segi fisik, Azra memiliki wajah mirip Jesse Eisenberg pemeran Lex Luthor di Batman vs Superman.
Hanya saja dengan mata yang lebih kecil dan hidung yang tidak begitu mancung.
Dia memiliki tinggi 176cm dengan tubuh yang kekar berotot karena latihan fisik setiap hari.
Azra juga memiliki bekas luka panjang di lengan sebelah kanannya.
Untuk pakaian dia memilih kemeja warna biru yang kadang dibalut jaket ataupun jas.
Celana selalu jeans warna gelap dan sepatu kets. Memang terlihat umum,
namun Azra memiliki ciri khas dia hanya memiliki tiga warna, biru, hitam, dan putih.
tidak ada merah, kuning ataupun yang lain.
Secara finansial, Azra adalah pemuda yang sangat mapan.
Memiliki dua buah mobil, dua motor sport, sebuah ruko, dan sebuah rumah minimalis.
Tentang usaha di luar dunia investigasi dia punya:
Dua buah (franchise) Minimarket dan sebuah restoran Chinese Food di BSD yang dikelola bersama adiknya.
Sewaktu SMA, Azra pernah jadi atlet Pencak Silat yang mewakili DKI Jakarta.
Lalu selulus SMA dia kuliah jurusan IT, meski putus ditengah jalan
tapi Azra cukup mahir dalam bahasa peprograman Java dan SQL Server.
Itupula yang membawa menjadi seorang penjual informasi-informasi rahasia.
Azra memiliki banyak keahlian,
Namun ada satu kelemahan yang paling dia sesali yaitu dia tidak bisa bermain musik.
Kelemahan yang membuat dia suka menghantam kepalanya sendiri ke tembok
tiap kali menemukan profesional (di bidang apapun) yang bisa bermain musik. Karena dia sangat iri akan hal itu.
Ikhsanul Arifin aka. Lufin
Secara fisik Lufin memiliki kulit putih pucat, mukanya mirip Kenichi Matsuyama sewaktu masih kurus. Hahaha...
Rambut gondrong dan wajah seperti orang yang nggak tidur selama seminggu. Itupula yang membuat dia dipanggil si Muka Zombie.
Lufin memiliki tinggi 181cm dengan tubuh yang ceking, tentunya.
Untuk pakaian Lufin cuma punya satu jenis pakaian, kaos putih lengan panjang.
Dia punya 12 setel pakaian seperti itu di dalam lemarinya. Sedangkan bagian bawah celana jeans dan sepatu kets.
Secara finansial, berbeda dengan Azra, Lufin hidup dengan ekonomi yang pas-pasan.
Dia tidak memiliki pekerjaan lain selain menjadi penyelidik kriminal. Lufin pernah buka toko online yang sayangnya tidak sukses.
Meski tidak jago dalam ilmu forensik, namun Lufin punya kelebihan sebagai penyelidik yang memiliki empati dan intuisinya yang sangat kuat.
Sekarang dia tinggal di lantai 2 sebuah Auditorium di daerah Cipulir. Punya satu buah skuter matic dan laptop warna putih.
Pernah kuliah S1 jurusan Sastra Inggris dan memiliki pacar bernama Amelia yang kerja di PN Jakarta Selatan.
Satu keunggulan Lufin dibanding Azra adalah,
Lufin merupakan ex-guitaris band rock indies di kampusnya. Itu yang membuat Lufin memiliki banyak pengetahuan tentang musik dan membuat Azra sangat iri.
Sebaliknya Lufin juga iri dengan Azra, karena dia nggak bisa berantem kecuali nendang orang dari belakang. []
Virli Carmilla
Adalah gadis cantik yang tercipta dari hasil kecelakaan.
Ibunya adalah seorang pelayan di sebuah klub malam di Bali dan Ayahnya adalah seorang programmer jenius asal Silicon Valley yang sedang berlibur.
Setelah lahir, Ibunya meninggalkan Virli di depan pintu sebuah Villa mewah yang dimiliki sepasang warga Australia yang sedang tinggal di Ubud. Beruntung, sepasang suami-istri itu adalah orang baik. Mereka pun mengadopsi Virli kecil dan membesarkannya seperti anak sendiri. Hingga saat usianya 10 tahun secara kebetulan Virli menemukan fakta yang sebenarnya. Saat itu dia memutuskan untuk keluar dari rumah dan memilih pindah sekolah ke Jakarta.
Dari segi fisik, Virli memiliki wajah mirip Famke Jansen saat bermain di film X-Men yang pertama. Tinggi 175 cm dengan tubuh yang sangat proposional. Satu ciri khas dari penampilan Virli adalah poni lempar sampingnya yang menutupi dahi sebelah kiri.
Dimana pada dahi itu terdapat bekas luka yang menyilang.
Pakaian yang sering dia kenakan adalah blus warna putih dibalut dengan kardigan biru gelap. Layaknya pakaian sekretaris di perusahaan multinasional. Virli juga biasa mengenakan kacamata frame tipis dan membawa Ipad kemana-mana yang membuat dia terkesan cantik sekaligus nerd.
Dalam bidang investigasi, spesialisasi Virli adalah interogasi.
Dia sangat ahli dalam menguak informasi dari para tersangka. Sangat memahami ilmu kinesik dan tahu kapan serta bagaimana seseorang berbohong dari gerak tubuhnya. Selain dunia investigasi, Virli bekerja sebagai Arsitektur untuk sebuah firma Arsitek yang berkantor di Wijaya Satu. Keahlian utamanya di sini adalah desain interior.
Di luar pekerjaan Virli suka kegiatan fisik. Dia kadang menghabiskan waktu untuk berlari 10 km di atas tredmil. Dia juga rajin berlatih Kendo dan kadang dia juga ikut latihan menembak di Senayan.
Dibanding teman-teman yang lain. Virli sebenarnya memiliki otak yang paling berbahaya. Bahkan lebih berbahaya dari Azra (Haduh, spoiler)
Dari segi finansial Virli sangat mapan. Dia memiliki sebuah BMW silver terbaru. Dua buah motor Ducati. Sebuah apartemen di Kemayoran dan flat mewah di daerah Permata Hijau. Dari semua kelebihannya, Virli memiliki satu kekurangan yaitu dia tidak memiliki pacar. Tentu saja dia terlalu hebat untuk punya pacar manusia biasa, hahaha...
Sophia Aulia Sahab
Kekasih dari Azra ini ada cewek keturunan Arab yang super-cantik yang memiliki wajah mirip dengan Susan Coffey. Huh, luar biasa. Hidung mancung, mata bulat besar, kulit putih, dan yang menjadi ciri khasnya rambut berwarna merah darah. Sophia memiliki tinggi 171 cm dengan tubuh yang proposional.
Untuk pakaian kerja dia bisa mengenakan kemeja putih dibalut dengan kardigan abu-abu gelap. Sedangkan untuk sehari-hari dia mengenakan kaos putih bergambar anime random yang biasa dipadu dengan jaket atau sweater warna merah. Bawahan selalu celana jeans biru dan sepatu kets. Tidak pernah ada rok untuk Sophia kecuali acara Lebaran.
