By Ftrohx
Harusnya sebuah kisah cinta itu sederhana, seperti seorang bocah TK yang mendadak bilang suka pada teman perempuannya. Harusnya hanya se-simple itu.
Tapi, masalahnya kebanyakan manusia semakin bertambah umur justru semakin tersesat akan definisi cinta, kebanyakan manusia justru semakin bodoh tentang cinta. Perselingkuhan setelah menikah dibilang karena cinta, kenyataan mereka hanya membuat sebuah pembenaran menurut gw, dan keadaan menjadi lebih rumit lagi ketika cinta berubah menjadi kebencian dan rencana pembunuhan.
Semalam sebuah sms ancaman pembunuhan masuk di handphone gw, bukan untuk diri gw tapi ancaman itu ditujukan untuk sepupu gw firman, dan orang yang mengirimnya sms ancaman itu adalah teman SMA gw sendiri yaitu Josh.
Dan ini menjadi lebih absurd lagi karena semua ini disebabkan oleh masalah cinta. Cinta yang benar-benar tidak masuk akal.
Ok, kita sama-sama akui bahwa cinta memang tidak pernah masuk akal atau seperti kata Bernard Batubara "Logika tak suka Cinta." Di saat cinta datang maka logika pun pergi entah ke mana.
Gw juga pernah jatuh cinta hingga begitu emosional dan melupakan akal sehat. Namun, emosional gw (mungkin) masih lebih masuk akal dibanding kasus yang sedang terjadi ini, karena cewek yang membuat gw jatuh cinta adalah cewek tercantik di sekolah gw, yang sampai sekarang masih jadi rebutan banyak pria.
Yang tidak masuk akal dari kasus ancaman ini adalah CEWEK-nya.
Mereka memperebutkan cewek yang istilah kasar gw dibawah standar, dia tidak cantik, tidak juga pintar. Dia bukan dari kalangan menengah ke atas, dia tidak kuliah, juga tidak memiliki pekerjaan tetap yang bagus, dan yang paling para dia menduakan mereka. Jujur, sejak awal gw nggak mau mengurusi permasalahan nggak penting mereka.
Iya, sangat mengesalkan memang, baik sepupu gw ataupun sobat gw yang mengirim ancaman ini sama-sama memalukan, tentu saja karena keributan mereka dilihat banyak orang juga di social media.
Melihat permasalahan ini dengan lebih luas, kembali lagi gw melihat bahwa yang namanya cinta memang tidak pernah masuk akal. Tidak logis dan orang bisa berbuat apapun dengan alasan yang konyol itu. Mengutip kata seorang teman, cinta kadang membuat orang bukan hanya buta, tapi juga putus asa. Seolah dunia ini tidak ada yang lebih baik daripada orang yang kita cintai.
Padahal jika kita membuka mata lebih luas lagi, banyak yang jauh lebih baik daripada dia.
Jatuh cinta menurut gw seperti halnya kemiskinan, ada beberapa orang karena kemiskinan-nya mencoba untuk bangkit menjadi orang kaya, dan ada banyak orang yang karena kemiskinannya malah makin memiskinkan diri mereka sendiri "Mana bisa gw melakukan hal itu... gw kan nggak punya ini.. gw kan nggak punya itu..." Ketika jatuh cinta kadang seorang yang kuat merasa dirinya lemah, sebaliknya orang yang lemah karena jatuh cinta bisa jadi jauh lebih kuat.
Sebenarnya gw bosan mendengar kasus seperti ini. Dengan mudah seseorang membunuh orang lain hanya karena alasan cinta yang menjadi benci. Alasan diduakan, alasan merasa terhina karena diputuskan sepihak, alasan karena perselingkuhan, dan sebagainya. Semua yang berhulu pada sebuah cerita romansa.
Gw tahu, dari cerita di dalam kitab suci, bahwa pembunuh pertama di planet bumi juga berdasarkan motif cinta. Habil dan Qabil, Habil yang mendapatkan wanita cantik dan Qabil yang hanya bisa iri pada Habil. Kemudian, terjadilah pembunuhan. Lalu manusia mulai belajar bagaimana menguburkan orang mati dari melihat contoh seekor gagak yang mengubur gagak yang lain. Begitupula dengan kisah perang Troya, meski kita semua tahu bahwa alasan politis dan kekuasaan lebih mendominasi namun kisah cinta antara Helena dan Paris menyulut peperangan lebih cepat lagi. Kisah romeo dan juliet kisah cinta yang berakhir dengan tindak bunuh diri yang absurd, dan masih banyak lagi kisah romansa berakhir menjadi tindak kriminal pembunuhan lainnya.
Sebenarnya nggak perlu jauh-jauh ngambil contoh di luar negeri, di Jakarta saja begitu banyak kasus kriminal yang disulut oleh api romansa. Anda pasti masih ingat kasus yang sangat di sorot media kemarin, kasus Ade Sara. Kisah cinta remeja yang berujung pada kebencian dan dendam. Hingga akhirnya nyawa si gadis harus berakhir di tangan mantannya sendiri. Kasus-kasus lain juga, kasus mutliasi yang dilakukan seorang istri karena suaminya kawin ataupun sebaliknya istri yang selingkuh dan suaminya kalap hingga membacok istrinya. Atau kasus pembunuhan di Apartemen Kalibata beberapa waktu yang lalu, di mana si istri muda menjadi korban oleh para pembunuh bayaran dari suaminya. Hal-hal GILA seperti ini, nyaris setiap hari masuk ke mata dan telinga kita. Faktanya delapan dari sepuluh kasus tindak kekerasan yang gue baca, semua dimotivasi oleh urusan cinta dan hubungan romansa. Seorang cewek selingkuh, kemudian si cowok menghajar dia dan selingkuhannya. Atau si cewek hamil kemudian si cowok tidak mau bertanggung jawab dan mengambil jalan pintas melakukan aksi pembunuhan.
Kita melihat kasus-kasus seperti ini bermunculan di televisi, hingga kita lupa siapa saja nama-nama pelakunya dan siapa-siapa saja para korbannya.
Cinta dan Benci itu mungkin seperti yang di alegorikan dalam kisah Klan Uchiha dari Masashi Kishimoto.
Klan Uchiha adalah Klan yang suka berperang, suka membantai banyak orang. Namun, kata Hokage kedua justru Klan Uchiha adalah Klan yang menjunjung Cinta di atas segala-nya. Mereka jauh lebih mementingkan Cinta terhadap klan-nya, rasa cinta yang begitu kuat menghasilkan aliran cakra tersendiri di dalam otak mereka. Sesuatu yang unik yang tidak dimiliki Klan lain. Begitu kuatnya rasa cinta itu sehingga ketika mereka kehilangan orang-orang yang mereka cinta, maka mereka akan jauh lebih membenci dunia ini di banding manusia manapun. Kebencian itu begitu kuat, sampai-sampai mengambil alih sistem syaraf mereka. Menenggelamkan mereka dalam cakra yang sangat gelap, yang membuat mereka menjadi monster pembunuh.
Alegori itupun saya pikir juga terjadi di dunia nyata.
Ketika kita jatuh cinta pada seseorang kita berpikir bahwa dialah yang terbaik, karena kita berpikir bahwa dialah yang terbaik kita tidak butuh hal yang lain lagi, jadi kita berpikir bahwa dialah segalanya.
Kita berpikir bahwa memiliki dia, hidup bersamanya kita merasa begitu kaya. Seperti halnya kekayaan, kita jadi begitu takut kehilangan, sangat takut sampai-sampai menjadi begitu putus asa jika kita tahu akan kehilangan dia. keputusasaan kita menjadi sebuah kemiskinan, dan kemiskinan selalu mendekatkan pada kebencian, amarah, dendam, benci, dan hal-hal jauh dari kebahagian.
Kita orang yang sangat kita cintai, sangat kita percaya berkhianat, maka hancurlah dunia kita. Dan kita berpikir untuk menghancurkan dunia atau setidaknya menghancurkan dirinya yang telah menghancurkan hidup kita.
. . .
Ilustrasi: Broken Heart sumber theatractiveart.com
Saturday, August 30, 2014
Monday, August 25, 2014
Memotret Jakarta
By Ftrohx
Sore kemarin, saat menyalahkan TV tiba-tiba saya mendapati film Harry Potter: Prisoner of Azkaban
Hm, saya selalu kagum dengan film ini, melihat bagaimana mereka memvisualisasikan kota London dengan sangat bagus, Bus double decker, jalanan yang basah karena hujan dan dinding-dinding hitam yang dingin.
Teringat dengan komen dari Fandi Sido saat membahas novel perdana dari serial detektif Strike yaitu Cuckoo's Calling. Fandi bilang bahwa J K Rowling benar-benar mencintai kota London, dia benar-benar memotret London dengan sangat detail.
Saya juga setuju dengan komentar itu.
Bukan hanya saya, banyak juga para reviewers di Goodreads menulis seperti itu di laman Cuckoos Calling, bahwa Rowling memang (terlihat) sangat mencintai kota London.
Tidak usah jauh-jauh ke Cuckoo's Calling, menonton Harry Potter saja, saya melihat London begitu luar biasa, begitu epic. Se-detik saja lihat potongan gambarnya, kita langsung mengenali kalau itu adalah jalanan Ibukota Inggris. Khas banget suasananya, aura-nya, visualnya.
Saya sempat termenung sejenak saat nonton itu, melihat keluar jendela, ke halaman rumah saya. Timbul pertanyaan bagaimana dengan kota saya sendiri Jakarta? Ada nggak sih penulis yang memotret Jakarta dengan begitu epic? Ada nggak sih penulis Indonesia yang membawa sang tokoh utama menelusuri jalan-jalanan penting di Jakarta? Membawa pembaca hingga merasakan apa yang dia rasakan atas jalanan Jakarta. Melihat sesuatu hal yang detail, memotretnya seperti seorang fotographer profesional membekukan momen.
Membuka rak buku saya yang lama.
Saya menemukan beberapa buku yang memotret kota Jakarta dengan begitu khas-nya.
Pertama Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha,
Ini karya klasik, bercerita tentang pemberontakan anak muda di akhir tahun 70-an. Yang saya suka dari novel ini bagaimana Teguh Esha dengan detail menulis nama-nama jalanan di Jakarta, terutama daerah Selatan seperti Blok-M, Mayestik, Melawai, Fatmawati, dan sebagainya. Gara-gara Teguh Esha juga daerah Blok-M menjadi begitu terkenal, bukan hanya di pulau Jawa, tapi semua orang Indonesia pasti pernah mendengar nama Blok M.
Kedua, novel lain yang membahas Jakarta dengan cukup spesifik adalah Negara Kelima karya Es Ito.
Saya suka penggambaran Es Ito sang karakter protagonisnya meloloskan diri dari Polda Metro Jaya. Saya suka penggambaran aksi kejar-kejar mobilnya. Padahal novel ini dibuat tahun 2004-an, hampir 10 tahun sebelum The Raid Berandal tayang di bioskop dengan membawa gambaran aksi kejar-kejaran mobil di jalanan Ibukota..
Selanjutnya, buku favorit saya yang juga memotret kehidupan Jakarta adalah Mentropolis: Sindikat 12 karya WIndry Ramadhina.
Bab awal memang tidak spesifik, namun ketika masuk bab tiga di sini. Windry menyajikan tempat yang terkenal di Jakarta Barat yaitu Kampung Ambon. Tempat yang terkenal karena banyak kriminalitasnya, sampai-sampai televisi swasta pun menyoroti tempat ini.
Mbak WIndry mengatakan bahwa untuk menulis ini dia sampai riset ke sana, dan dia bilang termasuk pengalaman yang menegangkan. Lalu di klimaks dari novel ini Mbak WIndry membawa para pembaca ke daerah Utara Jakarta, kawasan penjaringan. Di mana terdapat rek kereta api yang sudah tidak terpakai, gudang-gudang kosong dan sebagainya. Suasana yang mirip dengan Yellow Box di akhir dari cerita Light Yagami di Death Note.
Selanjutnya, Andriana karya Fajar Nugros. Novel ini juga menyoroti sudut kota Jakarta.
Termasuk juga menyajikan sejarah dan mitos-mitos tentang tempat-tempat penting di Jakarta dalam bentuk fiksi romansa. Mulai dari perpustakaan nasional sampai dengan Kota tua, Bundaran HI sampai dengan patung Pancoran. Saya suka novel ini meski cuma baca sedikit di Google Books.
Membaca Adriana justru saya jadi ingat tentang kenangan saya waktu masih kuliah, saat saya mencari bahan untuk skripsi. Mengingat skripsi saya jadi ingat perpustakaan LIPI dan yang menakjubkan Andrea Hirata menulis tentang perpustakaan LIPI di bab-bab akhir novel Laskar Pelangi, Benar-benar sebuah nostalgia karena saya sendiri secara fisik pernah juga berada di sana.
Selanjutnya, novel 5 cm. karya Donny DIrgantoro.
Novel ini memang lebih ke perjalanan Mahameru, tapi ada bagian yang sentimentil dengan saya yaitu saat mereka pergi ke rumahnya Ian di jalan Bumi Mayestik. Tempat itu tak sampai 2 km dari rumah saya, dan saya memang sering pergi ke Mayestik. Juga pada bagian opening yaitu perjalanan mereka di Radio Dalam. Bagaimana mereka menelusuri pedagang-pedagang dan warung makanan di sana. Bubur Ayam, Nasi Goreng, Sate, Roti Bakar dan sebagainya. Dulu tiap kali pulang dari kampus saya melewati jalan itu dan saya melihat tepat seperti apa yang karakter Zafran lihat di sana.
Juga, ada Jakarta 24 Jam, karya Putra Perdana.
Buku ini cukup spesifik membahas kehidupan Jakarta, dengan setting sebuah kafe fiktif di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Buku ini banyak menyajikan tentang lika-liku kehidupan urban, mulai dari masalah percintaan hingga kriminalitas. Karya Putra Perdana yang lain, yang cukup detail menelusuri jalanan Ibukota adalah cerpen Delapan. Dia menulis detail perjalanan di daerah Jakarta Selatan, dari daerah Melawai sampai dengan Pasar Minggu.
Terakhir, dua buku yang juga memotret Jakarta menurut saya adalah Jakarta Secret dan Kronik Betawi.
Jakarta Secret sendiri saya belum sempat baca, tapi menurut review teman-teman yang sudah baca, buku ini bercerita tentang teori konspirasi dan simbol-simbol secret society (seperti freemason) yang ada di Jakarta. Mulai dari Kota Tua, Istana Negara, Monas, Bundaran HI, sampai dengan Pancoran. Sedangkan Kronik Betawi karya Ratih Kumala, ini adalah satu dari sangat sedikit novel yang membahas tentang kehidupan keluarga Betawi. Mulai dari cerita sebelum masa kemerdekaan sampai dengan zaman modern setelah runtuhnya rezim orde baru.
Saya suka Kronik Betawi karena pemaparannya khas banget, sang penulis berhasil menyajikan bahasa Betawi dalam tulisan dengan sangat mulus. Isi-nya memang yang saya alami sendiri sebagai seorang anak yang tumbuh besar di keluarga dan lingkungan Betawi yang kena gusuran ! Hahahaha... Juga menyoroti masalah kemiskinan dan keterpinggiran orang Betawi, buku ini benar-benar REAL banget.
Sebenarnya masih banyak lagi, buku-buku yang memotret tentang Jakarta. Tapi saya belum sempat melirik semuanya. Terakhir di catatan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa memotret Jakarta juga adalah mimpi saya.
Saya ingin menciptakan sebuah novel seperti Cuckoo's Calling karya J K Rowling, saya ingin menulis tentang Jakarta seperti dia begitu detail menulis sudut-sudut Kota London.
. . .
Ilustrasi, Jakarta View sumber allindonesiatravel.com
Sore kemarin, saat menyalahkan TV tiba-tiba saya mendapati film Harry Potter: Prisoner of Azkaban
Hm, saya selalu kagum dengan film ini, melihat bagaimana mereka memvisualisasikan kota London dengan sangat bagus, Bus double decker, jalanan yang basah karena hujan dan dinding-dinding hitam yang dingin.
Teringat dengan komen dari Fandi Sido saat membahas novel perdana dari serial detektif Strike yaitu Cuckoo's Calling. Fandi bilang bahwa J K Rowling benar-benar mencintai kota London, dia benar-benar memotret London dengan sangat detail.
Saya juga setuju dengan komentar itu.
Bukan hanya saya, banyak juga para reviewers di Goodreads menulis seperti itu di laman Cuckoos Calling, bahwa Rowling memang (terlihat) sangat mencintai kota London.
Tidak usah jauh-jauh ke Cuckoo's Calling, menonton Harry Potter saja, saya melihat London begitu luar biasa, begitu epic. Se-detik saja lihat potongan gambarnya, kita langsung mengenali kalau itu adalah jalanan Ibukota Inggris. Khas banget suasananya, aura-nya, visualnya.
Saya sempat termenung sejenak saat nonton itu, melihat keluar jendela, ke halaman rumah saya. Timbul pertanyaan bagaimana dengan kota saya sendiri Jakarta? Ada nggak sih penulis yang memotret Jakarta dengan begitu epic? Ada nggak sih penulis Indonesia yang membawa sang tokoh utama menelusuri jalan-jalanan penting di Jakarta? Membawa pembaca hingga merasakan apa yang dia rasakan atas jalanan Jakarta. Melihat sesuatu hal yang detail, memotretnya seperti seorang fotographer profesional membekukan momen.
Membuka rak buku saya yang lama.
Saya menemukan beberapa buku yang memotret kota Jakarta dengan begitu khas-nya.
