Saturday, October 24, 2015

Perspektif

By Ftrohx


Bicara tentang perspektif, gw selalu ingat dengan Ratatoulie, adegan-adegan akhir dimana Igor si kritikus makanan datang ke restoran dan meminta dimasakan makanan.

Si pelayan bertanya apa yang ingin dia pesan, tapi si Igor bilang. "Berikan saya perspektif, perspektif," -"Apa itu perspektif? Saya tidak mengerti?" ucap si pelayan. -"Masaklah apapun makan akan saya berikan perspektif," ujar Igor dengan sangat marah.

Mengingat Ratatoulie gw ingat dengan si tikus kecil yang beradu mental melawan seorang kritikus makanan itu -Igor, dan mengingat Igor gw ingat gambar yang dipasang di sebuah laman artikel di blog-nya Fandi Sido, artikel yang bicara tentang kritik terhadap sebuah karya literature.



Mereka bilang bahwa tiap orang memiliki perspektif yang berbeda, sesuatu yang relatif katanya tergantung melihat dari pandangan mata siapa, tergantung juga dengan pengetahuan dan pengalaman dari orang yang melihat objek itu.

Semakin banyak pengalaman akan sesuatu maka kita biasanya akan kritis terhadap sesuatu itu. Semakin banyak kita makan-makanan Itali misalnya, semakin kita tahu tentang Spagetti atau Pizza maka ketika ada orang baru yang memasak Spagetti atau Pizza, secara insting kadang kita ingin mengkiritisinya. Pizza-nya kurang keju atau sauce tomat-nya terlalu asam atau rotinya kurang mengembang dan seterusnya.

Bicara tentang Perspektif, gw menulis ini karena gw melihat trailer Death Note yang baru beserta dengan kritiknya. Banyak orang yang langsung mengkritiknya bahkan sebelum dia menonton serial.

Ok, nggak banyak yang bisa diharapkan dari trailer, tapi setidaknya trailer menjadi petunjuk sebagus apa filmnya akan berjalan.

Tapi dalam situasi gw, sering gw nonton trailer-trailer film yang sangat bagus, terutama trailer-trailer film Hollywood. Namun kemudian, ketika gw nonton filmnya secara utuh, mereka berada dibawah ekspektasi gw, atau bisa gw bilang kenyataannya -filmnya tidak sehebat trailernya.

Apalagi ketika trailernya aja jelek, dalam hal ini kita membicarakan tentang Death Note 2015

Sering gw bicara di Sosmed "Sudahlah, Death Note sudah tamat -nggak usah di remake lagi, sudahlah hasilnya pasti akan mengecewakan para penggemar yang sudah menonton sebelumnya." Tapi mereka beralasan. "Kali ini Life-Action akan sesuai dengan naskah asli dari Tsugumi Ohba."

Lah tetap saja menurut gw, kita semua sudah tahu jalannya cerita untuk apalagi diceritakan ulang, apa nilai plus yang bisa ditambahkan. Kenyataannya, iya ketika kita melihat trailernya kita nggak melihat ada nilai plus dari Death Note 2015. 

Ok, ini sih bukan serial Death Note, ini anak-anak Cosplayer yang bermain drama tentang Death Note.

Ok, terutama tentang L. Lawliet -menurut gw jelas dari penampilannya dia sangat tidak cocok apalagi senyumnya yang begitulah, jelas dia lebih cocok bermain jadi Cosplayer-nya L. daripada berperan sebagai L. Lawliet.

L. itu seorang freak, seorang Nerd, seorang yang fokus dan berdedikasi pada pekerjaannya, atau mengutip kata Tsugaeda memiliki wajah dengan kantung mata yang seolah sudah bertahun-tahun melupakan tidur. Tapi bocah di Death Note 2015 ini, dia tidak seperti itu, fisiknya terlalu lemah dan mukanya terlalu cantik untuk jadi seorang detektif.

Ok, itu aja yang bisa gw lihat. Namun mereka beralasan, anak-anakmuda generasi sekarang banyak yang belum nonton Death Note karena itu harus dibuat Death Note yang mewakili generasi yang sekarang.

