Friday, January 9, 2015

Deduksi: Bagus vs Maksa


By Ftrohx


Sore kemarin, saya membaca sebuah cerita detektif karya seorang anak muda, karakter detektif yang dia buat benar-benar show off, dia bicara panjang lebar tentang deduksi seolah dialah yang menciptakan skema pembunuhannya.

Membacanya, saya justru merasa aneh sendiri, sang penulis terlalu percaya dengan apa yang dia ucapkan. Padahal di dunia nyata selalu ada ratusan bahkan ribuan kemungkinan dari satu peristiwa pembunuhan.

Harusnya sebuah cerita detektif melalui proses, tapi kebanyakan anakmuda ini. Menulis cerita detektif se-enak udelnya, mereka ingin memaparkan deduksi secepat-cepatnya, mereka ingin terlihat sebagai karakter yang brilliant.

Padahal apa yang mereka lakukan justru sebaliknya. Dan pola yang mereka tulis juga selalu sama.

Sang detektif membuka bab pertama langsung dengan deduksi, contoh:

"Kamu dari pasar Cipulir ya?"

"Kok tahu,"

"Tubuh kamu bau ini... bau bla bla bla... dan seterusnya,"

"Profesi kamu SPG ya?"

"Kok tahu,"

"Karena kamu bla bla bla... berpakaian bla bla bla... dan seterusnya,"

Terus klien datang, lalu si detektif bilang. "Saya tahu apa permasalahan anda, masalah anda ini bukan bla bla bla..."

"Wah kok bisa tahu?"

"Karena anda bla bla bla..."

Terus sampai di TKP sang detektif akan ceramah. "Korban terbunuh karena bla bla bla... dan bla bla bla..."

"Kok anda bisa tahu?"

"Karena bla bla bla... dan bla bla bla... seterusnya,"

Apa yang dilakukan para penulis ini justru membuat deduksi menjadi monolog yang garing, sang detektif hanya jadi wayang untuk menceritakan sebuah skema dari si penulis yang monoton.

Si detektif hanya memceritakan ulang kejadiannya seolah dia adalah cenayang dan bukannya seorang pengamat. Ini jauh dari realitanya, di dunia nyata seorang detektif sungguhan tidak akan melakukan hal seperti itu. Mereka melihat sebuah masalah dan mereka merenunginya, bukannya asal nyerocos bla bla bla...



Ok, ada perbedaan antara 'deduksi' dan nembak mengarah bebas. Deduksi dilakukan dengan mengumpulkan data-data, dan bukannya pamer informasi yang entah datang darimana sumbernya.

Saya pernah baca sebuah komen di Goodreads bahwa kebanyakan cerita detektif itu menipu pembaca. Menipu dalam artian menahan informasi penting dan menyebarkan informasi yang ambigu. Kita para pembaca akan bilang. "Ah mereka curang,"

Dan kadang ada beberapa penulis yang membuat logika-nya tidak masuk akal, beberapa penulis justru membuat pembaca tersesat, atau lebih dari itu membodohi pembaca dengan hipotesa yang belum tentu kebenarannya. Contoh Sang detektif menyatakan dengan sungguh-sungguh bahwa teorinya benar karena "Yang namanya penjahat itu tidak akan kembali ke TKP,"

Pernyataan ini bisa jadi benar, juga bisa jadi salah. Beberapa ahli bahkan berkata sebaliknya, bahwa pembunuh kadang kembali ke TKP beberapa jam setelah pembunuhan terjadi untuk menghapus jejaknya sendiri dan membuat kontaminasi. Ini hanya satu contoh masih banyak permasalahan lain yang mirip dengan itu.
.  .  .

DI dunia nyata, ketika kita berada di TKP, menyelami sebuah masalah dan berada dalam tekanan mental.

Rasanya sangat sulit (terutama bagi saya) untuk bisa melakukan deduksi dengan benar.

Apalagi mengucapkan ratusan kata sekali mangap, rasanya itu nyaris mustahil. Saya nggak punya nafas untuk melakukan hal itu.

Saya tipikal interovert yang lebih banyak berpikir dan merenungi sebuah masalah, dibanding dengan mengucapkan sebuah solusi yang belum tentu kebenarannya.

Dan bicara tentang detektif, kebanyakan para detektif adalah seorang interovert. Mereka fokus pada apa yang mereka kerja, mereka fokus pada pemikiran dan bukan asal jeblak bicara panjang lebar.

Saya ingin mengkritisi bahwa para penulis muda ini terlalu terikat dengan Sherlock Holmes dan Conan Edogawa, padahal mereka bukan Arthur C. Doyle ataupun Gosho Aoyama.

Terlihat mereka menjabarkan deduksi dengan memaksakan diri, dengan sangat bernafsu. Dan hal itu justru mengurangi (terutama untuk saya) kenikmatan membaca ceritanya.

