Oleh Fitrah Tanzil
Bab 01 Nomor Lima
Namaku Indah Prameswari, aku tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan otomotif. Banyak hal luar biasa yang kualami dalam hidupku. Tapi kenangan di masa SMA adalah kenangan terbaik yang pernah aku punya.
SMA-ku, Neunzig adalah sebuah SMA yang luar biasa. Bukan hanya karena lokasi dan eksteriornya yang keren, tapi juga karena para penghuninya.
Kami sendirian berada di Petukangan Selatan. Kami tidak elit seperti Highscope, tidak pula murah seperti sekolah negeri lain di Jakarta sini. Kami tidak show off dengan pasukan jalanan ataupun duel ke sana kemari. Kami punya cara lain yang lebih keren yaitu dengan tim ekskul.
Di Neunzig adalah tiga ekskul dengan anggota klub di atas empat puluh orang yaitu Klub Taekwondo, Klub Pencak Silat, dan Klub Basket. Belum lagi ekskul-ekskul olahraga yang lain. Dalam pertandingan antar sekolah, pada masaku, kami disebut sebagai Kuda Hitamnya Jakarta Selatan. Sebab kami yang tidak diperhitungkan sebelum berhasil menyabet jawara dalam berbagai pertandingan.
Sayangnya, aku tidak ikut klub olahraga mana pun.
Dulu waktu kelas X pengennya aku masuk klub Taekwondo, namun Ibuku melarangnya, bilang bahwa itu olahraga keras yang tidak cocok untuk anak perempuan. Atau tepatnya anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Jadilah, aku mengambil ekskul Vocal Group yang sayangnya aku nggak bertahan lama di sana. Sebab, ketidakcocokan dengan para senior.
Tapi Ibuku, terlalu pintar, dia mengirimku ke tempat-tempat les IPA sepulang sekolah. Dia ingin anak pertamanya bisa masuk UI atau ITB selulus SMA. Hari-hariku berlalu dengan biasa dan sangat membosankan di sekolah. Sampai dia datang.
Aku ingat itu selasa pagi. Bu Santi wali kelas kami memperkenalkan murid baru yang sedang berdiri di depan kelas. Hmm, di Neunzig sebenarnya banyak cowok yang punya wajah ganteng, tapi melihat cowok baru yang ada di depan kelas ini. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang. Hidungnya mancung, rambutnya hitam lurus, kulitnya sawo cerah, dan memiliki tubuh yang tinggi seperti anak basket.
Anehnya, otakku bertanya-tanya siapa dia? Dari mana asalnya? Di mana dia tinggal? Siapa orang tuanya dan kenapa dia pindah ke sekolah ini? Kenapa tidak di SMA yang lain.
“Ini Ryo, murid pindahan,” ucap wali kelas kami. “Dari mana tadi?” tanyanya ke si pemuda.
“Saya dari Jakarta Pusat,” ucapnya canggung.
“Iya, Ryo dari JakPus, silahkan memperkenalkan diri,” ucap Bu Santi setengah berteriak.
“Nama saya Ryosuke Adrian Sjuman,” ucapnya dengan suara agak keras. “Biasa dipanggil Ryo Sjuman. Saya dari SMA di Jakarta Pusat. Hobi saya naik sepeda dan baca komik, cita-cita saya menjadi pilot.”
Serentak cowok-cowok di kelas XI-4 tertawa. Sekilas aku mendengar, mereka bicara. “Naik sepeda dan jadi pilot, hahaha,” ucap Rafa si tukang bully.
Aku nggak mengerti apa yang lucu dari kelakar mereka.
“Oke, perkenalannya selesai,” ucap Bu Santi. “Dan kamu bisa duduk di situh, di bangku sebelah Indah,” tunjuknya tepat ke bangku di sebelahku.
Aku tersentak. Aku lupa, bahwa bangku di sebelahku memang kosong sejak awal. Sungguh, Tuhan seolah bermain komedi dengan hidupku.
Si pemuda asing itu pun langsung melangkah dan mengambil tempat duduk di sampingku. Huh, aku bisa mencium bau tubuhnya, campuran antara keringat anak cowok dengan bau parfum murahan.
“Saya Ryo,” ucapnya tiba-tiba mengulurkan tangan padaku.
“Kamu bau!” ucapku spontan dengan bodohnya.
Dia sedikit terkejut. “Maaf,” ucapnya. “Aku ke sini tadi naik sepeda.”
“Oh pantas,” balasku. “Pasti buru-buru ya?”
“Benar,” balasnya tersenyum.
Aku nggak ingin bilang, bahwa itu adalah senyum terindah yang pernah kulihat di pagi itu.
“Memangnya, rumah kamu di mana?” tanyaku.
“Aku di Rempoa,” balasnya datar.
Mataku membulat besar. “Rempoa, itukan jauh di ujung sana, sepuluh kilometer dari sini bukan!”
Dia menggeleng. “Dua belas kilometer tepatnya, tadi aku lihat di speedometer.”
“Luar biasa!” seruku.
Selama mata pelajaran berlangsung kami lebih banyak diam. Aku juga takut untuk bertanya-tanya. Tapi begitu bell istirahat berbunyi, perbincangan kami pun berlanjut. Beberapa cewek dan cowok juga menghampiri meja kami dan langsung berkenalan pada si siswa baru yang tampan. Aku mendengar tentang sekolah lama, tentang tempat tinggalnya, dan kedua orang tuanya. Lalu saat kerusuhan sudah meredah, dia menarikku keluar kelas.
“Jadi apa yang menarik di sekolah ini?” tanyanya.
“Hmm, apa ya?” ucapku dengan mata melihat ke sekeliling.
Lalu secara kebetulan si cewek super cantik berwajah bule itu pun lewat. Dan Ryo melihatnya berjalan, sama seperti semua cowok di lorong yang juga terkesima melihatnya.
