Saturday, March 31, 2018

Projek Generasi Keajaiban

Oleh Fitrah Tanzil



Bab 01 Nomor Lima

Namaku Indah Prameswari, aku tinggal di Jakarta dan bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan otomotif. Banyak hal luar biasa yang kualami dalam hidupku. Tapi kenangan di masa SMA adalah kenangan terbaik yang pernah aku punya.

SMA-ku, Neunzig adalah sebuah SMA yang luar biasa. Bukan hanya karena lokasi dan eksteriornya yang keren, tapi juga karena para penghuninya.

Kami sendirian berada di Petukangan Selatan. Kami tidak elit seperti Highscope, tidak pula murah seperti sekolah negeri lain di Jakarta sini. Kami tidak show off dengan pasukan jalanan ataupun duel ke sana kemari. Kami punya cara lain yang lebih keren yaitu dengan tim ekskul.


Di Neunzig adalah tiga ekskul dengan anggota klub di atas empat puluh orang yaitu Klub Taekwondo, Klub Pencak Silat, dan Klub Basket. Belum lagi ekskul-ekskul olahraga yang lain. Dalam pertandingan antar sekolah, pada masaku, kami disebut sebagai Kuda Hitamnya Jakarta Selatan. Sebab kami yang tidak diperhitungkan sebelum berhasil menyabet jawara dalam berbagai pertandingan.

Sayangnya, aku tidak ikut klub olahraga mana pun.

Dulu waktu kelas X pengennya aku masuk klub Taekwondo, namun Ibuku melarangnya, bilang bahwa itu olahraga keras yang tidak cocok untuk anak perempuan. Atau tepatnya anak perempuan satu-satunya yang ia miliki. Jadilah, aku mengambil ekskul Vocal Group yang sayangnya aku nggak bertahan lama di sana. Sebab, ketidakcocokan dengan para senior. 

Tapi Ibuku, terlalu pintar, dia mengirimku ke tempat-tempat les IPA sepulang sekolah. Dia ingin anak pertamanya bisa masuk UI atau ITB selulus SMA. Hari-hariku berlalu dengan biasa dan sangat membosankan di sekolah. Sampai dia datang.

Aku ingat itu selasa pagi. Bu Santi wali kelas kami memperkenalkan murid baru yang sedang berdiri di depan kelas. Hmm, di Neunzig sebenarnya banyak cowok yang punya wajah ganteng, tapi melihat cowok baru yang ada di depan kelas ini. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang. Hidungnya mancung, rambutnya hitam lurus, kulitnya sawo cerah, dan memiliki tubuh yang tinggi seperti anak basket.

Anehnya, otakku bertanya-tanya siapa dia? Dari mana asalnya? Di mana dia tinggal? Siapa orang tuanya dan kenapa dia pindah ke sekolah ini? Kenapa tidak di SMA yang lain.

“Ini Ryo, murid pindahan,” ucap wali kelas kami. “Dari mana tadi?” tanyanya ke si pemuda.

“Saya dari Jakarta Pusat,” ucapnya canggung. 

“Iya, Ryo dari JakPus, silahkan memperkenalkan diri,” ucap Bu Santi setengah berteriak.

“Nama saya Ryosuke Adrian Sjuman,” ucapnya dengan suara agak keras. “Biasa dipanggil Ryo Sjuman. Saya dari SMA di Jakarta Pusat. Hobi saya naik sepeda dan baca komik, cita-cita saya menjadi pilot.”

Serentak cowok-cowok di kelas XI-4 tertawa. Sekilas aku mendengar, mereka bicara. “Naik sepeda dan jadi pilot, hahaha,” ucap Rafa si tukang bully.

Aku nggak mengerti apa yang lucu dari kelakar mereka.

“Oke, perkenalannya selesai,” ucap Bu Santi. “Dan kamu bisa duduk di situh, di bangku sebelah Indah,” tunjuknya tepat ke bangku di sebelahku.

Aku tersentak. Aku lupa, bahwa bangku di sebelahku memang kosong sejak awal. Sungguh, Tuhan seolah bermain komedi dengan hidupku.

