Review by Ftrohx
Tulisan di bawah ini mengandung banyak spoiler.
Kebiasaan buruk saya tiap kali membaca novel -yang baru datang- adalah saya membaca cepat dan membuka halamannya secara acak, kadang saya baca dari bab-bab terakhirnya dahulu. Inilah yang terjadi pada Decagon House Murders Mystery, saya baca sepertiga bagian akhir dulu, saya endapkan beberapa hari, baru kemudian saya baca lagi dari awal.
Dari tahapan membaca awal, saya teringat dengan novel And Then They Where None dari Agatha Christie, kisah pembunuhan berantai yang terjadi di sebuah pulau di mana semua orang yang diundang ke pulau tersebut tewas secara misterius. Pada bagian ini, rasanya saya nggak ingin banyak berkomentar. Dari premis itu saya cuma bisa bilang, oh begitu doang. Namun saat saya membaca kedua kalinya -dari awal hingga akhir secara lengkap- saya sadar bahwa novel karya Yukito Ayatsuji ini adalah versi upgrade dari sang Ratu cerita kriminal. Butuh puluhan dekade untuk menciptakan novel sehebat ini dan jelas orang biasa-biasa aja nggak mungkin bisa bikin yang seperti ini.
Ok, secara garis besar novel ini dibagi menjadi dua cerita; penyelidikan di luar pulau dan penyelidikan di dalam pulau. Penyelidikan di luar pulau, itu dilakukan terhadap kasus yang terjadi di masa lalu yang pernah terjadi di Decagon House. Sedangkan penyelidikan di dalam pulau, ini lebih ruwet lagi, sebab sambil menyelidiki apa yang terjadi di masa lalu, mereka juga menyelidiki pembunuhan yang terjadi sekarang dengan korban adalah mereka sendiri yang terjebak di dalam pulau. Peliknya lagi, semua karakter di novel ini adalah penggemar fiksi detektif, lebih spesifik mereka benar-benar freak dalam hal itu, sampai-sampai mereka menggunakan nama samaran para penulis novel detektif legendaris.
Sungguh, saya nggak tahu harus mengkritik apa tentang novel ini. Yukito Ayatsuji benar-benar kompleks dan sangat serius dengan novelnya.
Studi Kasus Decagon Murders Mystery
Membaca deskripsi akan Decagon House, saya langsung teringat dengan Tadao Ando si Arsitek legendaris dari Jepang itu. Saya membayangkan Kuil Air yang dia buat, Galeri Akka, dan Museum Seni di Hyogo. Udara yang dingin di dalam labirin berinterior minimalis dengan tembok kongkrit warna semen alami. Sesuatu yang elegan dan bikin tengkuk kamu merinding. .Begitupula dengan yang disajikan oleh si penulis ini, Yukito Ayatsuji. Benar-benar kompleks.
Pertama cerita Klub Detektif.
Saya sendiri juga tergabung dalam klub penggemar fiksi detektif di Jakarta. Dulu setahun yang lalu, senior saya pernah punya ide, bagaimana jika kita membuat cerita pembunuhan dengan melibatkan klub seperti ini dengan petunjuk dan para tokoh diwaklili oleh novel detektif favoritnya. Itu ide yang brilliant.
Tapi GILA-nya lagi, Yukito Ayatsuji sudah punya ide itu sejak tahun 70an dan mengeksekusinya di tahun 80an dengan novel ini. Asli, gagasan ini komikal sekaligus brilliant, dia memberi nama samaran untuk para tokohnya dengan nama-nama penulis detektif favorit mereka; Ellery Queen, Dickson Carr, Gaston Leroux, Agatha Christie, hingga Van Dine. Ini seperti kamu masuk ke dalam sebuah gerbong kereta eksklusif, di mana kamu melihat ada Johnny Depp, Judi Dench, dan Daisy Ridley di sana.
Kedua, Arsitek itu keren
Biasanya cerita pembunuhan berantai terjadi pada sebuah mansion yang old school, kuno klasik, gothic, dan seterusnya. Pokoknya rumah yang angkeh ala Sebastian Michaelis atau Phantomhive. Tapi Yukito Ayatsuji membawa kita ke Modern Architecture ala Frank Llyod dan Tadao Ando, model-model minimalis dengan tembok kongkrit, labirin ala hotel Inception, dan warna-warna bento serta kayu alami. Mungkin akan jadi sangat keren jika Decagon House bisa disutradari oleh Christopher Nolan, hihihi.
Ketiga, berdua lebih baik daripada sendirian.
Kalau bisa menyajikan dua atau lebih pembunuhan berantai, kenapa harus satu dalam sebuah buku. Itu yang dilakukan Yukito Ayatsuji, dua kasus pembunuhan berantai yang sangat misterius. Dua kasus yang diselidiki dengan cara, metode, dan tempat yang berbeda. Namun di bagian akhir, semuanya saling terkait.
Saya suka bagaimana si penulis menyajikan berbagai macam teori, tumpukan informasi dan hipotesa tentang apa yang sedang terjadi. Saya suka di mana dia menyajikannya dengan sangat In Depth, bahkan jauh lebih baik daripada si seniornya, yaitu Soji Shimada di Tokyo Zodiac.
Keempat, kreatifitas yang mendobrak.
Pelajaran paling penting yang diajarkan Om Yukito di novel ini adalah... bukan berpikir di luar kotak, namun dobraklah batasan kotak itu. Jika A tidak bisa, jika B tidak bisa, maka terus coba lagi hingga ke X di mana itu bisa.
Dari berbagai sumber saya mendapati cerita bahwa novel ini bukan dibangun dalam satu malam, tapi tahunan trial n error bahkan sampai satu dekade pun masih direvisi. Dia tahu kalau hanya kasus penyelidikan biasa, Decagon akan menjadi cerita mediokre. Jika hanya pembunuhan di dalam pulau lalu apa kelebihannya dibanding karya-karya leluhur sebelumnya. Maka, dia eksplor semuanya, segala kemungkinan yang bisa terjadi dalam sebuah cerita detektif, In Depth di dalam sana.
Kelima, rivalitas sangatlah penting.
Saya pertama kali dengar istilah Armchair Detective tahun 2010 dari novel Los Angeles BB Murder, saat itu yang ada di kepala saya, armchair detective adalah seperti L. Lawliet, dia yang memecahkan kasus hanya dari depan layar komputer tanpa menyentuh TKP. Dari kali ini di buku ini juga membahas tema armchair detective.
Bagaimana si detektif memecahkan kasus tanpa menyentuh TKP. Apa yang dia lakukan dan bagaimana dia menciptakan sebuah rantai deduksi untuk mengungkap fakta versus detektif yang turun di lapangan. Aduh ini rada spoiler, ada dua rivalitas yang kuat di novel ini, di dalam pulau terjadi rivalitas antara Ellery (Matsura) versus Van Dine, sedangkan di mainland, terdapat rivalitas antara Morisu versus Shimada Kiyoshi, ckckck.
Keenam, revisi, revisi, dan revisi
Seperti yang saya bilang sebelumnya bahwa novel ini, bukan sekali dibuat namun hasil dari revisi dan revisi, itu kenapa ketika kamu masuk ke bagian akhir, kamu akan sangat-sangat terkejut dan bilang ‘bangsat, kampret, kepiting rebus’ ini buku. Yukito Ayatsuji membuatnya dari hasil revisi dari projek novel sebelum, bahkan setelah dicetak pun kembali direvisi -dan yang saya baca ini adalah versi revisi dari tahun 2010an. Saya yakin asli novel ini sebenarnya sangat tebal, mungkin di atas seratus ribu kata, namun setelah disunting dan diambil hanya bagian-bagian pentingnya saja, membuat dia menjadi ramping dan sangat efektif.
Terakhir, konklusi yang bangsat.
Apalah artinya sebuah novel detektif, jika tanpa konklusi yang sangat bangsat, bab akhir yang menjalin semua. Memberi jawaban atas misteri yang coba dipecahkan habis-habisan oleh sang detektif. Di sini kuncinya ada pada bab pertama dan bab akhir. Decagon House punya prolog yang sangat-sangat bagus menurut saya, dia bermain dengan kejiwaan si pelaku pembunuhan dan pertanyaan-pertanyaan moral terhadap dirinya sendiri, lalu di bagian akhir dia mendapatkan balasan atas apa yang telah dia kerjakan, balasan yang lebih ke dalam jiwanya sendiri. Bagian epilog entah kenapa lebih mengingatkan saya pada Enichi di chapter akhir dari kisah Rurouni Kenshin daripada ending kisah dari And Then They Were None. Hahaha, mungkin karena ini adalah novel Jepang, jadi unsur spiritualitasnya lebih kental.
Kesimpulan
Dari plot, setting, pendalaman karakter, dan cara penyajian cerita. Novel ini saya kasih 89 skala 100, bisa dibilang ini novel terbaik yang saya baca di akhir tahun 2017. Sebuah penutup tahun yang nyaris sempurna.. Satu lagi, thank you tuk Irfan Nurhadi yang sudah kirimin novelnya, hahaha.
Ilustrasi, sumber Wikipedia com / Tadao Ando
Sunday, December 17, 2017
Sunday, November 5, 2017
Tips Menulis: 4 Tahap Membuat Cerita Detektif
By Ftrohx
Teman-teman saya memiliki metode sendiri dalam menulis cerita detektif. Ada yang membuat puzzlenya dulu, baru kemudian memasukan puzzle / misteri ke dalam cerita. Ada juga yang membuat cerita dahulu, baru kemudian menentukan puzzle / misteri dan sebagainya. Sedangkan saya, saya punya cara sendiri dalam menulis cerita detektif. Saya bagi metodenya dalam 4 tahap yaitu;
Pertama, membuat tema atau ide dasar.
Cerita detektif sama seperti cerita-cerita lain harus memiliki tema, ide dasar yang menjadi bibit dari sebuah cerita. Bagian ini kadang gampang dan kadang juga sulit. Ide itu kadang muncul begitu saja dan kadang pula saya butuh waktu lama berkontemplasi untuk menemukan ide yang keren itu.
Contoh, tulisan saya kasus di Ize-Kaya, ide dasarnya adalah restoran n masakan Jepang. Dari ide dasar ini kemudian saya meriset semua hal tentang restoran dan masakan Jepang. Atau cerita Kematian Seorang Arsitek, di sini saya meriset semua hal tentang Arsitek, mulai dari istilah-istilah mereka hingga kemudian ke cara kerja mereka, bisnis mereka, dan seterusnya. Sedangkan kasus Mayat di Atap Sekolah, ide yang tersirat di benak ada hujan, malam hari, di sekolah, saya sering membayangkan hal itu dan itu begitu melankolis. Saya masukkan unsur pembunuhan, maka jadilah kasus Mayat di Atap Sekolah.
Kedua, pembuka cerita.
Bagian ini terdiri dari beberapa sub-bagian, pertama TKP kasus itu terjadi, kedua siapa saksi mata yang ada di sana, dan ketiga apa saja bukti yang tertinggal di sana, dan seterusnya jika kamu punya ide tambahan.
Sebagai contoh; cerita yang saya buat Triad Kematian. TKP-nya mengambil sebuah kamar di lantai 2 di daerah Pondok Indah. Ide itu muncul karena saat menulis itu saya sering lewat dari Pondok Indah, saya memikirkan bagaimana membuat TKP di sana. Lalu tambahkan sesuatu yang keren, misteri ruang terkunci dari dalam, dan lebih briliant lagi mekanisma ruang terkunci itu adalah pesan rahasia yang dibuat pelaku untuk sang detektif.
Untuk kasus yang lain, misalnya Mayat di Atap Sekolah, TKP-nya jelas di atap sekolah, para saksinya saya buat adalah anak-anak OSIS SMA Neunzig, kebetulan mereka adalah kelompok yang punya akses ke atas apa sekolah, selain anak-anak Pecinta Alam. Lalu korban yang tergeletak di sana saya buat meninggal dengan lusuk dan berpakaian seragam SMA, meski dia sudah bukan siswa SMA. Dan semua yang tertinggal di situ menjadi petunjuk penting bagian jawaban yang ada di akhir cerita.
Ketiga, penyelidikan dan metodenya.
Tahap pertama (mencari ide) dan tahap kedua (membuka cerita) itu sudah cukup sulit, tapi ini dia lebih sulit lagi. Kita sudah tahu siapa korbannya, kita tahu siapa si pelaku, tapi bagaimana proses menuju ke sana. Metode apa yang digunakan oleh si detektif untuk menemukan siapa si pelaku sesungguhnya. Bagian ini sungguh sulit, sebab itu kamu harus berlatih dan berlatih, membaca dan membaca ulang banyak cerita detektif untuk menemukan metode terbaik bagi si detektif kamu.
Sebagai contoh, Detektif Lincoln Rhyme dari Bone Collector, dia adalah detektif yang specialis menganalisa bukti fisik, terutama bukti mikro yang ditinggalkan pelaku di TKP.. Sedangkan Dr. Lightman dari serial Lie To Me dia menggunakan metode kinesik dan mikro gestur untuk mengungkap kebeneran dari para saksi dan terduga, dan seterusnya. Pembahas tentang metode penyelidik nanti akan saya buat artikel tersendiri.
Sedangkan untuk detektif yang saya punya, Detektif Fachrie, saya buat dia sebagai penulis cerita detektif. Dia baca banyak buku dan hafal berbagai macam plot kriminal di luar kepala, plus dia pernah berhadapan dengan penjahat sungguh sebelum memulai karir sebagai detektif. Metode penyelidikan Fachrie, tampak simpel dengan wawancara namun dia memiliki banyak referensi novel yang bisa dia bandingkan dengan wawancaranya.
Keempat, jawaban dari penyelidikan.
Bagus atau tidaknya sebuah novel detektif, menurut saya ditentukan di tahap akhir ini, jawaban dari penyelidikan. Di sini jawaban mesti logis sekaligus juga sangat mengejutkan. Dua hal yang sangat sulit sebenarnya, kita bisa punya sebuah kejutan, tapi ketika kejutan itu tidak logis maka hasilnya jelek.
Sebaliknya, jika semuanya sudah logis, petunjuk bertebaran di mana-mana, dan pembaca sudah bisa menebak siapa si pelaku, puzzle-nya begitu mudah dan ternyata benar, maka itu kurang greget. Asli, bagian ini sangat sulit. Kamu harus menganalisa lagi dan lagi arsitektur plot yang kamu buat. Beberapa teman bahkan menyarankan buat dulu endingnya, baru kemudian buat proses penyelidikan dan cerita utamanya. Flash forward atau mungkin retrospective dalam membuat alur ceritanya.
Kadang, iya ide itu ada muncul begitu saja, namun lebih banyak lagi tidak. Seperti semua cerita, kadang kita tahu bagian pembukaannya. Namun kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kadang kita tahu prosesnya -bagian tengahnya namun kita tidak tahu bagaimana harus membuat bagian awalnya. Dan beberapa senior penulis cerita detektif, mereka tahu endingnya namun tidak tahu bagaimana proses menuju ke sana. Artikel ini hanya sekedar garis besar, mungkin kamu bisa berimprovisasi dan berkreasi dengan versi kamu sendiri.
Nb: Thank you sudah mampir.
Teman-teman saya memiliki metode sendiri dalam menulis cerita detektif. Ada yang membuat puzzlenya dulu, baru kemudian memasukan puzzle / misteri ke dalam cerita. Ada juga yang membuat cerita dahulu, baru kemudian menentukan puzzle / misteri dan sebagainya. Sedangkan saya, saya punya cara sendiri dalam menulis cerita detektif. Saya bagi metodenya dalam 4 tahap yaitu;
Pertama, membuat tema atau ide dasar.
Cerita detektif sama seperti cerita-cerita lain harus memiliki tema, ide dasar yang menjadi bibit dari sebuah cerita. Bagian ini kadang gampang dan kadang juga sulit. Ide itu kadang muncul begitu saja dan kadang pula saya butuh waktu lama berkontemplasi untuk menemukan ide yang keren itu.
Contoh, tulisan saya kasus di Ize-Kaya, ide dasarnya adalah restoran n masakan Jepang. Dari ide dasar ini kemudian saya meriset semua hal tentang restoran dan masakan Jepang. Atau cerita Kematian Seorang Arsitek, di sini saya meriset semua hal tentang Arsitek, mulai dari istilah-istilah mereka hingga kemudian ke cara kerja mereka, bisnis mereka, dan seterusnya. Sedangkan kasus Mayat di Atap Sekolah, ide yang tersirat di benak ada hujan, malam hari, di sekolah, saya sering membayangkan hal itu dan itu begitu melankolis. Saya masukkan unsur pembunuhan, maka jadilah kasus Mayat di Atap Sekolah.
Kedua, pembuka cerita.
Bagian ini terdiri dari beberapa sub-bagian, pertama TKP kasus itu terjadi, kedua siapa saksi mata yang ada di sana, dan ketiga apa saja bukti yang tertinggal di sana, dan seterusnya jika kamu punya ide tambahan.
Sebagai contoh; cerita yang saya buat Triad Kematian. TKP-nya mengambil sebuah kamar di lantai 2 di daerah Pondok Indah. Ide itu muncul karena saat menulis itu saya sering lewat dari Pondok Indah, saya memikirkan bagaimana membuat TKP di sana. Lalu tambahkan sesuatu yang keren, misteri ruang terkunci dari dalam, dan lebih briliant lagi mekanisma ruang terkunci itu adalah pesan rahasia yang dibuat pelaku untuk sang detektif.
Untuk kasus yang lain, misalnya Mayat di Atap Sekolah, TKP-nya jelas di atap sekolah, para saksinya saya buat adalah anak-anak OSIS SMA Neunzig, kebetulan mereka adalah kelompok yang punya akses ke atas apa sekolah, selain anak-anak Pecinta Alam. Lalu korban yang tergeletak di sana saya buat meninggal dengan lusuk dan berpakaian seragam SMA, meski dia sudah bukan siswa SMA. Dan semua yang tertinggal di situ menjadi petunjuk penting bagian jawaban yang ada di akhir cerita.
Ketiga, penyelidikan dan metodenya.
Tahap pertama (mencari ide) dan tahap kedua (membuka cerita) itu sudah cukup sulit, tapi ini dia lebih sulit lagi. Kita sudah tahu siapa korbannya, kita tahu siapa si pelaku, tapi bagaimana proses menuju ke sana. Metode apa yang digunakan oleh si detektif untuk menemukan siapa si pelaku sesungguhnya. Bagian ini sungguh sulit, sebab itu kamu harus berlatih dan berlatih, membaca dan membaca ulang banyak cerita detektif untuk menemukan metode terbaik bagi si detektif kamu.
Sebagai contoh, Detektif Lincoln Rhyme dari Bone Collector, dia adalah detektif yang specialis menganalisa bukti fisik, terutama bukti mikro yang ditinggalkan pelaku di TKP.. Sedangkan Dr. Lightman dari serial Lie To Me dia menggunakan metode kinesik dan mikro gestur untuk mengungkap kebeneran dari para saksi dan terduga, dan seterusnya. Pembahas tentang metode penyelidik nanti akan saya buat artikel tersendiri.
Sedangkan untuk detektif yang saya punya, Detektif Fachrie, saya buat dia sebagai penulis cerita detektif. Dia baca banyak buku dan hafal berbagai macam plot kriminal di luar kepala, plus dia pernah berhadapan dengan penjahat sungguh sebelum memulai karir sebagai detektif. Metode penyelidikan Fachrie, tampak simpel dengan wawancara namun dia memiliki banyak referensi novel yang bisa dia bandingkan dengan wawancaranya.
Keempat, jawaban dari penyelidikan.
Bagus atau tidaknya sebuah novel detektif, menurut saya ditentukan di tahap akhir ini, jawaban dari penyelidikan. Di sini jawaban mesti logis sekaligus juga sangat mengejutkan. Dua hal yang sangat sulit sebenarnya, kita bisa punya sebuah kejutan, tapi ketika kejutan itu tidak logis maka hasilnya jelek.
Sebaliknya, jika semuanya sudah logis, petunjuk bertebaran di mana-mana, dan pembaca sudah bisa menebak siapa si pelaku, puzzle-nya begitu mudah dan ternyata benar, maka itu kurang greget. Asli, bagian ini sangat sulit. Kamu harus menganalisa lagi dan lagi arsitektur plot yang kamu buat. Beberapa teman bahkan menyarankan buat dulu endingnya, baru kemudian buat proses penyelidikan dan cerita utamanya. Flash forward atau mungkin retrospective dalam membuat alur ceritanya.
Kadang, iya ide itu ada muncul begitu saja, namun lebih banyak lagi tidak. Seperti semua cerita, kadang kita tahu bagian pembukaannya. Namun kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Kadang kita tahu prosesnya -bagian tengahnya namun kita tidak tahu bagaimana harus membuat bagian awalnya. Dan beberapa senior penulis cerita detektif, mereka tahu endingnya namun tidak tahu bagaimana proses menuju ke sana. Artikel ini hanya sekedar garis besar, mungkin kamu bisa berimprovisasi dan berkreasi dengan versi kamu sendiri.
Nb: Thank you sudah mampir.
Wednesday, September 27, 2017
Wanda dan Sakti
Petualangan Baru Dimulai
By Ftrohx
WANDA
Namaku Wanda, aku pernah kuliah, namun tak sampai lulus. Aku ingin sekali bekerja di kantoran, seperti teman-temanku yang lain, tapi sialnya aku tak memiliki ijasah S1. Jadi beginilah aku, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.
