Tuesday, December 20, 2016

Serial Killer and Long Investigation

By Ftrohx


Artikel ini masih menyambung dengan judul artikel sebelumnya.

Ok, langsung saja. Karya-karya Dan Brown dan Jeffrey Deaver adalah buku fiksi Detektif yang pertama saya baca. Mereka menjadi fondasi bagi pemikiran saya, menjadi patokan saya melihat semesta fiksi Detektif.

Jadi ketika saya melihat buku yang mengambil tema Long Investigation, saya agak terganggu dengan cara penyelidikan si Detektif, apalagi penyelesaiannya. Kasus yang harusnya selesai satu bulan, kok dilama-lamain jadi satu tahun lebih. Kok kasus yang semudah ini tidak bisa dipecahkan? Ini mana Detektifnya?Masa fiksi Detektif seperti ini ngalor-ngidul, masa kebanyakan dramanya, ini mau bikin novel romance atau detektif, dan seterusnya. Asli gregetan sendiri.

Ada beberapa novel crime thriller yang seperti itu.

Si Detektif seolah tidak tahu sama sekali apa yang dia kerjakan. Padahal ada begitu banyak pengalaman, ada begitu banyak sejarah, ada begitu banyak referensi dari penulis-penulis lain dan generasi sebelumnya, tapi tidak dipakai oleh si Detektif. Ada novel Long Investigation yang seperti itu. Dan jujur itu buat saya benci dengan tipe novel seperti ini, Long Investigation. Namun saya salah, tidak semua novel dan fiksi bertema Long Investigation itu jelek. Ada beberapa yang sangat gemilang dan memberi pelajaran tersendiri untuk saya. Dua yang mencerahkan saya yaitu Career of Evil J K Rowling dan film Zodiac Jake Gylenhall.


Ok, sebelumnya saya mesti bahas dulu apa itu Long Investigation. Jika dilihat dari kecepatan si Detektif memecahkan kasus. Maka genre fiksi Detektif, saya bagi menjadi empat.

Pertama Blitz Investigation, seperti Blitz Chess permainan catur yang sangat cepat, maka begitupula dengan Blitz Investigation. Si Detektif begitu cepat memecahkan kasus, begitu banyak yang berputar di dalam semesta, dan si detektif buat penyelidikan kasus yang super-rumit pecah cuma dalam hitungan jam atau hari, maksimal tiga hari. Contoh Blitz Investigation adalah series Robert Langdon dan Lincoln Rhyme, mereka favorit saya.

Di Angels and Demon, Robert Langdon memecahkan kasus super-rumit cuma dalam waktu satu malam. Buku setebal 500 halaman lebih itu hanya bercerita tentang satu malam di kota Vatikan. Itu benar-benar gila, dan kita menikmatinya. Sedangkan Lincoln Rhyme memecahkan kasus Bone Collector dalam waktu 3 hari, iya novel setebal itu cuma bercerita tentang 3 hari penyelidikan sang Detektif, dan itu menjadi fondasi untuk projek tulisan saya.

Kedua Fast Investigation, adalah fiksi detektif dimana si Detektif memecahkan kasus dalam hitungan hari, maksimal seminggu kasus super-rumit dia pecahkan. Contoh untuk Fast Investigation adalah Sherlock Holmes dan Hercule Poirot. Dua nama ini tak perlu lagi saya jelas gimana jenius dan cepatnya mereka dalam memecahkan sebuah kasus. Intinya baik Blitz dan Fast Investigation, menampilkan semesta di dalam otak si detektif bergerak begitu cepat, sangki cepat hingga membuat tulisan menjadi begitu padat, sehingga novel yang setebal 500 halaman menyajikan setting waktu beberapa jam saja. Dan ini menunjukkan betapa brilliantnya si penulis yang bisa merapatkan ruang dan waktu di dalam tulisannya.

Ketiga Medium Investigation, dimana si Detektif membutuhkan waktu mulai dari seminggu hingga beberapa bulan untuk memecahkan kasus. Medium Investigation biasa masuk ke genre Hardboiled seperti Big Sleep Phillip Marlow dan serial Detektif Gozali dari S Mara Gd. Medium mendekati kehidupan nyata, yang biasanya diisi dengan subplot romansa antara si Detektif dengan kliennya, dan semacamnya.

Keempat Long Investigation, disinilah Cormoran Strike Career of Evil dan Mr Graysmith dari Zodiac Murder berada. Penyelidikan berlangsung lama, dari hitungan bulan hingga tahunan. Dan iya sangat menyebalkan untuk saya. Tidak banyak fiksi detektif Long Investigation yang bisa saya nikmati, kecuali dua judul itu.


Kembali ke pembahasan utama Long Investigation.

Bertahun-tahun saya benci sama tipe fiksi Detektif seperti ini. Kok detektifnya lambat banget, kok kasusnya nggak pecah-pecah, kok dia susah banget membuktikannya. Padahal ujung-ujungnya bab akhirnya cuma begitu doang. Kenapa sih detektifnya dudul banget. Namun di Career of Evil dan Zodiac Murder (2007) mereka menyajikan hal-hal yang lain. Sesuatu yang lebih dari sekedar penyelidikan membosankan sang Detektif.

Seharian, saya mencoba merangkum ini. Apa sih kelebihan Career of Evil dan Zodiac Murder? Apa yang membuat cerita Long Investigation ini menarik? Apa sih kelebihan mereka dibanding Holmes dan Poirot yang Fast Investigation, ataupun Robert Langdon dan Lincoln Rhyme. Bagaimana mungkin penyelidikan yang begitu lambat, karakter Detektif yang terlalu lama mengumpulkan bukti, dan terlalu lama dipermainkan oleh penjahat. Bisa jadi detektif terkenal dan sejajar dengan nama-nama lain di atas.

Pertama Jenis Kasusnya.

Tidak ada pilihan terbaik menurut saya dalam tema penyelidikan jangka panjang selain dari pembunuhan berantai. Dua buku yang saya sebut, Career of Evil dan Zodiac Murder adalah pembunuhan berantai. Pelaku membunuh lebih dari satu orang, kemudian membunuh dan membunuh lagi tanpa bisa dihentikan oleh pihak yang berwajib. Pelaku begitu arogan dan menantang sang Detektif. Dan kita yang menontonnya begitu gregetan, Ayolah kamu bisa lebih dari ini, Ayo kamu bisa mengejarnya, kamu bisa menangkapnya. Tapi perjalanan terus berlanjut hingga ratusan halaman hingga kemudian kita sampai di bab puncaknya. Dimana si Detektif berhadapan secara langsung dengan sang pembunuh.

Kedua Subplot.

Dalam penyelidikan jangka panjang, subplot atau cerita sampingan sangat penting. Subplot bukan sekedar tambahan, tapi juga kekuatan dari novel-novel bertema Long Investigation. Subplot memberi jiwa bagi si karakter, jiwa yang bukan hanya mesin pemecah kasus superrumit. Subplot ini bisa bercerita tentang pekerjaan si Detektif, bisa tentang kehidupan keluarganya, kehidupan romansa, konflik dengan pacarnya, dan seterusnya. Jujur, saya lebih suka subplotnya Zodiac Murder, dia jauh lebih masuk akal untuk penyelidikan jangka panjang, karena protagonisnya, Graysmith adalah seorang ilustrator yang melakukan riset untuk buku non-fiksinya. Sebagai ilustrator, jelas dia hidup dari pekerjaan lain selain sebagai penyelidik kasus Zodiac. Sedangkan Career of Evil penyelidiknya adalah Detektif Swasta yaitu Cormoran Strike, rasanya terlalu alot untuk seorang Detektif Swasta cemerlang menyelesaikan sebuah kasus yang nggak terlalu rumit. tapi makan waktu yang sangat lama, hampir satu tahun. Harusnya dia bisa memecahkannya dalam waktu satu bulan, paling lama dua bulan dah. Sial, saya malah nawar. Haha..

Ketiga Pendalaman Karakter

Seperti semua buku fiksi, karakter haruslah unik dan tebal. Unik yang membuatnya terlihat seperti Elang yang terbang di angkasa, unik yang membuatnya terlihat seperti nyala api di padang rumput. Tebal yang membuatnya bisa selalu dikenang. Cormoran itu anak dari musisi Rock terkenal loh, atau Greysmith dia pernah jadi anggota boyscout, tepatnya Eagle Scout. Karakter yang unik yang membuatnya kita bisa melihat jelas siapa dia. Cara bicaranya, geraknya, pilihan katanya, bagaimana dia mengambil keputusan, metode apa yang dia pakai dalam penyelidikan, dan seterusnya.

Keempat penyuntingan.

Long Investigation, seperti namanya mengambil rentang waktu yang sangat panjang. Tentunya begitu banyak yang terjadi dalam kehidupan si tokoh selama satu tahun, jatuh-bangun, naik-turun, sedih, dan senang. Semua ada di sana. Tapi jelas kita tidak akan memaparkan semuanya dalam bentuk tulisan, apalagi sebuah film yang hanya berdurasi maksimal dua setengah jam. Itu tidak mungkin. Jadi penyuntingan adalah keputusan yang paling tepat. Di sini dituntut kecerdasaan si penulis untuk menempatkan mana bagian yang mesti dibuang dan yang mesti disajikan. Hebatnya di Zodiac, mereka mengambil potongan gambar dan adegan yang tepat. Peristiwa-peristiwa yang tidak penting dibuang, dan hanya bagian dari penyelidikan utama yang terus dan terus disajikan.

Terakhir, Konklusi Yang Hebat.

Bagian konklusi adalah bagian yang selalu dikenang oleh para pembaca. Bagian yang paling sulit untuk dibuat sekaligus bagian yang paling memukau pembaca. Bagaimana si penulis memaparkan bukti, bagaimana dia merangkai informasi demi informasi, fakta demi fakta yang saling berkait untuk menghantam si penjahat. Untuk penyelidikan jangka panjang, konklusi dengan metode fair-play hukumnya wajib. Dan syukurnya Cormoran series yang tebal itu cukup fair-play dengan membagi banyak petunjuk siapa penjahat sesungguhnya di bab-bab awal, meski kemudian informasi itu tersamarkan dengan para tersangka lainnya. Begitupula dengan Zodiac Murder meski tanpa eksekusi langsung ke si penjahat, tapi paparan deduksi dari Greysmith dan Detektif Toschi sangat tebal menurut saya.

Saya menulis artikel ini karena saya pengen belajar, kebanyakan tulisan yang saya bikin sekarang ini adalah jenis Fast Investigation. Tapi pengen juga suatu saat nanti saya bikin satu atau dua novel bertema investigation yang GRANDE, kayak Career of Evil atau Zodiac Murder. Mungkin dengan karakter Detektif Amatir.
.  .  .

Case Study: Zodiac Murder 2007

by Ftrohx


Menurut saya Zodiac (2007) adalah film drama kriminal terbaik di dekade ini. Terbaik karena nyaris, saya tidak menemukan yang sepadan dengan film ini selama sepuluh tahun terakhir. Masuk ke pertanyaan utama setelah menonton ini. Bagaimana lo membuat suatu karya? Sebuah cerita yang semua orang sudah tahu, tapi menjadi sesuatu yang besar. Dan GILAnya, film ini berhasil menyajikan itu.

Zodiac Murder 2007 adalah drama kriminal dengan tema Long Investigation, penyelidikan panjang melampaui waktu satu dekade. Namun kita bisa menikmatinya, seolah kita lupa bahwa cerita ini adalah penyelidikan panjang belasan tahun. Luar biasa, mereka luar biasa menyajikannya. Sedari awal saya bisa menikmati rasanya, ketegangnnya, kegilaan, serta metode investigasi para karakternya. Mungkin kembali lagi kata kuncinya adalah bukan plot, bukan genre, bukan metode investigasi ataupun kejutan. Melainkan PENYAJIANNYA.


Pertama, film ini disajikan dengan aktor-aktor yang luar biasa mahal. Ada Robert Downey Jr, Jake Gylenhall, dan Mark Ruffalo serta aktor dan aktris ternama lainnya. Saya berpikir seandainya, formasi aktor-aktornya bukan ini. Apakah Zodiac (2007) se-GRANDE sekarang. Saya yakin apa yang disajikan oleh Zodiac (2007) tidak seperti cerita aslinya. Melihat mereka, para aktor ini tidak memerankan sesuai dengan karakter asli dari kisah nyata Zodiac. Namun mereka menginterpretasikannya sendiri jadi sesuatu yang beda.

Paul Avery contohnya, jelas Robert Downey Jr. tidak berperan sebagai seorang jurnalis kriminal. Versi dia, lo bisa lihat karakter ini adalah Detektif yang menyamar jadi jurnalis kriminal. Dan RDJ terlalu bangsat untuk jadi seorang juru ketik di sebuah koran lokal, kita semua tahu itu. Begitu juga dengan Jake Gylenhall dan Mark Rufallo. Saya rasa, mereka adalah superhero yang menyamar menjadi manusia biasa. Saya melihat di sini kuncinya bukan pendalaman karakter, tapi bagaimana lo bikin karakter lo jadi BADASS karakter!

Kedua penyajian Cinematography. Sulit saya mendeskripsikan sajian visual mereka dengan kata-kata. Tapi yang saya sadari pasti bahwa visual dari Zodiac (2007) berbeda dengan tampilan drama kriminal lainnya. Saya menonton beberapa drama kriminal lain yang punya ide sama seperti ini, penyelidikan jangka panjang. Dan satu-dua klik gw sudah langsung bosan, menutup file-nya ataupun mengganti channel.

Tapi Zodiac (2007) beda dari mereka. Untuk beberapa saat saya seolah masuk ke dimensi lain. Saya berkunjung ke set film Inception, lalu ke Fight Club, lalu ke Dark Knight, kemudian ke Sherlock Holmes-nya Guy Ritchie. Visual yang disajikan membuat lo seolah ada di sana, lo bisa merasakan angin dingin yang menerpa Graysmith, lo bisa merasakan hujannya, lo bisa merasakan sulitnya bernapas di ruang bawah tanah, dan seterusnya. Selain dialog-dialognya yang hebat, close-shoot di film ini menyempurnakan adegannya. Gw suka saat Detektif Toschi dan dua rekannya mewawancari Arthur Leigh. Mulai dari adegan close-shoot ke wajah tersangka, lalu kemudian ke sepatunya, lalu ke jam tangannya. Seperti halnya para detektif yang ada di layar, penonton juga dibuat melonjak penasaran dengan close-shoot itu.

Ketiga, penyuntingan yang tepat. Maksud saya bukan setelah filmnya selesai dipotong-potong. Tapi jauh sebelumnya, si Penulis naskah tahu bagian mana dalam penyelidikan ini yang harus disajikan dan yang tidak disajikan. Penyelidikannya memang berlangsung panjang, namun si penulis fokus pada bagian yang full rush adrenaline. Bagian dimana si detektif begitu semangat mengejar kasusnya. Bagian dimana si pembunuh begitu dingin menghabisi targetnya. Dan bagian dimana para penyelidik mendapatkan petunjuk baru dan saling menyilang satu sama lain. Luar biasa. Orang-orang dibalik Zodiac (2007) benar-benar jenius, menurut gw dalam mengeksekusi cerita.

