Banyak yang bertanya padaku. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal di lantai 2 Auditorium BUMN di Jakarta Selatan? Bagaimana mungkin aku bisa tinggal lama di sana dan menjadikannya sebuah kantor? Bagaimana mungkin aku bisa mendapat izin untuk terus berada di sana? Dan apakah aku membayar untuk itu?
Semuanya dimulai 5 tahun yang lalu. Saat itu aku baru saja selesai skripsi dan sedang menunggu wisuda. Aku bimbang akan kemana perjalanan hidupku selanjutnya. Apakah aku akan bekerja kantoran ataukah aku membuat bisnisku sendiri. Namun ada sebuah lubang harapan, aku sudah punya nama waktu itu.
Sejak kasus di Curug Seribu dan Mayat di Danau UI. Semua orang membicarakanku, bukan hanya di kampus namun juga orang-orang di sekitar rumah Ibuku di Jatiasih. Hingga sampai ke telinga Pak Joko. Dia adalah tetanggaku, rumah kami mungkin terpisah jarang 20 rumah, namun dia tahu kisahku. Lalu pada sabtu sore di muncul di depan rumah dan mengetuk pintu.
"Arifin," dia menyalami tanganku.
"Panggil saja Lufin, Pak," sahutku.
"Saya dengar kisah kamu di UI, kamu katanya berhasil menemukan pelaku pembunuhan di danau itu."
Aku mengangguk. "Alhamdulillah Pak!"
"Saya juga dengar yang heboh di Curug Seribu itu, kamu juga yang berhasil memecahkannya."
Pembicaraannya semakin menjurus dan aku bisa menebak kemana arahnya. "Iya, Pak!"
"Saya butuh bantuan nih," ucapnya.
Sebelum kesana aku mendeskripsikan dulu seperti Pak Joko. Badannya tidak terlalu tinggi sekitar 170 namun tubuhnya kekar dan lebar. Kulitnya agak kecoklatan dan biasa mengenakan kaos warna hitam. Seperti laki-laki kekar di film-film action atau orang-orang garang di sasana tinju. Aku sempat menyangka bahwa dia ketua para satpam, namun kenyataan bukan seperti itu. Profesi Pak Joko sebenarnya adalah wakil kepala OB di sebuah Lembaga BUMN di Jakarta Selatan. Aku sendiri gak ngerti kenapa seorang OB bisa memiliki aura segarang itu. Dan belakangan aku tahu jawabannya setelah menangani kasus ini.
"Apa yang bisa saya bantu Pak?"
"Atasan saya, Bang Faruq dia ditemukan meninggal kemarin pagi,"
Wajahnya tampak serius namun tanpa ada kesedihan di sana. "Dia meninggal di taman di samping Auditorium, tepatnya di jalan setapak menuju gedung penelitian Gas."
"Jadi?"
"Dia meninggal di sana begitu saja," potongnya cepat. "Tergeletak di jalan setapak itu tanpa ada saksi mata yang melihatnya jatuh, entah berapa lama dia berada di sana hingga seorang OB dari gedung sebelah yang sedang membuang sampah melihat tubuh itu tergeletak. Kemudian dia menelpon security tanpa mendekati tubuh Bang Faruq. Tak ada yang mendekatinya hingga para security itu datang dan mereka memastikan bahwa Bang Faruq telah meninggal dunia."
"Apa mereka tahu penyebabnya?"
"Para petugas itu bilang dia meninggal karena serangan jantung, namun kami tidak percaya itu. Tidak ada pemeriksaan dokter atau apapun, lagipula Bang Faruq adalah orang yang sangat sehat meski dia suka minum," ada jeda di lidahnya. "Alkohol tapi dia tetap orang yang sehat."
Di sini aku sudah merasakan hal yang aneh. Laki-laki bernama Faruq, biasanya orang Betawi terkenal dengan ketaatan ibadahnya, namun paradoks dia minum alkohol. Pastinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.
"Terus kenapa Pak?"
