Oleh Fitrah Tanzil
Bab 1
Wanita di Bawah Hujan
Rabu, 27 April pukul 2 siang. Alicia Kusuma setengah tidur di distronya.
Tak ada pelanggan sejak pagi dan yang sekilas terlihat cuma para tetangga yang menyapa atau sekadar berteduh di teras depan. Beberapa bulan ini, perempuan berjam tangan hiu ini lebih sibuk dengan pesanan yang datang melalui Whatsapp dan Instagram dibanding orang-orang yang langsung datang ke distro.
"Klik," pintu terbuka mengejutkan Alice yang sedang fokus di laptopnya. "Permisi," suara seorang wanita menyusul.
Ia refleks bangun dari tempat duduknya. “Silakan!”
Si pelanggan adalah gadis muda bermata sipit dengan kulit putih dan tubuh yang kurus. Ia mengenakan jaket merah bahan parasut dengan wajah yang tampak gugup.
"Permisi. Apa ini Distro Ichigo yang khusus untuk kostum cosplay anime itu?" tanyanya.
"Iya, benar," jawab si tuan rumah. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Hmm, saya mencari Alicia Kusuma."
"Iya, saya sendiri."
Si gadis mendekat dengan wajah penasaran. “Anda si detektif dengan jam tangan hiu itu?”
Untuk sepersekian mikro detik Alice terkejut, namun kemudian ia menggeleng sambil menyembunyikan tangan kirinya ke belakang. “Bukan,” ucapnya cepat. “Ngomong-ngomong, ada perlu apa ya?”
"Nama saya Pammy," si gadis menyodorkan tangan. "Saya menemukan alamat ini dari temannya teman saya. Namanya Ikhsan, dia merekomedasikan nama Anda."
"Rekomendasi? Maksudnya?"
Pammy menunduk sesaat sambil menarik napas dalam. "Begini, sebenarnya saya butuh bantuan Anda untuk menyelidiki kasus pembunuhan."
"Kasus pembunuhan,” dia terkekeh. “Maaf, tapi saya bukan detektif swasta. Saya enggak bisa bantu kamu.”
“Itu juga yang mereka bilang.”
“Mereka bilang?”
“Iya, mereka memperingatkan saya kalau Kak Alice akan mengatakan hal itu.”
“Sungguh, saya tidak bisa bantu kamu. Tapi saya kenal beberapa nama yang mungkin bisa.”
Si gadis memasang wajah sedih. “Sudah saya duga bakal seperti ini.”
“Sungguh, sorry banget, saya enggak …”
“Enggak, justru saya yang minta maaf sudah datang ke sini,” potong Pammy dengan cepat. “Sebelumnya, beberapa orang sudah melakukan hal itu ke saya, dan terakhir si Ikhsanul Arifin ini, dia menyuruh saya ke Distro Ichigo dan bertemu Anda."
Alice mengecap bibir. Entah apa yang ada di kepala si Muka Zombie itu hingga mengirim gadis kecil ini ke tempatnya.
"Maaf tapi saya sudah lama tidak buka praktik penyelidikan."
Namun Pammy tetap tak mau menyerah. “Anda berhasil memecahkan kasus yang rumit itu, kasus Topeng Gading tiga tahun yang lalu. Saya yakin Anda bisa menolong saya untuk menemukan si pelaku ini, sebab mereka pola yang hampir sama.”
“Tidak, saya tidak bisa membantu Anda,” ucapnya dingin.
"Yang terbunuh adalah kakak saya, Kimberly Oktaviani," si gadis berteriak dengan mata berkaca-kaca. “Saya enggak tahu harus pergi ke mana lagi. Saya bertemu dengan seorang detektif swasta tapi saya tidak percaya dengan mereka. Saya tidak pernah bisa percaya dengan laki-laki. Lalu saya menemukan alamat Anda dari seorang teman. Mereka bilang coba aja kamu hubungi detektif wanita ini, siapa tahu dia bisa membantu. Makanya siang ini saya berada di sini.”
Si hiu menggosok dagu. ”Oh, begitu. Saya mengerti tapi…”
“Saya mohon!” seru si gadis.
