By Ftrohx
Tadinya saya mau menulis review film John Wick chapter 02. Tapi entah kenapa, film itu rasanya kurang greget untuk saya. Adegan actionnya lumayan, permainan kata-kata bagus, and filosofinya asik. Cuma saya kurang antusias di sana.
Namun film itu berhasil membawa saya ke masa lalu, ke dalam The Matrix. Saya membuka file-file lama saya tentang The Matrix. Keanu Revees, Wachowski Brother, dan tahun 1999.
Kembali ke tahun-tahun itu, saya ingat banyak karya yang bertema Cyberpunk juga di sana. Atau mungkin itu memang ZAMAN-nya. Pernah saya baca istilah di buku Ekonomi, bahwa tahun 95 -98 adalah era Internet Booming. Zaman dimana internet menjadi komoditas mewah, dan penuh dengan KEAJAIBAN.
Saya ingat, waktu SMP waktu komputer masih jarang. Di sebuah rental yang sudah hilang. Seorang pemuda bilang, “komputer adalah sebuah kotak ajaib dengan tombol-tombol yang bikin kita bisa melakukan apapun.” Mendengar kata-kata itu yang terbayang di otak saya adalah layar komputer adalah sebuah portal ke dunia cyber, macam Digimon.
Hahaha... Konyol!
Ok, kembali lagi ke The Matrix.
Film itu luar biasa, dan menjadi fondasi bagi karya-karya keren Hollywood di era 2000-an ke atas. Kita bisa terus dan terus melihat reinkarnasi dari The Matrix pada karya-karya Hollywood lain seperti Inception (Christopher Nolan), Sherlock Holmes (Guy Ritchie), Doctor Strange (Marvel), dan seterusnya. Termasuk John Wick juga.
Tapi bagaimana dengan di Indonesia.
The Matrix dengan Neo, terutama mengingatkan saya pada Cyber Avatar di Supernova: KPBJ. Dalam karya perdana dan fenomenalnya itu Dee Lestari sangat antusias bicara tentang cyberpunk. Dia bercerita tentang wanita jenius bernama Diva Anastasia. Wanita pemberontak yang menguasai nyaris semua informasi yang ada di kelas atas Jakarta. Begitu mandiri, begitu angkuh dan menakutkan.
Diva begitu liar, dia bisa melakukan apapun yang dia mau. Dia seorang supermodel, sekaligus seorang high class prostitute, sekaligus hacker yang menciptakan sebuah situs internet fenomenal bernama Supernova. Kala itu internet masih jadi barang mewah yang hanya dimiliki oleh kalangan menengah keatas Jakarta. Dan Supernova ada di sana. Dia menjadi sumber ilmu, sebagai sang pencerah yang membebaskan manusia-manusia yang terkurung dalam kehidupannya sendiri. Duet Ruben-Dhimas menyebut Diva sebagai Cyber Avatar. Turbulence yang dapat diakses dimana saja dan kapan saja. Mengaplifikasi pikiran manusia tanpa hierarki, tanpa institusi, dan tanpa dogma apapun. Bla bla bla.. Fisika Kuantum.
Tapi nyatanya Supernova: KPBJ berakhir. Diva Anastasia menghilang ke Asko atau apalah itu namanya dan tidak pernah kembali. Dan internet menjadi barang yang tidak mewah lagi.
Di kasus ini saya melihat CyberAvatar Supernova nasibnya nggak jauh beda dengan konsep awal Facebook di film Social Network -Jesse Eisenberg. Facebook adalah jaringan eksklusif, hanya kamu yang punya email Harvard yang bisa bikin akun Facebook. Oh tidak, bukan begitu, ah tidak sial! Kita bisa mundur sedikit, dulu Friendster juga begitu. Hanya kamu yang punya email yang bisa bikin Friendster. Dan di era 90-an untuk punya email kamu harus punya uang, maksud saya kebanyakan email berbayar. Jadi, hanya kalangan menengah ke atas yang punya email, dan jelas hanya kalangan tersebut yang bisa mengakses ke internet yang mahal itu.
Harga internet dengan jaringan yang lambat waktu itu setara dengan kamu yang berlangganan 10 majalah di era itu. Jelas kelas menengah Jakarta lebih pilih berlangganan majalah daripada berlangganan internet. Tapi anak-anakmuda minta Nyokap-Bokapnya untuk pasang internet di rumah.
Hei, kita jadi ngalor ngidul begini.
Ok, kembali ke Facebook, hanya orang-orang yang punya email Harvard saja yang bisa mengakses Facebook. Jelas, kamu sangat-sangat keren kalau punya Facebook, pada waktu itu.
Lalu Mark Zuckerberg punya ide lagi. Kita buat ini jadi besar.
Dia mulai dengan hanya anak-anak kuliah di Universitas-Universitas besar yang bisa mengakses Facebook. Lalu kemudian dia menyebar ke kampus-kampus lain di Negara-Negara dan seterusnya. Dulu saya juga pernah punya Facebook di tahun 2007. Dan asli tampilannya sangat berbeda dengan Facebook yang kamu lihat sekarang. Dan zaman itu Facebook masih sepi. Terus karena saya nggak ngerti cara menggunakannya, saya gak pakai lagi. Sampai tahun 2009 dimana teman-teman saya mulai ramai di Facebook.