Keluarga Sophia adalah pendiri dan pemilik sebuah perusahaan parfum terkenal di Jakarta. Terlahir dari keluarga yang sangat mapan, sejak kecil Sophia selalu mendapatkan apapun yang dia mau. Itulah yang membuat dia tumbuh menjadi cewek galak, arogan, dan selalu ingin menang sendiri.
Di masa SMA, Sophia pernah menjadi juara cover majalah remaja. Kemudian setelah lulus dia memilih kuliah jurusan teknik Kimia di Universitas Keio. Saat kuliah di Jepang dia pernah menjadi model iklan untuk Uniqlo. Kemudian selepas kuliah dia sempat bekerja di perusahaan keluarga sebelum akhirnya dia keluar dan bekerja sendiri di sebuah perusahaan telekomunikasi swasta.
Di bidang penyelidikan, keahlian utama Sophia adalah analisa zat kimia (termasuk menganalisa darah) dan pelacak bukti mikro. Dia juga memahami berbagai jenis racun populer dan zat-zat kimia berbahaya, serta sedikit ilmu kedokteran.
Bicara tentang kepribadian, sebagai gadis yang terlahir super-cantik. Sophia adalah sosok yang paradoks. Dia apatis dan sangat malas dalam melakukan penyelidikan. Bahkan sebisa mungkin dia tidak ingin terlibat dalam penyelidikan kriminal (terutama yang dikerjakan kekasihnya) apalagi sampai jatuh dalam aksi-aksi menantang maut.
Tapi jikalaupun dia terjebak bersama penjahat, jikalaupun dia diculik ataupun dihajar orang. Berbeda dengan gadis-gadis lain, Sophia tidak akan pernah menangis. []
. . .
Monday, July 8, 2019
My Interview with Founder Detectives ID M. Fadli
Sebenarnya, sudah lama ingin menginterview beliau untuk blog ini. Tapi baru dapat idenya kemarin pas Bang Fadli ini membicarakan bukunya yang akan terbit "Berdansa Dengan Naga" di FB.
Oke, langsung aja. Selamat membaca.
FT: Halo bang Fadli, apa kabar?
MF: Baik, Alhamdulillah sehat. Mudah-Mudahan semuanya juga sehat.
FT: Pertanyaan awal, Bang Fadli besar n tinggal di mana?
MF: Lahir di Jakarta. Pas umur 4-5 tahun pindah ke Balikpapan sampai kelas 5 SD. Kelas 6 balik ke Jakarta. Pas satu SMP pindah ke Jombang untuk pesantren. SMA balik lagi ke Jakarta. Sebagian besar tinggal di Cipinang, Jakarta Timur.
FT: Kedua sejak kapan Anda suka dengan dunia fiksi kriminal?
MF: Dari kecil. Dari almarhum bokap. Kebetulan kakek polisi, jadinya bokap juga suka nonton serial detektif. Mulai dari Sledge Hammer, Hunter, sampai Remington Steele. Yang terakhir itu mungkin cerita detektif pertama yang saya tonton di umur 8 tahun.
FT: Kapan pertama kali Anda kenal dengan Sherlock Holmes? Dan seperti apa kesannya?
MF: Kenalnya dari film kartun Doraemon yang jadul tahun 92. Terus muncul lagi di kartun Teko Ajaib. Terus juga tahu dari Trio Detektif (Crime Buster) dan Conan. Pertama kali baca ceritanya itu agak nyesek. Karena saya baca Memoars of Sherlock Holmes duluan. Di cerita itu ada cerita dia salah analisa dan mati di bagian terakhirnya. Saya mulai terpikat dengan Sherlock Holmes ketika baru baca Study In Scarlet. Dia menunjukkan persona yang memiliki dua pembelajaran sederhana tentang kehidupan. Yang pertama belajar untuk mengamati tentang lingkungan sekitar beserta orang. Pembelajaran kedua adalah tentang fokus dengan apa yang dikerjakan. Orang yang fokus pada pekerjaannya maka dia akan menguasai pekerjaan itu dan menjadi ahli.
FT: Kapan pertama kali kenal dengan karya-karya Agatha Christie?
MF: saya kenal novel Agatha Christie duluan sebelum nemu novel Study In Scarlet. Setelah sering baca Trio Detektif, akhirnya saya mutusin dengan buku yang saat itu mendominasi Gramedia. Yang saya baca duluan kumpulan cerpen yang Early Case of Hercule Poirot dan dilanjutkan dengan Evil In The Sun (Pembunuhan di Teluk Pixy). Saya dulu lebih terkesan dengan Hercule Poirot karena pendekatannya lebih ke psikologi. Kebetulan saat itu memang suka baca buku non fiksi psikologi. Jadi saya suka dengan Sherlock Holmes karena otaknya, sementara saya suka Hercule Poirot karena hatinya.
FT: Masuk pertanyaan semi-utama. Kok bisa sih terbesit ide untuk mendirikan Detectives ID?
MF: Nggak kepikiran. Dulu cuma pengen sharing pengetahuan tentang cerita fiksi detektif yang saya tahu sekaligus juga menambah pengetahuan dari orang lain. Dulu saya sering celoteh tentang detektif di Twitter. Tapi masih akun pribadi. Nah, kepantau sama orang kantor dan boss, akhirnya saya buat akun Detectives ID di twitter. Awalnya nggak niat buat komunitas. Tapi ketemu sama grup Sherlock Holmes Fans Indonesia dan janjian ngumpul. Terus cerita tentang akun itu, eh mereka nyaranin buat grup WA sama almarhum Agung, Dhany, ama Echa. Jadilah grup Detectives ID saat itu tahun 2014.
FT: Banyak sesungguhnya group penulis dan penggemar fiksi detektif yang bermunculan. Tapi cuma sebentar aja, kebanyakan sepi dan menghilang. Apa sih yang bikin Detectives ID itu kuat bertahan n konsisten dengan update-updatenya?
MF: Detectives ID belom besar dan konsisten. Saya juga nggak tahu cara membesarkannya seperti apa. Karena awal juga nggak punya cita-cita buat gedein ini komunitas. Semenjak Agung Septian (salah satu pendirinya meninggal) saya juga nggak terlalu mikirin bagaimana membesarkan komunitas begini. Saya pernah gabung komunitas Parkour Indonesia dan jadi pengurus besarnya. Tahu susahnya ngurus komunitas begitu. Nah, di Detectives ID saya buat santai aja. Nggak punya target harus ngapain. Saya nganggep Detectives ID ini seperti redaksi atau rumah singgah untuk belajar. Ada yang mau belajar bisa, ada yang mau main silahkan, ada yang mau jadi pengurus atau pemiliknya silahkan. Cuma yang saya tahu pasti, saya orangnya melihat peluang. Meski gak punya target atau rencana, saya selalu ngambil peluang dan kesempatan yang terbuka. Ada yang nawarin kerjasama ya diambil. Tambahan satu lagi yang penting, saat saya perkenalkan tentang Detectives ID ini ke orang lain, saya menganggap apa yang saya perkenalkan ini penting. Itulah kenapa saya perdalam pengetahuan tentang fiksi detektif, jadi bila nanti ketemu Najwa Shihab atau tampil di Kick Andy tidak grogi tentang dunia fiksi detektif. Selain itu, saya membuka diri dengan orang lain atau komunitas lain. Semakin banyak kenal dan banyak teman, tentu apa yang saya bawa juga akan dikenal mereka juga. Kenalan dengan komunitas lain, baik sesama komunitas penggemar detektif maupun di luar itu. Saya jadi banyak belajar dari komunitas lain yang saya kenal dan saling support. Dari saling kenal itu, maka kita banyak channel kemana-mana. Coba seandainya bersifat eksklusif atau menutup diri, atau melihat komunitas lain kompetitor merasa komunitas ini lebih bagus daripada yang lainnya, mungkin Detectives ID sudah selesai dari pertama dibentuk. Kalo masalah update itu kembali lagi ke pribadi, seberapa sukanya kamu sama apa yang kamu cinta. Maaf kepanjangan.
