Saturday, September 26, 2015

Semuanya Saling Terkait

By Ftrohx


Gw kembali menonton film Social Network tadi sore, film tentang bagaimana Mark Zuckerberg membangun Facebook, bagaimana dia putus dengan kekasihnya serta konfilk dengan sahabat-sahabatnya.

Menonton bagian awalnya gw menemukan tulisan "Kirkland 2003" saat Mark masuk ke gedung asramahnya. Ok, tahun 2003, apa yang terjadi dengan gw ditahun itu.

Iya, gw masih SMA, masih nggak tahu kemana masa depan akan membawa gw dan orang-orang disekitar gw. Kita masih berpikir tentang bersenang-senang dan nggak pernah serius dengan banyak hal.

Oh iya, Gw ingat seorang yang pamer buku tahunan SMA diangkatannya, angkatan tahun 2003. Iya, di zaman itu buku tahun benar-benar BOOMING, benar-benar prestige. Buku tahunan atau dalam bahasa Inggris-nya Facebook. Nyaris semua SMA negeri di Jakarta punya Facebook alias Buku Tahunan. Dan beda dengan negara-negara lain dimana buku tahunan siswa berkesan datar, monokrom, hitam-putih.

Di Indonesia, terutama Jakarta buku tahunan anak SMA itu berwarna seperti majalah. Bukan hanya memapar kelas dalam bentuk list sederhana, kami di sini memiliki tema masing-masing untuk setiap kelasnya. Berwarna-warni, bergaya, seperti sebuah majalah fashion yang mencolok secara visual, bahkan mereka juga menggunakan para desainer visual profesional untuk mengurusi buku tahunan siswa. Iya, seperti SMA 70, dan konon memang trend buku tahunan dimulai oleh SMA 70 dan menyebar kemudian ke SMA-SMA lain di Jakarta.

Iya, itu di zamannya, awal-awal tahun 2000an.

Kemudian banyak orang yang berpikir, bagaimana jika buku tahunan dibuat versi CD atau DVD atau dibuat online saja sekalian? Iya, masa itu internet mulai Booming dan buku tahunan versi online memang ide yang sangat-sangat bagus. Banyak orang yang punya ide seperti itu pada masa itu. Namun ide hanyalah ide jika tak dapat diwujudkan.

Orang-orang ini punya ide brilliant, tapi kebanyakan dari mereka nggak punya algoritmanya untuk ke sana.

Iya, gw sendiri dulu gw juga sempat kepikiran, bagaimana jika buku tahunan dibuat versi online-nya saja, dibuat misalnya di situs SMA 90 sehingga ketika kita sedang butuh informasi, butuh sebuah nama, kita nggak perlu susah-susah nyari buku tahunan dari angkatan di tahun sebelum-sebelumnya.

Bicara tentang Facebook, pertama kali gw kenal Facebook itu di tahun 2007, dulu Facebook nggak seperti sekarang, dulu Facebook seperti mesin games cinta dengan tampilan latar belakang silver dan monokrom seperti sebuah tembok.

Gw berpikir bahwa ide Facebook sama seperti Friendster hanya saja tampilan 'Arsitektur' Facebook jauh lebih bersih dan pada saat itu masih sangat eksklusif seperti Instagram yang dulu hanya bisa diakses melalui I-Phone, namun sekarang dengan browser Mozilla lo sudah bisa buka Instagram.

Ide yang sederhana tapi nggak semua orang punya algoritma untuk itu.

Gw jadi ingat sebuah novel action thriller berjudul Digitarium, idenya adalah membuat sebuah novel yang besar dan penuh aksi, namun justru mereka tidak sampai kesitu, memang novelnya penuh aksi tapi tidak menjadikan dia novel yang besar.

Bicara tentang ide lainnya, gw jadi ingat Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Iya, selain Facebook atau Buku Tahunan Siswa, kata 'Supernova' juga sangat terkenal di anak-anak SMP dan SMA seangkatan kami.

Kami mengenal Supernova dari buku Fisika SMP dan SMA, dia bab tentang Tata Surya; Planet-planet dan Matahari itu. Di laman itu mereka membahas tentang Supernova, sebuah ledakan besar yang terjadi dikala Matahari sudah tua dan tidak mampu menopang dirinya sendiri.

Kami akrab dengan istilah itu "Supernova" dan begitu mengejutkan ketika kami kelas 1 SMA dan muncul novel best seller berjudul Supernova. Rasanya aneh, kenapa sebelum-sebelumnya nggak ada orang yang kepikiran untuk membuat novel berjudul Supernova, kenapa di saat kami beranjak SMP dan SMA disaat kami belajar FIsika tentang Tata Surya, tentang Planet-planet dan Matahari tiba-tiba bersamaan dengan itu muncul novel berjudul Supernova. Sangat aneh seolah itu berkaitan dengan angkatan saya sekolah di awal tahun 2000an.

Sayangnya, ketika gw membuka isinya, semua tidak seperti yang gw harapkan.

Supernova buku dengan sampul warna hitam dan gambar Matahari biru itu, di dalam benak saya adalah buku Science Fiction seperti Star Wars atau mungkin Final Fantasy. Karena pada saat itu Final Fantasy IX lagi populer-populernya dikalangan anakmuda yang gaul. Yuna si Mahadewi dengan simbol air, dan Tidus si pemain bola yang punya kekuatan elemen petir. Sebuah cerita yang luar biasa. Apalagi disusul dengan hebohnya Hollywood yang bekerjasama dengan Jepang membuat Final Fantasy Spirit Within dengan Larc en Ciel yang mengisi soundtrack-nya. Iya, gw sempat berkhayal Supernova seperti itu, atau mungkin seperti Science Fiction modern seperti Divergen, Maze Runner, atau Hunger Games atau karya Post Apocalypse lainnya. Sayangnya tidak.