Keempat, Detektif yang tepat. Kadang saya nemuin permasalahan ini. Ada detektif yang hebat di tempat yang tidak tepat. Atau detektif yang tidak tepat di tempat yang hebat. Tapi di Zodiac Murder (2007) mereka punya detektif yang tepat di tempat yang tepat. Untuk premis penyelidikan jangka panjang, menurut saya paling tepat penyelidiknya adalah bukan profesional detektif, melainkan detektif amatir. Detektif yang memiliki pekerjaan lain selain sebagai detektif. Dan kita punya itu di film ini yaitu si kartunis Greysmith yang bekerja untu San Fransisco Chronicle. Disela-sela pekerjaannya sebagai kartunis untuk koran yang besar itu, dia melakukan penyelidikan tentang siapa Zodiac si pembunuh berantai.

Berbeda dengan full-time detektif seperti Sherlock Holmes dan Poirot, mereka berpengalaman dari ratusan atau bahkan mungkin ribuan kasus. Yang membuat mereka dengan cepat tahu apa yang mesti mereka ambil, lebih dari itu mereka sudah jenius sedari awal, hingga memecahkan kasus dengan sangat efektif dan efisien bukanlah hal yang mustahil. Memecahkan kasus rumit dalam waktu seminggu adalah hal yang wajar untuk mereka, namun tidak wajar jika seorang full detektif, seperti Cormoran Misalnya memecahkan kasus yang molor lama hampir satu tahun, padahal dia sudah sangat berpengalaman dalam bidang itu. Harusnya dia bisa meng-CUT beberapa bagian dan langsung masuk ke deduksi dan eksekusi si pelaku.

Kelima, drama-drama penyelidikan. Film Zodiac memang bukan film untuk memecahkan kasus, namun drama penyelidikannya menurut saya sangat luar biasa. Saya sangat suka adegan dimana Paul Avery (Robert Downey Jr) berdebat dengan Dave Toschi (Mark Ruffalo) dibagian-bagian awal penyelidikan. Ruffalo menggambarkan Dave sebagai detektif polisi yang baik, dia terbuka terhadap para penyelidik dari wilayah lain untuk bekerjasama. Sedangkan Paul Avery adalah wartawan kriminal yang nyolot, otaknya penuh dengan teori konspirasi, dan dia tanpa segan bicara apapun yang dia mau di media. Jadilah mereka berdua saling bertentangan. Dave Toschi sendiri sangat frustasi dengan penyelidikannya yang tidak maju-maju, sedangkan Paul Avery mau tidak mau harus turun ke Vallejo gara-gara dirinya mendapat surat Hallowen dari Zodiac.

Terakhir, tentu anti-klimaksnya. Sebenarnya seluruh perjalanan film ini dari awal hingga akhir benar-benar grande menurut saya. Kita punya bukaan yang bagus, langsung masuk kasus penembakan yang juga menjadi kunci dari seluruh pembunuhan berantai yang berlangsung nyaris satu dekade itu. Kemudian masuk ke tengah ke bagian drama para penyelidik hebat mulai dari duet wartawan kriminal dan kartunis kutu buku, hingga ke Detektif Toschi yang nyentrik. Tapi anti-klimask saya tonton berulang-ulang, saya suka saat Greysmith menemukan fakta-fakta terakhir, tentang lokasi pelaku tinggal dan tanggal lahirnya yang cuma beda satu malam dengan kejadian pembunuhan. Dia memaparkannya dengan sangat serius di hadapan Detektif Toschi. Lalu kemudian BUKKK.. Antiklimaks, itu semua circumstantial, sedangkan yang kita butuhkan adalah bukti fisik. Antiklimaks di Zodiac sedikit banyak mengingatkan saya dengan antiklimaks di Detektif Colombo. Paparan deduksi sang detektif kepada si pelaku, lalu kemudian BUKKK.. masuk subtitle. Toschi juga menurut saya mirip dengan Detektif Colombo, senior saya bahkan pernah bilang, jika Colombo di remake Mark Rufallo akan sangat cocok untuk peran itu.
.  .  .

Saturday, December 3, 2016

Fiksi Fantasi vs Fiksi Detektif

by Ftrohx


Menonton Final Fantasy: Kingsglaive kemarin seolah menarik jiwa gw kembali ke masa lalu.


Dahulu, saya adalah penggemar berat fiksi fantasi. Saya nggak suka cerita Detektif, melihat wajah Conan Edogawa di televisi saja membuat saya bergumam. "Ah, membosankan!" Sedangkan Sherlock Holmes "Ah, ribet males gw bacanya"

Saya lebih suka fiksi fantasi. Saya lebih suka Dragon Ball, HunterXHunter, Naruto, dan Bleach.

Teman-teman saya banyak yang membicarakan cerita Detektif, entah Conan, DDS, Kindaichi, dan seterusnya. Namun saya tetap tidak tertarik. Sampai kemudian saya membaca Death Note. Darisana mata saya terbuka dan baru tertarik dengan fiksi Detektif. Haha.. Padahal anda tahu sendiri, Death Note bukan komik Detektif melainkan fiksi fantasy juga. Tapi kembali karena unsur Detektifnya kuat memberi saya fondasi yang keras di genre ini.

Sewaktu kecil saya sering berkhayal, seandainya saya memiliki kekuatan supranatural. Seandainya saya bisa mengendalikan cakra, seandainya saya menjadi seorang superhero. Khayalan-khayalan dibenak saya terus bertumpuk dan bertumpuk. Hingga suatu waktu saya mencoba menuliskannya. Sayangnya, kemampuan menulis saya pada saat itu sangat pas-pasan. Sehingga tidak mampu menuangkan apa yang dibenak saya ke dalam bentuk kata-kata.

Haha.. Ok, ini konyol.

Azra adalah karakter lama yang sudah ada dibenak saya, bahkan sebelum saya belajar mengetik. Dahulu Azra bukan Informan ataupun Detektif, melainkan sosok superhero. Saya berkhayal dia punya jurus bola energi seperti Rasengan-nya Naruto. Haha.. Tapi kemudian saya nggak bisa mengembangkannya.

Saya nggak bisa menuangkan adegan-adegan visual di otak gw ke dalam bentuk tulisan.

Pada saat itu saya bahkan nggak tahu, konflik apa yang cocok untuk Azra. Siapa musuh utama, dan seterusnya dan seterusnya. Begitupula dengan Lufin, dahulu saya berkhayal dia sebagai seorang Pyschometry atau Retrocognition. Dia bisa melihat masa lalu dari tempat atau benda yang dia sentuh. Huh, hidup jadi begitu mudah dengan kekuatan itu.

Nyaris saya nggak bisa mengembangkan konfilk untuk karakter-karakter itu.

Jadi, saya kembali belajar.

Saya buka-buka novel fiksi. Saya mulai membaca Sherlock, lalu kemudian Dan Brown, lalu Agatha Christie, dan seteruanya. Dan semuanya berubah. Oh disinilah kemahiran saya, menulis cerita mystery menulis fiksi detektif. Saya suka konflik yang rumit dan gw suka dengan pemecahan yang mengejutkan. Saya sangat suka plot twist, saya sangat suka sesuatu yang mendobrak nalar. Jadilah saya tenggelam di fiksi detektif. Hingga bikin novel Detektif atau yang kata seorang teman lebih ke crime thriller.

Meski begitu saya tetap suka dengan fiksi fantasi.

Saya tetap menonton film-film bertema itu dan kadang kalau sempat gw tetap membacanya, meski cuma Harry Potter. Saya berpikir, “Fiksi Fantasi ntuh bukan untuk orang seperti gw. Fiksi Fantasi itu untuk teman-teman yang bisa menggambar karena Fiksi Fantasi lebih banyak visual daripada kata-kata.” Sulit menggambarkan sebuah pertarungan yang epic dalam bentuk kata-kata.

Iya, jadilah saya seperti diri saya yang sekarang.

Saya lebih milih fiksi Detektif, karena lebih masuk akal, lebih nyata, lebih mudah dibuat dan terstruktur. Fiksi Detektif bisa dipelajari dengan rajin baca buku. Dengan belajar trik-trik dari para senior dan seterusnya. Sedangkan Fantasi, saya berpikir bahwa itu adalah sebuah anugrah. Sesuatu yang datangnya dari langit dan nggak bisa diajarkan. Fantasi butuh sesuatu yang lebih dari sekedar kata-kata. Dia butuh visual, dia butuh tata musik, dan rasa yang grande. Iya, nyaris mustahil untuk orang seperti saya.

Kemudian hasrat itu bangkit.

Saya menonton trailer Final Fantasy XV dari yang edisi lama thn 2006 sampai yang terbaru kemarin 2016. Saya membaca motto mereka. "This is a fantasy based on reality" dan "The figure that still lies asleep in fantasy"Kali ini mereka membuat mahakarya yang begitu dekat dengan dunia nyata. Bicara tentang Final Fantasy XV bisa jadi cerita panjang di sini. Namun hal utama yang saya rasakan adalah saya ingin kembali menulis fiksi fantasi. Saya berkhayal seandainya saya jadi bagian dari mereka, seandainya saya ikutan bikin projek seperti FF XV di Square Enix, iya betapa sebuah anugerah besar.

Oh iya bukan cuma FF XV yang membangkitkan hasrat saya dengan fiksi fantasi. Fantastic Beast and Where to Find Them juga. J K Rowling, dia kembali membangkitkan semesta Harry Potter. Juga kemarin membaca ulang beberapa chapter Naruto. Huh, mereka memukul kepala saya dengan ide. “Bagaimana jika Kingsglaive, Fantastic Beast, dan Negeri Konoha digabung jadi satu, betapa GILAnya! Haha..”

Mereka mengingatkan saya bahwa, fiksi fantasi begitu besar dan luas.

Lo bisa melakukan apapun yang lo mau dalam dunia fiksi fantasi lo. Lo bisa buat cerita tentang alien, tentang orang-orang punya kekuatan supranatural, tentang ninja, tentang penyihir. Lo bisa melakukan hal-hal ajaib tanpa perlu menjelaskan kenapa hal ajaib itu bisa terjadi.

Fakta bahwa kebanyakan hal-hal yang indah itu justru sesuatu yang tidak bisa kita jelaskan, bukan.
.  .  .

Monday, November 21, 2016

Para Bangsat di SMA

by Ftrohx


SMA itu cuma 3 tahun, tapi dampaknya seumur hidup lo. Beberapa orang nggak bisa move on dari masa SMA mereka. Beberapa orang menjadi pendendam termasuk saya sendiri dengan masa SMA. Ok langsung saja di bawah ini adalah karakter-karakter bangsat yang ada di SMA.


1. Light Yagami (Death Note)


Kita semua mengenalnya. Dia karakter utama di Death Note.

Sosok anti-hero yang diciptakan oleh Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata. Seorang High Machiavellian, Delusional Granduer, dan Sociopath Murni. Dia ingin mengubah dunia, dia ingin menciptakan dunia baru dan menjadi Dewa di atasnya. Membawa dunia dari kegelapan ke jalan yang terang bendera, dengan sebuah buku yang dapat mencabut nyawa orang ditulis di atas kertasnya.

Diawal-awal Light Yagami tidak seperti itu. Dia hanya siswa SMA biasa yang keblinger pinter. Anak dari seorang komisaris Polisi di Tokyo. Punya cita-cita kuliah hukum dan bekerja di pemerintah. Hanya itu. Kita nggak banyak tahu tentang masa lalunya. Mungkin dia kebanyakan baca novel Doestoyevsky. Yang pasti gw iri dengan Light Yagami dengan kharismanya dengan arogansinya dan kesombongannya. Gw berharap gw bisa jadi seperti dia sewaktu SMA atau setidaknya gw jadi L. Lawliet yang bisa menyeimbangi dia. Hahaha..


2. Hiyama Ren (Lost Brain)



Bagaimana jika ada seseorang dengan kecerdasaan dan arogansi seperti Light Yagami, namun dia tidak punya Death Note. Apa solusinya untuk mengubah dunia secara instan dan cepat.

Lalu dia menemukan satu cara menarik, caranya tadinya dia tidak percaya itu ada, yaitu hipnotis. Hiyama Ren jenius, dia bisa segalanya dan menguasai segalanya di sekolah. Dia jago dalam segala bidang olahraga, dan dia selalu sempurna dalam nilai-nilai akademik. Selalu bisa menaklukan apapun di sekolah. Sehingga dia merasa sendirian di puncaknya, tidak memiliki siapapun atau dimiliki oleh siapapun.

Hiyama begitu boring dengan hidup dan dunianya.

Sampai kemudian dia datang ke sebuah acara praktek hipnotis yang diadakan oleh Kounji Itsuki.Dia terpesona dengan hipnotis, bahwa dengan kemampuan itu dia bisa mengubah orang. Diapun berlatih dan mempraktekannya sendiri.  Hingga satu tahun kemudian dia punya rencana besar dengan menggunakan metode hipnotis yang ekstrim. Dia ingin mengendalikan membebaskan hati semua, menggerakkan dunia ke arah yang baru, dan menjadi Maharaja di atasnya. Atau bisa dibilang Hiyama Ren adalah Light Yagami dari semesta yang lain.


3 Fujimaru Takagi (Bloody Monday)



Ide awalnya simpel, buat sesuatu yang besar dan grande yang bisa setara dengan Death Note.

Apa yang bisa dilakukan anakmuda untuk menjadi hebat, menjadi legenda seperti Detektif L. dan Light Yagami. Tentu saja buat profil yang besar, berlebih-lebihan meski kenyataan si penulis ngga mampu melakukan hal itu. Tapi profil dasar bisa jadi segelanya karena itulah si penulis menciptakan Takagi Fujimaru.

Seorang anak kelas 1 SMA yang jeniusnya nggak ketulungan.

Baru kelas 1 SMA tapi dia sudah jadi legenda, asli profilnya berlebihan banget meski untuk sebuah plot yang kacrut. Tapi mau begimana lagi, lo mesti bikin sensasi untuk menarik pembaca. Takagi Fujimaru adalah hacker tingkat Dewa yang sering membantu Intelijen Jepang. Reputasinya sangat tinggi sampai-sampai dia bisa meng-hack satelit dan menghentikan senjata nuklir yang akan meledak. Sama seperti dua karakter sebelumnya. Bocah SMA ini terlalu sempurna, ganteng, jenius, dan cool selalu. Sangat menyebalkan dan membuat gw iri.


4. Akashi Seijiro (Kuroko no Basket)



Dia adalah kapten basket dari Kyoto Rakuzan.

Tapi lebih dari itu Akashi Seijiro juga adalah ketua OSIS-nya. Yang menguasai dan mengendalikan semua ekskul di sekolahnya. Juara dibidang akademi sekaligus olahraga. Monster karena dia adalah mantan ketua dari Kiseki no Sedai. Dia punya aura yang menakutkan setara dengan Light Yagami. Punya mata monster dan setiap orang harus berjalan tunduk di hadapannya. Dia bermain basket untuk membunuh atau membunuh untuk bermain basket, sama sajalah. Seperti Light Yagami, Akashi juga selalu bicara absolutisme.