FT: Bicara tentang karya, satu tokoh fiksi detektif yang terkenal dari seorang M. Fadli adalah Gardi Prima. Bisa diceritakan siapa itu Gardi Prima dan bagaimana proses kreatifnya?
MF: itu tokoh belum terkenal. Hehe. Karena baru berapa orang yang baca. Tapi ini tokoh yang proses kreatifnya panjang. Saya ingin membuat tokoh berlatar belakang kriminologi karena dari dulu tertarik dengan istilah kriminolog. Terus saya bertemu dengan dua kriminolog, Jubing Kristianto dan Maman Suherman yang jadi notulen ILK. Nah, Gardi Prima latar belakangnya sama seperti mereka. Sedangkan fisiknya itu terinspirasi dari drummer saya di band. Mukanya Baby Face, awet muda. Sudah umur 30 tapi tampangnya masih kayak bocah SMA. Ya seperti itulah fisiknya Gardi Prima. Sedangkan personilitasnya itu dia punya karakter plegmatis. Orang yang tidak mudah termotivasi, bahkan agak pemalas. Dia lulusan kriminologi yang bingung mau kerja di mana. Mau jadi penegak hukum, contohnya polisi dia nggak mau karena polisi waktu kerjanya nggak menentu dan dia merasa kurang disiplin. Jadinya dia malah wiraswasta. Nah, yang paling lama itu nemuin nama. Karena saya mungkin lima kali ganti namanya. Saya pilih nama depan yang jarang didengar orang. Sedangkan nama belakang tentu ngambil dari aktor Barry Prima.
FT: Selain Gardi ada juga ntuh, Detektif Tirto dari Kumcer Detectives ID yang pertama. Bisa ceritakan tentang dia?
MF: Oh itu bukan tokoh saya. Itu tokohnya Gifanda Delasty. Saya cuma yang bantu kasih nama depannya Tirtohadi
FT Selain kumcer Detectives ID, karya M. Fadli lainnya adalah Para Pecandu Detektif. Apa itu PPD? dan ceritakan tentang sejarahnya?
MF: itu kumpulan cerita detektif yang pernah saya tulis dari 2015 sampai 2018. Ada lima cerita, lima tokoh, lima subgenre, lima setting waktu dan kota yang berbeda-bed. Intinya itu kelima merupakan kenangan hidup saya. Ada kota-kota yang berhubungan dengan hidup saya. Ternate, Balikpapan. Jombang, Jakarta. Terus nama tokohnya juga. Ada yg ngambil nama marga keluarga, ada yang dari nama anak dan bokap, dan banyak lagi.
FT: Dan setelah PPD muncullah Nostalgia Merah. Ini cukup sensional n banyak dibicarakan orang ini. Bisa anda jelaskan apa itu Nostalgia Merah?
MF: Novelnya belum sampai tahap sensasional dan banyak diperbincangkan, karena cuma sedikit cetaknya. Ya, itu novel perdana saya yang ditulis cukup lama, dari 2015. Awalnya malah cerpen. Sampai akhirnya 2018 saya selesaikan. Itu novel detektif dengan genre inverted, yang pelakunya udah diketahui pembaca dari awal cerita. Cerita tentang reuni SMA di sebuah kapal Pelni. Ada yang tewas dan ada yang nyelidikin pembunuhnya. Tokohnya tentu saja Garda Prima. Saya mau nyoba genre Inverted detective story karena belom banyak digunakan.
FT: Selain Nostalgia Merah, satu judul lagi yang saya ingat itu Berdansa Dengan Naga. Nah itu tentang apa?
MF: Itu Novel yang saya selesain berkat program Thriller Mystery Club bareng grup penulis Crime Fiction Author DID. Anda juga ikutan. Berdansa Dengan Naga itu novel bergenre hardboiled atau noir dengan setting Balikpapan tahun 1988. Tokohnya Toni Yahya, mantan polisi yang diam-diam nyari duit dengan menerima permintaan penyelidik. Ia lebih suka disebut Detektif Bayaran ketimbang Detektif Swasta.
FT: Oh iya, yang segera terbit Berdansa Dengan Naga bukan?
MF: yup. Doakan saja.
FT Di Storial juga ada projek yang sedang anda buat, Kepala Suanggi? Itu tentang apa? Judulnya rada horor sih, hahaha.
MF: Kepala Suanggi itu proyek novel ke depan saya. Temanya historical fiction yang ngambil setting Ternate tahun 1924. Berkisar tentang bajak laut Tobelo, kesultanan, dan kepolisian Hindia Belanda di Ternate.
FT: Oke, kelihatannya cukup panjang bicara tentang projek-projek. Sekarang masuk ke sesi yang lebih santai yaitu fans question. Pertanyaan-pertanyaan untuk penulis di luar dunia kepenulisan.
MF: pertanyaan apa itu?
FT: Di antara banyak tokoh detektif yang Bang Fadli buat, mana yang jadi favorit Anda?
MF: Wah, susah. Ada enam detektif yang pernah saya buat. Sejujurnya belum ada yang saya favoritkan. Tapi yang saya suka karena proses kreatifnya panjang adalah Gardi Prima dan Toni Yahya.
FT: Oh iya, waktu itu kalau ndak salah, Bang Fadli punya band ya? Apa dan gimana tentang bandna?
MF: Band bentukan jaman sekolah 1999. Namanya Quest For Justice. Band hardcore punk yang inspirasinya band New York, Youth Of Today. Isinya tetangga dan teman pengajian saat masih tinggal di Cipinang. Sudah punya dua album, Faster Than a Speeding Bullet sama Choose Not Ti Fall. Album keduanya dirilis sama label Jepang.
FT: Seandainya di masa depan Bang Fad dapat projek film detektif, dengan siapa anda ingin bekerja sama? Aktor atau sutradaranya?
MF: Belum kepikiran. Agak susah juga nyari yang bkl meranin tokoh Gardi Prima. Kalo Toni Yahya banyak kyknya aktor yang pas. Kalo sutradara juga belum tahu.
FT: Fans question akhir, siapa musisi yang paling berkesan yang pernah Bang Fad wawancara?
MF: Belum ada yang berkesan. Semuanya sih baik-baik. Tapi belum begitu berkesan.
