Friday, April 28, 2017

Star Wars Rogue One

Review by Ftrohx


Rogue One, dengan sangat menyesal saya bilang sebagai film Star Wars yang kehilangan unsur magisnya.

Ok, Force Awaken memang mengecewakan, karena untuk tema ledakan yang besar itu, mereka cuma bermain pertempuran dalam skala yang kecil. Dan banyak lagi hal-hal yang kurang greget di sana. Namun Rogue One, lebih parah lagi dari itu. Sebelumnya, saya sungguh terpesona dengan trailernya. Asli keren, di sana saya melihat ada Felicity Jones yang terkenal dari film Theory of Everything dan Donny Yen dari film Ip Man. Ah, ini akan jadi sangat bagus, pikir saya. Tapi ternyata... Ya begitulah.


Keseluruhan film ini sebenarnya bercerita tentang petualangan Jyn Erso, anak dari insinyur pembuat Death Star senjata paling mematikan milik Galatic Empire. Jyn direkrut oleh Rebel Alliance untuk menginfiltrasi markas musuh, mengungkap apa itu Death Star, dan apa kelemahannya. Dia menjadi ujung tombak intelijen dari para pemberontak. Dia harus menemukan informasi penting dan harus bisa menyampaikan informasi itu pada Rebel Alliance. Bagian ini sudah saya ketahui sebelum saya menonton filmnya.


Ok, kita bahas bagian buruknya dulu. Pertama para tokoh-tokoh yang bermain.

Sungguh saya sangat excited saat pertama kali melihat trailer-nya. Felicity Jones, menjadi Jyn Erso si tokoh utama. Wah, ini pasti sangat-sangat seru. Bisa dibilang ini adalah film action level A pertama yang diperankan oleh Felicity Jones. Saya suka Jones, sejak dia main di film sebelumnya. Wanita itu sangat cerdas dan mempesona. Seolah versi SuperSaiya dari Maudy Ayunda, hahaha...

Dan di trailer saya melihat dia berpakaian tempur hitam dengan dua tongkat di punggungnya, seperti seorang Ninja. Saya membayangkan. Wah, pasti ada adegan pertarungan yang keren nih, mungkin Lightsaber, mungkin juga tongkat listrik, tapi ah peduli amat saya berharap ada pertarungan yang keren. Sayangnya, ternyata khayalan saya cuma khayalan. Tidak ada adegan Felicity Jones bertarung dengan pedang, tidak ada Jyn Erso yang seperti Rey di Force Awaken. Huh, agak mengecewakan.


Lalu ada lagi aktor hebat di sini, Donny Yen. Wah, saya sangat antusias. Saya ngefans banget sama dia di IP Man dan film-film kungfu lainnya. Ini pasti keren, pasti brutal. Tapi kembali lagi saya kecewa. Ternyata mereka tidak menggunakan Donny Yen sebagai mana mestinya. Huh, adegan aksinya cuma begitu doang, cuma numpang lewat, dan terlupakan. Sedangkan aktor-aktor yang lain. Entah kenapa, saya nggak merasakan mereka sebagai aktor yang kuat atau memorable. Diego Luna sebagai Cassian Andor, dia tidak terlalu signifikan menurut saya. Hanya prajurit pemberontak biasa, tanpa ada ciri khas. Dan nama-nama yang lain, saya nggak ada yang begitu kenal. Kecuali Mads Mikkelsen, dia bermain bagus di sini sebagai Galen Erso, meski adegan kematiannya cuma begitu doang. Kena ledakan di hanggar dan tewas begitu saja.


Permasalahan plot.

Ini juga sangat dikritisi oleh banyak pengamat film. Plot Rogue One memang sangat tertutup. Bisa dikembangkan jadi sesuatu yang baik, tapi nyaris sangat sulit. Ruang lingkupnya terbatas. Kisah Rogue One seolah menyambung antara Star Wars 2000-an yaitu pasca-Revenge of The Sith dengan Star Wars New Hope. Mereka berkisah tentang orang-orang yang mengorbankan diri demi mendapatkan data rahasia mengenai apa itu Death Star si senjata paling mematikan milik Galatic Empire. Di Star Wars: New Hope diceritakan bahwa ada orang-orang yang mengorbankan jiwanya demi mendapatkan data rahasia itu. Dan disinilah mereka, disajikan dalam film Rogue One, dengan lingkup cerita yang sangat terbatas itu.


Action yang kurang.

Seperti yang saya bahas di atas, adegan actionnya memang kurang. Begini, yang membedakan Star Wars dengan film Sci Fi macam Star Trek, Alien, Lost in Space, dan film-film ruang angkasa lainya adalah Jedi dan Light Saber. Tanpa itu Star Wars bukanlah Star Wars. Itulah yang ingin orang-orang tonton. Itulah budayanya.

Sayangnya di Rogue One, pertarungan Light Saber hanya ada di akhir cerita dimana Darth Vader menebas para pasukan Rebellion. Itu juga tidak bisa disebut pertarungan karena mereka tak bisa mengimbangi Darth Vader, jelas itu pembantaian. Dan juga Jyn Erso dan Donny Yen tidak mendapat porsi yang cukup dalam adegan pertarungan. Beda dengan di Force Awaken dimana kita bisa melihat puncaknya dengan pertarungan Fin dan Rey melawan Kylo Ren. Meski koreo mereka pas-pasan, tapi setidaknya ada itu pertarungan Light Saber.

Rasanya, kembali lagi sutradara dan penulis skenario kurang memaksimalkan kemampuan mereka, para pemain ini. Adegan tempur di Scarif sangat bagus, sayangnya, dengan sangat-sangat disayangkan, tidak ada pertarungan pedang laser di sana. Dan mengingat itu, saya agak kecewa dengan mereka yang kurang maksimal menggunakan Donny Yen sebagai petarung di sana.


Bagian bagusnya.

Saya percaya bahwa ada yang bagus dari sebuah film yang jelek. Bahwa sesungguhnya ada nilai-nilai plus yang mereka sajikan. Ok, Force Awaken secara keseluruhan memang kacrut. Tapi adegan potongan-potongan adegan yang sangat GRANDE dan memorable di sana. Saya selalu ingat dengan Star Killerbase, sebuah planet yang diubah menjadi senjata mematikan, jauh lebih besar dan lebih berhasil daripada Death Star versi Star Wars lama. Saya ingat banget, adegan si Jenderal Hux yang berpidato di hadapan banyak orang, lalu kemudian BOOM! terjadi ledakkan merah. Tadinya di trailer saya pikir itu ledakkan bom nuklir, ternyata bukan, itu serangan laser yang mereka lancar pada New Republic. Betapa spektakulernya. Beginilah harusnya sebuah film Star Wars.

Sayangnya, Star Killerbase yang Grande itu dengan mudahnya dihancurkan oleh beberapa pesawat dengan pertempuran yang saya lihat sangat tidak signifikan. Rasanya sangat aneh dan tidak masuk akal. Mereka seperti membuatnya setengah matang, atau lebih tepatnya terlalu mentah untuk sebuah pertempuran pesawat luar angkasa di puncak film Star Wars.

