Friday, June 5, 2015

Warung Kopi

Cerpen by Ftrohx


Tempat itu masih belum tutup.

Ini bukan tentang shift kerja malam-nya, melainkan ‘TUTUP’ dalam arti yang sebenarnya.

Setiap tahun bahkan hampir setiap bulan, tiapkali kuberjalan dari Pondok Pinang ke Bintaro lalu ke Ulujami, aku melihat semuanya selalu berubah. Satu warung tutup dan diganti oleh warung yang lain.

Dulu di depan gang Kramat ada warung foto/kopi namun kemudian berganti menjadi warung bakso lalu sekarang tempat itu berganti lagi menjadi warung pecel lele. Dulu, di sana juga ada 3 warnet namun sekarang yang tersisa hanya tinggal satu. Di depan gang Rajai situasinya juga sama, dulu ada dua toko sembako di sana. Kemudian satu toko berakhir bangkrut dan disusul dengan toko yang di depannya yang diubah jadi taman kanak-kanak. Aku juga ingat yang lain, sebuah salon di dekat Perdatam, kemudian salon itu diubah jadi warung bakso kemudian berganti lagi menjadi warung ayam goreng tepung.

Hanya sedikit sekali yang bertahan, dan dari yang sedikit sekali bertahan ada satu tempat yaitu warung ini.

Jika didefinisikan, tempat ini seperti warung kopi biasa, yang sering kamu lihat di jalan. Ada tulisan besar di depannya "Sedia bubur kacang hijau dan ketam hitam" dan dibawahnya ada tulisan "Roti bakar dan Indomie"

Interior-nya hampir sama seperti Warung Kopi menengah ke bawah yang sering kamu datangi. Ada dua bangku kayu panjang ada meja bar dan ada 3 panci besar juga ada serenteng kopi instant yang berjajar dan 4 kardus mie instan. Di pojok atas terdapat televisi yang dipasang menggantung, fasilitas penting bagi orang-orang insomnia dan penggemar sepak bola.

Mungkin yang membedakan dengan warung kopi lainnya adalah tempat ini sedikit lebih luas yaitu 4 kali 6 meter, dan ada bangku bambu khas Betawi untuk tidur-tiduran atau selonjoran kaki.

Dulu thn 2008 tempat ini begitu ramai, dari malam sampai pagi.  Banyak orang-orang insomnia yang menghabiskan waktu di sini. Satpam kompleks, hansip ronda, hingga orang-orang yang gak punya rumah. Sayangnya, hal itu sudah tidak terjadi lagi sekarang.

Seperti banyak usaha menengah ke bawah lainnya, mereka datang dan pergi silih berganti.

Begitupula, yang terjadi di tempat ini. Para satpam kompleks, mereka sudah punya TV untuk nonton bola di  pos jaganya sendiri. Begitu juga dengan para hansip atau orang-orang insomnia lain, mereka sudah punya tempat tongkrongan baru.

Yang masih setia nongkrong di tempat ini hanya aku, Salman si penjaga Warung, dan Bang Rohman pemiliknya.

Lama kelamaan aku juga jarang ke sana, aku mendapat pekerjaan di sebuah warnet, dan nyaris selama 2 tahun aku tidak mampir ke sini sampai warnet tempat kubekerja bangkrut.

Ajaibnya, di saat semua sudah bangkrut, warung kopi ini masih ada, masih tegak berdiri, bahkan sekarang mereka punya mesin espresso sendiri, di SINI. Benar-benar GILA, tidak masuk akal!!

Sialnya, gara-gara aku sering ke sana, banyak orang-orang yang bertanya padaku. “Kenapa warung kopi itu tetap bertahan? Kenapa warung kopi itu gak bangkrut-bangkrut?” Sebenarnya, aku sendiri juga punya pertanyaan yang sama. Kenapa di saat semuanya sudah bangkrut atau pindah, dia masih tetap berdiri tegak di sana.

Cerita berlanjut, setelah warnet tempatku bekerja bangkrut, Aku kembali jadi penggangguran, dan kembali nongkrong di warung kopi lagi. Lalu, secara ajaib Bang Rohman mengajakku bekerja di Warung itu. Aku bekerja 5 hari dari Rabu sampai Minggu dengan shift malam dari pukul 20 sampai pukul 06 pagi. 

Di sana selain bekerja, aku menjadi intel bagi orang-orang yang penasaran, apa sih yang sebenarnya terjadi di balik warung kopi itu. Berbeda dengan saat menjadi pelanggan, dengan berada di balik meja bar aku punya sudut pandang yang lain. Tidak seperti prasangka buruk mereka, orang-orang di belakang sini justru jauh lebih baik. Tidak ada teori tentang ilmu-ilmu hitam, tidak ada teori tentang mafia, dan sejenisnya. Namun fakta yang kutemukan adalah harusnya warung kopi ini sudah bangkrut sejak lama. Tiap malam, pengunjung tak lebih dari 5 orang, apa yang mereka pesan pun tak lebih dari 10ribu.

Bulan demi bulan berlalu dan pertanyaan demi pertanyaan terus menggangguku, darimana Bang Rohman punya uang untuk menggaji kami jika setiap hari pemasukan Warung Kopi ini selalu defisit? Jika dikumpulkan sebulan seluruh pemasukan hanya sampai menyentuh setengah dari gajiku, yang jadi pertanyaan darimana asal setengahnya lagi?