“Itu siapa?” tanyanya.
“Itu Anastasia Van Claude, cewek tercantik nomor dua di sekolah ini,” terangku.
“Wow, keren!”
“Dia cewek keturunan Belanda dan Padang, plus juara satu Gadis Sampul,” tambahku.
“Wah, itu lebih keren lagi.”
Di belakangnya berjalan seorang cowok rusuh. “Ide pencuriannya keren banget loh, lewat itu Ocean Eleven!” serunya ke Anastasia yang tampak tidak peduli.
“Ngomong-ngomong, jika cewek Belanda itu nomor dua, nomor satunya siapa?” tanyanya lagi.
Sungguh, ini adalah sebuah kesalahan yang sangat kusesali hingga puluhan ribu tahun ke depan. Kebetulan pula, cewek itu juga ada di sana. Sedang melangkah dengan anggunnya di tengah lapangan sekolah.
“Itu dia si cewek nomor satu,” tunjukku ke perempuan super cantik yang berjalan menuju pintu gerbang. “Namanya Dyota Larasati Sigmore, keturunan Chinesse, Inggris, dan Itali. Sama seperti Anastasia dia juga juara Gadis Sampul.”
“Gila!! Ada dua juara Gadis Sampul di sekolah ini!”
“Iya, sesuatu yang nggak mungkin, tapi terjadi di sini.”
“Kalau cowok-cowoknya gimana? Siapa yang paling ganteng?” tanyanya dengan begitu konyol.
“Kalau cowok rasanya nggak ada dah.”
“Kenapa?”
“Hmm, ada sih beberapa yang ganteng, tapi mereka tidak bisa mengimbangi cewek-cewek super cantik itu. Maksudku ganteng doang, tapi tanpa prestasi, iya jadinya biasa aja.”
“Oh begitu.”
“Tapi tadi aku lihat ada cowok yang dekatin Anastasia,”
“Oh dia, dia Troh, biang rusuh di sekolah ini,” jelasku.
“Biang rusuh? Preman gituh ya?”
“Bukan, dia bukan preman. Dia detektif sekolah,” ujarku yang membuat Ryo membelalak.
“Detektif sekolah!?” dia menahan tawa. “Memang ada yang seperti itu?”
“Ada,” ucapku. “Dan mungkin dia satu-satunya detektif sekolah di Jakarta, eh bukan, mungkin di seluruh Indonesia.”
“Wow.”
“Dia bukan cuma memecahkan kasus, dia juga seolah penulis untuk tiga majalah nasional.”
“Wah, serius!?”
“Iya, itu kenapa dia bisa mendekati cewek yang untouchable macam Anastasia dan Dyota.”
Ryo mengangkat dagu. “Ah begitu, pantas saja. Kalau yang lain?”
Kebetulan lewat sekumpulan anak Basket. “Oh itu dia atlet nasional.”
Mata Ryo memindai cowok kekar berambut setengah botak yang ada di depan. “Yang cepak itu?”
“Bukan, dia Bimo, dia Ace-nya SMA ini,”
“Ace-nya?”
“Iya, dia Ace-nya, tapi bukan dia atlet nasionalnya,” aku menunjuk ke barisan belakang, cowok kurus berambut gondrong yang sedang membaca komik. “Itu atlet nasionalnya, namanya Haikal.”
“Apa? Serius!?”
“Iya, beneran. Meski kurus-kurus gituh, dia bisa memasukkan bola dari ujung ring basket ke ujung ring basket yang lain.”
“Wah, gila!!”
“Dia juga ngejar-ngejar Dyota, meski ditolak melulu.”
Kali ini Ryo tertawa sungguhan.
“Kalau yang itu?” dia melempar pandangan ke cowok dingin dengan tatapan yang tajam.
“Dia Zain, dia rivalnya Troh.”
“Rival?”
“Iya, rival, sebab mereka berkompetisi. Troh ingin menjadi penulis nomor satu di Indonesia. Sedangkan Zain dia ingin menjadi ilustrator nomor satu di Indonesia.”
“Wah, kok bisa seperti itu?”
“Iya,” balasku. “Singkatnya dulu mereka sahabat, Zain lahir dari keluarga yang berkecukupan, dia bisa beli apapun yang dia mau. Dan bikin anak-anak lainnya pada mupeng. Dia suka pamer majalah Animonster dan suka spoiler tentang film-film baru, pokoknya dia selalu tahu sebelum orang lain tahu. Lalu suatu ketika, saat dia membuka majalahnya, ada tulisan Troh di sana. Lebih buruk lagi, si Troh bilang, lebih baik bikin karya sendiri daripada spoiler karya orang lain melulu. Sungguh itu mukul banget si Zain. Dan sejak saat itu dia nggak pernah beli lagi majalah Anime dan lebih fokus belajar.”
“Oh, wow.”
“Iya, pagi-siang dia sekolah dan malamnya dia kuliah jurusan desain visual di Genta Buana.”
“Apa dia kuliah?” Ryo melonjak. “Dia kan anak SMA?”
“Iya, dia SMA dan dia kuliah, katanya dia sudah semester empat sekarang.”
“Sinting!!”
“Iya, Zain tipe orang seperti itu. Orang yang akan melakukan apapun demi kemenangannya. Sama seperti Haikal, si Zain ini juga ngejar Dyota, meski ya ditolak juga.”
Ryo kembali tertawa.
“Oke, kamu sudah cerita tentang cewek nomor satu and nomor dua di sekolah ini, kalau nomor tiganya?”
Aku menggeleng. “Kamu nggak ingin tahu untuk yang ini.”
“Uhm, kenapa?”
“Karena kamu nggak percaya apa yang aku ceritakan.”