Dia selalu cool, sadis, dan garang. Tidak pernah melakukan kesalahanpun, tidak pernah berperilaku konyol apalagi bertindak bodoh. Sangat-sangat bangsat. Dari kata-kata yang selalu dikutipnya, Akashi Seijiro sangat terinspirasi dengan Il Prince-nya Machiaveli. Dia menganggap dirinya Napoleon di bidang Basket di serial Kurobas. Hahaha.. Main basket seperti membunuh orang.


5. Namaryu Kanade (Platinum End)



Nah ini adalah anak terbaru dari Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata.

Dari style gambarnya, gw melihat Takeshi Obata membuat dia sebagai cowok cantik yang muncul di komik-komik Shojo. Cowok yang dibuat secara instan untuk menaklukan pembaca cewek. Tapi soal karakternya sendiri, menurut gw si Kanade ini lebih mirip Akashi Seijiro dari Rakuzan daripada Light Yagami dari Death Note.

Kanade seperti empat karakter sebelumnya adalah seorang anak SMA super.

Dia terlahir dari keluarga kaya-raya, dia sangat cerdas di bidang akademik, dan sangat hebat di bidang olahraga. Dia sangat arogan, delusional granduer, dan ingin memenangkan tahta sebagai Dewa dalam pertarungan God Candidate. Dari malaikatnya, Kanade mendapatkan sayap plus dua panah untuk mengendalikan dan untuk membunuh manusia. Plus dia juga mendapatkan tambahan sayap dan panah dari God Candidate lain yang telah dia bunuh.

Tapi se-bangsat apapun Kanade. Menurut gw dia tidak memiliki mental sekuat Light Yagami. Karena bodohnya diaturan komik Platinum Endi ini, setiap God Candidate adalah orang-orang yang putusasa dengan hidupnya dan memutuskan untuk bunuh diri. Dalam hal ini itu bagian memalukan dari menjadi God Candidate.


Nb: sebenarnya gw ingin memasukan Sasuke Uchiha dalam daftar ini, tapi karena Sasuke nggak masuk SMA, jadi kita lewatkan saja dia. Haha..


Thursday, November 10, 2016

Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh

Final Fantasy Kingsglaive
By Ftrohx

Tulisan dibawah ini mengandung banyak spoiler


Sang Ksatria

Adalah Nyx Ulric, seorang prajurit Kingsglaive dari kerajaan Sihir Lucius. Kerajaan yang damai dimana hampir semua orang bisa mengendalikan api, kristal, dan petir. Namun kerena keajaibannya Kerajaan Lucius terus diserang oleh Niflheim, sebuah kekaisaran militer yang terus melebarkan sayapnya untuk menguasai dunia. Niflheim menginginkan Kristal Inti yang menjaga Kerajaan Lucius.


Kristal ajaib yang membuat Insomnia, Ibukota Lucius memiliki tembok raksasa yang tak tertembus meriam apapun. Semua orang tahu legendanya. Bahwa kekuataan kristal lebih dari itu. Bukannya hanya sebagai alat pertahanan namun juga sebagai senjata yang tak terkalahkan. Niflheim menginginkannya untuk mengubah dunia. Dan si Ksatria Nyx Ulric, berada ditengah perang itu. Nyx menjadi kuat karena kekuatan kristal dari Regis - Raja Lucius. Namun sang Komandan Dratus selalu memperingatkan si Ksatria bahwa kekuatan sihirnya hanyalah pinjaman dari sang Raja. Tanpa kekuatan dari sang Raja mereka tak ada apa-apanya dibanding manusia biasa.

Setelah pertempuran besar Nyx kembali ke Insomnia. Sebuah kota yang sangat megah dan selalu sibuk, penuh dengan cahaya, gedung-gedung bertingkat, dan mahakarya seni tingkat tinggi yang tak ternilai harganya. Mereka menyebutnya Insomnia - negeri yang tak pernah tidur. Di pusatnya terdapat bangunan raksasa yang terbentuk dari 4 menara. Di tengahnya lah terdapat Kristal Inti Kerajaan Lucius. Kristal yang selama berabad-abad melindungi negeri mereka dari serangan-serangan musuh.

Ksatria punya kisah sendiri, sebuah cerita yang tragis. Nyx Ulric adalah seorang imigran. Negeri asalnya sudah hancur oleh Niflheim. Si Ksatria berada di Lucius untuk membela Rajanya sekaligus untuk membalas dendam pada Niflheim yang telah membunuh keluarganya. Ksatria hidup sendiri, melihat potongan-potongan kesedihan yang tertempel di kamar kontrakannya sempit. Sambil menggenggam api, dia berharap masa depan negerinya menjadi lebih baik.

Sayangnya di pagi itu. Sang Raja mengumumkan hal penting, bahwa mereka akan menandatangi gencatan senjata dengan Kaisar Niflheim. Bahwa semua wilayah diluar tembok Insomnia akan jadi bagian dari Kekaisaran Militer tersebut. Sontak seluruh ksatria Kingsglaive marah. Semua yang mereka perjuangkan selama ini. Semua pertempuran dengan darah dan air mata seolah sia-sia dengan keputusan sang Raja. Nyx ingin memberontak keputusan tersebut. Namun ternyata sang Raja memiliki rencana lain dibalik itu.


Sang Putri

Adalah Princess Luna Freya of Tenebrae. Seorang Putri dengan kulit seputih gading dan rambut pirang seperti emas. Sempurna untuk kekasih yang hanya bisa kamu khayalkan yang tinggal di atas langit. Luna Freya terpenjara di negerinya sendiri, Tenebrae. Yang dua belas tahun lalu telah ditaklukan oleh Kekaisaran Niflheim. Mereka menaklukan kerajaan Tenebrae namun tanpa membunuh sang Putri, karena mereka tahu bahwa menurut ramalan kuno, sang Putri akan menjadi pemimpin dari dunia yang baru. Jikalau Niflheim, membunuh sang Putri maka mereka merusak keseimbangan dunia. Untuk itu kekaisaran menahannya selama mungkin untuk sebuah plot yang lebih besar.

Di pagi setelah berita datangnya kekaisaran Niflheim ke Insomnia disitupulalah sang Putri muncul. Luna Freya yang selama ini dikira sudah mati oleh King Regis ternyata masih hidup. Begitupula dengan rencana dahulu akan pernikahan sang Putri dengan Pangeran Noctis of Lucius akan bisa dilanjutkan.

Kedatangan mereka langsung disambut baik oleh King Regis of Lucius di singgasana emasnya. Sang Putri menunjukan tata kramanya sebagai seorang bangsawan begitu juga dengan sang Raja yang berkata dengan lembut.

"Saya mohon bergabunglah dengan Pangeran Noctis, susulah dia," ujar sang Raja.

Namun tuan Putri berkata. "Tidak yang mulia kemanapun saya pergi kekaisaran Niflheim akan terus mengikuti. Dan itu akan sangat membahayakan keselamatan Pangeran. Karena itu sudah jadi kewajiban saya untuk melindungi Pangeran dan memenuhi takdirnya."

Beuh, what a words from the Princess. "Lalu takdir kamu?" tanya sang Raja.

"Takdir saya adalah memenuhi kewajiban saya," ujar sang Putri dengan lantang.


Bintang Jatuh

Adalah dua entitas yang menjadi satu melindungi kerajaan Lucius yaitu King Regis dan Cincin Kristal Hitam. King Regis sang Raja tua yang menunggu detik-detik keruntuhannya, dan Cincin Kristal Hitam sang Permata yang memiliki kekuatan gaib untuk menaklukan dunia. Sayangnya, kekuatan cincin hitam itu terus menghancurkan tubuh rua sang Raja. Seperti stratosphere yang membakar benda langit yang jatuh ke bumi.

King Regis sudah tahu, umurnya tidak akan lama lagi. Begitupula dengan kerajaannya. Jadi dia membuat rencana dengan mengeluarkan Pangeran Noctis menjauh dari Insomnia. Lebih dari itu dia melihat ke masa depan. Bahwa kekejaman yang diperbuat oleh Niflheim tidak akan berarti apa dengan pembalasan dendam sang Pangeran. Karena itu disaat penandatangan perjanjian damai. King Regis berkata. "Apa yang mereka curi pasti akan kembali, karena begitulah takdirnya."

Perang hujan darah pun pecah tepat di tengah penandatanganan perjanjian damai. Niflheim berbuat curang dengan menempatkan bom di tengah-tengah gedung utama. King Regis menggunakan kekuatannya kristal yang berubah menjadi belasan pedang. Namun kekuatan itu tak cukup untuk melawan hujan peluru dan bom. Lalu maut datang untuknya dalam wujud monster besi bernama Jenderal Glauc, si Mesin pembunuh yang sangat kuat dan tidak mempan dengan sabetan petir. Para menteri yang ada di sana tewas begitupula para pengawal dari sang Raja. Hanya Regis yang berdiri sendirian saat tangannya ditebas dan cincin kristal hitam itu jatuh di lantai.


Fabula Nova Chrystallis

Cincin Kristal Hitam jatuh dan diambil oleh Ravus Nox Fluet dari Tenebrae. Sebagai pangeran sekaligus bangsawan yang memiliki darah ksatria dia sangat yakin bisa memiliki kekuatan dari cincin tersebut. Sayangnya si Cincin Hitam tidak mau menerimanya sebagai tuan yang baru. Justru kekuatan itu membakar tubuh Ravus. Cincin kembali bergulir dan kali ini jatuh ke tangan Princess Luna Freya yang datang ke sana bersama dengan si Ksatria Nyx Ulric.

Sementara itu sang Raja sekarat. Dia tidak dapat berbuat apa-apalagi selain memcipta tembok kristal untuk membantu mereka meloloskan diri. Kematian tragis sang Raja yang ditebas dari belakang oleh si Iblis Jenderal Glauc. Tapi kisah belum berakhir. Pasukan kekaisaran menyerbu masuk dari seluruh penjuru langit. Gedung-gedung hancur diledakan oleh meriam raksasa dari kapal perang udara Niflheim.

Sang Putri dan si Ksatria mencoba bertahan hidup dengan terus berlari dan berlari dari kejaran para pasukan kekaisaran. Sementara itu kenyataan pahit setelah kematian sang Raja. Bahwa semua Ksatria Kingsglaive kehilangan kekuatannya. Kini Nyx Ulric tak lebih hanya manusia biasa yang dengan mudahnya bisa berdarah dan mati. Tapi dengan segala keterbatasan manusia-nya, sang Ksatria tetap berusaha melindungi dan menyelamatkan sang Putri dari Iblis Glauc.

Hingga satu titik langkah mereka berhenti. Si Ksatria dijebak oleh kawannya sendiri sesama Kingsglaive. Satu demi satu peluru menembus tubuhnya. Si Ksatria nyaris hilang asa, sang Putri tak dapat ditolong. Namun si Putri cukup pintar dia menjebak lawannya untuk menggunakan Cincin Kristal Hitam yang justru membunuh pengkhianat tersebut. Tapi kejutan lain menanti di bawah. Sang Komandan Kingsglaive muncul yang ternyata tak lain adalah orang dibalik topeng Iblis Glauc. Dialah dalangnya, dialah penjahat yang menghancurkan Lucius, dialah pengkhianat yang membunuh sang Raja dan menghancurkan Insomnia dari dalam ulu hatinya sendiri.

Disaat paling buruk ini si Ksatria tak dapat berbuat apa-apa kecuali menjualnya sendiri untuk Cincin Kristal Hitam. "Apa tidak ada yang memberitahumu, akulah pahlawan di tempat ini," ujarnya sedetik sebelum dia mangambil cincin itu.

Duniapun berubah menjadi hitam dan gelap. Di hadapan si Ksatria berdiri para leluhur Raja-Raja Lucius yang terdahulu. Mereka menolak Nyx Ulric yang mengenakan cincin tersebut. Nyx bukanlah seorang bangsawan atau keturunan Raja. Namun si Ksatria bersikukuh, dia menginginkan kekuatan untuk bisa melindungi Insomnia dan orang-orang yang dia cintai termasuk sang Putri, apapun harganya aku rela termasuk menjual nyawaku. Para Iblis itu tertawa dan mereka memberikan Nyx Ulric kekuatan dengan syarat hidupnya tak lebih dari sang Surya terbit.

Waktu yang berhentipun kembali berputar dengan sebuah tebasan tepat dimuka si Ksatria. Ajaib, dia menahan tebasan itu hanya dengan satu tangan, dan tangannya yang lain melempar Jenderal Glauc dengan semburan petir. Benar-benar luar biasa. Tapi dia tahu kekuatan itu ada batasannya, karena itu dia meminta Tuan Putri untuk pergi dari Insomnia dan menemukan Pangeran Noctis.


Rasanya tidak perlu ada lagi yang saya jelaskan di sini.
Sisanya bisa ada tonton sendiri film paling EPIC di tahun 2016 ini. Final Fantasy XV Kingsglaive.

.  .  .

Tuesday, November 8, 2016

Izanami, Agamotto, dan Kutukan Closed Loop

by Ftrohx


Peringatan tulisan dibawah ini mengandung banyak spoiler.


Ok kemarin saya baru nonton Dr. Strange dan iya banyak hal ajaib yang terjadi di film itu. Memang kebanyakan bukan hal yang baru bagi saya. Sebelumnya, saya ingin menyatakan bahwa saya bukan fansnya Benedict Cumberbatch. Asli saya haters-nya mungkin sejak dia heboh muncul di serial Sherlock Holmes BBC One. Saya benci dia atau lebih tepatnya serial tersebut, meski belakangan suka kepo sama Sherlock itu. Tapi iya saya lebih suka versi Robert Downey Jr.

Lalu tiba-tiba Cumberbatch muncul di film Star Trek 2. Beuh mengejutkan dan sosoknya benar-benar berbeda dari Sherlock BBC One. Lalu kemudian dia muncul di Immitation Games menjadi Alan Turing. What the fckk... Dan saya pikir wah nih orang Nicholas Saputra Inggris kali ya. Dan jujur saya haters Nicholas Saputra atau iya lebih tepatnya mungkin karena saya iri sama NicSap yang selalu cool itu.



Sementara saya sendiri tidak pernah punya karakter seperti itu. Hahaha.. Tanda-tanda sangat IRI.

Tapi pas nonton film ini Dr. Strange, pandangan saya terhadap Cumberbatch berubah. Oh ternyata dia ngga songong-songong banget iya. Dia ngga seperti Nicholas Saputra. Cumberbatch adalah Cumberbitch, dia memang aneh dan sok cool. Tapi ngga selalu cool. Dia berani untuk terlihat jelek dan menghancurkan imagenya sendiri. Haha.. Asli gw suka artis yang kayak gini. Dibanding peran-peran Cumberbatch sebelumnya, Dr. Strange adalah karakter yang paling pas yang pernah dia perankan. Nicholas Saputra memang cool tapi dia ngga akan bisa selucu Cumberbatch berperan sebagai Dr. Strange. Haha.. Di sini kelebihannya.


Singkat cerita, sore kemarin gw nonton film ini di XXI CBD. Kebanyakan yang nonton adalah anak SMA dan beberapa ibu-ibu. Kebanyakan dari mereka yang gw lihat, wajahnya bukanlah penggemar Cumberbatch. Beda kayak waktu gw nonton AADC 2 (ok jujur gw nonton film itu karena terpaksa sekalian waktu itu nonton Civil War) Saat itu beberapa menit tayang dan muncul wajah si NicSap, para penonton wanita ini pada jerit-jerit.