"Saya ingin kamu menyelidikinya, kami menduga Bang Faruq dibunuh orang. Entah itu saingannya atau mungkin orang dalam organisasinya sendiri."
Aku mengernyit. "Apa Pak? Organisasi?"
"Iya, Bang Faruq selain menjadi ketua OB dia juga ketua Ormas pemuda di tempat kami."
Sebenarnya aku ingin bilang bahwa jika pembunuhannya berhubungan dengan mafia ini akan menjadi thriller kriminal dan bukan cerita detektif. Namun Pak Joko pasti akan balik bertanya apa bedanya.
"Jadi apa yang harus saya lakukan?"
"Mungkin kamu bisa ke TKP-nya besok pagi."
. . .
Tiap kali kasus baru hadir selalu jantungku berdegup dengan kencang. Ada rasa aneh seolah akan naik kelas atau seperti pindah ke sekolah yang baru.
Minggu Pagi itu aku sudah mempersiapkan semuanya.
Pak Joko bilang bahwa ini akan jadi penyelidikan yang panjang dan aku mungkin akan menginap di sana selama sebulan. Jadi aku bawa sebuah cover dan tas ransel berisi pakaian dan beberapa makanan. Pak Joko menjemputku pukul 7 pagi, dia bahkan sampai menyewa mobil untuk ke sana.
Jujur aku jarang berpergian dan aku tidak tahu banyak tentang Jakarta Selatan. Paling-paling yang kutahu hanya sampai Pondok Indah. Tidak pernah tahu apa itu Cipulir dan seterusnya. Dalam perjalanan aku hanya berbincang sedikit selebihnya Pak Joko yang bicara. Sementara mataku terus memperhatikan jalanan, gedung-gedung, pohon-pohon, ruko-ruko, dan rumah-rumah yang tidak kukenal.
Cipulir adalah tempat yang tidak strategis. Namun Lembaga Penelitian Minyak itu berada di sana. Pak Joko bilang bahwa tempat itu hanya kantor para PNS. Dan penelitian tidak pernah benar-benar terjadi di sana. Kebanyakan di lakukan di tempat lain. Seperti R & D Pertamina dan seterusnya.
Dia bilang tempat ini mungkin akan dibuat menjadi satu lembaga yang baru. Dari jalan raya, Lembaga Penelitian itu terlihat sempit. Namun ketika masuk ke dalam tempat itu ternyata cukup luas.
LPM dibagi menjadi 3 sektor, sektor 1 yaitu bagian depan hingga ke mesjid, sektor 2 yaitu bagian tengah hingga ke gedung bawah, dan sektor 3 yaitu bagian dalam dimana Auditorium itu berada hingga ke tembok belakang yang jarang disentuh orang. Sektor 3 jelas bagian yang paling sepi di tempat ini. Hanya ada satu dua orang lewat pada jam kerja itupun hanya OB yang mengantar surat ataupun satpam yang dipaksa bertugas keliling. Sementara para PNS mereka lebih suka berdiam di dalam kantor hingga jam makan siang dimulai.
Masuk ke sektor 3 di sinilah Auditorium itu berada.
Aku membayangkan seperti di UI, namun ternyata tidak. Auditorium ini sedikit lebih kecil dan jauh lebih rapih daripada di sana. Hall-nya besar seperti ruangan di hotel juga cukup dingin meski tanpa AC yang menyala. Tidak banyak cahaya di ruang besar itu kecuali jika semua lampu dinyalakan. Di samping dan kiri terdapat pintu aku pun mengambil yang kanan. Pak Joko menyebutnya ruang sayap. Di sini terdapat lorong panjang yang terus ke belakang akan sampai ke toilet sedangkan ke depan akan masuk ke ruang kantor.
Berputar-putar cukup lama di dalam, kamipun kembali ke teras depan. Dan di sana sudah berdiri seorang laki-laki tua berkulit coklat gelap dengan kemeja warna abu-abu.
"Kenalkan, Pak Ramdan," ucap Joko.
"Selamat datang Ikhsan?" ujarnya.
Akupun menggapai tangan itu. "Panggil saja saya Lufin, Pak!" sahutku.
