Saturday, April 21, 2018

Hujan, Distro, dan Pembunuhan

Sebuah teaser Fitrah Tanzil


-01-
Adik Dari Almarhum


Gara-gara Goldilocks, distro cosplay milik Alice tak pernah lagi berjualan topeng. Jangankan topeng teater Jepang, topeng Kamen Rider pun sudah tidak ia jual. Padahal dulu ia punya banyak barang itu. Sekarang, untuk yang satu itu ia hanya bisa merekomendasikan toko lain ke para pelanggannya. Kini, setelah dua tahun ia hidup tenang, tiba-tiba muncul kasus baru yang menarik tubuhnya untuk turun ke lapangan.

Saat itu rabu, 22 Juni pukul 2 siang. Alice setengah tidur di tokonya.

Sejak pagi tak ada pelanggan datang dan pengunjung hanya para tetangga menyapa atau numpang berteduh di ruang berAC-nya. Beberapa bulan ini, Si Jam Tangan Hiu lebih sibuk dengan pesanan yang datang melalui Whatapps dan Instagram dibanding orang-orang yang langsung datang ke distro.


"Klikk," pintu terbuka mengejutkan Alice yang sedang fokus di laptopnya. "Permisi," suara seorang wanita menyusul.

"Iya, silahkan," Jam Tangan Hiu refleks bangun dari tempat duduknya.

Si calon pelanggan adalah gadis muda bermata sipit dengan kulit putih dan tubuh yang kurus. Ia mengenakan jaket biru bahan parasut dengan wajah yang tampak gugup.

"Permisi, apa ini Distro Ichigo yang khusus untuk kostum Cosplay Anime itu?" tanyanya.

"Iya benar," jawab Alice. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Hmm, saya mencari Alicia Kusuma."

"Iya, saya sendiri."

Si gadis mendekat dengan wajah penasaran. “Anda si gadis dengan jam tangan hiu itu bukan?”

Dengan cepat Alice menyembunyikan tangan kirinya.  “Uhm, ada apa ya?”

"Nama saya Pammy," si gadis menyodorkan tangannya. "Saya menemukan alamat ini dari teman dari teman saya, namanya Ikhsan, dia merekomedasikan nama anda."

"Rekomendasi? Maksudnya?"

Pammy menunduk beberapa detik, ia menarik napas dalam seolah menguatkan diri untuk bicara. "Hmm, begini. Sebenarnya saya butuh bantuan anda untuk menyelidiki kasus pembunuhan."

Alice menarik dagu dan mendengus. "Maaf, tapi saya bukan detektif swasta, jadi saya nggak bisa bantu kamu. Tapi saya kenal beberapa orang yang mungkin bisa.”

"Tidak, saya tidak ingin yang lain,” dia menggeleng dengan wajah kesal. “Sebelumnya, beberapa orang sudah melakukan hal itu ke saya, dan terakhir si Ikhsanul Arifin ini, dia menyuruh saya ke Distro Ichigo dan bertemu anda."

Alice mengecap bibir.

Entah, apa yang ada di kepala si Muka Zombie itu hingga mengirim gadis kecil ini ke tempatnya.

"Maaf, tapi saya sudah lama tidak buka praktek penyelidikan."

Si gadis tampak kecewa, namun dia tak menyerah. “Anda berhasil memecahkan kasus yang rumit itu, pembunuhan Goldilocks dua tahun yang lalu. Saya yakin anda bisa menolong saya untuk menemukan si pelaku ini, sebab mereka pola yang hampir sama.”

Alice bergeming. “Tidak, saya tidak bisa membantu anda.”

"Yang terbunuh adalah kakak saya, Kimmy," si gadis berteriak dengan mata berkaca-kaca. “Saya nggak tahu harus pergi ke mana lagi. Saya bertemu dengan seorang detektif swasta, tapi saya tidak percaya dengan mereka. Saya tidak pernah bisa percaya dengan laki-laki. Lalu saya menemukan alamat anda dari seorang teman. Mereka bilang coba aja kamu hubungi detektif wanita ini, siapa tahu dia bisa membantu, maka-nya siang ini saya berada di sini.”