Ryo membuat muka serius dan mendekati wajahku, nyaris lima centi. “Oke, kalau begitu, kamu mesti cerita?”
Kebetulan si nomor tiga juga sedang berjalan di lorong. “Itu yang nomor tiga, namanya Putri,” ucapku.
Dia memandang ke cewek cantik berwajah oriental. “Wah, aku kayak pernah lihat, dia kayak bintang film.”
“Iya, mereka bilang seperti itu.”
“Dia Gadis Sampul juga?”
“Bukan, dia Battosai.”
“Battosai,” Ryo mengangkat alis. “Seperti Kenshin?”
“Iya, begitulah Putri,” jelasku. “Dia atlet Kendo nasional, dan dia seorang Battosai -tepatnya dia panglima tempur SMA Neunzig.”
“Panglima tempur!” Ryo melonjak dengan kedua tangan ke atas. “Dia cewek loh!?”
Aku tertawa kecil. “Ini beneran, dia pernah tawuran melawan empat puluh orang dan menang. Itu kenapa Putri menjadi salah satu legenda di sekolah ini.”
“Sinting, sinting! Kok bisa!?”
“Aku sendiri sih, nggak tahu detailnya, Aku hanya dengar cerita dari teman-teman. Itu kenapa, Putri menjadi cewek cantik yang paling berbahaya di sekolah ini. Eh bukan, di seluruh kota ini maksudku.”
“Wow,” balasnya. “Terus kalau nomor empat?” lanjutnya.
Si nomor empat pun terlihat di sana, di tengah cowok-cowok yang mengerubunginya. “Itu nomor empat, Devika,” ucapku ke arah cewek cantik berwajah bintang Korea.
“Mirip Song Hey Kyou,” ucapnya.
“Memang,” balasku. “Dia anak Taekwondo sekaligus sekretaris OSIS, populer, ceria, dan mudah bergaul.”
“Hmm, kelihatannya sih begitu,” dia meliriknya.
“Iya, berbeda dengan dari nomor satu, dua, dan tiga yang fearless dan untouchable. Devika, dia lebih membumi dan sederhana. Itu kenapa, begitu banyak cowok yang mengejar dirinya. Itu bisa kamu lihat sendiri,” jelasku melempar pandangan ke cewek yang berada di tengah-tengah cowok yang sedang menggombal.
Ryo pun mengangguk. “Oh begitu.”
Tiba-tiba Troh, muncul di belakang kami. “Dari tadi gue lihat di ujung, kalian ngobrol seru banget.”
“Oh iya, Troh kenalin nih, anak baru,” ucapku.
“Ryo,” dia menyalaminya.
“Troh, cowok paling jenius di sekolah ini,” ujarnya.
“Huh, bullshit! Kamu ntuh cowok yang banyak dibully!” seruku.
“Huh,” dia tertunduk mendengus. “Dari tadi gue perhati'in, kalian nunjuk si ini dan si itu, ngobrolin apaan sih?”
“Mau tahu aja,” ujarku.
“Indah cerita,” Ryo mulai bicara. “Siapa aja cewek-cewek yang paling cantik and populer di sini.”
“Oh begitu, dia sudah cerita semua,” ujar Troh. “Padahal gue juga pengen cerita banyak tentang mereka.”
“Dia bilang si Devika itu nomor empat,” ucap Ryo.
Troh mengangguk. “Iya, benar. Huh, dia memang super cantik dan populer.”
“Oh iya, nomor limanya siapa ya?” tanya Ryo.
Jari Troh spontan menunjuk ke mukaku. “Ini nomor lima, di samping lo.”
Mata Ryo membulat besar, bersamaan dengan jantungku yang berdegup kencang.
“Umm, bohong,” ucapku dengan kedua tangan di udara. “Bukan aku, ada yang lain!”
“Iya, sudah jujur aja?”
Sungguh, aku berusaha untuk tidak jatuh pingsan di sini.
“Sebenarnya,” ujar Troh. “Minggu lalu kami mengadakan polling. Siapa cewek tercantik di Neunzig? Dan hasil… Itulah yang lo dengar tadi. Indah ini juga masuk di dalamnya, urutan kelima!”
“Wah, keren!” ucap Ryo.
Sungguh, aku kehilangan kata-kata dan wajahku saat itu lebih merah dari pada kepiting rebus mana pun.
. . .
Saturday, March 31, 2018
Sunday, March 25, 2018
Tiga Kereta Tiga Cerita
Review by Ftrohx
Sebenarnya saya pengen review film Commuter Line (Liam Neeson) dan Murder On The Orient Express (Keneth Branagh), tapi ngereview dua itu aja rasanya nggak cukup, jadi saya tambah satu lagi film thriller dengan setting di atas kereta yaitu Source Code.
Source Code (Jake Gyllenhaal)
Entah kenapa, menurut saya film ini adalah salah satu film terburuknya Jake Gyllenhaal. Skenarionya sungguh pas-pasan dan tanpa kesan yang berarti.
Singkat cerita, si Jake terbangun di sebuah kereta. Seorang wanita cantik berada di hadapannya. Si wanita bicara banyak hal yang tidak dia mengerti seolah dia adalah orang lain. Lalu saat si Jake pergi ke toilet dan melihat cermin di hadapannya, terlihat di sana adalah wajah orang lain yang tidak ia kenal. Si Jake bicara kembali dengan si wanita dan tiba-tiba, Boom!! Terjadi ledakan di kereta yang menghancurkan semuanya.
Jake terbangun di tempat lain, sebuah ruangan dengan dinding besi dan monitor-monitor, seperti di dalam station ruang angkasa. Lalu seorang wanita dengan seragam bicara di monitor. Ia berkata bahwa si Jake mesti kembali lagi ke kereta itu dan menemukan orang yang memegang pemicu bom, sebelum ledakan terjadi. Si Jake kembali ke sana dan kejadian terus berulang dan berulang, hingga kemudian Jake menemukan siapa pelaku pemboman sesungguhnya.