"Ok, Lufin. Gimana sudah lihat ke dalam?"
"Iya, sudah."
"Pak Ramdan ini yang mengelola Auditorium," ucap Joko.
Mataku berputar ke atas. Sedikit terkejut karena kupikir Pak Joko atau Bang Faruq lah yang mengelola tempat ini.
"Kamu sudah dijelaskan situasinya sama Joko?" lanjutnya.
Aku mengangguk. "Sudah Pak!"
"Bang Faruq itu orang yang tegas dan sangat dihormati di sini," ucapnya sambil berjalan di taman di samping bangunan.
"Dia punya banyak anakbuah dan para anakbuahnya itu ya bekerja di sini juga."
"Maaf saya tidak mengerti maksudnya anakbuah?"
"Anak buah dari organisasi-nya kebanyakan bekerja di sini atau jika kamu ingin masuk bekerja di sini kamu juga harus ikut organisasi dia? Namanya Front Fajar Betawi."
"Jadi semua OB di sini ikut organisasi itu?" tanyaku.
"Gak semuanya," jawab Pak Ramdan. "Ekskul di sekolah merupakan hal yang wajib, namun gak semua siswa ikut ekskul bukan. Beberapa ada yang memilih langsung pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai."
Aku tersenyum. "Seperti bapak berdua ini,"
Mereka pun balas tersenyum dan menjawab. "Iya,"
Kami pun sampai di taman kecil di samping kanan bangunan, dimana terdapat jalan setapak dan tangga menurun yang menuju ke gedung di sebelah Barat.
Kami menuruni anak-anak tangga itu dan jari Pak Ramdan menunjuk ke depan. "Di sinilah TKP-nya tempat Bang Faruq ditemukan sudah tidak bernyawa."
"Anda yakin Bang Faruq tidak meninggal secara alami?" tanyaku.
Mata Pak Ramdan berputar. "Kami tidak yakin, karena itu kami butuh bantuan kamu?"
"Kenapa tidak menghubungi polisi lalu meminta mereka untuk melakukan otopsi?"
"Kami tidak bisa melakukannya, jasad sudah dikubur kemarin dan kami tidak menyusahkan keluarga almarhum dengan prosedural-prosedural rumit itu. Jadi pilihan terbaik adalah kamu, penyelidik swasta."
"Satu pertanyaan pak, kenapa anda ingin sekali saya menyelidiki kematian Bang Faruq ini?"
"Karena dia orang baik," ucapnya dengan lidah yang tertahan. "Meski tabiatnya sangat kasar tapi banyak orang yang mendapat penghidupan dari bekerja dengannya. Sebab itu kebenaran atas kematian harus diungkap."
"Tapi ini akan jadi perjalanan yang sangat panjang Pak,"
"Berapa kamu ingin dibayar?" ujarnya mengejutkanku.
"Apa?"
"Sebutkan angka-nya? 10 juta?"
Aku mengernyit tanpa membalasnya.
Dia terdiam beberapa detik lalu berujar. "15 juta?"
Aku masih tidak berkata-kata. Sebenarnya, aku ingin bilang bahwa ini bukan soal angka.
"Bagaimana jika 10 juta plus sepeda motor?" lanjutnya.
"Tidak Pak, rasanya itu tidak cukup."
"Terus apa yang kamu mau?"
"Bagaimana jika gaji yang cukup plus saya boleh tinggal di Auditorium ini," tunjukku ke bangunan itu.
Sesaat dia mengerutkan dahi lalu berkata. "Ok, itu bisa saya atur," dia pun mengulurkan tangannya. "Deal!"
"Deal!" balasku.
"Kamu bisa mulai bekerja pada hari senin besok,"
"Siap Pak!"
. . .
Aku seorang visioner dan kupikir Auditorium ini sangat bagus untuk mengembangkan karierku.