Untuk beberapa detik, ia terdiam. Hingga kemudian Alice berkata, “Baiklah, akan saya bantu. Tapi bukan hari ini.”
Pammy mengembang senyum. “Terima kasih!”
Ia pun membalas senyum dengan canggung.
Si gadis cantik berwajah chinesse itu balik badan dan berjalan ke pintu keluar. Namun Alice menghentikannya. “Bentar, Pammy, kejadian di mana?”
“Dia ditemukan di Taman Grande, BSD, sekitar jam 3 sore.”
“Kejadiannya di hari apa?”
“Kamis, 7 April lalu.”
Jam tangan hiu melangkah ke depan. “Hmm, Kimberly ini, dia bekerja atau kuliah?”
“Dia bekerja di sebuah kantor di Jagakarsa.”
“Hmm, dia tinggal di rumah atau ngekos?”
“Dia tinggal bersama kami di Cibubur.”
“Rumah keluarga.”
Pammy mengangguk. “Iya.”
“Oke, saya mulai membayangkannya. Itu terjadi pada hari kerja, siang ….”
“Dan hujan pula,” potong Pammy.
“Hujan?”
“Iya, hujan.”
“Hmm?” Jari Alice naik ke bibir, matanya melirik ke kanan atas.
“Saya yakin dia tidak pergi sendirian,” tambah si gadis berjaket merah. “Pasti ada orang di sana yang mengajaknya. Orang yang menyuruhnya datang ke taman dan membunuhnya.”
“Kamu sudah bicarakan teori itu ke polisi?”
“Justru polisi sudah menemukan siapa tersangkanya.”
Ia sedikit tersentak. “Eh, maksudnya?”
“Mereka menemukan dua preman ini,” jari menunjuk keluar. “Dua lelaki yang katanya berada di Taman Grande pada saat kejadian. Mereka merampok Kak Kimmy yang kebetulan berada di sana dan menusuk-nusuk tubuhnya. Mereka kabur, bersembunyi di daerah Bogor sampai kemudian polisi menemukannya.”
“Kalau begitu harusnya kasus ini sudah selesai dong?”
“Iya tapi saya tidak percaya dengan hal itu. Saya tidak yakin kalau mereka adalah pelakunya.”
“Kenapa?”
“Sebab saat diinterogasi, ditanya di mana mereka menyimpan handphone dan dompet Kak Kimmy, mereka cuma bilang handphonenya sudah dijual dan dompetnya sudah dibuang ke kali. Tapi sampai sekarang, dicari pun handphone dan dompet itu tidak ketemu.”
“Tapi mereka mengaku melakukannya?”
“Iya dengan wajah yang sudah bonyok.”
Alice melangkah mundur dan menarik napas dalam. “Hmm, oke, saya mulai paham situasinya.”
“Dugaan saya,” lanjut Pammy. “Para polisi itu menangkap dua preman itu untuk bicara apa yang mereka mau. Supaya kasus ini cepat selesai.”
“Tapi bagaimana kalau faktanya memang mereka pelakunya?”
Si gadis menggeleng. “Tidak, saya sangat yakin bukan mereka. Sebab…” tiba-tiba dia berhenti bicara. “Sebab… ada informasi lain yang saya kumpulkan yang tidak sesuai dengan apa yang mereka paparkan.”
“Informasi apa?”
“Saya akan jelaskan nanti jika Kak Alice mau ikut dengan saya ke TKP.”
Ia terdiam sebelum membalas. “Oke tapi bukan sekarang.”
“Besok siang gimana?”
“Baik, besok siang.”
Pammy pun pamit dan berjalan ke arah pertigaan.
. . .
Lima menit berlalu dan ruangan kembali sepi.
Dengan cepat Jam Tangan Hiu mengambil handphone dan menelepon teman lamanya, Bimo si Inspektur muda di Polda Metro Jaya.
“Halo, Bim,” sapanya.
“Alice, tumben sekali?” balas si polisi.
“Iya, memang sangat tumben sekali. Begini, I need your help, kamu tahu kasus jasad wanita di Taman Grande BSD?”