Review; Source Code memang bagus, ide bahwa kita bisa kembali ke masa lalu, berulang-ulang kali, hingga kemudian menemukan solusi atas apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi di dunia nyata, kita tidak bisa melakukan hal itu. Kita hanya bisa sekali melewati sebuah momen. Dan kita harus menang apapun caranya di momen itu. Menemukan pelaku yang tidak terduga, dalam waktu yang sangat-sangat terbatas.
Sayangnya, si tokoh bukanlah detektif. Si Jake hanya orang biasa dengan kecerdasaan ala manusia biasa. Oke, mungkin si penulis ingin membuat sesuatu yang nyata, sesuatu yang related dengan orang banyak dan mudah untuk dicerna. Tapi terlalu banyak pengulangan. Terlalu banyak kebosanan. Si Jake bangun, bertemu dengan si wanita itu lagi. Wanita yang polos dan tidak tahu apa-apa. Si wanita bahkan tidak mempesona sama sekali, apalagi memberikan rasa empati. Secara keseluruhan, idenya sih mirip dengan film Deja Vu Denzel Washington, hanya saja Deja Vu punya eksekusi yang lebih baik. Plus, tidak banyak ada pengulangan dan jelas dibuat di tahun yang tepat. Source Code, sebenarnya juga bisa bagus, asal dia tayang di tahun 90an di mana dunia perfilman belum sekompleks sekarang, huhuhu.
Secara keseluruhan (terutama disebabkan jalan ceritanya), film ini saya kasih poin 55 skala 100.
Murder on the Orient Express (Kenneth Branagh)
Film ini adalah adaptasi dari –salah satu–novel terbaiknya Agatha Christie. Bagi yang baca novelnya pasti sudah bisa menebak seperti apa jalan cerita filmnya. Awalnya saya berekspektasi tinggi untuk film ini. Sebab mereka menggunakan cast yang luar biasa. Ada Kenneth Branagh sebagai Detektif Hercule Poirot, lalu Johnny Depp sebagai Raccheti, kemudian Daisy Ridley sebagai Mary Debenham, dan nama-nama aktor top Hollywood dalam cerita penuh intrik ini.
Sinopsis; Hercule Poirot baru saja menyelesaikan satu kasus di Timur Tengah dan dia ingin langsung kembali ke Inggris. Dari Istanbul dia naik kereta eksklusif Orient Express menuju London. Di kereta dia bertemu dengan orang-orang misterius atau dari sudut pandang saya, orang-orang dengan aura bintang. Perjalanan kereta di hari pertama berlangsung biasa (dalam artian mewah).
Lalu datang si Cassetti alias Rachette ini di hadapan Poirot yang sedang makan siang sambil ditemani novel Tale of Two Cities (huhuhu, berat!). Rachette meminta Poirot untuk menjadi pengawal selama dalam perjalanan, sebab seseorang mengancam akan membunuhnya. Tapi melihat sikap Rachette yang kasar -sang detektif langsung menolaknya.
Singkat cerita, malamnya Rachette dibunuh orang. Dan paginya si detektif diminta oleh Mr. Bouc direktur dari Orient Express untuk menyelidiki kasus tersebut
Review; Saya jatuh cinta dengan Orient Express sejak trailer pertamanya muncul di awal tahun 2017. Trailer benar-benar mewah, keren, dan dengan musik yang menghentak. Saya membayangkan akan penuh dengan kejutan. Hal-hal yang tidak disajikan di versi buku karya Agatha Christie. Huh, namun saya salah. Tidak ada hal yang baru dari Orient Express versi 2017 ini, kecuali visualisasi dan dramatisasinya saja. Saya nggak ingin spoiler, tapi bagi teman-teman yang sudah baca novelnya; pasti bisa menebak seperti apa jalan cerita, proses penyelidikan, pencarian solusi, hingga ke pengungkapan kasusnya. Secara keseluruhan, film ini saya kasih poin 67 skala 100. Cukup menghibur, tapi tidak cukup memberi kenangan yang dalam.
The Commuter (Liam Neeson)
Ini film kereta terakhir yang saya tonton. Huh, awalnya saya nggak berekspektasi tinggi akan film ini. Ah palingan, seperti film-film Liam Neeson yang lain atau minimal kayak Flight Plan, film Neeson sebelumnya di mana dia menjadi polisi yang harus menemukan bom di dalam pesawat.Namun ternyata saya salah. Ini lebih bagus dari itu.
Sinopsis, di sini Om Liam Neeson berperan sebagai Micheal. Lelaki yang cukup tua -mantan polisi- yang bekerja sebagai sales asuransi. Selama sepuluh tahun dia selalu melewati pagi yang sama. Diantar oleh istri ke station, lalu naik commuter line, menuju kota, masuk kantor bertemu klien, boss, rekanan dan seterusnya. Lalu pulang pada sore harinya.
Singkat cerita, anak si Om Neeson semakin besar dan dia butuh uang lebih untuk itu. Namun di hari itu, dia begitu sial. Pertama, salah satu kliennya ditemukan meninggal, lalu kemudian si boss memberinya surat asuransi kesehatan sekaligus pemecatan atas dirinya. Si boss bilang, penjualannya kali ini tidak memenuhi target dan oleh karena itu, mereka tidak bisa mempertahankannya. Si Micheal pun memutuskan pulang dengan sebelum dia bertemu teman lama yaitu Inspektur Alex. Mereka berbincang hingga sore dan Micheal pulang dengan commuter seperti biasa.
