Tuesday, December 20, 2016

Serial Killer and Long Investigation

By Ftrohx


Artikel ini masih menyambung dengan judul artikel sebelumnya.

Ok, langsung saja. Karya-karya Dan Brown dan Jeffrey Deaver adalah buku fiksi Detektif yang pertama saya baca. Mereka menjadi fondasi bagi pemikiran saya, menjadi patokan saya melihat semesta fiksi Detektif.

Jadi ketika saya melihat buku yang mengambil tema Long Investigation, saya agak terganggu dengan cara penyelidikan si Detektif, apalagi penyelesaiannya. Kasus yang harusnya selesai satu bulan, kok dilama-lamain jadi satu tahun lebih. Kok kasus yang semudah ini tidak bisa dipecahkan? Ini mana Detektifnya?Masa fiksi Detektif seperti ini ngalor-ngidul, masa kebanyakan dramanya, ini mau bikin novel romance atau detektif, dan seterusnya. Asli gregetan sendiri.

Ada beberapa novel crime thriller yang seperti itu.

Si Detektif seolah tidak tahu sama sekali apa yang dia kerjakan. Padahal ada begitu banyak pengalaman, ada begitu banyak sejarah, ada begitu banyak referensi dari penulis-penulis lain dan generasi sebelumnya, tapi tidak dipakai oleh si Detektif. Ada novel Long Investigation yang seperti itu. Dan jujur itu buat saya benci dengan tipe novel seperti ini, Long Investigation. Namun saya salah, tidak semua novel dan fiksi bertema Long Investigation itu jelek. Ada beberapa yang sangat gemilang dan memberi pelajaran tersendiri untuk saya. Dua yang mencerahkan saya yaitu Career of Evil J K Rowling dan film Zodiac Jake Gylenhall.


Ok, sebelumnya saya mesti bahas dulu apa itu Long Investigation. Jika dilihat dari kecepatan si Detektif memecahkan kasus. Maka genre fiksi Detektif, saya bagi menjadi empat.

Pertama Blitz Investigation, seperti Blitz Chess permainan catur yang sangat cepat, maka begitupula dengan Blitz Investigation. Si Detektif begitu cepat memecahkan kasus, begitu banyak yang berputar di dalam semesta, dan si detektif buat penyelidikan kasus yang super-rumit pecah cuma dalam hitungan jam atau hari, maksimal tiga hari. Contoh Blitz Investigation adalah series Robert Langdon dan Lincoln Rhyme, mereka favorit saya.

Di Angels and Demon, Robert Langdon memecahkan kasus super-rumit cuma dalam waktu satu malam. Buku setebal 500 halaman lebih itu hanya bercerita tentang satu malam di kota Vatikan. Itu benar-benar gila, dan kita menikmatinya. Sedangkan Lincoln Rhyme memecahkan kasus Bone Collector dalam waktu 3 hari, iya novel setebal itu cuma bercerita tentang 3 hari penyelidikan sang Detektif, dan itu menjadi fondasi untuk projek tulisan saya.

Kedua Fast Investigation, adalah fiksi detektif dimana si Detektif memecahkan kasus dalam hitungan hari, maksimal seminggu kasus super-rumit dia pecahkan. Contoh untuk Fast Investigation adalah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot. Dua nama ini tak perlu lagi saya jelas gimana jenius dan cepatnya mereka dalam memecahkan sebuah kasus. Intinya baik Blitz dan Fast Investigation, menampilkan semesta di dalam otak si detektif bergerak begitu cepat, sangki cepat hingga membuat tulisan menjadi begitu padat, sehingga novel yang setebal 500 halaman menyajikan setting waktu beberapa jam saja. Dan ini menunjukkan betapa brilliantnya si penulis yang bisa merapatkan ruang dan waktu di dalam tulisannya.

Ketiga Medium Investigation, dimana si Detektif membutuhkan waktu mulai dari seminggu hingga beberapa bulan untuk memecahkan kasus. Medium Investigation biasa masuk ke genre Hardboiled seperti Big Sleep Phillip Marlow dan serial Detektif Gozali dari S Mara Gd. Medium mendekati kehidupan nyata, yang biasanya diisi dengan subplot romansa antara si Detektif dengan kliennya, dan semacamnya.

