Thursday, January 15, 2015

Bicara Tentang Hannibal

By Ftrohx


Mata Azra memandang lurus ke depan, wajahnya terlihat sangat suntuk.

Mobil-mobil yang ada di hadapannya persis sama dengan dirinya, nyaris tidak dapat bergerak. Padahal waktu sudah menunjukan hampir jam 7 malam. Sophia yang duduk di sampingnya menyalahkan radio. Dia memutar-mutar mencari lagu Indonesia yang dia kenal, hingga berhenti sebuah station yang memutar lagu LDR dari Raisa.

"Kita terlambat," ujar pemuda yang duduk di belakang yaitu Lufin.

"Pastinya," Sophia menengok.

Azra melirik spion atas dia melihat si Lufin sedang melempar muka ke jendela luar.

Semuanya suntuk, namun sekelebat ide muncul di benak Azra.

"Gimana kemarin, sudah nonton serial Hannibalnya?"

"Udah," ucap Lufin. "Tapi aneh, kenapa tidak ada seorangpun yang curiga dengan Hannibal?"

"Karena dia tokoh utamanya, tanpa dia judulnya bukan Hannibal dong?" Sophia ikut berbicara. 

"Hahaha... Iya benar itu," ucap Azra.

Mobil-mobil di depan sedikit bergerak.

"Yang paling ngeselin si Lauren FIshburn, penyelidik yang sotoy dan kolot itu, kecurigaannya selalu jauh dari Hannibal padahal jelas-jelas dia itu penjahat, orang yang nggak lulus SD pun bisa lihat aura jahatnya?" protes Lufin.



"Iya, kalau di kehidupan nyata, tapi ini kan fiksi drama,” ujar Azra sambil perlahan menginjak gas.

"Sama kasusnya dengan Light Yagami,”

“Terlalu hebat, tapi para penyelidik itu juga bego-nya sangat tidak wajar,"

"Itu sengaja,” sahut Azra. “Biar penonton gregetan, sekaligus penasaran, dia memancing pemirsa untuk nonton lagi dan lagi,"

“Iya, pendapat lo masuk akal,”

“Oh iya bagaimana dengan si protagonis Will Graham,” tanya Azra lagi. 

“Aku suka Will Graham, dia aktingnya natural,” Sophia pun ikut antusias. 

“Gw malah nggak suka dengan Will, pengembangan karakternya nggak berhasil menurut gw,” Lufin menggerakan tangannya ke atas seperti menulis sesuatu.

“Kenapa?” tanya Sophia.

“Iya, coba lihat di awal-awal, Will adalah penyelidik yang hebat dan mandiri, namun begitu masuk ke kasus 2 dan 3 Will seolah kehilangan apa yang dia miliki di episode pertama,”

Azra menengok ke belakang. “Mereka sengaja membuat Will jadi lemah begitu supaya Will tidak bisa menyentuh Hannibal,”

Lufin mengangguk. “Benar sih tapi nggak ada desakannya, maksud gw kurang greget nggak seperti L. Lawliet vs Light Yagami,”

“Kembali ke Death Note,”

Si Rookies tidak menghiraukan. “Tentu saja, memang Hannibal di ciptakan di level yang berbeda dan menurut gw secara spiritual pun Will juga terlihat lemah,”

“Iya Will memang lemah, dia bukan orang lapangankan, dia teoritis,”

“Nah ini yang jadi pertanyaan, jika dia memang dosen profiling di akademi FBI, harusnya dia lebih dari itu, harusnya dia jadi orang yang tangguh, yang bisa mengendalikan orang dan bukannya dikendalikan. Namun seperti yang kubilang di beberapa episode selanjutnya dia menjadi makin lemah,”

“Ok, membahas tentang Will Graham akan jadi perdebatan panjang,”

Berbelok ke kiri mereka melewati pertigaan Mayestik, mobil terus melaju ke arah Gandaria City.

“Menurut kamu film ini masuk kategori apa? Horror atau detektif?” ucap Azra ke telinga Sophia.