Di sini, muncul seorang wanita misterius bernama Joana. Si wanita mengajak Micheal bermain dalam sebuah social experiment. Michael harus menemukan seorang penumpang yang tidak seharusnya naik di commuter line tersebut, jika ia berhasil, maka ia akan diberi reward yaitu uang sebesar 25ribu dollar. Jika tidak berhasil, akan ada konsekuensi -yang belakangan diketahui bahwa mereka (orang-orang dibalik Joana telah menculik istri Michael). Dari sini petualangan mendebarkan Om Liam Neeson dimulai, di mana dia harus bisa menemukan seseorang yang seharusnya tidak berada di kereta, sebelum mereka sampai di station terakhir.
Review, secara plot sesungguhnya film ini memiliki situasi yang nyaris sama yang dialami Jake Gyllenhaal di film Source Code. Hanya saja, jika Jake harus mengulang dan mengulang terus situasi hingga menemukan siapa yang seharusnya tidak berada di kereta, Om Liam Neeson dia melakukan dalam sekali jalan.
Sangat mendebarkan dengan waktu yang terbatas dia harus mengerahkan segala kemampuannya.
Pertama yang dia lakukan adalah memberi pesan keluar dari kereta, yang dia tuliskan dalam sebuah koran yang dibawa oleh temannya. Meski begitu, sayangnya si tempat meninggal dunia. Tapi dia berhasil melakukannya. Kedua dia memeriksa tiap tiket yang sudah dicek oleh kondektur untuk menemukan di mana tujuan si penumpang. Ini disajikan dengan visual yang brilliant. Dan sisanya saya nggak ingin spoiler. Om Neeson harus bertarung melawan para pembunuh yang juga berada di dalam kereta.
Tambahan; yang saya suka dari film ini selain situasi thrillernya, adrenaline, pertarungan, dan analisisnya si Om Neeson yaitu kebiasaan mereka membaca buku di kereta. Gila, buku-buku berat semua yang dibaca oleh para karakter-karakter keren ini; John Steinback, lalu Scarlet Letter, Lord of the Ring, hingga novel Count of Monte Christo ada di sini, huhuhu, grande.
Konklusi, dari plot, penyajian cerita, cinematography, dan seterusnya. Film ini saya kasih nilai 78 skala 100. Film yang highly recommended bagi kamu yang suka cerita-cerita thriller.
. . .
Ilustrasi, sumber youtube .com
Sebenarnya saya pengen review film Commuter Line (Liam Neeson) dan Murder On The Orient Express (Keneth Branagh), tapi ngereview dua itu aja rasanya nggak cukup, jadi saya tambah satu lagi film thriller dengan setting di atas kereta yaitu Source Code.
Source Code (Jake Gyllenhaal)
Entah kenapa, menurut saya film ini adalah salah satu film terburuknya Jake Gyllenhaal. Skenarionya sungguh pas-pasan dan tanpa kesan yang berarti.
Singkat cerita, si Jake terbangun di sebuah kereta. Seorang wanita cantik berada di hadapannya. Si wanita bicara banyak hal yang tidak dia mengerti seolah dia adalah orang lain. Lalu saat si Jake pergi ke toilet dan melihat cermin di hadapannya, terlihat di sana adalah wajah orang lain yang tidak ia kenal. Si Jake bicara kembali dengan si wanita dan tiba-tiba, Boom!! Terjadi ledakan di kereta yang menghancurkan semuanya.
Jake terbangun di tempat lain, sebuah ruangan dengan dinding besi dan monitor-monitor, seperti di dalam station ruang angkasa. Lalu seorang wanita dengan seragam bicara di monitor. Ia berkata bahwa si Jake mesti kembali lagi ke kereta itu dan menemukan orang yang memegang pemicu bom, sebelum ledakan terjadi. Si Jake kembali ke sana dan kejadian terus berulang dan berulang, hingga kemudian Jake menemukan siapa pelaku pemboman sesungguhnya.
Review; Source Code memang bagus, ide bahwa kita bisa kembali ke masa lalu, berulang-ulang kali, hingga kemudian menemukan solusi atas apa yang sesungguhnya terjadi. Tapi di dunia nyata, kita tidak bisa melakukan hal itu. Kita hanya bisa sekali melewati sebuah momen. Dan kita harus menang apapun caranya di momen itu. Menemukan pelaku yang tidak terduga, dalam waktu yang sangat-sangat terbatas.
Sayangnya, si tokoh bukanlah detektif. Si Jake hanya orang biasa dengan kecerdasaan ala manusia biasa. Oke, mungkin si penulis ingin membuat sesuatu yang nyata, sesuatu yang related dengan orang banyak dan mudah untuk dicerna. Tapi terlalu banyak pengulangan. Terlalu banyak kebosanan. Si Jake bangun, bertemu dengan si wanita itu lagi. Wanita yang polos dan tidak tahu apa-apa. Si wanita bahkan tidak mempesona sama sekali, apalagi memberikan rasa empati. Secara keseluruhan, idenya sih mirip dengan film Deja Vu Denzel Washington, hanya saja Deja Vu punya eksekusi yang lebih baik. Plus, tidak banyak ada pengulangan dan jelas dibuat di tahun yang tepat. Source Code, sebenarnya juga bisa bagus, asal dia tayang di tahun 90an di mana dunia perfilman belum sekompleks sekarang, huhuhu.
Secara keseluruhan (terutama disebabkan jalan ceritanya), film ini saya kasih poin 55 skala 100.
Murder on the Orient Express (Kenneth Branagh)
Film ini adalah adaptasi dari –salah satu–novel terbaiknya Agatha Christie. Bagi yang baca novelnya pasti sudah bisa menebak seperti apa jalan cerita filmnya. Awalnya saya berekspektasi tinggi untuk film ini. Sebab mereka menggunakan cast yang luar biasa. Ada Kenneth Branagh sebagai Detektif Hercule Poirot, lalu Johnny Depp sebagai Raccheti, kemudian Daisy Ridley sebagai Mary Debenham, dan nama-nama aktor top Hollywood dalam cerita penuh intrik ini.