Bagaimana dengan di Rogue One. Adegan paling memorable di film ini adalah saat Death Star menembakkan laser hijaunya ke kota suci Jade. Tembakkan yang setara dengan ledakkan puluhan bom nuklir yang ditumpuk jadi satu, ledakkan yang membuat tanah membumbung bahkan sampai melampaui stratosphere. Selain itu adegan terbaiknya adalah pertempuran di akhir film, di mana mereka menebakkan laser ke planet Scarif, ledakan maha dasyhat terjadi lagi. Satu lagi tentu yang paling memorable adalah openingnya. Saya suka banget mereka membuat opening yang Grande. Saya ingat banget di Force Awaken, adegan pembuka dengan hamparan padang pasir, lalu suara orkestra yang mengalun. Adegan itu membuat saya merinding, apapun bisa terjadi selanjutnya, apapun cerita yang keren itu dimulai dari gurun pasir dengan sebuah pesawat ruang angkasa sebesar gunung.

Terus apalagi ya? Oh iya, scene kemunculan Darth Vader, scene di planet yang penuh dengan lava panas itu. Bagaimana si Darth Vader muncul dari tabung besar berisi cairan putih. Terus bertemu dengan si Direktur Krennic dengan musik yang dung dung besar. Aura Darth Vader benar-benar kuat di situh, dan satu lagi ya adegan akhir dimana dia membantai para Rebellion.

Ok, rasanya itu aja. Nggak banyak yang bisa saya ingat.


Konklusi

Dari skala 100 untuk film ini saya kasih 61 lah. Banyak hal yang kurang dan perlu dievaluasi, serta ada banyak hal yang harusnya tidak terulang lagi di masa depan. Hal-hal yang membuat penonton boring dan nggak mau nonton lagi film ini. Tapi dari semua yang mediocre itu, mereka berhasil dapat jutaan penonton melalui promo dan marketing yang sensaional. Congratulation for them!
.  .  .

Monday, April 24, 2017

My Favorite Serial Killers

By Ftrohx


Tadinya daftar ini mau saya kirim ke bang Fadli untuk di upload ke laman Detectives ID, tapi dia bilang sudah begitu banyak list seperti ini di internet, list pembunuh berantai. Ok, itu list orang lain, dan tiap orang bisa punya pendapat yang berbeda tentang para badass criminal ini.


Copycat Murder 1995


Banyak yang bilang film ini jelek, cuma drama kriminal biasa, film dengan budget pas-pasan. Tapi saya melihat justru cerita di film ini sangat original. Sebelum film ini rasanya saya nggak pernah melihat ada film bertema copycat murder. Bahkan mungkin kata "Copycat" dalam berbagai industri jadi populer juga gara-gara film ini.

Singkat cerita ada dosen Psikologi Forensik yang buka sebuah kuliah umum tentang kejiwaan para pelaku pembunuhan berantai. Selama ini si Dosen hanya bicara teori, dia tidak pernah benar-benar turun menangani kasus kriminal apalagi pembunuhan berantai. Hingga tiba-tiba seorang pembunuh berantai muncul di kampusnya. Habislah dia dengan sebuah pengalaman yang sangat mengerikan, nyaris meninggal dengan leher tergantung.

Syukurnya polisi cepat sampai di sana dan menyelamatkannya. Si Pembunuhpun ditangkap dan dipenjara. Tapi itu cuma sebuah awal. Si Dosen wanita ini trauma berat, dia sampai-sampai jadi phobia terhadap keramaian, dan memutuskan hanya bekerja dari rumah sebagai seorang penulis. Hingga sebuah kejadian muncul di kotanya, sebuah pembunuhan berantai yang meniru pembunuhan-pembunuhan berantai yang pernah terjadi di tahun 60an dan 70an. Yang menarik adalah pembunuhan-pembunuhan itu secara berurutan persis seperti di buku yang dibuat oleh si dosen. Sehingga mau tidak mau, polisi melibatkannya dalam penyelidikan untuk mencari si pelaku.

Asli, saya suka Copycat Murder, meski film ini bukan film yang signifikan ataupun Box Office. Tapi dia membawa inspirasi tersendiri bagi film-film bertema pembunuhan berantai selanjutnya. Sangat wajib kamu tonton, bagi kamu yang sekarang sedang menulis cerita pembunuhan berantai.


Career of Evil


Kalau dari segi cerita Detektif, sejujurnya saya lebih suka novel Cuckoo's Calling. Tapi dari segi karakter dan plot pembunuhan berantai, saya lebih suka Career of Evil. Dari blurf-nya novel ini digadang-gadang sebagai the next Jack the Ripper, wow. Nyaris selama setengah tahun semua orang membicarakannya. Novel ini begini loh... begitu loh... dan seterusnya. Sungguh saya sangat penasaran. Dan memang novel ini bagus. Di beberapa bab, Galbraith mengambil sudut pandang yang beda yaitu dari PoV pembunuh berantai sendiri. Seperti Dan Brown dengan karakter Mal'akh atau Beyond Birthday di LABB Murder.

Saya juga suka dengan penggambar si pembunuh. Dia bertubuh besar, sangat pintar, ambisius, percaya diri, jago menyamar, ahli beladiri, dan yang paling penting dia punya dendam kesumat pada sang Detektif. Sehingga semua pembunuhan yang dia lakukan, punya satu arah yaitu bersenang-senang dengan Cormoran Strike. Novel ini sungguh bagus. Sayangnya, terlalu banyak cerita romance di novel ini, saking banyak sampai bikin novel ini ketebalan. Dan satu lagi kelemahannya adalah penyelidikan si pembunuh berantai terlalu panjang, sampai nyaris setahun lamanya dia baru tertangkap. Itupun tanpa ada paparan bukti ataupun deduksi yang cemerlang. Atau lebih tepatnya Cormoran hanya kebetulan aja, dia berhasil mengikuti dan menemukan tersangka di sebuah flat yang kumuh.


Los Angeles BB Murder


Dalam dunia fiksi Detektif, Beyond Birthday adalah salah satu tokoh pertama yang saya baca dan pelajari. Dia adalah pembunuh berantai, sociopath, sakit jiwa dengan obsesi menciptakan pembunuhan berantai yang sempurna. Meski pada akhirnya cerita pembunuhan berantainya berakhir menjadi sebuah cerita biasa. Bahkan dicibir oleh para haters, tapi saya tetap menyukai karyanya.

Ceritanya simpel, tiga orang tewas dengan cara yang berbeda dan tanpa ada hubungan satu sama lain, kecuali mereka berada di ruang tertutup dengan sebuah boneka hantu dibalik pintunya. Bagian anehnya, polisi seolah angkat tangan untuk kasus-kasus ini. Dan kemudian muncul seorang detektif amatir bernama L. yang meminta bantuan agen FBI Naomi Misora untuk menyelidiknya. Dan kemudian L. si Detektif Bayangan meminta Naomi Misora untuk mencari dan menghentikan si pelaku pembunuhan.