Sementara pas gw nonton film ini - saat Cumberbatch muncul tampilan mereka biasa aja. Yang mengartikan bahwa mungkin ini film Cumberbatch pertama yang mereka tonton. Atau mereka ngga ngeh kalau orang yang ada di layar itu sudah main banyak film Hollywood. Tapi yang gw lihat mereka enjoy banget saat nonton filmnya. Enjoy yang dalam artian tidak berlebihan. Kebanyakan dari mereka tertawa saat muncul adegan-adegan konyol. Dan gw pun ikut tertawa ngelihat kebahagian para penonton di sini. Membuat gw lupa kalau (dulu) gw haters nya Cumberbatch. Haha..


Tentang plot film

Apa yang ditampilkan dalam film ini sebenarnya tidak ada yang baru. Tapi yang gw salut di bagian-bagian awal kuat penceritaannya. Bagaimana si dokter ini hidup. Apa yang dia jalani sehari-hari. Apa yang dia miliki. BOOM! Kecelakaan yang sangat parah dengan visual yang keren. Tangan si dokter rusak karena pecahan besi dan kaca yang menacap di sana. Tangannya memang sembuh dan tak perlu diamputasi. Namun dia tidak bisa melakukan pekerjaannya lagi sebagai dokter bedah syaraf karena tangannya terus bergetar. Jangankan memegang pisau bedah, memegang pensil untuk menulis pun dia sulit.

Lalu perjalanannya dimulai.

Perjalanan si dokter ke dunia timur ini sekilas mengingatkan saya dengan perjalanan Bruce Wayne di Batman Begins-nya Om Christoper Nolan. Lalu dia sampai di sebuah kuil dan bertemu dengan Ancient One si biksu wanita itu. Diapun dilatih oleh Ancient One untuk bisa mengendalikan chakra dan memulihkan kembali tangannya. Yups, bagi seorang anak yang besar di tahun 2000an pasti ingat banget scene dimana Neo dilatih oleh Morpheos di film The Matrix. Dan bagian-bagian pertemuan Dr. Strange dengan Ancient One ini mengingatkan gw akan film itu. Seolah mungkin tribute untuk film itu, hahaha.. The Matrix. Mulai dari set tempatnya hingga adegan melayangnya Dr. Strange ke dunia astral / jatuh ke lubang kelinci yang sangat-sangat dalam. Scene itu The Matrix banget. Tapi plus dikasih signature khas Marvel warna-warni yang indah. Kayak yang pernah lo lihat di film Guardian of Galaxy. Mungkin art director atau cinematography-nya sama. Iya Team CGI-nya maksud saya.


Apalagi iya catatan pentingnya. Oh iya humornya.

Di sini Cumberbatch banyak ngelawak dan asik kalau kamu nonton rame-rame film ini. Jadi gw ngga mau spoiler tentang lawakan-lawakannya. Hahaha..

Lompat ke bagian musuhnya.

Yang jadi musuhnya ntuh keren, Mad Mikelson yang jadi Hannibal the series. Tapi seperti kritik teman-teman. Kok kurang greget ya, harusnya mereka bisa memaksimalkan lagi penggunaan si tokoh villian ini. Sayangnya ya terlalu cepat berlalu. Bukan berarti Dokter Strange lebih kuat, namun porsi si penjahat di cerita ini kurang. Atau lebih gw bilang, film ini memang dibuat untuk menceritakan asal-usul Dr. Strange bukan tentang aksi-aksinya menyelamatkan dunia. Mungkin next time kali dia bakal lebih banyak beraksi. Atau mungkin si penjahat ini akan balik lagi ke bumi di film Marvel Infinity War. Iya, bersiap-siap saja.

Terlalu banyak ngalor-ngidul saya hampir lupa dengan judul yang saya buat di atas. Izanami, Agamoto, dan kutukan Closed Loop.

Ini bagian yang penting dan heboh dari Dr. Strange 2016. Singkat cerita Agamoto adalah batu pembalik waktu. What the fckk. Kenapa gw ngomong "Batu Pembalik Waktu"  Sinting GIla Miring Sableng. Iya, dua atau mungkin tiga dekade yang lalu. Bastian Tito sudah pernah nulis mitologi tentang hal itu "Batu Pembalik Waktu" dalam novel Wiro Sableng versus Hantu Setan Langit, kalau saya ngga salah ingat. Gw sendiri bertanya-tanya jika mitologi batu itu memang ada sejak dahulu. Apa jangan-jangan batu itu memang sudah ada sejak dahulu. Seperti rhima di Lord of The Ring. Sebuah fakta menjadi sejarah, sebuah sejarah menjadi mitos, sebuah mitos menjadi legenda, dan legenda hanya menjadi dongeng. Bagaimana jika dongeng itu beneran ada. Aaaaaaaa..


Tapi bukan hanya tentang "Batu Pembalik Waktu"

Ini juga tentang jurus mata Izanami. Nah loh bingung kan lo? Bagi yang pernah baca Naruto chapter berapa itu gw lupa. Saat pertarungan antara Zombie Itachi dengan Kabuto. Itachi menggunakan jurus terlarang yaitu Izanami. Yang merupakan jurus mata terkutuk yang digunakan untuk menghentikan klan Uchiha yang menggunakan jurus Sharingan Izanagi. Jurus Izanami menciptakan Closed Loop, yaitu sebuah dimensi, dimana ruang dan waktu berputar sama. Terulang dan terulang sama hingga waktu yang tanpa batas. Kecuali orang yang berada di dalam sana menyerah dengan keinginannya.

Itu yang terjadi pada Kabuto. Dia membelah tubuh Itachi. Dan Itachi menyatuh lagi seperti semula. Kabuto mengeluarkan jurus lagi. Dan Itachi menangkal jurus tersebut. Berulang dan berulang. Kejadian yang dan kembali ke posisi awal. Satu-satunya hal yang bisa dia lakukan untuk keluar dari Closed Loop itu adalah jika Kabuto menyerah pada Itachi. Menyerah dan membuang ego serta jurusnya. Sesuatu yang sama dengan mati merobek perut sendiri untuk seorang ksatria. Tapi pada akhirnya dia sampai pada batasnya dan menyerah melepaskan jurusnya.

Begitupula yang terjadi pada Sorcerer Supreme Dr Strange. Dia berhadapan dengan Dormamun dan minta berunding. Namun Dormamun membunuhnya. Lalu kemudian Dr Strange muncul lagi dan Dormamun membunuhnya. Lalu kemudian terulang lagi dan lagi. Hingga Sang Iblis itu menyerah dan membuat kesepakatan dengan Dr Strange. Iya, Neraka Closed Loop, Neraka yang berulang-ulang yang bahkan membuat orang yang menyiksa lamannya tersebut kelelahan karena tinggal di waktu yang sama dan dimensi yang sama selama-lamanya. Hingga dia menyerah dan melepaskan egonya. Entah gw sendiri ngga tahu asal-usul jurus ini. Neraka Closed Loop, apakah dari mitologi barat ataukah dari dunia timur. Mungkin gw akan menyelidiki ini lagi nanti.


Hampir lupa, satu lagi scene dunia cermin.

Bahwa ada sebuah dunia tersendiri dibalik cermin. Dimensi yang sama seperti yang kita lihat di sini. Hanya saja di sana semuanya terbalik. Dan tidak ada manusia di sana. Sehingga kita bisa berbuat apapun di sana. Menghancurkan apapun yang kita mau tanpa ada rasa khawatir. Ide tentang dunia cermin ini sudah ada lama. Bahkan di cerita Doraemon pun ada. Begitupula dengan film nya NIcholas Cage the Socerer Apprantince. Iya dan kali ini mereka kembali ke sana. Plus ide yang lebih gila lagi. Bagaimana jika ditambahkan dengan bumbu membengkokkan gedung dan jalan-jalan ala Inception. Dan mereka benar-benar melakukannya.

Kamu yang menonton akan secara seperti naik roller coster. Semua yang kamu lihat yang harusnya normal di atas atau di bawah diputar balikan. Luar biasa. Ugh, rasanya tidak perlu ada yang saya tambahkan lagi. Jadi baiknya kamu nonton saja. Hahaha..


Point saya kasih untuk film ini.

Untuk plot cerita 72 lah, standar. Para aktor yang bermain 81 ini akting terbaiknya Cumberbatch. CGI-nya 87 keren banget pokoknya. Totalnya kalian hitung sendiri. Hahaha..

Nb: ilustrasi dari irmonline.com

.  .  .

Sunday, July 17, 2016

Bicara tentang cerpen, cerbung/novelet, dan novel detektif

By Ftrohx

Fiksi detektif itu terdiri dari banyak genre, asli saya menyukai semuanya. Baik itu locked room mystery, hardboiled, detektif klasik, fair-play, clueless mystery, dan seterusnya. Tapi saya sendiri nggak membedakan fiksi detektif berdasarkan genre-nya. Saya membedakan fiksi detektif berdasarkan kuantitasnya. Jumlah kata yang mereka gunakan yaitu cerpen, cerbung/novelet, dan novel detektif.

Ok, langsung saja masuk pembahasan.


Cerpen Detektif

Bagi saya, cerpen detektif adalah fiksi detektif yang dibangun dengan kuantitas antara 1000 sampai 3000 kata. Namun beberapa ada yang lebih dari itu hingga 4ribu bahkan 5ribu kata. Untuk saya standar cerpen detektif yaitu 2000-an kata.

Jujur, bagi saya (personal) cerpen detektif adalah yang tersulit diantara semua jenis fiksi detektif. Tidak mudah untuk membuatnya, karena kasus kriminal di dunia nyata tidak bisa dipecahkan dengan 2000-an kata. Ada banyak konsolidasi, ada banyak detektif, banyak rasionalisasi, dan runut logika. Dan itu nggak bisa saya buat dengan hanya 3 halaman.

Teman-teman penulis yang bermain di jenis ini 'Cerpen Detektif' biasanya adalah anak-anakmuda yang jago/hobi tebak-tebakan. Biasanya mereka meramu permainan tebak-tebakan dengan cerita kriminal pembunuhan. Mereka membuat misteri dengan singkat tanpa banyak detail, lalu si detektifpun mengejar si pelaku dengan cepat. Hingga membawa pembaca ke puncak cerita, sebuah konklusi yang tanpa basa-basi dan langsung menonjok pembaca. "Kok, bisa ya?" atau "Saya nggak kepikiran akan hal itu." Hahaha...

Dari banyak yang saya baca, selain konklusi yang cepat. Biasanya cerpen detektif menyajikan cerita kriminal yang minim akan motivasi si pelaku pembunuhan. Teman-teman penulis biasanya fokus pada misteri, tebak-tebakan bagaimana aksi pembunuhan itu terjadi dan bagaimana cara pelaku meloloskan diri. Hal-hal teknis terutama.

Rekomendasi, banyak cerpen detektif di luar negeri, terutama dari klasik seperti Sherlock Holmes ataupun Golden Age seperti karya-karya Agatha Christie. Tapi untuk Indonesia, favorit saya adalah Kasus di Lantai 5 karya Fandi Sido. Memang banyak yang mengkritik cerpen ini sebagai non-fair play detective, meski begitu cerpen ini sangat menginspirasi saya. Cerpen Fandi Sido lain yang layak dicermati adalah Lukisan Jenderal Raib, ini cerpen pertama yang membuat saya kenal dengan Fandi. Dan Kasus Asisten, ini cerita detektif yang ke arah fiksi-fantasi.

Sedangkan yang saya baca belakangan ini adalah Persembunyian Iblis Bayangan karya Fadli Abbas, cerpennya cukup panjang 5K kata dan fan tiction memang karena bercerita tentang Auguste Dupin. Selain dua nama diatas ada Irfan Nurhadi dan karya-karyanya di weblog Teka-Teki Detektif. Saya lupa judul-judulnya, tapi yang khas dari Irfan adalah membagi cerpennya menjadi dua bagian, pertama adalah cerpen yang memaparkan misteri pembunuhan dan kedua adalah pemecahannya. Ini yang khas dari dia yang membuat weblog-nya punya banyak viewers, hahaha..


Cerbung/Novelet Detektif

Tuk ukuran Indonesia, biasanya ketika kamu nulis cerpen bersambung lebih dari dua cerpen sudah masuk kategori cerbung. Atau dengan kuantitas antara 7ribu sampai 12ribu kata.  Sedangkan untuk novelet ukurannya mencapai antara 15ribu sampai 30ribu kata. Sebenarnya itu sedikit sih, di luar negeri ukuran novelet maksimal mencapai 50ribu kata. Tapi untuk Indonesia ukuran 50ribu kata sudah masuk sebuah novel standar.

Untuk cerbung/novelet, biasanya teman-teman penulis detektif membuat kasus yang berjalan panjang, long investigation. Penyelidikan bisa berlangsung antara beberapa hari, minggu, bahkan bulan. Berbeda dengan cerpen detektif yang lebih banyak main deduksi/tebak-tebakan.

Cerbung atau novelet biasanya bermain dengan para saksimata. Si detektif akan bertanya pada si A, si B, si C, dan seterusnya. Layaknya penyelidikan di dunia nyata, kita dibawa dalam prosedural penyelidikan. Berjalan dari satu informasi ke informasi yang lain. Si penulis memberi banyak kesempatan bagi pembaca untuk menebak siapa pelakunya. Banyak petunjuk bertebaran diantara para saksi ataupun terduga pelaku tentang siapa penjahat sebenarnya. Istilah sahabat saya genre ini disebut fair-play detective. Tapi tergantung penulisnya juga, misalkan dia terlalu fokus pada kejutan ataupun plot twist biasanya ceritanya nggak fair-play sih, hahaha...

Dibanding dengan cerpen detektif, sebenarnya saya lebih suka cerbung detektif. Jujur, untuk saya lebih mudah menulis cerbung detektif daripada cerpennya. Cerpen, kamu harus memaparkan teka-teki pembunuhan dengan singkat dan padat, sedangkan cerbung kamu bisa memainkannya drama penyelidikan yang bikin pembaca penasaran. Apa sih yang akan terjadi di halaman selanjutnya? Bagaimana cerita selanjutnya? dan seterusnya dan seterusnya. Satu lagi yang kusuka dari menulis cerbung detektif adalah saat saya bermain dengan para saksi. Ini bagian asik meski kamu menulis nama-nama para saksi, kadang kamu akan terkejut sendiri apa yang mereka kata setelah kamu menulis keseluruhan ceritanya. Hahaha..

Rekomendasi, pengetahuan saya sebenarnya masih sedikit di dunia fiksi detektif.

Tapi yang paling saya rekomendasikan bagi teman-teman pembaca pemula adalah karya-karya Fandi Sido yaitu serial Detektif Adam Yafrizal. Fandi sangat berhasil dengan cerita bersambungnya itu. Dua judul favorit saya dari Fandi Sido adalah Kasus Kematian Ganda dan Kasus Tujuh Surat. Untuk detektif luar, bagi yang sudah bosan dengan Sherlock dan Hercule Poirot saya rekomendasikan cerita bersambung dari Dr. Thorndyke. Wikipedia menyebutnya short-stories, tapi kamu tahulah apa yang jadi short-stories di luar negeri sana adalah cerita bersambung (yang panjang) untuk ukuran orang Indonesia.