Jam Tangan Hiu menggosok dagu. ”Oh begitu, saya mengerti, tapi…”

“Saya mohon!” seru si gadis.

Untuk beberapa detik, ia terdiam. Suasana menjadi hening di sana. Hingga kemudian Alice berkata. “Baiklah, tapi bukan hari ini.”

Pammy mengembang senyum. “Terima kasih!”

Ia pun membalas senyum dengan canggung.

Si gadis cantik berwajah chinesse itu balik badan dan berjalan ke pintu keluar. Namun Alice menghentikannya. “Bentar Pammy, kejadian itu hari apa?”

“Itu hari kamis.”

“Hari kerja ya, hmm,” Alice melangkah ke depan. “Kimmy ini, dia bekerja atau tinggal di rumah?”

“Dia bekerja, desain visual untuk sebuah kantor di Jagakarsa.”

“Oke, apa dia tinggal di rumah atau ngekos?”

“Dia tinggal bersama kami di Cibubur.”

“Rumah keluarga.”

Gadis itu mengangguk. “Iya.”

“Oke, saya mulai membayangkannya. Itu terjadi pada hari kerja, siang, dan hujan pula. Bagaimana mungkin seseorang yang harusnya berada di seputaran Jagakarsa, ditemukan meninggal di ujung kota yang lain.”

“Itu juga yang saya pikirkan. Rasanya nggak mungkin dia pergi sendirian ke BSD.”

Jari Alice naik ke bibir, matanya melirik ke kanan atas, dan otaknya memikirkan enam hal yang mungkin terjadi sebelum sarapan pagi.

“Saya yakin ada seseorang di sana –yang bertemu dengan kakak saya. Orang yang menyuruhnya datang ke sana dan membunuhnya.”

“Kamu sudah bicarakan teori ini ke polisi?”

Mukanya tertunduk dengan mimik wajah antara sedih dan marah. Lalu dia mengangkat kepalanya. “Justru itu, polisi sudah menemukan siapa tersangkanya.”

Alice sedikit tersentak. “Ah, maksudnya?”

“Mereka menemukan dua preman ini,” jarinya menunjuk keluar. “Dua lelaki yang katanya berada di Taman Grande BSD pada saat kejadian. Mereka merampok Kak Kimmy yang kebetulan berada di sana dan menusuk-nusuk tubuhnya. Mereka kabur, bersembunyi di daerah Bogor sampai kemudian polisi menemukannya.”

“Oke, kalau begitu, harusnya kasus ini sudah selesai dong?” tanya Alice.

“Tapi saya tidak percaya dengan hal itu. Saya tidak yakin kalau mereka adalah pelakunya.”

“Kenapa?”

“Sebab saat ditanya; di mana mereka menyimpan handphone dan dompet Kak Kimmy. Mereka cuma bilang; handphonenya sudah dijual dan dompetnya sudah dibuang ke kali. Tapi sampai sekarang, dicari pun handphone dan dompet itu tidak ketemu.”

“Tapi mereka mengaku melakukannya!?”

“Iya, dengan wajah yang bonyok.”

“Oke, saya mulai memahami situasinya.”

“Dugaan saya, para polisi itu menangkap dua preman itu untuk bicara apa yang mereka mau. Supaya kasus ini cepat selesai!”

“Hmm, tapi bagaimana kalau faktanya memang mereka pelakunya?”

Si gadis menggeleng. “Tidak, saya sangat yakin bukan mereka. Sebab…” tiba-tiba dia berhenti bicara. “Sebab… Ada informasi lain yang saya kumpulkan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka paparkan.”

Alice mengangkat dagu. “Seperti apa?”

“Saya akan jelaskan nanti, jika Kak Alice mau ikut dengan saya ke TKP.”

Alice tersenyum. “Oke, tapi bukan sekarang.”

“Besok siang gimana?” tanya si gadis.

“Baiklah, besok siang.”

Pammy pun pamit dan berjalan ke arah pertigaan.
.  .  .

Lima menit berlalu dan ruangan kembali sepi.