“Oh, itu. Iya, aku tahu seorang cewek cantik yang ditemukan meninggal di tengah taman. Kalau enggak salah dua minggu yang lalu bukan?”
“Hampir tiga minggu tepatnya.”
“Iya, cuma itu urusan Polres Tangsel, bukan kantorku di Komdak sini.”
“Iya, aku ngerti,” ia terdiam beberapa detik di telepon. “Hmm, Bim, bisa minta tolong nih?”
“Tolong apa?”
“Bisa enggak kamu cari info tentang kasus ini, detailnya dari Polres Tangsel?”
Ada jeda di telepon, sebelum Bimo membalas. “Kalau diusahain sih, bisa. Tapi kamu ada urusan apa dengan kasus tersebut?”
Si Hiu menghela napas. “Tadi di sini, lima menit yang lalu datang seorang cewek yang ngaku adik dari wanita yang meninggal di BSD itu.”
“Oh, gitu. Dan dia minta bantuan kamu?”
“Iya, katanya tersangka sudah ditemukan, dua orang preman gitu. Tapi si cewek ini enggak yakin kalau para tersangka itu adalah pembunuh kakaknya. Sebab, kata dia, enggak mungkin kakaknya pergi sendirian, jauh-jauh dari Jagakarsa ke BSD di hari kerja dan hujan pula lagi, kecuali jika ada suatu urusan yang benar-benar penting.”
“Hmm, menarik!”
“Iya, aku penasaran dengan apa yang sesungguhnya terjadi. Aku enggak punya banyak kenalan polisi jadi aku menghubungi kamu.”
Si laki-laki meledakkan tawa. “Hahaha, Alice, selalu.”
“Oke, itu aja dulu, thank you sebelumnya.”
“Sama-sama, by the way salam buat Radit,” ucap si Inspektur muda.
“Iya,” telepon pun ditutup.
. . .
Bab 03
Hujan di Taman Kota
Dari Jagakarsa Alice dan Pammy pergi ke Pasar Minggu, lalu naik bus yang menuju ke Serpong. Kebetulan, siang itu bus cukup lengang dan mereka mengambil kursi di pojok kanan.
Si detektif kembali menatap catatan kecilnya. Ada lima cara yang bisa digunakan seorang wanita muda dari ujung Jakarta Selatan menuju BSD. Pertama naik bus dari Kampung Rambutan yang masuk ke tol dalam kota menuju BSD; kedua naik kereta dari Stasiun Kebayoran Lama langsung ke stasiun Serpong; ketiga naik angkot melalui dari Jagakarsa terus ke Pondok Cabe lalu lewat Pamulang hingga ke Serpong; keempat menggunakan taksi atau mobil sewaan kemudian masuk ke jalan tol; dan terakhir naik ojek online melalui jalur Bintaro hingga ke TKP.
Nomor lima dicoret sebab rasanya enggak mungkin Kimmy naik ojek dari Jagakarsa ke Serpong di tengah cuaca yang sering hujan begini. Apalagi, perjalanan memang lumayan jauh, menempuh sekitar empat puluh menit sampai satu jam jika lewat tol dan mungkin bisa tiga jam jika melalui jalan biasa.
“Maaf soal yang tadi,” ujar Pammy.
Si detektif melirik. “Maaf yang mana?”
“Yang tadi,” jari si gadis menyilang di depan dada. “Sungguh, aku enggak tahu kalau Kak Kimmy pernah pergi ke Jepang.”
“Oh itu. Syukurnya, kita tahu sekarang.”
“Apa info itu bisa berguna?”
“Iya, info seperti ini sangat berharga dalam sebuah penyelidikan.”
“Tapi aku masih enggak ngerti apa hubungannya dengan kematian Kak Kimmy?”
Si hiu melempar senyum. “Semua akan terkuak pelan-pelan. Begitulah cerita detektif.”
“Menurut Kak Alice siapa yang dia temui?”
“Entahlah, aku belum tahu,” balasnya.
“Kenapa?” suaranya lirih. “Kenapa orang baik seperti dia bisa meninggal seperti itu?”
