Review by Ftrohx
Bayangkan sebuah dunia sebelum ada facebook, twitter, path, instagram ataupun goodreads. Bayangkan dunia yang jauh sebelum itu di mana Google belum dibuat dan yahoo tidak ada yang kenal.
Bayangkan seperti apa dunia internet saat itu? Sebuah tempat yang kuno dan asing. Pertanyaan yang sama seperti apa dunia sebelum ada televisi dan radio? Mungkin bisa didefinisikan sebagai ruang yang gelap dengan kumpulan buku-buku usang di lorong labirin milik Jorge Lois Borges
Di thn 90an, internet adalah dunia lain seperti alam gaib yang ditempati para hantu. Tempat yang sulit dijamah orang kecuali lo berpenghasilan lebih dari 500 dollar perbulan. Tempat yang menjadi fantasi dan imajinasi liar bagi orang awam.
Meskipun ada peristiwa booming dot com dan Y2K (APAAN NTUH?), namun faktanya 95% populasi manusia saat itu buta internet. Hanya 5% manusia yang pakai internet saat itu dan mereka tentu saja warga kelas menengah keatas.
Di era itu, banyak penulis fiksi yang berimajinasi liar tentang dunia internet, dan salah satunya adalah Jeffrey Deaver dengan karya-nya The Blue Nowhere.
Ok, banyak orang yang kritik buku ini, terutama anak-anak IT yang hobi baca buku. Mereka bilang, ide tentang internet, silicon valley, dan hacking-hackingannya sangat dangkal.Deaver seolah ceramah tentang dunia IT untuk anak kelas 1 SMA.
Dan tadi pas saya cek di goodreads, di halaman depan saja sudah terlihat beberapa orang yang kasih point 1 skala 5 untuk buku ini. Tapi banyak juga yang kasih 4 dan 5 bintang. Ok, bisa saya maklumi karena Deaver memang bukan orang IT dia lebih ke bidang crime thriller. Dan tentu saja dia memang jauh jika dibandingkan dengan William Gibson (yang nulis Necromancer), tapi menurut saya novel Blue Nowhere ini bisa di adu kok dengan Digital Fortress-nya Dan Brown.
Ceritanya sederhana, terjadi pembunuhan berantai di mana dilakukan oleh seorang sociopath yang menyebut dirinya Phate.
Dia mengincar dan membunuh para korbannya dengan terlebih dahulu mengekstrak informasi dari komputer korban. Atau mungkin kalau jaman sekarang seorang stalker di social media. Hanya saja jaman dulu, karena internet masih mahal jadi apa yang dia lakukan terlihat keren dan canggih. Phate bukan hanya membunuh warga sipil, dia juga membunuh beberapa orang polisi yang mencoba mendekati ataupun menyelidikinya, dan seperti para sociopath lainnya, Phate juga menganggap dirinya Dewa yang tidak terkalahkan.
Dan tentu saja, harus ada seseorang di sisi yang berbeda untuk menghentikannya. Dialah Wyatt Gillete, Ok, satu lagi nama aneh yang dibuat oleh Jeffrey Deaver. Wyatt adalah seorang hacker yang dipenjara karena berbagai masalah kriminal yang dibuatnya. Namun, kepolisian California tidak punya pilihan lain selain men-summon Wyatt untuk mengejar kasur marinkill.
Aksi kejar-kejaran dimulai, dengan tentu saja ceramah panjang mengenai dunia hacking-hackingan (yang sekarang sudah out of date) seperti dasar-dasar sniffing, bot, daemon, networking layer, IRC, firewalls, dan sejenisnya. Seperti yang saya bilang di atas, buku ini memperlihatkan pada kita dunia internet sebelum ada google, facebook dan teman-temannya. Layaknya, membuka buku-buku usang di perpustakaan LIPI untuk cara bahan skripsi. Selain itu yang patut diacungin jempol adalah keahlian Deaver, dia mampu menggembangkan ide yang mentok menjadi 100ribu kata, itu hal yang luar biasa menurut saya.
Oh iya, hampir lupa. Buku ini menyajikan ide Stenography atau kode-kode yang tersembunyi di dalam sebuah gambar. Ide tentang Stenography, lagi nge-HITS banget saat novel ini diterbitkan. Beberapa film detektif dan Sci-fi pada waktu buku ini terbit juga mengambil ide itu seperti Along Came Spider dan Copy Cat Murder. Sang pembunuh mengirim gambar ke calon korbannya, lalu gambar yang mereka unduh justru memuat virus komputer yang mengekstrak informasi dari komputer target. Sayangnya, Jeffrey Deaver belum akrab dengan istilah virus komputer pada zaman itu dan dia lebih milih menggunakan kata bot atau daemon untuk bicara tentang virus komputer.
Dan tentang Phate sang sociopath, untuk saya tidak ada yang signifikan dengan aksinya. Tidak seperti Live Free or Die Hard yang ingin melumpuhkan sebuah negara dengan manipulasi IT. Tidak pula seperti Digital Fortress yang mengambil tema grande tentang NSA ataupun Girl with Dragon Tatoo yang mengambil tema spionase dan hacking-hackingan.
Di Blue Nowhere, sang penjahat hanya terobsesi pada dirinya sendiri dan aksi pembunuhan berantainya. Tak lebih dari itu.
Namun, Deaver membuatnya dengan sangat serius. Dia sangat serius dengan ceramahnya (meski sudah out of date) tentang masalah keamanan informasi. Layaknya Dan Brown di Lost Symbol, Deaver juga sangat menegaskan bahwa INFORMASI adalah SENJATA, dengan keahlian mencari dan menemukan informasi di internet, kita bukan hanya bisa menemukan orang, namun juga rahasia-rahasia, bahkan bisa membuat orang menjadi susah dengan memanipulasi data-data rekening bank, kependudukan, dan social security lainnya.
Seperti Light Yagami yang bertarung secara intelektual melawan L. Lawliet, itupula yang terjadi pada Wyatt Gillete versus Phate si Sociopath.
Alur cerita yang penuh dengan plot twist terus berjalan, untuk menemukan di mana keberadaan Phate yang sesungguhnya, sang hacker mesti meretas data-data terenskripsi yang melintas di internet. Dia menggunakan metode yang pada saat itu di larang oleh pemerintah. Hal ini memang aneh, saya sendiri tidak pernah mendengar ada hukum pidana yang mengatur masalah pemecahan algorimta. Seperti dilemma dalam film Hollywood, dia melakukan pelanggaran untuk menemukan sang penjahat. Dan tentu saja mengorbankan apapun yang dia miliki demi menegakan keadilan.
. . .
Konklusi
Novel ini saya kasih point 69 skala 100 karena aksi hacking-hackingan nya cukup menghibur dan gak kalah dari Digital Fotress.
Nice Info Troh.
ReplyDeleteKebetulah gua belom baca cerita ini dan lagi cari-cari novel thriller yang banyak adegan hackingnya.
Thanks ya Bang Ronny
ReplyDelete