Aku pernah bekerja sebagai penjaga warnet, lalu penjaga toko elektronik, aku pernah jadi cleaning service, lalu bekerja di tempat fotocopy, penggandaan DVD, hingga terakhir aku bekerja sebagai SPG alat gelang kesehatan. Jujur, itu pekerjaan paling absurd yang pernah kujalani. Mereka menjual sesuatu yang sebenarnya nggak penting-penting banget, tapi dengan harga ratusan ribu. Dan aku yang berada di belakang meja tahu, harga sesungguhnya tidak semahal itu. Kemudian trend-nya berganti, barang-barang itu mulai tidak terjual, bossku tidak bisa membayar karyawan, dan kami berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Menganggur selama beberapa bulan, kemudian aku mendapati lowongan dari tetangga jauh.
"Hei, ada lowongan ini di Kalideres," ujarnya sambil memberikan sebuah kartu nama dengan alamat sebuah kantor.
Keesokan harinya aku ke sana.
Sialnya, aku terlambat, seharusnya interview pukul sembilan, namun aku sampai di sana pukul sepuluh. Sungguh, peluang itu terbuang begitu saja.
Jujur, aku belum pernah ke Kalideres, dan sejak pagi aku sudah berangkat ke sana, namun supir bus itu membuatku nyasar. Aku naik ojek pun juga salah alamat, hingga pukul sepuluh aku baru sampai di sana. Impianku untuk punya pekerjaan kantoranpun pupus.
Dua minggu berlalu setelah itu, seorang teman muncul di depan pintu rumahku.
"Ada lowongan ini," ucapnya sambil memberiku sebuah kartu nama.
Aku memicing dan membacanya. "Baker Street? Gue baru dengan nama itu?"
"Itu ada di dekat Sabang, Jakarta Pusat."
"Asli, gue baru tahu kalau ada nama jalan seperti ini?"
"Ya, di sanakan banyak bule dan kafe, mungkin karena itu mereka memberinya nama tersebut."
Aku menekuk bibir. "Mungkin."
Aku pernah beberapa kali ke jalan Sabang. Tempat itu punya banyak kafe dan jadi markas untuk para turis asing yang mencari penginapan murah. Aku ingat, dulu aku juga pernah berjalan ke sana untuk melamar sebuah pekerjaan. Ada sebuah kantor BUMN yang katanya butuh karyawan. Tetanggaku meyakinkan bahwa aku bisa masuk di sana. Namun begitu lamaran kutaruh di sana, berbulan hilang tak ada jawaban. Tapi aku suka petualangannya, entah mungkin karena jauh dari rumahku di Selatan, Jakarta Pusat memiliki aura magis. Sesuatu yang bikin aku selalu penasaran untuk menelusurinya.
Bertanya ke beberapa orang, akhirnya aku sampai di alamat yang terterah. Ruko Hudson di jalan Baker no. 22. Sialnya, panas begitu menyengat, keringat menetes dari dahi hingga ke daguku. Make up-ku pasti lutur. Tapi aku tak peduli, aku juga tidak begitu yakin dengan pekerjaan ini.
Baker no. 22, aku sempat berpikir bahwa ini adalah toko roti, namun melihat halaman depannya jelas bukan. Dia juga tidak tampak seperti perkantoran. Aku curiga, tempat ini adalah tempat penyalur tenaga kerja, dimana kamu harus bayar beberapa ratus ribu untuk kemudian diterima dan dikirim entah kemana. Tapi aku tetap penasaran apa yang ada dibalik pintu itu. Melangkah masuk, seluruh lantai satu adalah ruang yang kosong. Tak ada apapun, tapi aku bisa melihat jejak seretan di lantai, mungkin pernah ada yang berkantor di sini, kemudian masa kontrak mereka habis dan mereka pergi dari sini.
"Permisi, ada orang?" teriakku di ruang yang sepi.
Sialnya, tak ada jawaban selain gema dari suaraku sendiri.
Harusnya aku melangkah keluar meninggalkan tempat itu. Namun entah intuisi, insting, rasa penasaran, firasat bodoh, menuntunku untuk terus berjalan ke dalam. Di ujung ada tangga menuju ke lantai atas. Aku melangkah di sana, menaikan anak tangga, dan sampai di lantai 2. Di sana terdapat sebuah pintu bertulisan 22 B.
Ada suara televisi di sana, yang menjadi tanda ada penghuni di dalamnya.
"Permisi," ucapku sambil mengetuk.
Dan tak lama pintu terbuka dengan jantungku yang berdetak kencang.
"Hmm, iya ada apa?" ucap lelaki tinggi dengan rambut yang ikal.
"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."
"Oh begitu," wajahnya setengah jijik. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."
"PIndah?"
"Iya, pindah," diapun langsung menutup pintu.
Untuk beberapa detik aku termenung di sana, memandang pintu yang bercat warna karamel. Harusnya aku tidak naik ke sana, tapi entahlah aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian aku balik badan dan melangkah ke bawah. Belum sempat aku melangkah ke pintu keluar, aku mendengar suara langkah terburu mengejarku.
"Tunggu, ada lowongan," teriak pemuda di belakangku. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."
Aku termenung. Kali ini dia sudah mengenakan jakat dan ada tas gunung di tangan kanannya.
"Bisnis?" tanyaku.
"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."
Aku membelalak, detektif? Sungguh, aku tidak pernah mendengar ada orang yang bekerja sebagai detektif swasta di Jakarta. Maksudku, pekerjaan detektif hanya ada di cerita fiksi, lebih buruk lagi, aku nyaris tidak pernah melihat cerita detektif di pertelevisian Indonesia.
"Apa ini lelucon?" ucapku spontan.
"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda."
Kembali aku termenung. Aku sangat ingin bilang tidak, tapi lidahku tak mampu mengeluarkan suara.
Sementara itu dengan cepat dia berjalan ke mukaku. "Ok, saya jelaskan sambil jalan."
. . .
SAKTI
Akhir-akhir ini keadaan makin memburuk. Tak ada klien baru yang berarti tak ada pemasukan bagiku. Namaku Sakti, pekerjaanku detektif swasta, tepatnya detektif masalah cinta. Tidak banyak yang bisa kudeskripsikan tentang kehidupanku yang buruk belakangan ini..
Aku tinggal di lantai 2 ruko Hudson di gang Baker no. 22. Tepatnya berada di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Ruko ini adalah rumah sekaligus kantorku. Kamu bisa membayangkan betapa panasnya siang hingga sore di sini.
Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Huh, ceritanya panjang.
Dahulu, setelah aku resign dari pekerjaan sebagai satpam, aku mendapati pekerjaan baru sebagai sopir dari seorang manajer bank bernama Pak Akbar. Singkat cerita, Pak Akbar ini punya teman yang konon katanya si istrinya selingkuh. Aku kemudian ditugaskan oleh si boss –disela pekerjaan rutin sebagai supir pribadi– untuk menyelidiki si wanita tersebut. Aku diberi handphone kamera untuk memfoto setiap kegiatan si target. Aku mengumpulkan data-data serta fakta bahwa si istri memang selingkuh.
Selama dua bulan melakukan penyelidikan, data-data yang kudapati cukup banyak yang mengarahkan ke fakta bahwa perselingkuhan itu memang terjadi. Aku diberi hadiah oleh bossku. “Mobil ini buat kamu saja,” plus uang juga dari si klien. Lalu namaku dibicarakan banyak orang, hingga tak beberapa lama kasus lain serupapun datang. Aku memutuskan resign dari pekerjaan sebagai supir dan menyewa ruko ini sebagai kantor. Pekerjaan terus datang lagi dan aku merekrut beberapa orang sebagai asistenku di lapangan.
Tapi masa suram pun datang tanpaku antisipasi. Klien mulai jarang muncul dan tagihan makin menumpuk. Beberapa teman, menyarankanku untuk kembali ke pekerjaan lamaku, menjadi satpam atau menjadi supir taksi online.
Sungguh, aku tidak ingin kembali seperti dulu. Meski bossku yang terakhir itu sangat baik, tapi aku sudah berjanji padanya untuk menjadi sosok yang mandiri.
Sejujurnya, aku sulit berinteraksi dengan orang-orang yang tak sepaham denganku, apalagi harus bekerja dengan mereka yang tidak satu selera denganku. Seorang psikolog bilang, bahwa aku memang terlahir introvert dan sulit beradaptasi dengan lingkungan kerja. Tapi, aku sadar aku cukup pintar. Kepintaranku ini ku yakini sangat berguna untuk menjadi orang yang bebas mengerjakan apa yang aku mau.
Mereka bilang ini soal ego, aku adalah orang yang egois.
Aku pernah punya seorang kekasih. Dia wanita yang sangat pintar, dia bekerja di pengadilan. Namun karena pekerjaanku kadang ada dan kadang tidak ada, membuatnya memilih orang lain, seseorang yang punya kepastian gaji datang tepat tiap awal bulan. Mungkin gara-gara dia belakangan ini aku berpikir hal-hal negatif, semua menjadi suram, dan alam semesta membuat apa yang ada dibenakku menjadi sebuah realita. Kesuraman di mana-mana, termasuk klien yang lebih memilih ke agensi lain.
Aku punya saingan, mereka adalah Rana Agency.
Bangsatnya, mereka berkantor di ujung jalan ini juga. Dengan front office yang cerah gemilang ber-interior modern minimalis dengan tembok warna putih gading dan wangi lemon, plus para SPG cantik. Mereka punya banyak wanita yang bekerja di lapangan, dan para wanita ini bisa pergi kemanapun yang mereka mau tanpa diketahui. Jelas, mereka lebih efektif daripadaku yang laki-laki dengan tampilan mencolok. Tanpa pemasukan, jelas aku jadi pengangguran sungguhan. Tagihan terus menumpuk dan rasanya tak ada jalan keluar selain menutup kantor kecilku ini.
Tapi semua itu berubah sejak munculnya dia.
Pagi itu aku terbangun pukul 10. Samar-samar aku ingat semalaman, berada di kios rokok di depan gang., ngobrol dengan si penjaga kios dan seorang satpam yang selalu membicarakan artis dangdut. Sungguh, perbincangan sampah. Lalu pukul 3 pagi aku baru kembali ke ruko sambil menimbang-nimbang, apakah aku akan kembali menjadi supir di tempat bossku yang dulu atau tidak. Lalu aku jatuh tertidur di sofa.
Bangun tidur dengan tubuh serasa remuk, aku memasak mie instan seperti biasa dan menyalahkan televisi. Entah, tak ada yang jelas kutonton selain mendengar suara penyiar infotaiment. Lalu dering telepon itupun muncul, nama yang tertera adalah Fadil, si anak muda yang menggantikanku menjadi supir di kantor Pak Akbar setahun lalu.
“Iya, Dil ada apa?”
“Sudah dengar kabarnya Pak Akbar, Sak?”
“Belum ada apa?”
“Dia meninggal kemarin sore.”
“Innalillahi wa innaillaihi rojiun.”
“Bukan itu aja Sak, katanya dia meninggal bunuh diri.”
“Apa bunuh diri?”
“Iya, dia melompat dari gedung kantornya?”
“Serius?”
“Iya, serius.”
“Lah kok gue nggak dengar, gak ada di berita TV.”
“Mungkin belum disiarin kali.”
“Eh, ini serius?”
“Iya.”
“Terus ada apalagi?” aku nggak ingin berbasa-basi.
“Nyonya Akbar, Sak, dia yang meminta gue untuk menelpon lo.”
“Nelpon gue, ada apa?”
“Dia nggak percaya kalau suaminya bunuh diri lompat dari gedung, karena menurut dia semuanya baik-baik aja. Paginya mereka masih sarapan bareng, dan siangnya mereka masih teleponan dan semua baik seperti hari biasa.”
Aku menyernyit. “Iya, asli, gue juga kaget dengarnya sih.”
“Maka-nya itu, mending lo ke sini deh, bantu kami di sini.”
“Bantu gimana?”
“Lo kan detektif swasta, kami dengar juga pekerjaan lo bagus akhir-akhir ini. Jadi, keluarga meminta lo untuk menyelidiki kematian Pak Akbar.”
“Hei, gue memang detektif swasta, tapi gue bukan detektif swasta macam itu, lagipula kalau ini memang pembunuhan, kenapa nggak lo hubungi polisi?”
“Justru itu, kemarin polisi sudah memeriksa ke sini, dan kata mereka kematian Pak Akbar murni bunuh diri, karena nggak didapati tanda-tanda trauma lain ditubuhnya selain jatuh dari gedung dan lagipula saat dia melompat pintu di atap itu dia kunci dari luar hingga hanya dia sendiri yang ada di sana.”
“Fadil, asli gue bukan detektif macam itu, sungguh gue nggak bisa banyak bantu lo.”
“Ok, kalaupun lo nggak bisa bantu, lo ke sini deh ke pemakamannya, sebab banyak yang ingin kami bicarakan.”
Aku menghela napas dan terdiam untuk beberapa detik, sebelum menjawab. “Ok, gue ke sana.”
Huh sial, sungguh sial. Jantungku berdetak kencang dan tanganku bergetar menggenggam gagang telepon. Aku sudah lama tidak mengalami perasaan seperti ini, rasa cemas sekaligus excited yang sulit untukku deskripsikan.
Tok tok tok… Ketukan pintu mengejutkanku.
“Permisi,” lebih mengejutkan lagi itu suara seorang wanita.
Akupun membukanya. Demi Tuhan, aku tidak pernah menyangka ada SPG cantik yang tiba-tiba muncul di sini di depan pintuku. “Hmm, iya ada apa?”
"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."
Butuh beberapa detik untuk mencerna kata-katanya. “Oh begitu,” dan aku ingat, dia pasti mencari kantor travel yang di bawah. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."
"PIndah?"
"Iya, pindah,” otakku masih rada kacau dan mendadak pintu kututup.
Aku menarik napas dalam, mencoba berkonsentrasi. Apa yang harusku lakukan?
Dan layar-layar itu muncul di hadapanku, ingatan tentang Pak Akbar, ingatan tentang ruko ini, dan saingan kami Rana Agency. Sial, sial, sial. Aku harus berimporvisasi, aku harus bertindak lebih, melakukan sesuatu yang belum kucoba sebelumnya. Dan kesempatan itu tidak boleh.
Pintu kembali kubuka.
"Tunggu, ada lowongan," teriakku ke wanita yang beranjak pergi. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."
Dia menoleh. "Bisnis?"
"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."
"Apa ini lelucon?" balasnya.
"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda.”
Wanita itu termenung, begitupula denganku, entah aku harus bayar dia dengan apa, itu urusan nanti. Mungkin keluarga almarhum akan bayar di muka atau apalah. “Ok, saya jelaskan sambil jalan,” ucapku sambil mengenakan jaket dan melintas di sampingnya.
Sekilas, aku bisa melihat bibir yang naik tersenyum.
Aku merasakan hangat mentari menerpa wajahku. Dan dari sini, kisah panjang itupun dimulai.
. . .
By Ftrohx
WANDA
Namaku Wanda, aku pernah kuliah, namun tak sampai lulus. Aku ingin sekali bekerja di kantoran, seperti teman-temanku yang lain, tapi sialnya aku tak memiliki ijasah S1. Jadi beginilah aku, berpindah dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain.
Aku pernah bekerja sebagai penjaga warnet, lalu penjaga toko elektronik, aku pernah jadi cleaning service, lalu bekerja di tempat fotocopy, penggandaan DVD, hingga terakhir aku bekerja sebagai SPG alat gelang kesehatan. Jujur, itu pekerjaan paling absurd yang pernah kujalani. Mereka menjual sesuatu yang sebenarnya nggak penting-penting banget, tapi dengan harga ratusan ribu. Dan aku yang berada di belakang meja tahu, harga sesungguhnya tidak semahal itu. Kemudian trend-nya berganti, barang-barang itu mulai tidak terjual, bossku tidak bisa membayar karyawan, dan kami berakhir dengan pemutusan hubungan kerja. Menganggur selama beberapa bulan, kemudian aku mendapati lowongan dari tetangga jauh.
"Hei, ada lowongan ini di Kalideres," ujarnya sambil memberikan sebuah kartu nama dengan alamat sebuah kantor.
Keesokan harinya aku ke sana.
Sialnya, aku terlambat, seharusnya interview pukul sembilan, namun aku sampai di sana pukul sepuluh. Sungguh, peluang itu terbuang begitu saja.
Jujur, aku belum pernah ke Kalideres, dan sejak pagi aku sudah berangkat ke sana, namun supir bus itu membuatku nyasar. Aku naik ojek pun juga salah alamat, hingga pukul sepuluh aku baru sampai di sana. Impianku untuk punya pekerjaan kantoranpun pupus.
Dua minggu berlalu setelah itu, seorang teman muncul di depan pintu rumahku.
"Ada lowongan ini," ucapnya sambil memberiku sebuah kartu nama.
Aku memicing dan membacanya. "Baker Street? Gue baru dengan nama itu?"
"Itu ada di dekat Sabang, Jakarta Pusat."
"Asli, gue baru tahu kalau ada nama jalan seperti ini?"
"Ya, di sanakan banyak bule dan kafe, mungkin karena itu mereka memberinya nama tersebut."
Aku menekuk bibir. "Mungkin."
Aku pernah beberapa kali ke jalan Sabang. Tempat itu punya banyak kafe dan jadi markas untuk para turis asing yang mencari penginapan murah. Aku ingat, dulu aku juga pernah berjalan ke sana untuk melamar sebuah pekerjaan. Ada sebuah kantor BUMN yang katanya butuh karyawan. Tetanggaku meyakinkan bahwa aku bisa masuk di sana. Namun begitu lamaran kutaruh di sana, berbulan hilang tak ada jawaban. Tapi aku suka petualangannya, entah mungkin karena jauh dari rumahku di Selatan, Jakarta Pusat memiliki aura magis. Sesuatu yang bikin aku selalu penasaran untuk menelusurinya.
Bertanya ke beberapa orang, akhirnya aku sampai di alamat yang terterah. Ruko Hudson di jalan Baker no. 22. Sialnya, panas begitu menyengat, keringat menetes dari dahi hingga ke daguku. Make up-ku pasti lutur. Tapi aku tak peduli, aku juga tidak begitu yakin dengan pekerjaan ini.
Baker no. 22, aku sempat berpikir bahwa ini adalah toko roti, namun melihat halaman depannya jelas bukan. Dia juga tidak tampak seperti perkantoran. Aku curiga, tempat ini adalah tempat penyalur tenaga kerja, dimana kamu harus bayar beberapa ratus ribu untuk kemudian diterima dan dikirim entah kemana. Tapi aku tetap penasaran apa yang ada dibalik pintu itu. Melangkah masuk, seluruh lantai satu adalah ruang yang kosong. Tak ada apapun, tapi aku bisa melihat jejak seretan di lantai, mungkin pernah ada yang berkantor di sini, kemudian masa kontrak mereka habis dan mereka pergi dari sini.
"Permisi, ada orang?" teriakku di ruang yang sepi.
Sialnya, tak ada jawaban selain gema dari suaraku sendiri.
Harusnya aku melangkah keluar meninggalkan tempat itu. Namun entah intuisi, insting, rasa penasaran, firasat bodoh, menuntunku untuk terus berjalan ke dalam. Di ujung ada tangga menuju ke lantai atas. Aku melangkah di sana, menaikan anak tangga, dan sampai di lantai 2. Di sana terdapat sebuah pintu bertulisan 22 B.
Ada suara televisi di sana, yang menjadi tanda ada penghuni di dalamnya.
"Permisi," ucapku sambil mengetuk.
Dan tak lama pintu terbuka dengan jantungku yang berdetak kencang.
"Hmm, iya ada apa?" ucap lelaki tinggi dengan rambut yang ikal.
"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."
"Oh begitu," wajahnya setengah jijik. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."
"PIndah?"
"Iya, pindah," diapun langsung menutup pintu.
Untuk beberapa detik aku termenung di sana, memandang pintu yang bercat warna karamel. Harusnya aku tidak naik ke sana, tapi entahlah aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi. Kemudian aku balik badan dan melangkah ke bawah. Belum sempat aku melangkah ke pintu keluar, aku mendengar suara langkah terburu mengejarku.
"Tunggu, ada lowongan," teriak pemuda di belakangku. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."
Aku termenung. Kali ini dia sudah mengenakan jakat dan ada tas gunung di tangan kanannya.
"Bisnis?" tanyaku.
"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."
Aku membelalak, detektif? Sungguh, aku tidak pernah mendengar ada orang yang bekerja sebagai detektif swasta di Jakarta. Maksudku, pekerjaan detektif hanya ada di cerita fiksi, lebih buruk lagi, aku nyaris tidak pernah melihat cerita detektif di pertelevisian Indonesia.
"Apa ini lelucon?" ucapku spontan.
"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda."
Kembali aku termenung. Aku sangat ingin bilang tidak, tapi lidahku tak mampu mengeluarkan suara.
Sementara itu dengan cepat dia berjalan ke mukaku. "Ok, saya jelaskan sambil jalan."
. . .
SAKTI
Akhir-akhir ini keadaan makin memburuk. Tak ada klien baru yang berarti tak ada pemasukan bagiku. Namaku Sakti, pekerjaanku detektif swasta, tepatnya detektif masalah cinta. Tidak banyak yang bisa kudeskripsikan tentang kehidupanku yang buruk belakangan ini..
Aku tinggal di lantai 2 ruko Hudson di gang Baker no. 22. Tepatnya berada di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Ruko ini adalah rumah sekaligus kantorku. Kamu bisa membayangkan betapa panasnya siang hingga sore di sini.
Bagaimana aku bisa berada di tempat ini? Huh, ceritanya panjang.