Pertama Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha,
Ini karya klasik, bercerita tentang pemberontakan anak muda di akhir tahun 70-an. Yang saya suka dari novel ini bagaimana Teguh Esha dengan detail menulis nama-nama jalanan di Jakarta, terutama daerah Selatan seperti Blok-M, Mayestik, Melawai, Fatmawati, dan sebagainya. Gara-gara Teguh Esha juga daerah Blok-M menjadi begitu terkenal, bukan hanya di pulau Jawa, tapi semua orang Indonesia pasti pernah mendengar nama Blok M.
Kedua, novel lain yang membahas Jakarta dengan cukup spesifik adalah Negara Kelima karya Es Ito.
Saya suka penggambaran Es Ito sang karakter protagonisnya meloloskan diri dari Polda Metro Jaya. Saya suka penggambaran aksi kejar-kejar mobilnya. Padahal novel ini dibuat tahun 2004-an, hampir 10 tahun sebelum The Raid Berandal tayang di bioskop dengan membawa gambaran aksi kejar-kejaran mobil di jalanan Ibukota..
Selanjutnya, buku favorit saya yang juga memotret kehidupan Jakarta adalah Mentropolis: Sindikat 12 karya WIndry Ramadhina.
Bab awal memang tidak spesifik, namun ketika masuk bab tiga di sini. Windry menyajikan tempat yang terkenal di Jakarta Barat yaitu Kampung Ambon. Tempat yang terkenal karena banyak kriminalitasnya, sampai-sampai televisi swasta pun menyoroti tempat ini.
Mbak WIndry mengatakan bahwa untuk menulis ini dia sampai riset ke sana, dan dia bilang termasuk pengalaman yang menegangkan. Lalu di klimaks dari novel ini Mbak WIndry membawa para pembaca ke daerah Utara Jakarta, kawasan penjaringan. Di mana terdapat rek kereta api yang sudah tidak terpakai, gudang-gudang kosong dan sebagainya. Suasana yang mirip dengan Yellow Box di akhir dari cerita Light Yagami di Death Note.
Selanjutnya, Andriana karya Fajar Nugros. Novel ini juga menyoroti sudut kota Jakarta.
Termasuk juga menyajikan sejarah dan mitos-mitos tentang tempat-tempat penting di Jakarta dalam bentuk fiksi romansa. Mulai dari perpustakaan nasional sampai dengan Kota tua, Bundaran HI sampai dengan patung Pancoran. Saya suka novel ini meski cuma baca sedikit di Google Books.
Membaca Adriana justru saya jadi ingat tentang kenangan saya waktu masih kuliah, saat saya mencari bahan untuk skripsi. Mengingat skripsi saya jadi ingat perpustakaan LIPI dan yang menakjubkan Andrea Hirata menulis tentang perpustakaan LIPI di bab-bab akhir novel Laskar Pelangi, Benar-benar sebuah nostalgia karena saya sendiri secara fisik pernah juga berada di sana.
Selanjutnya, novel 5 cm. karya Donny DIrgantoro.
Novel ini memang lebih ke perjalanan Mahameru, tapi ada bagian yang sentimentil dengan saya yaitu saat mereka pergi ke rumahnya Ian di jalan Bumi Mayestik. Tempat itu tak sampai 2 km dari rumah saya, dan saya memang sering pergi ke Mayestik. Juga pada bagian opening yaitu perjalanan mereka di Radio Dalam. Bagaimana mereka menelusuri pedagang-pedagang dan warung makanan di sana. Bubur Ayam, Nasi Goreng, Sate, Roti Bakar dan sebagainya. Dulu tiap kali pulang dari kampus saya melewati jalan itu dan saya melihat tepat seperti apa yang karakter Zafran lihat di sana.
Juga, ada Jakarta 24 Jam, karya Putra Perdana.
Buku ini cukup spesifik membahas kehidupan Jakarta, dengan setting sebuah kafe fiktif di daerah Sabang, Jakarta Pusat. Buku ini banyak menyajikan tentang lika-liku kehidupan urban, mulai dari masalah percintaan hingga kriminalitas. Karya Putra Perdana yang lain, yang cukup detail menelusuri jalanan Ibukota adalah cerpen Delapan. Dia menulis detail perjalanan di daerah Jakarta Selatan, dari daerah Melawai sampai dengan Pasar Minggu.
Terakhir, dua buku yang juga memotret Jakarta menurut saya adalah Jakarta Secret dan Kronik Betawi.
Jakarta Secret sendiri saya belum sempat baca, tapi menurut review teman-teman yang sudah baca, buku ini bercerita tentang teori konspirasi dan simbol-simbol secret society (seperti freemason) yang ada di Jakarta. Mulai dari Kota Tua, Istana Negara, Monas, Bundaran HI, sampai dengan Pancoran. Sedangkan Kronik Betawi karya Ratih Kumala, ini adalah satu dari sangat sedikit novel yang membahas tentang kehidupan keluarga Betawi. Mulai dari cerita sebelum masa kemerdekaan sampai dengan zaman modern setelah runtuhnya rezim orde baru.
Saya suka Kronik Betawi karena pemaparannya khas banget, sang penulis berhasil menyajikan bahasa Betawi dalam tulisan dengan sangat mulus. Isi-nya memang yang saya alami sendiri sebagai seorang anak yang tumbuh besar di keluarga dan lingkungan Betawi yang kena gusuran ! Hahahaha... Juga menyoroti masalah kemiskinan dan keterpinggiran orang Betawi, buku ini benar-benar REAL banget.
Sebenarnya masih banyak lagi, buku-buku yang memotret tentang Jakarta. Tapi saya belum sempat melirik semuanya. Terakhir di catatan ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa memotret Jakarta juga adalah mimpi saya.
Saya ingin menciptakan sebuah novel seperti Cuckoo's Calling karya J K Rowling, saya ingin menulis tentang Jakarta seperti dia begitu detail menulis sudut-sudut Kota London.
. . .
Ilustrasi, Jakarta View sumber allindonesiatravel.com
Supernova vs Nova Chrystallis
By Ftrohx
Jika saya bisa kembali ke tahun 90-an dengan kecerdasaan dan pengetahuan yang sama seperti sekarang.
Maka saya lah yang akan menciptakan novel berjudul Supernova.
Sial-nya, pada saat itu otak saya masih sangat gembel dan sayangnya tidak ada mesin waktu.
Dewi 'Dee' Lestari benar-benar mendapatkan segalanya.
Moment yang tepat dan ide yang tepat. Moment yang tepat karena saat itu belum ada novel yang memakai judul Supernova, dan ide yang tepat karena saat itu saya SMA dan belajar tentang Supernova dalam mata pelajaran Fisika.
Semua anak muda seangkatan saya pasti pernah mendengar Supernova. Yang dalam pelajaran fisika adalah ledakan besar matahari. Yang menjadi tanda akan akhir segalanya yang ada di tata surya. Ledakan yang setelahnya menghasilkan lubang hitam atau dengan kata lain Supernova adalah Kiamat.
Semua konsep itu ada dalam satu buku-nya Dee yang dia beri judul Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Meski itu hanya sebuah kiasan, sebuah alegori, metafora, tapi itu sangat berhasil. Bahwa kita adalah alam semesta dan alam semesta merupakan bagian dari diri kita.
Konsepnya memang benar, meski aplikasinya hanya sebuah cerita perselingkuhan yang berakhir dengan sangat mengecewakan dengan alegori "Kiamat Personal" Supernova sendiri adalah nama samaran dari Diva Anastasia, seorang supermodel sekaligus penulis artikel yang bertindak bak Krishna dalam cerita Mahabarata. Seolah seluruh dunia berputar dalam kepalanya sendiri, padahal mah maih jauh.
Pertama kali saya membaca buku Supernova saat kelas 1 SMA, dari seorang teman cewek yang suka pamer barang baru.
Buku bersampul hitam dengan gambar ledakan bola matahari berwarna biru. Sampulnya benar-benar keren. Saya berpikir mungkin ini seperti Final Fantasy, games Jepang yang sangat populer itu. Pasti banyak adegan action, pasti tentang seorang Ksatria yang menyelamatkan seorang Putri dari Kaisar yang jahat yang ingin menguasai seluruh alam semesta.
Belakangan, semua spekulasi saya itu salah.
Membukanya saya tiba-tiba membaca tentang pasangan gay yang membuat projek buku dengan menggabungkan antara konsep Fisika Kuantum dan Roman Picisan. Benar-benar jauh berbeda dari yang saya pikirkan, tadinya dibenak saya, Supernova itu novel fiksi fantasy, seperti Harry Potter atau Lord of The Ring karena pada zaman itu fiksi fantasi luar negeri memang lagi getol-getolnya populer pada semua anak muda.
Agak mengecewakan memang, Tapi tetap ide-idenya bagus dan berhasil.
Saya nggak bisa membayangkan Indonesia tanpa Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Jika Supernova tidak ada pastinya tidak akan ada Ayat-Ayat Cinta karya Habibirurahman. Tentu saja anda bisa membacanya bahwa Ayat-Ayat Cinta adalah anti-tesis dari Supernova. Di saat Dee pamer pengetahuannya tentang Filosofi dan Fisika. Habiburahman pamer pengetahuannya tentang Filosofi dan dakwah Agama Islam. Di saat Dee bercerita tentang perselingkuhan, Habibur menghantamnya dengan gagasan pernikahan yang syar'i.
Seandainya tidak ada Supernova mungkin kita tidak akan melihat ada novel berjudul Laskar Pelangi. Coba anda masuk ke dalam otaknya Andrea Hirata, mungkin dia berpikir, jika seorang jablay (Diva Anastasia) saja bisa se-begitu jenius, maka gue bisa bikin karakter bocah dengan jiwa murni di pulau terpencil yang jago Fisika, dan tentu saja secara moral itu jauh lebih baik dan menginspirasi yaitu Lintang. Dan tentu saja dia berhasil, jauh daripada ekspektasi semua orang pada masanya. Mereka sukses bukan hanya di versi buku tapi juga versi film bioskopnya.
Oh iya, bicara tentang film bioskop Desember ini Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh akan tayang.
Sekitar dua minggu yang lalu, trailernya sudah beredar di youtube. Diperankan oleh Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, dan lain sebagainya. Memang jauh dari ekspektasi saya. Beberapa karakternya juga terlihat tidak cocok terutama Paula Verhoven yang berperan sebagai Diva, sangat tidak cocok menurut saya.
Beberapa teman saya yang melihat trailernya itupun merasa kecewa, bahkan teman saya si Hopi bilang. "Ketika dijadikan film seperti ini aura spektakulernya hilang,"
Satu catatan penting mengenai trailernya adanya mobil yang melaju kencang, selongsong peluru, sebuah pistol yang digenggam Junot, kapal pesiar, pemandangan restoran-restoran mewah, serta kantor tinggi di langit Jakarta. Semuanya dibuat seolah high class society, juga ada adegan Junot ditodong pistol dan sebuah mobil yang menabrak pecah tembok kaca. Bagi orang awam yang tidak tahu, mereka akan pikir bahwa ini adalah film crime thriller, padahal cerita aslinya jauh dari itu. Tapi, secara keseluruhan sajian yang kurang dari dua menit membawa presentasi yang cukup bagus.
Namun melihat lagi trailer ini, saya merasa ada yang janggal.
Rasanya saya pernah melihat potongan adegan trailer seperti itu, terutama saat mereka menyoroti laut biru dengan kumpulan awan di atasnya dan sinar jingga matahari yang menyilaukan, dan sebuah kapal pesiar. Rasanya saya pernah melihat yang mirip seperti ini. Lalu, ketika saya membuka database, ternyata benar. Kapal besar yang berlayar itu mirip dengan opening trailer dari film favorit saya (yang lain) yaitu Cloud Atlas karya David Mitchell.
Cloud Atlas juga merupakan karya fiksi yang menyajikan gagasan yang besar, bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling terkait. Kehidupan, kematian, cinta, harapan, sedih, keberanian, masa lalu, masa depan, dan sekarang. Semua hal yang bisa disebutkan, semua saling terkait. Tidak ada aku ataupun kamu, tidak ada yang namanya kehilangan, karena kamu sudah memiliki segalanya. Semesta adalah kamu dan kamu adalah semesta. Kehilangan hanya kamu yang menjauh dari diri kamu sendiri.
Bedanya, tentu saja Cloud Atlas lebih SPEKTAKULER daripada Supernova. Baik dari konten dan plot cerita maupun versi film yang penuh aksi dan diisi oleh aktor kelas dunia.
Sayangnya, Cloud Atlas diterbitkan tahun 2004 yang berarti 3 tahun setelah Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Namun, saya telusuri lagi, sebelum Cloud Atlas, David Mitchell telah menciptakan sebuah novel yang nggak kalah kerennya dari Supernova yaitu Ghostwritten. Novel yang menggabungkan antara fiksi crime thriller, romansa filosofis, dan science fiction ala Final Fantasy dengan setting di sembilan kota di enam negara yang berbeda, diterbitkan tahun 1998 yang berarti 3 tahun sebelum Supernova diterbitkan. Tidak perlu terkejut dengan SAKLEK-nya David Mitchell karena ditahun 90-an dia tinggal hampir satu dekade di Jepang, mengajar mata kuliah bahasa Inggris di salah satu di Tokyo.
Budaya gila-gilaannya para sensei di Tokyo bercampur dengan darah crime thriller ala London, maka jadilah dia penulis yang bisa bikin Dan Brown cuma seperti bocah SD yang baru belajar mengarang cerita.
Sama seperti David Mitchell, saya juga sangat mengagumi Budaya Populer Jepang, termasuk yang saya bicarakan di sini adalah Final Fantasy.
Mereka selalu berhasil membuat kejutan yang fenomenal.
Seperti tahun 2013 kemarin mereka menciptakan Fabula Nova Chrystallis, Final Fantasy XIII Entah, mereka dapat judul itu darimana, yang jelas kata-kata itu KEREN banget bukan, Fabula Nova Chrystallis yang dalam bahasa latin berarti 'Cerita baru tentang kristal" Final Fantasy adalah games merobek batasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Games yang membuat suatu cerita fantasi menjadi begitu real. Semua orang tahu, visual games ini sangat menakjubkan, bahkan jauh sebelum AVATAR-nya James Cameron, mereka telah membuat Floatting Mountain mereka sendiri.
Kembali lagi ke judul di atas.
Untuk menciptakan sebuah buku yang spektakuler, dibutuhkan judul yang juga spektakuler, sesuatu yang besar, sesuatu yang grande dengan filosofinya. Sesuatu yang bisa dijadikan kiasan, alegori yang sangat kuat. Dan kata "SUPERNOVA" memiliki itu semua.
Kita sudah biasa mendengar, percintaan dan perselingkuhan dengan kata "Badai pasti berlalu,"atau sebuah tragedi dengan "Tenggelamnya Kapal Titanic" atau pertarungan akhir di pinggir jurang air terjun "Reichenbach"
Tapi kita belum pernah mendengar kiasan tentang sebuah ledakan besar yang menelan seluruh benda yang ada di tata surya. Ledakan di mana jika terjadi pada saat ini, maka tidak akan ada manusia yang selamat meski mereka lari ke planet Pluto, ledakan itu tetap akan menelan kita. DAMN, begitulah Supernova - Dee Lestari benar-benar sangat beruntung menemukan gagasan judul itu untuk buku perdananya.
Namun, meski punya judul yang spektakuler, Supernova tetaplah hanya sebuah buku drama roman picisan yang dibumbui gimmick teori-teori fisika kuantum dan filosofi modern. Dia tidak bisa lebih dari itu tidak seperti Fabula Nova Chrystallis: Final Fantasy XIII karya Tim Square-Enix ataupunCloud Atlas - David Mitchell.
. . .
Ilustrasi Gran Pulse, sumber Final Fantasy Wikia
Jika saya bisa kembali ke tahun 90-an dengan kecerdasaan dan pengetahuan yang sama seperti sekarang.
Maka saya lah yang akan menciptakan novel berjudul Supernova.
Sial-nya, pada saat itu otak saya masih sangat gembel dan sayangnya tidak ada mesin waktu.
Dewi 'Dee' Lestari benar-benar mendapatkan segalanya.
Moment yang tepat dan ide yang tepat. Moment yang tepat karena saat itu belum ada novel yang memakai judul Supernova, dan ide yang tepat karena saat itu saya SMA dan belajar tentang Supernova dalam mata pelajaran Fisika.
Semua anak muda seangkatan saya pasti pernah mendengar Supernova. Yang dalam pelajaran fisika adalah ledakan besar matahari. Yang menjadi tanda akan akhir segalanya yang ada di tata surya. Ledakan yang setelahnya menghasilkan lubang hitam atau dengan kata lain Supernova adalah Kiamat.
Semua konsep itu ada dalam satu buku-nya Dee yang dia beri judul Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Meski itu hanya sebuah kiasan, sebuah alegori, metafora, tapi itu sangat berhasil. Bahwa kita adalah alam semesta dan alam semesta merupakan bagian dari diri kita.
Konsepnya memang benar, meski aplikasinya hanya sebuah cerita perselingkuhan yang berakhir dengan sangat mengecewakan dengan alegori "Kiamat Personal" Supernova sendiri adalah nama samaran dari Diva Anastasia, seorang supermodel sekaligus penulis artikel yang bertindak bak Krishna dalam cerita Mahabarata. Seolah seluruh dunia berputar dalam kepalanya sendiri, padahal mah maih jauh.
Pertama kali saya membaca buku Supernova saat kelas 1 SMA, dari seorang teman cewek yang suka pamer barang baru.