FT: Apa ada buku yang akan segera diterbitkan dalam waktu dekat?
MF: Ya. Itu Berdansa Dengan Naga. Mudah-Mudahan sequelnya Nostalgia Merah juga bisa rampung tahun ini.
FT: Terakhir ada saran atau masukan teman-teman muda yang ingin nulis fiksi detektif?
MF: Tulis aja. Jangan kebanyakan mikir sama kebanyakan rencana. Mulai nulis, terus selesaiin tulisannya, terus terbitkan. Sama rajin menabung
FT: Oke, selesai. Thank you Bang Fadli untuk wawancaranya.
MF: Terima kasih Fitrah. Mudah-mudahan novelnya segera terbit juga.
. . .
Saturday, April 13, 2019
Kasus Tabung Gas Yang Hilang (part II)
Oleh Fitrah Tanzil
Dari ujung satu ke ujung yang lain. Beberapa siswa tampak berkerumun di depan pintu masuk ruang serba guna.
“Permisi,” ucap Nindi yang menerobos masuk.
Dan di sana di atas meja, tampak Heru yang pingsan dikelilingi beberapa orang. Lalu ada satu laki-laki ini, dia bertubuh besar dengan celena training dan baju olahraga. Dia menepuk-nepuk pipi si Heru.
“Itu Pak Polan, guru olahraga,” bisik Nindi.
“Oke,” aku mengangguk paham. “Permisi Pak, apa yang terjadi sama Heru?” tanyaku.
Dia menoleh dan memindaiku dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”
“Saya Kiddo, Pak, Detektif!”
“Oamong kosong!” bentaknya dengan mata melotot. “Masak, detektif nggak punya kumis.”
Untuk beberapa detik aku bengong, sebelum menjawab. “Saya Kiddo, Pak, detektif swasta.”
Kali ini wajahnya nampak jijik. “Detektif swasta opo, di Indonesia detektif swasta belum legal loh!”
Eh buset, dia benar. “Tapi Pak, saya sudah disewa ke sini untuk menyelidiki kasus…”
“Kasus apa?”
“Kasus hilangnya 4 tabung gas helium.”
“Oh, masalah itu. Bukannya sudah beres ya?”
“Belum Pak Polan, kami belum menemukannya,” ucap Nindi.
“Ah, paling itu cuma mereka aja,” yang dimaksud penyedia balon gas. “Yang bilang bahwa tabung gasnya hilang.”
“Benar loh, Pak, saya lihat tampang mereka, mereka tampak jujur.”
“Ah, apa yang kamu tahu soal bohong dan jujur. Kamu masih bocah, janggut aja belum punya,” ucapnya.
Aduh, gila kampret tuyul nyet nguk-nguk. Aku memang masih muda, amatiran, bodoh, dan belum punya pengalaman.Tapi aku meyakini, apa yang aku lakukan adalah benar.
“Lagi pula, siapa yang manggil kamu ke sini?” tambahnya.
“Mereka disewa sama Ringgo, Pak,” ucap Nindi.
Dia menaikkan alis. “Ringgo siapa?”
“Ringgo ituloh Pak, angkatan 2002 yang anak basket,” terang Nindi.
“Oh dia, bocah itu memang kebanyakan duit, hingga buang-buang untuk hal gak berguna kayak begini.”
Ucapannya membuatku sangat-sangat gregetan. Tapi, aku harus sabar dan tenang.
“Memangnya Heru kenapa Pak?” tanya Nindi.
Yang menjawab malah seorang siswa. “Heru pingsan di toilet, kelihatannya ada yang bius dia.”
“Ini dari baunya nyengat banget, kayak khrolofom,” ucap si guru olahraga.
“Saya rasa, ada sesuatu yang Heru tahu, yang membuatnya jadi seperti ini,” ucapku layak detektif.
“Apa maksud kamu?”
“Saya rasa, Heru punya informasi penting tentang hilangnya tabung helium semalam.”
“Nggak mungkin,” balasnya. “Kamu kira ini novel detektif?”
“Iya, di dunia nyata banyak hal yang lebih aneh dari cerita detektif, Pak, misalnya seperti guru bahasa Inggris yang sudah pulang terus balik lagi ke sekolah untuk mencari barangnya yang tertinggal di ruang guru.”
“Rasanya nggak ada guru yang seperti itu.”
“Semalam ada Pak, yaitu Pak Andi, dia kembali lagi ke sini pukul 8 atau 9an.”
“Kata siapa?”
“Saksinya ada, Pak Prapto penjaga sekolah,” tambahku.
Dia tampak terkejut. “Nggak mungkin, masak dia balik lagi ke sekolah jam segituh?”
“Iya, untuk mengetahuinya, baiknya Pak Polan telepon aja beliau?”
Dia diam sejenak berpikir, lalu kemudian melangkah mundur dan mengambil handphone-nya. “Halo Di, semalam kamu ke sekolahan?” lalu ada jeda lama di sana, mungkin penjelasan dari si guru bahasa Inggris. Lelaki tua galak itu pun sesekali melirik ke arahku dengan wajah yang makin lama berubah cemas. “Makasih Di,” dan telepon itu pun ditutup.
Si lelaki tua galak mendekatiku. “Pak Andi bilang, semalam dia ada acara sama istri dan mereka tidak mampir ke sekolahan.”
“Lalu siapa yang datang ke sekolahan?” tanya Nindi.
Pandangan mata si guru olahraga langsung terlempar ke si satpam. “Semalam yang ke sini Pak Andi, bukan?”
“Rasanya sih, kayak Pak Andi, Pak Polan,” ucap si satpam yang terpojok.
“Yakin Pak Andi?” matanya memelotot.
“Iya, yakin sih Pak. Dia tinggi, ganteng, pakai kemeja safari, lalu dibalut jaket hitam. Iya, rasanya sih dia, Pak!”
“Terus dia ngapain?”
“Dia minta kunci untuk ke ruang guru.”
“Terus, kamu kasih?”
“Iya, saya kasih,” jawabnya dengan nada ketakutan.
“Goblok,” bentak Pak Polan, lalu tangannya menyeret si satpam muda. “Ok, ambil kunci dan kita periksa ruang guru, ada yang hilang nggak!”
Mereka pun langsung melangkah keluar ruangan, meninggalkan Heru yang masih pingsan.
Aku pun berbisik ke Arif. “Buset, itu guru galak banget.”
“Memang begitu dia,” sahut Nindi disusul tawa.
. . .
Kami berjalan cepat di lorong dan di depan terlihat si satpam sudah membuka pintu ruang guru. Pak Polan yang galak pun langsung masuk. Dia memeriksa satu persatu meja yang ada di sana dan berkeliling melihat apakah ada barang yang hilang.
“Arif, Nindi,” panggilku. “Bisa ikut saya bentar nggak?”
“Ke mana?” tanya si cewek SMA.
Aku hanya menunjuk ke depan lorong.
“Ngomong-ngomong di sekolah ada lemari arsip nggak? Lemari arsip yang gede maksud saya?”
Dia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ada sih, di ruang tata usaha, iya ruangan itu sekalian ruang arsip siswa.”