“Mungkin ini terdengar klise tapi, aku percaya dengan Tuhan. Aku percaya dengan amal baik, takdir, dan kehidupan selanjutnya. Aku percaya kalau kamu dan orang-orang tercinta bisa mengikhlaskannya. Di sana, dia pasti akan mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik daripada yang pernah ia jalani di dunia ini,” ucap Alice mencoba menguatkan.
Si gadis menyeka matanya yang berkaca-kaca. “Iya, amin!”
. . .
Pukul 1 siang mereka sampai di Taman Grande BSD.
Begitu turun dari bus, rambutnya langsung terkena rintik hujan. Alice begitu menikmati suasana. Hujan adalah sebuah keajaiban di kota Jakarta yang panas. Hujan juga adalah mesin waktu yang bisa membawanya pergi ke masa lalu atau penghapus yang bisa menghilangkan jejak yang ingin ia hilangkan.
Di kanan dan kirinya pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun-daun hijau yang rimbun berusaha menutupi matahari. Angin dingin pun menerpa wajahnya bersama dengan serpihan hujan yang halus. Di bawahnya, jalan setapak dari kone block semen.
Memindai sekeliling, taman kota itu cukup luas. Panjangnya kira-kira dua kali Mall Pondok Indah. Tidak seperti di denah yang rata, aslinya ada kontur tanah yang tinggi dan rendah di taman tersebut. Itu kenapa meski pintu gerbang barat dan timur sejajar, tapi pengunjung tak bisa melihat orang yang masuk di ujung gerbang yang lain.
Mata si Hiu melirik ke sebelah kiri, ia memandang jauh ke jalan raya di balik hutan kecil. “Ngomong-ngomong, kamu sudah pernah ke sini sebelumnya?”
“Iya, minggu lalu, setelah berita kematian Kak Kimmy.”
“Tempat ini enggak ada kamera CCTV-nya ya?”
Pammy menggeleng. “Kata mereka sih enggak ada.”
“Mereka?”
“Para polisi yang datang ke rumah kami waktu itu. Mereka bercerita banyak.”
“Oh, gitu.”
“Iya.”
Alice membuka smartphone-nya. “Aku sedikit riset tentang kematian Kimberly. Dari info yang kudapat, pembunuhan dilakukan antara jam 12 siang sampai 3 sore, sebelum tubuh korban ditemukan. Dan laporan cuaca hari itu, hujan deras dari jam 1 siang sampai jam 3 kurang.”
“Itu sebabnya tidak ada saksi mata dan bukti di tempat ini.”
Si detektif mendengus. “Bukan, tidak ada. Aku yakin cuma belum ditemukan aja.”
Pammy mengangguk. “Iya, semoga.”
Tak sampai lima menit berjalan, mereka sampai di titik X di mana Kimmy ditemukan meninggal. Alice memutar tubuhnya melihat sekitar. Selain sebab kontur tanah yang rendah, pohon-pohon yang saling menyilang membuat TKP korban ditemukan menjadi titik buta di taman itu.
“Kemarin kamu bilang ada sesuatu yang penting?” tanya si detektif.
“Oh ya,” si gadis mendongak. “Itu ingin kuceritakan. Tapi pertama apa yang ada di benak Kak Alice mengenai situasi ini?”
“Yang ada di kepalaku,” matanya berputar ke kiri atas. “Apakah pembunuhannya memang terjadi langsung di tempat ini ataukah di tempat lain.”
“Sama seperti yang mereka katakan.”
“Para penyelidik sebelumnya?”
“Iya, menurut Kak Alice gimana?”
“Aku belum bisa menjawab untuk hal itu. Aku butuh data, data, dan data.”
“Ala Sherlock Holmes.”
“Kamu baca Sherlock?”
Pammy menggeleng. “Aku cuma nonton filmnya aja.”