Buku bersampul hitam dengan gambar ledakan bola matahari berwarna biru. Sampulnya benar-benar keren. Saya berpikir mungkin ini seperti Final Fantasy, games Jepang yang sangat populer itu. Pasti banyak adegan action, pasti tentang seorang Ksatria yang menyelamatkan seorang Putri dari Kaisar yang jahat yang ingin menguasai seluruh alam semesta.
Belakangan, semua spekulasi saya itu salah.
Membukanya saya tiba-tiba membaca tentang pasangan gay yang membuat projek buku dengan menggabungkan antara konsep Fisika Kuantum dan Roman Picisan. Benar-benar jauh berbeda dari yang saya pikirkan, tadinya dibenak saya, Supernova itu novel fiksi fantasy, seperti Harry Potter atau Lord of The Ring karena pada zaman itu fiksi fantasi luar negeri memang lagi getol-getolnya populer pada semua anak muda.
Agak mengecewakan memang, Tapi tetap ide-idenya bagus dan berhasil.
Saya nggak bisa membayangkan Indonesia tanpa Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Jika Supernova tidak ada pastinya tidak akan ada Ayat-Ayat Cinta karya Habibirurahman. Tentu saja anda bisa membacanya bahwa Ayat-Ayat Cinta adalah anti-tesis dari Supernova. Di saat Dee pamer pengetahuannya tentang Filosofi dan Fisika. Habiburahman pamer pengetahuannya tentang Filosofi dan dakwah Agama Islam. Di saat Dee bercerita tentang perselingkuhan, Habibur menghantamnya dengan gagasan pernikahan yang syar'i.
Seandainya tidak ada Supernova mungkin kita tidak akan melihat ada novel berjudul Laskar Pelangi. Coba anda masuk ke dalam otaknya Andrea Hirata, mungkin dia berpikir, jika seorang jablay (Diva Anastasia) saja bisa se-begitu jenius, maka gue bisa bikin karakter bocah dengan jiwa murni di pulau terpencil yang jago Fisika, dan tentu saja secara moral itu jauh lebih baik dan menginspirasi yaitu Lintang. Dan tentu saja dia berhasil, jauh daripada ekspektasi semua orang pada masanya. Mereka sukses bukan hanya di versi buku tapi juga versi film bioskopnya.
Oh iya, bicara tentang film bioskop Desember ini Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh akan tayang.
Sekitar dua minggu yang lalu, trailernya sudah beredar di youtube. Diperankan oleh Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, dan lain sebagainya. Memang jauh dari ekspektasi saya. Beberapa karakternya juga terlihat tidak cocok terutama Paula Verhoven yang berperan sebagai Diva, sangat tidak cocok menurut saya.
Beberapa teman saya yang melihat trailernya itupun merasa kecewa, bahkan teman saya si Hopi bilang. "Ketika dijadikan film seperti ini aura spektakulernya hilang,"
Satu catatan penting mengenai trailernya adanya mobil yang melaju kencang, selongsong peluru, sebuah pistol yang digenggam Junot, kapal pesiar, pemandangan restoran-restoran mewah, serta kantor tinggi di langit Jakarta. Semuanya dibuat seolah high class society, juga ada adegan Junot ditodong pistol dan sebuah mobil yang menabrak pecah tembok kaca. Bagi orang awam yang tidak tahu, mereka akan pikir bahwa ini adalah film crime thriller, padahal cerita aslinya jauh dari itu. Tapi, secara keseluruhan sajian yang kurang dari dua menit membawa presentasi yang cukup bagus.
Namun melihat lagi trailer ini, saya merasa ada yang janggal.
Rasanya saya pernah melihat potongan adegan trailer seperti itu, terutama saat mereka menyoroti laut biru dengan kumpulan awan di atasnya dan sinar jingga matahari yang menyilaukan, dan sebuah kapal pesiar. Rasanya saya pernah melihat yang mirip seperti ini. Lalu, ketika saya membuka database, ternyata benar. Kapal besar yang berlayar itu mirip dengan opening trailer dari film favorit saya (yang lain) yaitu Cloud Atlas karya David Mitchell.
Cloud Atlas juga merupakan karya fiksi yang menyajikan gagasan yang besar, bahwa semua yang ada di alam semesta ini saling terkait. Kehidupan, kematian, cinta, harapan, sedih, keberanian, masa lalu, masa depan, dan sekarang. Semua hal yang bisa disebutkan, semua saling terkait. Tidak ada aku ataupun kamu, tidak ada yang namanya kehilangan, karena kamu sudah memiliki segalanya. Semesta adalah kamu dan kamu adalah semesta. Kehilangan hanya kamu yang menjauh dari diri kamu sendiri.
Bedanya, tentu saja Cloud Atlas lebih SPEKTAKULER daripada Supernova. Baik dari konten dan plot cerita maupun versi film yang penuh aksi dan diisi oleh aktor kelas dunia.
Sayangnya, Cloud Atlas diterbitkan tahun 2004 yang berarti 3 tahun setelah Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh.
Namun, saya telusuri lagi, sebelum Cloud Atlas, David Mitchell telah menciptakan sebuah novel yang nggak kalah kerennya dari Supernova yaitu Ghostwritten. Novel yang menggabungkan antara fiksi crime thriller, romansa filosofis, dan science fiction ala Final Fantasy dengan setting di sembilan kota di enam negara yang berbeda, diterbitkan tahun 1998 yang berarti 3 tahun sebelum Supernova diterbitkan. Tidak perlu terkejut dengan SAKLEK-nya David Mitchell karena ditahun 90-an dia tinggal hampir satu dekade di Jepang, mengajar mata kuliah bahasa Inggris di salah satu di Tokyo.
Budaya gila-gilaannya para sensei di Tokyo bercampur dengan darah crime thriller ala London, maka jadilah dia penulis yang bisa bikin Dan Brown cuma seperti bocah SD yang baru belajar mengarang cerita.
Sama seperti David Mitchell, saya juga sangat mengagumi Budaya Populer Jepang, termasuk yang saya bicarakan di sini adalah Final Fantasy.
Mereka selalu berhasil membuat kejutan yang fenomenal.
Seperti tahun 2013 kemarin mereka menciptakan Fabula Nova Chrystallis, Final Fantasy XIII Entah, mereka dapat judul itu darimana, yang jelas kata-kata itu KEREN banget bukan, Fabula Nova Chrystallis yang dalam bahasa latin berarti 'Cerita baru tentang kristal" Final Fantasy adalah games merobek batasan antara dunia mimpi dan dunia nyata. Games yang membuat suatu cerita fantasi menjadi begitu real. Semua orang tahu, visual games ini sangat menakjubkan, bahkan jauh sebelum AVATAR-nya James Cameron, mereka telah membuat Floatting Mountain mereka sendiri.
Kembali lagi ke judul di atas.
Untuk menciptakan sebuah buku yang spektakuler, dibutuhkan judul yang juga spektakuler, sesuatu yang besar, sesuatu yang grande dengan filosofinya. Sesuatu yang bisa dijadikan kiasan, alegori yang sangat kuat. Dan kata "SUPERNOVA" memiliki itu semua.
Kita sudah biasa mendengar, percintaan dan perselingkuhan dengan kata "Badai pasti berlalu,"atau sebuah tragedi dengan "Tenggelamnya Kapal Titanic" atau pertarungan akhir di pinggir jurang air terjun "Reichenbach"
Tapi kita belum pernah mendengar kiasan tentang sebuah ledakan besar yang menelan seluruh benda yang ada di tata surya. Ledakan di mana jika terjadi pada saat ini, maka tidak akan ada manusia yang selamat meski mereka lari ke planet Pluto, ledakan itu tetap akan menelan kita. DAMN, begitulah Supernova - Dee Lestari benar-benar sangat beruntung menemukan gagasan judul itu untuk buku perdananya.
Namun, meski punya judul yang spektakuler, Supernova tetaplah hanya sebuah buku drama roman picisan yang dibumbui gimmick teori-teori fisika kuantum dan filosofi modern. Dia tidak bisa lebih dari itu tidak seperti Fabula Nova Chrystallis: Final Fantasy XIII karya Tim Square-Enix ataupunCloud Atlas - David Mitchell.
. . .
Ilustrasi Gran Pulse, sumber Final Fantasy Wikia
Friday, August 22, 2014
Plot Twist: Bagus vs Maksa
By Ftrohx
Jika dalam Islam, sholat adalah tiangnya agama.
Maka dalam fiksi crime thriller, plot twist adalah tiangnya, hukumnya wajib fardhu ain, tidak bisa tidak, karena jika tidak ada plot twist dalam fiksi crime thriller maka keseluruhan cerita akan berakhir menjadi sebuah melodrama atau berita kriminal biasa yang tayang di televisi. Tidak peduli sebagus apapun opening novel atau film tersebut, juga crafting dan detail ceritanya bagus, tapi ketika puncak dan akhirnya cerita plot twist-nya jelek maka runtuhlah semua itu.
Dalam eksekusinya kadang beberapa penulis berhasil menciptakan plot twist bagus, namun banyak pula penulis yang menghasilkan plot twist yang kurang bagus, kejutan yang maksa, bahkan aneh (dalam artian negatif.) Kadang saya juga kesal sendiri melihat hal-hal yang seperti ini. Baik itu saat berada di toko buku ataupun bioskop, ada buku atau film yang punya plot twist yang bagus, dan ada yang sebaliknya menyajikan plot twist yang maksa. Begitu sampai di adegan klimaks atau mendekati ending, tiba-tiba kita dikejutkan dengan skenario yang maksa.
Contoh semalam, saya nonton film Street Society yang tayang di televisi, tiba-tiba di klimaks filmnya ternyata si Chelsea Islan adalah penjahatnya. "Lah kok begini? Nggak banget dah," terlihat jadi terlalu maksa. Idenya memang bagus untuk bikin penonton terkejut, tapi kembali lagi-lagi ini permasalahan eksekusi cerita.
Chelsea Islan pada bagian-bagian awal terlihat sebagai cewek manis yang menjadi pacar idaman si karakter utama. Lalu si penulis menghancurkan image-nya di puncak cerita. Cukup mengecewakan, maksud saya nggak masuk di logika, harusnya plot twist yang baik itu menyajikan petunjuk yang terang tentang apa yang akan terjadi sehingga penonton atau pembaca bisa menebak-nebak, bukannya malah maksa asal nembak. Mungkin seandainya artisnya orang lain bukan Chelsea Islan, mungkin akan berhasil.
Plot twist yang langsung nembak seperti ini tanpa petunjuk biasanya disebut teknik Chekov Gun (arti dari istilah ini dibaca di wikipedia) contoh pada film Shawshank Redemption, di mana si karakter utama mendapatkan palu dan buku kecil tentang geologi, lalu di akhir cerita ternyata palu itu dia gunakan untuk menggali lubang di sel tahanannya selama 15 tahun untuk melarikan diri dari penjara. Langsung nembak tapi bagus eksekusinya sehingga tidak mengecewakan penonton.
Balik lagi ke Chelsea Islan, saya jadi ingat Along Came Spider, film yang dibintangi oleh Morgan Freeman sebagai detektif Alex Cross. Sang detektif menyelidiki kasus penculikan yang pelakunya adalah penjahat yang pernah ditangani oleh sang detektif beberapa tahun sebelumnya. Dia bekerja sama dengan seorang detektif wanita yang kelihatannya polos, lalu pencarian terus berlanjut sampai pada akhirnya mereka menemukan sang pelaku dan menembaknya. Namun, meski pelaku penculikan telah ditemukan mereka tetap tidak menemukan bocah yang diculik itu. Lalu ketika film mendekati akhir ternyata, rekan si detektif, wanita yang polos itu adalah dalang sebenarnya dari penculikan ini. Sesuatu yang mengejutkan untuk penonton lain, tapi tidak berhasil untuk saya. Seperti yang saya bilang masalah eksekusi.
Kembali lagi, tentang film-film di Indonesia sendiri, saya suka kecewa saat mereka menyajikan karakter psikopat bohongan atau penjahat yang terlalu artificial dibuat-buat. Mereka tidak punya aura kuat sebagai penjahat namun dipaksa untuk jadi penjahat sok keren. Anda pasti tahu yang saya maksud, ada di beberapa catatan saya yang lain. lagi-lagi ke masalah plot twist yang maksa. Bukan hanya di Indonesia, di Hollywood juga banyak yang seperti itu. Satu contoh plot twist yang kurang berhasil menurut saya adalah The Bone Collector, sang pelaku pembunuhan berantai, capek-capek membantai banyak orang hanya dengan alasan untuk membuat puzzle bagi seorang detektif yang telah lumpuh. Lalu sang pelaku muncul dan ternyata selama ini sudah berada di dalam ruangan (yang sama) dengan sang detektif lumpuh.
Nge-twist yang terlalu maksa atau kembali lagi masalah utamanya adalah salah penempatan dan eksekusi yang kurang tepat.
Kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi pelajaran buat kita untuk membuat sesuatu yang lebih baik, melihat dan menilai lebih lagi, terutama untuk saya sendiri ada beberapa film (yang saya ingat) memiliki plot twist yang berhasil. Ok, dibawah ini beberapa plot twist yang berhasil menurut saya.
The Prestige, Film ini bukan sekedar pertarungan antara dua master magician. Tapi juga pertarungan idealisme dan mental antara dua orang laki-laki. Plot twist di sini berlapis-lapis bukan hanya masalah psikologis dari kedua karakter utama tapi juga teknikal dari trik sulap mereka yang grande. Yang saya suka dari film ini adalah penjelasan yang masuk akal dari yang tidak masuk akal. Bagaimana seseorang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersama, bagaimana jika itu adalah trik, bagaimana jika dia menggunakan kembaran, tapi untuk seseorang yang begitu besar dan terkenal menggunakan kembaran adalah cara paling hina.
Inside Man, film ini bercerita tentang perampokan bank yang nyaris sempurna. Bagaimana caranya merampok bank tanpa pistol, tanpa ada yang terluka, tanpa ledakan bom, tanpa tindak kekerasan, dan yang paling penting bagaimana caranya merampok bank tanpa ada uang yang hilang dari bank tersebut. Sesuatu yang tidak masuk akal bagi orang awam, namun di sini plot twistnya.
Sherlock Holmes movie yang pertama, diperankan oleh Robert Downey Jr. Saya suka konsep tentang karakter antagonisnya, Lord Blackwood yang terinspirasi dari kasus Norwood di Return of Sherlock, di mana sang penjahat membuat skenario bahwa dirinya telah tewas. Tapi bukan itu saja plot twist, sang penulis membuat film ini berjalan dengan sangat mulus, dia membuat karakter Blackwood sebagai penyihir yang kuat dan sangat terikat dengan mistis, yang berkebalikan dengan Sherlock yang fokus pada pemecahan science. Hal-hal yang luar biasa dilakukan Blackwood, seperti muncul dan menghilang seperti hantu, mimik tubuhnya yang mirip vampir, hingga bagaimana dia membuat orang terbakar tanpa menyentuh tubuhnya. Setelah penonton benar-benar yakin dengan ketegangan dan ketakutan yang diciptakan Blackwood di akhir cerita, semuanya diungkap oleh Sherlock. Bahwa semua tidak Blackwood bisa dilakukan dengan cara yang masuk akal. Inilah yang namanya plot twist, meyakinkan penonton dengan ketegangan lalu memutar balikkan keyakinan itu dengan fakta-fakta yang benar.
Six Sense dan The Others, dua film ini adalah film horror, Six Sense tentang seorang detektif yang bertemu dengan seorang anak indigo yang bisa melihat hantu, dan The Others tentang sebuah keluarga yang baru pindah ke sebuah rumah besar di mana di dalamnya mereka diteror oleh hantu. Lalu di akhir cerita ternyata mereka para tokoh protagonisnya yang selama ini diteror oleh hantu, justru merekalah para hantunya dan yang mengganggu mereka selama ini justru adalah manusia. Karena perbedaan alam mereka, para hantu itu tidak menyadari bahwa mereka sudah menjadi hantu.
Seven, filmnya Brad Pitt ini juga punya kejutan yang bagus. Bercerita tentang seorang detektif muda yang dipasangkan dengan detektif veteran untuk memburu seorang psikopat yang melakukan aksi pembunuhan berantai, dimana para korbannya diduga tewas dengan pola pembunuhan dari tujuh dosa dalam ajaran Kristiani. Jujur, saya sangat ngeri sekaligus tidak percaya dengan akhir ceritanya. Biasanya film detektif selalu berakhir baik-baik saja bagi karakter protagonisnya, namun film ini adalah tragedi bagi sang tokoh utama. Akhir yang sangat menyayat, saya sendiri nggak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya jika berada di posisi Brad Pitt pada akhir film Seven.
Perfect Number, plot twist yang berhasil biasanya adalah plot twist yang keluar dari zona nyaman, sesuatu yang keluar dari kebiasaan. Jika novel detektif lain bercerita tentang pencarian siapa pelaku pembunuhannya 'Whodunnit' maka Perfect Number karya Keigo Higashino mengambil sisi yang berbeda 'Howdunnit'. Sejak awal pelaku pembunuhannya sudah ketahuan, sudah dijelaskan secara gablang. Tapi, yang jadi pertanyaan bagaimana pelaku melakukan aksi pembunuhannya dan bagaimana pelaku lolos dari kecurigaan serta penyelidikan polisi. Seperti dalam istilah pertunjukan sulap yaitu misdirection, film ini membawa penonton untuk fokus pada hal-hal detail penting namun menjauh daripada apa yang sebenarnya terjadi dibalik layar pembunuhan, dan film ini berhasil.