Si pemuda asing itu pun langsung melangkah dan mengambil tempat duduk di sampingku. Huh, aku bisa mencium bau tubuhnya, campuran antara keringat anak cowok dengan bau parfum murahan.

“Saya Ryo,” ucapnya tiba-tiba mengulurkan tangan padaku.

“Kamu bau!” ucapku spontan dengan bodohnya.

Dia sedikit terkejut. “Maaf,” ucapnya. “Aku ke sini tadi naik sepeda.”

“Oh pantas,” balasku. “Pasti buru-buru ya?”

“Benar,” balasnya tersenyum.

Aku nggak ingin bilang, bahwa itu adalah senyum terindah yang pernah kulihat di pagi itu.

“Memangnya, rumah kamu di mana?” tanyaku.

“Aku di Rempoa,” balasnya datar.

Mataku membulat besar. “Rempoa, itukan jauh di ujung sana, sepuluh kilometer dari sini bukan!”

Dia menggeleng. “Dua belas kilometer tepatnya, tadi aku lihat di speedometer.”

“Luar biasa!” seruku.

Selama mata pelajaran berlangsung kami lebih banyak diam. Aku juga takut untuk bertanya-tanya. Tapi begitu bell istirahat berbunyi, perbincangan kami pun berlanjut. Beberapa cewek dan cowok juga menghampiri meja kami dan langsung berkenalan pada si siswa baru yang tampan. Aku mendengar tentang sekolah lama, tentang tempat tinggalnya, dan kedua orang tuanya. Lalu saat kerusuhan sudah meredah, dia menarikku keluar kelas.

“Jadi apa yang menarik di sekolah ini?” tanyanya.

“Hmm, apa ya?” ucapku dengan mata melihat ke sekeliling.

Lalu secara kebetulan si cewek super cantik berwajah bule itu pun lewat. Dan Ryo melihatnya berjalan, sama seperti semua cowok di lorong yang juga terkesima melihatnya.

“Itu siapa?” tanyanya.

“Itu Anastasia Van Claude, cewek tercantik nomor dua di sekolah ini,” terangku.

“Wow, keren!”

“Dia cewek keturunan Belanda dan Padang, plus juara satu Gadis Sampul,” tambahku.

“Wah, itu lebih keren lagi.”

Di belakangnya berjalan seorang cowok rusuh. “Ide pencuriannya keren banget loh, lewat itu Ocean Eleven!” serunya ke Anastasia yang tampak tidak peduli.

“Ngomong-ngomong, jika cewek Belanda itu nomor dua, nomor satunya siapa?” tanyanya lagi.

Sungguh, ini adalah sebuah kesalahan yang sangat kusesali hingga puluhan ribu tahun ke depan. Kebetulan pula, cewek itu juga ada di sana. Sedang melangkah dengan anggunnya di tengah lapangan sekolah.

“Itu dia si cewek nomor satu,” tunjukku ke perempuan super cantik yang berjalan menuju pintu gerbang. “Namanya Dyota Larasati Sigmore, keturunan Chinesse, Inggris, dan Itali. Sama seperti Anastasia dia juga juara Gadis Sampul.”

“Gila!! Ada dua juara Gadis Sampul di sekolah ini!”

“Iya, sesuatu yang nggak mungkin, tapi terjadi di sini.”

“Kalau cowok-cowoknya gimana? Siapa yang paling ganteng?” tanyanya dengan begitu konyol.

“Kalau cowok rasanya nggak ada dah.”

“Kenapa?”

“Hmm, ada sih beberapa yang ganteng, tapi mereka tidak bisa mengimbangi cewek-cewek super cantik itu. Maksudku ganteng doang, tapi tanpa prestasi, iya jadinya biasa aja.”

“Oh begitu.”

“Tapi tadi aku lihat ada cowok yang dekatin Anastasia,”

“Oh dia, dia Troh, biang rusuh di sekolah ini,” jelasku.

“Biang rusuh? Preman gituh ya?”

“Bukan, dia bukan preman. Dia detektif sekolah,” ujarku yang membuat Ryo membelalak.

“Detektif sekolah!?” dia menahan tawa. “Memang ada yang seperti itu?”