“Oh, gitu,” Alice memulas bibir. “Yang bisa aku lakukan adalah menelusuri dari apa yang sudah ada. Dari laporan yang sudah aku baca, kata para penyelidik itu, korban datang ke sini sendirian. Tapi hipotesisku dia enggak mungkin jauh-jauh ke sini datang sendirian. Pasti dia janjian sama seseorang atau pasti ada sesuatu yang sangat penting. Lalu secara kebetulan, ada dua preman yang juga hadir di sini. Mereka melihat korban dan menginginkan barang-barangnya tapi korban tidak menyerahkan benda berharganya. Si preman marah, kemudian terjadilah penusukan.”
“Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa preman itu menggunakan besi pemecah es? Kenapa bukan pisau?”
“Mungkin dia memang tidak punya pisau dan yang dia punya cuma itu, pemecah es.”
Pammy menekuk bibir. “Bisa sih.”
“Oke, lanjut ke skenario kedua, korban dibunuh di tempat lain dengan besi itu. Kemudian pelaku berinisiatif membuatnya seolah perampokan. Jadi dia membawanya ke sini. Mungkin dengan troli atau kursi roda. Pelaku lalu meletakkan korban di titik yang tidak dilihat orang dan meninggalkannya.”
Si sweter merah menggeleng. “Para polisi sudah memeriksa saksi di sekitar ini. Tak ada pengunjung yang membawa troli ataupun kursi roda ke sini. Dan menurut tim analis TKP, Kak Kimmy memang terbunuh di tempat ini. Setelah tubuhnya ditusuk-tusuk itu, dia sekarat dan merangkak,” Pammy menunjuk lima kaki dari sana. “Dari titik itu ke sini.”
Si detektif menggosok dagu. “Di kala pelaku menusuk korban, harusnya ada sesuatu dari tubuh pelaku yang tertinggal di tubuh korban dan ada apa yang dimiliki korban berpindah ke tubuh si pelaku.”
“Locard exchange principe . Iya, mereka juga bercerita itu. Tapi untuk kasus Kak Kimmy itu tidak terjadi!”
Alice mengerutkan dahi. “Maksud kamu?”
Dengan cepat Pammy mengeluarkan spidol dan langsung menusuk perut Alicia Kusuma. “Sebab seperti ini,” bisiknya.
Mata si detektif membelalak dengan cepat dan tak terduga si sweter merah menusuknya. Secara refleks, tangan kanan Alice langsung mencekik leher Pammy dan tangan kiri mengenggam keras pergelangan lawannya.
“Ini yang terjadi, jika seseorang ditusuk,” ucap gadis itu. “Pasti dia akan refleks menyerang balik atau minimal menarik baju si pelaku. Tapi itu tidak terjadi pada Kak Kimmy, seolah si pelaku adalah hantu yang tidak dapat disentuh,” Pammy menarik lagi spidolnya dan melangkah mundur.
Begitu pula Alice melepaskan cengkeraman tangannya. Napasnya masih tersengal-sengal dari serangan kejut si sweter merah.
“Tak ada perlawanan?”
“Tidak ada.”
Mata si detektif menjadi lebih waspada. “Mungkin dia dibius dulu sebelum ditusuk-tusuk?”
“Jikalau itu terjadi, harusnya ada jejak tangan pelaku di tubuh korban tapi ini tidak ada,” lanjut Pammy.
Alice mencoba bernapas senormal mungkin. “Biasanya, untuk kasus seperti ini korban dibunuh di tempat lain, baru kemudian dibawa ke TKP.”
“Iya, itu juga yang kami bahas kemarin. Tapi yang janggal … tak ada jejak atau rekaman bahwa pelaku membawa korban dari tempat lain ke sini. Tidak ada troli, tidak ada kursi roda, tidak ada yang mengangkut korban ke sini.”
“Dia datang sendiri ke sini.”
“Namun tak ada jejak ataupun bekas perlawanan dari korban di tempat ini.”
S Hiu kembali berputar melihat sekeliling.
“Apa ya yang hilang? Apa yang missed dari penyelidikan ini?”
Untuk beberapa detik mereka terdiam.
Lalu si gadis berujar. “An exciting mystery, right!”