Keempat Long Investigation, disinilah Cormoran Strike Career of Evil dan Mr Graysmith dari Zodiac Murder berada. Penyelidikan berlangsung lama, dari hitungan bulan hingga tahunan. Dan iya sangat menyebalkan untuk saya. Tidak banyak fiksi detektif Long Investigation yang bisa saya nikmati, kecuali dua judul itu.


Kembali ke pembahasan utama Long Investigation.

Bertahun-tahun saya benci sama tipe fiksi Detektif seperti ini. Kok detektifnya lambat banget, kok kasusnya nggak pecah-pecah, kok dia susah banget membuktikannya. Padahal ujung-ujungnya bab akhirnya cuma begitu doang. Kenapa sih detektifnya dudul banget. Namun di Career of Evil dan Zodiac Murder (2007) mereka menyajikan hal-hal yang lain. Sesuatu yang lebih dari sekedar penyelidikan membosankan sang Detektif.

Seharian, saya mencoba merangkum ini. Apa sih kelebihan Career of Evil dan Zodiac Murder? Apa yang membuat cerita Long Investigation ini menarik? Apa sih kelebihan mereka dibanding Holmes dan Poirot yang Fast Investigation, ataupun Robert Langdon dan Lincoln Rhyme. Bagaimana mungkin penyelidikan yang begitu lambat, karakter Detektif yang terlalu lama mengumpulkan bukti, dan terlalu lama dipermainkan oleh penjahat. Bisa jadi detektif terkenal dan sejajar dengan nama-nama lain di atas.

Pertama Jenis Kasusnya.

Tidak ada pilihan terbaik menurut saya dalam tema penyelidikan jangka panjang selain dari pembunuhan berantai. Dua buku yang saya sebut, Career of Evil dan Zodiac Murder adalah pembunuhan berantai. Pelaku membunuh lebih dari satu orang, kemudian membunuh dan membunuh lagi tanpa bisa dihentikan oleh pihak yang berwajib. Pelaku begitu arogan dan menantang sang Detektif. Dan kita yang menontonnya begitu gregetan, Ayolah kamu bisa lebih dari ini, Ayo kamu bisa mengejarnya, kamu bisa menangkapnya. Tapi perjalanan terus berlanjut hingga ratusan halaman hingga kemudian kita sampai di bab puncaknya. Dimana si Detektif berhadapan secara langsung dengan sang pembunuh.

Kedua Subplot.

Dalam penyelidikan jangka panjang, subplot atau cerita sampingan sangat penting. Subplot bukan sekedar tambahan, tapi juga kekuatan dari novel-novel bertema Long Investigation. Subplot memberi jiwa bagi si karakter, jiwa yang bukan hanya mesin pemecah kasus superrumit. Subplot ini bisa bercerita tentang pekerjaan si Detektif, bisa tentang kehidupan keluarganya, kehidupan romansa, konflik dengan pacarnya, dan seterusnya. Jujur, saya lebih suka subplotnya Zodiac Murder, dia jauh lebih masuk akal untuk penyelidikan jangka panjang, karena protagonisnya, Graysmith adalah seorang ilustrator yang melakukan riset untuk buku non-fiksinya. Sebagai ilustrator, jelas dia hidup dari pekerjaan lain selain sebagai penyelidik kasus Zodiac. Sedangkan Career of Evil penyelidiknya adalah Detektif Swasta yaitu Cormoran Strike, rasanya terlalu alot untuk seorang Detektif Swasta cemerlang menyelesaikan sebuah kasus yang nggak terlalu rumit. tapi makan waktu yang sangat lama, hampir satu tahun. Harusnya dia bisa memecahkannya dalam waktu satu bulan, paling lama dua bulan dah. Sial, saya malah nawar. Haha..

Ketiga Pendalaman Karakter

Seperti semua buku fiksi, karakter haruslah unik dan tebal. Unik yang membuatnya terlihat seperti Elang yang terbang di angkasa, unik yang membuatnya terlihat seperti nyala api di padang rumput. Tebal yang membuatnya bisa selalu dikenang. Cormoran itu anak dari musisi Rock terkenal loh, atau Greysmith dia pernah jadi anggota boyscout, tepatnya Eagle Scout. Karakter yang unik yang membuatnya kita bisa melihat jelas siapa dia. Cara bicaranya, geraknya, pilihan katanya, bagaimana dia mengambil keputusan, metode apa yang dia pakai dalam penyelidikan, dan seterusnya.