Ok, cerita Detektif biasanya bermain dalam dua ranah yaitu Physical Evidence (seperti CSI) atau Profilling (seperti Criminal Minds). Tapi Los Angeles BB Murder, dia bermain pada Puzzle Oriented non-CSI, bermain pada teka-teki klasik yang tak berhubungan dengan bukti fisik atau penyelidikan prosedural. Jadi di tiap korban pembunuhan terdapat sebuah teka-teki. Si Detektif mencoba memecahkannya satu persatu agar bisa lebih dekat dan menemukan siapa pelaku pembunuhan sebenarnya. Plus karakter-karakternya yang terasa natural seperti orang awam. Meski nama Naomi Misora adalah seorang Detektif FBI namun si penulis membuatnya seolah bukan seorang yang punya skill detektif. Seolah orang awam yang tak punya pandangan mengenai apa itu dunia penyelidikan polisi.

Novel ini bagus sebenarnya bagi kamu yang ingin mulai membaca cerita detektif. Akan buat kamu punya pandangan dan kesan tersendiri. Tapi bagi kamu yang sudah biasa baca Holmes atau Poirot, tentu kamu akan ngamuk-ngamuk baca novel ini. Sangat ngeselin memang, tapi karena cerita ini berada di masa waktu yang salah. Seandainya, cerita ini dibuat jauh dimasa lalu, sebelum ada kamera CCTV atau metode CSI, mungkin novel ini akan jadi sesuatu yang melegenda.


Hannibal Season 1


Ini masterpiece dari semua film atau serial TV pembunuhan berantai yang pernah saya tonton. Well crafting and well drafting, saya bisa membayangkan bahwa mereka menulisnya berbulan-bulan hanya untuk satu episode. Gilanya, tiap satu episode adalah cerita tentang pembunuh berantai. metode-metode yang ekstrim, makanan-makanan yang mewah, dan sesi-sesi psikiater yang mahal.

Melihat Hannibal versi Mads Mikkelsen saya jadi ingat tentang seorang Dokter bedah jantung di novelnya Sidney Sheldon. Alkisah ada seorang dokter bedah jantung yang sangat pintar, sangat sukses menyelamatkan banyak pasien. Si dokter ini menganggap dirinya lebih, tangannya menyelamatkan banyak nyawa, dan tangannya bisa menghidupkan orang yang sudah mati. Dia menganggap dirinya lebih dari sekedar manusia, atau sebaliknya dia menganggap manusia tidak lebih dari sebuah benda, mainan lilin yang bisa dibentuk jadi apapun. Begitupula dengan Hannibal, dia merasa sangat pintar dan hebat. Sementara manusia lain hanya manusia, hanya kumpulan daging yang siap dipilih, dipanen, dan dimasak. Benar-benar gila. 

Jujur, menurut saya Hannibal versi Mad Miklesen jauh lebih bagus daripada Hannibal versi film dari novelnya Thomas Harris. Sungguh ini adalah versi upgrade yang well-crafted. Tapi ada kurangnya menurut saya. Di beberapa scene, season 01 terlalu banyak mengekspose tubuh-tubuh manusia yang dimutilasi, terlalu banyak scene ala film-film horor, dan itu sedikit mengganggu saya. Beberapa adegan membuat perut saya mules, dan yang lain memberi saya sedikit mimpi buruk, hahaha.


Zodiac (2007)


Ah, ini favorit saya juga. Bukan tentang siapa pelaku pembunuhannya, bukan tentang puzzle-nya, bukan metode atau triknya. Melainkan dramanya. Asli, saya sangat suka film ini. Ibarat kamu nonton film Avengers sebelum para anggota Avengers menjadi pendekar sakti. Ah... Briliant!

Di sini ada Robert Downey Jr, Mark Ruffalo, dan Jake Gyllenhall. Ironman, Hulk, dan Prince of Persian dalam satu film. Jika kamu ingin mencari misteri, problem-solving, police procedural, dan science of deduction saya sarankan jangan nonton film ini. Tapi jika kamu ingin cari film dengan drama kriminal terbaik dan belajar cinematography saya sangat sarankan nonton film ini.

Kisah yang kamu pasti sudah tahu. Terjadi pembunuhan pada sepasang remaja, kemudian muncul surat misterius ke San Fransisco Chronicle. Ceritapun jadi panjang karena si pembunuh berantai mengancam akan membunuh orang lagi dan lagi. Di surat yang dia kirimkan terdapat sebuah cipher puzzle yang menantang para polisi untuk memecahkannya. Si pelaku benar-benar arogan sociopath yang merasa dirinya bisa mengontrol segalanya, bahkan sampai film ini berakhir tetap si pelaku sesungguhnya tidak pernah terlihat apalagi terbukti. Yang ada hanyalah circumstantial evidence.

Film ini sesungguhnya adalah film yang membuat penonton berpikir keras, jika saya cari pembanding film yang sepadan dengan Zodiac ini adalah Interstellar karya Christopher Nolan, sepanjang film kamu terus berpikir apa sih yang sebenarnya sedang terjadi dan apa yang akan terjadi selanjutnya. Bedanya dengan Interstellar, mereka minim dari unsur komedi, sedangkan Zodiac meski berat tapi banyak unsur komedinya – yang membuat kamu jadi fun menontonnya berulang-ulang.

Pelajaran yang saya dapat dari sini adalah jangan terlalu serius membuat serial pembunuhan berantai. “Just have fun and killing somebody!”


Mal'akh The Lost Symbol


Nah kalau kamu ingin bikin pembunuh berantai dengan tema yang GRANDE kamu wajib baca buku ini, The Lost Symbol karya Dan Brown. Di sini ada Mal'akh sang pangeran kegelapan.

Laki-laki ini kaya-raya, berotot, bertato naga, penggemar mistis, ahlinya teori-teori konspirasi, jago beladiri, jago kompter, sangat licik, dan pintar dalam permainan spionase. Seperti versi Neraka dari James Bond atau Lord Blackwood (Sherlock Holmes 2009) yang bereinkarnasi jadi eksmud abad 21. Mungkin seandainya saya tidak pernah kenal dengan Light Yagami atau James Moriarty, maka Mal'akh ada di urutan no. 1 dari karakter antagonis favorit saya.

Sebagai seorang pembunuh berantai, Mal'akh sangat efisien, dia sudah menatap semuanya dengan sangat rapih. Dia tahu apa yang dia harus lakukan, dan dia tahu bagaimana mengantisipasi keadaan yang mungkin terjadi. Dia punya plot yang jenius dari A ke B ke C... sampai ke X. Dan semua tertata dengan rapih, sementara Robert Langdon yang master teka-teki cuma jadi bidak catur dalam permainannya. Huh, dazzling! Bagi teman-teman yang ingin menciptakan karakter pembunuh berantai yang hebat, selain Career of Evil sangat saya sarankan baca Mal'akh dari novel Lost Symbol Dan Brown. Sangat menginspirasi.


Mr. X the Curtain


Bagaimana kamu membuat orang lain menjadi pembunuh, tanpa orang lain itu sadari bahwa dia kamu gerakan. Kamu menjadi pemain marionet tanpa orang lain tahu bahwa kamulah yang memainkan rangkaian benang itu. Dan lebih asik lagi, ini bukan sulap ataupun ilmu sihir, ini murni permainan logika. Ide ini benar-benar gila. Dan rasanya nyaris mustahil ada novel dengan ide seperti ini di tahun 1940an. Tapi nyatanya ada, dia sang ratu kriminal Agatha Christie yang menciptakannya.