Seketika jam tangan hiu tersentak. Sejak awal Pammy muncul di distronya, gadis itu banyak bertingkah tak wajar. Tapi kali ini, kata-katanya jauh lebih aneh lagi. An exciting mystery dia ucapkan di tempat kakaknya ditemukan terbunuh. Sungguh-sungguh sangat mencurigakan.
“Bisa beri aku ruang?” bentak Alice.
“Ruang?”
“Iya,” tatapnya tajam. “Aku ingin sendirian di sini, sebentar.”
“Oke,” ucap si gadis yang berjalan ke tengah taman.
Si hiu menarik napas dalam dan berlutut di sana. Ia mengutuki dirinya sendiri yang kurang waspada.
“Jangan pernah percaya siapa pun, siapa pun dalam urusan penyelidikan kriminal!” kata-kata Ayahnya terngiang kembali.
Ia memutar jarum jam, membayangkan apa yang terjadi.
Kalau itu pisau, pastinya ia sudah berlumuran darah di sini, menggeliat di atas blok jalan setapak. Tak ada yang melihat dan tak ada yang akan menolongnya hingga ia kehabisan darah.
“Huh, sial, sial!!” makinya sendiri.
Tangannya mengepal keras.
Tidak, tidak. Kalau ia mati di sini, dibunuh orang pastinya, si pelaku akan langsung ditemukan. Si gadis itu akan langung ditangkap. Lagi pula, satu luka tusukan takkan membuatnya kalah. Tidak, Alice sudah berpengalaman dengan yang lebih sakit dari itu. Ia akan melawan balik meski ususnya sudah robek.
Ia menarik kembali napas dalam dan mengembuskannya dengan panjang.
Pertama, masalah lokasi pembunuhan. Kenapa pembunuhan terjadi di Taman BSD? Kenapa mesti di sini yang jauh dari tempat tinggal korban? Tak mungkin Kimmy jauh-jauh dari Jagakarsa pergi sendirian ke sebuah taman di BSD jika bukan untuk sebuah pertemuan penting.
Kedua hal-hal terkait identifikasi. Handphone dan kartu identitas korban hilang. Alasan kenapa pelaku membawa pergi handphone korban, sebab dia tidak ingin dilacak keberadaan. Dia tidak ingin dilacak dari komunikasi dengan korban? Sebab si pelaku adalah orang yang menyuruh korban untuk pergi ke sana.
Dengan teori bahwa ini adalah sebuah pertemuan penting? Pertanyaannya siapa orang penting yang bertemu dengan Kimmy itu? Kimmy punya wajah cantik. Artinya dia punya banyak penggemar atau setidaknya seorang pacar. Namun kata Pammy, saat ini dia sedang tidak memiliki hubungan romansa dengan siapa pun. Terakhir kali dia memiliki pacar adalah dua tahun yang lalu.
“Enam hal yang mungkin terjadi sebelum sarapan pagi,” ujarnya di atas con block.
Sepuluh menit kemudian, Alice menghampiri Pammy di tengah taman.
“Menemukan sesuatu?” tanya si gadis.
Ia menggeleng. “Tidak, aku belum mendapati ide bagaimana pelaku membunuh Kimmy.”
Pammy mengembuskan napas, sendu.
“Tapi aku menemukan hal yang lain. Enam hal yang mungkin terjadi pada kematian kakak kamu.”
“Enam hipotesis?”
“Iya, kalau kamu baca blog aku, kamu pasti pernah dengar kata enam hal sebelum sarapan pagi.”
“Apa itu?”
“Simpelnya, aku mengenumerasi siapa saja yang mungkin membunuh kakak kamu.”
Pammy mengangkat alis. “Enumerasi?”
“Singkatnya,” lanjut Alice. “Dari kondisi yang terjadi di sini, dari premis bahwa kakak kamu enggak mungkin pergi ke BSD untuk suatu hal yang tidak penting, maka—pertama—hipotesisku, pelakunya adalah mantan pacar Kimmy. Ia membunuh korban sebab dendam lama atau semacamnya. Kedua, yang juga mungkin terjadi adalah bahwa Kimmy memiliki pacar rahasia dengan motif yang hampir sama dengan yang pertama. Ketiga, mungkin bukan pacarnya, melainkan pihak ketiga yang bisa jadi punya hubungan dengan pacarnya atau mantannya. Singkatnya, si X ini cemburu, iri, dan marah pada Kimmy.”