Black Jack 21, film ini bercerita tentang mahasiswa genius dari MIT yang menemukan bakatnya dalam bidang permainan poker. Bersama dengan dosen matematiknya dia bergabung dalam sebuah tim poker yang tak terkalahkan, mereka meraup banyak untung di Las Vegas, namun dia menjadi kalap dan keluar batasan. Si Mahasiswa menjadi kaya raya dalam sekejab, dan dia tidak mau menuruti perintah si dosen lagi. Disinilah permasalahan dimulai, sang dosen menghancurkan hidupnya, menjebaknya hingga dipukuli oleh penjaga keamanan Casino, juga uang hasil permainan poker pun raib. Tapi pada akhir cerita si mahasiswa berhasil membalas dendam atas sang dosen, balas dendam yang sangat mulus sampai-sampai saya sendiri tidak bisa menebak apa terjadi hingga semuanya dijelaskan oleh sang protagonis dengan sangat rapih.
Butterfly Effect, untuk menciptakan plot twist kamu mesti punya banyak skenario alternatif, dan film ini mengajarkan hal itu. Di bintangi oleh Aston Kutcher, Butterfly Effect memang lebih ke Sci Fi daripada ke cerita crime thriller, Bagaimana jika kamu bisa pergi ke masa lalu dan mengubah sesuatu hal kecil di sana, apa yang kira-kira akan terjadi pada kamu sekarang, seperti apa kehidupan kamu sekarang. Dalam membuat fiksi crime thriller, saya selalu memikirkan banyak hal tentang ini, apa akibat dari tindakan karakter protagonis saya atau apa dampak dari tindakan antagonis saya. Kemana arahnya, apakah akan mengubah akhir dari sebuah cerita yang sudah ditetapkan sebelumnya atau menjadi alternatif lain dari cerita, atau menciptakan rollercoster emosi. Judulnya sendiri mengambil ide dari teori fisika dimana sebuah variable kecil yang nyaris tak terlihat bisa memberikan dampak besar dihasil akhir perhitungan atau biasa diibaratkan dengan kepakan sayap kupu-kupu dapat menciptakan badai di suatu tempat yang jauh. Namun film ini agak menyesatkan saya pada awalnya. Karena saat pertama kali menontonnya saya berpikir bahwa Butterfly Effect adalah istilah psikologi untuk seseorang dengan gangguan mental atau sindrom tertentu pada otaknya, namun setelah saya teliti lagi dari berbagai artikel. Justru Butterfly Effect bukanlah psikologi, meski di trailernya ada rhonsen tengkorak Aston Kutcher dimana signal di otaknya berbentuk kupu-kupu.
Ya, di atas ini hanya beberapa contoh saja yang saya ingat, sebenarnya masih banyak lagi contoh plot twist yang bagus, mungkin saya tambahkan lagi di note yang lain.
. . .
Jika dalam Islam, sholat adalah tiangnya agama.
Maka dalam fiksi crime thriller, plot twist adalah tiangnya, hukumnya wajib fardhu ain, tidak bisa tidak, karena jika tidak ada plot twist dalam fiksi crime thriller maka keseluruhan cerita akan berakhir menjadi sebuah melodrama atau berita kriminal biasa yang tayang di televisi. Tidak peduli sebagus apapun opening novel atau film tersebut, juga crafting dan detail ceritanya bagus, tapi ketika puncak dan akhirnya cerita plot twist-nya jelek maka runtuhlah semua itu.
Dalam eksekusinya kadang beberapa penulis berhasil menciptakan plot twist bagus, namun banyak pula penulis yang menghasilkan plot twist yang kurang bagus, kejutan yang maksa, bahkan aneh (dalam artian negatif.) Kadang saya juga kesal sendiri melihat hal-hal yang seperti ini. Baik itu saat berada di toko buku ataupun bioskop, ada buku atau film yang punya plot twist yang bagus, dan ada yang sebaliknya menyajikan plot twist yang maksa. Begitu sampai di adegan klimaks atau mendekati ending, tiba-tiba kita dikejutkan dengan skenario yang maksa.
Contoh semalam, saya nonton film Street Society yang tayang di televisi, tiba-tiba di klimaks filmnya ternyata si Chelsea Islan adalah penjahatnya. "Lah kok begini? Nggak banget dah," terlihat jadi terlalu maksa. Idenya memang bagus untuk bikin penonton terkejut, tapi kembali lagi-lagi ini permasalahan eksekusi cerita.
Chelsea Islan pada bagian-bagian awal terlihat sebagai cewek manis yang menjadi pacar idaman si karakter utama. Lalu si penulis menghancurkan image-nya di puncak cerita. Cukup mengecewakan, maksud saya nggak masuk di logika, harusnya plot twist yang baik itu menyajikan petunjuk yang terang tentang apa yang akan terjadi sehingga penonton atau pembaca bisa menebak-nebak, bukannya malah maksa asal nembak. Mungkin seandainya artisnya orang lain bukan Chelsea Islan, mungkin akan berhasil.
Plot twist yang langsung nembak seperti ini tanpa petunjuk biasanya disebut teknik Chekov Gun (arti dari istilah ini dibaca di wikipedia) contoh pada film Shawshank Redemption, di mana si karakter utama mendapatkan palu dan buku kecil tentang geologi, lalu di akhir cerita ternyata palu itu dia gunakan untuk menggali lubang di sel tahanannya selama 15 tahun untuk melarikan diri dari penjara. Langsung nembak tapi bagus eksekusinya sehingga tidak mengecewakan penonton.
Balik lagi ke Chelsea Islan, saya jadi ingat Along Came Spider, film yang dibintangi oleh Morgan Freeman sebagai detektif Alex Cross. Sang detektif menyelidiki kasus penculikan yang pelakunya adalah penjahat yang pernah ditangani oleh sang detektif beberapa tahun sebelumnya. Dia bekerja sama dengan seorang detektif wanita yang kelihatannya polos, lalu pencarian terus berlanjut sampai pada akhirnya mereka menemukan sang pelaku dan menembaknya. Namun, meski pelaku penculikan telah ditemukan mereka tetap tidak menemukan bocah yang diculik itu. Lalu ketika film mendekati akhir ternyata, rekan si detektif, wanita yang polos itu adalah dalang sebenarnya dari penculikan ini. Sesuatu yang mengejutkan untuk penonton lain, tapi tidak berhasil untuk saya. Seperti yang saya bilang masalah eksekusi.
Kembali lagi, tentang film-film di Indonesia sendiri, saya suka kecewa saat mereka menyajikan karakter psikopat bohongan atau penjahat yang terlalu artificial dibuat-buat. Mereka tidak punya aura kuat sebagai penjahat namun dipaksa untuk jadi penjahat sok keren. Anda pasti tahu yang saya maksud, ada di beberapa catatan saya yang lain. lagi-lagi ke masalah plot twist yang maksa. Bukan hanya di Indonesia, di Hollywood juga banyak yang seperti itu. Satu contoh plot twist yang kurang berhasil menurut saya adalah The Bone Collector, sang pelaku pembunuhan berantai, capek-capek membantai banyak orang hanya dengan alasan untuk membuat puzzle bagi seorang detektif yang telah lumpuh. Lalu sang pelaku muncul dan ternyata selama ini sudah berada di dalam ruangan (yang sama) dengan sang detektif lumpuh.
Nge-twist yang terlalu maksa atau kembali lagi masalah utamanya adalah salah penempatan dan eksekusi yang kurang tepat.
Kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi pelajaran buat kita untuk membuat sesuatu yang lebih baik, melihat dan menilai lebih lagi, terutama untuk saya sendiri ada beberapa film (yang saya ingat) memiliki plot twist yang berhasil. Ok, dibawah ini beberapa plot twist yang berhasil menurut saya.
The Prestige, Film ini bukan sekedar pertarungan antara dua master magician. Tapi juga pertarungan idealisme dan mental antara dua orang laki-laki. Plot twist di sini berlapis-lapis bukan hanya masalah psikologis dari kedua karakter utama tapi juga teknikal dari trik sulap mereka yang grande. Yang saya suka dari film ini adalah penjelasan yang masuk akal dari yang tidak masuk akal. Bagaimana seseorang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersama, bagaimana jika itu adalah trik, bagaimana jika dia menggunakan kembaran, tapi untuk seseorang yang begitu besar dan terkenal menggunakan kembaran adalah cara paling hina.
Inside Man, film ini bercerita tentang perampokan bank yang nyaris sempurna. Bagaimana caranya merampok bank tanpa pistol, tanpa ada yang terluka, tanpa ledakan bom, tanpa tindak kekerasan, dan yang paling penting bagaimana caranya merampok bank tanpa ada uang yang hilang dari bank tersebut. Sesuatu yang tidak masuk akal bagi orang awam, namun di sini plot twistnya.
Sherlock Holmes movie yang pertama, diperankan oleh Robert Downey Jr. Saya suka konsep tentang karakter antagonisnya, Lord Blackwood yang terinspirasi dari kasus Norwood di Return of Sherlock, di mana sang penjahat membuat skenario bahwa dirinya telah tewas. Tapi bukan itu saja plot twist, sang penulis membuat film ini berjalan dengan sangat mulus, dia membuat karakter Blackwood sebagai penyihir yang kuat dan sangat terikat dengan mistis, yang berkebalikan dengan Sherlock yang fokus pada pemecahan science. Hal-hal yang luar biasa dilakukan Blackwood, seperti muncul dan menghilang seperti hantu, mimik tubuhnya yang mirip vampir, hingga bagaimana dia membuat orang terbakar tanpa menyentuh tubuhnya. Setelah penonton benar-benar yakin dengan ketegangan dan ketakutan yang diciptakan Blackwood di akhir cerita, semuanya diungkap oleh Sherlock. Bahwa semua tidak Blackwood bisa dilakukan dengan cara yang masuk akal. Inilah yang namanya plot twist, meyakinkan penonton dengan ketegangan lalu memutar balikkan keyakinan itu dengan fakta-fakta yang benar.
Six Sense dan The Others, dua film ini adalah film horror, Six Sense tentang seorang detektif yang bertemu dengan seorang anak indigo yang bisa melihat hantu, dan The Others tentang sebuah keluarga yang baru pindah ke sebuah rumah besar di mana di dalamnya mereka diteror oleh hantu. Lalu di akhir cerita ternyata mereka para tokoh protagonisnya yang selama ini diteror oleh hantu, justru merekalah para hantunya dan yang mengganggu mereka selama ini justru adalah manusia. Karena perbedaan alam mereka, para hantu itu tidak menyadari bahwa mereka sudah menjadi hantu.
Seven, filmnya Brad Pitt ini juga punya kejutan yang bagus. Bercerita tentang seorang detektif muda yang dipasangkan dengan detektif veteran untuk memburu seorang psikopat yang melakukan aksi pembunuhan berantai, dimana para korbannya diduga tewas dengan pola pembunuhan dari tujuh dosa dalam ajaran Kristiani. Jujur, saya sangat ngeri sekaligus tidak percaya dengan akhir ceritanya. Biasanya film detektif selalu berakhir baik-baik saja bagi karakter protagonisnya, namun film ini adalah tragedi bagi sang tokoh utama. Akhir yang sangat menyayat, saya sendiri nggak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya jika berada di posisi Brad Pitt pada akhir film Seven.
Perfect Number, plot twist yang berhasil biasanya adalah plot twist yang keluar dari zona nyaman, sesuatu yang keluar dari kebiasaan. Jika novel detektif lain bercerita tentang pencarian siapa pelaku pembunuhannya 'Whodunnit' maka Perfect Number karya Keigo Higashino mengambil sisi yang berbeda 'Howdunnit'. Sejak awal pelaku pembunuhannya sudah ketahuan, sudah dijelaskan secara gablang. Tapi, yang jadi pertanyaan bagaimana pelaku melakukan aksi pembunuhannya dan bagaimana pelaku lolos dari kecurigaan serta penyelidikan polisi. Seperti dalam istilah pertunjukan sulap yaitu misdirection, film ini membawa penonton untuk fokus pada hal-hal detail penting namun menjauh daripada apa yang sebenarnya terjadi dibalik layar pembunuhan, dan film ini berhasil.
Black Jack 21, film ini bercerita tentang mahasiswa genius dari MIT yang menemukan bakatnya dalam bidang permainan poker. Bersama dengan dosen matematiknya dia bergabung dalam sebuah tim poker yang tak terkalahkan, mereka meraup banyak untung di Las Vegas, namun dia menjadi kalap dan keluar batasan. Si Mahasiswa menjadi kaya raya dalam sekejab, dan dia tidak mau menuruti perintah si dosen lagi. Disinilah permasalahan dimulai, sang dosen menghancurkan hidupnya, menjebaknya hingga dipukuli oleh penjaga keamanan Casino, juga uang hasil permainan poker pun raib. Tapi pada akhir cerita si mahasiswa berhasil membalas dendam atas sang dosen, balas dendam yang sangat mulus sampai-sampai saya sendiri tidak bisa menebak apa terjadi hingga semuanya dijelaskan oleh sang protagonis dengan sangat rapih.
Butterfly Effect, untuk menciptakan plot twist kamu mesti punya banyak skenario alternatif, dan film ini mengajarkan hal itu. Di bintangi oleh Aston Kutcher, Butterfly Effect memang lebih ke Sci Fi daripada ke cerita crime thriller, Bagaimana jika kamu bisa pergi ke masa lalu dan mengubah sesuatu hal kecil di sana, apa yang kira-kira akan terjadi pada kamu sekarang, seperti apa kehidupan kamu sekarang. Dalam membuat fiksi crime thriller, saya selalu memikirkan banyak hal tentang ini, apa akibat dari tindakan karakter protagonis saya atau apa dampak dari tindakan antagonis saya. Kemana arahnya, apakah akan mengubah akhir dari sebuah cerita yang sudah ditetapkan sebelumnya atau menjadi alternatif lain dari cerita, atau menciptakan rollercoster emosi. Judulnya sendiri mengambil ide dari teori fisika dimana sebuah variable kecil yang nyaris tak terlihat bisa memberikan dampak besar dihasil akhir perhitungan atau biasa diibaratkan dengan kepakan sayap kupu-kupu dapat menciptakan badai di suatu tempat yang jauh. Namun film ini agak menyesatkan saya pada awalnya. Karena saat pertama kali menontonnya saya berpikir bahwa Butterfly Effect adalah istilah psikologi untuk seseorang dengan gangguan mental atau sindrom tertentu pada otaknya, namun setelah saya teliti lagi dari berbagai artikel. Justru Butterfly Effect bukanlah psikologi, meski di trailernya ada rhonsen tengkorak Aston Kutcher dimana signal di otaknya berbentuk kupu-kupu.
Ya, di atas ini hanya beberapa contoh saja yang saya ingat, sebenarnya masih banyak lagi contoh plot twist yang bagus, mungkin saya tambahkan lagi di note yang lain.
. . .
Criminal Case on Facebook
By Ftrohx
Biasanya saya me-review sebuah novel atau film crime thriller, tapi kali ini yang saya ulas adalah sebuah games online. Mungkin ini games online yang pertama yang saya bahas di blog, dan bisa jadi saya tidak akan menulis lagi yang seperti ini.
Criminal Case saya mainkan pertama kali sekitar dua bulan yang lalu.
Awalnya penasaran aja dengan judulnya 'Criminal Case' atau dalam bahasa Indonesianya 'Kasus Kriminal'. Mendengar nama itu "Wah pasti games detektif-detektifan," dan tentu saja benar adanya.
Kebetulan, kehidupan di dunia facebook makin membosankan (hanya membaca timeline, komen di sebuah status, melihat foto-foto teman, dan sebagainya.) Iya harus ada alternatif lain pikir saya, di sinilah Criminal Case masuk.
Secara keseluruhan games online ini adalah tipe permainan puzzle atau singkatnya mencari gambar.
Mereka akan memberikan soal, dan kita harus menunjuk dengan pointer (di mana) gambar yang dicari tersebut. Semakin cepat gambar tersebut ditemukan semakin tinggi pointnya, dan tiap TKP dengan para pemain lain, kita berlomba-lomba siapa yang paling tinggi point-nya.
Secara garis besar dari tiap TKP dan kasus yang saya hadapi ada tiga permainan inti dalam games ini: pertama mencari icon dari sebuah gambar TKP., kedua menyusun puzzle dari gambar yang diacak, dan ketiga menyusun potongan gambar.
Level tidak mewakili tingkat kesulitan dari kasus yang sedang atau akan di tangani. Seorang pemain dengan level 46 tidak lebih berbeda dari pemain yang baru level 4, hanya saja pemain dengan level yang tinggi menunjukkan berapa banyak TKP dan kasus yang sudah dilewat.
Selama dua bulan main games ini, saya mendapatkan point antara 700ribu - 900ribu, beberapa teman saya ada yang tembus 1jutaan dan biasanya mereka berada di posisi tiga besar.
Ok, tanpa berbasa-basi lagi, langsung saja beberapa kekurangan yang saya dapati dari bermain games online ini.
Untuk orang seperti saya yang biasa menulis hipotesa sendiri, rasanya tiap level di games ini terlalu mudah, yang mempersulit hanyalah masalah energy booster yaitu jumlah energi untuk bisa melanjutkan setiap permainan atau TKP. Bar energi biasanya sampai 110 tapi bisa lebih, dan setiap TKP menghabiskan energi 20 point yang berarti jika Bar penuh maka kita hanya bisa bermain 5 - 6 kali di satu TKP (sampai energi tersebut habis) kecuali jika TKP tersebut sudah clear dapat 5 bintang, maka TKP tersebut hanya menghabiskan 5 point energi.
Kedua, games ini lebih ke roller playing games, sehingga kita hanya mengikuti skenario saja, mengejar 5 bintang di setiap TKP maka sebuah kasus selesai secara otomatis. Kita hanya mengklik percakapan saja yang sudah ada tanpa banyak pilihan alternatif.