Tetap menurut gw sama aja, mungkin seperti kata pepatah film bagus akan tetap bagus apapun genre-nya, dan itu juga berlaku sebaliknya.
.  .  .

Ilustrasi, sumber youtube L 2015

Wednesday, October 21, 2015

Bengkel Heri

Cerpen by Ftroh


Heri adalah seorang montir profesional sebuah bengkel mobil mewah di daerah Cilandak. Dia memiliki wajah garang khas seorang montir berkulit coklat gelap membuat tiap orang yang pertama kali bertemu nya selalu mengira dia orang Ambon ataupun Papua padahal aslinya berasal dari Jawa Tengah. Kantung matanya suram menghitam dia masih sangat mengantuk karena kurang tidur.

“Kringgg!” suara telepon membangunkannya dari sofa lapuk.

Dia berdiri dan berjalan perlahan sambil berbicara dengan malas pada seseorang diujung telepon. “Iya, bentar” ujarnya lalu berjalan turun dari lantai dua ke arah gerbang depan.

Seorang teman yang sangat menyebalkan sudah berdiri di depan sana, Azra Lazuardi.


“Sial, gara-gara lo gw harus begadang,” ujar Heri dengan matanya yang berputar ke samping, dia baru menyadari bahwa Azra tidak sendirian, ada seorang gadis cantik yang menemaninya.

“Tapi beres bukan?” tanya Azra lagi.

“Tentu saja enggak, mobil lo itu sudah hancur total, baiknya lo cari yang baru,”

Azra hanya tertawa santai, seolah dia tidak kehilangan apa-apa. “Iya, iya nanti gw akan cari yang baru,”

“Oh, ini kenalkan temanku yang punya bengkel, Heri,” Azra menunjuk kearah gadis cantik yang berdiri di sampingnya yang mengenakan cardigan abu-abu gelap mahal seolah sekretaris dari sebuah perusahaan multinasional.

“Virli,” ujar si gadis cantik dengan ramah sambil menjabat tangan Heri.

Heri terkesima dan terdiam untuk beberapa detik.

“Sory, Azra berlebihan bukan aku yang punya bengkel ini,”

Sambil berjalan menuju mobil yang rusak parah, Heri bicara banyak tentang bengkelnya.

Berapa lama dia bekerja di sana, siapa saja yang pernah menjadi pelanggannya dan seterusnya. Sesuatu yang jelas tidak begitu diperhatikan oleh Virli. Si Gadis lebih terlihat penasaran dengan mobil Azra yang rusak akibat hujan peluru yang menimpa-nya semalam. 

“Wow, seni yang indah,” ujar Virli sambil memutari New VW bettle milik Azra yang terlihat masih utuh kecuali terdapat lubang-lubang peluru seperti aksesori, tempelan yang mewarnai lapisan cat mobil.

Tanpa perlu di analisa detailnya, mereka berdua bisa membayangkan, seberapa hebatnya penjahat yang menyerang Azra, dia menembakan peluru ke bagian depan mobil menembus mesin 4tak nya tanpa memotong selang bensin.

“Now this is something that you didn’t see everyday…”

Mereka tertawa ringan, sekaligus miris melihat blue VW new beetle milik Azra menjadi korban keganasan Sang Snifer di balik bayangan.

Azra sendiri masih terlihat sedih dengan peristiwa yang menimpa mobilnya.

Sambil berjalan memutari New Beetle, Azra dan Virli melihat ada 5 lubang di atas Kap berwarna biru dan 5 lubang lagi menebus kaca film selurus cahaya ke dalam jok mobil.

Dari apa yang terlihat dapat disimpulkan secara langsung bahwa arah tembakan sang snifer adalah diagonal dari arah depan mobil ke belakang. Peluru juga memecahkan lampu hingga menembus ke dalam pelek ban.

“Dari kerusakan nya kemungkinan SASR,” Virli berkata lagi.

“Apa ntuh SASR ?” tanya Heri

“SARS itu singkatan dari Special Application Snifer Rifle, Rifle khusus untuk menembak jarak jauh !” Jelas Azra. Sambil melihat Virli yang memutari  VW nya yang rusak “Aku, sempat melihat arah tembakan nya kemungkinan posisi snifer berada pada 800meter di sebuah Hotel di lingkaran MegaKuningan.”