Alkisah naskah ini ditulis sebelum Perang Dunia Kedua, lalu Agatha Christie menyimpan naskah ini ke dalam lemari besar. Hingga kemudian pada akhir hidupnya, para pengacara sesuai dengan wasiatnya, membuka lemari besi tersebut dan mengeluarkan naskahnya untuk dicetak di penerbit. Sangat melegenda.

Cerita mengambil setting di kota kecil Style. Tempat yang sama dimana kasus pertama Hercule Poirot dimulai.

Di sana Hercule Poirot dan Hasting kembali bertemu. Mereka di satukan di sebuah rumah dimana setiap orang yang ada di sana, telah kehilangan anggota keluarganya yang tewas oleh seorang pembunuh misterius. Lalu kemudian terjadi lagi kematian misterius, seorang pemuda bernama Norton yang hobi mengamati burung-burung liar. Hasting meminta bantuan Poirot untuk menyelidikinya, namun sesampainya di kamar, Poirot sudah ditemukan meninggal. Ceritapun menjadi panjang dengan plot twist yang sangat mencengangkan.

Bicara tentang Curtain, bisa dibilang saya pengen banget bikin pembunuh berantai seperti ini. Pembunuh berantai yang membunuh targetnya tanpa menggunakan tangannya sendiri, dia juga tidak menyuruh orang atau tanpa anak buah seperti Moriarty, melainkan menggunakan kecerdasaan dalam bermain sugesti. Dia mensugesti orang, tanpa orang itu sadari, hingga menjadi mereka alat untuk mencapai targetnya. Uh, spektakuler.


V for Vendetta



Jika kamu cari pembunuh berantai rasa superhero, jawaban pertama saya pasti ini, V for Vendetta.

Kita semua tahu laki-laki bertopeng Guy Fawkes dengan jubah hitam besar, pisau-pisau belati, dan aura menyeramkan ini sangat keren. Ok, tema politik dan pemerintahan sangat kuat di film ini. Film yang sangat berat sebenarnya, dan tidak bisa ditonton semua umur.

Alkisah Inggris di masa depan, sebuah distopia di mana terdapat pemerintahan yang sangat otoriter. Pemerintahan ini dibangun dari pembantai manusia. Begitu banyak mayat yang bergelimpangan, di rumah-rumah, di sungai, di taman, di gedung-gedung dan seterusnya. Pemerintah ini mengubur mereka secara massal. Mereka bilang bahwa itu adalah wabah, virus yang diciptakan oleh teroris dan musuh-musuh pemerintah. Namun nyatanya merekalah yang mengembangkan itu. Di kamp konsentrasi dimana manusia-manusia dijadikan eksperimen oleh mereka, terdapat satu orang yang bertahan hidup, dialah V.

Satu kesalahan terjadi di sana, dan kamp itu terbakar. V berhasil lolos dari sana.

Bertahun-tahun kemudian, dia muncul di kota London. Style dibuat sangat misterius, V selalu mengenakan topeng, selalu berada di tempat gelap, dan nyaris tidak pernah beraksi di bawah sinar matahari. V menelusuri masalalu dan menemukan mereka semua yang sudah membuatnya menjadi monster. Satu persatu dia membunuh para petinggi pemerintah. V si Frankenstein yang menuntut balas pada para penciptanya. Kebanyakan dari mereka dihabisi dengan belati, yang lain dipaksa untuk minum racun atau disuntik mati. Sadis dan tak tersentuh hukum. Bahkan sampai di akhir cerita, detektif kepolisian yang menyelidiki V tak pernah tahu siapa orang yang berada dibalik topeng itu.

Selain Mal’akh di Lost Symbol, menurut saya, V adalah pembunuh berantai dengan tema yang paling Grande. Huh, seandainya saya punya sumber daya, dana dan materi tulisan. Ingin sekali saya bikin satu karakter seperti V, huh.


Taxi Driver Sherlock 01



Bagian yang ini sudah saya bahas di artikel sebelumnya.

Saya suka si Sopir Taksi ini. Dia dazzling, dia membuat pembunuhan berantai dengan style yang berbeda. Sesuatu yang sangat kreatif. Biasanya pembunuhan berantai itu simpel, kalau tidak menggunakan pisau, pistol, pasti menggunakan racun, atau kombinasinya. Tapi bagaimana jika itu bukan pembunuhan berantai, bagaimana jika itu adalah bunuh diri berantai. Nah ini ide besar, sebagai orang awam kita nggak pernah kepikiran bahwa ada orang yang bisa membuat orang lain melakukan tindak bunuh diri. Mendengar gagasan ini saja kita akan berkata "Itu mustahil!". Tapi mereka berhasil, para korban ini mati dengan minum racunnya sendiri. Tepatnya mereka semua dipaksa untuk minum racun. Dan iya cerita panjangpun dijabarkan.

Anda tahulah kalau sudah nonton Sherlock episode 01 di season 01.

Saya nggak ingin bicara banyak karena akan sangat spoiler. Dan brilliant-nya lagi dia berhadapan satu lawan satu dengan sang detektif Sherlock Holmes. Dengan kecerdasaannya dan rasa percaya diri yang sangat tinggi. Well drafting and well crafting, saya beri penghargaan setinggi-tingginya bagi orang-orang yang menulis skenario di belakangnya, congratulation!


Blackwood Sherlock RDJ



Selain Mads Mikkelsen si Caesilius. Mark Strong adalah aktor antagonis favorit saya. Dia berhasil menjadi High Priest di John Carter of Mars, juga berhasil menjadi pimpinan MI6 di Immation Games. Dan di sini Blackwood adalah perannya yang paling memorable untuknya.

Tokoh ini membuat saya bertanya-tanya, sebenarnya mana yang lebih dulu Mal’akh dari novel The Lost Symbol ataukah Blackwood dari Sherlock RDJ. Kebetulan dua-duanya launching di tahun yang sama, 2009. Dan kebetulan dua-duanya sangat terobsesi dengan Ancient Knowledge, Mistis, dan Teori Konspirasi. Sama-sama pembunuh berdarah dingin yang jenius, terlahir dari Ayah yang merupakan petinggi Freemason, sekaligus orang kaya yang punya banyak anak buah dan kekuasaan.

Setiap pembunuhan yang dilakukan oleh Blackwood, dilakukan dengan sangat presisi. Setiap tindakkannya, tiap keputusannya mengarahkan langkah kakinya pada pencapaian tujuan yang lebih besar. Dan bisa mendesak Sherlock RDJ sampai nyaris putus asa dan tewas. Luar biasa.

Satu kelebihan Blackwood dibanding Mal’akh adalah skenarionya bangkit dari kuburnya.