Novel Detektif

Inilah bagian yang sangat-sangat langka di Indonesia. Di luar negeri begitu banyak novel detektif, tapi di sini saya sendiri hampir lupa satu judulpun. Mereka bilang ada novel detektif Indonesia berjudul "Gagak Hitam" karya Sidik Nugroho sayangnya saya belum membaca buku itu. Dan buku itu juga terlihat sangat tipis apalagi jika dibandingkan dengan novel detektif luar seperti Career of Evilnya Robert Galbraith. Untuk yang ini saya gak bisa banyak komentar.

Untuk ukuran Indonesia novel standar itu dimulai dari angka 30ribu kata hingga 50ribu kata. Itupun ukuran 50ribu kata sudah sangat besar bagi orang Indonesia. Tentu saja beda dibandingkan luar negeri yang angka 50ribu kata masih masuk novelet, di luar sana standar sebuah buku disebut novel jika masuk ke angka 100ribu kata. Beberapa novel kriminal bahkan ada yang saya temukan mencapai nyaris 200ribu kata.

Bicara tentang novel detektif Indonesia sendiri, teman-teman saya lebih suka menyebut nama-nama lama, seperti S Mara Gd. V Lestari, Kapten Gozali, dan seterusnya. Saya sendiri sebenarnya belum pernah baca novel-novel itu, tapi kata teman-teman mereka seperti buku-bukunya Agatha Christie hanya saja lebih ringan dan dibuat dengan setting di Indonesia 70an.

Sedangkan untuk luar negeri, novel detektif sangat banyak. Saya sendiri hanya mengenali mungkin secuilnya saja. Saya baca nama-nama BESAR itu Sherlock Holmes, Agatha Christie, Robert Galbraith yang sedang heboh itu, dan Dan Brown jika serial Robert Langdon-nya bisa dimasukkan dalam kategori detektif. Untuk yang Hardboiled, saya sempat baca Big Sleep dari Raymond Chandler. Lalu Maltese Falcon karya D. Hammet. Untuk klasik saya pernah baca Crime and Punishment juga Women in White, tapi hanya sekelebat-kelebat saja karena terlalu tebal. Hahaha…

Bicara favorit, selain Holmes yang terbaik menurut saya adalah serial Amelia Butterworth karya Anna K. Green, sangat saya rekomendasikan. Sedangkan saat ini saya lagi suka-sukanya dengan novel detektif Jepang. Kemarin saya baru dikirimin teman Tattoo Murder Case karya Akimitsu Takagi, satu buku sebelum karya-nya Tokyo Zodiac Murder yang fenomenal itu. Saya juga sangat terinspirasi dengan novel-novelnya Keigo Higashino terutama Devotion Suspect X aka. Perfect Number, sekarang saya masih ngincar karya-karyanya yang lain.

Ok, rasanya saya sudah terlalu banyak bicara. Jadi sekian dulu untuk kali ini, semoga artikel ini bermanfaat tuk teman-teman. Salam Troh.
.  .  .

Sunday, June 26, 2016

Kasus di Auditorium (part I)

Cerpen by Ftrohx


Banyak yang bertanya padaku. Bagaimana mungkin aku bisa tinggal di lantai 2 Auditorium BUMN di Jakarta Selatan? Bagaimana mungkin aku bisa tinggal lama di sana dan menjadikannya sebuah kantor? Bagaimana mungkin aku bisa mendapat izin untuk terus berada di sana? Dan apakah aku membayar untuk itu?

Pertanyaan-pertanyaan klasik. Faktanya aku tidak membayar uang untuk berada di sana. Aku selalu bilang ceritanya panjang hingga aku berakhir di sini. Dan kali ini aku akan bercerita untuk kamu.


Semuanya dimulai 5 tahun yang lalu. Saat itu aku baru saja selesai skripsi dan sedang menunggu wisuda. Aku bimbang akan kemana perjalanan hidupku selanjutnya. Apakah aku akan bekerja kantoran ataukah aku membuat bisnisku sendiri. Namun ada sebuah lubang harapan, aku sudah punya nama waktu itu.

Sejak kasus di Curug Seribu dan Mayat di Danau UI. Semua orang membicarakanku, bukan hanya di kampus namun juga orang-orang di sekitar rumah Ibuku di Jatiasih. Hingga sampai ke telinga Pak Joko. Dia adalah tetanggaku, rumah kami mungkin terpisah jarang 20 rumah, namun dia tahu kisahku. Lalu pada sabtu sore di muncul di depan rumah dan mengetuk pintu.

"Arifin," dia menyalami tanganku.

"Panggil saja Lufin, Pak," sahutku.

"Saya dengar kisah kamu di UI, kamu katanya berhasil menemukan pelaku pembunuhan di danau itu."

Aku mengangguk. "Alhamdulillah Pak!"

"Saya juga dengar yang heboh di Curug Seribu itu, kamu juga yang berhasil memecahkannya."

Pembicaraannya semakin menjurus dan aku bisa menebak kemana arahnya. "Iya, Pak!"

"Saya butuh bantuan nih," ucapnya.

Sebelum kesana aku mendeskripsikan dulu seperti Pak Joko. Badannya tidak terlalu tinggi sekitar 170 namun tubuhnya kekar dan lebar. Kulitnya agak kecoklatan dan biasa mengenakan kaos warna hitam. Seperti laki-laki kekar di film-film action atau orang-orang garang di sasana tinju. Aku sempat menyangka bahwa dia ketua para satpam, namun kenyataan bukan seperti itu. Profesi Pak Joko sebenarnya adalah wakil kepala OB di sebuah Lembaga BUMN di Jakarta Selatan. Aku sendiri gak ngerti kenapa seorang OB bisa memiliki aura segarang itu. Dan belakangan aku tahu jawabannya setelah menangani kasus ini.

"Apa yang bisa saya bantu Pak?"

"Atasan saya, Bang Faruq dia ditemukan meninggal kemarin pagi,"

Wajahnya tampak serius namun tanpa ada kesedihan di sana. "Dia meninggal di taman di samping Auditorium, tepatnya di jalan setapak menuju gedung penelitian Gas."

"Jadi?"

"Dia meninggal di sana begitu saja," potongnya cepat. "Tergeletak di jalan setapak itu tanpa ada saksi mata yang melihatnya jatuh, entah berapa lama dia berada di sana hingga seorang OB dari gedung sebelah yang sedang membuang sampah melihat tubuh itu tergeletak. Kemudian dia menelpon security tanpa mendekati tubuh Bang Faruq. Tak ada yang mendekatinya hingga para security itu datang dan mereka memastikan bahwa Bang Faruq telah meninggal dunia."

"Apa mereka tahu penyebabnya?"

"Para petugas itu bilang dia meninggal karena serangan jantung, namun kami tidak percaya itu. Tidak ada pemeriksaan dokter atau apapun, lagipula Bang Faruq adalah orang yang sangat sehat meski dia suka minum," ada jeda di lidahnya. "Alkohol tapi dia tetap orang yang sehat."

Di sini aku sudah merasakan hal yang aneh. Laki-laki bernama Faruq, biasanya orang Betawi terkenal dengan ketaatan ibadahnya, namun paradoks dia minum alkohol. Pastinya ada sesuatu yang tidak beres di sini.

"Terus kenapa Pak?"

"Saya ingin kamu menyelidikinya, kami menduga Bang Faruq dibunuh orang. Entah itu saingannya atau mungkin orang dalam organisasinya sendiri."

Aku mengernyit. "Apa Pak? Organisasi?"

"Iya, Bang Faruq selain menjadi ketua OB dia juga ketua Ormas pemuda di tempat kami."

Sebenarnya aku ingin bilang bahwa jika pembunuhannya berhubungan dengan mafia ini akan menjadi thriller kriminal dan bukan cerita detektif. Namun Pak Joko pasti akan balik bertanya apa bedanya.

"Jadi apa yang harus saya lakukan?"

"Mungkin kamu bisa ke TKP-nya besok pagi."
.  .  .

Tiap kali kasus baru hadir selalu jantungku berdegup dengan kencang. Ada rasa aneh seolah akan naik kelas atau seperti pindah ke sekolah yang baru.

Minggu Pagi itu aku sudah mempersiapkan semuanya.

Pak Joko bilang bahwa ini akan jadi penyelidikan yang panjang dan aku mungkin akan menginap di sana selama sebulan. Jadi aku bawa sebuah cover dan tas ransel berisi pakaian dan beberapa makanan. Pak Joko menjemputku pukul 7 pagi, dia bahkan sampai menyewa mobil untuk ke sana.

Jujur aku jarang berpergian dan aku tidak tahu banyak tentang Jakarta Selatan. Paling-paling yang kutahu hanya sampai Pondok Indah. Tidak pernah tahu apa itu Cipulir dan seterusnya. Dalam perjalanan aku hanya berbincang sedikit selebihnya Pak Joko yang bicara. Sementara mataku terus memperhatikan jalanan, gedung-gedung, pohon-pohon, ruko-ruko, dan rumah-rumah yang tidak kukenal.

Cipulir adalah tempat yang tidak strategis. Namun Lembaga Penelitian Minyak itu berada di sana. Pak Joko bilang bahwa tempat itu hanya kantor para PNS. Dan penelitian tidak pernah benar-benar terjadi di sana. Kebanyakan di lakukan di tempat lain. Seperti R & D Pertamina dan seterusnya.

Dia bilang tempat ini mungkin akan dibuat menjadi satu lembaga yang baru. Dari jalan raya, Lembaga Penelitian itu terlihat sempit. Namun ketika masuk ke dalam tempat itu ternyata cukup luas.

LPM dibagi menjadi 3 sektor, sektor 1 yaitu bagian depan hingga ke mesjid, sektor 2 yaitu bagian tengah hingga ke gedung bawah, dan sektor 3 yaitu bagian dalam dimana Auditorium itu berada hingga ke tembok belakang yang jarang disentuh orang. Sektor 3 jelas bagian yang paling sepi di tempat ini. Hanya ada satu dua orang lewat pada jam kerja itupun hanya OB yang mengantar surat ataupun satpam yang dipaksa bertugas keliling. Sementara para PNS mereka lebih suka berdiam di dalam kantor hingga jam makan siang dimulai.

Masuk ke sektor 3 di sinilah Auditorium itu berada.

Aku membayangkan seperti di UI, namun ternyata tidak. Auditorium ini sedikit lebih kecil dan jauh lebih rapih daripada di sana. Hall-nya besar seperti ruangan di hotel juga cukup dingin meski tanpa AC yang menyala. Tidak banyak cahaya di ruang besar itu kecuali jika semua lampu dinyalakan. Di samping dan kiri terdapat pintu aku pun mengambil yang kanan. Pak Joko menyebutnya ruang sayap. Di sini terdapat lorong panjang yang terus ke belakang akan sampai ke toilet sedangkan ke depan akan masuk ke ruang kantor.

Berputar-putar cukup lama di dalam, kamipun kembali ke teras depan. Dan di sana sudah berdiri seorang laki-laki tua berkulit coklat gelap dengan kemeja warna abu-abu.

"Kenalkan, Pak Ramdan," ucap Joko.

"Selamat datang Ikhsan?" ujarnya.

Akupun menggapai tangan itu. "Panggil saja saya Lufin, Pak!" sahutku.

"Ok, Lufin. Gimana sudah lihat ke dalam?"

"Iya, sudah."

"Pak Ramdan ini yang mengelola Auditorium," ucap Joko.

Mataku berputar ke atas. Sedikit terkejut karena kupikir Pak Joko atau Bang Faruq lah yang mengelola tempat ini.

"Kamu sudah dijelaskan situasinya sama Joko?" lanjutnya.

Aku mengangguk. "Sudah Pak!"

"Bang Faruq itu orang yang tegas dan sangat dihormati di sini," ucapnya sambil berjalan di taman di samping bangunan.

"Dia punya banyak anakbuah dan para anakbuahnya itu ya bekerja di sini juga."

"Maaf saya tidak mengerti maksudnya anakbuah?"

"Anak buah dari organisasi-nya kebanyakan bekerja di sini atau jika kamu ingin masuk bekerja di sini kamu juga harus ikut organisasi dia? Namanya Front Fajar Betawi."

"Jadi semua OB di sini ikut organisasi itu?" tanyaku.

"Gak semuanya," jawab Pak Ramdan. "Ekskul di sekolah merupakan hal yang wajib, namun gak semua siswa ikut ekskul bukan. Beberapa ada yang memilih langsung pulang ke rumah setelah jam pelajaran selesai."

Aku tersenyum. "Seperti bapak berdua ini,"

Mereka pun balas tersenyum dan menjawab. "Iya,"

Kami pun sampai di taman kecil di samping kanan bangunan, dimana terdapat jalan setapak dan tangga menurun yang menuju ke gedung di sebelah Barat.

Kami menuruni anak-anak tangga itu dan jari Pak Ramdan menunjuk ke depan. "Di sinilah TKP-nya tempat Bang Faruq ditemukan sudah tidak bernyawa."

"Anda yakin Bang Faruq tidak meninggal secara alami?" tanyaku.

Mata Pak Ramdan berputar. "Kami tidak yakin, karena itu kami butuh bantuan kamu?"

"Kenapa tidak menghubungi polisi lalu meminta mereka untuk melakukan otopsi?"

"Kami tidak bisa melakukannya, jasad sudah dikubur kemarin dan kami tidak menyusahkan keluarga almarhum dengan prosedural-prosedural rumit itu. Jadi pilihan terbaik adalah kamu, penyelidik swasta."

"Satu pertanyaan pak, kenapa anda ingin sekali saya menyelidiki kematian Bang Faruq ini?"

"Karena dia orang baik," ucapnya dengan lidah yang tertahan. "Meski tabiatnya sangat kasar tapi banyak orang yang mendapat penghidupan dari bekerja dengannya. Sebab itu kebenaran atas kematian harus diungkap."

"Tapi ini akan jadi perjalanan yang sangat panjang Pak,"

"Berapa kamu ingin dibayar?" ujarnya mengejutkanku.

"Apa?"

"Sebutkan angka-nya? 10 juta?"

Aku mengernyit tanpa membalasnya.

Dia terdiam beberapa detik lalu berujar. "15 juta?"

Aku masih tidak berkata-kata. Sebenarnya, aku ingin bilang bahwa ini bukan soal angka.

"Bagaimana jika 10 juta plus sepeda motor?" lanjutnya.

"Tidak Pak, rasanya itu tidak cukup."

"Terus apa yang kamu mau?"

"Bagaimana jika gaji yang cukup plus saya boleh tinggal di Auditorium ini," tunjukku ke bangunan itu.

Sesaat dia mengerutkan dahi lalu berkata. "Ok, itu bisa saya atur," dia pun mengulurkan tangannya. "Deal!"

"Deal!" balasku.

"Kamu bisa mulai bekerja pada hari senin besok,"

"Siap Pak!"
.  .  .

Aku seorang visioner dan kupikir Auditorium ini sangat bagus untuk mengembangkan karierku.