Untuk sebuah novel dengan judul yang Grande dan cover yang Spektakuler, dan muncul pada masa keemasan para pembaca Indonesia. Sangat disayangkan novel itu tidak seperti yang kami harapkan. Supernova adalah novel drama dengan bumbu rumusan fisika quantum dari seorang pria bernama Ruben (entah Ruben siapa? Karena dia nggak punya nama belakang) Dan cerita tentang perselingkuhan Rana dengan Ferre, yang begitu ironi dimana penulisnya benci dengan sinetron tapi dia justru membuat drama ala sinetron. Iya, begitulah.

Kadang gw berpikir, mungkin ada versi lain dari Supernova, bukan Supernova Dee Lestari, tapi Supernova versi seseorang di luar sana yang sesuai dengan ekspektasi gw. Iya, harusnya Indonesia dengan segala kekayaannya bisa melahirkan anakmuda yang bisa menulis jauh-jauh lebih baik daripada Twilight ataupun Hunger Games.

Mengingat kembali apa yang terjadi di tahun itu.

Gw ingat Ojek mulai menjamur, di sudut-sudut kota, di pertigaan atau perrempat, di depan gerbang sekolah semua ada tukang ojek. Namun pada saat itu nggak ada satu orang pun yang kepikiran bahwa di masa depan akan ada Ojek yang bisa dihubungi via Online. Nggak ada yang kepikiran bahwa Ojek bisa dimanajemen dalam satu perusahaan, bisa menjadi begitu fenomenal.

Iya, nggak kepikiran. Dulu yang gw pikirkan tentang masa depan adalah dunia yang bebas polusi, bebas dari bahan bakar fosil, dan seterusnya. Yang gw pikirkan tentang masa depan adalah mobil terbang dan seterusnya. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi di dunia nyata. Yang ada sekarang adalah kemacetan makin parah, dan muncul Ojek Online.
.  .  .

Friday, September 11, 2015

Bicara tentang Edward Nygma

by Ftrohx


Gw membayangkan semua musuh Batman, adalah semua yang ada diatas meja seorang seniman.

Ada setumpuk deck kartu yang berserakan, lalu ada kartu joker yang sangat mencolok di sana. Ada boneka penguin kecil yang digunakan sebagai pemberat kertas.

Kemudian ada balsem urat Bane, boneka kucing hitam dengan pita merahnya, novel Alice in Wonderland dan sebuah buku teka-teki silang. Di sana juga ada kertas bergambar sulur, sebuah topi jerami usang, sekotak balok es kecil, sekotak tanah lihat playdoh, dan sebuah koin bergambar wajah di kedua sisinya.

Idenya simple, sesuatu yang biasa kita lihat sehari-hari dibuat menjadi simbol dari para karakter penjahat super. 

Membuka lembar-lembaran lama di internet, gw melihat bahwa semua musuh Batman (diawal-awal kemunculannya pada thn 1940an) semuanya persis sama. Mau itu karakter Joker, Penguin, ataupun Riddler. Pekerjaan mereka sama yaitu merampok sebuah bank kecil, lalu kebiasaan mereka juga sama meneror warga sipil, dan kemudian mereka tertawa dengan sama-nya dikala mereka berhasil menjebak Batman,

Yang membedakan mereka hanyalah kostum dan make-up yang mereka pakai saat melakukan aksi kejahatan. Iya, se-simple itu.

Namun dalam perkembangannya, mereka menjadi tidak sama lagi, mereka tidak sesederhana yang dulu. Kini mereka semua di upgrade sesuai dengan kebutuhan zaman. Mereka semakin rumit, semakin kompleks dengan ciri khas mereka masing-masing.

Dan salah satu favorit gw dari semua penjahat-penjahat itu adalah The Riddlers atau Si Tanda Tanya berbaju hijau itu.

Menurut wikipedia, dia diciptakan pada tahun 1948 oleh Bill Finger dan Dick Sprang, pertama kali muncul pada DC Comics edisi ke 140. Namun sekarang, Riddler berubah dari seorang badut konyol berpakaian hijau yang suka tebak-tebakan menjadi karakter pembunuhan berantai yang jauh lebih pintar daripada Hannibal ataupun Bone Collector.

Jika kembali ke masa itu, bisa dibilang Riddler ibarat Zodiac Killer sebelum Zodiac muncul dikehidupan nyata orang Amerika. Kadang gw berpikir Riddler bisa jadi inspirasinya, seorang pembunuhan yang begitu arogan dan pintar hingga berani meninggalkan petunjuk yang rumit yang menantang para penyelidik kepolisian untuk memecahkannya.


Riddler versi Batman Animated Series



Bisa dibilang Riddler ini adalah versi favorit gw. Disini Riddler berbeda dengan versi Jim Carey di Batman Forever yang suka ngelawak tapi nggak lucu.

Riddler bukanlah badut, dia seorang intelek sekaligus pembunuh berdarah dingin. Dia terobsesi untuk membongkar rahasia-rahasia Batman, termasuk menantang intelektualitas sang Dark Knight.

Riddler suka mengajukan pertanyaan filosofi ke Batman terutama tentang "Apa itu realita? Apa nyata dan apa yang tidak nyata?" Seolah dia menyatakan bahwa selama ini Batman tidaklah nyata melainkan hanya sebuah karakter tontonan anak-anak.

Versi Animated Series nyaris tanpa lelucon. Bahkan penulis skenario-nya sendiri bilang  "his character often made story plots too long, too complex or too bizarre," Dan dia sebisa mungkin tidak menggunakan karakter Riddler apalagi saat itu target market dari Batman Animated series adalah untuk kalangan remaja.

Hal yang paling gw ingat dari Riddler Animated series adalah disaat dia menjebak Batman masuk ke dalam dunia digital, di sini Batman seperti karakter video games dimana dia harus menang dari satu level ke level selanjutnya hingga bertemu Riddler si Boss utama, dan gw ingat waktu itu Riddler menantang Batman untuk memecahkan sebuah Rubic Raksasa.

Iya, mungkin gara-gara Riddler Rubic menjadi populer dan terkenal di era itu.


Riddler versi Batman Forever


Ok, premisnya dia adalah seorang jenius yang kecanduan akan informasi, kecanduan akan energi dari otak manusia.