Lalu dunia heboh dengan Twitter, kebanyakan teman-teman yang tadinya pakai Facebook pindah ke Twitter di tahun 2010an. Tapi, hei saya sudah punya Twitter sejak tahun 2007, hahaha.. Waktu jaringan itu masih sepi. Kemudian muncul nama-nama lain, seperti Instagram, Path, dan seterusnya. Kemunculan mereka juga seperti Facebook dengan cara eksklusif.
Dulu Instagram adalah social media khusus bagi kamu yang punya Iphone Apple. Jika kamu nggak punya Iphone, kamu nggak bisa akses Instagram. Asli, gagasan itu keren. Beda dengan Sosmed lain, kamu nggak bisa akses Instagram pakai PC atau Laptop, kamu harus kudu wajib punya Iphone pada waktu itu. Benar-benar cool eksklusif. Tapi kemudian penjualan Iphone kalah dari handphone android macam Samsung, lalu Instagram-pun membuka diri. Dia bisa diakses sama handphone android, bahkan hp android yang harga 500rb sekalipun. Dan zaman sekarang, lebih buruk lagi. Kamu bisa mengakses Instagram dari warnet manapun di seluruh penjuru Indonesia. Haha..Semakin ramai, semakin mainstream, dan semakin kehilangan eksklusifitasnya.
Hukum itu kelihatannya berlaku pada semua social media, dan Internet sebagai Sang Bunda.
Fenomena yang terjadi di social media saat ini mengingatkan saya dengan tulisan Om Eka Kurniawan, Corat-Coret di Toilet. Sebuah buku kumpulan cerpen, dengan cerpen utamanya yaitu Corat-Coret di Toilet sebagai judul sampulnya.
Ceritanya simpel, suatu ketika ada seorang mahasiswi yang kebelet pipis dan pergi ke toilet laki-laki. Dia melihat dinding toilet bersih banget, dia iseng menulis sesuatu di temboknya dengan lipstik yang dia kenakan. Setelahnya ada mahasiswa yang pergi ke toilet, dia melihat ada tulisan dari lipstik di dinding toilet, diapun menanggapi tulisan itu. Dan kemudian berlanjut lagi, ada mahasiswa lain dan seterusnya yang datang ke toilet menanggapi tulisan-tulisan di dinding tersebut. Makin lama makin banyak dan makin absurd. Hingga kemudian seorang dosen melihat tembok yang penuh coretan itu. Diapun meminta petugas mengecat tembok yang rusak dan kotor itu supaya terlihat bersih kembali. Dan tak lama, jadilah toilet itu bersih kembali. Tembok putih ada lagi di sana. Dan seorang mahasiswa iseng memulai sebuah tulisan. Lalu muncul lagi mahasiswa yang menulis dan seterusnya dan seterusnya.
Itupula yang terjadi pada social media sekarang. Dulu sih kamu bisa terlihat keren dan elit. Tapi sekarang, huh. Semua orang bisa punya social media. Semua orang tanpa batasan latar sosial, gender, suku, agama, ataupun usia. Sosmed dihuni beragam jenis manusia. Mulai dari yang kaya-raya sampai yang hidup susah matipun segan. Dari yang berintelektual tinggi sampai yang otaknya pas-pasan. Dan semua orang di sosmed ingin bicara sesuatu, ingin tampil dan terlihat menonjol, ingin narsis, ingin berteriak tanpa mau mendengar kata-kata orang lain. Jadilah, iya seperti corat-coret di tembok toilet.
Tapi saya yakin ada sebuah social media, atau jaringan internet khusus sedang dibuat saat ini. Jaringan ini diperuntukkan untuk kalangan khusus. Mereka yang eksklusif dan punya uang banyak. Namun kembali lagi, paradoks-nya kamu ingin punya banyak follower, tapi tak ingin kisah kamu menjadi absurd. Hahaha..
Dengan semua kekacauan ini, asli saya gregetan akan seperti apa legenda Cyber Avatar di masa depan. Bagaimana dia ingin mengendalikan milyaran orang yang tidak bisa dikendalikan. Bagaimana dia bisa mencerahkan, membimbing jalan yang benar kalau dia bukan manusia super. Saya membayangkan mungkin Cyber Avatar akan jadi semacam Ultron atau Skynet atau Jarvis, Artificial Inteligence yang mencoba merapihkan keabsurdan. Atau mungkin Cyber Avatar adalah Mr Anderson yang bisa membengkokkan besi dan menghentikan peluru di udara. Atau apalah itu, Cyber Avatar menurut saya adalah orang yang harus menekan tombol restart internet di seluruh dunia. Tapi jika itu yang terjadi, Neo akan berkata "Bullshit dengan the Matrix!"
. . .
Super Human Samurai termasuk Cyberpunk bkn y? serial tokusatsu pertama yg ane tonton beraura IT.
ReplyDeletemenurut saya Cyber Avatar sejati adalah arus perubahan zaman itu sendiri.
kasusnya mirip, saya jg bkin facebook thn 2008 awal, bingung mo ngapain.. baru ngeh ktika rame di tanah air pd 2009an..
Yups, klasik banget itu Super Human Samurai.
DeleteKlasik dan absurd, hahaha..
Masuk ke dalam sirkuit komputer dan jadi makhluk semacam Ultraman, wkwkwk.