Tempat ini memiliki ruang kantor yang bagus, ruang kantor dari almarhum Bang Faruq. Tepat di bagian depan dari sayap kanan bangunan. Bentuknya seperti kotak persegi panjang dengan interior berwarna putih dengan jendela-jendela kaca besar yang menghadap ke halaman depan yang hijau. Kaca-kaca itu ditutup dengan gorden bambu dengan bau sangat khas. Untuk furniture terdapat meja kantor dan dua kursi hitam yang nyaman plus bangku tunggu yang memanjang. Lalu di sana juga ada lemari kabinet yang kosong melompong tanpa diisi apapun. Serta sebuah lemari lain dimana diisi peralatan cairan pembersih lantai, pengharum ruangan, dan koleksi sabun cuci.

Di ruang kantor ini juga terdapat tangga menuju lantai 2, dimana terdapat ruang kosong yang luas dan satu ruang terkunci yaitu tempat untuk sound system Auditorium. Ini sempurna. Dengan meminta izin pada Pak Ramdan ruang kosong di lantai 2 itupun diperbolehkan menjadi kamar pribadiku.

Hari senin pekerjaanku pun dimulai.

Untuk mengorek informasi dan berbaur. Pak Joko memberiku peran sebagai OB baru di Auditorium itu. Sebelumnya sudah ada dua OB di sana yaitu Taufik dan Iwan. Dan mereka lebih tua dariku jadi kutambahkan kata Bang di depannya.

Setelah diperkenalkan oleh Pak Joko, Bang Iwan pun langsung mengajarkanku ritual pagi di Auditorium.

Di mulai dari membersihkan ruang kantor di depan, lalu kemudian mengambil segelas air hangat dari gedung sebelah untuk ditaruh di ruang kantor Bang Faruq. Tentu saja, orang itu sudah meninggal namun untuk menghormatinya Bang Iwan memintaku terus melakukan ritual itu selama 40 hari ke depan.

“Jika gak ada yang minum air itu sampai Dzuhur, kamu minum saja,” ucapnya.

Aku hanya menggeleng dalam hati sungguh ajaib orang ini.

Setelah mengambil segelas air hangat aku melanjutkan pekerjaan bersih-bersih di sayap Auditorium. Bang Iwan selalu memperingatkanku. “Santai aja, sore masih lama,” ulangnya berkali-kali.

Entah kenapa rawut wajahnya sangat senang pagi itu.

Lalu pukul 10 muncul Bang Taufik. Sebenarnya adalah asisten dari almarhum Bang Faruq dan tugas adalah berkeliling sektor 3 untuk mengawasi kinerja para OB yang lain. Tapi karena si Boss sudah meninggal dan yang menggantikan adalah Pak Joko, dia bisa sedikit santai. “Siang nanti kita baru keliling, kamu nanti temanin saya ya, jadi asisten,” ujarnya sambil tertawa.

Setelah istirahat, pukul 1 siangpun kami pergi ke gedung 7 yaitu gedung yang paling pojok di sebelah timur. Aku disuruh membawa mesin Mop. Dan sampai di sana justru kami ngopi dulu bersama OB yang menjaga di lantai 2. Baru kemudian Mop dilakukan sejam kemudian dan satu jam kurang pun pekerjaan itu selesai. Aku ditinggal di mes OB gedung 7 sementara Bang Taufik entah pergi kemana. Di sini kesempatan untuk mengorek informasi dari OB gedung 7 yaitu Parman.

“Man, seperti apa almarhum Bang Faruq itu?” tanyaku.

Wajah Parman cemas namun diapun berkata. “Bang Faruq itu orang yang galak,” dia pun mendekat wajahnya lalu bersuara pelan. “Sebenarnya dia sangat menyeramkan seperti Bos Mafia, apapun yang dia perintahkan harus kita kerjakan sekarang, kalau tidak hari itu juga kamu akan dikeluarkan dari sini.”

“Walah separah itu!”

Jarinya pun naik ke bibir. “Sssstttt… jangan kencang-kencang yang lain bisa mendengar.”

“Apa?”

Wajah pemuda itu seperti ketakutan. “Di tempat ini sebenarnya ada tiga kubu, yang loyal dengan Bang Faruq, lalu kubu yang ingin memberontak melawannya, dan kami yang ingin hidup damai-damai saja. Bahayanya adalah orang-orang yang loyal dengan Bang Faruq membawur diantara kami yang ingin hidup damai-damai saja. Orang-orang ini yang menjadi mata dan telinga Bang Faruq dan merekalah yang membuat banyak dari kami yang dikeluarkan.”

Pemuda ini membuatku merasa masuk ke dunia spionase di zaman perang dingin. Siapapun di sini bisa menjadi pengkhianat dan karena itu tidak ada yang dapat dipercaya.

“Tapi Bang Faruq kan sudah gak ada?”

“Nah itu dia, meski dia sudah gak ada tapi terornya masih ada. Dan konon para anakbuahnya yang loyal itu ingin menghidupkan kembali cara-cara kerja ala Bang Faruq.”

“Cara kerja ala Bang Faruq? Maksudnya?”

“Iya, kayak waktu dulu, kalau kamu gak bayar 10% dari gaji kepada mereka maka kamu akan dikeluarkan.”

Aku mengernyit. “Apa membayar 10% gaji? Itu namanya pemerasan.”

“Dan memang itu pekerjaan Bang Faruq dulu, menjaga keamanan di wilayah sini.”
.  .  .

Kedengarannya memang aneh, namun faktanya orang-orang seperti ini memang ada di Jakarta.

Para penjahat yang memungut uang dari orang-orang miskin tanpa rasa bersalah, memalak dari orang-orang susah seolah mereka adalah raja-raja kecil yang minta upeti, dan mereka begitu kuat hingga teror mereka masuk ke dalam sumsum tulang tiap korbannya. Seperti apa yang dialami Parman, bahkan setelah Bang Faruq meninggal dia tetap takut untuk berbuat sesuatu. Takut-takut kalau mantan anak buah Bang Faruq mengganggunya.

Bicara tentang Auditorium, tempat ini memiliki banyak sisi yang kelam. Selain bang Faruq terdapat pula para PNS nakal dan sopir yang memanfaatkan tempat ini sebagai lokasi perjudian lokal. Mereka selalu memanfaatkan ruang kosong di belakang Auditorium sebagai tempat mereka main poker. Mulai dari jam 10 pagi hingga jam 7 malam. Bahkan kadang hingga tengah malam dan tak ada seorangpun yang melakukan inspeksi atau penggrebekan untuk mereka.

Benar-benar tempat yang buruk.

Mungkin ini pula yang menjadi penyebab kenapa seorang Faruq bisa begitu berkuasa di sini.

Dia memiliki aliansi dari para penjahat, memiliki pendanaan, dan teror bagi orang-orang baik yang tidak bisa berbuat apa-apa. Selain hanya ingin bekerja dan mendapatkan gaji dengan baik.

"Seperti apa bang Faruq, bang?" tanyaku ke Iwan saat kami berada di teras sembari makan siang.

"Dia sebenarnya orang yang baik, cuma kadang-kadang suka kumat aja," ujarnya diiringi senyum.

Akupun tertawa kecil. "Abang sendiri kok bisa tenang di sini, apa rahasianya?"

"Iya, dijalanin aja, lagipula saya punya tanggung jawab. Saya punya istri dan anak karena itu apapun yang terjadi pada saya di sini, saya harus tetap bekerja. Harus bisa bawa uang untuk mereka."

"Dan abang bisa bertahan,"

Dia mengangguk. "Sebenarnya gak gampang sih, tapi ada satu trik yang saya lakukan untuk menjaga jarak dari Bang Faruq."

"Apa bang?" aku penasaran.

"Saya pura-pura budek dan semua orang di sini tahu itu. Akting saya berhasil karena kebanyakan orang di sini mengira saya budek beneran. Tiap kali Bang Faruq berteriak-teriak saya makin pura-pura gak dengar dan lama-lama dia bosan juga berteriak kepada saya."

Entah cerita ini mengingatkanku pada sebuah novel.

Dimana seorang wanita dipaksa menjadi budak seks oleh tentara Jepang. Dan tiapkali ada tentara yang mensetubuhinya dia berakting kaku dan pura-pura mati. Itu cara yang sangat efektif untuk membuat para bajingan itu bosan dan meninggalkan dia sendirian di kamarnya.

"Tentang bayaran 10% dari gaji itu Bang? Apa itu benar semua OB wajib membayarnya?" pertanyaanku makin berbahaya.

Namun dia tersenyum. "Itu benar semua OB di sini wajib bayar 10% dari gaji ke Bang Faruq, kecuali saya dan Taufik."

Mataku membulat. "Apa? Kok bisa?"

“Karena kami tinggal di dekat rumahnya.”

“Apa?”

“Karena kami adalah tetangganya dan kenal dekat dengan keluarganya jadi mungkin dia sungkan untuk meminta 10% gaji pada kami. Jadi tidak pernah ada aturan itu, kecuali pajak bonus penyewa auditorium itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu baru kemudian dibagi rata.”

“Pajak bonus?”

“Tips maksud saya, jika ada penyewa auditorium di hari sabtu atau minggu, biasanya mereka kasih tips tambahan buat OB yang jaga di sini. Nah tips itu harus dikasih ke Bang Faruq dulu, baru nanti dia yang bagi tips itu ke kita berempat.”

“Bukannya cuma ada tiga orang di Auditorium ini,”

Iwan menaikan alis. “Oh iya, saya lupa Farid sudah keluar, iya gara-gara masalah tips itupula dia diomelin habis-habisan sama Bang Faruq.”

“Bentar bukannya tips itu bersifat pribadi, maksud saya hanya masuk ke kantong penerimanya kan.”

“Iya, harusnya sih begitu. Tapi kalau kita gak ikutin aturan dia, bakal jadi keributan.”

“Hanya gara-gara uang tips bisa jadi keributan,” aku bicara agak ngotot.

Dia mengangguk. “Iya.”

“Ini benar-benar gila Bang, dia gak punya hati kali ya?”

“Syukurnya dia sudah gak ada,” Bang Iwan tertawa sangat ringan.

Semua orang yang berakal pasti tahu. Bahwa orang baik adalah orang yang bisa memberi lebih sekalipun hidup mereka susah. Bukan orang yang mengumpulkan kekayaan dari memeras orang kecil tanpa pernah memberi kebaikan apapun pada mereka.

Gilanya uang tips yang gak seberapapun masih diminta oleh si keparat Faruq ini.

Benar-benar sangat layak menurutku jika orang seperti dia mendapat balasan sebuah pembunuhan berencana.

Mungkin memang inilah yang terbaik bagi mereka. Namun disisi lain seseorang sudah mengorbankan dirinya sebagai martil untuk tujuan itu. Dan dia pasti tahu, cepat atau lambat kejahatan yang tersimpan akan terungkap oleh seseorang.

“Tentang Farid itu, gimana kabarnya?”

“Farid dia keluar 4 bulan yang lalu. Keadaan sangat buruk terakhir kali dia berada di sini.”

“Kenapa?”

“Itu hari senin dan terjadi setelah permasalahan tips itu. Kami membersihkan Auditorium bersama setelah kemarin ada acara pernikahan di sini. Saat itu bang Faruq seperti biasa berceramah atau aku menyebutnya meracau entah apa yang dia bicarakan ke kami. Tiba-tiba dia melemparkan pisau, pisau tukang buah kamu tahu yang besar itu ke muka Farid. Memang tidak kena tapi lemparan itu sangat keras hingga membentur nyaring di pintu kayu.”

“Lalu apa yang Farid lakukan?”

“Dia hanya diam saja, kamu tahu kami tidak bisa berbuat apa-apa. Lalu seminggu setelah itu Farid mengundurkan diri dari tempat ini.”

“Tentu saja Bang, siapa yang tidak mengundurkan diri setelah diperlakukan seperti itu.”

“Mungkin karena jiwa mudanya, diantara kami, Farid lah yang sangat ingin memberontak. Beberapa kali dia dipaksa ikut ormas-nya Bang Faruq namun dia menolaknya. Kamu tahu ekskul malam, menjaga parkiran ruko-ruko di depan situh namun dia tidak pernah datang ke sana.”

“Ya iyalah Bang, kita sudah bekerja keras seharian, masa malamnya disuruh bekerja lagi. Pekerjaan yang ilegal lagi.”

Iwan mengangguk. “Ya, kamu benar.” Lalu wajahnya menatapku curiga. “Ngomong-ngomong kenapa kamu banyak tanya tentang almarhum? Kayak kamu polisi saja?”

“Hahaha… gapapa Bang saya penasaran aja,” ucapku dengan wajah konyol.

“Saya dengar-dengar nih,” dia kembali mendekatkan wajahnya. “PNS di gedung depan itu, lantai 5 mereka menyewa detektif swasta untuk menyelidiki kematian Bang Faruq.”

“PNS lantai 5 siapa Bang?”

“Itu Pak Ramdan, yang saya dengar sih seperti itu. Katanya mereka menduga bahwa kematian Bang Faruq karena dibunuh orang.”

“Abang sendiri percaya dengan hal itu.”

Iwan menggeleng. “Percaya gak percaya, tapi kalau mengingat hari-hari yang buruk sebelum dia meninggal rasanya mungkin saja dia dibunuh orang.”

“Setahu abang apa dia punya musuh atau saingan gituh?”

“Dulu ada saingan dia waktu bikin ormas itu, Pak Syarif dari Laskar Betawi Hijau, cuma saya gak pernah dengar lagi pertengkaran mereka. Dan satu lagi Pak Latif mantan lurah di Cipulir sini. Cuma dia sudah pindah sekarang dan gak ada kabar lagi.”

“Kalau di lingkungan dekatnya Bang, tetangga atau keluarga?”

Dia kembali menggeleng. “Orang sini mah gak ada yang berani sama dia.”

Aku mengangguk. “Kalau keluarganya gimana?”

“Haduh, kamu itu nanya mulu, jangan-jangan kamu detektif swasta itu?”

“Hahaha… memangnya saya ada tampang sebagai detektif, Bang?”

Sesaat dia terdiam, matanya naik turun ke bawah memperhatikanku. “Nggak mungkin juga sih kamu adalah detektifnya.”

“Jadi seperti apa keluarganya Bang?”

“Setahu saya dia punya satu istri dan tiga anak perempuan.”

“Tidak pernah ada pertengkaran serius?”

“Setahu saya tidak pernah ada. Istrinya patuh banget sama bang Faruq dan anak-anaknya juga sayang banget sama dia. Nggak pernah ada konflik.”

Aku manggut-manggut.

Lalu Iwan memberi kejutan. “Kamu tahu putri sulungnya kerja di sini, di lantai 5 itu,” tunjuknya. “Dia entah bagaimana jadi PNS di sana.”

Mataku sedikit membulat. “Kerja di sini?”

“Iya, kalau gak salah dia jadi bawahannya Pak Ramdan.”

“Wah,” kepalaku mendongak ke atas menatap gedung yang berada di sebelah utara Auditorium. “Apa putrinya tahu kalau bapaknya suka ngambil upeti dari para OB di sini?”

“Kelihatannya dia gak tahu, begitupula dengan anggota keluarganya yang lain. Mereka gak pernah tahu.”

Aku membayangkan kehidupannya seperti mafia di film-film kriminal itu. Dihadapan keluarga mereka begitu baik namun diluar itu mereka sangat bengis. “Kehidupan ganda ya, kayak di film-film gituh.”