Tempat ini memiliki ruang kantor yang bagus, ruang kantor dari almarhum Bang Faruq. Tepat di bagian depan dari sayap kanan bangunan. Bentuknya seperti kotak persegi panjang dengan interior berwarna putih dengan jendela-jendela kaca besar yang menghadap ke halaman depan yang hijau. Kaca-kaca itu ditutup dengan gorden bambu dengan bau sangat khas. Untuk furniture terdapat meja kantor dan dua kursi hitam yang nyaman plus bangku tunggu yang memanjang. Lalu di sana juga ada lemari kabinet yang kosong melompong tanpa diisi apapun. Serta sebuah lemari lain dimana diisi peralatan cairan pembersih lantai, pengharum ruangan, dan koleksi sabun cuci.
Di ruang kantor ini juga terdapat tangga menuju lantai 2, dimana terdapat ruang kosong yang luas dan satu ruang terkunci yaitu tempat untuk sound system Auditorium. Ini sempurna. Dengan meminta izin pada Pak Ramdan ruang kosong di lantai 2 itupun diperbolehkan menjadi kamar pribadiku.
Hari senin pekerjaanku pun dimulai.
Untuk mengorek informasi dan berbaur. Pak Joko memberiku peran sebagai OB baru di Auditorium itu. Sebelumnya sudah ada dua OB di sana yaitu Taufik dan Iwan. Dan mereka lebih tua dariku jadi kutambahkan kata Bang di depannya.
Setelah diperkenalkan oleh Pak Joko, Bang Iwan pun langsung mengajarkanku ritual pagi di Auditorium.
Di mulai dari membersihkan ruang kantor di depan, lalu kemudian mengambil segelas air hangat dari gedung sebelah untuk ditaruh di ruang kantor Bang Faruq. Tentu saja, orang itu sudah meninggal namun untuk menghormatinya Bang Iwan memintaku terus melakukan ritual itu selama 40 hari ke depan.
“Jika gak ada yang minum air itu sampai Dzuhur, kamu minum saja,” ucapnya.
Aku hanya menggeleng dalam hati sungguh ajaib orang ini.
Setelah mengambil segelas air hangat aku melanjutkan pekerjaan bersih-bersih di sayap Auditorium. Bang Iwan selalu memperingatkanku. “Santai aja, sore masih lama,” ulangnya berkali-kali.
Entah kenapa rawut wajahnya sangat senang pagi itu.
Lalu pukul 10 muncul Bang Taufik. Sebenarnya adalah asisten dari almarhum Bang Faruq dan tugas adalah berkeliling sektor 3 untuk mengawasi kinerja para OB yang lain. Tapi karena si Boss sudah meninggal dan yang menggantikan adalah Pak Joko, dia bisa sedikit santai. “Siang nanti kita baru keliling, kamu nanti temanin saya ya, jadi asisten,” ujarnya sambil tertawa.
Setelah istirahat, pukul 1 siangpun kami pergi ke gedung 7 yaitu gedung yang paling pojok di sebelah timur. Aku disuruh membawa mesin Mop. Dan sampai di sana justru kami ngopi dulu bersama OB yang menjaga di lantai 2. Baru kemudian Mop dilakukan sejam kemudian dan satu jam kurang pun pekerjaan itu selesai. Aku ditinggal di mes OB gedung 7 sementara Bang Taufik entah pergi kemana. Di sini kesempatan untuk mengorek informasi dari OB gedung 7 yaitu Parman.
“Man, seperti apa almarhum Bang Faruq itu?” tanyaku.
Wajah Parman cemas namun diapun berkata. “Bang Faruq itu orang yang galak,” dia pun mendekat wajahnya lalu bersuara pelan. “Sebenarnya dia sangat menyeramkan seperti Bos Mafia, apapun yang dia perintahkan harus kita kerjakan sekarang, kalau tidak hari itu juga kamu akan dikeluarkan dari sini.”
“Walah separah itu!”
Jarinya pun naik ke bibir. “Sssstttt… jangan kencang-kencang yang lain bisa mendengar.”
“Apa?”