Kalau kata anak sastra, "Show don't Tell," Tapi mereka belum sampai ke 'telling' mereka dibawah itu. Mereka asal nembak dengan deduksi.

Bukan hanya karena terlalu banyak deduksi, tapi kualitas deduksinya, mereka memaksakan diri.

Saya suka detektif yang memecahkan kasus dengan sabar, detektif yang lebih banyak SHOW daripada TELL Favorit saya saat ini adalah Mr. George Smiley dari TInker Tailor Soldier and Spy.

Smiley adalah mantan petinggi MI6 (Badan Intelijen Inggris) yang ditugaskan untuk melacak mole (mata-mata/agen ganda) diantara empat orang petinggi MI6 yang lain.

Beda dengan Sherlock Holmes yang suka pamer deduksi. Smiley sebaliknya dia adalah orang yang lebih banyak merenung, dia lebih suka mengamati keadaan sekeliling, dia hanya mengucapkan kata-kata yang perlu diucapkan, dan dia lebih banyak berjalan daripada bicara.

Sedangkan Sherlock, saya juga nge-fans dengan dia. Sherlock memang bagus, tapi tidak semua orang bisa menjadi Sherlock apalagi orang Indonesia. Tidak itu sangat tidak tepat. Bukan maksud saya orang Indonesia nggak ada yang seperti Holmes, tapi memaksakan diri menggunakan metode dan cara Holmes biasa akan berakhir menjadi versi KW yang tidak laku dipasaran.

Holmes memang karakter yang suka ngebacot, tapi dia adalah yang terbaik di zamannya. Dan memaksakan diri menjadi Holmes menurut saya adalah hal yang salah. Anda harus punya model karakter anda sendiri dan bukannya Holmes.

Ok, ambil contoh Shinichi Kudo, Kudo memang nge-fans dengan Sherlock Holmes, tapi Kudo bukanlah Sherlock Holmes. Aoyama Gosho justru mengambil materi lain di luar detektif barat, dia mengambil juga contoh dari negerinya sendiri yaitu Edogawa Rampo.

Atau contoh yang lebih signifikan adalah detektif L. Lawliet, dia punya gaya tersendiri, punya emosi tersendiri, dan prinsip tersendiri yang langsung membuat kita bisa membedakannya dengan detektif lain.

Untuk Indonesia sendiri ada dua detektif yang saya suka, Inspektur Bram dari novel Metropolis dan Detektif Adam Yafrizal dari serial Fandi Sido. Inspektur Bram punya motivasi sendiri kenapa dia menjadi polisi kemudian menjadi detektif yang bekerja di Sat Reskrim Narkoba.

Sedangkan Adam Yafrizal, saya suka karakternya yang sederhana dan mampu berpikir dingin. Dia karakter yang tenang dan bersabar dalam melakukan penyelidikan-penyelidikannya, dia juga bukan tipe detektif yang suka pamer, karena itu Detektif Adam menurut saya patut untuk dicontoh.
.  .  .

Ok kembali lagi ke masalah deduksi.

Menurut saya fungsi dari deduksi dan hipotesa, bukan sekedar penjabaran solusi dari sebuah kasus. Deduksi juga bagian untuk memainkan emosi pembaca, hal-hal yang tidak terduga muncul dari deduksi, seseorang yang dipercaya bisa jadi seorang pengkhianat dan itu memberi emosi tersendiri bagi para pembaca.

Deduksi adalah tombol menuju plot twist, dengan momentum yang tepat, dan kuantitas tepat, deduksi bisa membuat sebuah cerita menjadi sangat keren.

Sebuah fiksi itu butuh drama sekaligus realita. Kita nggak bisa cuma 'telling' panjang sebuah deduksi, harus ada prosesnya, harus ada penundaan.

Deduksi yang bagus itu momentnya harus tepat. Jangan tiap scene deduksi semua, pembacanya bisa mual lihat terlalu banyak deduksi.

Ok, karakter detektif boleh jadi menyebalkan. Tapi, dia harus bisa masuk ke hati para pembaca, dan hal ini tentu saja tidak mudah, butuh banyak latihan dan banyak membaca karya-karya detektif lain. 

.  .  .

17 comments:

  1. Well, jika konsep "fiksi detektif" seseorang sedikit banyak diperoleh dari cerita Sherlock Holmes saja sih wajar. Sherlock memang menginspirasi, bahkan penulis fiksi detektif di Golden Age (1930an) seperti Agatha Christie, Ellery Queen, John Dickson Carr.

