By Ftrohx
Jika dalam Islam, sholat adalah tiangnya agama.
Maka dalam fiksi crime thriller, plot twist adalah tiangnya, hukumnya wajib fardhu ain, tidak bisa tidak, karena jika tidak ada plot twist dalam fiksi crime thriller maka keseluruhan cerita akan berakhir menjadi sebuah melodrama atau berita kriminal biasa yang tayang di televisi. Tidak peduli sebagus apapun opening novel atau film tersebut, juga crafting dan detail ceritanya bagus, tapi ketika puncak dan akhirnya cerita plot twist-nya jelek maka runtuhlah semua itu.
Dalam eksekusinya kadang beberapa penulis berhasil menciptakan plot twist bagus, namun banyak pula penulis yang menghasilkan plot twist yang kurang bagus, kejutan yang maksa, bahkan aneh (dalam artian negatif.) Kadang saya juga kesal sendiri melihat hal-hal yang seperti ini. Baik itu saat berada di toko buku ataupun bioskop, ada buku atau film yang punya plot twist yang bagus, dan ada yang sebaliknya menyajikan plot twist yang maksa. Begitu sampai di adegan klimaks atau mendekati ending, tiba-tiba kita dikejutkan dengan skenario yang maksa.
Contoh semalam, saya nonton film Street Society yang tayang di televisi, tiba-tiba di klimaks filmnya ternyata si Chelsea Islan adalah penjahatnya. "Lah kok begini? Nggak banget dah," terlihat jadi terlalu maksa. Idenya memang bagus untuk bikin penonton terkejut, tapi kembali lagi-lagi ini permasalahan eksekusi cerita.
Chelsea Islan pada bagian-bagian awal terlihat sebagai cewek manis yang menjadi pacar idaman si karakter utama. Lalu si penulis menghancurkan image-nya di puncak cerita. Cukup mengecewakan, maksud saya nggak masuk di logika, harusnya plot twist yang baik itu menyajikan petunjuk yang terang tentang apa yang akan terjadi sehingga penonton atau pembaca bisa menebak-nebak, bukannya malah maksa asal nembak. Mungkin seandainya artisnya orang lain bukan Chelsea Islan, mungkin akan berhasil.
Plot twist yang langsung nembak seperti ini tanpa petunjuk biasanya disebut teknik Chekov Gun (arti dari istilah ini dibaca di wikipedia) contoh pada film Shawshank Redemption, di mana si karakter utama mendapatkan palu dan buku kecil tentang geologi, lalu di akhir cerita ternyata palu itu dia gunakan untuk menggali lubang di sel tahanannya selama 15 tahun untuk melarikan diri dari penjara. Langsung nembak tapi bagus eksekusinya sehingga tidak mengecewakan penonton.
Balik lagi ke Chelsea Islan, saya jadi ingat Along Came Spider, film yang dibintangi oleh Morgan Freeman sebagai detektif Alex Cross. Sang detektif menyelidiki kasus penculikan yang pelakunya adalah penjahat yang pernah ditangani oleh sang detektif beberapa tahun sebelumnya. Dia bekerja sama dengan seorang detektif wanita yang kelihatannya polos, lalu pencarian terus berlanjut sampai pada akhirnya mereka menemukan sang pelaku dan menembaknya. Namun, meski pelaku penculikan telah ditemukan mereka tetap tidak menemukan bocah yang diculik itu. Lalu ketika film mendekati akhir ternyata, rekan si detektif, wanita yang polos itu adalah dalang sebenarnya dari penculikan ini. Sesuatu yang mengejutkan untuk penonton lain, tapi tidak berhasil untuk saya. Seperti yang saya bilang masalah eksekusi.
Kembali lagi, tentang film-film di Indonesia sendiri, saya suka kecewa saat mereka menyajikan karakter psikopat bohongan atau penjahat yang terlalu artificial dibuat-buat. Mereka tidak punya aura kuat sebagai penjahat namun dipaksa untuk jadi penjahat sok keren. Anda pasti tahu yang saya maksud, ada di beberapa catatan saya yang lain. lagi-lagi ke masalah plot twist yang maksa. Bukan hanya di Indonesia, di Hollywood juga banyak yang seperti itu. Satu contoh plot twist yang kurang berhasil menurut saya adalah The Bone Collector, sang pelaku pembunuhan berantai, capek-capek membantai banyak orang hanya dengan alasan untuk membuat puzzle bagi seorang detektif yang telah lumpuh. Lalu sang pelaku muncul dan ternyata selama ini sudah berada di dalam ruangan (yang sama) dengan sang detektif lumpuh.
Nge-twist yang terlalu maksa atau kembali lagi masalah utamanya adalah salah penempatan dan eksekusi yang kurang tepat.