“Jika benar dugaan kamu jaraknya sekitar 800meter, berarti snifer rifle itu berada dalam Jarak mati yaitu 800 sampai 1200 meter? Maksudku jarak optimum bagi SASR untuk menembak. Harusnya kamu tidak bisa lolos, tapi anehnya kenapa dia tidak membunuh kamu atau Rizal?”

“Ya semalaman aku memikirkan itu juga? Kenapa dia nggak menembak kepalaku aja padahal dia bisa menembaknya. Kamu bisa melihat dari sini akurasi tembakannya," Azra menunjuk ke lubang-lubang di mobilnya. "Dia bisa membuat lubang-lubang peluru tepat diatas kap mesin mobilku tanpa memotong selang bensin-nya, rasanya ini nyaris nggak mungkin terjadi, diantara puluhan ribu kemungkinan sebuah tembakan ke sebuah mobil.”

Iya, Virli bisa membayangkan, seandainya penembakan itu dalam situasi berbeda atau oleh penembak biasa harusnya mobil itu terbakar dan meledak karena peluru-peluru yang jatuh ke sana menciptakan percikan-percikan apa yang harusnya membakar selang bensin.

Tapi ini benar-benar tidak normal, peluru ditembakan ke titik-titik yang jauh dari selang bensin, sebuah tembakan yang mustahil, atau lebih tepatnya menyusahkan si Snifer sendiri. 

“Selain itu pertama kali aku menyadari kami diserang adalah ketika kaleng soda yang ku minum tiba-tiba ditembus oleh peluru nya.”

Heri menaikan alis tinggi-tinggi, seolah menyatakan nggak mungkin.

“Alasan paling simple adalah dia masih membutuhkan kamu untuk sebuah skenario atau dia ingin kamu menemukan dirinya? Psyco always want to be found.”

Azra masih berjalan memutari mobil dengan wajah yang makin serius memperhatikan setiap lubang peluru di Kap mobilnya. Logika nya merasakan hal yang janggal dia melihat dengan jelas bahwa caliber peluru yang menebus tubuh Rizal berbeda dengan caliber peluru-peluru yang melubangi mobil.

Hipotesis-nya, peluru yang melubangi VW new beetle nya adalah caliber .50 BMG yaitu tipe peluru standar yang digunakan dalam berbagai merk SASR. Tapi seandainya Rizal memang terkenal peluru caliber 50 BMG dipastikan kemungkinan dia selamat dan hidup sangat tipis kurang dari 5% jikalaupun dia selamat dengan lubang akibat 50 BMG ditubuhnya dipastikan dia tidak dapat mengerakan lengannya seumur hidup.

Tapi peluru yang menembus Rizal lebih kecil. Azra memeriksa kembali lubang di Jok belakang tempat Rizal tertembak. Lubang itu memang lebih kecil.

Heri mengambil sebuah wadah mangkok dan memperlihatkan peluru nya. Lima buah peluru tajam.

Tanpa basa-basi Virli mengenakan sarung tangan karet dan mengambil satu sample peluru. Dia mendekatkan peluru tersebut ke depan hidungnya. “Spritzer caliber 50 BMG standar untuk snifer rifle tapi ada yang aneh disini. Rasanya peluru ini jauh lebih berat mungkin dua atau tiga kali lebih berat dari normal nya. Aku rasa peluru ini memiliki campuran dari besi dengan titanium dan platinium.”

Dugaan Azra ternyata benar. “Peluru Anti-Terminator ya?”

“Sepertinya sih begitu,”

“Bentar-bentar bagaimana kamu bisa tahu tipe pelurunya hanya dengan menyentuhnya?” tanya Heri seperti orang yang panik.

Azra pun menepuk bahu temannya. “Virli memang begitu, dia itu jenius dan orang jenius selalu songong.”

“Huh,” Si gadis cantikpun melayangkan pukulan nakal ke pinggang Sang Informan.

Sementara, Heri sendiri terlihat menyernyitkan dahi dan menggeleng bingung, dengan begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang tanpa jawaban yang berputar di kepalanya.