Keempat penyuntingan.

Long Investigation, seperti namanya mengambil rentang waktu yang sangat panjang. Tentunya begitu banyak yang terjadi dalam kehidupan si tokoh selama satu tahun, jatuh-bangun, naik-turun, sedih, dan senang. Semua ada di sana. Tapi jelas kita tidak akan memaparkan semuanya dalam bentuk tulisan, apalagi sebuah film yang hanya berdurasi maksimal dua setengah jam. Itu tidak mungkin. Jadi penyuntingan adalah keputusan yang paling tepat. Di sini dituntut kecerdasaan si penulis untuk menempatkan mana bagian yang mesti dibuang dan yang mesti disajikan. Hebatnya di Zodiac, mereka mengambil potongan gambar dan adegan yang tepat. Peristiwa-peristiwa yang tidak penting dibuang, dan hanya bagian dari penyelidikan utama yang terus dan terus disajikan.

Terakhir, Konklusi Yang Hebat.

Bagian konklusi adalah bagian yang selalu dikenang oleh para pembaca. Bagian yang paling sulit untuk dibuat sekaligus bagian yang paling memukau pembaca. Bagaimana si penulis memaparkan bukti, bagaimana dia merangkai informasi demi informasi, fakta demi fakta yang saling berkait untuk menghantam si penjahat. Untuk penyelidikan jangka panjang, konklusi dengan metode fair-play hukumnya wajib. Dan syukurnya Cormoran series yang tebal itu cukup fair-play dengan membagi banyak petunjuk siapa penjahat sesungguhnya di bab-bab awal, meski kemudian informasi itu tersamarkan dengan para tersangka lainnya. Begitupula dengan Zodiac Murder meski tanpa eksekusi langsung ke si penjahat, tapi paparan deduksi dari Greysmith dan Detektif Toschi sangat tebal menurut saya.

Saya menulis artikel ini karena saya pengen belajar, kebanyakan tulisan yang saya bikin sekarang ini adalah jenis Fast Investigation. Tapi pengen juga suatu saat nanti saya bikin satu atau dua novel bertema investigation yang GRANDE, kayak Career of Evil atau Zodiac Murder. Mungkin dengan karakter Detektif Amatir.
.  .  .

Case Study: Zodiac Murder 2007

by Ftrohx


Menurut saya Zodiac (2007) adalah film drama kriminal terbaik di dekade ini. Terbaik karena nyaris, saya tidak menemukan yang sepadan dengan film ini selama sepuluh tahun terakhir. Masuk ke pertanyaan utama setelah menonton ini. Bagaimana lo membuat suatu karya? Sebuah cerita yang semua orang sudah tahu, tapi menjadi sesuatu yang besar. Dan GILAnya, film ini berhasil menyajikan itu.

Zodiac Murder 2007 adalah drama kriminal dengan tema Long Investigation, penyelidikan panjang melampaui waktu satu dekade. Namun kita bisa menikmatinya, seolah kita lupa bahwa cerita ini adalah penyelidikan panjang belasan tahun. Luar biasa, mereka luar biasa menyajikannya. Sedari awal saya bisa menikmati rasanya, ketegangnnya, kegilaan, serta metode investigasi para karakternya. Mungkin kembali lagi kata kuncinya adalah bukan plot, bukan genre, bukan metode investigasi ataupun kejutan. Melainkan PENYAJIANNYA.


Pertama, film ini disajikan dengan aktor-aktor yang luar biasa mahal. Ada Robert Downey Jr, Jake Gylenhall, dan Mark Ruffalo serta aktor dan aktris ternama lainnya. Saya berpikir seandainya, formasi aktor-aktornya bukan ini. Apakah Zodiac (2007) se-GRANDE sekarang. Saya yakin apa yang disajikan oleh Zodiac (2007) tidak seperti cerita aslinya. Melihat mereka, para aktor ini tidak memerankan sesuai dengan karakter asli dari kisah nyata Zodiac. Namun mereka menginterpretasikannya sendiri jadi sesuatu yang beda.