Sebenarnya kasus pura-pura mati ini sudah ada dalam buku asli Sherlock Holmes karangan Arthur Conan Doyle yaitu di kasus Norwood Builder. Iya, kesamaan nama. Mungkin pula Norwood Builder menjadi inspirasi bagi Guy Ritchie menciptakan Blackwood. Dan tahun lagi heboh-hebohnya film bertema Vampir macam Twilight, kebetulan pula gagasan bangkit dari kubur ini cocok bagi Blackwood, hingga kita penonton awam bertanya-tanya apakah itu ilmu sihir, apakah trik, ataukah dia memang seorang Vampir. Gagasan-gagasan itu berhasil masuk di alam bawah sadar kita selama menonton. Bahkan sempat membuat saya merinding terutama adegan di gudang tua, dimana Blackwood mengangkap Irine Adler dan mengikatnya pada mesin pemotong babi. Itu brilliant.

Tapi pada endingnya, semua dipaparkan secara logis Holmes, dan kitapun tercengang dengan trik-triknya yang klasik. Ah, seandainya saya bisa buat yang seperti Blackwood.


Moriarty di Great Games



Mungkin ini bukan tentang Moriarty-nya (Andrew Scott) itu melainkan orang di belakangnya, Mark Gatiss dan Steven Moffat. Mereka benar-benar menulis script pembunuhan berantai yang sangat hebat. Dari dulu saya pengen banget bikin kasus dengan plot seperti ini. Di mana orang-orang mati dalam sebuah permainan maut, The Great Games, pertaruhan nyawa yang sangat menegangkan.

Singkat cerita terjadi sebuah pemboman tepat di depan flat Holmes di Baker Street. Dan setelah diselidiki, didapati bahwa bom itu adalah surat tantangan bagi Holmes. Jika dia tidak dapat memecahkan teka-teki yang diberikan sang Penjahat maka akan ada satu orang yang tewas di sudut kota London.

Sungguh saya suka gimmick-nya. Bagaimana si Moriarty menggunakan orang lain sebagai perpanjangan suaranya. Sungguh sangat misterius dan lebih mereror daripada L. Lawliet di Death Note. Dan bagusnya lagi, jika Holmes tidak bisa memecahkan teka-teki pada waktu yang ditentukan, orang-orang yang disandera ini akan diledakkan, dan tentu korban tewas lebih dari selusin orang.

Tentu bagian paling menariknya adalah bagaimana dia mengatur orkestra kejahatan dari balik bayangan.

Dari dua episode sebelumnya, kita semua tahu bahwa tiap orang yang berhubungan dengan Moriarty, tiap orang yang menyebut namanya akan mati. Menghilang dari dunia. Si Kurator bercerita bahwa dia dibantu oleh seseorang, orang yang tidak pernah ada kontak langsung dengan dirinya. “Is that wisper has a name?” tanya Holmes ke Kurator. “Moriarty!” jawabnya, disusul suara musik latar yang menegangkan, dengan drum yang berdebar kencang. Tapi setelahnya, Moriarty muncul dengan plot twist yang dipaksakan, saya suka adegan di kolam renang. Sayangnya, yang muncul malah Jim from IT, Jim from Hospital, Andrew Scott.  Haduh, saya terlalu banyak spoiler,yaudah next time lah. Hahaha…


And Then They Were None



Semua fans Agatha Christie pasti gregetan dengan judul ini And Then They Were None. Sepuluh orang dikumpulkan di dalam sebuah pulau dan satu persatu orang-orang itu mati terbunuh. Tak ada yang tahu siapa pembunuhnya dan semua orang curiga satu sama lain. Benar-benar pintar bahkan sampai akhir cerita nyaris semua orang (kecuali si pembunuh yang asli) tidak tahu siapa pembantaian yang sebenarnya. Dan tentu bagian paling legendaris selain orang-orang yang tewas satu persatu di pulau ini adalah barisan puisinya. Tentang sepuluh bocah yang meninggal dalam sebuah permainan.

And Then They Were None menjadi fondasi bagi karya-karya lain sejenis. Menjadi fondasi bagi banyak cerita thriller, dimana sekumpulan orang terjebak di sebuah pulau, rumah, kastil, bahkan dan mereka mati satu persatu di sana. Tanpa tahu dan mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Gagasannya menjadi keren karena ini adalah cerita ala detektif whodunnit tapi tanpa ada karakter detektif, dalam hal ini jagoan yang menemukan si penjahat. Yang ada hanya para korban dan si penjahat anonim.


Terminator 1986



Jauh sebelum ada Mal'akh, Blackwood, Hannibal (Mads Mikkelsen) kita sudah punya ini, Terminator 1986. Meski latar belakang ceritanya ribet Sci Fi Time Traveler, tapi sebenarnya premis film ini sederhana loh. Seorang wanita yang dikejar pembunuh berantai yang tidak dapat dikalahkan, iya THRILLER.

Saya nggak ingin bicara banyak tentang teori time traveler di sini, ada artikel lain yang membahas itu. Tapi tentang si Terminator sendiri. Dia monster besi yang tak bisa mati, dan terus menembakkan pistol, dia brutal dan tidak memiliki batasan, dia tidak peduli targetnya ada di mana dia tetap akan melaksanakan misi membunuhnya, dia tidak peduli siapa yang menghalangi mereka semua akan dia bantai, dan dia nyaris tidak memiliki emosi, tidak senang ataupun sedih dengan target yang dia bunuh.

Mungkin saya mendefinisikannya sebagai purpose oriented serial killer. Oh bukan, semua serial killer memang punya tujuan, tapi dia adalah pembunuh berantai dengan tujuan non-emosional. Tujuannya hanyalah mencapai tujuan, perintah yang sudah dituliskan ke otaknya.

Ok, salahsatu bagian favorit saya, adalah saat Kyle Reese yang sudah berbuat rusuh di diskotik itu ditangkap polisi. Dia diinterogasi dan mengaku sebagai manusia yang datang dari masa depan. Para polisi ini sama sekali tidak percaya dengan cerita Reese, mereka terus mengolok-olok dan menertawainya. Sampai tiba-tiba muncul si Terminator di sana, dia membantai para polisi itu di markasnya sendiri. Benar-benar luar biasa. Adegan ini dibangun dengan sangat presisi menurut saya. Dari satu sudut ke sudut yang lain, pertama buat semua orang tidak percaya, lalu kemudian dia muncul di sana “Bang… Beng… Beng!!” menembaki semua orang dengan brutal.

Di zaman itu tahun 80an sebenarnya juga ada serial killer dengan model seperti ini, ada Cobra dari Sylvester Stallone, lalu ada Scorpio dari Dirty Harry Clint Eastwood, dan lain sebagainya. Tapi yang paling Grande menurut saya di masa itu adalah The Terminator 1986.

Sebenarnya masih banyak sih pembunuh berantai di luar sana, kebanyakan sih saya lupa, mungkin bisa ditambahkan di kolom komen. By the way thanks you tuk teman-teman yang sudah mampir.
.  .  .

Friday, April 14, 2017

Belajar menulis dari Sherlock

Episode Satu di Season Pertama
By Ftrohx


Bukan hanya saya, tapi majalah Empire juga menulis bahwa Sherlock BBC One Season 1 adalah yang terbaik dari semua episode Sherlock BBC yang ada pada saat ini. Season 1 benar-benar original, tidak ada tambahan penyedap rasa, tidak ada penyakit mental, ataupun teori konspirasi dan spionase yang absurd. Murni cerita seorang Detektif Independen yang mengejar pembunuh berantai.