Aku mengembang senyum. Dan tepat saja begitu kami sampai di sana, tempat itu persis seperti yang ada di benakku.
“Memangnya ada apa?” kembali tanya Nindi.
Aku menyeringai. “Baiknya sih, kamu panggil Pak Satpam dan Pak Polan ke sini.”
“Ada apa?” Arif pun ikut bertanya.
Aku menunjuk dari jendela apa yang terjadi di dalam ruang tata usaha. “Itu lo lihat aja.”
Arif melongok ke kaca jendela, namun dia masih tampak tidak mengerti. Si satpam Prapto pun menghampir kami.
Aku berujar. “Mas, bisa tolong buka pintu ini nggak!”
“Memangnya ada apa di sini?” dia juga ikut melongok ke kaca. “Ada yang hilang juga?”
“Iya, kita periksa dulu.”
Dia langsung mencari kunci ruangan dan membukanya.
“Ah, benar dugaan saya,” ucapku begitu kami melangkah masuk.
“Apa yang benar?” Arif menengok ke kanan dan kiri, namun dia tidak melihat apa yang tepat di bawah hidungnya.
Begitu Nindi, Satpam Prapto, dan beberapa siswa lain yang juga ikut masuk.
“Ada yang hilang juga di sini?” suara si guru olahraga menyusul di belakang.
“Dia ada di sini Pak Guru,” ucapku semringah.
“Dia siapa?”
“Si pencuri tabung gas helium itu, semalam dia ke sini.”
“Ah, itu lagi yang kalian bicarakan,” ucapnya masih dengan wajah kesal. “Omong kosong!”
“Saya nggak asal-asalan ngomong, saya bicara dengan fakta yang ada di sini,” tanganku menunjuk ke sekeliling meja. “Anda lihat sendiri bukan, begitu banyak arsip di sini,” aku membuka salah satunya, “Arsip data-data siswa dari tahun-tahun yang lalu. Semua ada di meja, bangku, bahkan sampai menumpuk di lantai. Harusnya ruang tata usaha dan administrasi sekolah tidak seperti ini,” aku mengangkat dagu. “Ini sudah begitu berlebihan.”
Dia terperangah, menyadarinya. “Jangan-jangan…”
“Iya, tabung helium itu ada di sini,” aku membalik badan dan mengetuk pintu besar lemari arsip. “Ngomong-ngomong, ini kuncinya di mana ya?”
Si satpam menggeleng, tanda tidak tahu.
“Oke, saya juga penasaran dengan peristiwa ini,” ucap si guru olahraga. Dia pun langsung mengambil handphone dan menelpon seseorang. “Bu Yuni, ini saya Pak Polan… Saya ada di ruang tata usaha… Iya, semalam ada masalah di sekolah… Kami sedang memeriksanya…” dia bicara beberapa menit. Sebelum kembali melemparkan pandangan ke arahku. “Iya, terima kasih.”
Dia berjalan ke meja nomor dua dari pintu, membuka lacinya, dan mengambil kunci yang tersembunyi di bawah tumpukkan kertas di sana. “Ini dia, coba dibuka,” ucapnya ke satpam.
Si satpam pun mengambil kunci itu.
“Jika tabung itu tidak ada,” ucapnya kali ini ke wajahku. “Saya akan laporkan kamu ke polisi, karena sudah bikin rusuh dan mengganggu ketertiban di sekolahan.”
Aku hanya menyeringai. Tapi sungguh, jantungku dagdigdug.
Satpam Prapto membuka sedikit pintu lemari, dia kemudian melempar pandangan pada kami. Lalu membukanya lebih lebar lagi. Dan ternyata tabung itu benar ada di sana.
“Huh, benarkan teori saya!” balasku di mukanya.
“Nggak mungkin,” ucapnya membelalak. “Bagaimana bisa tabung itu berada di sana?”
Sekilas aku melihat sesuatu yang digantung di atas tabung itu. “Aaa, itu dia, yang saya tunggu dari tadi, penjelasannya!”
“Gimana bisa di situh?” Nindi juga bertanya-tanya.
Kebetulan si Toto tukang balon gas pun muncul di sana.
“Begini situasinya,” ucapku keras. “Dari laporan yang kami dapat, ada 4 tabung gas helium ukuran 22 liter yang hilang, satunya cukup berat -sekitar 20 kilogram. Jadi, 4 tabung mungkin sekitar 80 kilogram. Dari wawancara dengan Mas Toto -penyedia balon gas-dia bilang ada yang aneh, yaitu kenapa setelah si pelaku memindahkan tabung, tapi trolinya masih ada pada tempatnya. Jawaban, untuk hal ini sebab si pelaku menggunakan troli sendiri, tepatnya troli yang berada di gudang belakang sekolah. Ok, satu misteri terjawab,” tegasku.
Mereka menatapku serius.
“Kedua,” lanjutku. “Apakah tabung itu dibawa keluar dari sekolah atau tidak? Dari penyelidikan yang kami lakukan, jawabannya adalah tidak. Pertama, pintu gerbang timur ditutup bada magrib dan para siswa banyak yang begadang di sana hingga larut pagi. Sedangkan gerbang selatan, dijaga oleh Mas Prapto. Dia meyakinkan jika ada mobil yang keluar dari gerbangnya membawa 4 tabung besar itu, pastilah dia lihat, namun nyatanya tidak ada. Kesimpulannya si pelaku tidak keluar dari gerbang timur ataupun selatan. Lalu apa mungkin dia lewat belakang sekolah? Nah ini, kami juga memeriksanya, jawabannya adalah bisa jadi. Tapi dengan permasalahan, pagarnya lumayan tinggi hampir 2,5 meter. Seseorang mungkin bisa memanjat di sana dan membawa tabung itu. Tapi itu cukup sulit dan merepotkan. Kami lalu bertanya-tanya, kenapa mereka mesti mencuri tabung gas helium dan repot-repot keluar memanjat tembok sekolah? Kenapa nggak nyolong yang lain gituh yang mudah? Semisal laptop atau komputer kantor, atau kalau perlu maling motor. Lalu kami sampai ke kesimpulan, mungkin benar bahwa tabung itu sesungguhnya tidak dibawa keluar sekolah. Dia masih ada di tempat ini dan disembunyikan.”
Aku melihat wajah Pak Polan, dia bergeming dengan wajah serius.
“Ini sungguh pelik,” lanjutku. “Dari keterangan Nindi, kalian sudah memeriksa semua tempat di sekolah ini dan tidak menemukan tabung-tabung itu. Kamu meyakinkan kami bahwa kamu sudah memeriksa tiap tempat, tiap ruangan, dan seterusnya. Tapi saya yakin ada tempat yang belum kalian periksa. Tempat yang tidak terpikirkan bahwa tabung-tabung itu ada di sana, yaitu ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha.”
Kali ini mereka membelalak.