Dahulu, setelah aku resign dari pekerjaan sebagai satpam, aku mendapati pekerjaan baru sebagai sopir dari seorang manajer bank bernama Pak Akbar. Singkat cerita, Pak Akbar ini punya teman yang konon katanya si istrinya selingkuh. Aku kemudian ditugaskan oleh si boss –disela pekerjaan rutin sebagai supir pribadi– untuk menyelidiki si wanita tersebut. Aku diberi handphone kamera untuk memfoto setiap kegiatan si target. Aku mengumpulkan data-data serta fakta bahwa si istri memang selingkuh.
Selama dua bulan melakukan penyelidikan, data-data yang kudapati cukup banyak yang mengarahkan ke fakta bahwa perselingkuhan itu memang terjadi. Aku diberi hadiah oleh bossku. “Mobil ini buat kamu saja,” plus uang juga dari si klien. Lalu namaku dibicarakan banyak orang, hingga tak beberapa lama kasus lain serupapun datang. Aku memutuskan resign dari pekerjaan sebagai supir dan menyewa ruko ini sebagai kantor. Pekerjaan terus datang lagi dan aku merekrut beberapa orang sebagai asistenku di lapangan.
Tapi masa suram pun datang tanpaku antisipasi. Klien mulai jarang muncul dan tagihan makin menumpuk. Beberapa teman, menyarankanku untuk kembali ke pekerjaan lamaku, menjadi satpam atau menjadi supir taksi online.
Sungguh, aku tidak ingin kembali seperti dulu. Meski bossku yang terakhir itu sangat baik, tapi aku sudah berjanji padanya untuk menjadi sosok yang mandiri.
Sejujurnya, aku sulit berinteraksi dengan orang-orang yang tak sepaham denganku, apalagi harus bekerja dengan mereka yang tidak satu selera denganku. Seorang psikolog bilang, bahwa aku memang terlahir introvert dan sulit beradaptasi dengan lingkungan kerja. Tapi, aku sadar aku cukup pintar. Kepintaranku ini ku yakini sangat berguna untuk menjadi orang yang bebas mengerjakan apa yang aku mau.
Mereka bilang ini soal ego, aku adalah orang yang egois.
Aku pernah punya seorang kekasih. Dia wanita yang sangat pintar, dia bekerja di pengadilan. Namun karena pekerjaanku kadang ada dan kadang tidak ada, membuatnya memilih orang lain, seseorang yang punya kepastian gaji datang tepat tiap awal bulan. Mungkin gara-gara dia belakangan ini aku berpikir hal-hal negatif, semua menjadi suram, dan alam semesta membuat apa yang ada dibenakku menjadi sebuah realita. Kesuraman di mana-mana, termasuk klien yang lebih memilih ke agensi lain.
Aku punya saingan, mereka adalah Rana Agency.
Bangsatnya, mereka berkantor di ujung jalan ini juga. Dengan front office yang cerah gemilang ber-interior modern minimalis dengan tembok warna putih gading dan wangi lemon, plus para SPG cantik. Mereka punya banyak wanita yang bekerja di lapangan, dan para wanita ini bisa pergi kemanapun yang mereka mau tanpa diketahui. Jelas, mereka lebih efektif daripadaku yang laki-laki dengan tampilan mencolok. Tanpa pemasukan, jelas aku jadi pengangguran sungguhan. Tagihan terus menumpuk dan rasanya tak ada jalan keluar selain menutup kantor kecilku ini.
Tapi semua itu berubah sejak munculnya dia.
Pagi itu aku terbangun pukul 10. Samar-samar aku ingat semalaman, berada di kios rokok di depan gang., ngobrol dengan si penjaga kios dan seorang satpam yang selalu membicarakan artis dangdut. Sungguh, perbincangan sampah. Lalu pukul 3 pagi aku baru kembali ke ruko sambil menimbang-nimbang, apakah aku akan kembali menjadi supir di tempat bossku yang dulu atau tidak. Lalu aku jatuh tertidur di sofa.
Bangun tidur dengan tubuh serasa remuk, aku memasak mie instan seperti biasa dan menyalahkan televisi. Entah, tak ada yang jelas kutonton selain mendengar suara penyiar infotaiment. Lalu dering telepon itupun muncul, nama yang tertera adalah Fadil, si anak muda yang menggantikanku menjadi supir di kantor Pak Akbar setahun lalu.
“Iya, Dil ada apa?”
“Sudah dengar kabarnya Pak Akbar, Sak?”
“Belum ada apa?”
“Dia meninggal kemarin sore.”
“Innalillahi wa innaillaihi rojiun.”
“Bukan itu aja Sak, katanya dia meninggal bunuh diri.”
“Apa bunuh diri?”
“Iya, dia melompat dari gedung kantornya?”
“Serius?”
“Iya, serius.”
“Lah kok gue nggak dengar, gak ada di berita TV.”
“Mungkin belum disiarin kali.”
“Eh, ini serius?”
“Iya.”
“Terus ada apalagi?” aku nggak ingin berbasa-basi.
“Nyonya Akbar, Sak, dia yang meminta gue untuk menelpon lo.”
“Nelpon gue, ada apa?”
“Dia nggak percaya kalau suaminya bunuh diri lompat dari gedung, karena menurut dia semuanya baik-baik aja. Paginya mereka masih sarapan bareng, dan siangnya mereka masih teleponan dan semua baik seperti hari biasa.”
Aku menyernyit. “Iya, asli, gue juga kaget dengarnya sih.”
“Maka-nya itu, mending lo ke sini deh, bantu kami di sini.”
“Bantu gimana?”
“Lo kan detektif swasta, kami dengar juga pekerjaan lo bagus akhir-akhir ini. Jadi, keluarga meminta lo untuk menyelidiki kematian Pak Akbar.”
“Hei, gue memang detektif swasta, tapi gue bukan detektif swasta macam itu, lagipula kalau ini memang pembunuhan, kenapa nggak lo hubungi polisi?”
“Justru itu, kemarin polisi sudah memeriksa ke sini, dan kata mereka kematian Pak Akbar murni bunuh diri, karena nggak didapati tanda-tanda trauma lain ditubuhnya selain jatuh dari gedung dan lagipula saat dia melompat pintu di atap itu dia kunci dari luar hingga hanya dia sendiri yang ada di sana.”
“Fadil, asli gue bukan detektif macam itu, sungguh gue nggak bisa banyak bantu lo.”
“Ok, kalaupun lo nggak bisa bantu, lo ke sini deh ke pemakamannya, sebab banyak yang ingin kami bicarakan.”
Aku menghela napas dan terdiam untuk beberapa detik, sebelum menjawab. “Ok, gue ke sana.”
Huh sial, sungguh sial. Jantungku berdetak kencang dan tanganku bergetar menggenggam gagang telepon. Aku sudah lama tidak mengalami perasaan seperti ini, rasa cemas sekaligus excited yang sulit untukku deskripsikan.
Tok tok tok… Ketukan pintu mengejutkanku.
“Permisi,” lebih mengejutkan lagi itu suara seorang wanita.
Akupun membukanya. Demi Tuhan, aku tidak pernah menyangka ada SPG cantik yang tiba-tiba muncul di sini di depan pintuku. “Hmm, iya ada apa?”
"Saya Wanda, saya diberi kartu alamat ini, kata teman saya ada lowongan pekerjaan di sini."
Butuh beberapa detik untuk mencerna kata-katanya. “Oh begitu,” dan aku ingat, dia pasti mencari kantor travel yang di bawah. "Sayang sekali kantornya sudah pindah."
"PIndah?"
"Iya, pindah,” otakku masih rada kacau dan mendadak pintu kututup.
Aku menarik napas dalam, mencoba berkonsentrasi. Apa yang harusku lakukan?
Dan layar-layar itu muncul di hadapanku, ingatan tentang Pak Akbar, ingatan tentang ruko ini, dan saingan kami Rana Agency. Sial, sial, sial. Aku harus berimporvisasi, aku harus bertindak lebih, melakukan sesuatu yang belum kucoba sebelumnya. Dan kesempatan itu tidak boleh.
Pintu kembali kubuka.
"Tunggu, ada lowongan," teriakku ke wanita yang beranjak pergi. "Sungguh saya butuh bantuan anda, untuk bisnis yang sedang saya jalani."
Dia menoleh. "Bisnis?"
"Iya, saya buka firma detektif, belum resmi tapi saya butuh perempuan sebagai asisten saya di lapangan."
"Apa ini lelucon?" balasnya.
"Tidak, ini sungguhan, dan saya akan bayar anda.”
Wanita itu termenung, begitupula denganku, entah aku harus bayar dia dengan apa, itu urusan nanti. Mungkin keluarga almarhum akan bayar di muka atau apalah. “Ok, saya jelaskan sambil jalan,” ucapku sambil mengenakan jaket dan melintas di sampingnya.
Sekilas, aku bisa melihat bibir yang naik tersenyum.
Aku merasakan hangat mentari menerpa wajahku. Dan dari sini, kisah panjang itupun dimulai.
. . .
Sunday, September 24, 2017
Talk About World Greatest Detective
By Ftrohx
Gelar "World Greatest Detective" ibarat sebuah tropi dari pertandingan tinju kelas berat. Dia tidak hanya milik satu orang, tapi oleh beberapa. Dan kadang gelar itu berpindah dari satu ke yang lainnya.
Ok, langsung saja, di bawah ini adalah karakter yang punya julukan sebagai World Greatest Detective.
01. Sherlock Holmes
"Well, I have a trade of my own. I suppose I am the only one in the world. I'm a consulting detective, if you can understand what that is." - Sherlock Holmes, Study in Scarlet
Holmes, memang bukan detektif fiksi pertama, tapi dengan lahirnya dia, kata detektif menjadi begitu populer. Lebih dari itu, bahkan sekarang nama 'Sherlock' sendiri sering menjadi kata ganti untuk 'detektif' atau 'jenius' (selain Einstein).
Sherlock Holmes lahir di akhir abad 19, di mana Eropa sedang begitu gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke Asia, ilmuwan tumbuh subur di era itu dan begitu banyak penemuan-penemuan baru yang mencengangkan yang menjadi headline di media. Begitu juga dengan berita-berita sensasional, penny dreadful yang mengisi halaman-halaman majalah.
Lalu Holmes muncul di sana di Baker street 221B, di mana datang seorang dokter veteran bernama John Watson yang juga sedang butuh tempat tinggal sementara. Holmes memperkenalkan diri, bahwa dia adalah konsultan detektif. Satu-satunya yang terbaik yang ada di dunia. Dia mengaku sebagai penemu di bidang metodologi pengungkapan kasus kejahatan. Dia menemukan metode deduksi yang tidak pernah dimiliki oleh penyelidik lain.
Baginya, semua orang begitu lambat dan tak berilmu. Semua begitu bodoh dalam memecahkan kasus yang jelas solusi begitu nyata di bawah hidungnya. Begitu angkuh, sombong, dan arogan itu Holmes. Dan itulah yang membuat kita begitu menyukainya, dia begitu komikal. Begitu percaya diri namun kadang bikin kesalahan juga.
Memang Holmes versi Conan Doyle tidak begitu menunjukan bahwa sang detektif adalah yang terbaik di seluruh dunia. Namun di versi-versi modernnya, seperti yang diperankan Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch, dengan kasus-kasus super-berat yang nyaris mustahil dipecahkan oleh orang lain. Holmes menunjukan bahwa dirinya lebih dari sekedar penyelidik swasta, dia the greatest detective in the world.
02. Hercule Poirot
"My name is Hercule Poirot, and I'm probably the greatest detective in the world." - Hercule Poirot, Murder in the Orient Express.
Jika diibaratkan, Sherlock Holmes dan Hercule Poirot adalah Mike Tyson dan Holyfield. Mereka petinju kelas berat dan sama-sama memegang gelar juara dunia. Meski -seperti yang saya bilang di atas- gelar itu berpindah-pindah.
Hercule Poirot menunjukkan kelasnya di debut novel Mysterious Affair at Style karya Agatha Christie. Jujur, novel itu adalah salah satu favorit saya. Di saat pembunuh lain memikirkan cara membunuh yang efektif, di novel ini sang pembunuh fokus pada strategi lolos dari hukum sebelum dia melakukan aksi pembunuhan. Gilanya, dengan plot yang berlapis-lapis Hercule Poirot tetap bisa membongkar si penjahat dengan bukti-bukti yang signifikan.
Lalu masterpiece lainnya adalah Murder in the Orient Express. Ini kasus pembunuhan yang nyaris sempurna. Ada banyak saksi sekaligus terduga pelaku pembunuhan. Dan yang lebih brilliant, masing-masing dari saksi mata yang ditanya melemparkan kecurigaan pembunuh ke yang lain dan yang lain membeli alibi pada tiap mereka yang ada di sana. Seperti mozaik rumit yang saling menyilang antara satu dengan yang lain. Kasus super-rumit yang mustahil dipecahkan, namun Poirot sang detektif bisa memecahkan apa yang detektif lain tidak bisa pecahkan. Jelas, kasus yang dia tangani setara dengan gelar yang disematkan kepadanya, world greatest detective.
Sejujurnya, jikalau kita menengok ke masa lalu, ke era golden age. Menurut penulis, tingkat kerumitan dan kedalaman kasus, apa yang ditulis Agatha Christie dalam kisah-kisah Poirot jauh lebih dalam daripada Sherlock karya Arthur Conan Doyle. Dan dari kesulitan-kesulitan yang dia hadapi, Poirot sangat layak menyandang gelar world greatest detective.
03. Bruce Wayne
"Batman is regarded as one of the world's greatest detectives, if not the world's greatest crime solver." - Mike Conray, 500 Great Comic Book Heroes.
Dari empat film Batman sebelumnya, versi Micheal Keaton, Val Kilmer, dan George Clooney. Saya melihat dia cuma sebagai orang kaya yang freak yang hobi menghajar para penjahat yang juga berpenampilan aneh. Sungguh, dia jauh dari seorang penyelidik legendaris macam Holmes.
Sampai kemudian hadir, Batman versi Christopher Nolan. Di sinilah evolusi itu terjadi. Cerita jauh lebih dalam, dengan musuh yang lebih filosofis dan very sophisticated.
Cerita Batman dimulai dari awal lagi, bagaimana seorang Bruce Wayne bertumbuh dan bertransformasi menjadi sosok Batman, apa latar belakangnya dan siapa sang guru sebenarnya? Lebih besar lagi, mereka memulainya dengan Ras’ Al Ghul. Bagian pertama memang hebat, tapi yang kedua dia jauh lebih hebat lagi. Masuk ke Dark Knight, muncullah sang Joker Heath Ledger, di sini saya melihat Batman lebih dari karakter-karakter Batman yang ada sebelumnya. Dia bukan sekedar pria bertopeng yang gebukin penjahat di malam hari, dia adalah detektif super. Kasus yang ditanganinya berada di level ikan paus dengan plot dibalik plot dibalik plot, penuh dengan kejutan. Gilanya, Batman bisa meng-counter apa yang terjadi selanjutnya. Itu kenapa menurut saya dia layak disebut world greatest detective.
Dan seperti yang saya bilang ditulisan sebelumnya, gelar itu jadi beban tersendiri untuk film-film Batman selanjutnya. Bahkan naskah Batman versi Ben Affleck pun ditolak. Asli, saya bisa membayangkan semakin ke sini semakin tinggi standar cerita untuk The Caped Crusader ini.
04. L. Lawliet
"For him, this case was just one of many parallel investigations. How else could he maintain his reputation as the world’s greatest detective?" - Mello, Los Angeles BB Murder
Sejujurnya, L. lah detektif yang pertama yang benar-benar saya kenal. Saya membaca komik Death Note dari bab pertama sampai yang terakhir, jauh sebelum saya baca novel Sherlock Holmes ataupun kisah Hercule Poirot. Di saat teman-teman yang lain belajar fiksi detektif dari Conan Edogawa, justru saya belajar dari si kurus berwajah vokalis band emo ini.
L. awalnya seperti Batman, dia adalah sosok rahasia, seorang jenius yang bersembunyi dibalik bayangan. Dia yang hanya dikenal melalui simbol huruf L. besar dengan font. Old English MT. Dari narasi Tsugumi Ohba, L. adalah legenda, dia adalah detektif bayangan yang sering membantu ICPO (Interpol) untuk memecahkan kasus-kasus kejahatan besar yang tak terpecahkan. Namun kemudian L. yang selama ini berada di dalam bayangan, tiba-tiba muncul di permukaan saat dia berhadapan dengan Kira (si pembunuh berantai) dengan Death Note-nya.
L. memiliki seluruh keahlian yang harus dimiliki detektif super, dia ahli dalam mengamati perilaku dan juga ahli merangkai plot. Namun L. diikat oleh aturan, dia harus bisa menemukan bukti pembunuhan yang dilakukan Kira. Bukti yang jelas nyaris tidak ada karena dengan Death Note, Kira bisa membunuh orang dari jauh tanpa jejak dan seolah tanpa sebab yang nyata. Bagi detektif lain yang terikat police procedural, jelas nyaris memustahil memecahkan kasus sebesar itu, namun L. terus membuat analisa logis tentang apa yang terjadi, termasuk juga alat pembunuh yaitu buku yang bisa mengambil nyawa orang dari nama yang ditulis di atas kertasnya.
Dari novel prequel-nya yaitu Los Angeles BB Murder, L. dibuat lebih besar lagi. Si narator mendeskripsikannya sebagai otak paling brilliant yang ada di dunia pada saat itu. Apa yang L. kerjakan sendirian, setara dengan apa yang dikerjakan Kepolisian, Departemen Keamanan, dan Badan Intelijen sekaligus. Asli, si narator mendeskripsikannya dengan sangat berlebihan. Dengan segala kemampuannya itu, si narator menjuluki L. the world greatest detective.
Sialnya, L. versi komik tidak cukup pintar menghadapi Kira, dan berakhir dengan kematian yang begitu mudah. Syukurnya, di versi film mereka memperbaiki itu dan membuat L. menang atas Kira. Huhuhu. Tetap saja, di luar itu, Tsugumi Ohba tidak punya cerita L. yang cukup signifikan untuk membuatnya menjadi the greatest detective.
05. Robert Langdon
Aslinya, Langdon bukan seorang detektif, dia adalah ilmuwan sekaligus dosen simbologi di Harvard.
Dia adalah ahlinya mengungkap sejarah dan simbol-simbol kuno, sekaligus pakar dalam mengungkap teori-teori konspirasi. Dia begitu ahli di bidang ini, sampai-sampai tak ada yang menandinginya memecahkan plot historical dan ancient mystery –sampai saat ini– yang bahkan membuat William Baskerville dan Alan Grant menjadi produk antik di hadapannya
Sebagai protagonis utama, fungsi Robert Langdon bukan sebagai dosen atau konsultan yang didatangi polisi dan dimintai bantuan keahliannya, bukan. Dia ibarat Indiana Jones si pemburu harta karun yang dikawinkan dengan Sherlock Holmes si pemecah puzzle di The Dancing Men. Langdon berada di jalanan dan bertaruh nyawa di tiap liku plot yang dia lalui.
Secara garis besar, Langdon memulai debut di novel Angels and Demons, lalu The Da Vinci Code, kemudian The Lost Symbol, dan Inferno. Tahun ini dia juga akan muncul di novel terbaru Dan Brown yaitu The Origin (yang saya belum tahu premisnya seperti apa).
Kenapa Robert Langdon saya masukan di list world greatest detective?
Sebab dalam novel-novelnya, dia masuk dalam petualangan memecahkan misteri yang nyaris mustahil dipecahkan oleh manusia biasa.
Tiap novel Langdon adalah sebuah petualangan panjang, ratusan halaman, namun dengan timeline yang sangat ketat. Dari 500 halaman, biasanya itu merupakan petualangan sangat pelik Langdon yang dia hadapi dalam waktu satu hari. Bahkan novel Angels and Demon yang lebih dari 500 halaman itu, merupakan kisah petualangan Robert Langdon selama satu malam di Vatican City.
Kejeniusan dari Dan Brown adalah bagaimana dia bisa meliukan waktu yang begitu panjang (plus dengan kasus yang begitu pelik) menjadi sebuah kisah yang dilalui Langdon hanya dalam satu malam.
. . .
Beban berat gelar world greatest detective.
Saat ini kebanyakan pembaca sudah pintar dan mereka bisa dengan mudah mengetahui yang mana yang berkualitas dan yang mana yang kurang berkualitas. Kita nggak bisa menipu pembaca hanya dengan menyematkan gelar world greatest detective di depan karakter kita, karena gelar dan julukan saja nggak cukup.
Pembaca butuh bukti, mereka ingin melihat si tokoh struggling dengan hidupnya. Mereka ingin lihat si tokoh menghadapi kasus, menghadapi sesuatu yang mustahil untuk dipecahkan. Mereka butuh cerita petualgan, mereka ingin melihat drama-nya, kematian dan keputusasaan. Mereka butuh gagasan besar, konflik yang world class dan musuh yang layak disebut grande.
Singkatnya, dibutuhkan dedikasi, kontinuitas, banyaknya canon, dan berbagai versi adaptasi untuk membuat seorang tokoh detektif, layak disematkan gelar world greatest detective.
Dan menurut saya ada tiga tokoh kuat yang cukup stabil memegang gelar itu, mereka adalah Sherlock Holmes, Hercule Poirot, dan Bruce Wayne. Nama mereka terus muncul, terus dibicarakan orang, dan saya yakin akan terus dibuat versi baru dan barunya lagi di masa depan.