Sayangnya premis itu tidak dieksekusi dengan bagus, dan Edward Nygma alias Riddler justru menjadi badut yang memiliki kelakuan seperti Joker di film Batman pertamanya Tim Burton.

Untuk ukuran gw pada saat itu masih anak-anak gw sempat berpikir, iya film ini lumayan bagus, banyak warna-warna yang ngejreng, banyak permainan tata cahaya ala panggung teater, soundtrack Kiss From a Rose dari Seal-nya KEREN, dan seterusnya.

Tapi ketika gw mencoba mengingat Riddler apa yang keren dari dia? Apa yang dia lakukan pada Batman? Rasanya nggak ada yang signifikan. Riddler mengirimi pesan ke Bruce Wayne, pesan-pesan berbentuk puisi aneh dari potongan huruf dan kertas acak.

Kemudian dia merampok bank, lalu dia menjadi pengusaha produk televisi 3-D, visual reality atau semacam produk TiVo gitulah. Yang ternyata merupakan alat berbahaya yang mengambil informasi sekaligus energi dari otak penontonnya. Lalu dia menculik pacarnya Batman membuat jebakan dan skenario yang konyol lainnya. Gw agak lupa pokoknya semacam itulah.

Yang pasti Riddler versi Jim Carey ini membuat kesan buruk gw pada karakter Batman selanjutnya.


Riddler versi The Batman


Di sini Riddler kembali ke jalan yang benar, dia nggak lagi menjadi pelawak yang garing. Di sini menjadi Rock-star dalam masalah teka-teki dan intelektualitas.

Secara penampilan Riddler diubah cukup ekstrim menjadi mirip Marilyn Manson. Berambut gondrong dan berpakaian ala Rock-star. Sikapnya pun berubah menjadi karakter yang dingin dan tidak aktraktif.

Sementara untuk masalah plot, Riddler kali ini adalah seorang Professor di bidang neurologi yang menciptakan sebuah alat untuk meningkatkan daya kerja otak manusia.

Sayangnya alat tersebut malah menyebabkan bencana pada eksperimen awalnya. Membuat otak pemakainya meledak. Kemudian seorang pengusaha kaya-raya meminta penemuan tersebut yang sayangnya dia tolak.

Lalu terjadi sabotase, dan seterusnya dan seterusnya yang menyulitkan Edward Nygma, belakangan diketahui bahwa sabotase itu dilakukan oleh pengusaha yang menginginkan penemuannya tersebut. Nygma pun berusaha untuk membunuh si pengusaha tersebut yang sayangnya dihalangi oleh Batman.

Di versi ini The Riddler bukan hanya memiliki kecerdikan diatas rata-rata musuh-musuhnya Batman, namun dia juga memiliki kekuatan telekinesis, telepati, dan semacamnya yang biasanya dimiliki oleh orang berkuatan otak super.


Riddler versi Arkham Series



Di sini Riddler adalah seorang hacker dengan wajah kasar penjahat biasa, dan berpakaian ala turis di pantai.

Riddler versi Arkham ini banyak dikritik orang karena perannya yang tak sesuai, terlalu minor, terlalu kecil, dan tidak begitu memiliki dampak apa-apa terhadap kehidupan Batman. Iya, tentu saja karena karakter penjahat utamanya adalah Joker. Di serial ini tidak ada yang lebih dominan, dan tidak ada yang lebih jenius daripada Joker.

Tapi meski begitu Riddler versi Arkham memiliki sejarah sendiri, di Arkham Origins diketahui bahwa Riddler adalah anggota unit Cyber Crime dari Gotham City Police Departement yang terobsesi dengan teka-teki. Lalu muncullah Batman makhluk bertopeng paling misterius di Gotham. Membongkar identitas Batman menjadi tantangan tersendiri bagi Riddler yang sangat menyukai teka-teki, lebih dari itu dia juga menantang intelektualitas Batman dengan jebakan-jebakan dan teka-teki.

Sedangkan di Arkham City, Riddler berperan sebagai karakter sejenis Jigsaw versi Gotham, karakter yang menantang Batman untuk memecahkan teka-teki yang jika dia tidak berhasil maka nyawa orang-orang yang disandera akan mati.


Riddler versi Gotham series


Inilah serial Batman yang selama ini saya cari, serial yang membawa Edward Nygma aka Riddle-Man ke jalan yang benar. Setelah selama ini Riddler menjadi karakter minor yang kalah populer dibanding dengan Joker.

Di sinilah Riddler ditempat dengan sangat sesuai, sang master kriminal yang menjadi lawan terkuat Batman, sang ahli teka-teki yang sangat cerdas yang membuat Batman mendapatkan julukan sebagai The World Greatest Detective

Seperti yang saya bilang diatas bahwa saya benci dengan Riddler versi Jim Carey, Riddler di versi Batman Forever itu lebih mirip badut-badut bawahannya Joker dibanding dengan seorang Riddler. Riddler seharusnya adalah karakter yang dingin namun juga agresif. Dia memang tidak kuat secara fisik namun secara kecerdasaan dia bisa mengalahkan siapapun kecuali Sang Dark Knight. Dan di Gotham series syukurnya mereka berhasil menerjemahkan Riddler itu.

Edward Nygma adalah seorang pemuda cerdas yang bekerja di tim forensik Gotham Police Departement, dia sangat cerdas dan terobsesi dengan teka-teki. Kasus-kasus kriminal adalah permainan teka-teki baginya, dan semakin rumit sebuah kasus maka semakin antusias dia mengerjakannya.

Sayangnya, meski sebagus apapun hasil pekerjaannnya, tetap dia tidak dihargai oleh rekan-rekan di kepolisian, apalagi oleh atasannya yang selalu mengabaikan dirinya. Meski semua orang tahu dia adalah orang hebat, namun semua orang tetap mengucilkannya dengan alasan dia adalah karakter yang culun.

Beda dengan Nygma versi-versi sebelumnya yang tidak jelas bagaimana latar belakangnya dia menjadi Riddler, di sini di versi Gotham mereka membuatnya dengan cukup detail.