Dengan cepat Jam Tangan Hiu mengambil handphone dan menelpon teman lamanya, Bimo si Inspektur muda di Polda Metro Jaya.

“Halo, Bim,” sapanya.

“Alice, tumben sekali?” balas si polisi.

“Iya, memang sangat tumben sekali. Begini, I need your help, kamu tahu kasus jasad wanita di Taman Grande BSD?”

“Oh itu, iya aku tahu seorang cewek cantik yang ditemukan meninggal di tengah taman. Kalau nggak salah dua minggu yang lalu bukan?”

“Hampir tiga minggu tepatnya.”

“Iya, cuma itu urusan Polres Tangsel, bukan kantorku di Komdak sini.”

“Iya, aku ngerti,” Alice terdiam beberapa detik di telepon. “Hmm, Bim, aku minta tolong nih!?”

“Minta tolong apa?”

“Bisa nggak, kamu cari info tentang kasus itu–detailnya–dari Polres TangSel?”

Ada jeda di telepon, sebelum Bimo membalas. “Kalau diusahain sih, bisa. Tapi kamu ada urusan apa dengan kasus tersebut?”

Jam Tangan Hiu menghela napas. “Tadi di sini, lima menit yang lalu datang seorang cewek yang ngaku adik dari wanita yang meninggal di BSD itu.”

“Oh gituh. Dan dia minta bantuan kamu?”

“Iya, katanya tersangka sudah ditemukan, dua orang preman gituh. Tapi si cewek ini nggak yakin, kalau para tersangka itu adalah pembunuh dari kakaknya. Sebab, kata dia, nggak mungkin kakaknya pergi sendirian, jauh-jauh dari Jagakarsa ke BSD di hari kerja dan hujan pula lagi, kecuali jika ada suatu urusan yang benar-benar penting.”

“Hmm, menarik!”

“Iya, aku penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku nggak punya banyak kenalan polisi, jadi aku menghubungi kamu.”

Si laki-laki meledakkan tawa. “Hahaha, Alice, selalu.”

“Oke, itu aja dulu, thank you sebelumnya.”

“Sama-sama, by the way salam buat Radit,” ucap si Inspektur muda.

“Iya,” telepon pun ditutup.
.  .  .


-02-
Penyelidikan Pertama


Keesokan paginya, Alice memberi kejutan. Ia tidak bertemu di station kebayoran, melainkan langsung mengunjungi Pammy di kediamannya di Cibubur. Si gadis cantik membuka pintu dan sangat terkejut.

“Hai,” ucap Jam Tangan Hiu.

“Oh wow,” ucapnya tinggi. “Bagaimana Kak Alice bisa berada di sini?”

“Aku menelpon beberapa orang dan sampai di sini,” balasnya tersenyum. “Detektif!”

Si gadis mendengus, sembari matanya memperhatikan Jam Tangan Hiu. Sepatu kets yang bersih, celana jeans yang tampak baru, T-shirt hitam, dan sweater biru dengan lengan putih serta hoody. Dia lebih mirip cewek kekinian dibanding dengan seorang detektif wanita.

“Bukannya, kita langsung aja ke TKP?” tanya si klien.

“Iya, setelah aku melihat-lihat kamar kakak kamu,” balas sweater biru.

 “Pam, ada siapa?” suara wanita paruh bayah.

“Ini Mah, teman kampus Pammy,” ucap si gadis.

Wanita gemuk dengan mata sipit dan kulit putih pun muncul. Alice menyalami dan tampak kerutan di sekitar matanya saat ia tersenyum. 

“Kami mau lihat-lihat kamar Kak Kimmy,” ujarnya.

“Oh memangnya ada apa?” tanya si Ibu.

“Temanku ini,” Pammy menepuk tangan Alice. “Mau bantu aku cari tahu apa yang terjadi dengan Kak Kimmy.”

“Ah, itu lagi,” keluh si Ibu. 

“Aku penasaran Mah,” si gadis tampak memohon. “Aku yakin ada yang terlewatkan oleh mereka.”

“Saya turut berduka Bu,” ucap Jam Tangan Hiu.