Di bawahnya yang akan menyusul –menurut saya– ada Rorschach dari Watchmen, Robert Langdon dari Dan Brown, dan L. Lawliet dari Death Note. Tapi kandidat yang paling kuat menurut saya adalah Langdon, karena originalitasnya dan specialisasi misteri yang dia pecahkan.
L. lawliet juga saya rasa akan menyusul, sebab dia nerd young detective yang khas milenial banget. Saya yakin akan dibuat versi adaptasi lagi, dan mungkin versi turunannya, hacker-detective atau semacamnya. Sedangkan Rorschach, dia legenda dari Watchmen versi Zack Synder, dan rumor bahwa mereka akan membuat versi baru dari Watchmen, namanya tetap akan dibicarakan banyak orang.
. . .
Gelar "World Greatest Detective" ibarat sebuah tropi dari pertandingan tinju kelas berat. Dia tidak hanya milik satu orang, tapi oleh beberapa. Dan kadang gelar itu berpindah dari satu ke yang lainnya.
Ok, langsung saja, di bawah ini adalah karakter yang punya julukan sebagai World Greatest Detective.
01. Sherlock Holmes
"Well, I have a trade of my own. I suppose I am the only one in the world. I'm a consulting detective, if you can understand what that is." - Sherlock Holmes, Study in Scarlet
Holmes, memang bukan detektif fiksi pertama, tapi dengan lahirnya dia, kata detektif menjadi begitu populer. Lebih dari itu, bahkan sekarang nama 'Sherlock' sendiri sering menjadi kata ganti untuk 'detektif' atau 'jenius' (selain Einstein).
Sherlock Holmes lahir di akhir abad 19, di mana Eropa sedang begitu gencar-gencarnya melakukan ekspansi ke Asia, ilmuwan tumbuh subur di era itu dan begitu banyak penemuan-penemuan baru yang mencengangkan yang menjadi headline di media. Begitu juga dengan berita-berita sensasional, penny dreadful yang mengisi halaman-halaman majalah.
Lalu Holmes muncul di sana di Baker street 221B, di mana datang seorang dokter veteran bernama John Watson yang juga sedang butuh tempat tinggal sementara. Holmes memperkenalkan diri, bahwa dia adalah konsultan detektif. Satu-satunya yang terbaik yang ada di dunia. Dia mengaku sebagai penemu di bidang metodologi pengungkapan kasus kejahatan. Dia menemukan metode deduksi yang tidak pernah dimiliki oleh penyelidik lain.
Baginya, semua orang begitu lambat dan tak berilmu. Semua begitu bodoh dalam memecahkan kasus yang jelas solusi begitu nyata di bawah hidungnya. Begitu angkuh, sombong, dan arogan itu Holmes. Dan itulah yang membuat kita begitu menyukainya, dia begitu komikal. Begitu percaya diri namun kadang bikin kesalahan juga.
Memang Holmes versi Conan Doyle tidak begitu menunjukan bahwa sang detektif adalah yang terbaik di seluruh dunia. Namun di versi-versi modernnya, seperti yang diperankan Robert Downey Jr. dan Benedict Cumberbatch, dengan kasus-kasus super-berat yang nyaris mustahil dipecahkan oleh orang lain. Holmes menunjukan bahwa dirinya lebih dari sekedar penyelidik swasta, dia the greatest detective in the world.
02. Hercule Poirot
"My name is Hercule Poirot, and I'm probably the greatest detective in the world." - Hercule Poirot, Murder in the Orient Express.
Jika diibaratkan, Sherlock Holmes dan Hercule Poirot adalah Mike Tyson dan Holyfield. Mereka petinju kelas berat dan sama-sama memegang gelar juara dunia. Meski -seperti yang saya bilang di atas- gelar itu berpindah-pindah.
Hercule Poirot menunjukkan kelasnya di debut novel Mysterious Affair at Style karya Agatha Christie. Jujur, novel itu adalah salah satu favorit saya. Di saat pembunuh lain memikirkan cara membunuh yang efektif, di novel ini sang pembunuh fokus pada strategi lolos dari hukum sebelum dia melakukan aksi pembunuhan. Gilanya, dengan plot yang berlapis-lapis Hercule Poirot tetap bisa membongkar si penjahat dengan bukti-bukti yang signifikan.
Lalu masterpiece lainnya adalah Murder in the Orient Express. Ini kasus pembunuhan yang nyaris sempurna. Ada banyak saksi sekaligus terduga pelaku pembunuhan. Dan yang lebih brilliant, masing-masing dari saksi mata yang ditanya melemparkan kecurigaan pembunuh ke yang lain dan yang lain membeli alibi pada tiap mereka yang ada di sana. Seperti mozaik rumit yang saling menyilang antara satu dengan yang lain. Kasus super-rumit yang mustahil dipecahkan, namun Poirot sang detektif bisa memecahkan apa yang detektif lain tidak bisa pecahkan. Jelas, kasus yang dia tangani setara dengan gelar yang disematkan kepadanya, world greatest detective.
Sejujurnya, jikalau kita menengok ke masa lalu, ke era golden age. Menurut penulis, tingkat kerumitan dan kedalaman kasus, apa yang ditulis Agatha Christie dalam kisah-kisah Poirot jauh lebih dalam daripada Sherlock karya Arthur Conan Doyle. Dan dari kesulitan-kesulitan yang dia hadapi, Poirot sangat layak menyandang gelar world greatest detective.
03. Bruce Wayne
"Batman is regarded as one of the world's greatest detectives, if not the world's greatest crime solver." - Mike Conray, 500 Great Comic Book Heroes.
Dari empat film Batman sebelumnya, versi Micheal Keaton, Val Kilmer, dan George Clooney. Saya melihat dia cuma sebagai orang kaya yang freak yang hobi menghajar para penjahat yang juga berpenampilan aneh. Sungguh, dia jauh dari seorang penyelidik legendaris macam Holmes.
Sampai kemudian hadir, Batman versi Christopher Nolan. Di sinilah evolusi itu terjadi. Cerita jauh lebih dalam, dengan musuh yang lebih filosofis dan very sophisticated.
Cerita Batman dimulai dari awal lagi, bagaimana seorang Bruce Wayne bertumbuh dan bertransformasi menjadi sosok Batman, apa latar belakangnya dan siapa sang guru sebenarnya? Lebih besar lagi, mereka memulainya dengan Ras’ Al Ghul. Bagian pertama memang hebat, tapi yang kedua dia jauh lebih hebat lagi. Masuk ke Dark Knight, muncullah sang Joker Heath Ledger, di sini saya melihat Batman lebih dari karakter-karakter Batman yang ada sebelumnya. Dia bukan sekedar pria bertopeng yang gebukin penjahat di malam hari, dia adalah detektif super. Kasus yang ditanganinya berada di level ikan paus dengan plot dibalik plot dibalik plot, penuh dengan kejutan. Gilanya, Batman bisa meng-counter apa yang terjadi selanjutnya. Itu kenapa menurut saya dia layak disebut world greatest detective.
Dan seperti yang saya bilang ditulisan sebelumnya, gelar itu jadi beban tersendiri untuk film-film Batman selanjutnya. Bahkan naskah Batman versi Ben Affleck pun ditolak. Asli, saya bisa membayangkan semakin ke sini semakin tinggi standar cerita untuk The Caped Crusader ini.
04. L. Lawliet
"For him, this case was just one of many parallel investigations. How else could he maintain his reputation as the world’s greatest detective?" - Mello, Los Angeles BB Murder
Sejujurnya, L. lah detektif yang pertama yang benar-benar saya kenal. Saya membaca komik Death Note dari bab pertama sampai yang terakhir, jauh sebelum saya baca novel Sherlock Holmes ataupun kisah Hercule Poirot. Di saat teman-teman yang lain belajar fiksi detektif dari Conan Edogawa, justru saya belajar dari si kurus berwajah vokalis band emo ini.
L. awalnya seperti Batman, dia adalah sosok rahasia, seorang jenius yang bersembunyi dibalik bayangan. Dia yang hanya dikenal melalui simbol huruf L. besar dengan font. Old English MT. Dari narasi Tsugumi Ohba, L. adalah legenda, dia adalah detektif bayangan yang sering membantu ICPO (Interpol) untuk memecahkan kasus-kasus kejahatan besar yang tak terpecahkan. Namun kemudian L. yang selama ini berada di dalam bayangan, tiba-tiba muncul di permukaan saat dia berhadapan dengan Kira (si pembunuh berantai) dengan Death Note-nya.
L. memiliki seluruh keahlian yang harus dimiliki detektif super, dia ahli dalam mengamati perilaku dan juga ahli merangkai plot. Namun L. diikat oleh aturan, dia harus bisa menemukan bukti pembunuhan yang dilakukan Kira. Bukti yang jelas nyaris tidak ada karena dengan Death Note, Kira bisa membunuh orang dari jauh tanpa jejak dan seolah tanpa sebab yang nyata. Bagi detektif lain yang terikat police procedural, jelas nyaris memustahil memecahkan kasus sebesar itu, namun L. terus membuat analisa logis tentang apa yang terjadi, termasuk juga alat pembunuh yaitu buku yang bisa mengambil nyawa orang dari nama yang ditulis di atas kertasnya.
Dari novel prequel-nya yaitu Los Angeles BB Murder, L. dibuat lebih besar lagi. Si narator mendeskripsikannya sebagai otak paling brilliant yang ada di dunia pada saat itu. Apa yang L. kerjakan sendirian, setara dengan apa yang dikerjakan Kepolisian, Departemen Keamanan, dan Badan Intelijen sekaligus. Asli, si narator mendeskripsikannya dengan sangat berlebihan. Dengan segala kemampuannya itu, si narator menjuluki L. the world greatest detective.
Sialnya, L. versi komik tidak cukup pintar menghadapi Kira, dan berakhir dengan kematian yang begitu mudah. Syukurnya, di versi film mereka memperbaiki itu dan membuat L. menang atas Kira. Huhuhu. Tetap saja, di luar itu, Tsugumi Ohba tidak punya cerita L. yang cukup signifikan untuk membuatnya menjadi the greatest detective.
05. Robert Langdon
Aslinya, Langdon bukan seorang detektif, dia adalah ilmuwan sekaligus dosen simbologi di Harvard.
Dia adalah ahlinya mengungkap sejarah dan simbol-simbol kuno, sekaligus pakar dalam mengungkap teori-teori konspirasi. Dia begitu ahli di bidang ini, sampai-sampai tak ada yang menandinginya memecahkan plot historical dan ancient mystery –sampai saat ini– yang bahkan membuat William Baskerville dan Alan Grant menjadi produk antik di hadapannya
Sebagai protagonis utama, fungsi Robert Langdon bukan sebagai dosen atau konsultan yang didatangi polisi dan dimintai bantuan keahliannya, bukan. Dia ibarat Indiana Jones si pemburu harta karun yang dikawinkan dengan Sherlock Holmes si pemecah puzzle di The Dancing Men. Langdon berada di jalanan dan bertaruh nyawa di tiap liku plot yang dia lalui.
Secara garis besar, Langdon memulai debut di novel Angels and Demons, lalu The Da Vinci Code, kemudian The Lost Symbol, dan Inferno. Tahun ini dia juga akan muncul di novel terbaru Dan Brown yaitu The Origin (yang saya belum tahu premisnya seperti apa).
Kenapa Robert Langdon saya masukan di list world greatest detective?
Sebab dalam novel-novelnya, dia masuk dalam petualangan memecahkan misteri yang nyaris mustahil dipecahkan oleh manusia biasa.
Tiap novel Langdon adalah sebuah petualangan panjang, ratusan halaman, namun dengan timeline yang sangat ketat. Dari 500 halaman, biasanya itu merupakan petualangan sangat pelik Langdon yang dia hadapi dalam waktu satu hari. Bahkan novel Angels and Demon yang lebih dari 500 halaman itu, merupakan kisah petualangan Robert Langdon selama satu malam di Vatican City.
Kejeniusan dari Dan Brown adalah bagaimana dia bisa meliukan waktu yang begitu panjang (plus dengan kasus yang begitu pelik) menjadi sebuah kisah yang dilalui Langdon hanya dalam satu malam.
. . .
Beban berat gelar world greatest detective.
Saat ini kebanyakan pembaca sudah pintar dan mereka bisa dengan mudah mengetahui yang mana yang berkualitas dan yang mana yang kurang berkualitas. Kita nggak bisa menipu pembaca hanya dengan menyematkan gelar world greatest detective di depan karakter kita, karena gelar dan julukan saja nggak cukup.
Pembaca butuh bukti, mereka ingin melihat si tokoh struggling dengan hidupnya. Mereka ingin lihat si tokoh menghadapi kasus, menghadapi sesuatu yang mustahil untuk dipecahkan. Mereka butuh cerita petualgan, mereka ingin melihat drama-nya, kematian dan keputusasaan. Mereka butuh gagasan besar, konflik yang world class dan musuh yang layak disebut grande.
Singkatnya, dibutuhkan dedikasi, kontinuitas, banyaknya canon, dan berbagai versi adaptasi untuk membuat seorang tokoh detektif, layak disematkan gelar world greatest detective.
Dan menurut saya ada tiga tokoh kuat yang cukup stabil memegang gelar itu, mereka adalah Sherlock Holmes, Hercule Poirot, dan Bruce Wayne. Nama mereka terus muncul, terus dibicarakan orang, dan saya yakin akan terus dibuat versi baru dan barunya lagi di masa depan.
Di bawahnya yang akan menyusul –menurut saya– ada Rorschach dari Watchmen, Robert Langdon dari Dan Brown, dan L. Lawliet dari Death Note. Tapi kandidat yang paling kuat menurut saya adalah Langdon, karena originalitasnya dan specialisasi misteri yang dia pecahkan.
L. lawliet juga saya rasa akan menyusul, sebab dia nerd young detective yang khas milenial banget. Saya yakin akan dibuat versi adaptasi lagi, dan mungkin versi turunannya, hacker-detective atau semacamnya. Sedangkan Rorschach, dia legenda dari Watchmen versi Zack Synder, dan rumor bahwa mereka akan membuat versi baru dari Watchmen, namanya tetap akan dibicarakan banyak orang.
. . .
Tuesday, September 12, 2017
Review Perfect Blue (1997)
By Ftrohx
Peringatan, tulisan ini mengandung spoiler.
Bisa dibilang ini bukan film atau cerita thriller pertama yang mengambil setting di dunia entertaiment. Ada banyak yang terkenal sebelumnya; Black Dahlia, ada X.O. dari Jeffrey Deaver, ada Cuckoos Calling untuk yang era milenial, dan lain sebagainya. Seorang supermodel meninggal secara misterius, pembunuhan seorang artis, Musisi yang menghilang, masalah idol group, dan seterusnya. Tapi sungguh, tak ada yang se-rumit ini dalam menyampaikan ide tentang dunia entertaiment, seperti Perfect Blue.
Ini film lama sebenarnya, tahun 1997, saya sendiri mendengar judulnya di tahun 2005an. Tapi belum sempat mencari filmnya pada saat itu. Sampai sore kemarin saya menemukan film ini ada di Youtube. Film ini merupakan adaptasi dari novel Perfect Blue: Complete Metamorphosis, novel best seller di sana yang pada zamannya setara dengan Silent of The Lambs dari Thomas Harris. Di sutradari oleh Satoshi Kun dengan screen writer Sadayuki Murai. Film mendapat resepsi yang bagus dari penonton dan para kritikus film. IMDB memberinya poin 77 dari skala 100, dan Rotten Tomatos memberinya poin 68.
Plot
Cerita dimulai dari Mima Kirigoe, center dari idol group CHAM yang oleh menajemen tidak menguntungkan dan dipaksa mengundurkan diri. Ok, kasus ini sering terjadi di Idol Group, dan kamu pasti mengerti apa yang saya maksud. Aktris yang sudah tidak begitu prodiktif, maka mereka dikeluarkan atau dipaksa graduate oleh manajemen. Karena industri memang basisnya kapitalisasi, jika tidak menguntungkan untuk apa dipertahankan.
Lalu Mima dimasukan ke dalam sebuah projek film berjudul Double Bind. Iya, kasus ini nyata, Idol Group berpindah ke serial TV, film, ataupun sinetron. Jangankan di Jepang, di Indonesiapun banyak contohnya.
Di awal-awal mereka memang tampil begitu cemerlang, di awal-awal mereka begitu dipuja, lalu sampai pada waktunya. Orang-orang boring melihat mereka tampil begitu-begitu saja tanpa inovasi yang berarti. Mereka mengambil remote dan mengganti channel, disitulah kisah para Idol mulai jauh. Paradoksnya, meski begitu dipuja, Mima hanya tinggal di flat kecil dengan ruangan seadanya. Begitu sampai rumah, hilang sudah keMahaDewian.
Keluar dari Cham, dia memulai lagi semua dari awal. Dia kembali belajar dan menapaki karir di entertaiment. Sialnya, dia masuk ke produksi film yang salah. Double Bind adalah projek filmnya, bercerita tentang seorang wanita yang punya saudara perempuan seorang model. Sayang, berbeda dengan si kakak yang model, dia hanya wanita biasa yang mendapat pekerjaan sebagai penari striptis, lebih buruk lagi dia diperkosa ramai-ramai. Meski itu cuma peran di film, namun itu mengubah segalanya. Manajernya kecewa, begitupula dengan para fansnya yang mengungkap kekecewaan itu di internet. Dan dirinya sendiri mengalami gangguan psikologis, dimana dia sulit membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Lebih buruk lagi, Mima tidak tahu apakah peran yang dia jalani itu benar ataukah jangan-jangan film itu memang kisah hidupnya sendiri, seorang penari striptis yang diperkosa ramai-ramai kemudian berkhayal dia hidup sebagai orang lain yaitu seorang Pop Idol.
Cerita bertambah pelik dengan banyaknya orang yang mati terbunuh di sekelilingnya.
Yang saya temukan.
Ada 4 ide besar yang saya temukan di film ini.
Pertama, ide tentang Pop Idol, tema ini sangat menjual menurut saya. Semua orang, terutama di era milenial suka mengikuti berita-berita tentang Pop Idol, tentang musisi yang tampil keren di atas panggung, bahkan penulis sendiri sering melakukan hal itu di Instagram, mengamati akun-akun para artis dan seterusnya. Ditambah media-media pun terus menggoreng berita tentang mereka, hingga masuk ke alam bawah sadar (kita) para pembaca. Mereka yang begitu dipuja, bahkan sampai mereka (artis) sendiri tak sadar dirinya sebesar itu dilayarkan kaca. Paradoks dengan kondisi sesungguhnya di mana dia hanya tinggal di apartemen kecil nan sederhana. Itulah Mima, si tokoh protagonis yang menjadi pusat cerita di film ini.
Kedua, setting waktu yang tepat. Perfect Blue, mengambil timeline di tahun 1997, tahun di mana internet mulai booming di kota-kota besar, seperti New York, London, dan Tokyo. Terutama Tokyo, karena set lokasinya memang di situ. Zaman itu benar-benar melankolis menurut saya, era di mana internet hanya milik orang-orang yang berpunya dan nggak ada alay di internet di era itu, hahaha. Internet masih high class, seperti yang diceritakan oleh Dee Lestari dalam novel Supernova: KPBJ. Dan itu sangat keren, internet yang misterius yang apapun bisa terjadi di sana, seolah dia adalah jendela tuk dimensi lain yang ada di muka bumi.
Di sana terdapat sebuah weblog bernama Mima's Room yaitu laman yang menyajikan keseharian hidup Mima Kirigoe. Seperti Facebook, Twitter, atau Instagram di sana Mima update status, dia bercerita kemana dia pergi, siapa yang dia temui, apa yang dia beli, jalan mana yang dia lalui, dan seterusnya. Sangat detail.
Padahal Mima yang asli nggak mengelola akun itu, dia bahkan nggak punya waktu untuk mengetik sesuatu di layar komputer. Mima sendiri bertanya-tanya apakah dia memiliki seorang stalker yang selalu menguntitnya kemana-mana. Atau apakah yang menulis itu adalah Mima sendiri, namun dia lupa dia telah menulisnya. Atau jangan-jangan Mima memiliki gangguan psikologis hingga dia lupa apa yang telah dia lakukan sendiri. Intrik antara jiwanya yang satu dengan jiwanya yang lain.
Melihat Mima's Room, kok saya jadi ingat akun instagram-nya Chelsea Islan. Dia begitu luar biasa di sana, nggak ada foto-foto yang jeleknya, selalu hanya foto yang sangat STUNNING yang dia upload di sana. Saya membayangkan akun itu dikelola oleh manajemennya dan bukan oleh Chelsea Islan sendiri. Dan hal-hal seperti itu juga banyak terjadi di akun-akun sosial media artis lain, terutama para aktris yang tampil supercantik.
Ketiga, Parodi cerita kriminal dan plot di dalam plot. Sesungguhnya, keseluruhan cerita Perfect Blue adalah kisah seorang Pop Idol yang graduate dan mendadak mendapat pekerjaan sebagai bintang film kriminal yaitu Double Bind. Cerita Double Bind sendiri adalah kisah seorang gadis muda yang kurang beruntung, dia ingin menjadi seorang top model, namun dia jatuh ke lembah protitusi, kemudian si gadis ini menjadi seorang pembunuh berantai. Polisi bersusah payah untuk menemukannya, hingga kemudian mereka menemukan Mima yang ternyata adalah gadis yang memiliki Disosiative Identity Disorder. Si gadis ini berkhayal bahwa apa yang selama ini dia lakukan, pembunuhan-pembunuhan itu, kisah kelamnya di dunia protitusi adalah bagian dari sebuah film yang dia mainkan. Huhuhu, rumit bukan. Ala-ala INCEPTION, ada mimpi di dalam mimpi hingga berlapis-lapis, begitu juga dengan film ini.
