Tuesday, May 27, 2014
Saya dan Novel Digital Fortress
Saya dan Novel Digital Fortress
By Ftrohx
Sudah cukup lama saya tidak membuka novel 'Digital Fortress' dan kebetulan karena beberapa projek saya meraba-raba lagi novel ini.
Untuk saya Digital Fortress adalah novel terjemahan sekaligus novel action thriller pertama yang saya baca.
Jujur, saya nggak suka baca novel waktu sekolah (bahkan sampai kuliah,) saya hanya baca sedikit novel dan itu juga novel yang direkomendasikan sama teman atau novel teman yang kebetulan ada di kosan, dan Digital Fortress ini adalah keduanya.
Saya langsung jatuh cinta dari sinopsisnya. Ini tentang komputer, ini tentang kriptografi, dan kebetulan saat itu tahun 2007 saya lagi tergila-gila dengan dunia hacking-hackingan (bukan hacking beneran.) Tapi menghatamkan novel ini tidak serta merta membuat saya bermimpi menjadi penulis novel, saya hanya jadi makin penasaran saja dengan dunia IT. Dan waktu itu saya menganggap Digital Fortress sebagai kitab suci untuk para hacker (padahal lubang vurnabilitasnya banyak banget di sana.)
Iya, sering dengan waktu saya mengetahui bahwa Digital Fortress punya banyak kelemahan, mungkin untuk tahun 1998 (tahun novel itu terbit) memang sangat luar biasa. Tapi untuk sekarang banyak hal yang sudah tidak relevan lagi dari novel itu.
Banyak hal keren lain di dunia IT belum di sentuh Dan Brown dalam novelnya, bahkan novel-novel terbarunya yang sekarang. Saya tahu itu, dan saya yakin banyak orang Indonesia yang juga sudah tahu kelemahan-kelemahan dari novel Dan Brown tersebut. Memang sudah banyak juga yang mengkritik di Goodreads tapi saya tidak ingin menjatuh tulisan seperti mereka.
Langsung, ini beberapa kelemahan DF dari sudut pandang saya.
Pertama, beda dengan novel Dan Brown lain yang saya langsung ingat jelas siapa karakter-karakternya. Untuk Digital Fortress entah kenapa saya selalu lupa siapa nama karakter utamanya atau siapa nama-nama musuhnya? Padahal saya tahu (nyaris keseluruhan) ceritanya. Hipotesa saya dan beberapa teman, mungkin karena ini adalah projek pertama Dan Brown jadi dia belum begitu ahli mengolah karakter yang memorable, novel ini memang sangat bagus tapi karakternya mudah terlupakan itulah yang menjadi nilai minusnya. Atau mungkin Dan Brown sengaja tidak terfokus pada karakter melainkan lebih bermain ke pada procedural driven plot (seperti CSI, Grey Anatomy, dan sebagainya.)
Kedua, ini kesalahan umum yang dilakukan banyak penulis hebat lainnya yaitu ALL OUT di bab-bab awal. Sepertiga awal dari novel ini bagus menurut saya, benar-benar meyakinkan. Tap ketika masuk ke bagian tengah, klimaks dan ending, meski cerita mengalir dengan lancar namun dia seolah kehilangan kekuataan. Karakter-karakternya tidak sehebat yang dia umbar di awal-awal novel. Iya, saya bicara kembali ke permasalahan karakter lagi.
Ketiga, eksekusi memang menjadi masalah, klimaksnya tidak sehebat yang semua orang harapkan di awal cerita. Waktu pertama kali baca di tahun 2007an saya memang belum begitu mengerti tentang cerita fiksi. Tapi sekarang, saya melihat klimaksnya memang jauh dari harapan, harusnya mereka punya skenario yang lebih bagus dari itu. Namun setidaknya Digital Fortress punya eksekusi yang jauh lebih baik daripada 'Are you afraid to the dark' - nya Sidney Sheldon yang terlalu Deus ex machina.
Keempat, saya suka teori-teori canggihnya tentang dunia IT, sayangnya Dan Brown melakukan kesalahan-kesalahan dasar seperti masalah perbedaan antara Bit dengan Byte, masih cryptography public key, dan beberapa teori matematik diskrit lainnya. Tapi saya salut usaha beliau untuk melakukan riset terlihat sungguh-sungguh, mungkin jika di poles sedikit lagi, semua akan jauh lebih. Atau setidaknya ada orang-orang Indonesia yang membuat sebuah novel dengan menambal lubang-lubang (vurnelabilitas) dari Digital Fortress karyanya akan menjadi luar biasa.