    Setuju dengan perkataan blogger, fiksi detektif tidak hanya sebatas "deduksi" saja. Fiksi detektif adalah cerita yang memadukan misteri, petunjuk, story-telling, interaksi karakter, logika dan alur dengan tujuan menarik pembaca untuk masuk dalam cerita dan mencoba memecahkan misteri dan permasalahan yang ada.

    Untuk kasus yang ditemukan blogger sendiri, menurut hemat saya sang penulis (siapapun itu, or is it actually me? haha) belum mengeksplor fiksi detektif secara lebih luas. Kemungkinan sang penulis masih dalam masa "demam sherlock holmes", yaitu sebuah fase di mana seseorang sangat mengagumi Holmes, mencoba-coba membuat deduksi dan menuliskan cerita dengan gaya seperti itu. Ibaratnya anak ayam yang menemukan "induk baru" sang penulis melakukan "imprinting" pada sosok Holmes (atau lebih tepatnya Conan Doyle). Sebenarnya saya juga pernah mengalami masa ini, bahkan saya pernah mencatat beberapa "deduksi" yang saya kembangkan untuk nanti dimasukan dalam cerita (and it was mostly ridiculous).

    Sebenarnya genre fiksi detektif sebenarnya banyak memiliki cabang, Hardboiled. police procedural. cozy mystery. fairplay whodunit. inverted. impossible crime/locked room. Dan saya yakin ketika para penulis muda ini mencoba mengeksplor lagi fiksi detektif, mereka akan meninggalkan fase "demam sherlock holmes" ini. Hal yang sama terjadi pada saya ketika saya menemukan pengarang lain yang sangat memukau dan menginspirasi saya (let's just say he was like a master for me). Saya yakin blogger (or troh, that is, if i can call you by the name) juga memiliki satu atau dua pengarang yang menjadi panutan.

    By the way, saya sangat senang ketika menemukan orang lain yang memiliki passion untuk menulis fiksi detektif. It's like finding a fellow indonesian in foreign country (not that i've been in any foreign country).. Keep your passion fired up! And i hope sometimes we can discuss about detective fiction.
    Regards.

    ReplyDelete
  2. Wow, thanks you tuk masukannya Bung Inurhadi !

    btw banyak kok penulis fiksi detektif di Indonesia, sayangnya banyak banget yang belum di sorot sama penerbit Major

    ReplyDelete
    Replies
    1. Panggil saya Irfan.. ^^

      Memang belum banyak sih, tapi lumayan juga yang muncul. Beberapa yang sudah saya baca di antaranya :
      Hibiscus (Agnes Arina), Tangan Kelima (Christian Armantyo), Metropolis (Windry Ramadhina), The Deadly Violin (Andy M Baramuli), Rencana Besar (Tsugaeda), Rahasia Meede (ES Ito), Imperia (Akmal Nasery Basral), Project X (NET Detective) dan yang klasik Misteri Gelas Kembar (S Mara GD)..

      Masih ada beberapa yang ingin saya "cicipi" (seri detektif imai, serial omen, detektif konyol, dan karya v lestari) tapi sampai saat ini masih belum dapat bukunya..

      Untuk penerbit, menurut pantauan saya, Visimedia cukup berperan dalam menggaet penulis genre misteri/detektif. Sampai saat ini sudah empat buku dengan empat penulis berbeda yang berhasil diterbitkan (deadly violin, tangan kelima, project x, dan yang terbaru the bastard legacy). Selain Visimedia, ada juga penerbit lain yang cukup spesifik mencantumkan genre detektif sebagai spesialisasinya : serambi, mokamedia.

      Tertarik untuk mengirimkan naskah? Saya sendiri tertarik, jika saja naskah yang saya garap dari dulu bisa rampung. Hehe -__-a

      Delete
  3. @ Irfan, wah banyak juga bacaannya

    btw Tangan Kelima - Armantyo banyak yang kritik ntuh,

    begitu juga dengan Project X TIm NDI

    Wah, baca Rencana Besar Tsugaeda, sayang sekali saya belum punya novelnya, tapi saya berteman sama dia di twitter, dia penulis crime thriller yang berbakat,

    Kalau Mbak Windry dengan Metropolis-nya, rasanya belum ada yang mengalahkannya sampai sekarang tetap one of the best fiksi crime thriller asli Indonesia.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe..

      Memang, dan lebih cenderung ke drama, saya sendiri tidak begitu suka sama si tokoh utamanya, heu.. -_-

      Kalo NDI yang bikin saya terkesan cuma cerita Badai sama Loka..