Kesalahan-kesalahan ini bisa menjadi pelajaran buat kita untuk membuat sesuatu yang lebih baik, melihat dan menilai lebih lagi, terutama untuk saya sendiri ada beberapa film (yang saya ingat) memiliki plot twist yang berhasil. Ok, dibawah ini beberapa plot twist yang berhasil menurut saya.
The Prestige, Film ini bukan sekedar pertarungan antara dua master magician. Tapi juga pertarungan idealisme dan mental antara dua orang laki-laki. Plot twist di sini berlapis-lapis bukan hanya masalah psikologis dari kedua karakter utama tapi juga teknikal dari trik sulap mereka yang grande. Yang saya suka dari film ini adalah penjelasan yang masuk akal dari yang tidak masuk akal. Bagaimana seseorang bisa berada di dua tempat dalam waktu bersama, bagaimana jika itu adalah trik, bagaimana jika dia menggunakan kembaran, tapi untuk seseorang yang begitu besar dan terkenal menggunakan kembaran adalah cara paling hina.
Inside Man, film ini bercerita tentang perampokan bank yang nyaris sempurna. Bagaimana caranya merampok bank tanpa pistol, tanpa ada yang terluka, tanpa ledakan bom, tanpa tindak kekerasan, dan yang paling penting bagaimana caranya merampok bank tanpa ada uang yang hilang dari bank tersebut. Sesuatu yang tidak masuk akal bagi orang awam, namun di sini plot twistnya.
Sherlock Holmes movie yang pertama, diperankan oleh Robert Downey Jr. Saya suka konsep tentang karakter antagonisnya, Lord Blackwood yang terinspirasi dari kasus Norwood di Return of Sherlock, di mana sang penjahat membuat skenario bahwa dirinya telah tewas. Tapi bukan itu saja plot twist, sang penulis membuat film ini berjalan dengan sangat mulus, dia membuat karakter Blackwood sebagai penyihir yang kuat dan sangat terikat dengan mistis, yang berkebalikan dengan Sherlock yang fokus pada pemecahan science. Hal-hal yang luar biasa dilakukan Blackwood, seperti muncul dan menghilang seperti hantu, mimik tubuhnya yang mirip vampir, hingga bagaimana dia membuat orang terbakar tanpa menyentuh tubuhnya. Setelah penonton benar-benar yakin dengan ketegangan dan ketakutan yang diciptakan Blackwood di akhir cerita, semuanya diungkap oleh Sherlock. Bahwa semua tidak Blackwood bisa dilakukan dengan cara yang masuk akal. Inilah yang namanya plot twist, meyakinkan penonton dengan ketegangan lalu memutar balikkan keyakinan itu dengan fakta-fakta yang benar.
Six Sense dan The Others, dua film ini adalah film horror, Six Sense tentang seorang detektif yang bertemu dengan seorang anak indigo yang bisa melihat hantu, dan The Others tentang sebuah keluarga yang baru pindah ke sebuah rumah besar di mana di dalamnya mereka diteror oleh hantu. Lalu di akhir cerita ternyata mereka para tokoh protagonisnya yang selama ini diteror oleh hantu, justru merekalah para hantunya dan yang mengganggu mereka selama ini justru adalah manusia. Karena perbedaan alam mereka, para hantu itu tidak menyadari bahwa mereka sudah menjadi hantu.
Seven, filmnya Brad Pitt ini juga punya kejutan yang bagus. Bercerita tentang seorang detektif muda yang dipasangkan dengan detektif veteran untuk memburu seorang psikopat yang melakukan aksi pembunuhan berantai, dimana para korbannya diduga tewas dengan pola pembunuhan dari tujuh dosa dalam ajaran Kristiani. Jujur, saya sangat ngeri sekaligus tidak percaya dengan akhir ceritanya. Biasanya film detektif selalu berakhir baik-baik saja bagi karakter protagonisnya, namun film ini adalah tragedi bagi sang tokoh utama. Akhir yang sangat menyayat, saya sendiri nggak bisa membayangkan bagaimana rasa sakitnya jika berada di posisi Brad Pitt pada akhir film Seven.
Perfect Number, plot twist yang berhasil biasanya adalah plot twist yang keluar dari zona nyaman, sesuatu yang keluar dari kebiasaan. Jika novel detektif lain bercerita tentang pencarian siapa pelaku pembunuhannya 'Whodunnit' maka Perfect Number karya Keigo Higashino mengambil sisi yang berbeda 'Howdunnit'. Sejak awal pelaku pembunuhannya sudah ketahuan, sudah dijelaskan secara gablang. Tapi, yang jadi pertanyaan bagaimana pelaku melakukan aksi pembunuhannya dan bagaimana pelaku lolos dari kecurigaan serta penyelidikan polisi. Seperti dalam istilah pertunjukan sulap yaitu misdirection, film ini membawa penonton untuk fokus pada hal-hal detail penting namun menjauh daripada apa yang sebenarnya terjadi dibalik layar pembunuhan, dan film ini berhasil.