“Ada,” ucapku. “Dan mungkin dia satu-satunya detektif sekolah di Jakarta, eh bukan, mungkin di seluruh Indonesia.”

“Wow.”

“Dia bukan cuma memecahkan kasus, dia juga seolah penulis untuk tiga majalah nasional.”

“Wah, serius!?”

“Iya, itu kenapa dia bisa mendekati cewek yang untouchable macam Anastasia dan Dyota.”

Ryo mengangkat dagu. “Ah begitu, pantas saja. Kalau yang lain?”

Kebetulan lewat sekumpulan anak Basket. “Oh itu dia atlet nasional.”

Mata Ryo memindai cowok kekar berambut setengah botak yang ada di depan. “Yang cepak itu?”

“Bukan, dia Bimo, dia Ace-nya SMA ini,”

“Ace-nya?”

“Iya, dia Ace-nya, tapi bukan dia atlet nasionalnya,” aku menunjuk ke barisan belakang, cowok kurus berambut gondrong yang sedang membaca komik. “Itu atlet nasionalnya, namanya Haikal.”

“Apa? Serius!?”

“Iya, beneran. Meski kurus-kurus gituh, dia bisa memasukkan bola dari ujung ring basket ke ujung ring basket yang lain.”

“Wah, gila!!”

“Dia juga ngejar-ngejar Dyota, meski ditolak melulu.”

Kali ini Ryo tertawa sungguhan.

“Kalau yang itu?” dia melempar pandangan ke cowok dingin dengan tatapan yang tajam.

“Dia Zain, dia rivalnya Troh.”

“Rival?”

“Iya, rival, sebab mereka berkompetisi. Troh ingin menjadi penulis nomor satu di Indonesia. Sedangkan Zain dia ingin menjadi ilustrator nomor satu di Indonesia.”

“Wah, kok bisa seperti itu?”

“Iya,” balasku. “Singkatnya dulu mereka sahabat, Zain lahir dari keluarga yang berkecukupan, dia bisa beli apapun yang dia mau. Dan bikin anak-anak lainnya pada mupeng. Dia suka pamer majalah Animonster dan suka spoiler tentang film-film baru, pokoknya dia selalu tahu sebelum orang lain tahu. Lalu suatu ketika, saat dia membuka majalahnya, ada tulisan Troh di sana. Lebih buruk lagi, si Troh bilang, lebih baik bikin karya sendiri daripada spoiler karya orang lain melulu. Sungguh itu mukul banget si Zain. Dan sejak saat itu dia nggak pernah beli lagi majalah Anime dan lebih fokus belajar.”

“Oh, wow.”

“Iya, pagi-siang dia sekolah dan malamnya dia kuliah jurusan desain visual di Genta Buana.”

“Apa dia kuliah?” Ryo melonjak. “Dia kan anak SMA?”

“Iya, dia SMA dan dia kuliah, katanya dia sudah semester empat sekarang.”

“Sinting!!”

“Iya, Zain tipe orang seperti itu. Orang yang akan melakukan apapun demi kemenangannya. Sama seperti Haikal, si Zain ini juga ngejar Dyota, meski ya ditolak juga.”

Ryo kembali tertawa.

“Oke, kamu sudah cerita tentang cewek nomor satu and nomor dua di sekolah ini, kalau nomor tiganya?”

Aku menggeleng. “Kamu nggak ingin tahu untuk yang ini.”

“Uhm, kenapa?”

“Karena kamu nggak percaya apa yang aku ceritakan.”

Ryo membuat muka serius dan mendekati wajahku, nyaris lima centi. “Oke, kalau begitu, kamu mesti cerita?”

Kebetulan si nomor tiga juga sedang berjalan di lorong. “Itu yang nomor tiga, namanya Putri,” ucapku.

Dia memandang ke cewek cantik berwajah oriental. “Wah, aku kayak pernah lihat, dia kayak bintang film.”

“Iya, mereka bilang seperti itu.”

“Dia Gadis Sampul juga?”

“Bukan, dia Battosai.”

“Battosai,” Ryo mengangkat alis. “Seperti Kenshin?”