Monday, May 12, 2014
Tiga Permasalahan Umum
Tiga Permasalahan Umum
By Ftrohx
Indonesia itu negara yang unik beda dari negara yang lain, dan karena keunikan Indonesia kadang kita menghadapi beberapa kendala dalam membuat sebuah karya.
Kadang bisa besar dan kadang juga hanya permasalahan kecil.
Ok, di bawah ini adalah Tiga permasalahan umum yang sering kita temui dalam membuat novel crime thriller asli Indonesia.
1. Permasalahan Kepangkatan Polisi
Ini dia masalah umum yang susah-susah gampang, kadang penting sekaligus kurang penting yaitu masalah kepangkatan polisi di Indonesia
Untuk orang awam atau kita yang sering menonton film action thriller luar negeri, baca buku detektif terjemahan, atau cerita kepolisian jaman dulu. Maka kita akan mengenal kata kepangkatan seperti; Sersan, Letnan, ataupun Kapten.
Sayangnya, sejak tahun 2001 di Indonesia pangkat Sersan Polisi, Letnan Polisi, dan Kapten Polisi sudah dihapuskan. Bingungkan elo? Terus kita nulisnya pakai apa??
Nah sejak 2001 pangkat Sersan Polisi diubah jadi Brigadir Polisi, atau sering kita dengan di berita kriminal di TV kata Bripda (Brigadir Polisi dua) dan Briptu (Brigadir Polisi Satu). Untuk pangkat Letnan sekarang diubah jadi Inspektur yaitu Ipda (Inspektur Polisi Dua) dan Iptu (Inspektur Polisi Satu). Sedangkan untuk Kapten Polisi sekarang menjadi AKP (Ajun Komisaris Polisi).
Coba bandingkan dengan NYPD Blue atau Gotham Police Departemen, pasti kalian yang langsung bertanya. "Terus Komisaris Gordon pangkatnya apa kalau versi Indonesia? Atau Superintendent Battle itu apa pangkatnya kalau versi Indonesia?"
Di Indonesia pangkat Komisaris dibagi menjadi tiga yaitu Kompol, AKBP, dan Kombes Pol.
Untuk Komisaris Gordon di Dark Knight, kalau versi Indonesia menurut saya setara dengan pangkat Kombes Pol. Begitu juga dengan Superintendent Battle sama menurut saya, dia juga seorang Kombes.
MAKIN bingung kan elo?
INILAH UNIKNYA INDONESIA, seperti kata para birokrat itu "kalau bisa DIBUAT SUSAH KENAPA HARUS DIPERMUDAH."
Sebenarnya sejak saya mempelajari permasalahan kepangkatan ini. Ada banyak pertanyaan dan yang paling jadi tanda tanya di otak saya adalah kenapa jabatan kepolisian harus ribet berlapis-lapis?
Tantama (Bharada, Bharatu, Baraka, Abripda, Abriptu, Abrip.) --> Setara dengan Kopral
Bintara (Bripda, Briptu, Brigpol, Bripka.) --> Setara dengan Sersan
Bintara Tinggi (Aipda, Aiptu.) --> Di bawah Letnan
Perwira Pertama (Ipda, Iptu, AKP.) --> Setara dengan Letnan, kecuali AKP setara Kapten
Perwira Menengah (Kompol, AKBP, Kombes Pol.) --> Setara Kolonel atau Komandan
Perwira Tinggi (Brigjen Pol, Irjen Pol, Komjen Pol, Jendral Polisi.) --> Kepangkatan Jenderal
Ribet bukan Indonesia, kenapa tidak disederhanakan saja ya?
2. Permasalahan Visum dan Otopsi?
Dua istilah ini hampir setiap hari disalahartikan oleh media massa, berita-berita di televisi, bahkan internet. Kebanyakan para penulisnya berita itu membuat dua istilah ini menjadi rancu, yang mana yang visum dan yang mana yang berarti otopsi?
Menurut wikipedia Indonesia
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan.
Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya".