Edward Nygma memiliki trauma tersendiri, trauma yang membuat dirinya berkomunikasi dengan cara berteka-teki, semuanya diputar seperti kubus rubic acak. Hingga akhrinya dia masuk ke kepolisian dan permasalahan komunikasi itu terus terbawa.

Di kantor pun dia memiliki kisah lain yaitu jatuh cinta dengan seorang staff di bagian kearsipan GPD. Dia jatuh cinta yang sayangnya terus ditolak dan ditolak, si cewek sendiri pun belakang memiliki pacar seorang perwira tampan nan angkuh. Si Perwira yang suka menyakiti si cewek.

Kemarahan dan kebencian terus tumbuh di hatinya, hingga pada suatu kesempatan Edward Nygma meledakan semuanya dengan membunuh si Perwira tampan yang merupakan pacar dari cewek yang dicintainya. Semua kemarahan itu terlampiaskan dan dari situlah muncul Persona lain dari dirinya, Persona seorang Riddler penjahat paling jenius yang ada di Gotham City.

.  .  .

Detektif tanpa novel detektif

by Ftrohx


Studi kasus, gw kenal dua orang penulis si A dan si B yang membaca begitu banyak novel detektif sangat banyak, ratusan judul novel detektif bahkan yang nggak diketahui ataupun sudah dilupakan banyak orang. Iya, mereka hebat dalam bacaan.

Tapi di sisi lain,  gw kenal satu orang penulis, sebut saja dia  Fn. Dia membaca sedikit novel detektif, dan novel detektif yang dia baca pun bukan novel detektif yang gemilang. Tapi apa yang dia tulis dalam blognya puluhan kali lebih banyak daripada apa yang ditulis si A dan si B.

Si Fn ini hebat, dia menjadi detektif tanpa membaca novel detektif, menjadi penulis fiksi yang lebih banyak menulis daripada membaca cerita fiksi. Tapi meski jarang membaca karya-karya si Fn. ini tetap bagus, dia menunjukan determinasinya di atas penulis-penulis lain.

Selain Fn. saya kenal dengan J. dia seolah penulis wanita, she's kind of monster, dia bisa menulis cerita-bersambung sepanjang 20ribu kata hanya dalam satu malam. Iya, gara-gara si J. saya belajar banyak tentang dunia menulis, dia memiliki determinasi dan potensi yang sangat hebat. Mungkin jauh lebih hebat daripada para penulis tua yang ada sekarang.

Namun kelemahan J. dibanding dengan si Fn. adalah masalah inovasi, Fn jauh lebih inovatif daripada si J. Iya, tiap orang punya batasan.

Ok, apa sih rahasia si Fn.? Gw pun membaca blog lama si Fn. dia penganut ajaran Mind Palace, benar-benar murni Mind Palace, bukan sekedar teori tapi masuk diranah praktek nyata.

Dia menyaring semua informasi yang ingin dia saring, dia bahkan nggak memiliki televisi di rumahnya. Sedangkan untuk informasi dalam bentuk huruf, kata perkata, kalimat, update status social media, dan seterusnya. Dia juga sangat menyaring, dia hanya membuka sesuatu (halaman web) dikala dia perlu sesuatu. Dia mengeliminasi semua hal yang mengganggunya dikala bekerja.

Dan karena pekerjaan penulis adalah 7 hari 24 jam maka selama itu, dia harus bisa menyari semua informasi, dan memenuhi memori dengan informasi-informasi penting yang saling terkait satu dengan yang lainnya. "Aku adalah raja dari istana pikiranku. Aku mengatur semuanya."

Istana pikiran hanya sebuah istilah yang mungkin bisa memotivasi saya dan kalian soal bagaimana kata-kata bisa dipilih dan yang lainnya diabaikan." - begitu katanya.

Fn. adalah karakter yang fokus dengan apa yang dia kerjakan, dia menatapkan target kapan sebuah pekerjaan dimulai dan kapan harus selesai. Fn. juga kadang melakukan kesalahan-kesalahan manusiawi, namun kesalahan-kesalahan itu tertutupi dengan jumlah karya yang dia buat. Iya, itu benar-benar keren. Dan Fn. menjadi motivasi gw kenapa gw harus mengisi blog setiap bulannya.

Membuka lembar-lembaran lama, gw mempelajari lagi kenapa Fn. bisa sehebat itu. Iya, dia membaca apa yang jarang dibaca orang, dia membaca dengan gaya yang berbeda sehingga memiliki pemikiran yang berbeda, pemikiran yang unik menghasilkan tulisan yang unik. Gw pernah melihat dia membuat cerpen dengan judul-judul yang nggak kepikiran orang yaitu dari nama font huruf yang ada di Office Word. Asli itu benar-benar nggak kepikiran dan ceritanya pun juga cerita kriminal.

Selain it Fn juga menulis beberapa artikel dalam bahasa English, sesuatu yang sampai sekarang belum pernah gw lakukan.  Iya, konsistensi dan determinasinya dalam menulis, memotivasi saya untuk menulis dan terus menulis sampai saat ini.

Ok, kembali lagi ke judul awal. Bicara tentang menjadi detektif tanpa novel detektif.

Iya, saya jadi teringat dengan seorang teman SMA saya, adik kelas saya tepatnya. Dia menjadi seorang polisi dan sekarang sudah berpangkat Briptu. Dia bilang. "Gw nggak suka baca buku, karena itu gw memilih menjadi polisi," Sebagai Brigadir Satu selain tugas patroli di jalan, dia juga sering mendapati tugas pengintainya dan penyelidikan bandar. Petualangan ala detektif di TIVI-TIVI begitu ujarnya.

Teman gw ini nggak tahu apa itu istilah surveillance, apa itu analisa forensik, police procedural ataupun masalah locked room. Yang dia tahu hanyalah dia harus mengerjakan tugas yang diberikan. Mengintai si bandar dari jauh lalu kemudian di saat transaksi dilakukan dia dan timnya melakukan penyergapan. "Lagipula siapa yang butuh buku untuk menangkap seorang bandar," begitu katanya.
.  .  .