Dan satu lagi yang saya suka adalah… saat si penulis memberi hints, alasan kenapa dia membuat film seperti itu (Perfect Blue) karena cerita kriminal sekarang makin membosankan, kita sudah bisa menebak apa yang terjadi. Terjadi sebuah pembunuhan, polisi datang ke TKP, mereka menyelidiki sambil bicara hipotesa dengan sangat dramatis, mewawancari orang-orang, lalu bertemu red herring, hingga kemudian mereka menemukan si pelaku pembunuhan sesungguhnya. Polanya seperti itu dan itu sangat membosankan, begitu kata remaja yang ada di toko buku yang bicara tentang Double Bind. Itu kenapa Satoshi Kun dan Sadayuki Murai membuat Perfect Blue, cerita kriminal biasa berada di dalam film (film di dalam film maksud saya), lalu cerita tentang Mima dan manajer yang psikopat berada di atasnya. Gabungkan keduanya, jadilah masterpiece, The Perfect Blue Satoshi Kun. Satu spoiler lagi, saya suka saat pembukaan Double Bind, di mana si Profiler bilang, pelaku mengambil kulit para korban agar dia dapat bermetamorphosis, hahaha. Jelas banget, kata-kata itu nyindir Silence of the Lamb Thomas Harris.
Keempat, inilah bikin film ini sangat GREGET, Fair-Play Mystery. Seperti semua cerita detektif atau fiksi kriminal yang legendaris, dia punya sistem fair-play. Atau sistem menebak penjahat dengan adil. Petunjuk disebar oleh si penulis, terutama di bab-bab awal film. Jadi ketika kamu sampai di bagian akhir film, kamu akan berkata. “Oh iya… Oh ternyata begitu… wah sial… petunjuknya ada di depan mata… tapi aku nggak sadar” dan seterusnya. Sungguh, dia punya plot twist yang bagus, plot twist yang bukan sekedar mengejutkan penonton, tapi juga membuat penonton terhenyak. “Wah, jadi semuanya mengarah ke situ!” Dan adegan-adegan di film ini dibuat dengan sangat presisi, hingga tiap potongan gambar menjadi petunjuk untuk apa yang terjadi di bab akhir. Ah, sial, sial, saya terlalu banyak spoiler di sini. Hahaha.
Konklusi
Sungguh, belakangan ini saya jarang nonton film kriminal misteri yang keren. Kebanyakan ya, plotnya begitu-begitu aja, mediocre, cuma kuat di action dengan ledakan dan ledakan. Saya sendiri bertanya-tanya kapan terakhir kali saya nonton film dengan plot di dalam plot selain film INCEPTION dan THE PRESTIGE. Meskipun film lama, tapi sungguh PERFECT BLUE membuat saya seolah bernostalgia dengan film-filmnya Om Christopher Nolan. Jadi, film ini saya kasih rating 81 dar skala 100. Pokoknya, highly recommended buat kamu.
. . .
Peringatan, tulisan ini mengandung spoiler.
Bisa dibilang ini bukan film atau cerita thriller pertama yang mengambil setting di dunia entertaiment. Ada banyak yang terkenal sebelumnya; Black Dahlia, ada X.O. dari Jeffrey Deaver, ada Cuckoos Calling untuk yang era milenial, dan lain sebagainya. Seorang supermodel meninggal secara misterius, pembunuhan seorang artis, Musisi yang menghilang, masalah idol group, dan seterusnya. Tapi sungguh, tak ada yang se-rumit ini dalam menyampaikan ide tentang dunia entertaiment, seperti Perfect Blue.
Ini film lama sebenarnya, tahun 1997, saya sendiri mendengar judulnya di tahun 2005an. Tapi belum sempat mencari filmnya pada saat itu. Sampai sore kemarin saya menemukan film ini ada di Youtube. Film ini merupakan adaptasi dari novel Perfect Blue: Complete Metamorphosis, novel best seller di sana yang pada zamannya setara dengan Silent of The Lambs dari Thomas Harris. Di sutradari oleh Satoshi Kun dengan screen writer Sadayuki Murai. Film mendapat resepsi yang bagus dari penonton dan para kritikus film. IMDB memberinya poin 77 dari skala 100, dan Rotten Tomatos memberinya poin 68.
Plot
Cerita dimulai dari Mima Kirigoe, center dari idol group CHAM yang oleh menajemen tidak menguntungkan dan dipaksa mengundurkan diri. Ok, kasus ini sering terjadi di Idol Group, dan kamu pasti mengerti apa yang saya maksud. Aktris yang sudah tidak begitu prodiktif, maka mereka dikeluarkan atau dipaksa graduate oleh manajemen. Karena industri memang basisnya kapitalisasi, jika tidak menguntungkan untuk apa dipertahankan.
Lalu Mima dimasukan ke dalam sebuah projek film berjudul Double Bind. Iya, kasus ini nyata, Idol Group berpindah ke serial TV, film, ataupun sinetron. Jangankan di Jepang, di Indonesiapun banyak contohnya.
Di awal-awal mereka memang tampil begitu cemerlang, di awal-awal mereka begitu dipuja, lalu sampai pada waktunya. Orang-orang boring melihat mereka tampil begitu-begitu saja tanpa inovasi yang berarti. Mereka mengambil remote dan mengganti channel, disitulah kisah para Idol mulai jauh. Paradoksnya, meski begitu dipuja, Mima hanya tinggal di flat kecil dengan ruangan seadanya. Begitu sampai rumah, hilang sudah keMahaDewian.
Keluar dari Cham, dia memulai lagi semua dari awal. Dia kembali belajar dan menapaki karir di entertaiment. Sialnya, dia masuk ke produksi film yang salah. Double Bind adalah projek filmnya, bercerita tentang seorang wanita yang punya saudara perempuan seorang model. Sayang, berbeda dengan si kakak yang model, dia hanya wanita biasa yang mendapat pekerjaan sebagai penari striptis, lebih buruk lagi dia diperkosa ramai-ramai. Meski itu cuma peran di film, namun itu mengubah segalanya. Manajernya kecewa, begitupula dengan para fansnya yang mengungkap kekecewaan itu di internet. Dan dirinya sendiri mengalami gangguan psikologis, dimana dia sulit membedakan mana yang mimpi dan mana yang nyata. Lebih buruk lagi, Mima tidak tahu apakah peran yang dia jalani itu benar ataukah jangan-jangan film itu memang kisah hidupnya sendiri, seorang penari striptis yang diperkosa ramai-ramai kemudian berkhayal dia hidup sebagai orang lain yaitu seorang Pop Idol.
Cerita bertambah pelik dengan banyaknya orang yang mati terbunuh di sekelilingnya.
Yang saya temukan.
Ada 4 ide besar yang saya temukan di film ini.
Pertama, ide tentang Pop Idol, tema ini sangat menjual menurut saya. Semua orang, terutama di era milenial suka mengikuti berita-berita tentang Pop Idol, tentang musisi yang tampil keren di atas panggung, bahkan penulis sendiri sering melakukan hal itu di Instagram, mengamati akun-akun para artis dan seterusnya. Ditambah media-media pun terus menggoreng berita tentang mereka, hingga masuk ke alam bawah sadar (kita) para pembaca. Mereka yang begitu dipuja, bahkan sampai mereka (artis) sendiri tak sadar dirinya sebesar itu dilayarkan kaca. Paradoks dengan kondisi sesungguhnya di mana dia hanya tinggal di apartemen kecil nan sederhana. Itulah Mima, si tokoh protagonis yang menjadi pusat cerita di film ini.
Kedua, setting waktu yang tepat. Perfect Blue, mengambil timeline di tahun 1997, tahun di mana internet mulai booming di kota-kota besar, seperti New York, London, dan Tokyo. Terutama Tokyo, karena set lokasinya memang di situ. Zaman itu benar-benar melankolis menurut saya, era di mana internet hanya milik orang-orang yang berpunya dan nggak ada alay di internet di era itu, hahaha. Internet masih high class, seperti yang diceritakan oleh Dee Lestari dalam novel Supernova: KPBJ. Dan itu sangat keren, internet yang misterius yang apapun bisa terjadi di sana, seolah dia adalah jendela tuk dimensi lain yang ada di muka bumi.
Di sana terdapat sebuah weblog bernama Mima's Room yaitu laman yang menyajikan keseharian hidup Mima Kirigoe. Seperti Facebook, Twitter, atau Instagram di sana Mima update status, dia bercerita kemana dia pergi, siapa yang dia temui, apa yang dia beli, jalan mana yang dia lalui, dan seterusnya. Sangat detail.
Padahal Mima yang asli nggak mengelola akun itu, dia bahkan nggak punya waktu untuk mengetik sesuatu di layar komputer. Mima sendiri bertanya-tanya apakah dia memiliki seorang stalker yang selalu menguntitnya kemana-mana. Atau apakah yang menulis itu adalah Mima sendiri, namun dia lupa dia telah menulisnya. Atau jangan-jangan Mima memiliki gangguan psikologis hingga dia lupa apa yang telah dia lakukan sendiri. Intrik antara jiwanya yang satu dengan jiwanya yang lain.
Melihat Mima's Room, kok saya jadi ingat akun instagram-nya Chelsea Islan. Dia begitu luar biasa di sana, nggak ada foto-foto yang jeleknya, selalu hanya foto yang sangat STUNNING yang dia upload di sana. Saya membayangkan akun itu dikelola oleh manajemennya dan bukan oleh Chelsea Islan sendiri. Dan hal-hal seperti itu juga banyak terjadi di akun-akun sosial media artis lain, terutama para aktris yang tampil supercantik.
Ketiga, Parodi cerita kriminal dan plot di dalam plot. Sesungguhnya, keseluruhan cerita Perfect Blue adalah kisah seorang Pop Idol yang graduate dan mendadak mendapat pekerjaan sebagai bintang film kriminal yaitu Double Bind. Cerita Double Bind sendiri adalah kisah seorang gadis muda yang kurang beruntung, dia ingin menjadi seorang top model, namun dia jatuh ke lembah protitusi, kemudian si gadis ini menjadi seorang pembunuh berantai. Polisi bersusah payah untuk menemukannya, hingga kemudian mereka menemukan Mima yang ternyata adalah gadis yang memiliki Disosiative Identity Disorder. Si gadis ini berkhayal bahwa apa yang selama ini dia lakukan, pembunuhan-pembunuhan itu, kisah kelamnya di dunia protitusi adalah bagian dari sebuah film yang dia mainkan. Huhuhu, rumit bukan. Ala-ala INCEPTION, ada mimpi di dalam mimpi hingga berlapis-lapis, begitu juga dengan film ini.
Dan satu lagi yang saya suka adalah… saat si penulis memberi hints, alasan kenapa dia membuat film seperti itu (Perfect Blue) karena cerita kriminal sekarang makin membosankan, kita sudah bisa menebak apa yang terjadi. Terjadi sebuah pembunuhan, polisi datang ke TKP, mereka menyelidiki sambil bicara hipotesa dengan sangat dramatis, mewawancari orang-orang, lalu bertemu red herring, hingga kemudian mereka menemukan si pelaku pembunuhan sesungguhnya. Polanya seperti itu dan itu sangat membosankan, begitu kata remaja yang ada di toko buku yang bicara tentang Double Bind. Itu kenapa Satoshi Kun dan Sadayuki Murai membuat Perfect Blue, cerita kriminal biasa berada di dalam film (film di dalam film maksud saya), lalu cerita tentang Mima dan manajer yang psikopat berada di atasnya. Gabungkan keduanya, jadilah masterpiece, The Perfect Blue Satoshi Kun. Satu spoiler lagi, saya suka saat pembukaan Double Bind, di mana si Profiler bilang, pelaku mengambil kulit para korban agar dia dapat bermetamorphosis, hahaha. Jelas banget, kata-kata itu nyindir Silence of the Lamb Thomas Harris.
Keempat, inilah bikin film ini sangat GREGET, Fair-Play Mystery. Seperti semua cerita detektif atau fiksi kriminal yang legendaris, dia punya sistem fair-play. Atau sistem menebak penjahat dengan adil. Petunjuk disebar oleh si penulis, terutama di bab-bab awal film. Jadi ketika kamu sampai di bagian akhir film, kamu akan berkata. “Oh iya… Oh ternyata begitu… wah sial… petunjuknya ada di depan mata… tapi aku nggak sadar” dan seterusnya. Sungguh, dia punya plot twist yang bagus, plot twist yang bukan sekedar mengejutkan penonton, tapi juga membuat penonton terhenyak. “Wah, jadi semuanya mengarah ke situ!” Dan adegan-adegan di film ini dibuat dengan sangat presisi, hingga tiap potongan gambar menjadi petunjuk untuk apa yang terjadi di bab akhir. Ah, sial, sial, saya terlalu banyak spoiler di sini. Hahaha.
Konklusi
Sungguh, belakangan ini saya jarang nonton film kriminal misteri yang keren. Kebanyakan ya, plotnya begitu-begitu aja, mediocre, cuma kuat di action dengan ledakan dan ledakan. Saya sendiri bertanya-tanya kapan terakhir kali saya nonton film dengan plot di dalam plot selain film INCEPTION dan THE PRESTIGE. Meskipun film lama, tapi sungguh PERFECT BLUE membuat saya seolah bernostalgia dengan film-filmnya Om Christopher Nolan. Jadi, film ini saya kasih rating 81 dar skala 100. Pokoknya, highly recommended buat kamu.
. . .
Saturday, August 26, 2017
DC Extended 'Kacau' Universe
By Ftrohx
Bicara tentang DC Extended Universe vs Marvel Cinematic Universe, saya jadi ingat kisah lama antara Apple Computer dengan IBM PC di era 80an. Alkisah Steve Jobs dan Wozniak melihat Altair yaitu komputer personal pertama di dunia. Lalu gara-gara itu mereka terinspirasi menciptakan PC mereka sendiri.
Intinya sederhana, siapa yang mengambil langkah duluan maka dialah pemenangnya. Dan Apple Computer mengambil peluang itu. Mereka menciptakan Machitosh yang menjadi komputer personal pertama yang populer di dunia, terutama dengan tampilan desktop dan mouse-nya. Sedangkan si pesaing, IBM bekerja sama dengan Microsoft menciptakan komputer personal dengan DOS, di mana kamu harus mengetik banyak perintah yang rumit agar komputer itu berjalan. Jelas, Apple Machitosh jauh lebih superior dibanding IBM PC pada masa itu. Tapi kemudian IBM PC dan Microsoft berkembang maju, dan di era 90an mereka menguasai pangsa pasar komputer rumahan.
Ok, kembali ke DCEU dan MCU. DC kita tahu, mereka menguasai pasar komik Amerika jauh lebih dulu dibanding Marvel. Tapi untuk urusan film, saya melihat Marvel Cinematic Universe mengambil langkah penting lebih dahulu, terutama dengan Ironman Robert Downey Jr-nya.
Saya mengingat Ironman yang pertama, awal saya pesimis dengan manusia besi macam ini.
Kebetulan masa itu, saya lagi ngefans-ngefansnya dengan Batmannya Christian Bale n Christopher Nolan. Mereka brilliant, punya cerita yang mind-bending dan visual yang keren (pada saat itu). Hingga kemudian muncul, The Dark Knight Rises dengan pertarungan yang kacrut itu antara Batman vs Bane. Disini saya mulai berpikir ulang tentang Batman DC Christopher Nolan. Hayolah, orang Indonesia aja bisa bikin koreografi pertarungan yang lebih bagus dari itu (seperti The Raid contohnya)
Bicara tentang Ironman, saya mulai excited dengan dia ketika masuk di Ironman 2, lalu Robert Downey Jr. juga bermain di film Sherlock. Wah, orang ini luar biasa.
Sedangkan DC meluncurkan Man of Steel sebagai pembuka dari DC Extended Universe. Henry Cavill aktor Inggris dari film Immortal tiba-tiba masuk di sana sebagai Superman. Cavill sungguh aktor sangat keren, apalagi ada Christopher Nolan di jajaran produser-nya. FIlm ini sejak trailer pertamanya muncul, membuat saya berekspektasi tinggi. Sayangnya, harapan saya tidak sampai di sana saat menontonnya di bioskop.
Ceritanya bagus, bagaimana mereka memulai cerita Superman kembali dari awal.
Sayangnya, terlalu banyak yang ingin mereka masukan dalam film berdurasi pendek itu. Rasanya terlalu cepat Clark Kenti sampai di posisi di mana dia adalah seorang Superman, dan satu lagi masalah flash back di planet Krypton, rasanya itu sangat tidak perlu. Yang saya harapkan adalah sebuah petualangan, tapi yang saya dapatkan dari Man of Steel adalah film Dragon Ball (tepatnya Son Goku) versi Hollywood.
Seandainya bisa diedit, seandainya saya punya KUASA. Harusnya cerita Man of Steel lebih fokus pada misteri siapa sebenarnya Clark Kent dan pencarian jati dirinya, dan bukan langsung jadi manusia super. Apalagi ada Jenderal Zod langsung muncul di sana. Jujur saya lebih suka cerita Superman versi Earth One di mana Jenderal Zod justru jadi musuh utama di volume ketiga.
Lanjut ke Batman vs Superman: Dawn of Justice. Film ini KEREN. Jujur saya menikmatinya. Tapi apa mau dikata, secara rating di rotten tomatos dia hancur.
Ok, sebenarnya saya punya solusi. Ah, seandainya masa lalu bisa diedit, Batman vs Superman, harusnya dipecah jadi tiga film. Pertama sequel dari Man of Steel dulu, yang harusnya di Man of Steel dia berhadapan dengan Jenderal Zod. Kedua film Batman itu sendiri, pemanasan sebelum masuk ke Dawn of Justice. Dan ketiga, baru masuk Dawn of Justice di mana si Batman n Superman bertemu dengan Wonder Woman.
Sayangnya, Zack Synder memaksakan diri mengumpulkan tiga film itu dalam satu film yaitu BvS: Dawn of Justice. Di versi film bioskop, banyak orang yang mengkritik, ini kok banyak plot hole-nya ya? Kok mendadak karakter pindah ke sini dan ke situ tanpa cerita yang jelas. Sedangkan yang versi DVD orang-orang mengkritiknya, durasinya kepanjangan 3 jam. Huhuhu. Asli, saya turut merasakan beban yang dipanggul Om Zack dengan segala macam kritik itu. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Dan bagian terberat menjadi Batman adalah dibandingkan dengan versi sebelumnya karya Christopher Nolan. Jelas versi sebelum punya cerita yang sangat kompleks, plus dengan eksekusi yang begitu mulus. Meski Christian Bale bukan Batman yang sempurna, tapi dia punya cerita yang lebih greget daripada Batman di BvS: Dawn of Justice (dan penonton menikmati itu)
Ok, beban terbesarnya mungkin karena mereka mengejar target.
Selisih dua bulan sebelum BvS keluar MCU mengeluarkan Captain America Civil, dan sebelumnya mereka juga telah mengeluarkan Avengers: Age of Ultron. Jelas MCU melangkah lebih jauh. Seandainya saja DCEU bertindak lebih cepat, atau setidaknya membuat satu film Superman (lagi) atau satu film Batman dahulu sebelum masuk ke BvS: Dawn of Justice, saya yakin mereka mengimbangi MCU dan Avengers-nya.
Selanjutnya muncul Suicide Squad, awalnya saya excited dengan film ini. Trailernya, iklannya, wah keren ini. Banyak karakter-karakter baru dari DC Universe yang belum pernah dibuat versi live-action muncul di sini. Ada Dead Shot, Harley Quiin, Enchartes, dll.
Di sini ada Joker baru yang diperankan oleh Jared Leto.
Si Joker dengan gigi palsu, dan tubuh yang penuh dengan tato. Oh iya, sebelumnya saya ingat Jared Leto bermain di Fight Club, menjadi si Angel Face yang dihajar habis-habisan oleh Tyler Durden. Mungkin Joker Leto adalah versi evolve dari Angel Face di Fight Club begitu pikir saya.
Hingga kejutan itu datang yaitu Batman Affleck yang juga muncul di sini.
Sungguh sial, Batfleck menurut saya nggak cocok untuk ditandingkan dengan Joker Leto ini. Batfleck adalah monster penghancur, sedangkan Leto cuma seorang boss mafia dengan ribuan tato dan cewek sexy di sampingnya. Leto lebih cocok jadi minion Joker daripada memegang tahta King of Clown itu sendiri. Meski begitu Suicide Squad mendapat banyak penonton, namun dari segi review kamu tahu sendiri mereka anjlok.
Di sinilah semuanya berantakan.
Saya sangat berharap Suicide Squad berada di Universe yang berbeda dengan BvS: Dawn of Justice, tapi sayangnya mereka buat film itu di satu Universe, DCEU. Lebih buruk lagi, ada Batman Ben Affleck sebagai cameo di sana. Huhuhu. Asli, saya lebih suka plot Mandarin palsu di Ironman 03 daripada melihat Joker Leto dan Batman Affleck saling berhadapan. Tambahan: dengan kesuksesaan, Suicide Squad, kita mendapati kabar bahwa DC akan membuat sequelnya, Suicide Squad vol 02. Lalu katanya, mereka juga bikin spin off kisah Joker dan Harley Quiin, huh luar biasa.
Kemudian disinilah puncaknya, Wonder Woman 2017. Dan chaos itu makin bertambah jadi.