Sedangkan otopsi adalah eksaminasi post-mortem atau pemeriksaan jasad seseorang pasca-kematian. Biasanya menggunakan prosedur bedah khusus untuk menemukan penyebab kematian dan dokter khusus yang disebut dokter forensik atau ahli pathologi. Darisini bisa kita tarik kesimpulan bahwa Otopsi adalah tindakannya sedangkan Visum Et Repertum adalah laporannya.
Tapi masalah belum selesai sampai di situ, pertanyaan siapakah yang berwenang menangani jasad di TKP? Apakah polisi ataukah dokter atau dokter sekaligus polisi?
Di beberapa negara, ada yang disebut petugas Koroner, ini bukan tentang koroner penyakit jantung. Di sini yang disebut koroner adalah petugas pemerintah yang mengkonfirmasi dan memberi sertifikasi kematian seseorang dalam cangkupan/tujuan juridiksi. Pertanyaannya apa bedanya Koroner dengan petugas forensik? Nah loh makin banyak tahu, makin bingung bukan?
Belakangan sejak tahun 2012-an muncul divisi khusus kepolisian yang disebut INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System), INAFIS ini sering digadang-gadang oleh media massa sebagai Tim CSI (Crime Scene Investigation) nya Indonesia. Yang membuat saya bingung di Amerika juga ada Automatic Fingerprint Identification System dan mereka cuma mengurusi database detail informasi korban ataupun orang-orang yang melakukan kriminal, hanya pengelolaan informasi saja. Pertanyaannya di Indonesia INAFIS kok menjadi petugas TKP? Pertanyaan saya lagi bukannya sudah ada Tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Foresik) yang bertugas sebagai Tim TKP sejak dulu di Bareskrim/Mabes Polri? Ok, selamat bingung dan selamat melakukan riset sendiri?
3. Masalah Pengadilan
Kalau ini kita semua pasti sudah tahu, jangan bahas tentang perundangan-undangan, KUHP, dan sebagainya itu jelas beda dari Amerika.
Susunannya beda, nomor urutnya beda, bahasanya juga berbeda, dan seterusnya dan seterusnya. Kalau masalah perundang-undangan dan sebagainya itu ada ahlinya tersendiri dan yang pasti bukan saya. Tapi yang paling essensial dari semuanya adalah sistem persidangan dengan Juri dan tanpa Juri.
Bagi kamu yang sudah biasa baca novel Sidney Sheldon, John Grisham, atau menonton film-film bertema Legal Thriller pasti kamu melihat bahwa keputusan perkara tidak terletak pada hakim melainkan si Hakim menyerahkan keputusan akhir (bersalah atau tidak bersalah) kepada sekumpulan orang di kotak sebelah kanan ruang pengadilan yaitu para Juri. Dan yang lebih aneh lagi para Juri ini diambil bukan dari Departemen Hukum atau pejabat terkait di bidang hukum, melainkan dari orang-orang sipil (mewakili masyarakat umum) yang tidak terlalu mengerti tentang Hukum.
Lalu ketika kamu membandingkannya dengan persidangan yang ada di Indonesia, saya jamin otak kamu akan sedikit nge-hang.
Ngeselin banget bukan, kita pengen nulis adegan di ruang sidang, bahan yang kita pakai adalah Sidney Sheldon dan John Grisham namun kita pengen bikn adegannya di PN Jakarta Selatan, lalu ketika kita mengetahui fakta atas perbedaan itu. Apa yang kita perbuat? Iya saya pernah mencoba menuliskan hal itu di tahun 2011 dan saya menyerah sebelum memulai.
Permasalahannya adalah karena kita para penulis di Indonesia belum punya PATOKAN dasar bahan atau lebih tepatnya novel Legal Thriller asli Indonesia yang menggambarkan seperti apa sih aksi para pengacara, terpidana, saksi-saksi, dan jaksa serta hakim asli Indonesia di ruang sidang.
ITU MASALAH UTAMA-nya. Banyak penulis thriller Indonesia yang membuat court scene (adegan persidangan) tapi mereka belum mewakili persidangan sebenarnya yang terjadi di pengadilan-pengadilan Indonesia, apalagi tentang pertarungan undang-undang pidana, KUHP, dan sebagainya masih jauh dari harapan. Bahkan hal yang sederhana saja, bentuk ruang sidang di Indonesia (mayoritas dari) mereka belum tahu seperti apa.