“Awalnya, saya berpikir ruang kepala sekolah. Sebab, itu bakal sangat-sangat seru dan mengejutkan. Lalu saya bertanya ke Nindi, ada nggak lemari arsip di ruang kepala sekolah? Dan jawabannya tidak ada. Saya juga melongok ke sana, perabotannya sedikit dan sudut ruangnya bisa dilihat dari jendela. Jadi saya pikir, tabung itu tidak berada di sana. Lalu saat melihat ruang sebelahnya, buset ini ruang TU kok berantak banget, Arsip-arsip ditumpuk di atas meja dan bangku, ada apa ini? Saya bertanya-tanya dan melihat lemari besar itu. Mereka mengosongkannya. Inilah yang saya cari, tempat yang tidak terpikirkan oleh para siswa yang bisa dimasuki orang asing. Tempat, si culprit menyembunyikannya barang curiannya,” ketukku ke pintu lemari arsip.
“Wow, keren-keren!” Nindi takjub sampai mengangkat kedua tangan.
Arif pun memberiku jempol, begitu pula para siswa yang lain yang menonton di depan TU, mereka tampak semringah. Beberapa ada yang berbisik. “Wah, dia beneran detektif!”
Tapi tidak untuk Pak Polan, dia masih cemberut. “Ckck, orang goblok macam apa yang ngelakuin hal ini?”
“Satu hal yang anda salah Pak Polan, dia bukan orang yang bodoh,” ucapku sambil jari menunjuk ke atas. “Cara dia masuk ke ruangan ini juga sangat pintar. Dari percakapan anda tadi di telepon, kita tahu bahwa Pak Andi -guru bahasa Inggris- semalam tidak pergi ke sini. Yang berarti ada orang yang menyamar menjadi dirinya dengan begitu mirip dan meminjam kunci ruang guru, tepatnya kunci seluruh lantai satu, sebab kunci-kunci itu digabung semua dalam satu ring. Dia membuka pintu ruangan ini, lalu mengangkut tabung ukuran 22 L dengan troli sekolah, mengeluarkan semua arsip dari lemari, dan kemudian memasukan tabung-tabung itu ke dalam sini.”
“Iya, tapi untuk apa?” tanya keras.
Kini giliran aku yang mendekatinya. “Si culprit ini ingin menyampaikan sebuah pesan, Pak Polan. Sebuah pesan!”
Dia mengerutkan dahi. “Pesan apa?”
Jariku menunjuk ke dalam lemari. “Sesuatu yang saya rasa, berhubungan dengan sekolah ini.”
“Itu seperti sebuah walkman,” tunjuk Arif ke dalam lemari.
“Itu pasti pesan dari si pelaku,” ucapku.
Aku mengeluarkan tape rekaman itu dan menaruhnya di meja.
“Coba kamu putar,” perintah si guru olahraga.
Dan suara itu pun muncul.
Selamat, kalian telah menemukannya. Sungguh, saya berharap tabung ini ditemukan hari senin, tapi dengan terpaksa saya mencoba mengikhlaskannya.
Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa saya melakukan hal ini? Simpel, karena kalian sudah melakukan sebelumnya dengan sangat buruk. Kalian ingat, tiga tahun yang lalu, seorang siswa kelas sepuluh bernama Andra, dia adalah teman saya. Saya tahu itu memang sebuah kecelakaan. Tapi kalian mencoba mengulanginya lagi, terutama atas inisiatif ketua panitia, si Heru itu. Membuat promo sekolah dengan balon gas raksasa, kalian terlalu egois, angkuh, dan sok kaya. Ini adalah peringatan untuk kalian semua, jika mengulangi keangkuhan itu lagi, saya bisa melakukan yang lebih berbahaya dari ini.
Dan untuk Kiddo, pertunjukkan yang hebat. Tadinya saya pikir, kalian akan menemukan tabung ini pada malam atau mungkin sore harinya. Tapi, ini masih jam makan siang dan kalian sudah menemukannya. Sungguh, di luar ekspektasi saya. Semoga kita bisa bertemu lagi. Salam, Musang Malam.
“Musang Malam,” Arif menatapku. “Siapa itu?”
Aku menggosok dagu. “Gue juga baru pertama dengar ini, namanya.”
. . .
Dari ujung satu ke ujung yang lain. Beberapa siswa tampak berkerumun di depan pintu masuk ruang serba guna.
“Permisi,” ucap Nindi yang menerobos masuk.
Dan di sana di atas meja, tampak Heru yang pingsan dikelilingi beberapa orang. Lalu ada satu laki-laki ini, dia bertubuh besar dengan celena training dan baju olahraga. Dia menepuk-nepuk pipi si Heru.
“Itu Pak Polan, guru olahraga,” bisik Nindi.
“Oke,” aku mengangguk paham. “Permisi Pak, apa yang terjadi sama Heru?” tanyaku.
Dia menoleh dan memindaiku dari ujung kepala sampai kaki. “Kamu siapa?”
“Saya Kiddo, Pak, Detektif!”
“Oamong kosong!” bentaknya dengan mata melotot. “Masak, detektif nggak punya kumis.”
Untuk beberapa detik aku bengong, sebelum menjawab. “Saya Kiddo, Pak, detektif swasta.”
Kali ini wajahnya nampak jijik. “Detektif swasta opo, di Indonesia detektif swasta belum legal loh!”
Eh buset, dia benar. “Tapi Pak, saya sudah disewa ke sini untuk menyelidiki kasus…”
“Kasus apa?”
“Kasus hilangnya 4 tabung gas helium.”
“Oh, masalah itu. Bukannya sudah beres ya?”
“Belum Pak Polan, kami belum menemukannya,” ucap Nindi.
“Ah, paling itu cuma mereka aja,” yang dimaksud penyedia balon gas. “Yang bilang bahwa tabung gasnya hilang.”
“Benar loh, Pak, saya lihat tampang mereka, mereka tampak jujur.”
“Ah, apa yang kamu tahu soal bohong dan jujur. Kamu masih bocah, janggut aja belum punya,” ucapnya.
Aduh, gila kampret tuyul nyet nguk-nguk. Aku memang masih muda, amatiran, bodoh, dan belum punya pengalaman.Tapi aku meyakini, apa yang aku lakukan adalah benar.
“Lagi pula, siapa yang manggil kamu ke sini?” tambahnya.
“Mereka disewa sama Ringgo, Pak,” ucap Nindi.
Dia menaikkan alis. “Ringgo siapa?”
“Ringgo ituloh Pak, angkatan 2002 yang anak basket,” terang Nindi.
“Oh dia, bocah itu memang kebanyakan duit, hingga buang-buang untuk hal gak berguna kayak begini.”
Ucapannya membuatku sangat-sangat gregetan. Tapi, aku harus sabar dan tenang.
“Memangnya Heru kenapa Pak?” tanya Nindi.
Yang menjawab malah seorang siswa. “Heru pingsan di toilet, kelihatannya ada yang bius dia.”
“Ini dari baunya nyengat banget, kayak khrolofom,” ucap si guru olahraga.
“Saya rasa, ada sesuatu yang Heru tahu, yang membuatnya jadi seperti ini,” ucapku layak detektif.
“Apa maksud kamu?”
“Saya rasa, Heru punya informasi penting tentang hilangnya tabung helium semalam.”
“Nggak mungkin,” balasnya. “Kamu kira ini novel detektif?”