Ketiga, pencarian petunjuk untuk menangkap tersangkanya itu terlalu lama. Seperti yang saya sebut di atas harus menyelesaikan TKP dulu sampai 3 atau 5 bintang baru agen Jones memberikan petunjuk untuk menyelesaikan kasus atau Bab criminal case. Di sini saya merasa permainan ini menjadi terlalu kaku. Hanya permainan mencari gambar yang ditambah dengan komik kasus kriminal. Selebihnya, tidak ada analisis di sini, maksud saya pemain tidak dilatih untuk melakukan deduksinya sendiri untuk memecahkan kasus (karena semua sudah serba otomatis ketika semua TKP sudah dapet point 5 bintang).
Masalahnya untuk mendapat point 5 bintang dengan keterbatasan bar energi akan menghabiskan waktu yang sangat lama. Bisa sih, dipercepat dengan membeli voucer point tapi rasanya tidak untuk saya.
Dua bulan berlalu bersama dengan games, biasanya saya sudah tidak tahan.
Ketika kita sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ketika hal yang sama (tersebut) terus berulang menjadi sebuah rutinitas. Maka muncullah kutukan kebosanan, dan dari jalan permainan games ini yang serasa terus berulang. Saya seperti dikutukan dengan kebosanan. Menunggu bar energi penuh, menuggu kirim enegy booster dari rekan-rekan yang lain, juga masalah tantangan di games yang cuma itu-itu saja. Mencari gambar dengan cepat atau merangkai puzzle atau menyusun potongan gambar, dan dialog singkat komik detektif bersama inspektur Jones.
Tentu saja saya sangat bosan, jauh lebih bosan daripada membaca komik Detektif Conan yang sudah volume 70 lebih namun Conan masih berwujud anak kecil saja. Sama, Criminal Case kasusnya sangat panjang, saat saya membuka peta lokasi ada sampai TKP ke seratus sekian. Jika satu TKP saja membutuhkan waktu antara 5 - 7 hari bayangkan berapa lama untuk menyelesaikan semua kasus di games tersebut.
Seandainya saja saya adalah orang lain, pasti saat ini saya sudah meninggalkan Criminal Case. Tapi masalahnya, teman-teman saya yang lain sudah pada duluan main games ini. Putri sudah level 17 begitupula dengan Nuning, dan sepupu saya WIlda sudah sampai level 46. Tentu saja, saya sebagai penulis blog crime thriller tidak mau ketinggalan dari mereka.
. . .
Biasanya saya me-review sebuah novel atau film crime thriller, tapi kali ini yang saya ulas adalah sebuah games online. Mungkin ini games online yang pertama yang saya bahas di blog, dan bisa jadi saya tidak akan menulis lagi yang seperti ini.
Criminal Case saya mainkan pertama kali sekitar dua bulan yang lalu.
Awalnya penasaran aja dengan judulnya 'Criminal Case' atau dalam bahasa Indonesianya 'Kasus Kriminal'. Mendengar nama itu "Wah pasti games detektif-detektifan," dan tentu saja benar adanya.
Kebetulan, kehidupan di dunia facebook makin membosankan (hanya membaca timeline, komen di sebuah status, melihat foto-foto teman, dan sebagainya.) Iya harus ada alternatif lain pikir saya, di sinilah Criminal Case masuk.
Secara keseluruhan games online ini adalah tipe permainan puzzle atau singkatnya mencari gambar.
Mereka akan memberikan soal, dan kita harus menunjuk dengan pointer (di mana) gambar yang dicari tersebut. Semakin cepat gambar tersebut ditemukan semakin tinggi pointnya, dan tiap TKP dengan para pemain lain, kita berlomba-lomba siapa yang paling tinggi point-nya.
Secara garis besar dari tiap TKP dan kasus yang saya hadapi ada tiga permainan inti dalam games ini: pertama mencari icon dari sebuah gambar TKP., kedua menyusun puzzle dari gambar yang diacak, dan ketiga menyusun potongan gambar.
Level tidak mewakili tingkat kesulitan dari kasus yang sedang atau akan di tangani. Seorang pemain dengan level 46 tidak lebih berbeda dari pemain yang baru level 4, hanya saja pemain dengan level yang tinggi menunjukkan berapa banyak TKP dan kasus yang sudah dilewat.
Selama dua bulan main games ini, saya mendapatkan point antara 700ribu - 900ribu, beberapa teman saya ada yang tembus 1jutaan dan biasanya mereka berada di posisi tiga besar.
Ok, tanpa berbasa-basi lagi, langsung saja beberapa kekurangan yang saya dapati dari bermain games online ini.
Untuk orang seperti saya yang biasa menulis hipotesa sendiri, rasanya tiap level di games ini terlalu mudah, yang mempersulit hanyalah masalah energy booster yaitu jumlah energi untuk bisa melanjutkan setiap permainan atau TKP. Bar energi biasanya sampai 110 tapi bisa lebih, dan setiap TKP menghabiskan energi 20 point yang berarti jika Bar penuh maka kita hanya bisa bermain 5 - 6 kali di satu TKP (sampai energi tersebut habis) kecuali jika TKP tersebut sudah clear dapat 5 bintang, maka TKP tersebut hanya menghabiskan 5 point energi.
Kedua, games ini lebih ke roller playing games, sehingga kita hanya mengikuti skenario saja, mengejar 5 bintang di setiap TKP maka sebuah kasus selesai secara otomatis. Kita hanya mengklik percakapan saja yang sudah ada tanpa banyak pilihan alternatif.
Ketiga, pencarian petunjuk untuk menangkap tersangkanya itu terlalu lama. Seperti yang saya sebut di atas harus menyelesaikan TKP dulu sampai 3 atau 5 bintang baru agen Jones memberikan petunjuk untuk menyelesaikan kasus atau Bab criminal case. Di sini saya merasa permainan ini menjadi terlalu kaku. Hanya permainan mencari gambar yang ditambah dengan komik kasus kriminal. Selebihnya, tidak ada analisis di sini, maksud saya pemain tidak dilatih untuk melakukan deduksinya sendiri untuk memecahkan kasus (karena semua sudah serba otomatis ketika semua TKP sudah dapet point 5 bintang).
Masalahnya untuk mendapat point 5 bintang dengan keterbatasan bar energi akan menghabiskan waktu yang sangat lama. Bisa sih, dipercepat dengan membeli voucer point tapi rasanya tidak untuk saya.
Dua bulan berlalu bersama dengan games, biasanya saya sudah tidak tahan.
Ketika kita sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ketika hal yang sama (tersebut) terus berulang menjadi sebuah rutinitas. Maka muncullah kutukan kebosanan, dan dari jalan permainan games ini yang serasa terus berulang. Saya seperti dikutukan dengan kebosanan. Menunggu bar energi penuh, menuggu kirim enegy booster dari rekan-rekan yang lain, juga masalah tantangan di games yang cuma itu-itu saja. Mencari gambar dengan cepat atau merangkai puzzle atau menyusun potongan gambar, dan dialog singkat komik detektif bersama inspektur Jones.
Tentu saja saya sangat bosan, jauh lebih bosan daripada membaca komik Detektif Conan yang sudah volume 70 lebih namun Conan masih berwujud anak kecil saja. Sama, Criminal Case kasusnya sangat panjang, saat saya membuka peta lokasi ada sampai TKP ke seratus sekian. Jika satu TKP saja membutuhkan waktu antara 5 - 7 hari bayangkan berapa lama untuk menyelesaikan semua kasus di games tersebut.
Seandainya saja saya adalah orang lain, pasti saat ini saya sudah meninggalkan Criminal Case. Tapi masalahnya, teman-teman saya yang lain sudah pada duluan main games ini. Putri sudah level 17 begitupula dengan Nuning, dan sepupu saya WIlda sudah sampai level 46. Tentu saja, saya sebagai penulis blog crime thriller tidak mau ketinggalan dari mereka.
. . .
Sunday, August 17, 2014
Review Secret Agent (1907)
By Ftrohx
Goodreads adalah indikator yang bagus untuk sebuah novel yang bagus, semakin tinggi rating-nya semakin tinggi jumlah review-nya maka bisa dipastikan bahwa novel itu sangat bagus, lihat saja buku-buku karya Agatha Christie, J K Rowling, Arthur C. Doyle, dan sebagainya. Nama-nama besar itu selalu punya ribuan reviewers.
Sayangnya, indikator itu tidak berfungsi untuk buku bagus yang satu ini 'Secret Agent' karya Joseph Conrad.
Ok, seperti yang saya tulis di note sebelum ini (pada note bahwa Secret Agent adalah salah satu novel terbaik yang pernah dan masih saya baca. Sang penulis berhasil membuat tulisan dari sudut pandang orang ketiga namun menyajikan emosi dengan kedalaman sudut orang pertama. Untuk crafting yang seperti ini hanya sedikit penulis di dunia ini yang bisa ber-HASIL menulis dengan cara seperti itu.
Ini buku lama diterbitkan tahun 1907 lebih dari seratus tahun yang lalu, tapi jangan salah, ide-ide dan gagasan-gagasan dalam novel masih sangat relevan sampai sekarang, dan bahkan beberapa novel bertema spionase dan terorisme modern (yang sudah terbit dimasa ini) belum tentu bisa se-brilliant karya sang maestro Joseph Conrad.
Meski karya ini sangat hebat, sayangnya review di Goodreads tidak se-signifikan itu. Point-nya hanya medium tidak sampai seribu reviewers. Mungkin karena buku ini memang non-mainstream, sebut saja Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie sudah jadi mainstream, maka siapa Joseph Conrad? Nama yang sangat asing, penulis yang menggabungkan tema political espionage dengan domestic violence dalam satu buku. Sesuatu yang tidak terpikirkan pada zaman.
Membaca buku ini, jangan harap kamu menemukan kisah petualangan ala James Bond, Jason Bourne ataupun Phillip Marlow. Memang Secret Agent (1907) mengambil tema spionase, tapi bukan pada bagian aksi baku hantam, bukan pula memecahkan teka-teki siapa yang menjadi mole di antara para agen. Buku ini lebih ke inside mind apa sih yang ada dibalik orang-orang yang bekerja dalam bidang spionase, lebih ke "Bagaimana jika kamu adalah seorang agen rahasia sungguh dengan segala konflik kamu?" Pekerjaan yang memaksa kamu untuk menjadi orang lain yang tidak kamu mau, pekerjaan yang mengharuskan kamu menjaga sebuah rahasia, pekerjaan yang memaksa kamu untuk melakukan hal-hal kotor dan ekstrim, termasuk melakukan tindakan anarki dan terorisme atas perintah atasan kamu. Pekerjaan yang menjadi sumber konflik dalam rumah tangga kamu dan membuat segalanya hancur.
Menurut saya, buku ini jauh lebih REAL tentang apa yang terjadi di dunia intelijen dibanding dengan James Bond yang terlalu glamour dan terlalu jagoan. Tuan Verloc sang protagonis adalah seorang agen rahasia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya.
Tuan Verloc adalah karakter manusiawi dengan segala gejolak emosi, arogansi, dan juga kebodohannya. Verloc bukanlah jagoan, dia adalah anti-hero yang hidup untuk sebuah perubahan. Dia ingin melakukan sesuatu hal yang benar (menurut keyakinan dia), sebuah revolusi politik harus dilakukan. Namun karena arogansi dan kebohongan-kebohongannya yang rapuh, tujuan baik yang ingin dia capai justru berakhir tragis.
Karakter utama lainnya adalah Winnie, wanita muda nan cantik yang menjadi istri Tuan Verloc. Winnie adalah cewek introvert, dia lebih suka memendam masalah daripada menyampaikannya secara langsung, dia juga lebih emosinya di hadapan sang suami, dia tahu apa yang dirinya sebenarnya butuhkan. Memiliki seorang lelaki mapan yang punya toko atau restoran sendiri, supaya dia bisa menghidupi keluarga kecilnya (Ibu, adiknya, serta anaknya) dalam lingkungan social London yang keras. Tapi dari Verloc dia tidak benar-benar mendapat kemapanan itu, dalam dirinya dia merasa salah memilih suami, tapi waktu sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun sehingga penyesalan itu dia simpan sendiri. Kemudian di waktu dan kondisi yang tepat semua penyesalan dan kebencian itu meledak bersamaan dengan pisau yang dia tancapkan ke jantung suaminya.
Jujur, saya suka idenya. Seorang agen rahasia, sang anti-hero yang ingin mengubah dunia dengan segala arogansi dan idealisme-nya tiba-tiba di ending novel berakhir dengan tewas terbunuh, bukan oleh sesama agen rahasia, bukan oleh Tim SWAT, bukan tentara dan bukan pula detektif. Melainkan anti-hero yang sangat arogan ini tewas oleh istrinya sendiri, seorang wanita rumahan biasa yang (kebetulan) terpancing oleh dendam dan kemarahan atas kematian adiknya di insiden Greenwich. Membaca ini saya sempat membayangkan bagaimana jika Light Yagami tewas di tangan Misa Amane. Nggak ada orang yang bakal menduga akhir cerita seperti itu bukan.
Tapi, bukan itu saja yang membuat novel ini menarik. Terdapat empat karakter lain yang sangat siginifikan menurut saya, yaitu Mr. Vladimir, Stevie, The Professor, dan Inspektur Heat.
Mr. Vladimir adalah atasan Verloc, tipikal High Machiavellians yang sangat berbahaya, seorang yang manipulatif, provokatif, dan ahli dalam permainan psikologis. Memiliki kewibawaan tinggi dan merupakan dalang sebenarnya dari pemboman Greenwich, dia yang mengancam akan mengganti Verloc, jika si agen rahasia tidak menjalankan tugas terakhirnya itu. Karakter Vladimir, sempat mengingatkan saya dengan Von Bork, agen rahasia Jerman yang menjadi lawan terakhir Sherlock Holmes (dikasus His Last Bow) sebelum sang detektif pesiun dan menjadi peternak lebah di pinggiran London.
Kedua karakter Stevie, adik Winnie yang menderita autis. Dia adalah orang dewasa dengan otak anak balita, dia sulit berkomunikasi dan sulit mengambil keputusan sendiri, lalu Verloc sang kakak ipar memanfaatkannya. Dalam buku ini karakter Stevie berperan sangat penting karena dialah martir yang digunakan Verloc sebagai pelaku peledakan Greenwich. Rencananya Stevie hanya meletakkan Bom waktu di Observatorium itu tapi kecelakaan terjadi dan Bom meledak sebelum waktunya. Menghancurkan tubuh Stevie dan memulai sebuah cerita panjang tentang akhir dari seorang agen rahasia.
Lalu ada karakter The Professor, tokoh paling radikal dalam group pasukan teroris ini. Dia adalah ahli kimia yang menciptakan bom jenis baru untuk tugas Verloc, bukan hanya kimia dan fisika, sang Professor juga jagonya dalam berbicara masalah filosofi. Seperti quote-nya tentang keputusasaan yang menjadi favorit saya dalam buku ini. "The world is mediocre, limp, without force. And madness and despair are a force. And force is a crime in the eyes of the fools, the weak and the silly who rule the roost. You are mediocre. Verloc, whose affair the police has managed to smother so nicely, was mediocre. And the police murdered him. He was mediocre. Everybody is mediocre. Madness and despair! Give me that for a lever, and I’ll move the world."
Terakhir, Inspektur Heat. Tentu saja, kita butuh detektif, kita butuh jagoan, kita butuh tim counter-terrorist yang keren, dan Heat adalah kepalanya. Membaca tentang kisah Heat dan metodenya dalam menyelidiki kasus pengeboman di Greenwich, mengingatkan saya akan karakter penyelidik Rusia yang sangat terkenal yaitu Detektif Porfiry dari novel Crime and Punishment karya Doestoyevsky. Heat adalah detektif klasik tapi dia bukan tipikal super-hero seperti Sherlock Holmes, namun dia sangat displin dalam metode dan procedural penyelidikan ala polisi. Cukup berhasil, sampai-sampai petunjuk yang ditemukan membawanya tepat ke depan pintu rumah Tuan Verloc.
Ok, sebuah buku yang bagus selalu punya fondasi yang kuat. Bab awal yang bagus, bab tengah yang bagus, klimaks yang keren, dan tentu saja ending yang tak terduga. Dia punya semua itu, plus quote-quote yang keren, yang membuat saya menempelkannya di beberapa tulisan saya, dan plot twist yang mencengangkan di akhir cerita, tentu saja. Sederhananya yang ingin dia sampaikan adalah seorang penjahat sehebat apapun dia, se-jenius apapun dia pada akhirnya akan kalah juga, dan kalahnya bukan hanya kalah dengan cara biasa, tapi oleh sebuah tragedi, dan semua orang suka membaca tragedi. Seperti yang saya bilang, seandainya saja saya bisa, seandainya saja saya punya kekuatan dan kecerdasaan yang hebat, saya pasti akan bikin novel seperti ini.
. . .
Goodreads adalah indikator yang bagus untuk sebuah novel yang bagus, semakin tinggi rating-nya semakin tinggi jumlah review-nya maka bisa dipastikan bahwa novel itu sangat bagus, lihat saja buku-buku karya Agatha Christie, J K Rowling, Arthur C. Doyle, dan sebagainya. Nama-nama besar itu selalu punya ribuan reviewers.
Sayangnya, indikator itu tidak berfungsi untuk buku bagus yang satu ini 'Secret Agent' karya Joseph Conrad.