“Iya, terima kasih,” balas si wanita tua yang terlihat sudah tidak begitu bersedih dengan kehilangan anaknya. Si klien langsung menarik Alice ke bagian belakang rumah, sementara si Ibu memandang dengan penuh curiga.


Kamar Kimmy berada di bagian belakang rumah dengan jendela terbuka yang menghadap ke taman kecil dan sebuah kolam ikan.

“Rumah kamu besar juga ya,” ucap Alice memutar tubuh, melihat sekeliling.

“Iya, ini rumah lama sih. Sebenarnya, peninggalan dari Kakek untuk Ayah dan kemudian untuk kami,” jelas si gadis.

“Oh begitu. Kalau kamar kamu ada di mana?” tanya sweater biru.

“Saya tinggal di lantai atas.”

Mata Alice berputar di antara sudut kamar almarhum. Ada meja belajar di sebelah kiri, lalu meja rias, bangku kecil, kasus, dan lemari. Tak ada bingkai foto di sana, yang ada hanya tumpukkan buku, dan sebuah laptop yang ditutup. Sedangkan di meja rias, hanya ada bedak biasa, lipstik, krim wajah, dan parfum. “Kakak kamu bukan tipe orang yang suka make up ya?”

“Iya, dia jarang dandan. Paling kalau jalan cuma pakai lipstik dan bedak saja.”

Jari Alice mengetuk ke laptopnya. “Ini bisa nyala?”

“Iya, bisa,” Pammy pun dengan cepat membuka dan menyalakan laptop sang kakak.

“Nggak ada note, file, diary, atau catatan apa gituh sebelum dia meninggal?”

“Aku sudah memeriksa di seluruh kamar ini,” si gadis melempar tatapan ke sudut ruangan. “Dan tidak ada!”

Layar biru laptopnya sudah terbuka. Tampilan desktop-nya adalah sebuah pemandangan salju di sudut kota Jepang, entah di mana Alice pernah melihatnya. . Ia mencoba memahami karakter si almarhum. Kimmy cantik, pintar, suka dengan tema Jejepangan, bekerja di bidang desain visual, jarang pakai make up, cukup introvert, dan hanya memiliki sedikit teman. Seperti melihat cerminnya sendiri.

“Ini foto-fotonya dia,” ucap Pammy yang membuka folder gallery.

Seperti yang ia duga, almarhum memang tidak suka dengan pakai dengan warna yang mencolok. Foto-foto Kimmy diberbagai tempat selalu hanya mengenakan pakaian warna biru tua, putih, hitam, coklat, dan warna abu-abu.  Gambar terus digeser ke samping. Ada foto almarhum di sebuah pantai, di belakang air terjun, di bandara, di sebuah taman bermain, dan seterusnya. Dari foto-foto galeri, tampak almarhum tidak suka pergi ke pesta dan hanya punya sedikit teman.

“Itu siapa?” tanya Alice menunjuk ke foto wanita yang sering muncul di galeri itu.

“Oh itu sahabatnya, Winda namanya.”

“Nggak ada foto cowok ya?”

“Ada,” si gadis menelusuri folder. “Ini cukup lama sih,” tunjuknya ke satu foto di mana almarhum duduk di samping seorang pemuda tampan. “Namanya, Steve dia mantan Kak Kimmy. Tapi mereka sudah putus sejak,” bola matanya berputar ke kanan. “Tiga tahun yang lalu.”

“Oke,” ia menggosok dagu. “Dia sangat cantik, pasti ada cowok-cowok lain dong setalah itu?”

“Iya, memang ada. Tapi kebanyakan dia menolaknya. Jadi, dia masih sendiri sampai sekarang.”

“Kamu yakin!?”

“Hmm, rasanya nggak ada,” Pammy menggeleng. “Soalnya, foto dia bersama cowok, iya hanya satu-satunya ini.”

“Oke, terus gimana kabar dia?” Jam Tangan Hiu menunjuk foto Steve.

“Dia sudah married, dua tahun yang lalu. Semenjak itu, kelihatan mereka nggak pernah kontak-kontakan lagi.”