“Iya, di dunia nyata banyak hal yang lebih aneh dari cerita detektif, Pak, misalnya seperti guru bahasa Inggris yang sudah pulang terus balik lagi ke sekolah untuk mencari barangnya yang tertinggal di ruang guru.”
“Rasanya nggak ada guru yang seperti itu.”
“Semalam ada Pak, yaitu Pak Andi, dia kembali lagi ke sini pukul 8 atau 9an.”
“Kata siapa?”
“Saksinya ada, Pak Prapto penjaga sekolah,” tambahku.
Dia tampak terkejut. “Nggak mungkin, masak dia balik lagi ke sekolah jam segituh?”
“Iya, untuk mengetahuinya, baiknya Pak Polan telepon aja beliau?”
Dia diam sejenak berpikir, lalu kemudian melangkah mundur dan mengambil handphone-nya. “Halo Di, semalam kamu ke sekolahan?” lalu ada jeda lama di sana, mungkin penjelasan dari si guru bahasa Inggris. Lelaki tua galak itu pun sesekali melirik ke arahku dengan wajah yang makin lama berubah cemas. “Makasih Di,” dan telepon itu pun ditutup.
Si lelaki tua galak mendekatiku. “Pak Andi bilang, semalam dia ada acara sama istri dan mereka tidak mampir ke sekolahan.”
“Lalu siapa yang datang ke sekolahan?” tanya Nindi.
Pandangan mata si guru olahraga langsung terlempar ke si satpam. “Semalam yang ke sini Pak Andi, bukan?”
“Rasanya sih, kayak Pak Andi, Pak Polan,” ucap si satpam yang terpojok.
“Yakin Pak Andi?” matanya memelotot.
“Iya, yakin sih Pak. Dia tinggi, ganteng, pakai kemeja safari, lalu dibalut jaket hitam. Iya, rasanya sih dia, Pak!”
“Terus dia ngapain?”
“Dia minta kunci untuk ke ruang guru.”
“Terus, kamu kasih?”
“Iya, saya kasih,” jawabnya dengan nada ketakutan.
“Goblok,” bentak Pak Polan, lalu tangannya menyeret si satpam muda. “Ok, ambil kunci dan kita periksa ruang guru, ada yang hilang nggak!”
Mereka pun langsung melangkah keluar ruangan, meninggalkan Heru yang masih pingsan.
Aku pun berbisik ke Arif. “Buset, itu guru galak banget.”
“Memang begitu dia,” sahut Nindi disusul tawa.
. . .
Kami berjalan cepat di lorong dan di depan terlihat si satpam sudah membuka pintu ruang guru. Pak Polan yang galak pun langsung masuk. Dia memeriksa satu persatu meja yang ada di sana dan berkeliling melihat apakah ada barang yang hilang.
“Arif, Nindi,” panggilku. “Bisa ikut saya bentar nggak?”
“Ke mana?” tanya si cewek SMA.
Aku hanya menunjuk ke depan lorong.
“Ngomong-ngomong di sekolah ada lemari arsip nggak? Lemari arsip yang gede maksud saya?”
Dia berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ada sih, di ruang tata usaha, iya ruangan itu sekalian ruang arsip siswa.”
Aku mengembang senyum. Dan tepat saja begitu kami sampai di sana, tempat itu persis seperti yang ada di benakku.
“Memangnya ada apa?” kembali tanya Nindi.
Aku menyeringai. “Baiknya sih, kamu panggil Pak Satpam dan Pak Polan ke sini.”
“Ada apa?” Arif pun ikut bertanya.
Aku menunjuk dari jendela apa yang terjadi di dalam ruang tata usaha. “Itu lo lihat aja.”
Arif melongok ke kaca jendela, namun dia masih tampak tidak mengerti. Si satpam Prapto pun menghampir kami.
Aku berujar. “Mas, bisa tolong buka pintu ini nggak!”
“Memangnya ada apa di sini?” dia juga ikut melongok ke kaca. “Ada yang hilang juga?”
“Iya, kita periksa dulu.”
Dia langsung mencari kunci ruangan dan membukanya.
“Ah, benar dugaan saya,” ucapku begitu kami melangkah masuk.
“Apa yang benar?” Arif menengok ke kanan dan kiri, namun dia tidak melihat apa yang tepat di bawah hidungnya.
Begitu Nindi, Satpam Prapto, dan beberapa siswa lain yang juga ikut masuk.
“Ada yang hilang juga di sini?” suara si guru olahraga menyusul di belakang.
“Dia ada di sini Pak Guru,” ucapku semringah.
“Dia siapa?”
“Si pencuri tabung gas helium itu, semalam dia ke sini.”
“Ah, itu lagi yang kalian bicarakan,” ucapnya masih dengan wajah kesal. “Omong kosong!”
“Saya nggak asal-asalan ngomong, saya bicara dengan fakta yang ada di sini,” tanganku menunjuk ke sekeliling meja. “Anda lihat sendiri bukan, begitu banyak arsip di sini,” aku membuka salah satunya, “Arsip data-data siswa dari tahun-tahun yang lalu. Semua ada di meja, bangku, bahkan sampai menumpuk di lantai. Harusnya ruang tata usaha dan administrasi sekolah tidak seperti ini,” aku mengangkat dagu. “Ini sudah begitu berlebihan.”
Dia terperangah, menyadarinya. “Jangan-jangan…”
“Iya, tabung helium itu ada di sini,” aku membalik badan dan mengetuk pintu besar lemari arsip. “Ngomong-ngomong, ini kuncinya di mana ya?”
Si satpam menggeleng, tanda tidak tahu.
“Oke, saya juga penasaran dengan peristiwa ini,” ucap si guru olahraga. Dia pun langsung mengambil handphone dan menelpon seseorang. “Bu Yuni, ini saya Pak Polan… Saya ada di ruang tata usaha… Iya, semalam ada masalah di sekolah… Kami sedang memeriksanya…” dia bicara beberapa menit. Sebelum kembali melemparkan pandangan ke arahku. “Iya, terima kasih.”
Dia berjalan ke meja nomor dua dari pintu, membuka lacinya, dan mengambil kunci yang tersembunyi di bawah tumpukkan kertas di sana. “Ini dia, coba dibuka,” ucapnya ke satpam.
Si satpam pun mengambil kunci itu.
“Jika tabung itu tidak ada,” ucapnya kali ini ke wajahku. “Saya akan laporkan kamu ke polisi, karena sudah bikin rusuh dan mengganggu ketertiban di sekolahan.”
Aku hanya menyeringai. Tapi sungguh, jantungku dagdigdug.
Satpam Prapto membuka sedikit pintu lemari, dia kemudian melempar pandangan pada kami. Lalu membukanya lebih lebar lagi. Dan ternyata tabung itu benar ada di sana.
“Huh, benarkan teori saya!” balasku di mukanya.
“Nggak mungkin,” ucapnya membelalak. “Bagaimana bisa tabung itu berada di sana?”
Sekilas aku melihat sesuatu yang digantung di atas tabung itu. “Aaa, itu dia, yang saya tunggu dari tadi, penjelasannya!”
“Gimana bisa di situh?” Nindi juga bertanya-tanya.