Sungguh saya suka Gal Gadot, dia supercantik dan punya tubuh yang sangat sexy. Pokoknya dia superkeren di film ini, seolah dia mamang sudah ditakdirkan untuk jadi Wonder Woman sejak dari lahir, hahaha. Saya melihat ide dari film Wonder Woman sendiri bukan sesuatu yang baru. Seperti menggabungkan dua film sekaligus, Captain America First Avengers yang bersetting perang di masa lampau, dan cerita mitologi Dewa yang menjadi superhero, Thor si Putra Odin. Gabungkan keduanya, dan buat versi perempuan, jadilah Diana the Godkiller, Daugther of Zeus.
Filmnya mendapat rating bagus di rotten tomatos dan Imdb. Tapi media terus membesar-besarkannya. Dan dari sini, kita mendengar kabar bahwa saat ini mereka bersiap untuk melakukan produksi Wonder Woman jilid 2. Asli, melihat situasi yang terjadi Wonder Woman menjadi pukulan telat untuk film THE BATMAN-nya Ben Affleck yang bahkan belum diproduksi, huhuhu.
Dari media-media kita tahu situasinya, Febuari lalu Ben Affleck bilang bahwa dia akan membuat film THE BATMAN dimana dia adalah penulis, sutradara, sekaligus bintang utamanya. Tentu para fans Dark Knight (termasuk saya) sangat excited dengan kabar ini. Terlebih di film BvS: Dawn of Justice, Batman Affleck menunjukan sajian yang bagus yang tidak saya dapati di Batman-nya Om Nolan. Si Batman baru ini punya aksi-aksi yang brutal dan koreografi yang handal, beginilah seharusnya aksi sang Dark Knight dibuat.
Lalu kemudian pada bulan maret, kita mendapati kabar, Ben Affeck nggak jadi sutradara, dia cuma jadi pemeran aja di film The Batman. Terus saat film Wonder Woman keluar dan begitu hive, kita mendapatkan kabar lagi, film The Batman nggak jadi diproduksi.
Lalu juni kemarin, kita mendapati kabar. Film The Batman jadi diproduksi, hanya saja di luar dari DC Extended Universe. Lalu kita dikejutkan dengan kabar. “Hei Martin Scorsese pengen bikin film JOKER Origin yang di luar DC Extended Universe dengan pemeran Joker baru (bukan Jared Leto).” Ckckck… Benar-benar sinting maksud saya. Dan ada Joker baru, "lalu apa artinya Joker jika tanpa Batman?" Apakah akan ada Batman baru di filmnya Martin Scorsese? I don't know, kita tunggu aja info lebih lanjut dari mereka.
Kembali ke Batman Affleck, dua hari yang lalu sang sutrada Matt Revees, nulis di laman twitternya. Film The Batman tentang jadi loh, dia masuk di DC Universe hanya saja dia stand alone, sendiri tanpa ada cameo dari karakter lain di film DC sebelumnya. What the fcxk.
Jujur, saya sebagai orang awam penuh dengan tanya, apa sih yang sebenarnya terjadi di DC Extended Universe saat ini? Kok begitu banyak kontradiksi? Begitu banyak pernyataan dan begitu banyak ralat dari mereka sendiri. Dibanding dengan superhero DC Universe yang lain, seperti Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg, Mereka sudah punya jadwal produksi mereka sendiri. Tapi The Batman ini yang nggak jelas, padahal The Batman menurut saya sangat layak untuk diciptakan versi filmnya. Terserah mau yang versi Ben Affleck n Matt Revees, atau versi Martin Scorsese n Todd Phillips.
Melihat situasi yang rentan pada saat ini.
Harapan saya, Justice League 2017 bisa jadi turn-back bagi mereka. Sungguh tuk saya, film ini bukan sekedar pertaruhan hidup-mati Batman melawan Steppenwolf, tapi juga Ben Affleck melawan jumlah penonton (dan tuntutan para direksi). Jika Justice League sukses kemungkinan besar The Batman akan segera dibuat. Tapi jika Justice League gagal seperti Batman vs Superman: Dawn of Justice… Maka, kemungkinan besar The Batman tidak akan dibuat. Sungguh, walaupun saya cuma seorang fans yang ada di ujung dunia, saya juga dag dig dug menanti masa depan film itu.
. . .
Bicara tentang DC Extended Universe vs Marvel Cinematic Universe, saya jadi ingat kisah lama antara Apple Computer dengan IBM PC di era 80an. Alkisah Steve Jobs dan Wozniak melihat Altair yaitu komputer personal pertama di dunia. Lalu gara-gara itu mereka terinspirasi menciptakan PC mereka sendiri.
Intinya sederhana, siapa yang mengambil langkah duluan maka dialah pemenangnya. Dan Apple Computer mengambil peluang itu. Mereka menciptakan Machitosh yang menjadi komputer personal pertama yang populer di dunia, terutama dengan tampilan desktop dan mouse-nya. Sedangkan si pesaing, IBM bekerja sama dengan Microsoft menciptakan komputer personal dengan DOS, di mana kamu harus mengetik banyak perintah yang rumit agar komputer itu berjalan. Jelas, Apple Machitosh jauh lebih superior dibanding IBM PC pada masa itu. Tapi kemudian IBM PC dan Microsoft berkembang maju, dan di era 90an mereka menguasai pangsa pasar komputer rumahan.
Ok, kembali ke DCEU dan MCU. DC kita tahu, mereka menguasai pasar komik Amerika jauh lebih dulu dibanding Marvel. Tapi untuk urusan film, saya melihat Marvel Cinematic Universe mengambil langkah penting lebih dahulu, terutama dengan Ironman Robert Downey Jr-nya.
Saya mengingat Ironman yang pertama, awal saya pesimis dengan manusia besi macam ini.
Kebetulan masa itu, saya lagi ngefans-ngefansnya dengan Batmannya Christian Bale n Christopher Nolan. Mereka brilliant, punya cerita yang mind-bending dan visual yang keren (pada saat itu). Hingga kemudian muncul, The Dark Knight Rises dengan pertarungan yang kacrut itu antara Batman vs Bane. Disini saya mulai berpikir ulang tentang Batman DC Christopher Nolan. Hayolah, orang Indonesia aja bisa bikin koreografi pertarungan yang lebih bagus dari itu (seperti The Raid contohnya)
Bicara tentang Ironman, saya mulai excited dengan dia ketika masuk di Ironman 2, lalu Robert Downey Jr. juga bermain di film Sherlock. Wah, orang ini luar biasa.
Sedangkan DC meluncurkan Man of Steel sebagai pembuka dari DC Extended Universe. Henry Cavill aktor Inggris dari film Immortal tiba-tiba masuk di sana sebagai Superman. Cavill sungguh aktor sangat keren, apalagi ada Christopher Nolan di jajaran produser-nya. FIlm ini sejak trailer pertamanya muncul, membuat saya berekspektasi tinggi. Sayangnya, harapan saya tidak sampai di sana saat menontonnya di bioskop.
Ceritanya bagus, bagaimana mereka memulai cerita Superman kembali dari awal.
Sayangnya, terlalu banyak yang ingin mereka masukan dalam film berdurasi pendek itu. Rasanya terlalu cepat Clark Kenti sampai di posisi di mana dia adalah seorang Superman, dan satu lagi masalah flash back di planet Krypton, rasanya itu sangat tidak perlu. Yang saya harapkan adalah sebuah petualangan, tapi yang saya dapatkan dari Man of Steel adalah film Dragon Ball (tepatnya Son Goku) versi Hollywood.
Seandainya bisa diedit, seandainya saya punya KUASA. Harusnya cerita Man of Steel lebih fokus pada misteri siapa sebenarnya Clark Kent dan pencarian jati dirinya, dan bukan langsung jadi manusia super. Apalagi ada Jenderal Zod langsung muncul di sana. Jujur saya lebih suka cerita Superman versi Earth One di mana Jenderal Zod justru jadi musuh utama di volume ketiga.
Lanjut ke Batman vs Superman: Dawn of Justice. Film ini KEREN. Jujur saya menikmatinya. Tapi apa mau dikata, secara rating di rotten tomatos dia hancur.
Ok, sebenarnya saya punya solusi. Ah, seandainya masa lalu bisa diedit, Batman vs Superman, harusnya dipecah jadi tiga film. Pertama sequel dari Man of Steel dulu, yang harusnya di Man of Steel dia berhadapan dengan Jenderal Zod. Kedua film Batman itu sendiri, pemanasan sebelum masuk ke Dawn of Justice. Dan ketiga, baru masuk Dawn of Justice di mana si Batman n Superman bertemu dengan Wonder Woman.
Sayangnya, Zack Synder memaksakan diri mengumpulkan tiga film itu dalam satu film yaitu BvS: Dawn of Justice. Di versi film bioskop, banyak orang yang mengkritik, ini kok banyak plot hole-nya ya? Kok mendadak karakter pindah ke sini dan ke situ tanpa cerita yang jelas. Sedangkan yang versi DVD orang-orang mengkritiknya, durasinya kepanjangan 3 jam. Huhuhu. Asli, saya turut merasakan beban yang dipanggul Om Zack dengan segala macam kritik itu. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur.
Dan bagian terberat menjadi Batman adalah dibandingkan dengan versi sebelumnya karya Christopher Nolan. Jelas versi sebelum punya cerita yang sangat kompleks, plus dengan eksekusi yang begitu mulus. Meski Christian Bale bukan Batman yang sempurna, tapi dia punya cerita yang lebih greget daripada Batman di BvS: Dawn of Justice (dan penonton menikmati itu)
Ok, beban terbesarnya mungkin karena mereka mengejar target.
Selisih dua bulan sebelum BvS keluar MCU mengeluarkan Captain America Civil, dan sebelumnya mereka juga telah mengeluarkan Avengers: Age of Ultron. Jelas MCU melangkah lebih jauh. Seandainya saja DCEU bertindak lebih cepat, atau setidaknya membuat satu film Superman (lagi) atau satu film Batman dahulu sebelum masuk ke BvS: Dawn of Justice, saya yakin mereka mengimbangi MCU dan Avengers-nya.
Selanjutnya muncul Suicide Squad, awalnya saya excited dengan film ini. Trailernya, iklannya, wah keren ini. Banyak karakter-karakter baru dari DC Universe yang belum pernah dibuat versi live-action muncul di sini. Ada Dead Shot, Harley Quiin, Enchartes, dll.
Di sini ada Joker baru yang diperankan oleh Jared Leto.
Si Joker dengan gigi palsu, dan tubuh yang penuh dengan tato. Oh iya, sebelumnya saya ingat Jared Leto bermain di Fight Club, menjadi si Angel Face yang dihajar habis-habisan oleh Tyler Durden. Mungkin Joker Leto adalah versi evolve dari Angel Face di Fight Club begitu pikir saya.
Hingga kejutan itu datang yaitu Batman Affleck yang juga muncul di sini.
Sungguh sial, Batfleck menurut saya nggak cocok untuk ditandingkan dengan Joker Leto ini. Batfleck adalah monster penghancur, sedangkan Leto cuma seorang boss mafia dengan ribuan tato dan cewek sexy di sampingnya. Leto lebih cocok jadi minion Joker daripada memegang tahta King of Clown itu sendiri. Meski begitu Suicide Squad mendapat banyak penonton, namun dari segi review kamu tahu sendiri mereka anjlok.
Di sinilah semuanya berantakan.
Saya sangat berharap Suicide Squad berada di Universe yang berbeda dengan BvS: Dawn of Justice, tapi sayangnya mereka buat film itu di satu Universe, DCEU. Lebih buruk lagi, ada Batman Ben Affleck sebagai cameo di sana. Huhuhu. Asli, saya lebih suka plot Mandarin palsu di Ironman 03 daripada melihat Joker Leto dan Batman Affleck saling berhadapan. Tambahan: dengan kesuksesaan, Suicide Squad, kita mendapati kabar bahwa DC akan membuat sequelnya, Suicide Squad vol 02. Lalu katanya, mereka juga bikin spin off kisah Joker dan Harley Quiin, huh luar biasa.
Kemudian disinilah puncaknya, Wonder Woman 2017. Dan chaos itu makin bertambah jadi.
Sungguh saya suka Gal Gadot, dia supercantik dan punya tubuh yang sangat sexy. Pokoknya dia superkeren di film ini, seolah dia mamang sudah ditakdirkan untuk jadi Wonder Woman sejak dari lahir, hahaha. Saya melihat ide dari film Wonder Woman sendiri bukan sesuatu yang baru. Seperti menggabungkan dua film sekaligus, Captain America First Avengers yang bersetting perang di masa lampau, dan cerita mitologi Dewa yang menjadi superhero, Thor si Putra Odin. Gabungkan keduanya, dan buat versi perempuan, jadilah Diana the Godkiller, Daugther of Zeus.
Filmnya mendapat rating bagus di rotten tomatos dan Imdb. Tapi media terus membesar-besarkannya. Dan dari sini, kita mendengar kabar bahwa saat ini mereka bersiap untuk melakukan produksi Wonder Woman jilid 2. Asli, melihat situasi yang terjadi Wonder Woman menjadi pukulan telat untuk film THE BATMAN-nya Ben Affleck yang bahkan belum diproduksi, huhuhu.
Dari media-media kita tahu situasinya, Febuari lalu Ben Affleck bilang bahwa dia akan membuat film THE BATMAN dimana dia adalah penulis, sutradara, sekaligus bintang utamanya. Tentu para fans Dark Knight (termasuk saya) sangat excited dengan kabar ini. Terlebih di film BvS: Dawn of Justice, Batman Affleck menunjukan sajian yang bagus yang tidak saya dapati di Batman-nya Om Nolan. Si Batman baru ini punya aksi-aksi yang brutal dan koreografi yang handal, beginilah seharusnya aksi sang Dark Knight dibuat.
Lalu kemudian pada bulan maret, kita mendapati kabar, Ben Affeck nggak jadi sutradara, dia cuma jadi pemeran aja di film The Batman. Terus saat film Wonder Woman keluar dan begitu hive, kita mendapatkan kabar lagi, film The Batman nggak jadi diproduksi.
Lalu juni kemarin, kita mendapati kabar. Film The Batman jadi diproduksi, hanya saja di luar dari DC Extended Universe. Lalu kita dikejutkan dengan kabar. “Hei Martin Scorsese pengen bikin film JOKER Origin yang di luar DC Extended Universe dengan pemeran Joker baru (bukan Jared Leto).” Ckckck… Benar-benar sinting maksud saya. Dan ada Joker baru, "lalu apa artinya Joker jika tanpa Batman?" Apakah akan ada Batman baru di filmnya Martin Scorsese? I don't know, kita tunggu aja info lebih lanjut dari mereka.
Kembali ke Batman Affleck, dua hari yang lalu sang sutrada Matt Revees, nulis di laman twitternya. Film The Batman tentang jadi loh, dia masuk di DC Universe hanya saja dia stand alone, sendiri tanpa ada cameo dari karakter lain di film DC sebelumnya. What the fcxk.
Jujur, saya sebagai orang awam penuh dengan tanya, apa sih yang sebenarnya terjadi di DC Extended Universe saat ini? Kok begitu banyak kontradiksi? Begitu banyak pernyataan dan begitu banyak ralat dari mereka sendiri. Dibanding dengan superhero DC Universe yang lain, seperti Wonder Woman, Aquaman, The Flash, dan Cyborg, Mereka sudah punya jadwal produksi mereka sendiri. Tapi The Batman ini yang nggak jelas, padahal The Batman menurut saya sangat layak untuk diciptakan versi filmnya. Terserah mau yang versi Ben Affleck n Matt Revees, atau versi Martin Scorsese n Todd Phillips.
Melihat situasi yang rentan pada saat ini.
Harapan saya, Justice League 2017 bisa jadi turn-back bagi mereka. Sungguh tuk saya, film ini bukan sekedar pertaruhan hidup-mati Batman melawan Steppenwolf, tapi juga Ben Affleck melawan jumlah penonton (dan tuntutan para direksi). Jika Justice League sukses kemungkinan besar The Batman akan segera dibuat. Tapi jika Justice League gagal seperti Batman vs Superman: Dawn of Justice… Maka, kemungkinan besar The Batman tidak akan dibuat. Sungguh, walaupun saya cuma seorang fans yang ada di ujung dunia, saya juga dag dig dug menanti masa depan film itu.
. . .
Saturday, July 29, 2017
Pertarungan-pertarungan yang saya ingat
By Ftrohx
Kemarin saya mencoba menulis cerita bertema Action Thriller, banyak film action yang telah saya tonton selama dua dekade ini. Namun tidak semua film-film action itu saya ingat, saya paling hanya ingat kepingannya saja, adegan-adegan tertentu yang mungkin bagi otak saya adalah adegan yang penting. Dan jika saya list secara cepat, maka inilah adegan-adegan pertarungan di film yang paling memorable untuk saya.
1. Arthur versus para penjaga di film Inception 2009
Jujur, saya nyaris lupa nama tokoh dan aktornya, tapi saya ingat banget adegannya. Meski koreografinya biasa aja, tapi ide lorong hotel mewah yang berputar-putar 360 derajat itu luar biasa. Saya ingat terus interior dan setting dari tempat tersebut, bahkan bisa dibilang visual dari lorong hotel itu sudah masuk ke awal bawah sadar dan mimpi-mimpi saya. Dan yang lebih penting lagi, menginspirasi tulisan saya, hahaha.
2. Sherlock vs Moriarty di Reichenbach Fall di film Games of Shadow 2011.
Ini juga pertarungan yang sangat memorable untuk saya. Guy Ritchie melakukanya dengan sangat elegan. Jika di film lain, si jagoan utama tanpa basa-basa akan melemparkan kepalan tinju ke sang penjahat. Namun di sini dia membukanya dengan sebuah permainan catur, blitz chess tepatnya. Lalu Holmes pun memaparkan deduksinya, lebih dari itu dia memaparkan bagaimana dia akan menghentikan Moriarty, lalu setelah pemaparan selesai, pertarunganpun dimulai. Mereka bertarung dalam pikiran sebelum menutupnya dengan satu serangan pamungkas yaitu sama-sama jatuh di Air Terjun Reichenbach.
3. Kenshi Himura vs Sojiro Seta di Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno.
Saat mengetik ini saya bertanya-tanya sendiri, apa sih yang membuat mereka sangat memorable. Mungkin memang karena karakternya, Kenshi Himura dan Sojiro Seta adalah dua karakter yang nyaris bertolak belakang, yang satu gondrong berambut pirang yang satu berambut hitam pendek. Yang satu bergaya agak feminim yang satu lagi walaupun gondrong namun sangat maskulin. Begitupula dengan pakaiannya, Sojiro mengenakan pakaian putih dibalut kimono biru sedangkan Himura dia biasaya mengenakan pakaian berwarna merah (meski di film ini dia mengenakan pakaian warna abu-abu gelap.) Mungkin karena perbedaan mencolok dari keduanya yang membuat film ini terlihat sangat jernih.
4. Iko Uwais vs Cecep Arif Rahman di The Raid 02 Berandal.
Beda dengan Raid sebelumnya di mana pertarungan puncak berada di tempat gelap. Di sini mereka bertarung di tempat yang terang, luas, penuh perabotan, dan punya lantai serta tembok yang putih. Kamu bisa melihat tiap pukulan, tiap ekspresi rasa sakit, dan tiap darah yang jatuh ke lantai. Bisa dibilang The Raid 02 adalah film silat paling brutal yang pernah saya lihat. Sangat memorable!
5. Captain America vs Tim Shield di dalam lift di film Winter Soldier.
Selain adegan kemunculan Bucky si pria bertopeng, adegan di dalam petarungan di dalam lift merupakan favorit saya. Satu persatu agen Shield itu masuk ke dalam lift, mereka masuk dari lantai-lantai yang berbeda, mereka mengerubungi Steve Roger, lalu BOOM! Pertarungan dahsyat terjadi. Jikalau orang normal dalam situasi itu, dia pasti akan sangat panik dan ketakutan, namun Captain America dia sangat tenang karena dia tahu lawan-lawan yang dia hadapi cuma manusia biasa.
6. V for Vendetta, pertarungan akhir di bawah tanah.
Mask Vigilante V berada di lorong bawah tanah, dia berhadapan dengan si Komandan dari Polisi Rahasis pemerintah Inggris Baru, bersama 14 orang anak buahnya. Ini benar-benar GILA! Dalam situasi ini, saya yakin bahkan Guru Ip pun akan berpikir ratusan kali untuk bertarung melawan 15 orang bersenjata api tersebut. Nyaris mustahil, bahkan bagi pendekar terbaik sekalipun untuk bertahan hidup melawan banyak orang sekaligus, bahkan saya yakin Neo yang versi awalpun belum tentu bisa lolos dari situasi ini. Namun, Si Guy Fawke memang tidak ingin hidup setelah itu, jadi dia pertaruhkan semuanya di lorong bawah tanah. This is Final Fight! Memang koreografinya kacrut, tapi GAGASAN atas pertarungan itu sendiri; GRANDE menurut saya. Mereka menunjukan bahwa V for Vendetta benar-benar monster, bahwa seandainya dia masih hidup, mungkin dia mengalahkan Batman-nya Zack Synder dalam hitungan detik.