Ok, seperti yang saya tulis di note sebelum ini (pada note bahwa Secret Agent adalah salah satu novel terbaik yang pernah dan masih saya baca. Sang penulis berhasil membuat tulisan dari sudut pandang orang ketiga namun menyajikan emosi dengan kedalaman sudut orang pertama. Untuk crafting yang seperti ini hanya sedikit penulis di dunia ini yang bisa ber-HASIL menulis dengan cara seperti itu.
Ini buku lama diterbitkan tahun 1907 lebih dari seratus tahun yang lalu, tapi jangan salah, ide-ide dan gagasan-gagasan dalam novel masih sangat relevan sampai sekarang, dan bahkan beberapa novel bertema spionase dan terorisme modern (yang sudah terbit dimasa ini) belum tentu bisa se-brilliant karya sang maestro Joseph Conrad.
Meski karya ini sangat hebat, sayangnya review di Goodreads tidak se-signifikan itu. Point-nya hanya medium tidak sampai seribu reviewers. Mungkin karena buku ini memang non-mainstream, sebut saja Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie sudah jadi mainstream, maka siapa Joseph Conrad? Nama yang sangat asing, penulis yang menggabungkan tema political espionage dengan domestic violence dalam satu buku. Sesuatu yang tidak terpikirkan pada zaman.
Membaca buku ini, jangan harap kamu menemukan kisah petualangan ala James Bond, Jason Bourne ataupun Phillip Marlow. Memang Secret Agent (1907) mengambil tema spionase, tapi bukan pada bagian aksi baku hantam, bukan pula memecahkan teka-teki siapa yang menjadi mole di antara para agen. Buku ini lebih ke inside mind apa sih yang ada dibalik orang-orang yang bekerja dalam bidang spionase, lebih ke "Bagaimana jika kamu adalah seorang agen rahasia sungguh dengan segala konflik kamu?" Pekerjaan yang memaksa kamu untuk menjadi orang lain yang tidak kamu mau, pekerjaan yang mengharuskan kamu menjaga sebuah rahasia, pekerjaan yang memaksa kamu untuk melakukan hal-hal kotor dan ekstrim, termasuk melakukan tindakan anarki dan terorisme atas perintah atasan kamu. Pekerjaan yang menjadi sumber konflik dalam rumah tangga kamu dan membuat segalanya hancur.
Menurut saya, buku ini jauh lebih REAL tentang apa yang terjadi di dunia intelijen dibanding dengan James Bond yang terlalu glamour dan terlalu jagoan. Tuan Verloc sang protagonis adalah seorang agen rahasia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya.
Tuan Verloc adalah karakter manusiawi dengan segala gejolak emosi, arogansi, dan juga kebodohannya. Verloc bukanlah jagoan, dia adalah anti-hero yang hidup untuk sebuah perubahan. Dia ingin melakukan sesuatu hal yang benar (menurut keyakinan dia), sebuah revolusi politik harus dilakukan. Namun karena arogansi dan kebohongan-kebohongannya yang rapuh, tujuan baik yang ingin dia capai justru berakhir tragis.
Karakter utama lainnya adalah Winnie, wanita muda nan cantik yang menjadi istri Tuan Verloc. Winnie adalah cewek introvert, dia lebih suka memendam masalah daripada menyampaikannya secara langsung, dia juga lebih emosinya di hadapan sang suami, dia tahu apa yang dirinya sebenarnya butuhkan. Memiliki seorang lelaki mapan yang punya toko atau restoran sendiri, supaya dia bisa menghidupi keluarga kecilnya (Ibu, adiknya, serta anaknya) dalam lingkungan social London yang keras. Tapi dari Verloc dia tidak benar-benar mendapat kemapanan itu, dalam dirinya dia merasa salah memilih suami, tapi waktu sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun sehingga penyesalan itu dia simpan sendiri. Kemudian di waktu dan kondisi yang tepat semua penyesalan dan kebencian itu meledak bersamaan dengan pisau yang dia tancapkan ke jantung suaminya.
Jujur, saya suka idenya. Seorang agen rahasia, sang anti-hero yang ingin mengubah dunia dengan segala arogansi dan idealisme-nya tiba-tiba di ending novel berakhir dengan tewas terbunuh, bukan oleh sesama agen rahasia, bukan oleh Tim SWAT, bukan tentara dan bukan pula detektif. Melainkan anti-hero yang sangat arogan ini tewas oleh istrinya sendiri, seorang wanita rumahan biasa yang (kebetulan) terpancing oleh dendam dan kemarahan atas kematian adiknya di insiden Greenwich. Membaca ini saya sempat membayangkan bagaimana jika Light Yagami tewas di tangan Misa Amane. Nggak ada orang yang bakal menduga akhir cerita seperti itu bukan.
Tapi, bukan itu saja yang membuat novel ini menarik. Terdapat empat karakter lain yang sangat siginifikan menurut saya, yaitu Mr. Vladimir, Stevie, The Professor, dan Inspektur Heat.
Mr. Vladimir adalah atasan Verloc, tipikal High Machiavellians yang sangat berbahaya, seorang yang manipulatif, provokatif, dan ahli dalam permainan psikologis. Memiliki kewibawaan tinggi dan merupakan dalang sebenarnya dari pemboman Greenwich, dia yang mengancam akan mengganti Verloc, jika si agen rahasia tidak menjalankan tugas terakhirnya itu. Karakter Vladimir, sempat mengingatkan saya dengan Von Bork, agen rahasia Jerman yang menjadi lawan terakhir Sherlock Holmes (dikasus His Last Bow) sebelum sang detektif pesiun dan menjadi peternak lebah di pinggiran London.
Kedua karakter Stevie, adik Winnie yang menderita autis. Dia adalah orang dewasa dengan otak anak balita, dia sulit berkomunikasi dan sulit mengambil keputusan sendiri, lalu Verloc sang kakak ipar memanfaatkannya. Dalam buku ini karakter Stevie berperan sangat penting karena dialah martir yang digunakan Verloc sebagai pelaku peledakan Greenwich. Rencananya Stevie hanya meletakkan Bom waktu di Observatorium itu tapi kecelakaan terjadi dan Bom meledak sebelum waktunya. Menghancurkan tubuh Stevie dan memulai sebuah cerita panjang tentang akhir dari seorang agen rahasia.
Lalu ada karakter The Professor, tokoh paling radikal dalam group pasukan teroris ini. Dia adalah ahli kimia yang menciptakan bom jenis baru untuk tugas Verloc, bukan hanya kimia dan fisika, sang Professor juga jagonya dalam berbicara masalah filosofi. Seperti quote-nya tentang keputusasaan yang menjadi favorit saya dalam buku ini. "The world is mediocre, limp, without force. And madness and despair are a force. And force is a crime in the eyes of the fools, the weak and the silly who rule the roost. You are mediocre. Verloc, whose affair the police has managed to smother so nicely, was mediocre. And the police murdered him. He was mediocre. Everybody is mediocre. Madness and despair! Give me that for a lever, and I’ll move the world."
Terakhir, Inspektur Heat. Tentu saja, kita butuh detektif, kita butuh jagoan, kita butuh tim counter-terrorist yang keren, dan Heat adalah kepalanya. Membaca tentang kisah Heat dan metodenya dalam menyelidiki kasus pengeboman di Greenwich, mengingatkan saya akan karakter penyelidik Rusia yang sangat terkenal yaitu Detektif Porfiry dari novel Crime and Punishment karya Doestoyevsky. Heat adalah detektif klasik tapi dia bukan tipikal super-hero seperti Sherlock Holmes, namun dia sangat displin dalam metode dan procedural penyelidikan ala polisi. Cukup berhasil, sampai-sampai petunjuk yang ditemukan membawanya tepat ke depan pintu rumah Tuan Verloc.
Ok, sebuah buku yang bagus selalu punya fondasi yang kuat. Bab awal yang bagus, bab tengah yang bagus, klimaks yang keren, dan tentu saja ending yang tak terduga. Dia punya semua itu, plus quote-quote yang keren, yang membuat saya menempelkannya di beberapa tulisan saya, dan plot twist yang mencengangkan di akhir cerita, tentu saja. Sederhananya yang ingin dia sampaikan adalah seorang penjahat sehebat apapun dia, se-jenius apapun dia pada akhirnya akan kalah juga, dan kalahnya bukan hanya kalah dengan cara biasa, tapi oleh sebuah tragedi, dan semua orang suka membaca tragedi. Seperti yang saya bilang, seandainya saja saya bisa, seandainya saja saya punya kekuatan dan kecerdasaan yang hebat, saya pasti akan bikin novel seperti ini.
. . .
Wednesday, August 13, 2014
Review Police Story 2013
By Ftrohx
Satu hal yang pasti, wajah tuanya Jackie Chan sudah tidak dapat ditutup-tutupi lagi di film ini. Pertama kali melihat seperti menonton Opa kamu yang mendadak main film.
Tapi, diluar permasalahan itu, ini adalah satu diantara film crime thriller hebat yang saya tonton tahun ini. Terima kasih untuk adik ipar saya yang telah merekomendasikan Police Story 2013.
Film dimulai dengan adegan menegangkan, di mana Kapten Chan menodongkan pistol ke dahinya, lalu "DORR!!" sebuah tindakan bunuh diri. Gambar lalu masuk ke intro, nama-nama produksi dan sebagainya. Lalu menyoroti Kapten Chan yang sedang tertidur di dalam taksi. Si sopir membangunkannya di sebuah kawasan padat (seperti distrik hiburan) di tengah musim dingin Hongkong.
Chan melihat banyak anak muda berlalu lalang, seperti biasa terdapat adegan anak muda yang secara kebetulan menabraknya dan marah-marah. Adegan-adegan kecil ini, nantinya akan menjadi potongan puzzle penting pada puncak dan ending film. Seperti yang saya bilang, saya suka film ini karena berbeda dari serial Police Story sebelumnya. Kali ini ceritanya benar-benar digarap dengan sangat matang, layaknya kisah kriminal di novel detektif klasik. Begitupula dengan setting properti, pencahayaan, dan teknik pengambilan gambar. Semuanya dibuat remang-remang dan dingin.
Sang polisi mendapatkan sebuah undangan ke sebuah Bar yang baru dibuka. Tapi ini lebih dari sekedar undangan karena di dalam Bar tersebut dia mencari anak gadisnya yang hilang.
Wu Bar adalah tempat yang ramai sekaligus suram, kesan angker tercipta karena tempat ini dulunya adalah bekas pabrik yang disulap menjadi sebuah Bar elit. Entah, darimana pemiliknya mempunyai uang untuk membuat itu. Kesan pertama begitu melihat Jackie Chan berada di dalam setting ini pasti tempat penjebakan, dan benar saja sang polisi dijebak di sana. Tadinya saya pikir ini bakal seperti permainan maut di film Saw dan ternyata saya salah, saya juga sempat berpikir ini mirip dengan Doubt anime psychological thriller di mana sekumpulan orang terjebak di dalam gedung dan satu per satu orang di dalamnya ditemukan tewas terbunuh.
Biasanya film action thriller seperti ini fokus pada penyajian aksi, tapi kali ini beda. Mereka membawa unsur-unsur psikologis dan teka-teki.
Saat menonton film ini, secara otomatis otak saya langsung berspekulasi, apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka menyandera Kapten Chan? Apakah si penjahat memiliki dendam dengan Kapten Chan? Apakah mereka pernah memiliki hubungan di masa lalu, apakah mereka (atau salah satunya) adalah penjahat yang pernah ditangkap Kapten Chan?
Kapten Chan sendiripun berspekulasi seperti itu.
DIa mencoba mengingat-ingat siapa sebenarnya Wu dan apa hubungannya di masa lalu.
Lalu, terjadi flash back saat Kapten Chan menangani kasus-kasus kriminal lain.
Mulai dari kasus perdagangan senjata api ilegal, di mana dia mengejar salah satu dari pimpinan gangster, hingga kasus pengejaran pelaku penculikan yang membuat dadanya tertembus peluru.
Selama beberapa potongan flash back itupun saya juga membuat hipotesa.
Jangan-jangan Wu adalah mantan gangster ini atau anggota gangster itu. Jangan-jangan dia ingin membalas dendam karena ketuanya atau saudaranya tewas terbunuh oleh Kapten Chan.
Ternyata dugaan saya meleset.
Semua orang malam itu berada di Wu Bar dikumpulkan untuk satu tujuan yaitu balas dendam sang pemilik Bar. Dia telah kehilangan adiknya karena sebuah insiden, dan orang-orang yang berada di Bar tersebut adalah para saksi yang kebetulan ada saat insiden saat adiknya Wu meninggal. Kembali lagi, semua orang yang dikumpulkan dalam satu titik ini mengingatkan saya dengan novel And Then There Were None karya Agatha Christie yang saya bahas di note sebelumnya.
Ok, beberapa catatan penting yang saya dapati dari film ini,
Pertama karakter antagonisnya memiliki tampang yang biasa saja, common face untuk seorang supervisor atau manajer hotel biasa. Sejak kemunculan Manajer Wu, saya sudah bertanya-tanya sendiri. "Siapa sebenarnya ini orang?" Wajah yang tidak terlihat seperti karakter antagonis. Kecuali saat bagian flash back di mana dia bercerita tentang masa lalunya sebagai petarung Muai Thai. Karena Manajer Wu ini yang membuat film Police Story 2013 memiliki taste yang berbeda, dan aktornya menurut saya berperan sangat sempurna dalam film ini.
Catatan penting kedua, adalah gaya Sherlock Holmes ala Kapten Chan.
Ada beberapa adegan di mana Kapten Chan melakukan deduksi ala Holmes di mana dia memperkirakan apa yang akan terjadi secara visual. Contoh saat adegan negosiasi antara Kapten Chan dan Manajer Wu. Saat Wu serius bercerita tentang masa lalunya, Kapten Chan mendeduksi bahwa pasukan SWAT melakukan aksi penyerangan dengan snifer dan tepat menembak kepala Wu dari jarak jauh. Namun, kenyataannya berkata lain, ternyata jendela yang menjadi sasaran dari snifer tersebut dibuat dari kaca anti-peluru, begitu pula seluruh bagian dari Bar Wu, semua disiapkan sebagai benteng pertahanan yang siap perang.
Scene deduksi ala Sherlock Holmes pun berlanjut saat adegan penyelamatan sandera, Kapten Chan memaparkan hipotesa-nya bahwa jika dilakukan penyerangan terlalu cepat maka banyak sandera yang akan menjadi korban.
Terakhir tentu saja plot twist yang menyatuhkan semuanya. Orang-orang asing yang seolah tidak saling kenal Ternyata memiliki keterikatan takdir di masa lalu dan masa sekarang. Bahwa semua orang yang dikumpulkan malam itu di Bar Wu adalah orang-orang juga secara kebetulan menjadi saksi mata saat insiden tewasnya adik dari Manajer Wu beberapa tahun sebelumnya.
Lalu, film ini pun mencapai klimaks dan anti-klimaks yang dramatis. Di mana Kapten Chan harus menembak Manajer Wu atau menembak kepala sendiri agar anaknya bisa selamat dari penyanderaan.
Kesimpulan, memang Police Story kali ini tidak penuh dengan stunt action seperti di serial-serial sebelumnya. Tapi, permainan mental yang mereka sajikan, ketegangan psikologis, teka-teki yang bertebaran di mana, setting waktu dan tempat,
Menurut saya film ini layak di kasih label film level A.
. . .
Satu hal yang pasti, wajah tuanya Jackie Chan sudah tidak dapat ditutup-tutupi lagi di film ini. Pertama kali melihat seperti menonton Opa kamu yang mendadak main film.
Tapi, diluar permasalahan itu, ini adalah satu diantara film crime thriller hebat yang saya tonton tahun ini. Terima kasih untuk adik ipar saya yang telah merekomendasikan Police Story 2013.
Film dimulai dengan adegan menegangkan, di mana Kapten Chan menodongkan pistol ke dahinya, lalu "DORR!!" sebuah tindakan bunuh diri. Gambar lalu masuk ke intro, nama-nama produksi dan sebagainya. Lalu menyoroti Kapten Chan yang sedang tertidur di dalam taksi. Si sopir membangunkannya di sebuah kawasan padat (seperti distrik hiburan) di tengah musim dingin Hongkong.
Chan melihat banyak anak muda berlalu lalang, seperti biasa terdapat adegan anak muda yang secara kebetulan menabraknya dan marah-marah. Adegan-adegan kecil ini, nantinya akan menjadi potongan puzzle penting pada puncak dan ending film. Seperti yang saya bilang, saya suka film ini karena berbeda dari serial Police Story sebelumnya. Kali ini ceritanya benar-benar digarap dengan sangat matang, layaknya kisah kriminal di novel detektif klasik. Begitupula dengan setting properti, pencahayaan, dan teknik pengambilan gambar. Semuanya dibuat remang-remang dan dingin.
Sang polisi mendapatkan sebuah undangan ke sebuah Bar yang baru dibuka. Tapi ini lebih dari sekedar undangan karena di dalam Bar tersebut dia mencari anak gadisnya yang hilang.
Wu Bar adalah tempat yang ramai sekaligus suram, kesan angker tercipta karena tempat ini dulunya adalah bekas pabrik yang disulap menjadi sebuah Bar elit. Entah, darimana pemiliknya mempunyai uang untuk membuat itu. Kesan pertama begitu melihat Jackie Chan berada di dalam setting ini pasti tempat penjebakan, dan benar saja sang polisi dijebak di sana. Tadinya saya pikir ini bakal seperti permainan maut di film Saw dan ternyata saya salah, saya juga sempat berpikir ini mirip dengan Doubt anime psychological thriller di mana sekumpulan orang terjebak di dalam gedung dan satu per satu orang di dalamnya ditemukan tewas terbunuh.