Saya sendiri atau lebih tepatnya kami hanya menggunakan bahan dari novel terjemahan yang jelas JAUH BANGET BEDA dengan apa yang terjadi di ruang sidang di Indonesia.
Dengan kegagalan tahun 2011 itu saya bilang ke Kunto (rekan duet saya) kita mesti cari kenalan pegawai atau orang yang kerja di PN Jakarta Selatan biar dapet REAL apa yang terjadi di ruang pengadilan.
Dan syukur Alhamdulillah saat ini saya sudah ketemu dan kebetulan dia adalah penulis novel juga yaitu Jeni Suhadi.
. . .
Ilustrasi: sumber tribunews.com
By Ftrohx
Indonesia itu negara yang unik beda dari negara yang lain, dan karena keunikan Indonesia kadang kita menghadapi beberapa kendala dalam membuat sebuah karya.
Kadang bisa besar dan kadang juga hanya permasalahan kecil.
Ok, di bawah ini adalah Tiga permasalahan umum yang sering kita temui dalam membuat novel crime thriller asli Indonesia.
1. Permasalahan Kepangkatan Polisi
Ini dia masalah umum yang susah-susah gampang, kadang penting sekaligus kurang penting yaitu masalah kepangkatan polisi di Indonesia
Untuk orang awam atau kita yang sering menonton film action thriller luar negeri, baca buku detektif terjemahan, atau cerita kepolisian jaman dulu. Maka kita akan mengenal kata kepangkatan seperti; Sersan, Letnan, ataupun Kapten.
Sayangnya, sejak tahun 2001 di Indonesia pangkat Sersan Polisi, Letnan Polisi, dan Kapten Polisi sudah dihapuskan. Bingungkan elo? Terus kita nulisnya pakai apa??
Nah sejak 2001 pangkat Sersan Polisi diubah jadi Brigadir Polisi, atau sering kita dengan di berita kriminal di TV kata Bripda (Brigadir Polisi dua) dan Briptu (Brigadir Polisi Satu). Untuk pangkat Letnan sekarang diubah jadi Inspektur yaitu Ipda (Inspektur Polisi Dua) dan Iptu (Inspektur Polisi Satu). Sedangkan untuk Kapten Polisi sekarang menjadi AKP (Ajun Komisaris Polisi).
Coba bandingkan dengan NYPD Blue atau Gotham Police Departemen, pasti kalian yang langsung bertanya. "Terus Komisaris Gordon pangkatnya apa kalau versi Indonesia? Atau Superintendent Battle itu apa pangkatnya kalau versi Indonesia?"
Di Indonesia pangkat Komisaris dibagi menjadi tiga yaitu Kompol, AKBP, dan Kombes Pol.
Untuk Komisaris Gordon di Dark Knight, kalau versi Indonesia menurut saya setara dengan pangkat Kombes Pol. Begitu juga dengan Superintendent Battle sama menurut saya, dia juga seorang Kombes.
MAKIN bingung kan elo?
INILAH UNIKNYA INDONESIA, seperti kata para birokrat itu "kalau bisa DIBUAT SUSAH KENAPA HARUS DIPERMUDAH."
Sebenarnya sejak saya mempelajari permasalahan kepangkatan ini. Ada banyak pertanyaan dan yang paling jadi tanda tanya di otak saya adalah kenapa jabatan kepolisian harus ribet berlapis-lapis?
Tantama (Bharada, Bharatu, Baraka, Abripda, Abriptu, Abrip.) --> Setara dengan Kopral
Bintara (Bripda, Briptu, Brigpol, Bripka.) --> Setara dengan Sersan
Bintara Tinggi (Aipda, Aiptu.) --> Di bawah Letnan
Perwira Pertama (Ipda, Iptu, AKP.) --> Setara dengan Letnan, kecuali AKP setara Kapten
Perwira Menengah (Kompol, AKBP, Kombes Pol.) --> Setara Kolonel atau Komandan
Perwira Tinggi (Brigjen Pol, Irjen Pol, Komjen Pol, Jendral Polisi.) --> Kepangkatan Jenderal
Ribet bukan Indonesia, kenapa tidak disederhanakan saja ya?
2. Permasalahan Visum dan Otopsi?
Dua istilah ini hampir setiap hari disalahartikan oleh media massa, berita-berita di televisi, bahkan internet. Kebanyakan para penulisnya berita itu membuat dua istilah ini menjadi rancu, yang mana yang visum dan yang mana yang berarti otopsi?