Iwan mengangguk. “Bang Faruq gak pernah bilang tentang penghasilan dan bisnis sampingannya. Begitupula dengan para OB di sini gak ada yang berani cerita. Tapi entah mungkin dia tahu atau tidak tahu.”

“Saya bisa bertemu dengan anak perempuannya itu gak?”

Mata Iwan menatapku curiga. Lalu dia berkata. “Biasanya dia nongol sih di sini, hari sabtu jika ada yang nyewa auditorium.”
.  .  .

Ilustrasi: Archdaily.Com

Kasus di Auditorium (part II)

Cerpen by Ftrohx


Sabtu pagi pun datang


Memang ada orang menyewa Auditorium saat itu. Mereka adalah keluarga dari mempelai pria yang akan mengadakan resepsi pernikahan di sana. Bilik VIP di depan lobi kanan dibuka dan memang pemegang kuncinya adalah Riani, Putri Sulung bang Faruq yang bekerja untuk Pak Ramdan. Tidak seperti yang kuduga sebelumnya, ternyata gadis itu sangat cantik.

Akupun mendekatinya, namun belum sempat menyapa dia sudah memanggilku duluan.

“Lufin ya, petugas baru di sini,” ucapnya dengan senyum yang merekah.

“Iya,” jawabku singkat.

“Saya dengar banyak dari Pak Ramdan.”

Aku tersenyum. “Semoga tidak terlalu banyak.”

Dia pun tertawa kecil.

Lalu kemudian hening.

Matanya menerawang ke langit-langit Auditorium. “Ayah saya baru meninggal kemarin dan banyak kenangan di tempat ini.”

“Saya turut berduka,” ucapku.

“Meski dia sangat galak, namun sebenarnya dia orang yang baik,” kata-kata itu terdengar pahit dari lidahnya. “Memang emosinya suka meluap-luap, tapi di dalamnya dia tidak seperti itu,” dia bicara seolah Faruq masih berada di sana. ”Kamu tahu orang seperti dia, kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor.”

“Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah,” potongku.

“Iya, seperti itu.”

Aku tersenyum kecut. Klasik, pembenaran atas boss yang jahat. “Apa anda tahu tentang ormas yang dibuat Ayah anda?”

“Panggil saja saya Riani,”

“Apa kamu tahu itu?”

“Iya, saya tahu,” sayangnya dia tidak melanjutkannya dan beralih ke hal yang lain. “Ngomong-ngomong bahasa kamu seperti seorang detektif?”

Aku menaikan alis, lalu tertawa kecil. “Detektif? Memangnya saya ada tampang seperti itu?”

Seperti yang lain matanya naik turun memperhatikan fisikku. Rambut gondrong, kulit pucat, tubuh kurus, dan wajah setengah zombie. Apa aku seperti detektif? Tentu saja tidak.

Dia menggeleng. “Kelihatannya nggak sih, kamu itu lebih mirip anak band Emo.”

“Kamu tahu Emo?” aku menaikan alis.

“Iya, aku pernah ikuti salah satu band itu.”

“Yang mana?”

“Saosin,”

“Hahaha… Saosin,”

“Iya, dulu waktu zaman SMA.”

“Pantes saja.”

“Kalau yang ada ditelinga kamu lagu apa?”

“Oh ini, Paramore,” jarinya menunjuk ke telinga. “Aku sekarang lagi suka Paramore.”

Aku mengangguk. “Itu bagus, Hayley Williams. Tapi jujur aku agak terkejut melihat penampilan kamu dan siapa Ayah kamu.”

“Siapa orangtua kita belum tentu menentukan kita menjadi apa bukan.”

“Iya, kamu benar.”

“Kamu sendiri suka band apa?”

Mataku berputar ke pipinya. “Seleraku mainstream, kamu tahu Nirvana?”

“Smell Like Teens Spirit!”

“Wow, sungguh sebuah kejutan.”

“Jadi kamu pernah main band?” pertanyaannya makin mengejutkan.

Diposisi ini rasanya sudah tak mungkin lagi berbohong. “Iya, pernah.”

“Wow, luar biasa. Aku nggak pernah nyangka ada OB yang pernah jadi anak band. Mungkin nanti jika ada acara dengan musik di sini kamu bisa naik ke atas panggung.”

“Iya, beresin panggungnya. Haha…”

Kami tertawa.

“Serius, kamu terlihat beda dari OB-OB lain di sini. Mereka tidak berpendidikan dan mereka seperti…” tiba-tiba kata-kata itu terhenti.

“Seperti apa?”

“Iya, seperti OB,” ada sesuatu yang tertahan di lidahnya. “Oh iya, apa nama band kamu itu?”

“Karena band kami rock indies, namanya cukup aneh sih.”

“Apa?” tanya seolah penasaran.

“Kamu pasti akan terkejut.”

“Iya, apa?”

“Namanya Detective Is A Rockstar,” aku menatapnya dan melihat pupil mata itu membesar.

“Wow, jadi benar Pak Ramdan memanggilmu kemarin sebagai seorang detektif.”

“Hahaha… Nggak seperti itu sih, ini cuma nama. Kamu tahu ada band yang namanya Sex Pistols, The Police, kenapa gak ada yang namanya Detective Is A Rockstar.”

“Kamu tahu, kamu itu terlalu pintar untuk jadi seorang OB. Sebaiknya kamu naik pangkat.”

“Iya, terus jadi apa? Kepala OB?”

“Bukan, maksudku jadi satpam, mereka memberi gaji yang lebih baik daripada OB.”

Pembincangan pun berakhir. Riani beranjak pergi mendekati teman-temannya para PNS berseragam LPM.  Melihatnya dari jauh, rasanya butuh waktu lama untuk bertemu dan berbincang lagi dengan dia.
.  .  .

2 Minggu berlalu dengan cepat di Auditorium

Di sini aku merasa seperti Clousaue, si detektif idiot dari film Pink Panters itu. Melakukan perbuatan-perbuatan bodoh yang justru menjauhkan dirinya dari fakta-fakta yang ada di depan mata. Bahkan harusnya seorang bocah SD pun bisa memecahkan kasusnya.

Tapi itulah dia, kita butuh pelawak untuk melengkapi dunia yang muram ini.

Aku kenal nama-nama detektif hebat di Jakarta. Aku sendiri bertanya-tanya kenapa bukan mereka? Kenapa aku yang baru cuma memecahkan dua kasus. Itupun terjadi karena kebetulan dan bukan karena otakku sendiri. Jujur, aku bahkan tidak mengerti apa itu analisa forensik? Apa itu police prosedural? Deduksi-Konklusi? Dan bahasa ngejelimet ala detektif lainnya. Satu-satunya yang bisa kuandalkan selama ini cuma intuisi. Perasaan alami, insting mereka menyebutnya –untuk menemukan siapa penjahat sesungguhnya.

Ok, aku butuh keajaiban dan inilah yang kulakukan.

Aku menunggunya di depan pintu. Diantara waktu luang antara jam 11 hingga jam 1 siang. Atau antara jam 5 hingga 6 sore. Aku terus memandangi jalan setapak yang membelah taman itu. Aku membayangkan hantu Bang Faruq ada di sana. Melakukan kegiatan yang berulang dan berulang. Dia berjalan sendirian di sana, lalu jatuh begitu saja terkapar sekarat di tanah. Tentunya dengan berbagai macam variasi gerakan. Aku membayangkan mulai dari yang mengerikan hingga kematian paling konyolnya.

“Jadi apa yang kamu temukan?” Pak Ramdan muncul dan wajahnya mirip seperti atasan Clousaue.

Seorang inspektur polisi yang ingin melihat bawahannya hancur dalam insiden yang goblok.

“Masih banyak yang belum saya temukan.”

“Tapi kamu punya nama-nama yang kamu curigai?” tanya-nya lagi.

Tentu saja ada dan dia adalah salah satunya. “Ada tapi saya belum bisa menyebutkan nama-nama mereka.”

“Tidak ada bukti?”

“Belum,” jawabku singkat.

Lalu bibirnya menyungging seolah dia baru saja menang lomba balap karung.

Sial. Wajah itu jelas menyiratkan bahwa dia sangat ingin kasus ini tidak terpecahkan olehku.

Mungkin dia punya rencana lain dengan Auditorium ini dan ruangannya. Mungkin dia ingin membuatnya menjadi kontrakan atau kantor dengan biaya sewa mahal perbulannya. Yang pasti dia ingin mengusirku secepatnya dari tempat ini tanpa biaya pesangon.

“Kalau cara kematiannya?” lanjut Ramdan.

Ini pertanyaan bagus. Syukurnya aku telah menyiapkan jawaban. “Kasus ini mirip dengan cerita detektif klasik Pak. Tidak ada saksimata, tidak ada siapapun yang berada di dekatnya saat dia meninggal. Dia sendirian seperti orang-orang meninggal dalam kasus ruang terkunci. Hanya saja ruang terkuncinya adalah sebuah kondisi di luar ruangan.”

“Ruang terkunci apa?”

“Itu kiasan Pak, misteri ruang terkunci.  Semacam sub-genre dalam fiksi detektif. Ada satu kasus klasik yang mirip dengan ini. Judulnya HollowMan dari John Dickson Carr. Seorang pria berjalan sendirian di tengah salju kemudian tanpa ada seorangpun yang mendekati tiba-tiba dia tewas terbunuh ditembak dari jarak dekat. Sayangnya, tak ada saksimata dan tak ada jejak dari siapapun yang ada di sekitar jasad. Seolah-olah dia dibunuh oleh hantu atau makhluk yang tak menyentuh tanah.”

“Bagaimana mungkin dia dibunuh oleh Hantu?”

“Itu trik Pak, seorang pesulap yang menghilangkan bola atau memunculkan burung dan kelinci dari balik topi. Dia mengalihkan pandangan mata anda Pak, dan membuat kita hanya fokus pada lokasi ditemukannya korban.”

“Maksud kamu?”

“Maksud saya bagaimana jika dia sudah mati sebelumnya, sudah sekarat dan kebetulan dia berjalan di setapak itu dan meninggal di sana.”

“Dia diracun?”

Jariku naik dan menutup bibir. Runut logika di kepalaku memang mengarah kesana. Sebuah racun. Aku bisa membayangkan Bang Faruq melakukan rutinitasnya. Minum segelas air hangat yang disediakan penjaga Auditorium di atas meja kantornya. Dia meneguknya sampai habis. Lalu berjalan-jalan ke samping Auditorium melewati taman dan masuk ke jalan setapak. Di saat itu, racun sudah bekerja dan maut sudah sampai ditenggorokan. Dia jatuh di sana, sekarat sendirian tanpa ada saksimata apalagi orang yang menolong.

Jadilah Bang Faruq sesosok mayat, sebuah misteri apakah dia meninggal oleh sebab alami ataukah dia adalah korban pembunuhan?

Sayangnya, bicara tentang metode racun. Aku tidak punya bukti racun apa yang dia masukan ke dalam gelas itu. Tidak ada CCTV di auditorium, tidak ada saksimata, tidak ada apapun. Lagipula waktu telah bergulir lama dan gelas itu pasti sudah dicuci berulang-ulang yang membuat jejak mikro bersih dari tiap sudutnya. Dan yang lebih penting lagi, aku bukan petugas forensik ataupun penyelidik resmi yang punya wewenang untuk mengotopsi korban. Dan sejak awalpun, kasus ini sudah amburadul karena kematian korban diasumsikan sebagai kematian alami tanpa pemeriksaan oleh dokter terlebih dahulu.

“Kalau begitu siapa yang meracuni dia?” lanjut Pak Ramdan.

Kembali aku hanya tersenyum simpul.

Disini berengsek-nya, ada begitu banyak orang yang membenci dan ingin menghabisi Faruq.

Bisa jadi adalah mereka yang memberontak, namun bisa jadi pula orang-orang yang loyal kepadanya yang melakukan pembunuhan. Atau bisa jadi dua orang yang memanggilku bekerja di sinilah konspiratornya Pak Joko dan Pak Ramdan sendiri.

Atau mungkin dua orang yang bekerja di Auditorium itu Bang Iwan dan Taufik mereka adalah dua orang yang tiap hari berada paling dengan Bang Faruq. Atau mungkin orang yang sudah keluar dari pekerjaan OB di sini. Iya, jika aku adalah pembunuhnya pastinya aku memilih keluar dari tempat ini begitu dia meninggal, pergi jauh tanpa meninggalkan jejak. Sialnya, tanpa runut bukti aku tidak bilang mereka adalah pelakunya.

“Maaf Pak, saya belum bisa memberikan jawabannya?”

“Lalu kapan kamu bisa?”

Jariku naik ke dahi. “Saya belum bisa memastikan.”

“Ok, kalau sampai akhir bulan ini kamu belum mendapatkan satu nama siapa pelakunya? Kontrak kerja kamu saya putus.”

Bibirku kembali membentuk simpul. Kisah ini makin bagus saja.
.  .  .

Ok, kembali ke coretan kertas. Ada dua gedung yang paling dekat dengan Auditorium. Gedung administrasi LPM yang tepat berada di depan Auditorium, sebelah utara bangunan. Dan gedung penelitian gas yang berada di sebelah kiri Auditorium atau sebelah barat bangunan.

Korban berada di jalan setapak di taman di sebelah barat bangunan. Dari posisi TKP ini, harusnya jasad korban dapat terlihat dari atas gedung administrasi ataupun penelitian gas.

Tapi mereka bilang tak ada saksi yang melihatnya jatuh. Ini mungkin disebabkan karena waktu kematiannya pada jam sibuk. Namun si pelaku pembunuhan sangat bisa mengawasi korban dari dua gedung. Pertanyaannya yang mana? Apakah dari Gedung Administrasi ataukah dari Gedung Penelitian Gas?

Masalah utamanya lagi, meski tempat ini besar dan terlihat modern. Sayangnya dengan sangat-sangat disayangkan tidak kamera CCTV. Baik itu di dalam ataupun di luar Auditorium. Ini membuat tempat ini menjadi sangat sempurna untuk sebuah aksi pembunuhan berencana.

Tak ada saksimata dan tak ada apapun. karena itu tidak ada cara lain selain cara manual yaitu bertanya untuk menemukan petunjuk yang tersisa.

Sore, saat pekerjaanku sudah tidak sibuk, aku kembali mendatangi Gedung Penelitian Gas.

Kebetulan aku sudah kenal OB utama di sana yaitu Pak Syarif. Dibanding dengan yang lain yang lebih banyak pekerjaan bersih-bersih lantai. Pak Syarif tugasnya hanya menjaga penting dan menyiapkan minuman untuk para PNS. Kadang dia juga menyiapkan makanan ringan bahkan memasak mie instan untuk mereka. Terkadang almarhum Bang Faruq pun meminta mie instan darinya.

Pak Syarif berkumis tebal dengan wajah yang agak berkeriput. Badannya kurus dan tiap hari dia suka mengenakan baju safari putih yang usang. Kadang dia suka terlihat gugup. Namun jika kamu sudah kenal akrab dengannya, dia akan jadi orang yang sangat ramah. Untuk amannya, aku mengajak dia mengobrol di halaman belakang Gedung Penelitian Gas dimana terparkir dua mobil dinas tua yang jarang dipakai. Setelah berbincang basa-basi selama 5 menit. Menu utamapun langsung kusajikan.