Apakah jangan-jangan memang benar dari bisnis haram. Aku pernah mendengar cerita tentang seorang bandar narkoba yang mencuci uangnya dengan membuka rental PS3. Apa ini memang tempat untuk melakukan pencucian? Dengan mengumpulkan keberanian, aku pun nekad bertanya ke Bang Rohman. "Sebenarnya darimana sih sumber gaji kami? Abang sendiri tahukan, pemasukan selama sebulan jika dikumpulkan tak sampai setengah dari gaji yang anda berikan ke saya?"

Untuk sesaat dia terdiam menggosok dagu, lalu dia berkata. "Saya sebenarnya punya beberapa usaha lain. Saya punya dua mini market dan sebuah restoran, dengan keuntungan darisana lah saya menutupi keuangan di Warung Kopi ini?"

"Kenapa begitu? Kenapa justru anda mempertahankannya?"

"Karena Warung Kopi ini adalah usaha pertama saya. Se-rugi apapun keadaan Warung Ini sekarang, saya tetap akan mempertahankannya."

Jawabannya benar-benar tegas, tapi kurasa masih ada hal yang dia simpan sendiri.

Semakin ke sini, semakin warung itu sepi.

Malam-malam kulalui hanya sendirian. Diantara tumpukan kopi, kardus-kardus mie, bubur kacang hijau yang mulai basi, dan televisi yang menyala sendiri. Kadang ada Ujo atau Erik, namun mereka hanya numpang tidur sebentar di belakang, lalu tak sampai jam 1 malam mereka pamit pergi entah ke mana. Kembali, aku yang sendirian sampai pagi di sana, lalu digantikan oleh Salman atau Bang Rohman sendiri pukul 6 atau 7.

Sampai suatu ketika, aku menemukan sebuah cerita yang sangat menarik.

Saat itu jumat malam menuju sabtu pagi.
Seorang pria muda dengan kemeja biru dibalut jaket bahan jeans hitam, masuk ke warung. Aku mengenalinya sebagai Azra, sepupu dari Bang Rohman pemilik warung kopi. Seperti biasa dia memesan dua sachet Indocafe Cappuccino dalam satu cangkir besar dan tanpa gula. Dia mengambil remote dan mengganti acara talkshow ke O-Channel menyaksikan sebuah film jadul. Dia lalu berkata. “Gw lagi nungguin orang nih, jangan tutup dulu ya.”

Aku hanya mengangguk.

Lalu dua jam berlalu masuk ke pukul 1 pagi. Orang yang dia tunggu tidak kunjung muncul. “Kalau ngantuk, lo tidur di dalam aja. Biar gw yang nutup warung nanti,” ucapnya, dan akupun beranjak ke ruang belakang di mana tergeletak kasus busa warna biru.

Menit demi menit berlalu, dan aku tetap tidak bisa tidur. Mataku, terus melihat ke atas ke plafon putih, ke fluorescence. Sampai jam 2 malam, aku mendengar ada mobil yang berhenti di depan. Lalu, aku membalik badan dan mengintip ke ruang depan, seorang laki-laki dengan jeans biru masuk ke dalam warung. 

“Mau minum apa?” sapa Azra di depan meja bar.

“Milo aja,” ucap si laki-laki itu, mengintip ke atas dia mengenakan kaos putih lengan panjang, kulitnya juga putih, namun aku tidak jelas melihat wajahnya karena rambutnya yang gondrong menutupi pandanganku.

“Pakai susu?”

“Boleh.”

Tak lama Azra menyajikannya, kemudian dia berkata. “Ada tugas baru?”

“Iya,” si pria dengan kaos putih itu menyerahkan sebuah amplop coklat besar.

Azra mengambilnya, lalu hanya meletakkannya di meja.

“Hari-hari ini masalah makin banyak saja,” sahut Azra.

“Indonesia makin amburadul,” si pria misterius menggelengkan kepala.

“Tadi sore lo nonton wawancara wakil Bareskrim itu? Katanya ada pengkhianat di petinggi kepolisian?”

“Pengkhianat yang membocorkan informasi internal ke lembaga lain. Iya, gw sudah dengar itu.”

“Kita justru berperang melawan orang-orang kita sendiri, KPK vs Polri vs Pengadilan Negeri vs kejaksaan dan seterusnya.”

Si pria misterius meneguk coklat panasnya. “Masih cerita yang sama seperti zaman dulu,”

“Taktik adu domba,” ujar Azra. “Ngomong-ngomong, kenapa lo gak menghentikan mereka? Lo tahukan ada seseorang di belakang itu semua, orang yang menarik benak dan menjadi dalang.”

“Iya, gw tahu. Tapi bicara itu lebih mudah daripada melakukan tindakkan.”

Si Pria misterius berdiri, dia lalu pamit ke Azra. “Makasih untuk Milo-nya.”

“Yang mereka inginkan adalah Indonesia tetap jadi negara dunia ketiga. Seperti di film Justin Timberlake, seseorang harus ada susah agar ada orang-orang yang tetap menjadi kaya dan abadi.’

“Az, kerjakan saja tugas kamu,” ucap si pria misterius di depan pintu mobilnya. 

Bersama dengan angin dingin yang menyapu aspal jalanan mobil hitam itu melaju di antara gelap jalanan malam. Untuk sesaat aku melihat Azra hanya berdiri di depan pintu, seolah dia merenungi sesuatu.

Akupun beranjak bangun dan bertanya. “Siapa orang itu?”

“Oh dia, hanya seorang teman,” ucapnya sambil mengangguk, lalu dia berkata lagi. “Lah lo nggak tidur?”

“Nggak,” jawabku.

.  .  .


No comments:

Post a Comment