“Oh, begitu…,” ucap si sweter merah.
“Ini belum selesai. Nomor empat, mungkin adalah anggota keluarga Kimmy. Seseorang cemburu sekaligus dendam dengan segala keberuntungan yang dimiliki oleh Kimmy. Si X ini, bisa jadi adalah saudaranya sendiri. Kelima, mungkin ini memang murni perampokan. Kebetulan Kimmy sedang boring dengan pekerjaan kantornya. Dia mencoba pergi ke tempat yang tidak pernah dia kunjungi. Dan kebetulan atau takdir memang sedang buruk. Dia bertemu dengan perampok di taman itu. Mereka menusuk Kimmy dan merampas barang-barang berharganya. Meninggalkan Kimmy sendirian, sekarat di sebuah taman di tengah hujan.”
“Keenam, masalah bisnis. Kimmy memang bekerja sebagai desain grafis tapi mungkin Kimmy tahu sesuatu yang penting tentang perusahaan, atau mungkin tentang bosnya atau kliennya yang berbahaya. Rahasia yang sangat penting diketahui olehnya. Si X ini tidak ingin rahasia itu diketahui publik apalagi sampai ke pihak berwajib. Jadi mereka membungkam Kimmy sebelum dia bicara. Dan cara yang mereka pilih adalah membunuhnya dengan membuat seolah aksi perampokan biasa di sebuah taman.”
Pammy terdiam beberapa detik sebelum berujar, “Petaka yang tak terelakkan!”
“Iya, petaka yang tidak terelakkan,” Alice mengangkat dagu, lalu tersenyum. “Oke, itu saja dulu yang bisa kusampaikan. Aku harus pamit, ada urusan mendadak di toko sore ini.”
“Pamit?”
“Iya, aku tidak bisa berlama-lama di sini. Maaf, aku tidak banyak membantu.”
Pammy mengangguk. “Iya, aku mengerti.”
“Terima kasih,” balas Alice yang membalik badan.
Namun baru satu langkah, Pammy kembali bicara. “Tentang yang nomor empat tadi, apa Kak Alice curiga kalau aku punya kaitan dengan kematian Kak Kimmy?”
Alice menyeringai. “Aku tidak curiga. Cuma ayahku pernah bilang jangan percaya siapa pun, terutama jika ada hubungannya dengan perkara kriminal.”
Si sweter merah memasang wajah terkejut, namun kemudian padam dengan senyum simpul.
Alice mengangguk dan balik badan, dengan cepat ia melangkah pergi dari taman itu. .
. . .
Kembali ke Jakarta, Alice memilih naik kereta dari stasiun Serpong.
Matanya melihat sekeliling stasiun, begitu banyak orang yang berlalu lalang. Lalu ia bertanya-tanya sendiri kapan terakhir ia pernah berada di stasiun itu. Memang tempat itu tidak seperti stasiun kereta di Shibuya, namun ia ingat ada kenangan tersendiri di sana. Alice melihat ke pojok kiri atas, terdapat kamera CCTV. Apa mungkin mereka punya rekaman lengkapnya? batinnya.
Tiba-tiba handphonenya berdering, dengan nama Bimo tertera di sana.
"Halo, Bim, ada info baru?"
"Iya, aku sudah bertemu dengan penyelidik di Tangsel,” ujar suara berat itu. “Infonya persis seperti yang kamu dapat dari si cewek itu.”
“Pammy?”
“Iya, mereka sudah menangkap pelakunya, duaorang preman yang katanya menusuk almarhum.”
"Terus saksinya?"
"Mereka dapat dari orang-orang di sekitar Taman Grande itu."
"Tukang ojek, satpam, penjaga kios, and soon.”
"Iya, katanya mereka melihat dua preman itu berkeliaran di taman dari siang hingga sore."
"Hmm, oke. Tapi pas kejadian, enggak ada saksi langsung bukan?"