“Oiya hampir lupa tadi ada satu peluru yang ukurannya berbeda,” Heri mengambil sebuah peluru dari wadah mangkok plastik “Ini ku temukan di Jok belakang.”

Azra juga mengenakan sarung tangan karet, lalu mengapit peluru tersebut dengan jari nya sambil memutarnya perlahan. Ternyata benar deduksi nya bahwa peluru yang menembus tubuh Rizal merupakan satu peluru yang berbeda dari yang menghujani new Beetle nya. Peluru ini lebih kecil dari caliber yang sebelumnya di genggam Virli.

Dia ingat ada dua caliber peluru yang begitu terkenal dalam dunia snifer yaitu Caliber .50 BMG (12mm) dan Caliber .338 Lapua Magnum (8,6mm). Caliber .50 BMG menjadi terkenal sejak dipecahkannya record dunia snifer pada tahun 2002 saat perang di Afganistan oleh seorang kopral asal Kanada bernama Rob Fuling dengan SASR McMilan Tac-50 menembak sasaran manusia terjauh dengan jarak sasaran 2430 meter.

Kemudian rekor tersebut dipecahkan oleh seorang snifer asal Inggris bernama Craig Harrison pada tahun 2009 dengan jarak jangkauan 2474 meter yang juga masih dalam misi di Afganistan menembak mati sasarannya dengan peluru caliber .338 Lapua magnum. Azra menduga bahwa peluru yang lebih kecil yang menembus tubuh Rizal kemungkinan varians dari caliber .338 Lapua Magnum.

“Coba kulihat,” Virli mengambil peluru ukuran sedang tersebut dari tangan Azra. “Ukuran nya sih caliber 30an hampir sama dengan punya ku ini .32 ACP”

“Serius?”

“Iya coba lihat ini,” Virli mengeluarkan Pistolnya Beretta 3032 Tomcat kemudian melepas magazine nya dan memperlihatkan peluru .32 ACP. Azra ingat penjelasan Virli jauh sebelum peristiwa ini terjadi tentang caliber 32 begitu terkenal sebagai standar peluru untuk pistol wanita, Beretta 3032 Tomcat memang pistol yang umumnya di pakai oleh polisi wanita ataupun para Agen rahasia wanita dalam film-film spionase Hollywood.

“Tapi .32 ACP kan FMJ sedangkan peluru ini tipe spritzer khusus untuk snifer.”

Heri yang tidak mengerti pembicaraan anakmuda di hadapannya itupun ikut menyelah “Sebentar, sprizter itu apa?”

“Spritzer itu istilah keren untuk peluru tajam yang biasa digunakan untuk snifer rifle sedangkan untuk caliber .32 ACP ini kebalikannya FMJ singkatan dari tipe peluru full metal jacket. Peluru tumpul yang biasa digunakan untuk menembak dengan Glock pada jarak menengah.”

Virli tersenyum seolah bangga karena berhasil menguji pengetahuan Azra tentang Ballistics profiling

“Kok kamu tahu banyak sih tentang Ballistics Profiling?”

“Enggak aku nggak terlalu tahu tentang Ballistics Profiling hanya saja aku baru tahu semuanya semalam.”

“Gimana caranya?”

Azra memperlihatkan smartphone nya “Dari sini internet, googling dan Wikipedia.”

Virli hanya menggelengkan kepalanya. Salut dalam hati bahwa sobat lamanya ini selalu bisa membuat keajaiban. Bahkan disaat-saat paling kritis sekalipun, Dia masih mampu untuk berpikir dingin dan mencari informasi yang relevan dengan kasus yang dihadapi.

“Apa mungkin pelakunya orang Pemerintah?” tanya Heri berspekulasi.

“Aku kira tidak,” tanggap Virli.

“Sama,” Azra mengangguk setuju. “Sang pelaku secerdas ini nggak mungkinlah orang dalam lingkar Pemerintahan. Aku rasa dia anakmuda dia suka seni dia gaul and modern. mungkin dia suka main game computer, suka baca manga dan bisa jadi merupakan mahasiswa yang sukses terbaik di akademik maupun di club campusnya.”