Sinopsis; Hercule Poirot baru saja menyelesaikan satu kasus di Timur Tengah dan dia ingin langsung kembali ke Inggris. Dari Istanbul dia naik kereta eksklusif Orient Express menuju London. Di kereta dia bertemu dengan orang-orang misterius atau dari sudut pandang saya, orang-orang dengan aura bintang. Perjalanan kereta di hari pertama berlangsung biasa (dalam artian mewah).
Lalu datang si Cassetti alias Rachette ini di hadapan Poirot yang sedang makan siang sambil ditemani novel Tale of Two Cities (huhuhu, berat!). Rachette meminta Poirot untuk menjadi pengawal selama dalam perjalanan, sebab seseorang mengancam akan membunuhnya. Tapi melihat sikap Rachette yang kasar -sang detektif langsung menolaknya.
Singkat cerita, malamnya Rachette dibunuh orang. Dan paginya si detektif diminta oleh Mr. Bouc direktur dari Orient Express untuk menyelidiki kasus tersebut
Review; Saya jatuh cinta dengan Orient Express sejak trailer pertamanya muncul di awal tahun 2017. Trailer benar-benar mewah, keren, dan dengan musik yang menghentak. Saya membayangkan akan penuh dengan kejutan. Hal-hal yang tidak disajikan di versi buku karya Agatha Christie. Huh, namun saya salah. Tidak ada hal yang baru dari Orient Express versi 2017 ini, kecuali visualisasi dan dramatisasinya saja. Saya nggak ingin spoiler, tapi bagi teman-teman yang sudah baca novelnya; pasti bisa menebak seperti apa jalan cerita, proses penyelidikan, pencarian solusi, hingga ke pengungkapan kasusnya. Secara keseluruhan, film ini saya kasih poin 67 skala 100. Cukup menghibur, tapi tidak cukup memberi kenangan yang dalam.
The Commuter (Liam Neeson)
Ini film kereta terakhir yang saya tonton. Huh, awalnya saya nggak berekspektasi tinggi akan film ini. Ah palingan, seperti film-film Liam Neeson yang lain atau minimal kayak Flight Plan, film Neeson sebelumnya di mana dia menjadi polisi yang harus menemukan bom di dalam pesawat.Namun ternyata saya salah. Ini lebih bagus dari itu.
Sinopsis, di sini Om Liam Neeson berperan sebagai Micheal. Lelaki yang cukup tua -mantan polisi- yang bekerja sebagai sales asuransi. Selama sepuluh tahun dia selalu melewati pagi yang sama. Diantar oleh istri ke station, lalu naik commuter line, menuju kota, masuk kantor bertemu klien, boss, rekanan dan seterusnya. Lalu pulang pada sore harinya.
Singkat cerita, anak si Om Neeson semakin besar dan dia butuh uang lebih untuk itu. Namun di hari itu, dia begitu sial. Pertama, salah satu kliennya ditemukan meninggal, lalu kemudian si boss memberinya surat asuransi kesehatan sekaligus pemecatan atas dirinya. Si boss bilang, penjualannya kali ini tidak memenuhi target dan oleh karena itu, mereka tidak bisa mempertahankannya. Si Micheal pun memutuskan pulang dengan sebelum dia bertemu teman lama yaitu Inspektur Alex. Mereka berbincang hingga sore dan Micheal pulang dengan commuter seperti biasa.
Di sini, muncul seorang wanita misterius bernama Joana. Si wanita mengajak Micheal bermain dalam sebuah social experiment. Michael harus menemukan seorang penumpang yang tidak seharusnya naik di commuter line tersebut, jika ia berhasil, maka ia akan diberi reward yaitu uang sebesar 25ribu dollar. Jika tidak berhasil, akan ada konsekuensi -yang belakangan diketahui bahwa mereka (orang-orang dibalik Joana telah menculik istri Michael). Dari sini petualangan mendebarkan Om Liam Neeson dimulai, di mana dia harus bisa menemukan seseorang yang seharusnya tidak berada di kereta, sebelum mereka sampai di station terakhir.
Review, secara plot sesungguhnya film ini memiliki situasi yang nyaris sama yang dialami Jake Gyllenhaal di film Source Code. Hanya saja, jika Jake harus mengulang dan mengulang terus situasi hingga menemukan siapa yang seharusnya tidak berada di kereta, Om Liam Neeson dia melakukan dalam sekali jalan.
Sangat mendebarkan dengan waktu yang terbatas dia harus mengerahkan segala kemampuannya.
Pertama yang dia lakukan adalah memberi pesan keluar dari kereta, yang dia tuliskan dalam sebuah koran yang dibawa oleh temannya. Meski begitu, sayangnya si tempat meninggal dunia. Tapi dia berhasil melakukannya. Kedua dia memeriksa tiap tiket yang sudah dicek oleh kondektur untuk menemukan di mana tujuan si penumpang. Ini disajikan dengan visual yang brilliant. Dan sisanya saya nggak ingin spoiler. Om Neeson harus bertarung melawan para pembunuh yang juga berada di dalam kereta.
Tambahan; yang saya suka dari film ini selain situasi thrillernya, adrenaline, pertarungan, dan analisisnya si Om Neeson yaitu kebiasaan mereka membaca buku di kereta. Gila, buku-buku berat semua yang dibaca oleh para karakter-karakter keren ini; John Steinback, lalu Scarlet Letter, Lord of the Ring, hingga novel Count of Monte Christo ada di sini, huhuhu, grande.