Yups, beginilah harusnya Sherlock Holmes dibuat.

Saya menonton episode ini berulang-ulang kali. Dan saya melihat sang penulis Steve Moffat dan Mark Gatiss benar-benar mengerahkan segenap jiwa untuk episode pertama ini. Especially di bagian Sherlock dan si Sopir Taksi berada di perpustakaan kampus. Si Sopir Taksi mengeluarkan pil beracunnya dan Sherlock harus memilih mana pil yang membunuh dan mana yang tidak membunuh. Apapun yang dipilih oleh Sherlock yang tidak dipilih akan diminum oleh si Sopir Taksi.

Lebih dari itu, yang sangat brilliant adalah percakapannya.

Selama saya menonton Sherlock, dan melihat dia berhadapan dengan musuh-musuhnya. Hanya di episode ini dia terlihat begitu tertekan dan tidak tahu apa solusinya. Seandainya tidak ada Watson di sana yang menembak si Sopir Taksi mungkin semesta Sherlock tidak akan sepanjang seperti sekarang, hahaha. Si Sopir Taksi ini benar-benar kuat secara mental. Dia dengan cepat bisa memilih kata-kata yang mematikan. Pertama mulai dari pembukaan, ketika Sherlock bilang bahwa si Sopir Taksi akan tertangkap, si Sopir itu malah bilang. "Anda sebut itu resiko," dia lalu mengeluarkan pil beracunnya. "Inilah yang namanya resiko."

Bangsat!!

Dialog-dialognya benar-benar dibuat sangat presisi, ketika Sherlock bertindak A, maka si Sopir Taksi langsung meng-counternya dengan bertindak B, ketika Sherlock bertindak C, maka si Sopir langsung menyerang balik dengan tindakan D, dan seterusnya. Plot seperti ini nggak bisa dibuat sembarangan melainkan melalui trial and error serta revisi dan revisi berkelanjutannya.

Kemudian bagian favorit saya adalah saat Sherlock bilang. "Ini masalah peluang, kesempatan." Ketika kamu diberikan dua buah pilihan antara pil beracun dan pil yang (katanya) tidak beracun. Ini adalah soal matematika diskrit, dan lebih spesifik lagi di bidang perhitungan peluang. Tapi si Sopir Taksi bilang. "This is not a Chance Mr. Holmes, this is a Chess!" ujarnya dengan tatapan tajam dan wajah yang sangat menantang. Luar biasa!

Adegan ini adalah signature-nya. Scene yang tak tergantikan dari seluruh serial Sherlock BBC One menurut saya. Dan jikalau ada orang yang memakai dialog ini di film atau karya yang lain, maka kita semua akan langsung tahu sumbernya. Ini dari Sherlock BBC One episode pertama. "Ini bukan tentang peluang, ini catur!" itu nonjok banget Sherlock yang berdisiplin tinggi pada Matematika Diskrit. Dia berhasil menghantam dan menghantam mental Sang Detektif. Mungkin jika itu orang lain, serangan-serangan itu sudah membuatnya luluh-lantah. Sungguh saya benar-benar suka dengan si Sopir Taksi ini, malahan saya lebih suka dia daripada Andrew Scott si Jim Moriarty.

Sayangnya, karakter seperti si Sopir Taksi ini tidak muncul lagi di episode-episode Sherlock selanjutnya.

Ok, saya coba analisa. Apa yang bikin episode perdana ini begitu, apa kata yang tepat… Uhg, Dazzling!

Pertama pengenalan karakter. Meski jelas metode pengenalan karakter Sherlock dan John Watson ini plek-ketuplek copy-paste dari Sherlock di buku Study in Scarlet Sir Arthur Conan Doyle. Tapi Steve Moffat dan Mark Gatiss membuatnya dengan versi yang lebih baik, muda dan sangat atraktif. Apalagi dengan si tampan Benedict Cumberbatch yang bikin cewek-cewek menjerit tiap kali lihat posternya, hahaha.

Kedua jelas openingnya yang langsung masuk kasus. Saya suka cerita Detektif dengan bukaan seperti ini, mereka menggambarkan dulu siapa saja para korban, mereka memperlihatkan emosinya, dan detik-detik terakhir dimana mereka akan meninggal, asli dramatis.

Ketiga jenis kasusnya sendiri. Bagaimana kamu membuat pembunuhan berantai, namun bukan pembunuhan berantai biasa. Ok, bicara tentang film dengan tema serial killer, sudah banyak buangettt di luar sana. Jadi di sini kamu harus berinovasi, harus berpikir keras dan buat sesuatu yang beda. Saya sendiri juga pernah punya ide gila untuk kasus pembunuhan berantai. "Bagaimana jika ada pembunuhan berantai namun tanpa ada korban yang tewas terbunuh?"

Tapi di sini duet Steve Moffat dan Mark Gatiss bikin "Bagaimana jika itu bukan pembunuhan berantai, bagaimana jika itu bunuh diri berantai? Itu jauh lebih menghentak bukan?" Dan mereka berhasil. Asli brilliant, nyaris nggak terpikirkan orang lain. Bunuh diri berantai atau lebih tepatnya si pembunuh memaksa para korbannya untuk bunuh diri dengan menelan pil beracun.

Keempat antagonis yang mantap. Si Sopir Taksi yang menghajar mental sang Detektif. Ok, ini bukan cerita baru, gagasan tentang sopir taksi sekaligus pembunuh berantai sudah ada jauh sebelumnya. Saya lupa di film yang mana, tapi gagasan ini sudah sering muncul. Supir taksi bisa muncul dan pergi dimanapun dan kapanpun. Dia bisa memburu mangsanya di tengah keramaian tanpa diduga oleh orang lain. Memburu orang-orang asing secara random yang tak ada kaitan antara satu dengan lainnya. Nyaris tanpa motif dan tanpa ada garis penghubung, si Culprit ini akan sangat-sangat sulit untuk ditemukan. Kecuali jika dia sendiri yang muncul di hadapan Sang Detektif. Dan di sini… sialnya, dengan begitu angkuhnya dia muncul di hadapan Holmes.

Kelima duel antara sang jagoan dengan sang penjahat. Dalam film ini, duel itu adalah petarungan mental. Seperti yang saya tulis di atas, pertarungan mental antara Sang Detektif dan si Pembunuh Berantai di sini sangat memorable. Meski terlihat cuma dua orang yang duduk membicarakan mana pil yang beracun dan tidak beracun. Tapi dialog ini dibuat dengan sangat presisi. Seperti permainan catur. Dia membuat dialog ini dengan tiga babak: opening, middle games, dan end games. Penjelasan untuk kasus ini bisa panjang sebenarnya. Saya nggak ingin bicara lebih jauh mengenai detail, tapi jika anda menontonnya anda pasti paham apa maksud saya.

Dan penutupnya. Apa istilahnya… saya agak lupa? Meski kasus sudah berakhir namun terungkap kasus yang lain. Satu misteri lagi, sebuah bonus yaitu siapa sponsor dari si Sopir Taksi itu. Dan Sherlock berhasil mendapatkan namanya, nama yang tidak boleh disebut di dunia kriminal London, Moriarty.