Black Jack 21, film ini bercerita tentang mahasiswa genius dari MIT yang menemukan bakatnya dalam bidang permainan poker. Bersama dengan dosen matematiknya dia bergabung dalam sebuah tim poker yang tak terkalahkan, mereka meraup banyak untung di Las Vegas, namun dia menjadi kalap dan keluar batasan. Si Mahasiswa menjadi kaya raya dalam sekejab, dan dia tidak mau menuruti perintah si dosen lagi. Disinilah permasalahan dimulai, sang dosen menghancurkan hidupnya, menjebaknya hingga dipukuli oleh penjaga keamanan Casino, juga uang hasil permainan poker pun raib. Tapi pada akhir cerita si mahasiswa berhasil membalas dendam atas sang dosen, balas dendam yang sangat mulus sampai-sampai saya sendiri tidak bisa menebak apa terjadi hingga semuanya dijelaskan oleh sang protagonis dengan sangat rapih.
Butterfly Effect, untuk menciptakan plot twist kamu mesti punya banyak skenario alternatif, dan film ini mengajarkan hal itu. Di bintangi oleh Aston Kutcher, Butterfly Effect memang lebih ke Sci Fi daripada ke cerita crime thriller, Bagaimana jika kamu bisa pergi ke masa lalu dan mengubah sesuatu hal kecil di sana, apa yang kira-kira akan terjadi pada kamu sekarang, seperti apa kehidupan kamu sekarang. Dalam membuat fiksi crime thriller, saya selalu memikirkan banyak hal tentang ini, apa akibat dari tindakan karakter protagonis saya atau apa dampak dari tindakan antagonis saya. Kemana arahnya, apakah akan mengubah akhir dari sebuah cerita yang sudah ditetapkan sebelumnya atau menjadi alternatif lain dari cerita, atau menciptakan rollercoster emosi. Judulnya sendiri mengambil ide dari teori fisika dimana sebuah variable kecil yang nyaris tak terlihat bisa memberikan dampak besar dihasil akhir perhitungan atau biasa diibaratkan dengan kepakan sayap kupu-kupu dapat menciptakan badai di suatu tempat yang jauh. Namun film ini agak menyesatkan saya pada awalnya. Karena saat pertama kali menontonnya saya berpikir bahwa Butterfly Effect adalah istilah psikologi untuk seseorang dengan gangguan mental atau sindrom tertentu pada otaknya, namun setelah saya teliti lagi dari berbagai artikel. Justru Butterfly Effect bukanlah psikologi, meski di trailernya ada rhonsen tengkorak Aston Kutcher dimana signal di otaknya berbentuk kupu-kupu.
Ya, di atas ini hanya beberapa contoh saja yang saya ingat, sebenarnya masih banyak lagi contoh plot twist yang bagus, mungkin saya tambahkan lagi di note yang lain.
. . .
Ini artikel lama tapi viewer-nya banyak, Ckckck... nggak nyangka gw,
ReplyDeletekeren gan reviewnya. agan me-review film dari sudut pandang plot twist. saya jadi pengen nonton filmnya. Saya tambahkan lagi film Now you see me 1 & 2. awal nonton saya kira hanya ttg sulap, sdh bs menebak antagonisnya. ternyata..eh ternyata salah menduga. hehehe. jika berkenan silahkan mampir ke blog saya gan www.senengpsikologi.blogspot.com
ReplyDeleteOh iya kemarin saya juga baru nonton film itu
ReplyDeleteNow You See Me 2
Keren tapi bukan yang terbaik yang saya tonton.
Plot twist terbaik masih di pegang Inception menurut saya, hahaha.. belum bisa move on
Kak jelasin dong apa plot twist yang ada di now you se me 2 sama apakah film the mist masuk ke film plot twist?
DeleteThe mist trmasuk ending dgn plot twist yg mindblown
Deletethankyou artikelnya sangat membantu sekali 😂
ReplyDelete@ Maysaf, sama-sama.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAku punya saran film yg keren bgt nih.
ReplyDeleteTomodachi game.
Sejak awal aku bingung buat nentuin siapa karakter jahatnya. Seolah2 semua karakter ada kemungkinan mjd jahat di ending. XD
Wow, oke akan saya cari.
DeleteThank you masukannya.
Shutter island, udh nonton belum gan ? Terbaik sih itu menurut saya hahaha
ReplyDelete