Konklusi, dari plot, penyajian cerita, cinematography, dan seterusnya. Film ini saya kasih nilai 78 skala 100. Film yang highly recommended bagi kamu yang suka cerita-cerita thriller.
. . .
Ilustrasi, sumber youtube .com
Friday, March 16, 2018
My Interview with the gorgeous Clarissa Goenawan
The writer of Rainbirds, a novel book that break through the US Publisher.
This is second time, I wrote something in English on my blog, lol.
Merely, Clarissa is Indonesian born Singaporean writer. Clarissa growing up in Surabaya and move to Singapore in her teenage. Now, she’s been married and living there, with her three lovely daughter.
She had been office work & banker actually, before being writer. Wins the Bath Novel Award and got into Pontas Literature and Film Agency; agency that contain huge writer like Eka Kurniawan, Leila S Chudori, and many other international writer from all the globe.
Well, there is a lot of website, blogger, and influencer that have been interviewing Clarissa. That is, on here, I’m gonna interview Clarissa with different questions, hahaha.
FT: First, congratulations Clarissa for your grande debut novel Rainbirds
CG: Thank you :D
FT: Ok, this will be nostalgic. Tell me what your teenage life in Surabaya?
CG: I was a pretty active student in high school. I used to be a member of OSIS, a regular contributor for the school magazine, and a keyboard player for a school band.
FT: This is fans question, what is your favorite food (in Indonesia, Singapore, & Japan)?
CG: Indonesia: my Mum’s lele goreng (the sambal is out of the world), Singapore: my Auntie’s ngoh hiang (five-spice pork rolls wrapped with tofu skin), Japan: salmon sashimi (I can eat copious amounts of it!)
FT: From the other interview, I found that you go into Japanese or manga club in high school? Can you describe it?
CG: In my high school, everyone had to choose an extracurricular. I joined the Japanese language club. Not surprisingly, most of the members are anime and manga lovers. Apart from learning the language, we also discovered more about the culture through various activities, like singing traditional folk songs and anime soundtracks, doing origami, and many more.
FT: Rainbirds is surprising me. By the way, when the idea of Rainbirds come to you?
CG: I got the idea in 2013. At that time, a question into my mind: What if someone I cared about unexpectedly passed away, and I realized too late I never got to know them well?
FT: How do the Rainbirds come to Bath Novel Award?
CG: In 2014, I had the privilege to learn from novelist Jenny Ashcroft under the WoMentoring Project. It’s a free mentorship for women writers. Jenny was the one who encouraged me to submit Rainbirds for the Bath Novel Award. Winning the competition has opened doors of opportunities and changed my life.
FT: Another fans question, what is your favorite crime fiction book? And why?
CG: Right now, it’s ‘Malice’ by Keigo Higashino. The story is about a famous novelist who is found brutally murdered in his home the night before he is due to relocate. It’s hard to explain why I like the book without giving any spoilers. Let’s just say the fact that the crime and subsequent reveals could only happen because the main characters are writers greatly appeals to me.
FT: What do you think about Sherlock Holmes and Hercule Poirot? Lol.
CG: Both are them are well-loved characters who use extraordinary intellectual deductions to solve crimes, though at times, they can appear kind of snobbish.
FT: What your first Japanese novel book that you ever read? And has it impact to you writing style?
CG: Totto-chan: The Little Girl at the Window. I read it so many years ago I can’t recall it very well, so I doubt it has much influence on my current writing style, but I remember the story was heart-warming.
FT: I know this is sound cruel, from other interview, you said that you don’t believe in write block, can you explain why you do that?
CG: Personally, I’ve never experienced any writer’s block, so what I said might be presumptuous. But I do believe that the keys to consistent writing productivity are hard work, perseverance, and discipline.
FT: I got info about Rainbirds, you said that your favorite character in that book is Rio Nakajima? Who is she?
CG: Ren Ishida, the narrator of Rainbirds, is an English teacher in a cram school. Rio Nakajima is one of his students. She speaks her mind without holding back, unafraid to chase after the things that she wants, and doesn’t care about what others think of her—and I really love her boldness.
FT: Is that any story behind the name Ren Ishida? Cause first I heard that name, I remembering through character from my old favorite manga.
CG: Interesting question! Hmmm… I just thought that the name would suit him. I also like Ren Honjo, a character from Japanese comic NANA, though that wasn’t the reason I chose the name.
FT: This is silly question, is that any relation thing between banker or study in finance with crime and mystery writer? Lol. Because a lot of my friend has story like you, banker or ex-banker whom became mystery writer.
CG: My guess is people in banking and finance probably know a thing or two about saving and managing money, so they can afford to pursue a non-financially lucrative career as a writer.
FT: Which book influenced you the most? Beside Stephen King On Writing, hehe.
CG: Haruki Murakami’s Norwegian Wood.
FT: Any advice for Southeast Asia kids who’d like to be published overseas?
CG: Get a good literary agent who embraces and celebrates diversity.
FT: Last, what are you working on right now? Beside promoting Rainbirds.
CG: The next novels, of course. I’m working on my second and third novel. Both are literary mysteries. And just like Rainbirds, they’re set in Japan.
Fun fact: All of my novels are interrelated. They’re standalones—they have different stories and different main characters—but they’re set in the same universe. You’ll find characters in Rainbirds making appearances in the next novels. I hope readers who’ve read Rainbirds will have fun guessing which characters will become the next main characters.
CLARISSA GOENAWAN’S BIOGRAPHY
Clarissa Goenawan is an Indonesian-born Singaporean writer. Her debut novel, RAINBIRDS, is the winner of the 2015 Bath Novel Award. Her short stories have won several awards and been published in various literary magazines and anthologies. She loves rainy days, pretty books, and hot green tea.