“Aku rasa keduanya,”

“Menurut gw lebih ke drama supranatural," ujar Lufin dari belakang. "karena penyelidikan ala detektif-nya begitu sedikit,”

“Memang agak sulit di definisikan," Azra menangguk. "Tapi menurut gw ini lebih ke detektif, sisi supranatural ada tapi tidak terlalu horor, unsur horor di sini hanya sebagai pecutan atau gimmick,”

Si Rookies tertawa.

“Hahaha… Pintar, gw bahkan tidak menganalisa sampai sejauh itu."

“Jangan-jangan kamu pengen bikin yang seperti itu di Indonesia?” Sophia menepuk Azra..

“Seandainya aku punya modal aku akan bikin yang lebih bagus dari itu,”

“Hahaha…”

Sophia pun membuka kembali tablet-nya. Dia membuka file The Hannibal series dan mengklik episode pertama.

Sedangkan Azra tetap fokus pada setir, matanya melirik ke atas kali ini perempatan Gandaria.

“Kenapa mesti sesadis itu," Tiba-tiba Sophia berujar. "Tiap kali menyentuh TKP dia menjadi sang penjahat, dia tidak merekontruksi melainkan dialah yang menjadi pembunuhnya. Sang protagonis menjadi pelaku dan terus mengulanginya hingga dia kehilangan akal,”

“Itu memang disiplin mereka, anak-anak CS dilatih untuk berpikir seperti sang pelaku kejahatan. Dialah yang berada di TKP dan dialah pelaku pembunuhannya,”

“Iya, aku tahu,” ucap Sophia dengan alisnya yang ditarik ke bawah. “Tapi Will terlalu berlebihan, dia melakukannya dengan sangat ekstrim, dia merekontruksi pembunuhan dari sudut pandang orang pertama, dia terlalu terobsesi dan dia menjadi kerasukan,”

“Bukan kerasukan, aku rasa dia ketakutan,”

Mobil mengambil arah kanan di perempatan lampu merah.

“TIdak, tidak, dia tidak takut, tapi sangat ketakutan. Namun Will berusaha untuk menyangkalnya, dia berusaha untuk merasionalkan apa yang dia lihat,”

"Iya, kita sebut apalagi selain itu, delusional atau paranoid, ketakutan berlebihan yang menciptakan ilusi, atau schizophrenia?"

Tangan Lufin tiba-tiba menepuk Azra dan Sophia. “Bagaimana jika dia sebenarnya memang bisa melihat hantu, tapi menyangkalnya karena tidak masuk di logika dia?”

“Melihat hal-hal yang aneh di TKP adalah hal yang wajar bagi petugas forensik," ujar si cantik. "Menurutku sebenarnya dia tidak takut, dan para penampakannya juga tidak terlalu seram, yang membuat heboh hanyalah back sound-nya. Selalu film horor yang membuat seram memang back sound-nya.”

“Bicara tentang fenomena supranatural TKP, bukankah kita semua pernah mengalaminya?” pancing Azra.

“Tapi kita tidak pernah pergi ke dokter, dan kita tidak pernah saling cerita,”

Sophia kembali menengok ke belakang. "Sebagai pakarnya, apa yang sebenarnya kamu lihat di TKP? Apa kamu takut?"

"Tentu saja aku takut dan takut itu normal,”

Azra pun tersenyum. "Lufin itu pernah lari ngibrit dari TKP,"

Bukkk, tangan Lufin memukul kursi di depannya. "Sial elo, sayangnya elo nggak bisa lihat apa yang gw lihat di sana!" teriaknya.

“Bentar-bentar pertanyaannya belum terjawab, apa yang kamu lihat di TKP?”

Sophia memandang Lufin dengan serius.

Namun Lufin balas memelototinya. “Kamu sendiri apa yang kamu lihat?”

Sophia tidak bisa menjawab dan Azra pun juga hanya terdiam.

"Kadang ada hal-hal yang memang tidak perlu diceritakan,"

Lufin pun tertawa. “Hahaha... Syukurnya kita orang Indonesia dan kita tidak perlu ke psikiater setelah mengalami peristiwa mistis,”

Si cantik juga ikut tertawa.

“Menurut kamu apa seorang psikiater juga akan percaya dengan hal-hal seperti itu?”