7. Jet Li vs Donny Yen di pembukaan film Hero.
Dahulu tiap kali bertemu dengan Putra Perdana (senior saya) kami selalu membicarakan pertarungan ini. Jet Li saya lupa nama karakter dia siapa yang pasti dia menggunakan pedang dengan pedang yang terbelah di tengahnya, dan Donny Yen bertarung dengan tombak. Di tengah tempat mereka bertarung terdapat orang tua buta yang bermain kecapi, saat itu hujan juga turun menambah kesan dramatis, dan pertarungan terjadi dalam layar hitam putih bersama dengan alunan musik tradisional dari Tirai Bambu. Mereka bertarung dalam pikiran masing-masing, mereka bertarung sebelum pertarungan fisik benar-benar di mulai, mereka bertarung dengan segenap jiwanya. Semua orang yang ada di sana, meski tak melihatnya tahu dan bisa merasakan dua energi raksasa yang saling beradu. Lalu puncaknya, satu serangan mematikan terjadi, dan si pengguna tombak kalah oleh si pengguna pedang dalam satu tusukan. Adegan ini sangat menginspirasi, bahwa pendekar hebat, mereka bertarung dalam pikirannya sebelum benar-benar bertarung secara fisik. Dan pertarungan ini menjadi inspirasi bagi film-film lainnya termasuk pertarungan Holmes dan Moriarty di Reichenbach Fall.
8. Batman vs Tim White Portugese di film BvS Dawn of Justice.
Jujur, saya kecewa dengan Dark Knight Rise yang jadi penutup dari series Batman karya Om Christopher Nolan. Semua yang pernah nonton film itu tahu sendiri, gimana pertarungan antara Batman vs Bane kok jadi culun banget. Bahkan orang Indonesia saja bisa bikin yang lebih baik dari itu. Dan syukurnya, keculunan itu berakhir dengan hadirnya BvS Dawn of Justice. Ben Affleck beserta Zack Synder dan Tim sungguh berhasil menghapus kekecewaan saya dari Batman sebelumnya. Singkat saja, adegan pertarungan ini sangat memorable, terutama ketika si Batman yang mengelilingi dia dengan pisau. Sungguh keren ini koreografinya. Juga kepalan tinju Ben Affleck sangat terasa bukan pada layar kaca, tapi juga pada para penonton.
9. Neo vs Agent Smith di perhentian kereta bawah tanah.
Di sini Neo yang harusnya kabur malah menoleh ke belakang, dia berbalik arah dan meyakini bahwa dirinya bisa mengalahkan makhluk yang tak pernah dikalahkan yaitu Agent Smith. Pertarungan dibuka dengan tembakan pistol, dan mereka berdua sama-sama mampu menghindari peluru. Setelah isi magazine kosong, pertarunganpun berganti ke kepalan tinju dan tendangan.
10. Tinju Utara vs Ip Man.
Ini juga saya sangat ingat. Cerita dimulai ketika TInju Utara mengunjungi satu persatu perguruan kungfu di Fosan. Dan dia mengalahkan semuanya. Lalu si penjaga restoran bilang, ada satu guru ilmu silat yang belum dia hadapi, yaitu Ip Man. Tinju Utarapun mengunjungi Ip Man dan terjadi pertarungan sengit. Bagian yang paling saya ingat adalah ketika si Tinju Utara yang sudah terdesak mengambil goloknya dan mencoba menebas Ip Man. Namun si guru ini malah mengambil kemoceng bulu ayam. Golok yang besar melawan kemoceng bulu ayam, dan yang menang si pengguna kemoceng. Itu benar-benar legend menurut saya.
Kemarin saya mencoba menulis cerita bertema Action Thriller, banyak film action yang telah saya tonton selama dua dekade ini. Namun tidak semua film-film action itu saya ingat, saya paling hanya ingat kepingannya saja, adegan-adegan tertentu yang mungkin bagi otak saya adalah adegan yang penting. Dan jika saya list secara cepat, maka inilah adegan-adegan pertarungan di film yang paling memorable untuk saya.
1. Arthur versus para penjaga di film Inception 2009
Jujur, saya nyaris lupa nama tokoh dan aktornya, tapi saya ingat banget adegannya. Meski koreografinya biasa aja, tapi ide lorong hotel mewah yang berputar-putar 360 derajat itu luar biasa. Saya ingat terus interior dan setting dari tempat tersebut, bahkan bisa dibilang visual dari lorong hotel itu sudah masuk ke awal bawah sadar dan mimpi-mimpi saya. Dan yang lebih penting lagi, menginspirasi tulisan saya, hahaha.
2. Sherlock vs Moriarty di Reichenbach Fall di film Games of Shadow 2011.
Ini juga pertarungan yang sangat memorable untuk saya. Guy Ritchie melakukanya dengan sangat elegan. Jika di film lain, si jagoan utama tanpa basa-basa akan melemparkan kepalan tinju ke sang penjahat. Namun di sini dia membukanya dengan sebuah permainan catur, blitz chess tepatnya. Lalu Holmes pun memaparkan deduksinya, lebih dari itu dia memaparkan bagaimana dia akan menghentikan Moriarty, lalu setelah pemaparan selesai, pertarunganpun dimulai. Mereka bertarung dalam pikiran sebelum menutupnya dengan satu serangan pamungkas yaitu sama-sama jatuh di Air Terjun Reichenbach.
3. Kenshi Himura vs Sojiro Seta di Rurouni Kenshin: Kyoto Inferno.
Saat mengetik ini saya bertanya-tanya sendiri, apa sih yang membuat mereka sangat memorable. Mungkin memang karena karakternya, Kenshi Himura dan Sojiro Seta adalah dua karakter yang nyaris bertolak belakang, yang satu gondrong berambut pirang yang satu berambut hitam pendek. Yang satu bergaya agak feminim yang satu lagi walaupun gondrong namun sangat maskulin. Begitupula dengan pakaiannya, Sojiro mengenakan pakaian putih dibalut kimono biru sedangkan Himura dia biasaya mengenakan pakaian berwarna merah (meski di film ini dia mengenakan pakaian warna abu-abu gelap.) Mungkin karena perbedaan mencolok dari keduanya yang membuat film ini terlihat sangat jernih.
4. Iko Uwais vs Cecep Arif Rahman di The Raid 02 Berandal.
Beda dengan Raid sebelumnya di mana pertarungan puncak berada di tempat gelap. Di sini mereka bertarung di tempat yang terang, luas, penuh perabotan, dan punya lantai serta tembok yang putih. Kamu bisa melihat tiap pukulan, tiap ekspresi rasa sakit, dan tiap darah yang jatuh ke lantai. Bisa dibilang The Raid 02 adalah film silat paling brutal yang pernah saya lihat. Sangat memorable!
5. Captain America vs Tim Shield di dalam lift di film Winter Soldier.
Selain adegan kemunculan Bucky si pria bertopeng, adegan di dalam petarungan di dalam lift merupakan favorit saya. Satu persatu agen Shield itu masuk ke dalam lift, mereka masuk dari lantai-lantai yang berbeda, mereka mengerubungi Steve Roger, lalu BOOM! Pertarungan dahsyat terjadi. Jikalau orang normal dalam situasi itu, dia pasti akan sangat panik dan ketakutan, namun Captain America dia sangat tenang karena dia tahu lawan-lawan yang dia hadapi cuma manusia biasa.
6. V for Vendetta, pertarungan akhir di bawah tanah.
Mask Vigilante V berada di lorong bawah tanah, dia berhadapan dengan si Komandan dari Polisi Rahasis pemerintah Inggris Baru, bersama 14 orang anak buahnya. Ini benar-benar GILA! Dalam situasi ini, saya yakin bahkan Guru Ip pun akan berpikir ratusan kali untuk bertarung melawan 15 orang bersenjata api tersebut. Nyaris mustahil, bahkan bagi pendekar terbaik sekalipun untuk bertahan hidup melawan banyak orang sekaligus, bahkan saya yakin Neo yang versi awalpun belum tentu bisa lolos dari situasi ini. Namun, Si Guy Fawke memang tidak ingin hidup setelah itu, jadi dia pertaruhkan semuanya di lorong bawah tanah. This is Final Fight! Memang koreografinya kacrut, tapi GAGASAN atas pertarungan itu sendiri; GRANDE menurut saya. Mereka menunjukan bahwa V for Vendetta benar-benar monster, bahwa seandainya dia masih hidup, mungkin dia mengalahkan Batman-nya Zack Synder dalam hitungan detik.
7. Jet Li vs Donny Yen di pembukaan film Hero.
Dahulu tiap kali bertemu dengan Putra Perdana (senior saya) kami selalu membicarakan pertarungan ini. Jet Li saya lupa nama karakter dia siapa yang pasti dia menggunakan pedang dengan pedang yang terbelah di tengahnya, dan Donny Yen bertarung dengan tombak. Di tengah tempat mereka bertarung terdapat orang tua buta yang bermain kecapi, saat itu hujan juga turun menambah kesan dramatis, dan pertarungan terjadi dalam layar hitam putih bersama dengan alunan musik tradisional dari Tirai Bambu. Mereka bertarung dalam pikiran masing-masing, mereka bertarung sebelum pertarungan fisik benar-benar di mulai, mereka bertarung dengan segenap jiwanya. Semua orang yang ada di sana, meski tak melihatnya tahu dan bisa merasakan dua energi raksasa yang saling beradu. Lalu puncaknya, satu serangan mematikan terjadi, dan si pengguna tombak kalah oleh si pengguna pedang dalam satu tusukan. Adegan ini sangat menginspirasi, bahwa pendekar hebat, mereka bertarung dalam pikirannya sebelum benar-benar bertarung secara fisik. Dan pertarungan ini menjadi inspirasi bagi film-film lainnya termasuk pertarungan Holmes dan Moriarty di Reichenbach Fall.
8. Batman vs Tim White Portugese di film BvS Dawn of Justice.
Jujur, saya kecewa dengan Dark Knight Rise yang jadi penutup dari series Batman karya Om Christopher Nolan. Semua yang pernah nonton film itu tahu sendiri, gimana pertarungan antara Batman vs Bane kok jadi culun banget. Bahkan orang Indonesia saja bisa bikin yang lebih baik dari itu. Dan syukurnya, keculunan itu berakhir dengan hadirnya BvS Dawn of Justice. Ben Affleck beserta Zack Synder dan Tim sungguh berhasil menghapus kekecewaan saya dari Batman sebelumnya. Singkat saja, adegan pertarungan ini sangat memorable, terutama ketika si Batman yang mengelilingi dia dengan pisau. Sungguh keren ini koreografinya. Juga kepalan tinju Ben Affleck sangat terasa bukan pada layar kaca, tapi juga pada para penonton.
9. Neo vs Agent Smith di perhentian kereta bawah tanah.
Di sini Neo yang harusnya kabur malah menoleh ke belakang, dia berbalik arah dan meyakini bahwa dirinya bisa mengalahkan makhluk yang tak pernah dikalahkan yaitu Agent Smith. Pertarungan dibuka dengan tembakan pistol, dan mereka berdua sama-sama mampu menghindari peluru. Setelah isi magazine kosong, pertarunganpun berganti ke kepalan tinju dan tendangan.
10. Tinju Utara vs Ip Man.
Ini juga saya sangat ingat. Cerita dimulai ketika TInju Utara mengunjungi satu persatu perguruan kungfu di Fosan. Dan dia mengalahkan semuanya. Lalu si penjaga restoran bilang, ada satu guru ilmu silat yang belum dia hadapi, yaitu Ip Man. Tinju Utarapun mengunjungi Ip Man dan terjadi pertarungan sengit. Bagian yang paling saya ingat adalah ketika si Tinju Utara yang sudah terdesak mengambil goloknya dan mencoba menebas Ip Man. Namun si guru ini malah mengambil kemoceng bulu ayam. Golok yang besar melawan kemoceng bulu ayam, dan yang menang si pengguna kemoceng. Itu benar-benar legend menurut saya.
Friday, July 28, 2017
Andai Chris Evan jadi Count Dracula
By Ftrohx
Sudah lama saya nggak nulis sesuatu yang absurd. Hahaha...
Ok, ini khayalan tingkat tinggi, dua tahun yang lalu saya berkhayal seandainya saya bisa menulis ulang cerita Count Dracula, tapi dari sudut pandang yang berbeda. Langsung saja, seandainya saya produser di Hollywood dan punya dana super besar, saya akan bikin film Count Dracula versi.
Chris Evan as Count Dracula.
Sungguh, ini GILA!! Saya sendiri sebenarnya tidak kepikiran akan aktor ini, sampai kemarin dia muncul di trailer Avengers Infinity War. Chris Evan dengan rambut dan jenggot hitam, benar-benar berbeda. Bukan hanya fisik, namun juga dari sifat dia menjadi sosok yang berbeda dari Captain America. Ok, kita semua tahu, seperti yang saya bilang di status Facebook, bahwa kekuatan super dari Captain America, bukan otot atau otaknya, melainkan KETAMPANAN-nya. Hahaha… Saya berpikir, bagaimana jika ada cowok super-GANTENG yang menjadi Count Dracula di era Milenial! Saya bisa membayangkan seluruh keluarga Cullen berlutut di hadapannya, hahaha.
Andrew Garfield as Jonathan Harker
Nah ini dia, salah satu tokoh yang paling sulit untuk saya temukan aktornya. Bagi kamu yang sudah pernah menonton Bram Stoker Dracula 90an, yang berperan sebagai Harker adalah Keanu Reeves. His the One you know! Dan yang sangat sulit untuk menemukan aktor yang bisa dipadankan dengan sosok Revees. Tapi melihat keberhasilan Garfield di Amazing Spiderman dan beberapa film di tahun 2016 kemarin, ya menurut saya dia layak untuk menjadi Jonathan Harker, karena seperti Keanu Revees di tahun 90an, saya melihat potensi itu ada di Andrew Garfield saat ini, mungkin di masa depan bisa jadi dia berperan sebagai Neo di film Reboot The Matirx.
Chris Hemsworth as Quincy Morris
Saya gregetan dengan karakter ini, Quincy Morris di buku asli Dracula karya Bram Stoker adalah satu-satu manusia yang berhasil menusuk jantung sang Raja Vampir. Seandainya bisa, saya pengen banget ada film atau novel yang bercerita tentang Quincy Morris. Saya suka karakter ini, dia satu-satu karakter dari Amerika yang ada di novel Dracula Bram Stoker. Diceritakan bahwa Morris adalah seorang Cowboy yang telah berpetualang ke seluruh penjuru Amerika, dari Utara hingga Selatan. Satu lagi yang unik dari Morris, berbeda dengan Cowboy lain yang membawa revolver, dia justru membawa Bowie Knife ke mana-mana bahkan di pesta Mina Harker. Saya berpikir Chris Hemsworth THOR cocok untuk berperan sebagai Cowboy bangsat ini.
Karen Gillian as Mina Harker
Saya suka Karen Gillian, di luar film Guardian of the Galaxy dia cewek yang super sweet, tapi ketika jadi Nebula di Guardian, beuh SADIS banget. Sama seperti Jonathan Harker atau Count Dracula, siapapun yang berperan sebagai Mina, dia akan jadi penentu berhasil atau tidaknya film ini. Di era sebelumnya yang menjadi Mina adalah Winona Ryder, dan nggak bisa dibantah lagi, bahwa saat itu Winona adalah bintang yang paling bersinar di Hollywood. Tapi Winona punya kelemahan, dia bukan bintang film action, dia lebih cenderung ke drama romance. Karena itu, di sini saya memilih Karen GIllian, sebab mau nggak mau Mina Harker pasti terlibat dalam adegan action yang brutal. Itu kenapa reinkarnasi dari Nebula menurut saya cocok untuk jadi Mina Harker, The women who become key of immortality.
Mad Mikkelsen as Dr. Van Hellsing
Van Hellshing adalah rival terkuat dari Count Dracula, seorang dokter eksentrik yang ahli dalam ilmu-ilmu supranatural. Manusia yang suka bikin perkara dengan makhluk-makhluk Dark Universe, sekaligus jadi penghalang terbesar sang Raja Vampir untuk menguasai dunia. Di era 90an ada Antoni Hopkins (Odin) yang jadi Van Hellsing, dan ada Hugh Jackman di era 2000an. Kita butuh aktor tua yang sakti, pilihan lain saya sebenarnya Liam Neeson, tapi Om itu sudah terlalu mainstream jadi Pak Tua sakti yang jago berantem. Lalu saat saya melihat Mad Mikkelsen sebagai Caisilius di Doctor Strange, wah inilah dia yang saya cari. Beginilah seharusnya Mad Mikkelsen bermain film. Entah, mungkin ini hanya perasaan saya saja, tapi saya melihat Mad Mikkelsen punya aura khas orang Eropa, mungkin karena saya melihat dia bermain di Casino Royale, Hannibal series, dan sebagai Caisilius. Seolah menyatakan bahwa dirinya adalah bangsawan Eropa yang eksentrik dan elegan, itu kenapa saya bilang dia cocok jadi Doctor Abraham Van Hellshing.
Sisanya, Three Bridge of Dracula, ah ini siapapun aktris sexy bisa masuk, tapi bagaimana jika kita taruh Alexandra Dadario dalam list. Beuh, mungkin di masa depan dia bisa jadi next Monica Belluci.
Iya, sampai di sini dulu tulisan, thanks you yang sudah mampir, hahaha.
. . .
Ilustrasi, dari poster Avengers Infinity War.
Sudah lama saya nggak nulis sesuatu yang absurd. Hahaha...
Ok, ini khayalan tingkat tinggi, dua tahun yang lalu saya berkhayal seandainya saya bisa menulis ulang cerita Count Dracula, tapi dari sudut pandang yang berbeda. Langsung saja, seandainya saya produser di Hollywood dan punya dana super besar, saya akan bikin film Count Dracula versi.
Chris Evan as Count Dracula.
Sungguh, ini GILA!! Saya sendiri sebenarnya tidak kepikiran akan aktor ini, sampai kemarin dia muncul di trailer Avengers Infinity War. Chris Evan dengan rambut dan jenggot hitam, benar-benar berbeda. Bukan hanya fisik, namun juga dari sifat dia menjadi sosok yang berbeda dari Captain America. Ok, kita semua tahu, seperti yang saya bilang di status Facebook, bahwa kekuatan super dari Captain America, bukan otot atau otaknya, melainkan KETAMPANAN-nya. Hahaha… Saya berpikir, bagaimana jika ada cowok super-GANTENG yang menjadi Count Dracula di era Milenial! Saya bisa membayangkan seluruh keluarga Cullen berlutut di hadapannya, hahaha.
Andrew Garfield as Jonathan Harker
Nah ini dia, salah satu tokoh yang paling sulit untuk saya temukan aktornya. Bagi kamu yang sudah pernah menonton Bram Stoker Dracula 90an, yang berperan sebagai Harker adalah Keanu Reeves. His the One you know! Dan yang sangat sulit untuk menemukan aktor yang bisa dipadankan dengan sosok Revees. Tapi melihat keberhasilan Garfield di Amazing Spiderman dan beberapa film di tahun 2016 kemarin, ya menurut saya dia layak untuk menjadi Jonathan Harker, karena seperti Keanu Revees di tahun 90an, saya melihat potensi itu ada di Andrew Garfield saat ini, mungkin di masa depan bisa jadi dia berperan sebagai Neo di film Reboot The Matirx.
Chris Hemsworth as Quincy Morris
Saya gregetan dengan karakter ini, Quincy Morris di buku asli Dracula karya Bram Stoker adalah satu-satu manusia yang berhasil menusuk jantung sang Raja Vampir. Seandainya bisa, saya pengen banget ada film atau novel yang bercerita tentang Quincy Morris. Saya suka karakter ini, dia satu-satu karakter dari Amerika yang ada di novel Dracula Bram Stoker. Diceritakan bahwa Morris adalah seorang Cowboy yang telah berpetualang ke seluruh penjuru Amerika, dari Utara hingga Selatan. Satu lagi yang unik dari Morris, berbeda dengan Cowboy lain yang membawa revolver, dia justru membawa Bowie Knife ke mana-mana bahkan di pesta Mina Harker. Saya berpikir Chris Hemsworth THOR cocok untuk berperan sebagai Cowboy bangsat ini.
Karen Gillian as Mina Harker
Saya suka Karen Gillian, di luar film Guardian of the Galaxy dia cewek yang super sweet, tapi ketika jadi Nebula di Guardian, beuh SADIS banget. Sama seperti Jonathan Harker atau Count Dracula, siapapun yang berperan sebagai Mina, dia akan jadi penentu berhasil atau tidaknya film ini. Di era sebelumnya yang menjadi Mina adalah Winona Ryder, dan nggak bisa dibantah lagi, bahwa saat itu Winona adalah bintang yang paling bersinar di Hollywood. Tapi Winona punya kelemahan, dia bukan bintang film action, dia lebih cenderung ke drama romance. Karena itu, di sini saya memilih Karen GIllian, sebab mau nggak mau Mina Harker pasti terlibat dalam adegan action yang brutal. Itu kenapa reinkarnasi dari Nebula menurut saya cocok untuk jadi Mina Harker, The women who become key of immortality.
Mad Mikkelsen as Dr. Van Hellsing
Van Hellshing adalah rival terkuat dari Count Dracula, seorang dokter eksentrik yang ahli dalam ilmu-ilmu supranatural. Manusia yang suka bikin perkara dengan makhluk-makhluk Dark Universe, sekaligus jadi penghalang terbesar sang Raja Vampir untuk menguasai dunia. Di era 90an ada Antoni Hopkins (Odin) yang jadi Van Hellsing, dan ada Hugh Jackman di era 2000an. Kita butuh aktor tua yang sakti, pilihan lain saya sebenarnya Liam Neeson, tapi Om itu sudah terlalu mainstream jadi Pak Tua sakti yang jago berantem. Lalu saat saya melihat Mad Mikkelsen sebagai Caisilius di Doctor Strange, wah inilah dia yang saya cari. Beginilah seharusnya Mad Mikkelsen bermain film. Entah, mungkin ini hanya perasaan saya saja, tapi saya melihat Mad Mikkelsen punya aura khas orang Eropa, mungkin karena saya melihat dia bermain di Casino Royale, Hannibal series, dan sebagai Caisilius. Seolah menyatakan bahwa dirinya adalah bangsawan Eropa yang eksentrik dan elegan, itu kenapa saya bilang dia cocok jadi Doctor Abraham Van Hellshing.