“Iya, begitulah Putri,” jelasku. “Dia atlet Kendo nasional, dan dia seorang Battosai -tepatnya dia panglima tempur SMA Neunzig.”

“Panglima tempur!” Ryo melonjak dengan kedua tangan ke atas. “Dia cewek loh!?”

Aku tertawa kecil. “Ini beneran, dia pernah tawuran melawan empat puluh orang dan menang. Itu kenapa Putri menjadi salah satu legenda di sekolah ini.”

“Sinting, sinting! Kok bisa!?”

“Aku sendiri sih, nggak tahu detailnya, Aku hanya dengar cerita dari teman-teman. Itu kenapa, Putri menjadi cewek cantik yang paling berbahaya di sekolah ini. Eh bukan, di seluruh kota ini maksudku.”

“Wow,” balasnya. “Terus kalau nomor empat?” lanjutnya.

Si nomor empat pun terlihat di sana, di tengah cowok-cowok yang mengerubunginya. “Itu nomor empat, Devika,” ucapku ke arah cewek cantik berwajah bintang Korea.

“Mirip Song Hey Kyou,” ucapnya.

“Memang,” balasku. “Dia anak Taekwondo sekaligus sekretaris OSIS, populer, ceria, dan mudah bergaul.”

“Hmm, kelihatannya sih begitu,” dia meliriknya.

“Iya, berbeda dengan dari nomor satu, dua, dan tiga yang fearless dan untouchable. Devika, dia lebih membumi dan sederhana. Itu kenapa, begitu banyak cowok yang mengejar dirinya. Itu bisa kamu lihat sendiri,” jelasku melempar pandangan ke cewek yang berada di tengah-tengah cowok yang sedang menggombal.

Ryo pun mengangguk. “Oh begitu.”

Tiba-tiba Troh, muncul di belakang kami. “Dari tadi gue lihat di ujung, kalian ngobrol seru banget.”

“Oh iya, Troh kenalin nih, anak baru,” ucapku.

“Ryo,” dia menyalaminya.

“Troh, cowok paling jenius di sekolah ini,” ujarnya.

“Huh, bullshit! Kamu ntuh cowok yang banyak dibully!” seruku.

“Huh,” dia tertunduk mendengus. “Dari tadi gue perhati'in, kalian nunjuk si ini dan si itu, ngobrolin apaan sih?”

“Mau tahu aja,” ujarku.

“Indah cerita,” Ryo mulai bicara. “Siapa aja cewek-cewek yang paling cantik and populer di sini.”

“Oh begitu, dia sudah cerita semua,” ujar Troh. “Padahal gue juga pengen cerita banyak tentang mereka.”

“Dia bilang si Devika itu nomor empat,” ucap Ryo.

Troh mengangguk. “Iya, benar. Huh, dia memang super cantik dan populer.”

“Oh iya, nomor limanya siapa ya?” tanya Ryo.

Jari Troh spontan menunjuk ke mukaku. “Ini nomor lima, di samping lo.”

Mata Ryo membulat besar, bersamaan dengan jantungku yang berdegup kencang.

“Umm, bohong,” ucapku dengan kedua tangan di udara. “Bukan aku, ada yang lain!”

“Iya, sudah jujur aja?”

Sungguh, aku berusaha untuk tidak jatuh pingsan di sini.

“Sebenarnya,” ujar Troh. “Minggu lalu kami mengadakan polling. Siapa cewek tercantik di Neunzig? Dan hasil… Itulah yang lo dengar tadi. Indah ini juga masuk di dalamnya, urutan kelima!”

“Wah, keren!” ucap Ryo.

Sungguh, aku kehilangan kata-kata dan wajahku saat itu lebih merah dari pada kepiting rebus mana pun.
.  .  .



5 comments:

  1. Nb: entahlah, ini rasanya gue konyol banget nulis drama SMA, hahaha.

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Yups, coz cewek di atas ini mengingatkan saya dengan seseorang di SMA, hahaha.

      Delete
  3. Mantab bikin nagih !! Si ryo bikin ane teringat Gintama..

    Hmm.. jd mengenang jaman SMA, tergila2 dg Animonster..

    ReplyDelete