“If a person is a show-off it is only because he feels inferior, because he does not feel strong enough to compete with others on the useful side of life,” ucap Virli spontan.

Heri terlihat semakin binggung sedangkan Azra terdiam berpikir sejenak. Dengan wajah yang perlahan cerah dia berkata “Alferd Adler ya?” ujar Azra.

“Behind the superiority complex there’s always be inferiority complex.”

“Iya.” Virli mengangguk.

Si Montir kembali menggeleng tak mengerti. “Maksudnya?”

“Kebanyakaan orang yang awam mengira bahwa superiority complex itu orang genius yang bisa segalanya. Seperti kata Azra tadi; sang penjahat kita ini ingin menunjukan bahwa ‘dia’ bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain. Dari sini Aku menyimpulkan sang pelaku memiliki sindrom superiority complex. Kenyataannya nggak ada orang yang benar-benar sempurna. Superiority hanya image dibuatnya sendiri karena dia memiliki ketakutan yang sangat akan kecacatan dirinya atau dengan kata lain dibalik inferiority terdapat superiority begitu juga sebaliknya ada superiority didalam inferiority. Semua yang dilakukan hanya topeng untuk menutupi siapa sebenarnya dirinya,” ucap Virli sambil menatap kearah Azra.

“Kok melihat kearahku? Aku memang aneh tapi nggak mungkin berubah menjadi penjahat,” Azra tertawa.

“Iya, lo jadi penjahat di GTA,” ujar si Montir sambil mendengus.

Berbeda dengan orang lelaki di sana, raut wajah Virli tetap memandang peluru itu dengan begitu serius. “Ok, Cukup dengan quiz nya. Peluru ini bukan caliber 32 ACP ataupun caliber 338 lapua magnum. Ini 308 Winchester alias caliber 7,6mm hanya beda satu millimeter dengan lapua magnum. Kamu pasti pernah melihatnya di catalog atau pernah mendengar infonya 308 Winchester dengan Wildcat Cartridge merupakan peluru yang biasa digunakan untuk berburu di Australia.”

Si Montir melihat ke arah Azra.

“Dua peluru dengan caliber berbeda jadi ada dua pelaku yang berbeda? dan Azra Bukan nya beberapa bulan lalu lo berada di Sydney?” ujar Heri.

Azra menaikan alis. “Bentar maksudnya aku yang…”

“Bukan dia lah pelakunya,” Virli memotong pembicaraan. “Aku kenal baik dengan dia kecuali…” Virli melihat ke arah Azra. “Jika kamu punya kepribadian ganda? Sedangkan Snifer rifle yang digunakan kemungkinan besar Cuma satu tetapi dengan caliber peluru yang berbeda. Seperti yang kubilang tadi Wildcat Cartridge maksudku selongsong peluru yang dibuat khusus menyesuaikan dengan ukuran cartridge pada senapannya. Pelurunya tetap 308 winchester tapi dengan ukuran selongsong 50 BMG. Sehingga dapat digunakan pada snifer rifle ukuran 50 BMG.”

“Benar-benar luar biasa Tuan Putri,” ujar Sang Informan sambil memberi salut.

Heri membulatkan mata, dia masih bingung, dalam hati bertanya-tanya sendiri bagaimana bisa gadis secantik ini tahu banyak tentang pistol dan peluru, benda-benda berbahaya yang rasanya nggak mungkin dimiliki oleh gadis secantik dia.

“Jadi apa yang akan kalian lakukan?” tanya Heri lagi.

“Kami akan menelusuri orang-orang yang hobi menembak dengan Wildcat Cartridge terutama yang ada di Jakarta?”

“Bagaimana caranya terlalu banyak orang yang hobi menembak di Jakarta?”

Virli mengembang senyum. “Tenang aja, aku tahu nama-namanya, aku kan juga ikut klub menembak di Senayan, aku kenal orang-orang yang bisa membantuku dari klub tersebut.”
.  .  .


Nb: Ini cerpen lama, saya buat sekitar 4 tahun yang lalu.

Waktu saya masih lugu dan belum tahu apa-apa tentang dunia menulis (meski sekarangpun masih belum tahu banyak)

Monday, October 19, 2015

Apa itu artis International?