Wajah pemuda itu seperti ketakutan. “Di tempat ini sebenarnya ada tiga kubu, yang loyal dengan Bang Faruq, lalu kubu yang ingin memberontak melawannya, dan kami yang ingin hidup damai-damai saja. Bahayanya adalah orang-orang yang loyal dengan Bang Faruq membawur diantara kami yang ingin hidup damai-damai saja. Orang-orang ini yang menjadi mata dan telinga Bang Faruq dan merekalah yang membuat banyak dari kami yang dikeluarkan.”
Pemuda ini membuatku merasa masuk ke dunia spionase di zaman perang dingin. Siapapun di sini bisa menjadi pengkhianat dan karena itu tidak ada yang dapat dipercaya.
“Tapi Bang Faruq kan sudah gak ada?”
“Nah itu dia, meski dia sudah gak ada tapi terornya masih ada. Dan konon para anakbuahnya yang loyal itu ingin menghidupkan kembali cara-cara kerja ala Bang Faruq.”
“Cara kerja ala Bang Faruq? Maksudnya?”
“Iya, kayak waktu dulu, kalau kamu gak bayar 10% dari gaji kepada mereka maka kamu akan dikeluarkan.”
Aku mengernyit. “Apa membayar 10% gaji? Itu namanya pemerasan.”
“Dan memang itu pekerjaan Bang Faruq dulu, menjaga keamanan di wilayah sini.”
. . .
Kedengarannya memang aneh, namun faktanya orang-orang seperti ini memang ada di Jakarta.
Para penjahat yang memungut uang dari orang-orang miskin tanpa rasa bersalah, memalak dari orang-orang susah seolah mereka adalah raja-raja kecil yang minta upeti, dan mereka begitu kuat hingga teror mereka masuk ke dalam sumsum tulang tiap korbannya. Seperti apa yang dialami Parman, bahkan setelah Bang Faruq meninggal dia tetap takut untuk berbuat sesuatu. Takut-takut kalau mantan anak buah Bang Faruq mengganggunya.
Bicara tentang Auditorium, tempat ini memiliki banyak sisi yang kelam. Selain bang Faruq terdapat pula para PNS nakal dan sopir yang memanfaatkan tempat ini sebagai lokasi perjudian lokal. Mereka selalu memanfaatkan ruang kosong di belakang Auditorium sebagai tempat mereka main poker. Mulai dari jam 10 pagi hingga jam 7 malam. Bahkan kadang hingga tengah malam dan tak ada seorangpun yang melakukan inspeksi atau penggrebekan untuk mereka.
Benar-benar tempat yang buruk.
Mungkin ini pula yang menjadi penyebab kenapa seorang Faruq bisa begitu berkuasa di sini.
Dia memiliki aliansi dari para penjahat, memiliki pendanaan, dan teror bagi orang-orang baik yang tidak bisa berbuat apa-apa. Selain hanya ingin bekerja dan mendapatkan gaji dengan baik.
"Seperti apa bang Faruq, bang?" tanyaku ke Iwan saat kami berada di teras sembari makan siang.
"Dia sebenarnya orang yang baik, cuma kadang-kadang suka kumat aja," ujarnya diiringi senyum.
Akupun tertawa kecil. "Abang sendiri kok bisa tenang di sini, apa rahasianya?"
"Iya, dijalanin aja, lagipula saya punya tanggung jawab. Saya punya istri dan anak karena itu apapun yang terjadi pada saya di sini, saya harus tetap bekerja. Harus bisa bawa uang untuk mereka."
"Dan abang bisa bertahan,"
Dia mengangguk. "Sebenarnya gak gampang sih, tapi ada satu trik yang saya lakukan untuk menjaga jarak dari Bang Faruq."
"Apa bang?" aku penasaran.
"Saya pura-pura budek dan semua orang di sini tahu itu. Akting saya berhasil karena kebanyakan orang di sini mengira saya budek beneran. Tiap kali Bang Faruq berteriak-teriak saya makin pura-pura gak dengar dan lama-lama dia bosan juga berteriak kepada saya."
Entah cerita ini mengingatkanku pada sebuah novel.