“Pagi dimana Bang Faruq meninggal, Pak Syarif yang membuatkan air minum untuknya ya?”

Pak tua itu langsung membelalak. Kemudian dia berkata dengan sangat gugup. “Iiyyaa, memangnya ada apa?”

“Siapa yang membawa minuman itu ke ruang Bang Faruq?”

Dengan wajah yang masih terkejut, dia melanjutkan. “Eee, Iwan dia yang membawanya. Memangnya ada apa?”

“Sebenarnya saya di sini untuk memastikan sesuatu Pak,”

“Memastikan apa?”

“Memastikan bahwa Bang Faruq meninggal karena dibunuh orang!”

Dia makin terkejut dengan wajah mirip orang yang baru bertemu setan. “Dibunuh orang!” dia setengah berteriak.

Jariku naik ke atas. “Sstttt… Jangan kencang-kencang Pak, nanti didengar yang lain. Saya sebenarnya penyelidik swasta. Saya disewa oleh Pak Ramdan untuk memastikan itu.”

Alis Pak Syarif kembali naik. “Jangan-jangan kamu mengira saya meracuni air minumnya Bang Faruq?”

“Tidak Pak saya cuma memastikan,” tanganku naik ke bahu mencoba membuatnya tenang. “Anda bilang kan ada yang lain pagi itu yaitu Iwan yang mengantar gelasnya.”

“Jadi maksud kamu Iwan?”

“Tidak, tidak seperti itu. Pertanyaan saya apa anda melihat Iwan berjalan sampai ke Auditorium?”

Dia menggeleng. “Saya hanya ada di pantry pagi itu. Tapi OB yang lain mungkin melihatnya.”

“Kalau begitu baiknya, anda panggil teman-teman OB yang ada pada pagi itu.”

Tanpa memberitahu detail sebenarnya tentang penyelidikan ini. Pak Syarif memanggil 3 OB yang bekerja pada pagi itu. Ketiganya ikut berbincang dengan kami di taman belakang, namun hanya satu orang yang saat itu berjaga di depan.

Diapun menjelaskan, saat Pak Syarif mengambil minuman dia ada di teras depan bersama Iwan. Mereka berbincang tentang pertandingan bola yang terjadi malam sebelumnya. Lalu gelas berisi air hangat datang dan Iwan pun pamit dari sana. Tidak ada hal yang aneh waktu itu. Semua berjalan seperti biasa.

“Tapi ada OB dari gedung 7. Rohmat, dia berpapasan dengan Iwan di depan jalan itu. Mungkin dia melihat sesuatu yang gak kami lihat di sini.”

Dari satu petunjuk ke petunjuk yang lain.

Tanpa menunggu lebih lama lagi aku langsung ke gedung 7 mencari OB itu.

Syukurnya dia belum pulang dan kamipun berbicara.

“Iya, saya memang berpapasan dengan Iwan di depan gedung Penelitian Gas,” ujarnya.

Lalu disinilah kunci kotak pandora-nya. “Pertanyaan saya, sebelum ke gedung PG kamu melewati Auditorium kan?”

Dia mengangguk. “Iya,”

“Pertanyaannya apa ada orang yang masuk ke sana di saat Iwan keluar?”

Matanya membulat. “Iya, ada.”

Aku pun menunjukkan sebuah foto di handphoneku. “Apakah dia?”

Mata si pemuda seolah ingin keluar. “Iya, iya, benar dia.”

“Kamu yakin?” tegasku.

“Iya saya yakin itu memang dia. Saya ingat betul pakaiannya itu,” balas Rahmat seterang-terangnya.

Aku tersenyum.

Akhirnya setelah nyaris sebulan berada di sini. Semua kepingan menjadi utuh.
.  .  .

Tentu untuk memastikan sebuah kebenaran kamu harus melihat dari banyak sisi.

Keesokan paginya aku pergi ke gedung itu.

Bertanya pada beberapa orang yang berada di sana dan memastikan bahwa dia tidak berada di gedung tersebut di pagi sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal. Tepat saja, mereka berkata bahwa itu benar. Dan lebih beruntung lagi di lobi gedung itu terdapat kamera CCTV yang membuat kami bisa memastikan kebenarannya.

Siangnya, bersama dengan Pak Joko dan Pak Ramdan aku mengumpulkan semua saksi-saksi penting ini di ruang kantor Auditorium. Pak Ramdan pun menjelaskan peristiwa yang sebenarnya terjadi. Beberapa hadirin tampak terkejut namun yang lain diam karena sudah tahu ceritanya.

“Ada kemungkinan dia diracun,” ujar Pak Ramdan. “Racun tersebut dimasukkan ke gelas minuman yang biasa dia minum setiap pagi.”

“Nggak mungkin,” ujar Iwan. “Bang Faruq memang orang berengsek, tapi saya gak pernah ada niatan untuk bertindak jahat padanya.”

“Saya nggak bicara tentang kamu Iwan. Saya hanya bicara metode dan yang memberi racun belum tentu kamu. Melainkan ada orang lain di sini.”

“Di sini,” para hadirin bingung dan saling menatap satu persatu.

Akupun ikut bicara. “Iya, pelakunya ada di sini. Kamipun sudah melaporkannya pada polisi. Saat ini mereka sedang membongkar makamnya dan sore nanti akan dilakukan otopsi pada jasad Bang Faruq untuk memastikan racun jenis apa yang membunuhnya.”

“Anda tidak bisa melakukan itu,” teriak Riani putri tertuanya. “Anda harus meminta izin keluarga dahulu.”

Pak Ramdan mendekatinya. “Iya, kami sudah bicara pada seluruh keluarga kecuali kamu.”

Riani membelalak kemudian berteriak. “Apa-apaan ini!”

“Baiknya kamu jujur,” ucapku tanpa memandangnya.

“Kalian menunduh saya yang membunuh Ayah saya sendiri,” ujarnya penuh kemarahan. Diapun berjalan kesal menuju pintu keluar, namun Pak Joko menutupnya. “Kalian semua gila, gak mungkin saya membunuh Ayah sendiri. Apa buktinya kalian menuduh saya?”

“Sialnya, memang tidak ada kamera CCTV di Auditorium ini,” ucapku. “Namun di gedung seberang di lobi kanan Gedung Administrasi, di sana ada kamera CCTV. Dan gambar kamu tertangkap di situh tepat di pukul 8:30 pagi yaitu satu jam sebelum Bang Faruq ditemukan meninggal.”

“Itu belum masuk jam kantor, wajar jika aku atau karyawan lain keluar masuk lobi.”

“Tidak itu sangat tidak wajar untuk anda sendiri. Itu melawan kebiasaan anda yang jika sudah masuk kantor dan naik ke lantai 5 tidak akan turun darisana kecuali sudah waktu jam makan siang. Dan rekaman itupun memperlihatkan anomali anda.”

“Tapi itu tidak bisa dijadikan bukti, saya keluar pagi itu ke gedung arsip di sektor 2.”

“Memang benar anda pergi ke sektor 2 tapi itu hanya untuk berputar kemudian menuju ke Auditorium. Dan kami punya saksinya, Rohmat OB dari gedung 7 saat dia sedang berjalan menuju gedung Penelitian Gas, dia melihat anda masuk ke ruang kantor Auditorium.”

“Itu masih pagi, wajar jika Ayah saya menelpon untuk bertemu dan saya datang menemuninya di Auditorium.”

“Dalam kondisi dan situasi yang lain tentu saja itu sangat wajar,” ucapku sambil berjalan mendekatinya. “Namun pagi itu anda tahu bahwa Bang Faruq belum ada di sana. Jadi bagaimana mungkin dia menelpon anda,” tunjukku ke handphone. “Yang pasti tidak ada panggilan dari Faruq pagi itu. Anda tahu bahwa Auditorium kosong karena Iwan pun sedang mengambil segelas air untuk ditaruh di meja Bang Faruq. Dan disinilah anda menjalankan rencana jahat anda.”

Dia membelalak lalu berteriak dengan sangat marah. “Ini GILA!!”

“Anda bersembunyi di lantai 2 Auditorium,” tunjukku ke atas ruang kantor. “Darisana anda bisa melihat Bang Iwan masuk membawa segelas air putih hangat. Anda menunggu sambil terus mengawasi, ketika Iwan sudah pergi ke lorong kiri bangunan. Anda turun dan membubuhkan racun diminuman milik Ayah anda sendiri. Saya yakin tadinya anda pikir dosis itu tidak cukup berbahaya setidaknya hanya akan mengirim dia ke rumah sakit. Namun diluar dugaan dia benar-benar meninggal di sini.”

Kali ini matanya berkaca-kaca. “Tidak ada saksi untuk hal itu.”

“Kamu salah,” jariku naik ke atas memberi kode dan mereka pun turun. Para polisi beserta seorang gadis yaitu Mala –rekan kerja Riani di lantai 5.  Dan tentu Riani sangat tersentak.

“Kamu bilang pagi itu kamu turun untuk ke toilet bawah,” ucap Mala. “Kenapa kamu berbohong? Lalu kamu turun ke lobi keluar dari gedung dan pergi ke Auditorium. Kenapa? Apa yang sebenarnya kamu lakukan pagi itu?”

“Itu bukan apa-apa,” kembali Riani berteriak.

“Pagi itu, setelah dari lantai bawah, wajah kamu terlihat sangat sedih. Lalu kamu bilang ada masalah pribadi tentang pacar yang tidak ingin kamu bicarakan.”

Riani histeris. “Sudah hentikan!”

“Pagi itu diluar kebiasaan kamu, setelah kembali dari bawah kamu bekerja di meja yang tepat menghadap jendela kaca besar. Kamu terus melihat ke arah Auditorium sambil mencemaskan sesuatu.”

“Aku mohon sudah hentikan.”

“Sejak awal aku tahu kalau kamu berbohong. Bahwa kamu tidak pernah suka dengan Ayah kamu sendiri,” lanjut Mala.

Dia pun mengangkat kepalanya. “Iya, kamu benar. Aku tidak pernah suka dengan si Bangsat itu. Dia adalah orang munafik bermuka dua. Orang yang selalu berpura-pura baik didepan masyarakat namun jahat dibelakangnya. Di dalam rumah dia mendidik kami menjadi orang yang sama munafiknya seperti dia.”

“Kadang masalah dari rumah terbawa ke kantor,” ucapku. “Atau sebaliknya masalah kantor dibawa ke rumah.”

Riani melirikku dalam lalu melempar muka ke yang lain. “Dia benar-benar keparat dan kalian semua cuma bisa tunduk padanya.”

“Kamu ingin melanjutkan kata-kata itu, bahwa para OB tidak berpendidikan dan mereka seperti…”

“Budak yang hanya bisa menjilat kaki majikannya,” Riani mengejutkan semua. “Kenapa kalian tidak melawan, kenapa kalian tidak protes atau melaporkannya ke HRD atau pihak berwenang siapapun di sini.”

“Karena kami tidak berdaya Nona,” ucap Bang Iwan. “Karena kami gak punya pilihan lain, kami tidak tahu dimana lagi kami bisa bekerja selain di sini.”

Pak Ramdan pun ikut bicara. “Iya, kebanyakan kami yang ada di sini tidak memiliki pilihan. Namun sekarang dia sudah tidak ada lagi, semua berkat kamu.”

Riani menatap lama Pak Tua itu. Sebelum kemudian menyerahkan kedua tangannya kepada polisi.
.  .  .

Riani tidak pernah berniat untuk membunuh Ayahnya sendiri. Dia hanya ingin mengirim Faruq masuk ke rumah sakit. Dan menghentikan kegilaan dari kampanye organisasi pemudanya.

Tapi dibalik itu motif utamanya adalah kemarahan Riani. Suatu ketika dia mendapati kabar bahwa laki-laki yang disukai dihajar orang dalam perjalanan pulang. Belakangan diketahui pelaku pengeroyokan tersebut adalah orang-orang dari Organisasi yang diketuai oleh Ayahnya sendiri. Riani menyimpan dendam, hingga dia menemukan waktu dan kondisi yang tepat yaitu tanggal 5 kemarin untuk melakukan eksekusi.

Riani menggunakan setengah dari dosis mematikan. Namun yang tidak dia ketahui adalah, Ayahnya pada malam sebelum itu minum arak Korea yang keras. Lambung dan ususnya sudah mengalami peradangan parah. Ditambah lagi dengan racun yang dia minum pagi itu. Menciptakan reaksi yang sangat mematikan.

Setelah meneguk air itu, Faruq tahu ada sesuatu yang tidak beres pada minumannya. Dia pun berjalan menuju ke gedung Penelitian Gas untuk bicara pada Pak Syarif mengenai rasa aneh dari air yang diminumnya. Namun belum sempat sampai ke sana. Dia sudah merasa sangat sakit dan jatuh di jalan setapak itu. Tak lama maut pun menjemputnya di sana.

Sore setelah Riani ditangkap, polisi melakukan otopsi terhadap jasad Faruq Rohman. Lalu 3 hari kemudian laporannya keluar dan benar bahwa ketua organisasi pemuda itu meninggal karena racun ditubuhnya yaitu racun sianida.

“Kamu sangat hebat Fin, kemarin,” ujar Pak Joko orang yang membawaku dari Jakarta Timur ke tempat ini.

“Alhamdulillah Pak,”

“Jujur saat pertama kali membawa kamu, saya tidak yakin penyelidikan ini akan terpecahkan. Saya cuma ingin mencoba saja.”

“Iya, syukurnya kita berhasil Pak!”

“Kamu tahu sebenarnya ada rasa sesal di dada saya atas penangkapan Riani.”

“Sesal kenapa Pak?”

“Sesal, karena saya sudah menganggap Riani sebagai anak sendiri,” diampun terdiam sejenak. “Saya takut jika kejadian Bang Faruq itu terjadi pada saya. Saya juga punya anak perempuan dan saya tidak tahu seperti apa masa depannya nanti.”

Aku hanya menarik napas dan mendengarkan.

“Kamu percaya dengan karma Fin?”

“Tidak terlalu Pak,” ucapku sambil memandangi lantai 5 gedung Administrasi. “Tapi saya percaya jika kita berbuat baik maka kita akan mendapat balasan yang baik nantinya.”

“Iya kamu benar Fin,” ucapnya.

Tak lama Pak Jokopun beranjak dari duduknya. Meninggalkanku sendirian di sini menikmati dingin malam di depan teras Auditorium.

Seminggu kemudian tempat ini mengalami banyak perubahan.

Pak Ramdan berinisiatif memasang kamera CCTV di sudut-sudut penting Auditorium. Berjaga-jaga jikalau terjadi insiden-insiden kriminal seperti yang dilakukan Riani. Lalu aku sendiri, mendapatkan apa yang dijanjikan oleh Pak Ramdan yaitu izin tinggal gratis di sana untuk jangka waktu yang sangat panjang. Aku boleh menggunakan lantai 2 sebagai tempat tinggalku dan boleh memakai kantor Auditorium untuk melayani klien-klien jasa penyelidikanku, jikalau ada yang datang katanya. Hahaha… Luar biasa, padahal ini baru kasus ketiga yang kupecahkan. []
.  .  .

Ilustrasi: Archdaily.Com