Thursday, September 10, 2015

Masalah Ketidakpedulian

by Ftrohx


"Rada susah meyakinkan Pemerintah (Indonesia) bahwa pembukuan Indonesia gawat darurat. Lah itu buku baru di toko buku banyak, lah itu si penulis A hidup makmur, dst. Sekarat dimana?" - Tsugaeda


Saya setuju dengan apa yang dibilang sobat saya di atas itu, bahwa sebenarnya dunia literasi Indonesia sedang berada dalam titik yang sangat kritis.

Meski begitu banyak buku yang dicetak tapi siapa yang peduli.

Iya inilah masalah orang Indonesia, 'ketidakpedulian' terhadap apa yang ada disekelilingnya. Karena 'tidakpeduli' maka "orang Indonesia" tidak suka membaca.

Buat apa membaca, apa serunya membaca, emangnya membaca itu keren. "Huh, siapa lo?" Emangnya penting gw baca tulisan lo, gw lebih suka lihat foto atau buka Lazada daripada membaca tulisan lo. Atau daripada duit 50ribu buat baca buku yang nggak penting, mending gw buat nonton bioskop, jauh lebih seru.

Emangnya orang Indonesia punya penulis? Emangnya ada novel detektif di Indonesia? Toh, gw nggak tahu dan apa peduli gw, siapa gw harus peduli dengan hal seperti itu.

Yang penting gw nonton film bagus, gw melihat bintangnya, gw melihat wajah mereka yang rupawan, gw nggak peduli siapa yang ada di belakang layarnya. Siapa yang menulis cerita ataupun yang menyutradarainya. Siapa gw harus memperdulikan hal itu.

Gw nggak peduli lo mau nangis darah atau apapun dibelakang layar sana yang ingin gw lihat ya hasilnya.

Iya, begitulah orang Indonesia.

BOHONG, kalau orang Indonesia adalah orang-orang yang baik. Orang yang ramah dan bla bla bla... Meski, iya memang ada sih orang-orang Indonesia yang baik tapi sedikit, perbandingannya 1 banding seribu.

Huh, kenapa gw bicara ngalor-ngidul begini, ya karena gw melihat banyak hal. Banyak buku-buku yang keren diterbitkan setiap tahun namun mereka hilang begitu saja dilupakan. Lalu muncul anak-anakmuda baru yang membuat karya tanpa melakukan riset dulu, lalu mereka menyatakan diri mereka yang pertama ada di Indonesia, terutama di genre crime thriller.

"Hei, gw yang pertama loh, nggak ada orang Indonesia yang buat, bla bla bla..." Tapi kenyataan, huh, di bawah standar. Iya, kelemahan terbesar orang Indonesia adalah riset, lagipula siapa yang peduli dengan riset kalau lo bisa nyontek atau copy-paste.

Lebih parah lagi, anak-anakmuda zaman sekarang sudah MALAS menggoogling, padahal tinggal buka GOOGLE terus ketik kata kunci, tapi karena mereka malas untuk membaca, mereka jadi malas melakukan riset dengan search engine itu.

Generasi kebawah ini, mereka lebih memilih bertanya pada temannya, dan teman mereka memberi jawaban singkat. Masalahnya jelas yang ditanya juga malas googling, jadi iya begitu. Apa yang mereka bahas begitu dangkal, dan mereka pun membahasnya di twitter atau Sosmed yang cepat hilang diantara tumpukan data sampah. 

Sementara itu generasi atas, generasi yang sudah mapan dan punya ini itu, mereka sama saja. Kebanyakan mereka nggak peduli dengan masalah anakmuda. Anak siapa? Bukan anak-anak gw kok? Itu urusan mereka sendiri.

Dan anda tahu, membaca buku atau artikel adalah pekerjaan yang melelahkan bagi banyak orang di Indonesia. "Lo mau bayar gw berapa untuk baca buku lo, untuk baca artikel lo?" Begitu kata mereka.

.  .  .

Wednesday, September 9, 2015

Cerita Detektif dan Arsene Lupin

By Ftrohx


Dulu gw nggak terlalu suka cerita detektif, aneh dan terlalu banyak pamer.

Kebanyakan teman-teman gw yang suka detektif di SMA adalah mereka yang nge-fans dengan Conan Edogawa alias Shinichi Kudo yang menciut jadi anak kecil.

Asli gw nggak begitu tertarik dengan detektif Conan, dan gara-gara detektif Conan gw juga nggak begitu tertarik dengan Holmes. Pikiran gw sudah negatif tentang dia, mungkin juga gara-gara beberapa teman gw di sekolah yang suka pamer itu.



Pertama kali gw suka serial detektif/genre detektif itu justru dari komik berjudul Death Note di tahun 2007. Asli dari situh gw baru benaran suka sama dunia detektif, tapi pada saat itu gw suka aja, gw belum mendalami fiksi detektif. Gw bahkan nggak pernah nulis cerita sampai tahun 2010an ! Hahaha...

Sedangkan novel detektif yang pertama gw baca (atau lebih tepatnya sebuah novel thriller yang mendekati permainan detektif) adalah Digital Fortress dari Dan Brown. Itupun karena kebetulan teman sekelas gw di kampus, si Haryo nitip novel tersebut di kos-kosan karena berat buat dia bawa-bawa, Hahaha... mulai dari situh gw makin tertarik dengan dunia detektif dan crime thriller. Tapi cuma baca doank.

Tahun 2009/2010an gw baru pertama kali beneran membaca sebuah novel detektif yaitu Los Angeles BB Murder dari Nisio Issin. Iya, gw percaya sama BB Murder kalau itu adalah novel bagus sampai kemudian gw membaca review tentang novel tersebut di Goodreads bahwa BB Murder tidaklah bagus bagi semua orang. Iya, gw agak kecewa, tapi karena kekecewaan itu gw mencari novel-novel detektif lain yang lebih dari BB Murder itu.