Dimana seorang wanita dipaksa menjadi budak seks oleh tentara Jepang. Dan tiapkali ada tentara yang mensetubuhinya dia berakting kaku dan pura-pura mati. Itu cara yang sangat efektif untuk membuat para bajingan itu bosan dan meninggalkan dia sendirian di kamarnya.
"Tentang bayaran 10% dari gaji itu Bang? Apa itu benar semua OB wajib membayarnya?" pertanyaanku makin berbahaya.
Namun dia tersenyum. "Itu benar semua OB di sini wajib bayar 10% dari gaji ke Bang Faruq, kecuali saya dan Taufik."
Mataku membulat. "Apa? Kok bisa?"
“Karena kami tinggal di dekat rumahnya.”
“Apa?”
“Karena kami adalah tetangganya dan kenal dekat dengan keluarganya jadi mungkin dia sungkan untuk meminta 10% gaji pada kami. Jadi tidak pernah ada aturan itu, kecuali pajak bonus penyewa auditorium itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu baru kemudian dibagi rata.”
“Pajak bonus?”
“Tips maksud saya, jika ada penyewa auditorium di hari sabtu atau minggu, biasanya mereka kasih tips tambahan buat OB yang jaga di sini. Nah tips itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu, baru nanti dia yang bagi tips itu ke kita berempat.”
“Bukannya cuma ada tiga orang di Auditorium ini,”
Iwan menaikan alis. “Oh iya, saya lupa Farid sudah keluar, iya gara-gara masalah tips itupula dia diomelin habis-habisan sama Bang Faruq.”
“Bentar bukannya tips itu bersifat pribadi, maksud saya hanya masuk ke kantong penerimanya kan.”
“Iya, harusnya sih begitu. Tapi kalau kita gak ikutin aturan dia, bakal jadi keributan.”
“Hanya gara-gara uang tips bisa jadi keributan,” aku bicara agak ngotot.
Dia mengangguk. “Iya.”
“Ini benar-benar gila Bang, dia gak punya hati kali ya?”
“Syukurnya dia sudah gak ada,” Bang Iwan tertawa sangat ringan.
Semua orang yang berakal pasti tahu. Bahwa orang baik adalah orang yang bisa memberi lebih sekalipun hidup mereka susah. Bukan orang yang mengumpulkan kekayaan dari memeras orang kecil tanpa pernah memberi kebaikan apapun pada mereka.
Gilanya uang tips yang gak seberapapun masih diminta oleh si keparat Faruq ini.
Benar-benar sangat layak menurutku jika orang seperti dia mendapat balasan sebuah pembunuhan berencana.
Mungkin memang inilah yang terbaik bagi mereka. Namun disisi lain seseorang sudah mengorbankan dirinya sebagai martil untuk tujuan itu. Dan dia pasti tahu, cepat atau lambat kejahatan yang tersimpan akan terungkap oleh seseorang.
“Tentang Farid itu, gimana kabarnya?”
“Farid dia keluar 4 bulan yang lalu. Keadaan sangat buruk terakhir kali dia berada di sini.”
“Kenapa?”
“Itu hari senin dan terjadi setelah permasalahan tips itu. Kami membersihkan Auditorium bersama setelah kemarin ada acara pernikahan di sini. Saat itu bang Faruq seperti biasa berceramah atau aku menyebutnya meracau entah apa yang dia bicarakan ke kami. Tiba-tiba dia melemparkan pisau, pisau tukang buah kamu tahu yang besar itu ke muka Farid. Memang tidak kena tapi lemparan itu sangat keras hingga membentur nyaring di pintu kayu.”
“Lalu apa yang Farid lakukan?”
“Dia hanya diam saja, kamu tahu kami tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu seminggu setelah itu Farid mengundurkan diri dari tempat ini.”
“Tentu saja Bang, siapa yang tidak mengundurkan diri setelah diperlakukan seperti itu.”
“Mungkin karena jiwa mudanya, diantara kami, Farid lah yang sangat ingin memberontak. Beberapa kali dia dipaksa ikut ormas-nya Bang Faruq namun dia menolaknya. Kamu tahu ekskul malam, menjaga parkiran ruko-ruko di depan situh namun dia tidak pernah datang ke sana.”