"Memang enggak ada. Namun dari orang-orang ini, mereka berujar bahwa sering melihat dua tersangka ini nongkrong-nongkrong di sana dan menganggu para pengunjung."
"Oh, gitu ya. Hmm, satu pertanyaan, siapa yang menemukan Kimmy pertama kali?"
"Di sini yang menemukannya bernama Parman, dia tukang sapu di jalanan situ, yang kebetulan sedang melintas di luar dengan sepedanya," ada jeda di telepon. "Dia melihat dari jauh. Awalnya, dia kira ada tumpukan sampah di jalan setepak, lalu pas dia dekatin ternyata itu seorang wanita. Dia panik, minta bantuan orang sekitar. Terus ada satu tukang ojek ini yang menelepon gawat darurat. Lalu mereka sama-sama mengangkut korban ke rumah sakit, namun sayangnya mereka sudah terlambat korban kehabisan darah dan meninggal di mobil ambulans.”
"Eh, bentar, dia meninggal di ambulans. Aku kira dia meninggal di taman?"
"Tidak, ini dari keterangan yang baru. Mereka bilang bahwa korban meninggal di ambulans."
Alice mengangkat dagu. "Oke, ada yang lain?"
"Ah, ini yang bikin kamu bakal suka."
"Apa?" si detektif menahan diri.
"Setengah jam sebelum korban ditemukan, ada seorang wanita yang menelepon ke Polsek Serpong. Dia bilang, bahwa dia melihat ada cewek yang ditusuk orang di Taman Grande."
“Beneran ini?”
“Iya.”
"Lalu?"
"Polsek menghubungi patroli yang berada di dekat situ dan memerintahkan mereka untuk memeriksa Taman Grande. Dan saat mereka sampai di sana, korban sudah ramai dikerubungi orang untuk diangkut ke RS."
"Oke, ini enggak kuduga. Terus?"
"Kata saksi pertama, si Parman ini, dia tidak melihat ada wanita lain di TKP saat menemukan korban."
"Terus siapa yang menelepon Polsek BSD?"
"Nah, itu yang jadi tanda tanya. Siapa yang menelepon ke Polsek sebelum ada orang yang menelepon. Tapi anehnya, si X ini enggak ada di sana di antara para saksi yang mengangkut korban ke ambulans."
"Harusnya mereka mencari dia!" jerit Alice.
"Mereka sudah mencarinya tapi sampai sekarang belum ketemu si saksi X ini."
“Huh.”
“Kamu memikirkan apa yang aku pikirkan!?” tanya Bimo excited.
"Iya,” balas Alice. "Oke, apa ada hal yang lain. Sesuatu mungkin yang tertinggal di TKP?”
“Dari keterangan di sini, korban tidak membawa apa-apa selain pakaian yang ia kenakan. Tak ada dompet handphone tas, dan lain sebagainya.”
“Iya, si Pammy juga mengatakan hal seperti itu. Tak ada yang tertinggal di TKP.”
“Uhm, kelihatannya enggak seperti itu dah.”
“Enggak seperti itu gimana?”
“Ada keterangan tambahan di sini? Saat menyisir TKP, sekitar sepuluh meter dari titik korban tergeletak, seorang petugas menemukan bangau kertas.”
“Apa?” Alice meninggikan suaranya.
“Bangau dari kertas lipat, origami maksudku,” jelas Bimo.
“Serius?”
“Iya.”
“Aku baru dengar ini. Kok enggak ada di berita acara atau yang lainnya?”
“Iya, ini informasi terbatas untuk penyelidik. Lagi pula, mereka sudah menemukan dua preman yang diduga membunuh Pammy. Jadi data ini enggak begitu mereka bahas.”
“Wow, gila, gila! Oke, thank you untuk infonya, Bim."
"Sama-sama,” ujar si perwira muda. “By the way, selalu waspada, Alice. Kita enggak tahu apa yang akan muncul di depan nanti."
"Siap, Komandan!" balas jam tangan hiu, lalu menutup telepon.
. . .
Nb: Ebook novelet ini sudah tersedia di Playstore / Playbook. Silahkan.
ReplyDelete