By Ftrohx


Apa itu artis International? Apa definisinya? Apa ukurannya? Apa standarnya sampai seorang artis layak disebut Go International? Kemudian apa Go International itu penting? Semua begitu rancu terutama jika bicara dari sudut pandang orang Indonesia?

Gw bicara tentang hal ini karena di bulan ini ada yang heboh, pertama Frankfurt Book Festival dimana Indonesia menjadi tamu kehormatan dan banyak penulis Indonesia yang hadir di sana.

Kedua tentang Agnes Monica yang kembali ke Jakarta.

Agnes Monica terkenal dimedia dengan kehebohannya pernyataannya bahwa dia ingin jadi artis Indonesia pertama yang Go International.

Padahal kita tahu, sebelumnya jelas sudah ada penyanyi Indonesia yang menembus ranah International yaitu Anggun C Sasmi yang menembus pasar musik Prancis, kemudian ada Sandi Sandoro di Jerman, dan musisi lainnya lagi yang menembus pasar di negara lain melalui jalur indies.

Tapi untuk Agnes, definisi Go International adalah menembus pasar Amerika, menembus sesuatu yang major dan prestige di sana. Kenapa Agnes berpikir seperti itu, karena jelas dia adalah generasi 90an/2000an yang tumbuh bersama dengan MTV Indonesia. Untuk anak-anakmuda yang tumbuh di generasinya Go International adalah menembus pasar Amerika.

Ok, kenyataannya ada kok, beberapa artis Indonesia lain yang sudah Go International sesuai dengan definisi itu -menebus pasar Amerika, seperti Joe Taslim, Iko Uwais, Ray Sahetapi dan teman-temannya yang lain. Tapi kenapa image/brand Go International itu justru lebih melekat pada Agnes?

Pertama karena image yang dibangun oleh media, dan kedua jelas karena masalah pro dan kontra-nya.

Kenapa bisa terjadi Pro dan Kontra, ini tentu saja karena sikap Agnes sendiri. Berbeda dengan artis-artis lain yang saya sebut namanya di atas. Mereka menembus pasar luar negeri namun mereka tidak dibesar-besar oleh media seperti apa yang terjadi dengan Agnes.

Kedua, mereka meski sudah menembus pasar luar negeri mereka tetap terlihat ramah dan membumi, tetap terlihat sebagai orang Indonesia. Sedangkan Agnes dia dibangun oleh generasi MTV yang terobsesi dengan mereka yang jelas dalam berbahasa iya dia MTV banget. Sementara teman-teman alumni The Raid justru terlihat sebagai orang biasa.

Ketiga keangkuhan di depan kamera dan paparazi. Berbeda dengan artis-artis lain yang lebih ramah pada media, Agnes justru terlihat menjaga jarak atau lebih tepatnya membuat tembok pada media dan serbuan wartawan. Paradoks dengan ego-nya sendiri yang ingin disorot media sebanyak-banyaknya.

Ini dikritik oleh banyak teman-teman media terutama MalesBangetDotCom yang terang-terangan mengkritik dia dengan cukup sarkas.

Ok, keangkuhan di depan para wartawan bukan hanya dilakukan oleh Agnes, Dian Sastro pun juga melakukannya.

Di banyak kesempatan dia bukan hanya menghindari sorotan kamera dan pertanyaan para wartawan, tetapi dia juga menganggap mereka semua tidak ada. Atau apa istilah, dia seolah berada di dimensi yang lain yang berbeda dengan orang-orang biasa, padahal kenyataannya dia tetap masih menginjak bumi.

Bukan hanya para wartawan yang mengkritik, para artis lain pun juga banyak yang mengkritik. Dia memiliki kelompoknya sendiri, dunianya sendiri, meski kenyataanya dia masih berada di ranah yang sama.

Tapi untuk kasusnya Dian Sastro, ego-nya masih dapat diterima banyak orang dibanding dengan Agnes Mo. Mungkin karena Dian nggak menyatakan secara langsung ke media-media tentang impiannya untuk Go International atau mungkin Dian juga menyadari batasan dirinya atau iya mungkin dia lebih realistis dengan karier dan keluarganya.
.  .  .