Si wanita mendengus. “Oke.”

Setengah jam berikutnya dihabiskan Alice dan Pammy mengamati foto demi foto almarhum yang ada di galeri. Sudut demi sudut foto dia amati demi mencari pola dan petunjuk. Kebanyakan galerinya ada foto-foto jalan-jalan dan taman-taman kota di Jepang, tanpa ada wajah di sana. Dan ada satu yang menarik perhatian Alice, sebuah jembatan merah di tengah hutan yang Asri. “Shinkyo bridge,” ucapnya.

“Apa?” Pammy menaikkan alis.

“Shinkyo bridge,” ujar Alice mengangkat dagu. “Ini salah satu jembatan legendaris di Jepang berada di Nikko National Park. Aku juga punya gambar ini di laptopku.”
.  .  .

Dari rumah Pammy, penyelidikan dilanjutkan ke kantor Kimmy di Jagakarsa.

Kantornya adalah sebuah rumah besar berlantai 2 dengan taman di belakangnya. Resepsionis, agak terkejut ketika Pammy dan Alice sampai di sana. Ia pun menelpon ke redaktur sebelum, memberi mereka izin melihat-lihat meja kantor almarhum.

Tak sampai 5 menit, wanita berwajah keras dengan kacamata tebal pun muncul.

“Saya Gina, redaktur di sini,” wanita itu memperkenalkan diri.

Jam Tangan Hiu melirik ke kardigan warna abu-abu yang halus, tampak dari brand yang mahal. “Alice, temannya Pammy,” ucapnya.

“Oh iya, Pammy, kami turut berduka atas meninggalnya kakak kamu,” ucap si wanita berkacamata tebal memindah gadis bersweater merah. 

Entah, sebuah kesengajaan atau bukan. Pammy persis seperti Alice, hanya saja dengan warna yang berbeda. Mungkin, jika orang melihat sekilas, mereka akan berpikir bahwa si detektif dan Pammy lah yang kakak adik.

“Terima kasih,” balas si gadis.

“Kimmy itu orang yang sangat baik,” ucap si redaktur sambil berjalan ke ruang tengah. “Dia rajin, dan selalu berhasil dengan pekerjaannya.”

“Ngomong-ngomong, apa pekerjaannya di sini?” tanya sweater biru.

“Dia mendesain cover buku, membuat banner, poster iklan, dan semacamnya. Bisa dibilang, dia karyawan terbaik yang kami punya,” jelas si redaktur.

Mereka berjalan ke meja kecil yang berada di samping kaca jendela besar.

“Ini meja kerjanya,” ucap si redaktur dengan tangan terbuka. “Dia suka memandang keluar, melihat taman, bunga-bunga itu, dan kolam. Dia bilang dia sangat suka hujan.” Si wanita menarik napas dalam dengan sedih. “Dia orang yang baik, sangat baik, dan saya nyaris nggak percaya dia meninggal dengan cara seperti itu.”

“Saya turut berduka,” ujar si detektif.

Si wanita kacamata mengangguk.

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi pada hari itu, kenapa dia pergi ke BSD di hari kerja?” tanya Alice

“Nah, itu juga yang mengganggu kami,” ujarnya.

“Mengganggu gimana?”

“Karena tak biasanya dia pergi izin keluar kantor.”

Jam Tangan Hiu mengernyit. “Maksudnya?”

“Pagi itu, dia masuk kantor seperti biasa. Namun jam sepuluh, dia minta izin keluar, katanya Ibunya mendadak jatuh sakit dan dibawa ke RS Fatmawati. Iya, sebagai atasan yang baik dengan keadaan yang darurat itu saya memberinya izin.”

Alice melempar pandangan ke Pammy. “Apa benar itu?”

“Mama memang ke RS Fatmawati, tapi itu hanya untuk cek up biasa, bukan sesuatu yang besar,” jelas si gadis.

 Mata si redaktur membulat besar. “Hmm, serius!?”

“Iya,” balasnya.

“Jadi, siapa yang menghubungi Kimmy pagi itu?” Alice menggosok dagu.