Biasanya film action thriller seperti ini fokus pada penyajian aksi, tapi kali ini beda. Mereka membawa unsur-unsur psikologis dan teka-teki.
Saat menonton film ini, secara otomatis otak saya langsung berspekulasi, apa sih yang sebenarnya terjadi? Kenapa mereka menyandera Kapten Chan? Apakah si penjahat memiliki dendam dengan Kapten Chan? Apakah mereka pernah memiliki hubungan di masa lalu, apakah mereka (atau salah satunya) adalah penjahat yang pernah ditangkap Kapten Chan?
Kapten Chan sendiripun berspekulasi seperti itu.
DIa mencoba mengingat-ingat siapa sebenarnya Wu dan apa hubungannya di masa lalu.
Lalu, terjadi flash back saat Kapten Chan menangani kasus-kasus kriminal lain.
Mulai dari kasus perdagangan senjata api ilegal, di mana dia mengejar salah satu dari pimpinan gangster, hingga kasus pengejaran pelaku penculikan yang membuat dadanya tertembus peluru.
Selama beberapa potongan flash back itupun saya juga membuat hipotesa.
Jangan-jangan Wu adalah mantan gangster ini atau anggota gangster itu. Jangan-jangan dia ingin membalas dendam karena ketuanya atau saudaranya tewas terbunuh oleh Kapten Chan.
Ternyata dugaan saya meleset.
Semua orang malam itu berada di Wu Bar dikumpulkan untuk satu tujuan yaitu balas dendam sang pemilik Bar. Dia telah kehilangan adiknya karena sebuah insiden, dan orang-orang yang berada di Bar tersebut adalah para saksi yang kebetulan ada saat insiden saat adiknya Wu meninggal. Kembali lagi, semua orang yang dikumpulkan dalam satu titik ini mengingatkan saya dengan novel And Then There Were None karya Agatha Christie yang saya bahas di note sebelumnya.
Ok, beberapa catatan penting yang saya dapati dari film ini,
Pertama karakter antagonisnya memiliki tampang yang biasa saja, common face untuk seorang supervisor atau manajer hotel biasa. Sejak kemunculan Manajer Wu, saya sudah bertanya-tanya sendiri. "Siapa sebenarnya ini orang?" Wajah yang tidak terlihat seperti karakter antagonis. Kecuali saat bagian flash back di mana dia bercerita tentang masa lalunya sebagai petarung Muai Thai. Karena Manajer Wu ini yang membuat film Police Story 2013 memiliki taste yang berbeda, dan aktornya menurut saya berperan sangat sempurna dalam film ini.
Catatan penting kedua, adalah gaya Sherlock Holmes ala Kapten Chan.
Ada beberapa adegan di mana Kapten Chan melakukan deduksi ala Holmes di mana dia memperkirakan apa yang akan terjadi secara visual. Contoh saat adegan negosiasi antara Kapten Chan dan Manajer Wu. Saat Wu serius bercerita tentang masa lalunya, Kapten Chan mendeduksi bahwa pasukan SWAT melakukan aksi penyerangan dengan snifer dan tepat menembak kepala Wu dari jarak jauh. Namun, kenyataannya berkata lain, ternyata jendela yang menjadi sasaran dari snifer tersebut dibuat dari kaca anti-peluru, begitu pula seluruh bagian dari Bar Wu, semua disiapkan sebagai benteng pertahanan yang siap perang.
Scene deduksi ala Sherlock Holmes pun berlanjut saat adegan penyelamatan sandera, Kapten Chan memaparkan hipotesa-nya bahwa jika dilakukan penyerangan terlalu cepat maka banyak sandera yang akan menjadi korban.
Terakhir tentu saja plot twist yang menyatuhkan semuanya. Orang-orang asing yang seolah tidak saling kenal Ternyata memiliki keterikatan takdir di masa lalu dan masa sekarang. Bahwa semua orang yang dikumpulkan malam itu di Bar Wu adalah orang-orang juga secara kebetulan menjadi saksi mata saat insiden tewasnya adik dari Manajer Wu beberapa tahun sebelumnya.
Lalu, film ini pun mencapai klimaks dan anti-klimaks yang dramatis. Di mana Kapten Chan harus menembak Manajer Wu atau menembak kepala sendiri agar anaknya bisa selamat dari penyanderaan.
Kesimpulan, memang Police Story kali ini tidak penuh dengan stunt action seperti di serial-serial sebelumnya. Tapi, permainan mental yang mereka sajikan, ketegangan psikologis, teka-teki yang bertebaran di mana, setting waktu dan tempat,
Menurut saya film ini layak di kasih label film level A.
. . .
Tuesday, August 12, 2014
Tiga Buku Agatha Christie
By Ftrohx
Dari puluhan buku detektif karya Agatha Christie, selain Mysterious Affair at Style (tentu saja karena dia yang pertama dari serial detektif Poirot) dan Perril at End House (karena sang pelapor ternyata adalah sang pelaku dan Poirot lagi dudul nyaris tertipu.)
Ada tiga yang menjadi favorit saya yaitu Curtain, Orient Express, dan They Were None. Tiga buku ini begitu luar biasa, menunjukan bahwa Agatha adalah salah satu penulis skenario kriminal terbaik yang ada di planet Bumi (pada masanya.)
Tiga buku tentang aksi pembunuhan yang hampir mustahil dipecahkan karena alibi-alibi yang dibangun para karakternya nyaris sempurna, tidak ada celah. Dan seandainya dipraktekkan di dunia nyata, dengan asumsi para penyelidik kepolisian dan kejaksaannya level mediocre, maka bisa dipastikan ketiga kasus kriminal di bawah ini sang pelaku sebenarnya pasti akan lolos dari jerat hukum.
Pertama, And Then There Were None alias Ten Little Nigger alias Ten Little Indian.
Novel ini berkisah tentang sepuluh orang yang diundang oleh pria misterius bernama Mr Un Owen (atau secara redaksional disebut Mr Un None alias tuan tanpa nama)
Sepuluh orang tersebut terjebak di dalam sebuah pulau dan satu per satu semuanya tewas secara misterius oleh pembunuh yang tak kasat mata. Semuanya tewas berurutan sesuai dengan puisi yang terpampang di depan pintu masuk dari resort di pulau tersebut.
Ini adalah kasus pembunuhan yang nyaris tanpa solusi, dan petunjukpun sangat minim apalagi pada zaman itu teknologi penyelidikan TKP belum se-modern sekarang. Seandainya saja tidak ada pesan kematian dari sang pembunuh di akhir cerita saya pastikan akan banyak solusi spekulasi atas kasus pulau Nigger ini. Termasuk ide tentang pembunuhan oleh kekuatan supranatural.
Buku ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak fiksi crime thriller modern, dari buku ini juga diciptakan teori Island of no where yaitu konsep pembunuhan di mana sang pelaku adalah orang yang hanya dan hanya jika berada di dalam pulau (tempat atau gedung) tersebut, yang berarti pelaku bukan orang luar melainkan salah satu atau lebih di antara mereka yang telah hadir di pulau tersebut. Teori Island of no where ini juga dipakai dalam banyak fiksi modern termasuk dalam Black Butler vol. 10 dan film Devil karya M Knight Shamalan.
Tapi, buku ini punya kelemahan juga, masalah penamaan karakter. Entah, bagaimana walaupun saya sudah baca dua kali buku ini, tapi saya tidak benar-benar hafal nama-nama karakternya. Saya hanya ingat apa peranan para karakternya (profesi yang mereka kerjakan,) ada seorang pesiunan tentara, seorang dokter, seorang pembunuh bayaran, seorang hakim, seorang pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
Kedua, Murder on the Orient Express.
Ciri khas dari novel detektif adalah plot twist yang tidak terduga di akhir cerita, dan Agatha Christie adalah Ratu-nya untuk hal yang satu ini. Dia membuat solusi yang sangat masuk akal di antara hal-hal yang tidak masuk akal.
Terjadi pembunuhan di sebuah kompartem di dalam kereta lintas Eropa yang disebut dengan nama Orient Express. Korban pembunuhan bernama Mr Ratchett alias Casseti yang ternyata adalah seorang mafia yang baru saja lolos dari persidangan atas kasus penculikan di Amerika.
Semua menjadi serba kebetulan, semua detail berubah menjadi bentuk jaringan besar yang rumit. Seperti laba-laba yang menjerat mangsanya dalam jaring, itulah yang terjadi dalam Orient Express dan sang korban sekaligus sang penjahat tewas di sana, dalam sebuah konspirasi atau mengutip kata Poirot dalam novel tersebut, "Sebuah Opera, sebuah pertunjukan yang sangat berhasil, di mana setiap orang memiliki peranan penting untuk menutupi alibi yang satu dengan yang lainnya."
Mengejutkan tentu saja, sekaligus legendaris bahkan untuk zaman sekarang bahwa sebuah kisah pembunuhan dengan banyak saksi dan ternyata ke dua belas saksi tersebut adalah pelakunya. Ke dua belas saksi adalah orang-orang yang berkonspirasi untuk mengeksekusi penjahat yang lolos dari hukum.
Ketiga, Curtain
Novel ini membawa sebuah ide tentang bagaimana caranya melakukan pembunuhan yang sempurna, melenyapkan seseorang tanpa ada satu pun petunjuk yang mengarah kepada kita, sang pelakunya.
Bagaimana melakukan pembunuhan tanpa meninggalkan jejak bukti di TKP sama sekali, membunuh orang lain dari jarak jauh tanpa benturan fisik, seperti Death Note tapi jauh sebelum Death Note karena buku ini dibuat pada zaman perang dunia kedua.
Saya ingat sekali, buku ini direkomendasikan oleh senior saya, WIndry Ramadhina, dan benar saja ini adalah salah satu yang terbaik dari Agatha Christie.
Sang pelaku disebut sebagai X, dan dia pulalah yang menggunakan initial ini pertama kali jauh sebelum X-men dan teman-teman marvelnya. Sang X mengembangkan teknik pengendalian emosional, ini bukan hipnotis, melainkan penekanan psikologis seseorang dan memprovokasinya untuk melakukan tindakan pembunuhan. Metode ini kemudian disebut sebagai penyempurnaan Iago dari kisah Otthelo. Yang tentu saja kemudian diadaptasi oleh Tsugumi Ohba dalam kisah Reversi di Bakuman (karena itulah kenapa nama karakternya Weiss and Schwarz.)
Kasus pembunuhan berantai X membawa Hercule Poirot bertemu kembali dengan Arthur Hasting di Kota Style, pinggiran Inggris. Kota yang juga merupakan TKP pertama dari kasus pertama serial Hercule Poirot - Agatha Christie. Berhadapan dengan lawan yang menciptakan kasus pembunuhan yang paling sulit dipecahkan, novel ini menjadi puncak dari seluruh pertarungan Poirot sekaligus penutup dari kisah sang detektif dari Belgia.
Dibanding dengan semua kisah Poirot yang lain, Curtain bisa saya bilang punya ending yang paling dramatis dari semuanya.
. . .
Dari puluhan buku detektif karya Agatha Christie, selain Mysterious Affair at Style (tentu saja karena dia yang pertama dari serial detektif Poirot) dan Perril at End House (karena sang pelapor ternyata adalah sang pelaku dan Poirot lagi dudul nyaris tertipu.)
Ada tiga yang menjadi favorit saya yaitu Curtain, Orient Express, dan They Were None. Tiga buku ini begitu luar biasa, menunjukan bahwa Agatha adalah salah satu penulis skenario kriminal terbaik yang ada di planet Bumi (pada masanya.)
Tiga buku tentang aksi pembunuhan yang hampir mustahil dipecahkan karena alibi-alibi yang dibangun para karakternya nyaris sempurna, tidak ada celah. Dan seandainya dipraktekkan di dunia nyata, dengan asumsi para penyelidik kepolisian dan kejaksaannya level mediocre, maka bisa dipastikan ketiga kasus kriminal di bawah ini sang pelaku sebenarnya pasti akan lolos dari jerat hukum.
Pertama, And Then There Were None alias Ten Little Nigger alias Ten Little Indian.
Novel ini berkisah tentang sepuluh orang yang diundang oleh pria misterius bernama Mr Un Owen (atau secara redaksional disebut Mr Un None alias tuan tanpa nama)
Sepuluh orang tersebut terjebak di dalam sebuah pulau dan satu per satu semuanya tewas secara misterius oleh pembunuh yang tak kasat mata. Semuanya tewas berurutan sesuai dengan puisi yang terpampang di depan pintu masuk dari resort di pulau tersebut.
Ini adalah kasus pembunuhan yang nyaris tanpa solusi, dan petunjukpun sangat minim apalagi pada zaman itu teknologi penyelidikan TKP belum se-modern sekarang. Seandainya saja tidak ada pesan kematian dari sang pembunuh di akhir cerita saya pastikan akan banyak solusi spekulasi atas kasus pulau Nigger ini. Termasuk ide tentang pembunuhan oleh kekuatan supranatural.
Buku ini menjadi sumber inspirasi bagi banyak fiksi crime thriller modern, dari buku ini juga diciptakan teori Island of no where yaitu konsep pembunuhan di mana sang pelaku adalah orang yang hanya dan hanya jika berada di dalam pulau (tempat atau gedung) tersebut, yang berarti pelaku bukan orang luar melainkan salah satu atau lebih di antara mereka yang telah hadir di pulau tersebut. Teori Island of no where ini juga dipakai dalam banyak fiksi modern termasuk dalam Black Butler vol. 10 dan film Devil karya M Knight Shamalan.
Tapi, buku ini punya kelemahan juga, masalah penamaan karakter. Entah, bagaimana walaupun saya sudah baca dua kali buku ini, tapi saya tidak benar-benar hafal nama-nama karakternya. Saya hanya ingat apa peranan para karakternya (profesi yang mereka kerjakan,) ada seorang pesiunan tentara, seorang dokter, seorang pembunuh bayaran, seorang hakim, seorang pembantu rumah tangga, dan sebagainya.
Kedua, Murder on the Orient Express.
Ciri khas dari novel detektif adalah plot twist yang tidak terduga di akhir cerita, dan Agatha Christie adalah Ratu-nya untuk hal yang satu ini. Dia membuat solusi yang sangat masuk akal di antara hal-hal yang tidak masuk akal.
Terjadi pembunuhan di sebuah kompartem di dalam kereta lintas Eropa yang disebut dengan nama Orient Express. Korban pembunuhan bernama Mr Ratchett alias Casseti yang ternyata adalah seorang mafia yang baru saja lolos dari persidangan atas kasus penculikan di Amerika.
Semua menjadi serba kebetulan, semua detail berubah menjadi bentuk jaringan besar yang rumit. Seperti laba-laba yang menjerat mangsanya dalam jaring, itulah yang terjadi dalam Orient Express dan sang korban sekaligus sang penjahat tewas di sana, dalam sebuah konspirasi atau mengutip kata Poirot dalam novel tersebut, "Sebuah Opera, sebuah pertunjukan yang sangat berhasil, di mana setiap orang memiliki peranan penting untuk menutupi alibi yang satu dengan yang lainnya."
Mengejutkan tentu saja, sekaligus legendaris bahkan untuk zaman sekarang bahwa sebuah kisah pembunuhan dengan banyak saksi dan ternyata ke dua belas saksi tersebut adalah pelakunya. Ke dua belas saksi adalah orang-orang yang berkonspirasi untuk mengeksekusi penjahat yang lolos dari hukum.
Ketiga, Curtain
Novel ini membawa sebuah ide tentang bagaimana caranya melakukan pembunuhan yang sempurna, melenyapkan seseorang tanpa ada satu pun petunjuk yang mengarah kepada kita, sang pelakunya.
Bagaimana melakukan pembunuhan tanpa meninggalkan jejak bukti di TKP sama sekali, membunuh orang lain dari jarak jauh tanpa benturan fisik, seperti Death Note tapi jauh sebelum Death Note karena buku ini dibuat pada zaman perang dunia kedua.
Saya ingat sekali, buku ini direkomendasikan oleh senior saya, WIndry Ramadhina, dan benar saja ini adalah salah satu yang terbaik dari Agatha Christie.
Sang pelaku disebut sebagai X, dan dia pulalah yang menggunakan initial ini pertama kali jauh sebelum X-men dan teman-teman marvelnya. Sang X mengembangkan teknik pengendalian emosional, ini bukan hipnotis, melainkan penekanan psikologis seseorang dan memprovokasinya untuk melakukan tindakan pembunuhan. Metode ini kemudian disebut sebagai penyempurnaan Iago dari kisah Otthelo. Yang tentu saja kemudian diadaptasi oleh Tsugumi Ohba dalam kisah Reversi di Bakuman (karena itulah kenapa nama karakternya Weiss and Schwarz.)
Kasus pembunuhan berantai X membawa Hercule Poirot bertemu kembali dengan Arthur Hasting di Kota Style, pinggiran Inggris. Kota yang juga merupakan TKP pertama dari kasus pertama serial Hercule Poirot - Agatha Christie. Berhadapan dengan lawan yang menciptakan kasus pembunuhan yang paling sulit dipecahkan, novel ini menjadi puncak dari seluruh pertarungan Poirot sekaligus penutup dari kisah sang detektif dari Belgia.
Dibanding dengan semua kisah Poirot yang lain, Curtain bisa saya bilang punya ending yang paling dramatis dari semuanya.
. . .
Monday, August 11, 2014
Crime Thriller: Antara Mimpi dan Realita ( II )
By Ftrohx
"Most writers are ambitious people—we have to be, after all, just setting out to write a novel is an ambitious move on its own." - Ava Jae, blog writer
Kita tahu, tidak semua orang berani mengambil keputusan untuk menjadi seorang penulis fiksi. Termasuk saya sendiri, pada awalnya saya menulis sebuah cerita karena keterpaksaan.