Paul Avery contohnya, jelas Robert Downey Jr. tidak berperan sebagai seorang jurnalis kriminal. Versi dia, lo bisa lihat karakter ini adalah Detektif yang menyamar jadi jurnalis kriminal. Dan RDJ terlalu bangsat untuk jadi seorang juru ketik di sebuah koran lokal, kita semua tahu itu. Begitu juga dengan Jake Gylenhall dan Mark Rufallo. Saya rasa, mereka adalah superhero yang menyamar menjadi manusia biasa. Saya melihat di sini kuncinya bukan pendalaman karakter, tapi bagaimana lo bikin karakter lo jadi BADASS karakter!

Kedua penyajian Cinematography. Sulit saya mendeskripsikan sajian visual mereka dengan kata-kata. Tapi yang saya sadari pasti bahwa visual dari Zodiac (2007) berbeda dengan tampilan drama kriminal lainnya. Saya menonton beberapa drama kriminal lain yang punya ide sama seperti ini, penyelidikan jangka panjang. Dan satu-dua klik gw sudah langsung bosan, menutup file-nya ataupun mengganti channel.

Tapi Zodiac (2007) beda dari mereka. Untuk beberapa saat saya seolah masuk ke dimensi lain. Saya berkunjung ke set film Inception, lalu ke Fight Club, lalu ke Dark Knight, kemudian ke Sherlock Holmes-nya Guy Ritchie. Visual yang disajikan membuat lo seolah ada di sana, lo bisa merasakan angin dingin yang menerpa Graysmith, lo bisa merasakan hujannya, lo bisa merasakan sulitnya bernapas di ruang bawah tanah, dan seterusnya. Selain dialog-dialognya yang hebat, close-shoot di film ini menyempurnakan adegannya. Gw suka saat Detektif Toschi dan dua rekannya mewawancari Arthur Leigh. Mulai dari adegan close-shoot ke wajah tersangka, lalu kemudian ke sepatunya, lalu ke jam tangannya. Seperti halnya para detektif yang ada di layar, penonton juga dibuat melonjak penasaran dengan close-shoot itu.

Ketiga, penyuntingan yang tepat. Maksud saya bukan setelah filmnya selesai dipotong-potong. Tapi jauh sebelumnya, si Penulis naskah tahu bagian mana dalam penyelidikan ini yang harus disajikan dan yang tidak disajikan. Penyelidikannya memang berlangsung panjang, namun si penulis fokus pada bagian yang full rush adrenaline. Bagian dimana si detektif begitu semangat mengejar kasusnya. Bagian dimana si pembunuh begitu dingin menghabisi targetnya. Dan bagian dimana para penyelidik mendapatkan petunjuk baru dan saling menyilang satu sama lain. Luar biasa. Orang-orang dibalik Zodiac (2007) benar-benar jenius, menurut gw dalam mengeksekusi cerita.

Keempat, Detektif yang tepat. Kadang saya nemuin permasalahan ini. Ada detektif yang hebat di tempat yang tidak tepat. Atau detektif yang tidak tepat di tempat yang hebat. Tapi di Zodiac Murder (2007) mereka punya detektif yang tepat di tempat yang tepat. Untuk premis penyelidikan jangka panjang, menurut saya paling tepat penyelidiknya adalah bukan profesional detektif, melainkan detektif amatir. Detektif yang memiliki pekerjaan lain selain sebagai detektif. Dan kita punya itu di film ini yaitu si kartunis Greysmith yang bekerja untu San Fransisco Chronicle. Disela-sela pekerjaannya sebagai kartunis untuk koran yang besar itu, dia melakukan penyelidikan tentang siapa Zodiac si pembunuh berantai.

Berbeda dengan full-time detektif seperti Sherlock Holmes dan Poirot, mereka berpengalaman dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan kasus. Yang membuat mereka dengan cepat tahu apa yang mesti mereka ambil, lebih dari itu mereka sudah jenius sedari awal, hingga memecahkan kasus dengan sangat efektif dan efisien bukanlah hal yang mustahil. Memecahkan kasus rumit dalam waktu seminggu adalah hal yang wajar untuk mereka, namun tidak wajar jika seorang full detektif, seperti Cormoran Misalnya memecahkan kasus yang molor lama hampir satu tahun, padahal dia sudah sangat berpengalaman dalam bidang itu. Harusnya dia bisa meng-CUT beberapa bagian dan langsung masuk ke deduksi dan eksekusi si pelaku.