“Sungguh, saya tidak tahu,” si redaktur menggeleng. “Tapi kalian bisa melihat meja kerjanya. Mungkin ada sesuatu yang ‘penting’ yang beliau tinggal.”

“Iya, terima kasih.”

Si redaktur membalik badan, namun Jam Tangan Hiu kembali bicara.

“Kami bisa periksa komputernya?”

“Iya, silahkan!”

“Ada passwordnya?”

Si redaktur pun mengetik passwordnya, sebelum meninggalkan mereka berdua.

Melihat keadaan di atas meja, tampak sudah rapih tertawa, tidak seperti di meja karyawan lain yang penuh dengan tumpukkan majalah, buku, dan kertas-kertas lainnya. Jelas, pekerjaan-pekerjaan almarhum yang belum terselesaikan dilempar ke karyawan yang lain.

“Barang-barang kakak kamu, sebagian sudah dikirim pulang?” tanya Alice.

Pammy mengangguk. “Iya, sebagian sudah dikirim ke rumah.”

Membuka isi komputer, tampak desain-desain yang almarhum kerjakan. Cover-cover novel dengan tema urban, jalan perkotaan, lampu-lampu hotel, serta hujan dan jalanan yang becek. Satu cover yang dia lihat mirip seperti sampul After Dark Haruki Murakami yang versi bahasa Inggris.

“Hmm, sama seperti yang ada di rumah kamu, banyak gambar-gambar tentang Jepang dan kota Tokyo.”

“Iya,” balasnya singkat.

“Apa dia berencana ke sana, liburan ke Jepang gituh?”

“Hmm,” matanya berputar ke sudut kiri. “Iya, dia pernah mention sekali. Pengen liburan ke sana, tapi belum tahu kapan.”

“Oh gituh,” balas Alice dengan mata yang masih fokus di layar. “Uhm, Inokashira Park.”

“Apa?” tanya Pammy.

Jari si detektif menunjuk ke layar, terdapat foto sebuah kolam. “Air mancur ini… Ini di Inokashira Park.”

“Kok Kak Alice bisa tahu?”

Si wanita menyeringai. “Iya, aku pernah ke sana.”


Sekitar 15 menit membuka file-file di PC kantor almarhum, Alice tak menemukan apa yang ia cari.

“Hmm, apa yang sesungguhnya Kak Alice cari?” tanya si gadis.

“Aku mencari foto cowok atau seseorang yang terkait dengan almarhum.”

Pammy menunduk, lalu berbicara pelan. “Saat dia meninggal, dia sedang tidak berhubungan dengan siapa pun. Dia orang baik, tidak punya musuh atau rival, dan aku rasa tak ada orang benci dengan dia,” suara itu terdengar makin serak. “Tapi kenapa orang yang baik bisa meninggal dengan cara seperti ini, dibunuh seseorang.”

Alice menghela napas, sebelum bicara. “Hmm, di dunia ini, apa pun bisa terjadi Pammy. Jangankan orang baik, kadang bayi yang tak berdosa pun bisa mati secara kejam.”

Si gadis cukup tersentak mendengar itu,

Jam Tangan Hiu kembali ke layar komputer. Ia memindai tiap gambar yang ia temukan di folder-folder itu. Satu demi satu ia teliti dengan sangat dekat, seperti Elang yang memburu ikan di atas danau.


Setengah jam berlalu dan mereka mengakhiri pencarian di sana.

“Terima kasih, telah mengizinkan kami melihat-lihat,” ucap Alice ke si redaktur. 

“Sama-sama,” balas wanita berkacamata tebal itu. “Nanti, kalau ada informasi lain, akan saya sampaikan ke kalian,” tambahnya.

“Oh iya, anda dan beberapa karyawan sini pernah liburan ke Jepang ya?” tanya Jam Tangan Hiu.

Si wanita sedikit tersentak. “Hmm, iya. Dari mana anda tahu itu.”

“Tadi, saat memeriksa komputer almarhum, saya menemukan foto groupie anda dengan dua orang wanita yang tampaknya tak asing di sini.”

“Iya, kami memang pergi ke Jepang pada November lalu.”