“Ya iyalah Bang, kita sudah bekerja keras seharian, masa malamnya disuruh bekerja lagi. Pekerjaan yang ilegal lagi.”
Iwan mengangguk. “Ya, kamu benar.” Lalu wajahnya menatapku curiga. “Ngomong-ngomong kenapa kamu banyak tanya tentang almarhum? Kayak kamu polisi saja?”
“Hahaha… gapapa Bang saya penasaran aja,” ucapku dengan wajah konyol.
“Saya dengar-dengar nih,” dia kembali mendekatkan wajahnya. “PNS di gedung depan itu, lantai 5 mereka menyewa detektif swasta untuk menyelidiki kematian Bang Faruq.”
“PNS lantai 5 siapa Bang?”
“Itu Pak Ramdan, yang saya dengar sih seperti itu. Katanya mereka menduga bahwa kematian Bang Faruq karena dibunuh orang.”
“Abang sendiri percaya dengan hal itu.”
Iwan menggeleng. “Percaya gak percaya, tapi kalau mengingat hari-hari yang buruk sebelum dia meninggal rasanya mungkin saja dia dibunuh orang.”
“Setahu abang apa dia punya musuh atau saingan gituh?”
“Dulu ada saingan dia waktu bikin ormas itu, Pak Syarif dari Laskar Betawi Hijau, cuma saya gak pernah dengar lagi pertengkaran mereka. Dan satu lagi Pak Latif mantan lurah di Cipulir sini. Cuma dia sudah pindah sekarang dan gak ada kabar lagi.”
“Kalau di lingkungan dekatnya Bang, tetangga atau keluarga?”
Dia kembali menggeleng. “Orang sini mah gak ada yang berani sama dia.”
Aku mengangguk. “Kalau keluarganya gimana?”
“Haduh, kamu itu nanya mulu, jangan-jangan kamu detektif swasta itu?”
“Hahaha… memangnya saya ada tampang sebagai detektif, Bang?”
Sesaat dia terdiam, matanya naik turun ke bawah memperhatikanku. “Nggak mungkin juga sih kamu adalah detektifnya.”
“Jadi seperti apa keluarganya Bang?”
“Setahu saya dia punya satu istri dan tiga anak perempuan.”
“Tidak pernah ada pertengkaran serius?”
“Setahu saya tidak pernah ada. Istrinya patuh banget sama bang Faruq dan anak-anaknya juga sayang banget sama dia. Nggak pernah ada konflik.”
Aku manggut-manggut.
Lalu Iwan memberi kejutan. “Kamu tahu putri sulungnya kerja di sini, di lantai 5 itu,” tunjuknya. “Dia entah bagaimana jadi PNS di sana.”
Mataku sedikit membulat. “Kerja di sini?”
“Iya, kalau gak salah dia jadi bawahannya Pak Ramdan.”
“Wah,” kepalaku mendongak ke atas menatap gedung yang berada di sebelah utara Auditorium. “Apa putrinya tahu kalau bapaknya suka ngambil upeti dari para OB di sini?”
“Kelihatannya dia gak tahu, begitupula dengan anggota keluarganya yang lain. Mereka gak pernah tahu.”
Aku membayangkan kehidupannya seperti mafia di film-film kriminal itu. Dihadapan keluarga mereka begitu baik namun diluar itu mereka sangat bengis. “Kehidupan ganda ya, kayak di film-film gituh.”
Iwan mengangguk. “Bang Faruq gak pernah bilang tentang penghasilan dan bisnis sampingannya. Begitupula dengan para OB di sini gak ada yang berani cerita. Tapi entah mungkin dia tahu atau tidak tahu.”
“Saya bisa bertemu dengan anak perempuannya itu gak?”
Mata Iwan menatapku curiga. Lalu dia berkata. “Biasanya dia nongol sih di sini, hari sabtu jika ada yang nyewa auditorium.”
. . .
Ilustrasi: Archdaily.Com