Kelima, drama-drama penyelidikan. Film Zodiac memang bukan film untuk memecahkan kasus, namun drama penyelidikannya menurut saya sangat luar biasa. Saya sangat suka adegan dimana Paul Avery (Robert Downey Jr) berdebat dengan Dave Toschi (Mark Ruffalo) dibagian-bagian awal penyelidikan. Ruffalo menggambarkan Dave sebagai detektif polisi yang baik, dia terbuka terhadap para penyelidik dari wilayah lain untuk bekerjasama. Sedangkan Paul Avery adalah wartawan kriminal yang nyolot, otaknya penuh dengan teori konspirasi, dan dia tanpa segan bicara apapun yang dia mau di media. Jadilah mereka berdua saling bertentangan. Dave Toschi sendiri sangat frustasi dengan penyelidikannya yang tidak maju-maju, sedangkan Paul Avery mau tidak mau harus turun ke Vallejo gara-gara dirinya mendapat surat Hallowen dari Zodiac.

Terakhir, tentu anti-klimaksnya. Sebenarnya seluruh perjalanan film ini dari awal hingga akhir benar-benar grande menurut saya. Kita punya bukaan yang bagus, langsung masuk kasus penembakan yang juga menjadi kunci dari seluruh pembunuhan berantai yang berlangsung nyaris satu dekade itu. Kemudian masuk ke tengah ke bagian drama para penyelidik hebat mulai dari duet wartawan kriminal dan kartunis kutu buku, hingga ke Detektif Toschi yang nyentrik. Tapi anti-klimask saya tonton berulang-ulang, saya suka saat Greysmith menemukan fakta-fakta terakhir, tentang lokasi pelaku tinggal dan tanggal lahirnya yang cuma beda satu malam dengan kejadian pembunuhan. Dia memaparkannya dengan sangat serius di hadapan Detektif Toschi. Lalu kemudian BUKKK.. Antiklimaks, itu semua circumstantial, sedangkan yang kita butuhkan adalah bukti fisik. Antiklimaks di Zodiac sedikit banyak mengingatkan saya dengan antiklimaks di Detektif Colombo. Paparan deduksi sang detektif kepada si pelaku, lalu kemudian BUKKK.. masuk subtitle. Toschi juga menurut saya mirip dengan Detektif Colombo, senior saya bahkan pernah bilang, jika Colombo di remake Mark Rufallo akan sangat cocok untuk peran itu.
.  .  .

Saturday, December 3, 2016

Fiksi Fantasi vs Fiksi Detektif

by Ftrohx


Menonton Final Fantasy: Kingsglaive kemarin seolah menarik jiwa gw kembali ke masa lalu.


Dahulu, saya adalah penggemar berat fiksi fantasi. Saya nggak suka cerita Detektif, melihat wajah Conan Edogawa di televisi saja membuat saya bergumam. "Ah, membosankan!" Sedangkan Sherlock Holmes "Ah, ribet males gw bacanya"

Saya lebih suka fiksi fantasi. Saya lebih suka Dragon Ball, HunterXHunter, Naruto, dan Bleach.

Teman-teman saya banyak yang membicarakan cerita Detektif, entah Conan, DDS, Kindaichi, dan seterusnya. Namun saya tetap tidak tertarik. Sampai kemudian saya membaca Death Note. Darisana mata saya terbuka dan baru tertarik dengan fiksi Detektif. Haha.. Padahal anda tahu sendiri, Death Note bukan komik Detektif melainkan fiksi fantasy juga. Tapi kembali karena unsur Detektifnya kuat memberi saya fondasi yang keras di genre ini.

Sewaktu kecil saya sering berkhayal, seandainya saya memiliki kekuatan supranatural. Seandainya saya bisa mengendalikan cakra, seandainya saya menjadi seorang superhero. Khayalan-khayalan dibenak saya terus bertumpuk dan bertumpuk. Hingga suatu waktu saya mencoba menuliskannya. Sayangnya, kemampuan menulis saya pada saat itu sangat pas-pasan. Sehingga tidak mampu menuangkan apa yang dibenak saya ke dalam bentuk kata-kata.

Haha.. Ok, ini konyol.

Azra adalah karakter lama yang sudah ada dibenak saya, bahkan sebelum saya belajar mengetik. Dahulu Azra bukan Informan ataupun Detektif, melainkan sosok superhero. Saya berkhayal dia punya jurus bola energi seperti Rasengan-nya Naruto. Haha.. Tapi kemudian saya nggak bisa mengembangkannya.