      Rencana Besar bagus tuh, thriller yang keren, sejajar sama Metropolis lah.. >.<

      Delete
  4. Oh iya, Inurhadi tahu novel crime thriller nya Om Langit Kresna Hadi gak? Judulnya Teror itu juga novel crime thriller recommended banget

    ReplyDelete
    Replies
    1. Belum dengar tuh, boleh minta bocoran/sinopsis ceritanya? :3

      Oiya, Troh udah coba baca novel-novel detektif dari era golden age? Christie dkk?
      Kalo suka impossible-crime, coba baca novel-novelnya John Dickson Car a.k.a Carter Dickson, awali dari The Hollow Man (The Three Coffins), salah satu chapternya ngebahas tuntas trik-trik ruang tertutup!
      Christianna Brand juga bagus, dia salah satu Crime Queens yang terlupakan (yang lain Christie, P.D. James, Sayers), yang menurut saya bagus judulnya Death of Jezebel.
      Banyak juga yang lain, Ellery Queen, Clayton Rawson, Edmund Crispin, Gladys Mitchel, tapi kebanyakan belum saya baca tuntas jadi baru bisa rekomendasiin dua penulis di atas. Heu

      Untuk yang lebih kontemporer coba serial Monk-nya Lee Goldberg. Udah lihat serial tv-nya? Dijamin bakal suka, Monk-nya kocak dan misterinya dapet! >.<d

      Delete
  5. Oh ilmu Locked Room-nya John Dickson Carr,

    Yups bagus itu, dari dia saya dapet rekomendasi Yellow Room-nya Gaston Leroux

    Oh iya versi Indonesianya (Yellow Room) diterbitkan sama Visimedia juga dah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Carr memang master dalam sub genre locked-room/impossible-crime. Tapi menurut saya kualitas Carr tidak berhenti di situ. Carr juga ahli dalam menggambarkan atmosfer, ahli dalam penempatan petunjuk, misdirection, dan humornya pun dapet. Pokoknya, semakin banyak karya Carr yang saya baca semakin saya kagum sama dia.

      Iya, tapi entah kenapa saya berat banget baca novel itu, akhirnya skimming sampai selesai, mungkin karena terjemahannya yg kurang bagus.. -.-

      btw, tahu project gutenberg? Di sana banyak karya klasik detektif fiksi karya Leroux, Anna Katharine Green, Leblanc, Doyle, Van Dine, Austin Freeman, Edgar Wallace, dll. Semuanya gratis!

      Delete
    2. Justru itu, saya dapet Yellow Room dari Gutenberg ! Hihihi...

      btw ini kita ngomongin; Leroux, Anna K Green, Leblanc, Doyle, Van Dine, Austin Freeman, Edgar, Wallace, dll. sudah kayak ngomongin tetangga di kos-kosan sebelah aja, hahaha...

      Delete
    3. Yah, kalau nama kosannya fiksi detektif, dan mereka itu penghuni lama (tak terikat belenggu waktu), kita itu ibarat penghuni yang baru singgah. Gak aneh lah kalau ngomongin mereka dikit.. hehe :p

      Delete
  6. Kalau saya pertama kali belajar Locked Room itu dari Los Angeles BB Murder-nya Nisio Issin, Light Novelnya Death Note

    Jujur meski banyak orang bicara tentang detektif Conan saya nggak pernah tertarik dengan cerita detektif sampai kemudian muncul Death Note-nya Om Tsugumi Ohba n Takeshi Obata, baru dari situ saya mulai tertarik dunia detektif

    Iya, saya baru banget baca novel detektif thn 2009, dan baru baca Sherlock Holmes thn 2012 ! Hahaha...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalau saya kebalikannya. Saya dari kecil udah familiar banget sama Conan dan mulai koleksi dari jaman SMP.

      Untuk Death Note, meski temen banyak yang rekomen saya nggak tertarik (waktu itu saya tidak suka premis shinikami-nya, terlalu supernatural). Akhirnya saya gak baca semua serialnya dan baru bisa mengapresiasi Death Note via adaptasi film yang saya tonton 2013 kemarin (telat banget) -__-

      Untuk novel sendiri saya baru tertarik akhir tahun 2011, Death in the Clouds-nya Agatha Christie. Sherlock Holmes nyusul tahun 2012 pas kebetulan nemu di toko buku. And then the journey begin.. :D

      Delete
  7. @ Inurhadi, ada akun twitter gak? Kalau ada follow twitter saya ya ; twitter.com/ftrahx

    Cz di akun saya ada teman-teman penulis juga yang sangat suka dengan crime thriller, seperti Fandi Sido, Tsugaeda, Ronny Mailindra, Mbak Windry, Putra Perdana, dan Jeni Suhadi

    ReplyDelete
    Replies
    1. Gak punya twitter.. :3
      baru bikin deng tadi, udah follow..
      Wah, bisa kenalan sama banyak orang nih.. wkwk

      Delete
  8. Wih .. Baru kali ini baca komentar kaya talkshow, jadi aku nyimak terus.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wahahaha, ada Agus Sutisna.
      Thank you sudah mampir.

      Delete