Kebetulan si Toto tukang balon gas pun muncul di sana.
“Begini situasinya,” ucapku keras. “Dari laporan yang kami dapat, ada 4 tabung gas helium ukuran 22 liter yang hilang, satunya cukup berat -sekitar 20 kilogram. Jadi, 4 tabung mungkin sekitar 80 kilogram. Dari wawancara dengan Mas Toto -penyedia balon gas-dia bilang ada yang aneh, yaitu kenapa setelah si pelaku memindahkan tabung, tapi trolinya masih ada pada tempatnya. Jawaban, untuk hal ini sebab si pelaku menggunakan troli sendiri, tepatnya troli yang berada di gudang belakang sekolah. Ok, satu misteri terjawab,” tegasku.
Mereka menatapku serius.
“Kedua,” lanjutku. “Apakah tabung itu dibawa keluar dari sekolah atau tidak? Dari penyelidikan yang kami lakukan, jawabannya adalah tidak. Pertama, pintu gerbang timur ditutup bada magrib dan para siswa banyak yang begadang di sana hingga larut pagi. Sedangkan gerbang selatan, dijaga oleh Mas Prapto. Dia meyakinkan jika ada mobil yang keluar dari gerbangnya membawa 4 tabung besar itu, pastilah dia lihat, namun nyatanya tidak ada. Kesimpulannya si pelaku tidak keluar dari gerbang timur ataupun selatan. Lalu apa mungkin dia lewat belakang sekolah? Nah ini, kami juga memeriksanya, jawabannya adalah bisa jadi. Tapi dengan permasalahan, pagarnya lumayan tinggi hampir 2,5 meter. Seseorang mungkin bisa memanjat di sana dan membawa tabung itu. Tapi itu cukup sulit dan merepotkan. Kami lalu bertanya-tanya, kenapa mereka mesti mencuri tabung gas helium dan repot-repot keluar memanjat tembok sekolah? Kenapa nggak nyolong yang lain gituh yang mudah? Semisal laptop atau komputer kantor, atau kalau perlu maling motor. Lalu kami sampai ke kesimpulan, mungkin benar bahwa tabung itu sesungguhnya tidak dibawa keluar sekolah. Dia masih ada di tempat ini dan disembunyikan.”
Aku melihat wajah Pak Polan, dia bergeming dengan wajah serius.
“Ini sungguh pelik,” lanjutku. “Dari keterangan Nindi, kalian sudah memeriksa semua tempat di sekolah ini dan tidak menemukan tabung-tabung itu. Kamu meyakinkan kami bahwa kamu sudah memeriksa tiap tempat, tiap ruangan, dan seterusnya. Tapi saya yakin ada tempat yang belum kalian periksa. Tempat yang tidak terpikirkan bahwa tabung-tabung itu ada di sana, yaitu ruang kepala sekolah dan ruang tata usaha.”
Kali ini mereka membelalak.
“Awalnya, saya berpikir ruang kepala sekolah. Sebab, itu bakal sangat-sangat seru dan mengejutkan. Lalu saya bertanya ke Nindi, ada nggak lemari arsip di ruang kepala sekolah? Dan jawabannya tidak ada. Saya juga melongok ke sana, perabotannya sedikit dan sudut ruangnya bisa dilihat dari jendela. Jadi saya pikir, tabung itu tidak berada di sana. Lalu saat melihat ruang sebelahnya, buset ini ruang TU kok berantak banget, Arsip-arsip ditumpuk di atas meja dan bangku, ada apa ini? Saya bertanya-tanya dan melihat lemari besar itu. Mereka mengosongkannya. Inilah yang saya cari, tempat yang tidak terpikirkan oleh para siswa yang bisa dimasuki orang asing. Tempat, si culprit menyembunyikannya barang curiannya,” ketukku ke pintu lemari arsip.
“Wow, keren-keren!” Nindi takjub sampai mengangkat kedua tangan.
Arif pun memberiku jempol, begitu pula para siswa yang lain yang menonton di depan TU, mereka tampak semringah. Beberapa ada yang berbisik. “Wah, dia beneran detektif!”
Tapi tidak untuk Pak Polan, dia masih cemberut. “Ckck, orang goblok macam apa yang ngelakuin hal ini?”
“Satu hal yang anda salah Pak Polan, dia bukan orang yang bodoh,” ucapku sambil jari menunjuk ke atas. “Cara dia masuk ke ruangan ini juga sangat pintar. Dari percakapan anda tadi di telepon, kita tahu bahwa Pak Andi -guru bahasa Inggris- semalam tidak pergi ke sini. Yang berarti ada orang yang menyamar menjadi dirinya dengan begitu mirip dan meminjam kunci ruang guru, tepatnya kunci seluruh lantai satu, sebab kunci-kunci itu digabung semua dalam satu ring. Dia membuka pintu ruangan ini, lalu mengangkut tabung ukuran 22 L dengan troli sekolah, mengeluarkan semua arsip dari lemari, dan kemudian memasukan tabung-tabung itu ke dalam sini.”
“Iya, tapi untuk apa?” tanya keras.
Kini giliran aku yang mendekatinya. “Si culprit ini ingin menyampaikan sebuah pesan, Pak Polan. Sebuah pesan!”
Dia mengerutkan dahi. “Pesan apa?”
Jariku menunjuk ke dalam lemari. “Sesuatu yang saya rasa, berhubungan dengan sekolah ini.”
“Itu seperti sebuah walkman,” tunjuk Arif ke dalam lemari.
“Itu pasti pesan dari si pelaku,” ucapku.
Aku mengeluarkan tape rekaman itu dan menaruhnya di meja.
“Coba kamu putar,” perintah si guru olahraga.
Dan suara itu pun muncul.
Selamat, kalian telah menemukannya. Sungguh, saya berharap tabung ini ditemukan hari senin, tapi dengan terpaksa saya mencoba mengikhlaskannya.
Kalian pasti bertanya-tanya, kenapa saya melakukan hal ini? Simpel, karena kalian sudah melakukan sebelumnya dengan sangat buruk. Kalian ingat, tiga tahun yang lalu, seorang siswa kelas sepuluh bernama Andra, dia adalah teman saya. Saya tahu itu memang sebuah kecelakaan. Tapi kalian mencoba mengulanginya lagi, terutama atas inisiatif ketua panitia, si Heru itu. Membuat promo sekolah dengan balon gas raksasa, kalian terlalu egois, angkuh, dan sok kaya. Ini adalah peringatan untuk kalian semua, jika mengulangi keangkuhan itu lagi, saya bisa melakukan yang lebih berbahaya dari ini.
Dan untuk Kiddo, pertunjukkan yang hebat. Tadinya saya pikir, kalian akan menemukan tabung ini pada malam atau mungkin sore harinya. Tapi, ini masih jam makan siang dan kalian sudah menemukannya. Sungguh, di luar ekspektasi saya. Semoga kita bisa bertemu lagi. Salam, Musang Malam.
“Musang Malam,” Arif menatapku. “Siapa itu?”
Aku menggosok dagu. “Gue juga baru pertama dengar ini, namanya.”
. . .
Subscribe to:
Posts (Atom)