Beuh! Seandainya waktu bisa di reset dan cerita bisa diedit lagi dari awal.

Saya nggak akan buat Andrew Scott sebagai James Moriarty. Sebab diluar sana masih banyak aktor dengan aura MEMATIKAN yang jauh lebih layak jadi James Moriarty. Misalkan saja Mads Miklesen si Hannibal Lecter, atau Hugo Weaving si Agent Smint, atau bikin Grande sekalian pakai John Wick Keanu Revees, dan seterusnya. Masih banyak yang lebih baik dari Andrew Scott yang saya yakin bisa menghantam Benedict Strange Sherlock Turing Cumberbatch.

Hahaha...

Ok, saya sudah banyak meracau, jadi rasanya sampai di sini dulu. Thanks you tuk teman-teman yang sudah mampir. Chao.
.  .  .

Thursday, April 6, 2017

Cyber Avatar versus Tembok Toilet

By Ftrohx


Tadinya saya mau menulis review film John Wick chapter 02. Tapi entah kenapa, film itu rasanya kurang greget untuk saya. Adegan actionnya lumayan, permainan kata-kata bagus, and filosofinya asik. Cuma saya kurang antusias di sana.

Namun film itu berhasil membawa saya ke masa lalu, ke dalam The Matrix. Saya membuka file-file lama saya tentang The Matrix. Keanu Revees, Wachowski Brother, dan tahun 1999.


Kembali ke tahun-tahun itu, saya ingat banyak karya yang bertema Cyberpunk juga di sana. Atau mungkin itu memang ZAMAN-nya. Pernah saya baca istilah di buku Ekonomi, bahwa tahun 95 -98 adalah era Internet Booming. Zaman dimana internet menjadi komoditas mewah, dan penuh dengan KEAJAIBAN.

Saya ingat, waktu SMP waktu komputer masih jarang. Di sebuah rental yang sudah hilang. Seorang pemuda bilang, “komputer adalah sebuah kotak ajaib dengan tombol-tombol yang bikin kita bisa melakukan apapun.” Mendengar kata-kata itu yang terbayang di otak saya adalah layar komputer adalah sebuah portal ke dunia cyber, macam Digimon.

Hahaha... Konyol!

Ok, kembali lagi ke The Matrix.

Film itu luar biasa, dan menjadi fondasi bagi karya-karya keren Hollywood di era 2000-an ke atas. Kita bisa terus dan terus melihat reinkarnasi dari The Matrix pada karya-karya Hollywood lain seperti Inception (Christopher Nolan), Sherlock Holmes (Guy Ritchie), Doctor Strange (Marvel), dan seterusnya. Termasuk John Wick juga.

Tapi bagaimana dengan di Indonesia.

The Matrix dengan Neo, terutama mengingatkan saya pada Cyber Avatar di Supernova: KPBJ. Dalam karya perdana dan fenomenalnya itu Dee Lestari sangat antusias bicara tentang cyberpunk. Dia bercerita tentang wanita jenius bernama Diva Anastasia. Wanita pemberontak yang menguasai nyaris semua informasi yang ada di kelas atas Jakarta. Begitu mandiri, begitu angkuh dan menakutkan.

Diva begitu liar, dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Dia seorang supermodel, sekaligus seorang high class prostitute, sekaligus hacker yang menciptakan sebuah situs internet fenomenal bernama Supernova. Kala itu internet masih jadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan menengah keatas Jakarta. Dan Supernova ada di sana. Dia menjadi sumber ilmu, sebagai sang pencerah yang membebaskan manusia-manusia yang terkurung dalam kehidupannya sendiri. Duet Ruben-Dhimas menyebut Diva sebagai Cyber Avatar. Turbulence yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Mengaplifikasi pikiran manusia tanpa hierarki, tanpa institusi, dan tanpa dogma apapun. Bla bla bla.. Fisika Kuantum.

Tapi nyatanya Supernova: KPBJ berakhir. Diva Anastasia menghilang ke Asko atau apalah itu namanya dan tidak pernah kembali. Dan internet menjadi barang yang tidak mewah lagi.

Di kasus ini saya melihat CyberAvatar Supernova nasibnya nggak jauh beda dengan konsep awal Facebook di film Social Network -Jesse Eisenberg. Facebook adalah jaringan eksklusif, hanya kamu yang punya email Harvard yang bisa bikin akun Facebook. Oh tidak, bukan begitu, ah tidak sial! Kita bisa mundur sedikit, dulu Friendster juga begitu. Hanya kamu yang punya email yang bisa bikin Friendster. Dan di era 90-an untuk punya email kamu harus punya uang, maksud saya kebanyakan email berbayar. Jadi, hanya kalangan menengah ke atas yang punya email, dan jelas hanya kalangan tersebut yang bisa mengakses ke internet yang mahal itu.

Harga internet dengan jaringan yang lambat waktu itu setara dengan kamu yang berlangganan 10 majalah di era itu. Jelas kelas menengah Jakarta lebih pilih berlangganan majalah daripada berlangganan internet. Tapi anak-anakmuda minta Nyokap-Bokapnya untuk pasang internet di rumah.

Hei, kita jadi ngalor ngidul begini.

Ok, kembali ke Facebook, hanya orang-orang yang punya email Harvard saja yang bisa mengakses Facebook. Jelas, kamu sangat-sangat keren kalau punya Facebook, pada waktu itu. 

Lalu Mark Zuckerberg punya ide lagi. Kita buat ini jadi besar.

Dia mulai dengan hanya anak-anak kuliah di Universitas-Universitas besar yang bisa mengakses Facebook. Lalu kemudian dia menyebar ke kampus-kampus lain di Negara-Negara dan seterusnya. Dulu saya juga pernah punya Facebook di tahun 2007. Dan asli tampilannya sangat berbeda dengan Facebook yang kamu lihat sekarang. Dan zaman itu Facebook masih sepi. Terus karena saya nggak ngerti cara menggunakannya, saya gak pakai lagi. Sampai tahun 2009 dimana teman-teman saya mulai ramai di Facebook.

Lalu dunia heboh dengan Twitter, kebanyakan teman-teman yang tadinya pakai Facebook pindah ke Twitter di tahun 2010an. Tapi, hei saya sudah punya Twitter sejak tahun 2007, hahaha.. Waktu jaringan itu masih sepi. Kemudian muncul nama-nama lain, seperti Instagram, Path, dan seterusnya. Kemunculan mereka juga seperti Facebook dengan cara eksklusif.

Dulu Instagram adalah social media khusus bagi kamu yang punya Iphone Apple. Jika kamu nggak punya Iphone, kamu nggak bisa akses Instagram. Asli, gagasan itu keren. Beda dengan Sosmed lain, kamu nggak bisa akses Instagram pakai PC atau Laptop, kamu harus kudu wajib punya Iphone pada waktu itu. Benar-benar cool eksklusif. Tapi kemudian penjualan Iphone kalah dari handphone android macam Samsung, lalu Instagram-pun membuka diri. Dia bisa diakses sama handphone android, bahkan hp android yang harga 500rb sekalipun. Dan zaman sekarang, lebih buruk lagi. Kamu bisa mengakses Instagram dari warnet manapun di seluruh penjuru Indonesia. Haha..Semakin ramai, semakin mainstream, dan semakin kehilangan eksklusifitasnya.