“Tergantung, kalau dia orang Indonesia aku rasa dia akan percaya,”

“Oh iya, bagaimana dengan karakter Dr. Maurier?” Azra melanjutkan pertanyaan.

“Kelihatannya dia cukup keren, psikiater dari seorang psikiater?

“Tentang Maurier, aku sempat berpikir, mungkin dia yang akan memecahkan kasus ini, mungkin dia yang akan mengungkap siapa Hannibal. Di awal kemunculannya dia menganalisa Hannibal dengan begitu intens seolah dia sedang menginterogasi dan bukannya melakukan terapi,” 

“Sama gw juga berpikir begitu, gw berharap Maurier dan Jack bekerjasama untuk membuka kedok Hannibal,”

“Ternyata gw salah,”

“Sialan para penulis skenarionya,”

“Iya mereka sengaja, di dunia nyata nggak ada hal yang seperti itu. Bahkan agen ganda pun, tidak akan mempermainkan penonton dengan cara selicik itu,”

“Gw juga merasakan hal yang sama, dia benar-benar berengsek,” umpat Azra. “Awalnya gw percaya bahwa Maurier akan memecahkan kasus karena dia adalah psikiater dari sang psikiater. Kemudian semakin menuju akhir, gw berpikir mungkin Maurier memang pihak netral, tapi di endingnya begitu, bangsat banget, pengkhianat,”

“Mungkin Maurier punya motif tersendiri, mungkin dia juga seorang sociopath,”

“Tapi nggak mungkin di sequelnya dia akan jadi pasangan Hannibal, dia bukan tipe-nya tentu saja,”

Perbincangan begitu seru tanpa disadari Lexus hitam Azra sudah sampai di depan pintu masuk Gandaria City.

“Tentang endingnya sendiri, harusnya para ahli dari FBI itu melakukan penjebakan,” kembali perdebatan ala otaku dari seorang Lufin.

Azra hanya tersenyum simpul.

“Betul, shady detective trap, harusnya mereka melakukan itu,”

“Bukannya mereka memang melakukan itu?” ucap Azra.

“Huh, di mana?”

“Episode Ripper itu, si dokter yang kabur bedah yang kabur dari rumah sakit jiwa dan melakukan aksi mutilasinya di dalam observatorium.”

“Oh iya itu si dokter memancing Hannibal untuk keluar dan melakukan aksi Ripper lagi, namun dia tetap tidak terpancing,”

“Salah Lufin, mereka berhasil, si dokter dal WIll berhasil bertemu dengan Hannibal, tapi mereka tetap tidak bisa berbuat apa-apa,”

“Tekanan psikologis,” sahut Sophia. 

“Iya bodohnya atau mungkin skenario mereka memanjang-manjangkan cerita. Sang detektif kejang-kejang di saat yang sangat penting, harusnya bisa diselesaikan di situ, harusnya menang.

“Tapi mereka membuatnya menjadi 13 episode dan tigak ingin kehilangan momen tersebut,”

Mobil sudah sampai di parkiran, terlihat sebuah Camry dan sebuah Humpy serta BMW warna Silver. Jelas Azra mengenali mobil-mobil milik siapa itu.

“Menonton Hannibal, muncul dua kata dibenak gw "masalah pembuktian" ini masalah terbesar dalam cerita detektif. Bukan whodunnit atau howdunnit tapi howtoproveits? Bagaimana cara membuktikan bahwa dialah penjahat sebenarnya, dialah sang pembunuh berantai yang selama ini tak tersentuh hukum? Sama seperti di Death Note tentunya, kita sudah tahu siapa pelakunya tuan Light Yagami, dan kita tahu bagaimana Light melakukan aksi pembunuhannya, masalahnya yang dihadapi sang detektif L adalah bagaimana membuktikannya?”

"Iya, masalah pembuktian,"

Sophia membuka pintu dan melirik ke mobil silver. "Itulah yang akan kita kerjakan di TKP ini."

.  .  .

Nb: tadinya gw mau nge-review dengan cara biasa, menulis sembilan babak, dan semacamnya. Namun mengulang hal yang sama rasanya begitu membosankan. Jadi, review Hannibal The Series ini gw buat dalam bentuk percakapan.

Ilustrasi, sumber wikipedia.org

No comments:

Post a Comment