Dari pencarian demi pencarian, sempat gw kepikiran untuk membaca Sherlock Holmes. Namun intuisi gw bilang "Jangan baca Sherlock Holmes, kalau lo baca Sherlock Holmes otak/kreativitas lo akan sama dengan mereka yang membaca Sherlock Holmes, lo mesti melakukan suatu yang berbeda, lo mesti cari bacaan yang berbeda." Lalu gw ingat dengan rivalnya detektif Conan yaitu Kaito Kid, dan si Kaito Kid terinspirasi dari Arsene Lupin, sang pencuri ulung yang 'katanya banyak orang' adalah rival dari Holmes.

Dan gw pun memutuskan untuk membaca Arsene Lupin Gentleman-Buglar karya Maurice LeBlanc sebagai novel detektif kedua (yang gw baca) setelah Los Angeles BB Murder. Ok, pada saat itu gw pengen beli novelnya, visimedia mempromosikan besar-besar versi terjemahannya. Sayangnya pada saat itu gw nggak punya duit, jadi dengan terpaksa gw download dari internet dan membaca versi Englishnya. Tentu saja, gara-gara itu gw agak lama membacanya.

Membaca Arsene Lupin, gw melihatnya sebagai karakter yang keren, dia jago menyamar (pada saat itu gw belum membaca Sherlock Holmes dan karena itu gw nggak tahu kalau Sherlock juga jago menyamar) dia bukan sekedar detektif dia adalah kriminal sekaligus pembela kebenaran, dia eksentrik dan dia bisa melakukan apa yang para detektif lain tidak berani lakukan. Ok, itu yang gw dapati dari bab-bab awalnya dan jelas gw nggak membaca novel tersebut sampai akhir, hingga muncul novel Arsene Lupin yang lain yaitu 813

Judulnya sangat mengejutkan 813, judulnya adalah sebuah angka, sebuah kode, mengingatkan gw dengan novel 5cm. Sederhana sebuah angka. Gara-gara 813, 5cm, dan Slamdunk gw mendapatkan ide untuk membuat sebuah novel berjudul 1031, novel pertama gw yang gw buat bersama teman gw si Ariza. Yang sayangnya novel itu cukup amburadul T__T hingga ditolak penerbit. Tapi kemudian gara-gara 1031 gw punya cerita panjang hingga bisa sampai ke hari ini! Hahaha...

Ok, kita lanjut, membaca 813 sama seperti novel Gentleman-Buglar bab-bab awalnya cukup bagus, seperti biasa semua dimulai dari sebuah pencurian berlian di tempat yang orang-orang bilang mustahil untuk dicuri, namun kemudian selain pencurian tersebut tiba-tiba ditemukan seseorang yang meninggal dan para polisi menuduh Arsene Lupin sebagai pelakunya, kenyataan Lupin hanya mencuri berlian dan bukan membunuh orang, oleh karena itu dia harus memulihkan namanya. Petualangan demi petualangan dia lalui, saya berharap lebih dengan novel ini, namun kenyataan semakin ke belakang, kualitas ceritanya semakin menurun, pada akhirnya penulis hanya mengandalkan plot twist yang tidak terlalu bagus.

Tapi saya percaya dengan Arsene Lupin, saya percaya ini adalah novel bagus. Ada hal-hal keren di sini, yang saya pelajari yaitu anagram dan permainan initial. Ada petunjuk demi petunjuk berupa initial L. dan M. Tentu saja initial tersebut langsung mengingatkan saya pada Death Note, L. dan M. Sayangnya, itu saja tidak cukup untuk membuat novel ini menjadi novel yang bagus.

Lalu beberapa minggu kemudian seorang teman yang sering sharing novel detektif dengan saya yaitu Dimarifa bilang bahwa Arsene Lupin tidak sebagus yang dia kira. Ternyata akhir novelnya jelek. Ok, dia benar, dan saya harus mencari buku yang lain untuk dibahas, saya harus menemukan detektif yang lain. Detektif yang bisa mengalahkan Holmes. Dan karena kekecewaan terhadap Lupin serta berbagai tuntutan yang lain, saya justru malah membaca Sherlock Holmes. (Benar-benar terbalik, orang-orang lain itu baca Holmes dulu baru baca detektif yang lain.)

Seperti biasa gw mencarinya di internet dan menemukan berbagai macam novel Sherlock Holmes. Ada dua ebook yang gw temukan, yang berbahasa Indonesia dan yang berbahasa Inggris. Membaca yang versi bahasa Indonesia, jujur gw sangat kecewa dengan Sherlock Holmes, buku petualangan Sherlock Holmes itu begitu aneh, meski Indonesia tapi gaya bahasanya aneh. Ada judul kain berbintik, apa itu kain berbintik? Kemudian ada manusia berbibir miring dan seterusnya. Judul-judul yang aneh dan pembahasan yang aneh. Dan ternyata ebook versi bahasa Indonesia itu adalah novel Sherlock Holmes yang merupakan terjemahan di tahun 80an. Pantas saja gw nggak ngerti dengan gaya bahasanya, dan kemudian gw membaca versi original dalam bahasa Inggris yang memang jauh lebih bagus.

Tapi tentang gw agak kecewa dengan Holmes, Holmes ternyata tidak sehebat yang orang-orang bilang. Dan gw masih jauh lebih respect dengan Robert Langdon dan L. Lawliet daripada Sherlock Holmes, karena itu gw mencari lagi, siapa sih detektif fiksi terhebat di dunia. Kemudian saat itu gw lagi mempelajari masalah locked room murder lalu ketemu dengan ebook-nya John Dickson Carr yaitu Three Coffin, dari kasus Locked Room gw menemukan satu nama yang bagus yaitu kasus Yellow Room karya penulis Prancis Gaston Leroux yang juga menulis Phatom of The Opera. Belakangan saya pun mencari novel tersebut dan benar saja, novel itu benar-benar Brilliant. Ini jauh, jauh lebih keren daripada Sherlock Holmes.