Menurut wikipedia Indonesia
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan.
Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya".
Sedangkan otopsi adalah eksaminasi post-mortem atau pemeriksaan jasad seseorang pasca-kematian. Biasanya menggunakan prosedur bedah khusus untuk menemukan penyebab kematian dan dokter khusus yang disebut dokter forensik atau ahli pathologi. Darisini bisa kita tarik kesimpulan bahwa Otopsi adalah tindakannya sedangkan Visum Et Repertum adalah laporannya.
Tapi masalah belum selesai sampai di situ, pertanyaan siapakah yang berwenang menangani jasad di TKP? Apakah polisi ataukah dokter atau dokter sekaligus polisi?
Di beberapa negara, ada yang disebut petugas Koroner, ini bukan tentang koroner penyakit jantung. Di sini yang disebut koroner adalah petugas pemerintah yang mengkonfirmasi dan memberi sertifikasi kematian seseorang dalam cangkupan/tujuan juridiksi. Pertanyaannya apa bedanya Koroner dengan petugas forensik? Nah loh makin banyak tahu, makin bingung bukan?
Belakangan sejak tahun 2012-an muncul divisi khusus kepolisian yang disebut INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System), INAFIS ini sering digadang-gadang oleh media massa sebagai Tim CSI (Crime Scene Investigation) nya Indonesia. Yang membuat saya bingung di Amerika juga ada Automatic Fingerprint Identification System dan mereka cuma mengurusi database detail informasi korban ataupun orang-orang yang melakukan kriminal, hanya pengelolaan informasi saja. Pertanyaannya di Indonesia INAFIS kok menjadi petugas TKP? Pertanyaan saya lagi bukannya sudah ada Tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Foresik) yang bertugas sebagai Tim TKP sejak dulu di Bareskrim/Mabes Polri? Ok, selamat bingung dan selamat melakukan riset sendiri?
3. Masalah Pengadilan
Kalau ini kita semua pasti sudah tahu, jangan bahas tentang perundangan-undangan, KUHP, dan sebagainya itu jelas beda dari Amerika.
Susunannya beda, nomor urutnya beda, bahasanya juga berbeda, dan seterusnya dan seterusnya. Kalau masalah perundang-undangan dan sebagainya itu ada ahlinya tersendiri dan yang pasti bukan saya. Tapi yang paling essensial dari semuanya adalah sistem persidangan dengan Juri dan tanpa Juri.
Bagi kamu yang sudah biasa baca novel Sidney Sheldon, John Grisham, atau menonton film-film bertema Legal Thriller pasti kamu melihat bahwa keputusan perkara tidak terletak pada hakim melainkan si Hakim menyerahkan keputusan akhir (bersalah atau tidak bersalah) kepada sekumpulan orang di kotak sebelah kanan ruang pengadilan yaitu para Juri. Dan yang lebih aneh lagi para Juri ini diambil bukan dari Departemen Hukum atau pejabat terkait di bidang hukum, melainkan dari orang-orang sipil (mewakili masyarakat umum) yang tidak terlalu mengerti tentang Hukum.
Lalu ketika kamu membandingkannya dengan persidangan yang ada di Indonesia, saya jamin otak kamu akan sedikit nge-hang.
Ngeselin banget bukan, kita pengen nulis adegan di ruang sidang, bahan yang kita pakai adalah Sidney Sheldon dan John Grisham namun kita pengen bikn adegannya di PN Jakarta Selatan, lalu ketika kita mengetahui fakta atas perbedaan itu. Apa yang kita perbuat? Iya saya pernah mencoba menuliskan hal itu di tahun 2011 dan saya menyerah sebelum memulai.
Permasalahannya adalah karena kita para penulis di Indonesia belum punya PATOKAN dasar bahan atau lebih tepatnya novel Legal Thriller asli Indonesia yang menggambarkan seperti apa sih aksi para pengacara, terpidana, saksi-saksi, dan jaksa serta hakim asli Indonesia di ruang sidang.
ITU MASALAH UTAMA-nya. Banyak penulis thriller Indonesia yang membuat court scene (adegan persidangan) tapi mereka belum mewakili persidangan sebenarnya yang terjadi di pengadilan-pengadilan Indonesia, apalagi tentang pertarungan undang-undang pidana, KUHP, dan sebagainya masih jauh dari harapan. Bahkan hal yang sederhana saja, bentuk ruang sidang di Indonesia (mayoritas dari) mereka belum tahu seperti apa.