Saya tidak pernah benar-benar suka membaca buku, apalagi menulis. Hanya sebuah kebetulan saja saya suka berdebat di internet tentang anime kemudian saya menyadari saya bisa menulis lebih banyak daripada teman-teman saya yang lain. Mungkin hanya sebuah kebetulan, tapi belakangan saya melihat apa itu yang disebut bakat dan apa itu tekad menjadi seorang penulis fiksi.
Untuk menjadi penulis fiksi dibutuhkan lebih dari sekedar NIAT, melainkan sebuah KEBERANIAN, karena menulis sebuah cerita bagi orang awam adalah sesuatu yang belum pasti menghasilkan uang, dan rasanya sangat sulit untuk bisa bertahan hidup dari hanya menulis cerita. Butuh keberanian besar untuk memulainya, dan selalu ada halangan besar.
Kita semua para penulis adalah para pemimpi, orang-orang yang realistis akan jauh berpikir ulang akan untung dan ruginya memulai pekerjaan ini.
Orang-orang yang terlalu realistis akan langsung berhenti di tengah jalan, karena tidak pernah mudah dalam menjalani hidup sebagai penulis fiksi, dan faktanya bagi orang awam; menulis adalah hobi dan hobi biasanya bukan untuk mencari uang.
Tapi kita para penulis fiksi adalah makhluk yang ambisius, apalagi kita para penulis crime thriller. Kita menyadari itu, kita memiliki keyakinan yang besar akan hal itu.
Kita ingin tulisan kita menjadi yang pertama, menjadi yang terbaik yang mengubah negeri ini. Kita tidak dapat mengelaknya karena ini memang dari lubuk hati terdalam kita. Kita ingin menunjukan bahwa penulis-penulis fiksi di Indonesia tidak kalah dengan penulis fiksi di luar negeri. Kita ingin menunjukan bahwa kita punya cerita yang bagus kok, di negara yang disebut Indonesia ini. Itu mimpi-mimpi kita dan sebenarnya sudah banyak orang Indonesia yang mencobanya.
Tengok saja beberapa tahun yang lalu betapa ambisiusnya Es Ito dengan projek novel Negara Kelima. Novel yang bercerita tentang pencarian harta karun Atlantis yang tenggelam dengan teori bahwa negeri Atlantis terbenam di nusantara 11ribu tahun yang lalu. Tentang kebangkitan bangsa Indonesia, tentang revolusi yang radikal dan harapan akan negeri ini agar lebih maju.
Lalu, ada juga novel action Digitarium, meski tidak menciptakan hits tapi penulisnya memiliki keberanian dan kepercayaan diri tinggi menulis berbagai macam adegan action yang biasanya hanya ada di dalam TV ke bentuk tulisan. Begitupula dengan Seno Gumira Adji dengan serial Nagabumi-nya, seolah mengembalikan zaman kejayaan cerita silat ala Bastian Tito.
Atau kita bisa melihat mimpi anak muda akan kebangkitan crime thriller di Indonesia melalui Metropolis: Sindikat 12 karya Arsitek Windry Ramadhina. Novel yang begitu detail dan penuh rasa akan cerita kehidupan kriminal di Jakarta. Mbak Windry menunjukan bahwa cerita fiksi kita, bisa nggak kalah keren dari cerita mafia Hollywood atau para triad Hongkong di Infernal Affairs. Asli, dua tahun sebelum The Raid-nya Gareth Evan dan Iko Uwais tayang di bioskop. Indonesia sudah punya cerita mafia yang keren.
Kita bisa melihat ambisi dari sebuah tulisan, kita bisa melihat sebuah pemberontakan dengan ide contohnya saja Bilangan Fu karya Ayu Utami atau membuat dobrakan yang spektakuler dari sebuah cerita perselingkuhan dengan analogi teori-teori fisika quantum dan tempelan filosofi dari Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh. Lalu, di tiban pula dengan keindahan ayat-ayat Al-Qur'an dan Hadist Nabi ke dalam sebuah kisah roman fantasi tentang anak muda Indonesia yang sangat-sangat beruntung mendapatkan banyak cewek di Kairo dalam kisah AAC - Habiburahman.
Dari sebuah tesis kemudian menjadi anti-tesis. Kita para penulis setidaknya punya ambisi untuk mengalahkan penulis hebat Indonesia sebelumnya.
Sayangnya, untuk bidang crime thriller kita tidak seberuntung itu.
Anak-anak muda yang punya semangat ini kadang, kurang riset, dan kurang referensi sehingga dengan modal nekad dan seadanya mereka mencoba membuat sebuah fiksi kriminal yang mereka pikir keren. Padahal, masih jauh api dari panggangan. Seperti novel Detektif Sekolah, novel Project X, dan sebagainya.
Selain dari para penulis muda di Net Detective Indonesia dan dari komunitas Kemudian.com, satu nama penulis muda yang layak diperhitungkan adalah Fandi Sido, yang menshare karya-nya serial detektif Adam Yafrizal di Kompasiana yang menurut saya tidak kalah dengan serial Kindaichi.
Juga senior saya yang paling konsisten dalam bidang action dan kriminal, masih tetap Putra Perdana Kusuma.
Saat banyak orang yang berhenti menulis cerita action thriller di satu buku. Putra Perdana, tetap konsisten dengan cerita yang berbau aksi dan ketegangan.
Di saat orang-orang menulis drama percintaan dalam kumpulan cerpen Gramedia. Putra Perdana, dengan berani dia menulis cerita kriminal dibalut percintaan dalam Jakarta 24 Jam. Meski dengan resiko (tentu saja) para kritikus di Goodreads itu.
Sedangkan saya sendiri, masih berjuang dengan tulisan saya.
Saya tahu, saya memang belum cukup pintar membuat plot kriminal, saya masih kurang dalam mengembangkan emosi karakter, saya masih kurang dalam menyajikan sebuah cerita dan lain sebagainya.
Banyak orang yang bertanya kenapa saya tetap berusaha menjadi penulis. Mereka yang realistis bilang, bahwa saya sebaiknya berhenti saja. Tapi yang mereka tidak tahu jika saya berhenti sekarang, maka saya menghancurkan banyak hal yang sudah saya rangkai sebelumnya. Semua mimpi-mimpi saya, semua ambisi saya.
Jujur, saya bukan orang yang hebat, saya tidak terlahir kaya, saya tidak juga pintar di bidang akademik ataupun olahraga. Saya tidak terlahir dengan wajah tampan dan saya tidak bisa bermain musik.
Saya cuma bisa bermimpi menjadi orang lain yang tenar saat di sekolah (dan sampai sekarang pun juga masih banyak mimpi-mimpi tersebut.) Karena itu saya ingin membalas dendam semuanya, semua kegagalan saya, semua yang tidak bisa saya capai dahulu. Saya ingin membalasnya dengan menjadi seorang penulis sungguhan, seorang penulis crime thriller yang membuat sejarah sendiri di Indonesia. Minimal tahun ini saya harus bisa mengejar para senior-senior saya.
. . .
Monday, August 4, 2014
Crime Thriller: Antara Mimpi dan Realita ( I )
By Ftrohx
Ada satu tulisan di blog-nya Brahmanto Anindito yang membuat saya tertegun "Apakah menjadi seorang penulis sukses itu harus terkenal dahulu atau membuat karya dahulu?"
Di zaman sekarang, penerbit (terutama yang besar) hanya menerbitkan buku dari orang yang sudah besar saja, dengan alasan supaya ada jaminan sebuah buku yang dicetak 3ribu copy bisa terjual atau setidaknya setengahnya, nggak rugi-rugi bangetlah.
Sementara isi buku? Hmm, kebanyakan buku tulisan penulis Indonesia sekarang bikin orang males baca buku. Tengok saja lingkungan sekitar anda, berapa banyak orang sih yang baca buku atau novel asli Indonesia? Kadang saya merasa sendirian untuk hal yang satu ini.
Kita selalu menghabiskan uang untuk buku-buku terbitan luar atau setidaknya komik Jepang. Tapi buku asli Indonesia? Ceritanya itu-itu aja; kalau tidak cerita romance yang mendayu-dayu, pasti novel komedi yang isinya begitu saja. Buku-buku seperti itu adalah buku yang dengan mudah terlupakan, anda nulis 30ribu sampai 100ribu kata. Anda menghabiskan ribuan jam di depan monitor lalu begitu diterbitkan, begitu beredar di masyarakat, tidak sampai 3 bulan atau ketika diturunkan dari rak toko buku, semuanya sudah terlupakan. Nama anda tidak dikenang orang.
Ok, maaf saya sebenarnya sedang kesal sendiri. "Di MANA NOVEL CRIME THRILLER INDONESIA?"
Sebenarnya novel yang mengambil tema tentang kriminal, detektif, spionase, psikopat, tema hukum, pengadilan, psychological thriller, petarungan, action, dan sebagainya itu banyak. Saya melihat sendiri novel-novel ini muncul sekejab lalu menghilang tidak diterbitkan lagi, kecuali hanya sedikit dari penulis yang benar-benar konsisten.
Beberapa minggu belakangan ini saya bolak-balik ke toko buku dan mendapati novel-novel ini. Tema crime thriller yang berusaha untuk menjadi hebat tapi tidak cukup bagus bahkan anjlok.
Kemarin saya membuka sebuah buku bagus karya Langit Kresna Hadi. Buku bergenre crime thriller yang berjudul Teror dengan sampulnya yang bergambar seperti ledakan api. Begitu spektakuler, karena isinya lumayan tebal dan kisah yang dibawakan juga non-mainstream.
Tapi apakah orang akan baca?
Orang Indonesia dengan kualitas membaca yang begitu rendah, rasanya sulit untuk membaca buku tebal seperti ini? Dan tepat saja perkiraan saya,
Begitu saya buka Google belum ada satu orang pun yang mereview buku ini. Saya khawatir, setelah diturunkan dari rak toko buku. Buku ini akan menghilang dari sejarah Indonesia. Sama seperti buku-buku crime thriller asli Indonesia yang lain.
Banyak yang bagus, tapi banyak yang terlupakan begitu buku-buku itu diturunkan dari rak-nya.
Tahun lalu saya menemukan sebuah buku berjudul Detektif Sekolah karya DImas Abi yang diterbtikan oleh Bukune, namun isinya terlalu biasa. Hanya kehidupan anak sekolah biasa, yang secara kebetulan berhadapan dengan kasus penculikan.
Lalu setelah itu muncul 'Tangan Kelima' karya Cristian Armantyo yang diterbitkan Visimedia, cerita seorang anakmuda yang menyelidiki tentang mobil misterius yang tertinggal di garasinya dan tentang kematian ayahnya. Namun novel ini juga tidak berhasil membuat hits. Kedua-duanya tidak mendapat review yang bagus di Goodreads. Juga ada novel berjudul Enigma yang diterbitkan oleh Grasindo, ini juga tidak begitu sukses. Serta novel 2040 yang mengambil tema fan fiction ala K-Pop digabung unsur detektif dan spionase, ini juga tidak mendapatkan hits. Satu-satunya masih saya kenang baik di tahun lalu hanya Katarsis karya Anastasia Aemilia terbitan GPU. Novel dengan genre psychological thriller yang bercerita tentang seorang gadis psikopat yang membantai keluarganya sendiri.
Sedangkan tahun ini, saya menemukan buku Project X karya anak-anak NDI yang digadang-gadang sebagai novel crime thriller asli Indonesia yang bakal nge-hits. Namun kenyataannya "masih jauh api dari panggangan" Saya bisa memaklumi karena penulisnya masih muda-muda, mungkin hanya kurang pengetahuan saja akan dunia literatur. Tapi dengan membawa nama besar NDI harusnya tim ini jauh lebih baik lagi.
Buku Project X ditulis oleh 5 orang penulis dengan sudut pandang orang pertama dari 5 tokoh utama. Saya sendiri tidak hafal nama-namanya. Yang pasti ada 5 kasus yang mereka tangani, kemudian ke 5 kasus itu terhubung ke sebuah kasus konspirasi yang disebut Project X. Sayangnya, cara mereka mengeksekusi cerita masih jauh dibawah ekspektasi saya. Jujur, untuk buku seharga 59ribu masih jauh lebih bagus serial detektif Adam Yafrizal karya Fandi Sido yang beredar di Kompasiana.
. . .
Ada satu tulisan di blog-nya Brahmanto Anindito yang membuat saya tertegun "Apakah menjadi seorang penulis sukses itu harus terkenal dahulu atau membuat karya dahulu?"
Di zaman sekarang, penerbit (terutama yang besar) hanya menerbitkan buku dari orang yang sudah besar saja, dengan alasan supaya ada jaminan sebuah buku yang dicetak 3ribu copy bisa terjual atau setidaknya setengahnya, nggak rugi-rugi bangetlah.
Sementara isi buku? Hmm, kebanyakan buku tulisan penulis Indonesia sekarang bikin orang males baca buku. Tengok saja lingkungan sekitar anda, berapa banyak orang sih yang baca buku atau novel asli Indonesia? Kadang saya merasa sendirian untuk hal yang satu ini.
Kita selalu menghabiskan uang untuk buku-buku terbitan luar atau setidaknya komik Jepang. Tapi buku asli Indonesia? Ceritanya itu-itu aja; kalau tidak cerita romance yang mendayu-dayu, pasti novel komedi yang isinya begitu saja. Buku-buku seperti itu adalah buku yang dengan mudah terlupakan, anda nulis 30ribu sampai 100ribu kata. Anda menghabiskan ribuan jam di depan monitor lalu begitu diterbitkan, begitu beredar di masyarakat, tidak sampai 3 bulan atau ketika diturunkan dari rak toko buku, semuanya sudah terlupakan. Nama anda tidak dikenang orang.
Ok, maaf saya sebenarnya sedang kesal sendiri. "Di MANA NOVEL CRIME THRILLER INDONESIA?"
Sebenarnya novel yang mengambil tema tentang kriminal, detektif, spionase, psikopat, tema hukum, pengadilan, psychological thriller, petarungan, action, dan sebagainya itu banyak. Saya melihat sendiri novel-novel ini muncul sekejab lalu menghilang tidak diterbitkan lagi, kecuali hanya sedikit dari penulis yang benar-benar konsisten.
Beberapa minggu belakangan ini saya bolak-balik ke toko buku dan mendapati novel-novel ini. Tema crime thriller yang berusaha untuk menjadi hebat tapi tidak cukup bagus bahkan anjlok.
Kemarin saya membuka sebuah buku bagus karya Langit Kresna Hadi. Buku bergenre crime thriller yang berjudul Teror dengan sampulnya yang bergambar seperti ledakan api. Begitu spektakuler, karena isinya lumayan tebal dan kisah yang dibawakan juga non-mainstream.
Tapi apakah orang akan baca?
Orang Indonesia dengan kualitas membaca yang begitu rendah, rasanya sulit untuk membaca buku tebal seperti ini? Dan tepat saja perkiraan saya,
Begitu saya buka Google belum ada satu orang pun yang mereview buku ini. Saya khawatir, setelah diturunkan dari rak toko buku. Buku ini akan menghilang dari sejarah Indonesia. Sama seperti buku-buku crime thriller asli Indonesia yang lain.
Banyak yang bagus, tapi banyak yang terlupakan begitu buku-buku itu diturunkan dari rak-nya.
Tahun lalu saya menemukan sebuah buku berjudul Detektif Sekolah karya DImas Abi yang diterbtikan oleh Bukune, namun isinya terlalu biasa. Hanya kehidupan anak sekolah biasa, yang secara kebetulan berhadapan dengan kasus penculikan.
Lalu setelah itu muncul 'Tangan Kelima' karya Cristian Armantyo yang diterbitkan Visimedia, cerita seorang anakmuda yang menyelidiki tentang mobil misterius yang tertinggal di garasinya dan tentang kematian ayahnya. Namun novel ini juga tidak berhasil membuat hits. Kedua-duanya tidak mendapat review yang bagus di Goodreads. Juga ada novel berjudul Enigma yang diterbitkan oleh Grasindo, ini juga tidak begitu sukses. Serta novel 2040 yang mengambil tema fan fiction ala K-Pop digabung unsur detektif dan spionase, ini juga tidak mendapatkan hits. Satu-satunya masih saya kenang baik di tahun lalu hanya Katarsis karya Anastasia Aemilia terbitan GPU. Novel dengan genre psychological thriller yang bercerita tentang seorang gadis psikopat yang membantai keluarganya sendiri.
Sedangkan tahun ini, saya menemukan buku Project X karya anak-anak NDI yang digadang-gadang sebagai novel crime thriller asli Indonesia yang bakal nge-hits. Namun kenyataannya "masih jauh api dari panggangan" Saya bisa memaklumi karena penulisnya masih muda-muda, mungkin hanya kurang pengetahuan saja akan dunia literatur. Tapi dengan membawa nama besar NDI harusnya tim ini jauh lebih baik lagi.
Buku Project X ditulis oleh 5 orang penulis dengan sudut pandang orang pertama dari 5 tokoh utama. Saya sendiri tidak hafal nama-namanya. Yang pasti ada 5 kasus yang mereka tangani, kemudian ke 5 kasus itu terhubung ke sebuah kasus konspirasi yang disebut Project X. Sayangnya, cara mereka mengeksekusi cerita masih jauh dibawah ekspektasi saya. Jujur, untuk buku seharga 59ribu masih jauh lebih bagus serial detektif Adam Yafrizal karya Fandi Sido yang beredar di Kompasiana.
. . .
Subscribe to:
Posts (Atom)