Sayangnya, kasus Yellow Room sendiri tidak begitu dikenang orang, banyak orang yang nggak tahu bahkan sesama penikmat cerita detektif. Nama sang detektif sendiri; Joseph Rouletabille, tidak seterkenal Arsene Lupin atau detektif-detektif Prancis lainnya. Mungkin karena namanya yang ngejelimet untuk diucapkan atau dituliskan, atau mungkin karena niat dari si penulisnya sendiri di halaman pertamanya. "The Yellow Room! Who now remembers this affair which caused so much ink to flow fifteen years ago? Events are so quickly forgotten in Paris. Has not the very name of the Nayves trial and the tragic history of the death of little Menaldo passed out of mind?"

Bicara tentang detektif Prancis sendiri, Hollywood pun sangat jarang membahasnya, dan bahkan meski mereka adalah fondasi bagi detektif fiksi di seluruh dunia namun seolah mereka terlupakan begitu saja. Kadang gw berpikir Hollywood sengaja membesarkan Sherlock Holmes dan Bruce Wayne, agar detektif-detektif Prancis yang hebat ini terlupakan. Iya, itu hanya asumsi gw.

Leh kok gw meracau kemana-mana.

Ok, kembali bicara tentang Arsene Lupin, kenapa gw menulis ini karena kemarin seorang teman gw, Irfan Nurhadi nulis review tentang Arsene Lupin 813 yang ternyata tidak seperti yang dia harapkan. Lupin memang bagus dengan segala premisnya, tentang sindirian dan rivalitasnya terhadap sang detektif Inggris Holmlock Shear/Sherlock Holmes. Sayangnya, di kehidupan nyata dia tidak lebih hebat dari Holmes karya Arthur Conan Doyle. Lupin itu jika digambarkan dengan grafik, bab-bab awal menanjak tinggi, namun begitu masuk tengah mereka terus turun dan turun hingga bab terakhir. Seperti karya-karya novel fiksi di Indonesia yang garang di bab-bab awal, namun begitu masuk bab tengah si penulis sudah kelelahan seolah kehabisan energi ataupun ide. Bicara tentang Lupin, iya dia memang pudar di Amerika dan Inggris, tapi di Jepang rasanya lebih banyak orang yang memuja Arsene Lupin dibanding dengan Sherlock.

.  .  .

Friday, September 4, 2015

Sherlock Holmes and Bruce Wayne

By Ftrohx


Begitu banyak karakter detektif yang ada di dunia ini, mulai dari Auguste Dupin, Hercule Poirot, Dr. Fell, Amelia Butterworth, Rouletabille, Superintendent Battle, Lord Peter Wimsey, Phillip Marlowe, Arsene Lufin, dan seterusnya. Tapi kenapa yang masih tetap bertahan, masih sering disebut orang adalah Bruce Wayne dan Sherlock Holmes?

Apa sih istimewa-nya Sherlock? Jika kita baca novel dan antologinya karya Arthur Conan Doyle, nggak ada yang istimewa. Jujur, Sherlock Holmes itu kalah sebenarnya jika anda bandingkan dengan Amelia Butterworth di New York, Rouletabille di Prancis, dan Hercule Poirot di Inggris Raya. Tapi kenapa Sherlock Holmes terus bertahan sementara 3 nama besar itu menghilang ditelan zaman?



Gw berpikir ulang lagi, apa kerumitan sebuah kasus bisa membuat sebuah karya detektif begitu terkenal, begitu hebat hingga terus diingat orang selama ratusan tahun.

Untuk beberapa kasus gw bisa jawab iya, seperti And Then They Where None dari Agatha Christie, jelas karya itu akan terus dikenang orang hingga beratus-ratus tahun. Jikalau pun ada orang yang mengambil gagasan itu seperti komik Jepang Doubt dan Judge!, serta Devil karya Knight Shamalan jelas semua orang tahu sumber idenya, itu dari Agatha Christie.

Tapi dengan karya-karyanya yang lain, seperti Hercule Poirot kenapa itu tidak terlalu dikenang?

Gw berpikir lagi, masalah di Hercule Poirot adalah masalah nama, nama itu jelas bermasalah. Hercule siapa? Hercules Putra Zeus? Atau Poirot apa? Bukannya dia ahli pengobatan alternatif itu? Nama yang aneh?

Begitupula dengan Rouletabille, meski karya benar-benar bangsat keren, tapi nggak ada orang yang luar negeri (Amerika dan Inggris) yang mengingat namanya? Siapa namanya detektif yang di kasus Yellow Room itu? Roro Tabil? Ruro Tabile? Atau siapa? Saya sendiri sering salah mengeja namanya.

Sama halnya dengan Amelia Butterworth, Amelia yang mana? Amelia yang temannya Lincoln Rhyme atau Amelia yang di Biru Indigo? Amelia detektif yang mana? Jelas nama dia pasaran. Nggak peduli meski kasus yang Amelia tangani jauh-jauh lebih keren daripada Sherlock Holmes tetap Amelia Butterworth adalah karakter yang terlupakan oleh banyak orang.

Kedua masalah karakter, jelas Sherlock Holmes itu sangat nyebelin. Sangat mengganggu bagi para pembacanya, apalagi para kritikus mereka jelas marah-marah. "Mana ada orang yang ceramah sepanjang itu? Dan yang lebih nggak masuk akal lagi ada orang bergelar dokter yang mau mendengarkannya? John Watson maksud saya"

Lalu bagaimana dengan yang lain, Hercule Poirot juga berceramah seperti Holmes, tapi jelas dia bukan Holmes, kemudian Arthur Hasting? Siapa Arthur Hasting? Kenapa dia begitu meniru John Watson. Jelas peniru yang failed.

Tapi bagaimana dengan pendahulunya. Auguste Dupin, dia hebat, dia jenius, dia jago matematik sekaligus jago dalam hal sastra. Iya, Dupin memang hebat, sayangnya kisahnya hanya berakhir di 3 cerita pendek dari Edgar Allan Poe. Andai saja Poe, menulis 4 novel tentang Dupin plus 50 cerita pendek, mungkin ketenaran Sherlock Holmes tidak akan pernah seperti sekarang.

Lalu bagaimana dengan Bruce Wayne aka Batman the World Greatest Detective, jelas dia adalah tiruan lain dari Sherlock Holmes?