Sisanya, Three Bridge of Dracula, ah ini siapapun aktris sexy bisa masuk, tapi bagaimana jika kita taruh Alexandra Dadario dalam list. Beuh, mungkin di masa depan dia bisa jadi next Monica Belluci.
Iya, sampai di sini dulu tulisan, thanks you yang sudah mampir, hahaha.
. . .
Ilustrasi, dari poster Avengers Infinity War.
Saturday, June 3, 2017
After Dark Haruki Murakami
Drama Malam Menunggu Pagi
By Ftrohx
Sinopsis
Cerita dimulai di sebuah kafe, tepatnya Wendy's. Lewat tengah malam, seorang gadis berusia 19 tahun, Mari, duduk sendirian di pojok kafe sambil membaca sebuah buku. Dia tidak memesan apa-apa kecuali secangkir kopi. Lalu datang seorang pemuda yang masuk di kafe itu. Dia mengenali si gadis yang duduk di pojokan dan menyapanya. Si Pemuda bernama Takahashi, dia menyapanya. "Kamu Mari bukan, adik Eri!?" Dan malam yang panjangpun dimulai.
Takahashi menawari Mari untuk makan malam bersamanya, namun Mari menolak dengan alasan Ayam di sana adalah Ayam suntik dengan rekayasa genetik yang dapat menimbulkan kanker. Tapi paradoks, Mari sendiri memilih merokok dan minum kopi, tepatnya dia memaksakan diri merokok meski nampak dia bukan cewek yang biasa merokok.
Setelah perbincangan panjang dan Takahashi menghabiskan makan malam. Diapun pamit untuk melanjutkan kegiataannya yaitu latihan band, dia mengaku bermain Trombone, alat musik yang jarang dipakai anakmuda untuk terlihat keren. Karena kita semua tahu, cowok bawel yang show off macam dia biasanya lebih memilih guitar dibanding alat musik tiup.
Mari kembali sendiri di kafe.
Bab kedua bercerita tentang Eri yang sedang tidur di kamar rumahnya. Lalu televisi menyala sendiri, kemudian muncul sosok laki-laki tanpa wajah di sana, dia terus memandangi Eri yang sedang tidur. Tidak ada dialog di bab kedua ini, hanya deskripsi panjang dari Murakami tentang apa yang terjadi di kamar tidur. Beberapa teman penulis bilang bahwa bab ini adalah cerita horror, yang lain bilang bahwa ini adalah fiksi fantasi, yang lain lagi bilang bahwa ini adalah sebuah metafora, sesuatu yang menjadi anti-tesis dari Mari yang terjaga dan hidup berkeliling kota Tokyo. Tapi menurut saya, cerita Eri ini lebih mirip mimpi di dalam sebuah mimpi, seperti Inception.
Bab ketiga kembali masuk ke cerita Mari di kafe. Muncul seorang wanita bernama Kaoru, seorang manajer hotel murah. Dia datang tuk meminta bantuan pada Mari karena ada pelacur dikamar hotelnya dipukuli oleh seorang pelanggan. Sialnya, pelacur itu tidak bisa bahasa Jepang jadi dia membutuhkan Mari untuk bicara padanya. Merekapun pergi ke hotel murah itu yang bernama Alphaville. Ok, saya nggak ingin cerita lebih lanjut lagi, karena akan sangat spoiler.
Bab selanjutnya Mari diantar Kaoru ke sebuah kafe, lalu muncul lagi Takahashi yang sedang istirahat dari lantai band-nya, dia kembali memesan makanan, dan Maripun menolak makan malam dengannya. Dengan alasan dia nggak makan ikan tuna, karena tuna mengandung Merkuri, kembali lagi mereka mengobrol panjang dan seterusnya hingga pagi menjelang.
Review
Novel ini highly recommended bagi kamu yang sedang cari inspirasi untuk menulis novel atau naskah film. Meski plotnya sangat sederhana, beranjak dari satu kafe ke kafe yang lain. Ngobrol ngalor-ngidul, tapi karakter mereka digali dengan sangat dalam.
Bicara karakter, mereka benar-benar hidup.
Mereka benar-benar detail dibuat, mereka bukan sekedar nama. Tapi mereka adalah karakter dengan masa lalu dan sejarah masing-masing.
Mari si gadis kutu-buku introvert yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan mendengar hal-hal yang filosofis. Saya sangat suka Mari, bagaimana dia bisa dengan begitu keras menjaga rahasia, dan bagaimana dia mengupas dirinya sendiri satu persatu hingga mengejutkan kita yang membaca ceritanya. Jelas gadis ini sangat kuat dan pintar. Lalu Takahashi, si pemain trombone yang sok pintar, banyak bicara, dan juga banyak membual. Hahaha... Saya nggak percaya bahwa Takahashi pernah magang di Pengadilan Negeri Kasumi, Tokyo. Juga cerita tentang dibayari cewek untuk main di Hotel Murah itu yang membuatnya kenal dengan Kaoru. Itu lebih ke cerita bullshit menurut saya.
Lalu ada Kaoru, si manajer hotel Alphaville yang merupakan mantan pegulat profesional. Saya pikir cerita tentang Kaoru adalah sebuah metafora, jika Mari adalah seorang gadis yang mengejar impiannya, mencoba untuk lulus kuliah dan menjadi seorang translator. Maka Kaoru adalah wanita yang sudah pernah mendapatkan impian, dia mendapatkan pekerjaan terbaik yang dia suka, namun jatuh setelahnya -post star syndrome. Bahwa selalu ada cerita setelah kamu mencapai sebuah titik, selalu ada.
Sedangkan Eri sendiri, kakak dari Mari, menurut saya juga sebuah metafora.Mari selalu bilang bahwa dia iri dengan kakaknya yang cantik, kakaknya yang pernah jadi model untuk sebuah acara televisi, kakaknya yang mudah mendapatkan segala sesuatu. Namun kemudian, Eri jatuh dalam sebuah tidur panjang 2 bulan dia tidak terbangun dari tempat tidurnya. Paradoks, di saat Mari terjaga semalam dan berkeliaran di pinggiran kota Tokyo, sang kakak Eri justru lelap tertidur di kamar rumahnya sendiri.
Kemudian ada Korogi, asisten dari Kaoru. Dibanding yang karakter lain, Korogi bisa dibilang punya kisah yang kelam. Membaca Korogi, saya seperti melihat si gadis prostitusi yang ditolong Mari, tapi versi masa depan-nya. Pengalaman hidup dan kumpulan rasa sakit membuatnya menjadi wanita yang bijak, ramah, sekaligus kaya dengan filosofi. Sesuatu yang rasanya nggak mungkin kamu dengar dari seorang pekerja malam. Selan nama-nama itu, karakter-karakter yang lain juga dibuat sesuai dengan porsinya. Dan semua seolah punya ciri khas, punya masa lalu, dan fungsi yang organik bagi keseluruhan novel ini.
Bicara tentang plot
Seperti yang saya bilang sebelumnya, After Dark itu sederhana sekaligus kompleks. Sederhana ketika kita mengikuti cerita tentang Mari, tetapi kompleks ketika kita mencoba menelaan dialog-dialognya dan filosofi tentang kegelapan malam. Bagian itu sangat dalam menurut saya, terutama di bab-bab akhir (haduh, spoiler lagi.)
Cerita dimulai dari seorang gadis yang duduk di pojok Wendy's. Saya sering banget lihat editor yang ngamuk-ngamuk dengan naskah pembuka seperti ini. Adegan wanita yang menyendiri di sebuah kafe, lalu masuk seorang pemuda. Mereka berkenalan ngobrol panjang ngalor-ngidul, dan kemudian petualanganpun dimulai. Klise, tapi jujur saya sangat menikmatinya.
Secara garis besar, novel After Dark, terutama bagian dari si gadis muda Mari. Mengingatkan saya dengan petualangan Julie Delpy di Vienna bersama dengan Ethan Hawk dalam film Before Sunset. Cerita tentang dua anakmuda yang sangat pintar dan tahu banyak tentang buku. Mereka jalan-jalan menghabiskan waktu menunggu pagi, sambil bicara banyak tentang berbagai macam filosofi dan budaya pop modern. Mari dan Takahashi juga seperti itu. Bedanya, ada subplot di perjalanan mereka. Mari bertemu Kaoru yang meminta bantuan untuk menolong seorang gadis chinesse di hotelnya. Sedangkan Takahashi, malam itu dia adalah acara nge-jam sampai pagi dengan teman-teman band Jazz-nya.
Subplot dan cerita di dalam cerita.
Bisa dibilang inilah yang membuat saya sangat gregetan dengan After Dark Murakami. Ada satu quote yang sangat saya suka, dari Korogi si asisten manajer Hotel.
"You know what I think?" she says. "That people's memories are maybe the fuel they burn to stay alive. Whether those memories have any actual importance or not, it doesn't matter as far as the maintenance of life is concerned. – Itu sangat menohok, dalam, dingin, dan filosofis.
Dari yang saya baca, selain tema kegelapan malam, novel ini juga bermain dengan tema memori, kenangan, dan masa lalu dari setiap karakter yang dikupas satu persatu. Kenangan-kenangan yang sederhana, namun disajikan dengan 'BEUH' begitu mengejutkan.
Oh iya, hampir lupa. Tentang kakaknya Mari, si Eri. Bab-babnya benar-benar berbeda dengan cerita sang adik.
Cerita Eri lebih ke fiksi fantasi, seorang gadis yang tertidur selama 2 bulan tanpa pernah terbangun. Ok, mungkin dia terbangun, mungkin juga dia tak sadarkan diri, mungkin dia diguna-guna, dia teror oleh hantu, atau mungkin dia dikutuk, mungkin juga dia mengalami sebuah trauma berat yang mengacaukan alam bawah sadarnya. Mungkin semua yang terjadi padanya hanya sebuah mimpi di dalam mimpi seperti di film Inception.
Membahas tentang Eri, untuk saya bagian ini bisa saja dihilangkan dan membuat novel After Dark tetap sebuah After Dark, novel yang menarik.
Konklusi
Novel ini sangat menginspirasi saya. Membuka catatan-catatan lama di Facebook saya pernah ingin bikin novel berjudul Detektif Alice gara-gara baca ceritar After Dark Murakami. Sayangnya, waktu itu saya belum punya cukup skill di dunia perdetektifan, hahaha… Sekarang niatnya pengen lanjut ke situh.
Ok, bicara konklusi, Aftar Dark bagi saya adalah novel detektif tanpa cerita detektif. Kalau kamu baca perlahan dan dengan detail, unsur-unsur fiksi detektif dan thriller mengalir deras di novel ini. Dari frase ke frase, dari permainan diksi, khas fiksi detektif banget. Mungkin karena Murakami basic kuat di situh, atau mungkin karena budaya penulis Jepang memang ditempa seperti itu, cerita kriminal bercampur fiksi fantasi. Terakhir, novel ini untuk saya bisa dibilang novel drama romantik+filosofis dengan 4 bintang.
By Ftrohx
Sinopsis
Cerita dimulai di sebuah kafe, tepatnya Wendy's. Lewat tengah malam, seorang gadis berusia 19 tahun, Mari, duduk sendirian di pojok kafe sambil membaca sebuah buku. Dia tidak memesan apa-apa kecuali secangkir kopi. Lalu datang seorang pemuda yang masuk di kafe itu. Dia mengenali si gadis yang duduk di pojokan dan menyapanya. Si Pemuda bernama Takahashi, dia menyapanya. "Kamu Mari bukan, adik Eri!?" Dan malam yang panjangpun dimulai.
Takahashi menawari Mari untuk makan malam bersamanya, namun Mari menolak dengan alasan Ayam di sana adalah Ayam suntik dengan rekayasa genetik yang dapat menimbulkan kanker. Tapi paradoks, Mari sendiri memilih merokok dan minum kopi, tepatnya dia memaksakan diri merokok meski nampak dia bukan cewek yang biasa merokok.
Setelah perbincangan panjang dan Takahashi menghabiskan makan malam. Diapun pamit untuk melanjutkan kegiataannya yaitu latihan band, dia mengaku bermain Trombone, alat musik yang jarang dipakai anakmuda untuk terlihat keren. Karena kita semua tahu, cowok bawel yang show off macam dia biasanya lebih memilih guitar dibanding alat musik tiup.
Mari kembali sendiri di kafe.
Bab kedua bercerita tentang Eri yang sedang tidur di kamar rumahnya. Lalu televisi menyala sendiri, kemudian muncul sosok laki-laki tanpa wajah di sana, dia terus memandangi Eri yang sedang tidur. Tidak ada dialog di bab kedua ini, hanya deskripsi panjang dari Murakami tentang apa yang terjadi di kamar tidur. Beberapa teman penulis bilang bahwa bab ini adalah cerita horror, yang lain bilang bahwa ini adalah fiksi fantasi, yang lain lagi bilang bahwa ini adalah sebuah metafora, sesuatu yang menjadi anti-tesis dari Mari yang terjaga dan hidup berkeliling kota Tokyo. Tapi menurut saya, cerita Eri ini lebih mirip mimpi di dalam sebuah mimpi, seperti Inception.
Bab ketiga kembali masuk ke cerita Mari di kafe. Muncul seorang wanita bernama Kaoru, seorang manajer hotel murah. Dia datang tuk meminta bantuan pada Mari karena ada pelacur dikamar hotelnya dipukuli oleh seorang pelanggan. Sialnya, pelacur itu tidak bisa bahasa Jepang jadi dia membutuhkan Mari untuk bicara padanya. Merekapun pergi ke hotel murah itu yang bernama Alphaville. Ok, saya nggak ingin cerita lebih lanjut lagi, karena akan sangat spoiler.
Bab selanjutnya Mari diantar Kaoru ke sebuah kafe, lalu muncul lagi Takahashi yang sedang istirahat dari lantai band-nya, dia kembali memesan makanan, dan Maripun menolak makan malam dengannya. Dengan alasan dia nggak makan ikan tuna, karena tuna mengandung Merkuri, kembali lagi mereka mengobrol panjang dan seterusnya hingga pagi menjelang.
Review
Novel ini highly recommended bagi kamu yang sedang cari inspirasi untuk menulis novel atau naskah film. Meski plotnya sangat sederhana, beranjak dari satu kafe ke kafe yang lain. Ngobrol ngalor-ngidul, tapi karakter mereka digali dengan sangat dalam.
Bicara karakter, mereka benar-benar hidup.
Mereka benar-benar detail dibuat, mereka bukan sekedar nama. Tapi mereka adalah karakter dengan masa lalu dan sejarah masing-masing.
Mari si gadis kutu-buku introvert yang lebih banyak menghabiskan waktu untuk membaca dan mendengar hal-hal yang filosofis. Saya sangat suka Mari, bagaimana dia bisa dengan begitu keras menjaga rahasia, dan bagaimana dia mengupas dirinya sendiri satu persatu hingga mengejutkan kita yang membaca ceritanya. Jelas gadis ini sangat kuat dan pintar. Lalu Takahashi, si pemain trombone yang sok pintar, banyak bicara, dan juga banyak membual. Hahaha... Saya nggak percaya bahwa Takahashi pernah magang di Pengadilan Negeri Kasumi, Tokyo. Juga cerita tentang dibayari cewek untuk main di Hotel Murah itu yang membuatnya kenal dengan Kaoru. Itu lebih ke cerita bullshit menurut saya.
Lalu ada Kaoru, si manajer hotel Alphaville yang merupakan mantan pegulat profesional. Saya pikir cerita tentang Kaoru adalah sebuah metafora, jika Mari adalah seorang gadis yang mengejar impiannya, mencoba untuk lulus kuliah dan menjadi seorang translator. Maka Kaoru adalah wanita yang sudah pernah mendapatkan impian, dia mendapatkan pekerjaan terbaik yang dia suka, namun jatuh setelahnya -post star syndrome. Bahwa selalu ada cerita setelah kamu mencapai sebuah titik, selalu ada.
Sedangkan Eri sendiri, kakak dari Mari, menurut saya juga sebuah metafora.Mari selalu bilang bahwa dia iri dengan kakaknya yang cantik, kakaknya yang pernah jadi model untuk sebuah acara televisi, kakaknya yang mudah mendapatkan segala sesuatu. Namun kemudian, Eri jatuh dalam sebuah tidur panjang 2 bulan dia tidak terbangun dari tempat tidurnya. Paradoks, di saat Mari terjaga semalam dan berkeliaran di pinggiran kota Tokyo, sang kakak Eri justru lelap tertidur di kamar rumahnya sendiri.
Kemudian ada Korogi, asisten dari Kaoru. Dibanding yang karakter lain, Korogi bisa dibilang punya kisah yang kelam. Membaca Korogi, saya seperti melihat si gadis prostitusi yang ditolong Mari, tapi versi masa depan-nya. Pengalaman hidup dan kumpulan rasa sakit membuatnya menjadi wanita yang bijak, ramah, sekaligus kaya dengan filosofi. Sesuatu yang rasanya nggak mungkin kamu dengar dari seorang pekerja malam. Selan nama-nama itu, karakter-karakter yang lain juga dibuat sesuai dengan porsinya. Dan semua seolah punya ciri khas, punya masa lalu, dan fungsi yang organik bagi keseluruhan novel ini.
Bicara tentang plot
Seperti yang saya bilang sebelumnya, After Dark itu sederhana sekaligus kompleks. Sederhana ketika kita mengikuti cerita tentang Mari, tetapi kompleks ketika kita mencoba menelaan dialog-dialognya dan filosofi tentang kegelapan malam. Bagian itu sangat dalam menurut saya, terutama di bab-bab akhir (haduh, spoiler lagi.)
Cerita dimulai dari seorang gadis yang duduk di pojok Wendy's. Saya sering banget lihat editor yang ngamuk-ngamuk dengan naskah pembuka seperti ini. Adegan wanita yang menyendiri di sebuah kafe, lalu masuk seorang pemuda. Mereka berkenalan ngobrol panjang ngalor-ngidul, dan kemudian petualanganpun dimulai. Klise, tapi jujur saya sangat menikmatinya.
Secara garis besar, novel After Dark, terutama bagian dari si gadis muda Mari. Mengingatkan saya dengan petualangan Julie Delpy di Vienna bersama dengan Ethan Hawk dalam film Before Sunset. Cerita tentang dua anakmuda yang sangat pintar dan tahu banyak tentang buku. Mereka jalan-jalan menghabiskan waktu menunggu pagi, sambil bicara banyak tentang berbagai macam filosofi dan budaya pop modern. Mari dan Takahashi juga seperti itu. Bedanya, ada subplot di perjalanan mereka. Mari bertemu Kaoru yang meminta bantuan untuk menolong seorang gadis chinesse di hotelnya. Sedangkan Takahashi, malam itu dia adalah acara nge-jam sampai pagi dengan teman-teman band Jazz-nya.
Subplot dan cerita di dalam cerita.
Bisa dibilang inilah yang membuat saya sangat gregetan dengan After Dark Murakami. Ada satu quote yang sangat saya suka, dari Korogi si asisten manajer Hotel.
"You know what I think?" she says. "That people's memories are maybe the fuel they burn to stay alive. Whether those memories have any actual importance or not, it doesn't matter as far as the maintenance of life is concerned. – Itu sangat menohok, dalam, dingin, dan filosofis.
Dari yang saya baca, selain tema kegelapan malam, novel ini juga bermain dengan tema memori, kenangan, dan masa lalu dari setiap karakter yang dikupas satu persatu. Kenangan-kenangan yang sederhana, namun disajikan dengan 'BEUH' begitu mengejutkan.
Oh iya, hampir lupa. Tentang kakaknya Mari, si Eri. Bab-babnya benar-benar berbeda dengan cerita sang adik.
Cerita Eri lebih ke fiksi fantasi, seorang gadis yang tertidur selama 2 bulan tanpa pernah terbangun. Ok, mungkin dia terbangun, mungkin juga dia tak sadarkan diri, mungkin dia diguna-guna, dia teror oleh hantu, atau mungkin dia dikutuk, mungkin juga dia mengalami sebuah trauma berat yang mengacaukan alam bawah sadarnya. Mungkin semua yang terjadi padanya hanya sebuah mimpi di dalam mimpi seperti di film Inception.
Membahas tentang Eri, untuk saya bagian ini bisa saja dihilangkan dan membuat novel After Dark tetap sebuah After Dark, novel yang menarik.
Konklusi
Novel ini sangat menginspirasi saya. Membuka catatan-catatan lama di Facebook saya pernah ingin bikin novel berjudul Detektif Alice gara-gara baca ceritar After Dark Murakami. Sayangnya, waktu itu saya belum punya cukup skill di dunia perdetektifan, hahaha… Sekarang niatnya pengen lanjut ke situh.
Ok, bicara konklusi, Aftar Dark bagi saya adalah novel detektif tanpa cerita detektif. Kalau kamu baca perlahan dan dengan detail, unsur-unsur fiksi detektif dan thriller mengalir deras di novel ini. Dari frase ke frase, dari permainan diksi, khas fiksi detektif banget. Mungkin karena Murakami basic kuat di situh, atau mungkin karena budaya penulis Jepang memang ditempa seperti itu, cerita kriminal bercampur fiksi fantasi. Terakhir, novel ini untuk saya bisa dibilang novel drama romantik+filosofis dengan 4 bintang.
Subscribe to:
Posts (Atom)