Social media: Twitter @Claireclaire15, Facebook Clarissa Goenawan, Instagram @Clarissagoenawan, website Clarissagoenawan.com
. . .
- Fitrah Tanzil
Nb: Photos from Instagram.
This is second time, I wrote something in English on my blog, lol.
Merely, Clarissa is Indonesian born Singaporean writer. Clarissa growing up in Surabaya and move to Singapore in her teenage. Now, she’s been married and living there, with her three lovely daughter.
She had been office work & banker actually, before being writer. Wins the Bath Novel Award and got into Pontas Literature and Film Agency; agency that contain huge writer like Eka Kurniawan, Leila S Chudori, and many other international writer from all the globe.
Well, there is a lot of website, blogger, and influencer that have been interviewing Clarissa. That is, on here, I’m gonna interview Clarissa with different questions, hahaha.
FT: First, congratulations Clarissa for your grande debut novel Rainbirds
CG: Thank you :D
FT: Ok, this will be nostalgic. Tell me what your teenage life in Surabaya?
CG: I was a pretty active student in high school. I used to be a member of OSIS, a regular contributor for the school magazine, and a keyboard player for a school band.
FT: This is fans question, what is your favorite food (in Indonesia, Singapore, & Japan)?
CG: Indonesia: my Mum’s lele goreng (the sambal is out of the world), Singapore: my Auntie’s ngoh hiang (five-spice pork rolls wrapped with tofu skin), Japan: salmon sashimi (I can eat copious amounts of it!)
FT: From the other interview, I found that you go into Japanese or manga club in high school? Can you describe it?
CG: In my high school, everyone had to choose an extracurricular. I joined the Japanese language club. Not surprisingly, most of the members are anime and manga lovers. Apart from learning the language, we also discovered more about the culture through various activities, like singing traditional folk songs and anime soundtracks, doing origami, and many more.
FT: Rainbirds is surprising me. By the way, when the idea of Rainbirds come to you?
CG: I got the idea in 2013. At that time, a question into my mind: What if someone I cared about unexpectedly passed away, and I realized too late I never got to know them well?
FT: How do the Rainbirds come to Bath Novel Award?
CG: In 2014, I had the privilege to learn from novelist Jenny Ashcroft under the WoMentoring Project. It’s a free mentorship for women writers. Jenny was the one who encouraged me to submit Rainbirds for the Bath Novel Award. Winning the competition has opened doors of opportunities and changed my life.
FT: Another fans question, what is your favorite crime fiction book? And why?
CG: Right now, it’s ‘Malice’ by Keigo Higashino. The story is about a famous novelist who is found brutally murdered in his home the night before he is due to relocate. It’s hard to explain why I like the book without giving any spoilers. Let’s just say the fact that the crime and subsequent reveals could only happen because the main characters are writers greatly appeals to me.
FT: What do you think about Sherlock Holmes and Hercule Poirot? Lol.
CG: Both are them are well-loved characters who use extraordinary intellectual deductions to solve crimes, though at times, they can appear kind of snobbish.
FT: What your first Japanese novel book that you ever read? And has it impact to you writing style?
CG: Totto-chan: The Little Girl at the Window. I read it so many years ago I can’t recall it very well, so I doubt it has much influence on my current writing style, but I remember the story was heart-warming.
FT: I know this is sound cruel, from other interview, you said that you don’t believe in write block, can you explain why you do that?
CG: Personally, I’ve never experienced any writer’s block, so what I said might be presumptuous. But I do believe that the keys to consistent writing productivity are hard work, perseverance, and discipline.
FT: I got info about Rainbirds, you said that your favorite character in that book is Rio Nakajima? Who is she?
CG: Ren Ishida, the narrator of Rainbirds, is an English teacher in a cram school. Rio Nakajima is one of his students. She speaks her mind without holding back, unafraid to chase after the things that she wants, and doesn’t care about what others think of her—and I really love her boldness.
FT: Is that any story behind the name Ren Ishida? Cause first I heard that name, I remembering through character from my old favorite manga.
CG: Interesting question! Hmmm… I just thought that the name would suit him. I also like Ren Honjo, a character from Japanese comic NANA, though that wasn’t the reason I chose the name.
FT: This is silly question, is that any relation thing between banker or study in finance with crime and mystery writer? Lol. Because a lot of my friend has story like you, banker or ex-banker whom became mystery writer.
CG: My guess is people in banking and finance probably know a thing or two about saving and managing money, so they can afford to pursue a non-financially lucrative career as a writer.
FT: Which book influenced you the most? Beside Stephen King On Writing, hehe.
CG: Haruki Murakami’s Norwegian Wood.
FT: Any advice for Southeast Asia kids who’d like to be published overseas?
CG: Get a good literary agent who embraces and celebrates diversity.
FT: Last, what are you working on right now? Beside promoting Rainbirds.
CG: The next novels, of course. I’m working on my second and third novel. Both are literary mysteries. And just like Rainbirds, they’re set in Japan.
Fun fact: All of my novels are interrelated. They’re standalones—they have different stories and different main characters—but they’re set in the same universe. You’ll find characters in Rainbirds making appearances in the next novels. I hope readers who’ve read Rainbirds will have fun guessing which characters will become the next main characters.
CLARISSA GOENAWAN’S BIOGRAPHY
Clarissa Goenawan is an Indonesian-born Singaporean writer. Her debut novel, RAINBIRDS, is the winner of the 2015 Bath Novel Award. Her short stories have won several awards and been published in various literary magazines and anthologies. She loves rainy days, pretty books, and hot green tea.
Social media: Twitter @Claireclaire15, Facebook Clarissa Goenawan, Instagram @Clarissagoenawan, website Clarissagoenawan.com
. . .
- Fitrah Tanzil
Nb: Photos from Instagram.
Subscribe to:
Posts (Atom)