Iya, dia memang tiruan, tapi dia membawa ide yang lain juga yang nggak plek ke tiplek meniru Holmes. Sebuah ide yang besar yaitu sebuah topeng.

Ketika begitu banyak kasus yang mesti lo pecahkan, ketika begitu banyak musuh, lo nggak bisa membiarkan identitas lo terbuka, karena jelas itu terlalu berbahaya. Bukan hanya untuk diri lo sendiri tapi juga orang-orang yang berada di sekitar lo. 

Kedua para musuh-musuh yang jadi fondasi kuat bagi keberlangsungan hidup Batman, musuh-musuh yang membuat Batman menjadi se-Agung sekarang.

Batman memiliki banyak musuh yang unik, musuh-musuh yang tematik, yang meski (pada awalnya) tidak hebat, tapi sekarang begitu memorable; sebut saja Joker, Bane, RIddler, Penguin, Two Face, ScareCrow, Ras alGhul, dan seterusnya.

Beda dengan Sherlock Holmes, siapa musuh Holmes yang lo ingat kecuali Prof. James Moriarty dan Colonel Sebastian Moran, selain itu Hound of Baskerville, dan Von Bork dari Jerman. Nama-nama selain itu gw lupa, mungkin kurang populer. Tapi coba kita bandingkan dengan Hercule Poirot, atau Rouletabille, siapa musuh mereka yang kita ingat? Jujur gw lupa, kita bisa ingat kasusnya tapi lupa siapa musuhnya? 

Selanjutnya kenapa Bruce Wayne dan Sherlock Holmes bisa bertahan di Hollywood di saat detektif-detektif yang lain menghilang dan tenggelam dimakan zaman?

Menurut gw penyebab utamanya adalah karena mereka berdua adalah karakter action. Batman, jelas dia lebih banyak adegan action dibanding dengan deduksi, semua peralatan itu, rompi anti peluru, jubah Batman, besi pelindung di lengan, shuriken, dan bumerang, Batman diciptakan memang untuk bertarung melawan penjahat.

Begitupula dengan Holmes, jika anda mengecek di wikipedia, ada daftar panjang keahlian beladiri yang dikuasainya. Mulai dari beladiri tangan kosong, tinju, gulat, baritsu, keahlian permainan tongkat, pisau, fiercing, pistol, dan seterusnya. Holmes bisa dibilang ada prototype dari semua agen rahasia modern seperti Ethan Hunt, James Bond, Bourne, dan sebagainya, secara tidak langsung mereka para agen rahasia (Hollywood) tersebut meniru dari Holmes yang kuat secara fisik dan cerdas secara mental.  

Bagaimana dengan Poirot dan teman-temannya yang lain. Poirot memang hebat, sangat hebat malah. Sayangnya secara fisik dia tidak dideskripsikan seperti Holmes yang luar biasa hebat. Memang Poirot juga memiliki aksi-aksinya sendiri seperti di kasus Big Four dimana dia menjadi agen rahasia, sayangnya Agatha Christie terlalu memaksakan diri untuk hal itu. Poirot memang nggak cocok jadi agen rahasia belakangan setelah kasus Big Four, Agatha membuat kisah Poirot kembali ke jalan yang benar menjadi detektif biasa.

Sementara di Amerika sendiri ada Detektif Philip Marlowe dari The Big Sleep karya Raymond Chadler, tapi kenapa Marlowe nggak bertahan seperti Sherlock dan Bruce Wayne? Ini juga rasanya patut untuk dipertanyakan, secara tampilan gaya Marlowe mirip dengan Daniel Craig, seorang lelaki tangguh yang suka main dengan cewek sexy (geleng-geleng kepala) nggak jauh beda dari Bond. Jadi menurut gw Marlowe tergilas oleh James Bond di Hollywood karena itu dia terlupakan oleh banyak orang.

Ok, apa kesimpulan yang bisa kita dapat dari kasus-kasus di atas.

Pertama, nama adalah hal yang sangat penting, sebuah karakter yang sama dengan cerita yang sama kuatnya tapi dengan nama yang berbeda menghasilkan output yang berbeda. Nama adalah hal yang sangat-sangat penting dalam dunia fiksi. Ketika lo punya nama yang tepat lo bisa menjadi legenda.

Kedua, karakter yang kuat mesti punya lawan yang kuat, lebih dari itu lawan kuat juga mesti punya nama yang kuat. The Joker, Riddler, Bane, Moriarty, Count Dracula dan seterusnya mereka penjahat dengan nama yang sangat kuat.

Ketiga, detektif memang harus memecahkan kasus, tapi dia nggak harus selalu ceramah, dan jelas orang-orang lebih suka melihat detektif beraksi (bertarung, kejar-kejaran, dan tembak-tembakan) daripada menjabarkan deduksi panjang lebar tentang sebuah kasus.

keempat, seperti yang selalu gw bilang, si detektif harus punya karakter, suatu pembeda sebuah ciri khas yang membedakannya dengan detektif-detektif. Dan ciri khas itu harus unik, ketika kita melihatnya kita akan langsung ingat dia, seperti cangklok pada Sherlock Holmes atau Shuriken berbentuk kalelawar yang mengingatkan gw pada Batman. 

Terakhir, gw jadi ingat perkataan Om Eka Kurniawan di salah satu artikel-nya. "Omong kosong jika kamu pikir menulis dan buku diciptakan untuk keabadian. Setiap hari orang menulis, setiap hari lahir buku baru, dan sebagian besar, 99,999999% akan hilang dari peradaban. Dilupakan. Percayalah. Survival the fittest, kata Darwin. Buku dan pemikiran tak ada bedanya dengan binatang. Ada yang punah, dan sedikit yang bertahan menghadapi ganasnya zaman."

Sherlock Holmes, James Bond, Bruce Wayne, Ethan Hunt, dan teman-temannya di Hollywood gw rasa masih akan bertahan sampai beberapa dekade ke depan. Tapi bagaimana dengan yang lainnya yang dari adaptasi novel New York Bestseller belakangan ini? Hm, rasanya mereka nggak akan bertahan seperti Holmes dan Batman.

.  .  .