“Hmm, begitu pula dengan Kimmy kan, dia juga ada di sana.”

“Tidak, dia tidak ikut.”

“Anda tidak bisa membohongi saya, Mbak Gina. Hmm, dia ada di sana, tepatnya dialah yang memotret foto itu bukan.”

Gina membelalakan mata, namun dengan tubuh bergeming. 

Pammy melempar tatapan tajam ke si redaktur. “Kak Kimmy ke Jepang!?”

“Tidak, dia tidak ikut dengan kami.”

“Tapi fotonya berbicara,” tegas Alice.

“Maksud anda?”

“Foto nomor 126; foto groupie anda di West Walk Shopping Arcade di daerah Roppongi, itu tempat yang rasanya nggak mungkin meminta orang asing untuk memotret anda dan dua teman anda, kecuali ada orang keempat yang ikut bersama anda pergi ke sana –dan dialah yang memotretnya. Kedua di foto selanjutnya, nomor 127 dan 128 meski tak ada foto wajah, namun saya mengenali taman itu yaitu Mori Garden yang masih di seputaran Roppongi. Apakah sebuah kebetulan? Saya rasa tidak, sebab mereka dipotret oleh kamera yang sama. Yang ketiga tentu yang paling fatal, untuk apa Kimmy menyimpan foto groupie anda di komputernya, padahal wajah dia sendiri tidak ada di situ, kecuali foto itu adalah sebuah kenang-kenangan penting yang ia potret sendiri.”

 Gina tersentak hingga mundur satu langkah. Ia lalu menghela napas.

“Oke, saya mengaku,” ucapnya. “Kami ke sana November lalu, cuma empat hari tiga malam. Perjalanan itu merupakan hadiah saya untuk para karyawan di sini. Semuanya sangat excited, kecuali Kimmy. Kedengarannya aneh memang, tapi dia tidak mau menjelaskan alasannya. Lalu kami terus pancing-pancing agar dia mau pergi. Kemudian dia berkata, saya akan ikut, namun dengan dua syarat; pertama jangan beritahukan perjalanan ini ke Ibu saya dan kedua saat di sana jangan foto saya, begitu singkatnya.”

“Itu kenapa keluarganya tidak tahu kalau dia pergi ke sana?”

“Iya,” balas si kacamata tebal.

“Dan itu juga kenapa tak ada foto dia saat berada Tokyo.”

Dia mengangguk.

“Apa informasi ini sudah ada beritahukan ke polisi?”

“Belum, kami belum bicarakan ini ke polisi dan mereka pun tidak menanyakannya.”

“Harusnya anda bilang sejak awal,” ujar Pammy kesal.

“Saya mohon maaf, tapi memang itu adalah wasiat dari almarhum.”

“Dia benar, Mbak Gina hanya menjalankan apa yang bisa dia jalankan. Dan jikalau pun saya ada di posisinya, saya juga akan melakukan hal yang sama.” 

“Terima kasih Nona Alice.”

Jam Tangan Hiu mengangguk.

“Apa informasi saya ini punya kaitan dengan kematian Kimmy?” tanyanya.

“Saya nggak bilang akan ada kaitan, tapi saya yakin akan ada petunjuk lain dari informasi ini,” ucap Alice. “Oke, terima kasih atas bantuan anda, Mbak Gina.”

“Sama-sama,” balas si wanita berkacamata tebal itu.

Si redaktur mengantar mereka ke pintu keluar.

Sekilas Alice melihat ke sebuah keranjang besar kosong di pojok kanan. “Ini apa ya?” tanyanya.

“Oh itu tempat payung kami,” ujar si redaktur.

Dan Alice pun menyeringai.
.  .  .



Nb: pengennya sih, Estelle Linden yang berperan sebagai Detektif Alice, hihihi.

4 comments:

  1. P.S. ; Ilustrasi, sumber unsplash.com beautiful, free photos.

    ReplyDelete
  2. dunia detektif, kejelian menjadi senjata standar..

    ReplyDelete
    Replies
    1. @ Gogo, hihihi, by the way, thank you sudah mampir.

      Delete