Hukum itu kelihatannya berlaku pada semua social media, dan Internet sebagai Sang Bunda.

Fenomena yang terjadi di social media saat ini mengingatkan saya dengan tulisan Om Eka Kurniawan, Corat-Coret di Toilet. Sebuah buku kumpulan cerpen, dengan cerpen utamanya yaitu Corat-Coret di Toilet sebagai judul sampulnya.

Ceritanya simpel, suatu ketika ada seorang mahasiswi yang kebelet pipis dan pergi ke toilet laki-laki. Dia melihat dinding toilet bersih banget, dia iseng menulis sesuatu di temboknya dengan lipstik yang dia kenakan. Setelahnya ada mahasiswa yang pergi ke toilet, dia melihat ada tulisan dari lipstik di dinding toilet, diapun menanggapi tulisan itu. Dan kemudian berlanjut lagi, ada mahasiswa lain dan seterusnya yang datang ke toilet menanggapi tulisan-tulisan di dinding tersebut. Makin lama makin banyak dan makin absurd. Hingga kemudian seorang dosen melihat tembok yang penuh coretan itu. Diapun meminta petugas mengecat tembok yang rusak dan kotor itu supaya terlihat bersih kembali. Dan tak lama, jadilah toilet itu bersih kembali. Tembok putih ada lagi di sana. Dan seorang mahasiswa iseng memulai sebuah tulisan. Lalu muncul lagi mahasiswa yang menulis dan seterusnya dan seterusnya.

Itupula yang terjadi pada social media sekarang. Dulu sih kamu bisa terlihat keren dan elit. Tapi sekarang, huh. Semua orang bisa punya social media. Semua orang tanpa batasan latar sosial, gender, suku, agama, ataupun usia. Sosmed dihuni beragam jenis manusia. Mulai dari yang kaya-raya sampai yang hidup susah matipun segan. Dari yang berintelektual tinggi sampai yang otaknya pas-pasan. Dan semua orang di sosmed ingin bicara sesuatu, ingin tampil dan terlihat menonjol, ingin narsis, ingin berteriak tanpa mau mendengar kata-kata orang lain. Jadilah, iya seperti corat-coret di tembok toilet.

Tapi saya yakin ada sebuah social media, atau jaringan internet khusus sedang dibuat saat ini. Jaringan ini diperuntukkan untuk kalangan khusus. Mereka yang eksklusif dan punya uang banyak. Namun kembali lagi, paradoks-nya kamu ingin punya banyak follower, tapi tak ingin kisah kamu menjadi absurd. Hahaha..

Dengan semua kekacauan ini, asli saya gregetan akan seperti apa legenda Cyber Avatar di masa depan. Bagaimana dia ingin mengendalikan milyaran orang yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana dia bisa mencerahkan, membimbing jalan yang benar kalau dia bukan manusia super. Saya membayangkan mungkin Cyber Avatar akan jadi semacam Ultron atau Skynet atau Jarvis, Artificial Inteligence yang mencoba merapihkan keabsurdan. Atau mungkin Cyber Avatar adalah Mr Anderson yang bisa membengkokkan besi dan menghentikan peluru di udara. Atau apalah itu, Cyber Avatar menurut saya adalah orang yang harus menekan tombol restart internet di seluruh dunia. Tapi jika itu yang terjadi, Neo akan berkata "Bullshit dengan the Matrix!"
.  .  .

Saturday, April 1, 2017

Apa yang saya tahu tentang '98

By Fitrah Tanzil


Pagi ini saya terbangun dengan kepingan-kepingan memori. Saya mencoba mengingat apa mimpi saya semalam.

Potongan yang saya lihat adalah adalah ITC Cipulir, dulu saya pernah bekerja di sana selepas SMA. Dulu sebelum SMA-pun saya juga pernah main ke sana. Tapi apa yang ada di mimpi saya tentang ITC Cipulir berbeda dengan apa yang di dunia nyata. Di dalam mimpi, tempat itu hanya bangunan yang sepi. Ada beberapa penjaga, tapi kebanyakan toko-tokonya tutup. Bukan tutup dengan rolling door, tapi tutup seolah tempat itu ditinggalkan.

Merunut ke masa lalu, dahulu ITC Cipulir adalah Matahari Mall Cipulir.

Dulu sebelum era Reformasi, tempat itu seperti CIlandak Town Square. Mall kecil yang lumayan bagus. Di lantai 2 terdapat Supermarket, di lantai 4 terdapat toko buku, dan di lantai 5 terdapat bioskop dan Timezone. AC-nya lumayan dingin, jalanannya bersih, dan toko-tokonya sangat teratur.

Saya ingat, waktu SD saya suka banget ke sana dengan Ibu dan Tante saya. Waktu itu bioskop masih mahal, dan kami biasanya cuma berakhir di Timezone dan makan es krim di McD. Dulu di sana, saya pertama kali kenal dengan Soul Calibur. Saya sangat kagum dengan video games itu, juga X-Men versus Street Fighter. Ah, Arcade.

Lalu kemudian datang kerusuhan '98

Kami tinggal di pinggiran Jakarta, dan jujur kami tidak terlalu mengalami apa yang disebut dengan peristiwa '98 itu. Yang saya tahu, semua orang tiba-tiba menjarah Matahari Cipulir. Tiba-tiba ludes semuanya jadi sebuah gedung rongsokan.

Lucunya, tetangga saya ikut menjarah di sana. Dia mengambil beberapa buku dan majalah serta handphone rusak. Dan dia menaruh barang jarahannya di samping rumah saya.

Kemudian, karena dia tak tahu harus dikemanakan itu barang-barang, dia juga nggak ngerti bagaimana menggunakannya, pada akhirnya barang-barang itu dijual ke tukang loak yang suka lewat di depan rumah kami.

Saya ingat seminggu kemudian saat masuk sekolah, seorang teman bertanya. "Lo ikut jarah?"

"Jarah?" saya nggak ngerti apa yang dia maksud. Ya, mungkin karena waktu itu masih SD.

"Iya, nyolong makanan di Mall," itu definisi polos teman saya.

"Oh, pernah sih ngambil permen," itu jawab saya dengan begitu bodoh.

Dari apa yang saya lihat dan rasakan sendiri di lingkungan saya. Peristiwa '98 sebenarnya nggak signifikan pada keluarga kami. Atau bisa dibilang, dampak itu berjalan lambat. Memang harga-harga barang naik, tapi tahun-tahun setelahnya harga barang juga terus naik. Semua orang di televisi bicara tentang krisis moneter bla bla bla.. dan jujur saya tidak mengerti apa yang mereka bicarakan. Krisis Ekonomi sesungguhnya, justru baru terjadi dalam keluarga saya di tahun 2001 di mana Ayah dan Ibu saya bercerai. Dan saya amati, peristiwa itu juga terjadi pada teman-teman saya lain 2000an ke atas, hahaha.. Krisis yang tertunda.