Saya nggak bisa menuangkan adegan-adegan visual di otak gw ke dalam bentuk tulisan.

Pada saat itu saya bahkan nggak tahu, konflik apa yang cocok untuk Azra. Siapa musuh utama, dan seterusnya dan seterusnya. Begitupula dengan Lufin, dahulu saya berkhayal dia sebagai seorang Pyschometry atau Retrocognition. Dia bisa melihat masa lalu dari tempat atau benda yang dia sentuh. Huh, hidup jadi begitu mudah dengan kekuatan itu.

Nyaris saya nggak bisa mengembangkan konfilk untuk karakter-karakter itu.

Jadi, saya kembali belajar.

Saya buka-buka novel fiksi. Saya mulai membaca Sherlock, lalu kemudian Dan Brown, lalu Agatha Christie, dan seteruanya. Dan semuanya berubah. Oh disinilah kemahiran saya, menulis cerita mystery menulis fiksi detektif. Saya suka konflik yang rumit dan gw suka dengan pemecahan yang mengejutkan. Saya sangat suka plot twist, saya sangat suka sesuatu yang mendobrak nalar. Jadilah saya tenggelam di fiksi detektif. Hingga bikin novel Detektif atau yang kata seorang teman lebih ke crime thriller.

Meski begitu saya tetap suka dengan fiksi fantasi.

Saya tetap menonton film-film bertema itu dan kadang kalau sempat gw tetap membacanya, meski cuma Harry Potter. Saya berpikir, “Fiksi Fantasi ntuh bukan untuk orang seperti gw. Fiksi Fantasi itu untuk teman-teman yang bisa menggambar karena Fiksi Fantasi lebih banyak visual daripada kata-kata.” Sulit menggambarkan sebuah pertarungan yang epic dalam bentuk kata-kata.

Iya, jadilah saya seperti diri saya yang sekarang.

Saya lebih milih fiksi Detektif, karena lebih masuk akal, lebih nyata, lebih mudah dibuat dan terstruktur. Fiksi Detektif bisa dipelajari dengan rajin baca buku. Dengan belajar trik-trik dari para senior dan seterusnya. Sedangkan Fantasi, saya berpikir bahwa itu adalah sebuah anugrah. Sesuatu yang datangnya dari langit dan nggak bisa diajarkan. Fantasi butuh sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Dia butuh visual, dia butuh tata musik, dan rasa yang grande. Iya, nyaris mustahil untuk orang seperti saya.

Kemudian hasrat itu bangkit.

Saya menonton trailer Final Fantasy XV dari yang edisi lama thn 2006 sampai yang terbaru kemarin 2016. Saya membaca motto mereka. "This is a fantasy based on reality" dan "The figure that still lies asleep in fantasy"Kali ini mereka membuat mahakarya yang begitu dekat dengan dunia nyata. Bicara tentang Final Fantasy XV bisa jadi cerita panjang di sini. Namun hal utama yang saya rasakan adalah saya ingin kembali menulis fiksi fantasi. Saya berkhayal seandainya saya jadi bagian dari mereka, seandainya saya ikutan bikin projek seperti FF XV di Square Enix, iya betapa sebuah anugerah besar.

Oh iya bukan cuma FF XV yang membangkitkan hasrat saya dengan fiksi fantasi. Fantastic Beast and Where to Find Them juga. J K Rowling, dia kembali membangkitkan semesta Harry Potter. Juga kemarin membaca ulang beberapa chapter Naruto. Huh, mereka memukul kepala saya dengan ide. “Bagaimana jika Kingsglaive, Fantastic Beast, dan Negeri Konoha digabung jadi satu, betapa GILAnya! Haha..”

Mereka mengingatkan saya bahwa, fiksi fantasi begitu besar dan luas.

Lo bisa melakukan apapun yang lo mau dalam dunia fiksi fantasi lo. Lo bisa buat cerita tentang alien, tentang orang-orang punya kekuatan supranatural, tentang ninja, tentang penyihir. Lo bisa melakukan hal-hal ajaib tanpa perlu menjelaskan kenapa hal ajaib itu bisa terjadi.

Fakta bahwa kebanyakan hal-hal yang indah itu justru sesuatu yang tidak bisa kita jelaskan, bukan.
.  .  .