Saya sendiri atau lebih tepatnya kami hanya menggunakan bahan dari novel terjemahan yang jelas JAUH BANGET BEDA dengan apa yang terjadi di ruang sidang di Indonesia.
Dengan kegagalan tahun 2011 itu saya bilang ke Kunto (rekan duet saya) kita mesti cari kenalan pegawai atau orang yang kerja di PN Jakarta Selatan biar dapet REAL apa yang terjadi di ruang pengadilan.
Dan syukur Alhamdulillah saat ini saya sudah ketemu dan kebetulan dia adalah penulis novel juga yaitu Jeni Suhadi.
. . .
Ilustrasi: sumber tribunews.com
Thursday, May 8, 2014
Ide yang tertanam begitu kuat
Ide yang tertanam begitu kuat
By Ftrohx
"Once an idea has taken hold of the brain, it's almost impossible to eradicate." - Cobb, Inception.
Masukan sebuah ide, sebuah gagasan ke dalam otak seorang anak kecil. Maka ide itu akan terus menempel di dalam otaknya selama-lamanya dan hampir mustahil untuk menghapus gagasan itu dari dirinya.
Sebuah ide kecil, sebuah gagasan pernah masuk ke dalam otak saya.
Ini tentang tindak kekerasan, ini tentang samurai, ini tentang anime Rurouni Kenshin.
Entah kenapa anime ini datang ke Jakarta di saat-saat yang sangat TEPAT, pasca insiden 98 dan tahun-tahun awal Reformasi.
Semua yang kami lihat di anime itu persis sama dengan pergolakan politik yang terjadi di Indonesia. Sebuah rezim runtuh dan digantikan oleh rezim yang lain. Kami mengenal yang namanya Era Tokugawa, lalu belajar yang nama restorasi Meiji.
Tapi nggak semua anak SMP dan SMA peduli dengan politik.
Gagasan terkuat dari Rurouni Kenshin adalah tentang pedang, tentang jalan para Samurai.
Di jaman saya, perjalanan menuju ke sekolah adalah sebuah petualangan tersendiri, apapun bisa terjadi, dipalak ataupun berantem dengan anak sekolah lain. Mempertahankan diri dan tetap bertahan hidup adalah segalanya. Di jaman saya, kamu akan biasa melihat seorang siswa SMP atau SMA pergi ke sekolah dengan menenteng sebuah Katana (versi KW). Saya melihat mereka seolah Cool dan saya yakin mereka juga merasakan kebanggaan tersendiri akan hal itu ! Hahaha...
Gagasan ini jika dipikir dengan akal sehat sangat konyol, tapi itulah fenomena yang terjadi pada angkatan saya. Semoga saja tidak terjadi lagi pada generasi di bawah saya.
Namun yang saya tidak mengerti sama sekali adalah gagasan tentang Samurai, tentang membawa Katana ke Sekolahan itu begitu KUAT melekat di otak saya. Sampai sekarang pun saya masih suka berkhayal berada di sekolahan di mana saya melihat para siswa-nya membawa Katana. Bahkan saya sering bermimpi bertemu cewek cantik dan sexy di sekolah yang bertarung dengan katana, entah mungkin bagian yang ini adalah masalah 'fetish' alam bawah sadar saya.
Semua memang gara-gara Rurouni Kenshin, saya jadi suka berkhayal dan saya mulai berkhayal dengan serius juga karena Kenshin. Gara-gara Kenshin, saya menulis projek atau lebih tepatnya tulisan abstrak pertama saya yaitu Gen X Katana. Tentang sepuluh orang anak SMA yang terobsesi dengan ilmu beladiri terutama Kendo.
Tulisan pertama saya ini lebih bermain ke karakter dan detail fisiknya. Saya nggak pernah menulis plotnya akan ke mana, semua mengalir hanya seputaran karakter yang saya khayalkan. Karakter A bertarung dengan karakter B dan seterusnya, seperti Street Fighter atau Mortal Kombat, iya semacam itu. Cerita ini lebih cocok untuk komik, sayangnya saya nggak bisa gambar komik. Ada sih seorang teman di SMA saya yang mencoba menggambar komik, tapi semua berakhir sampai halaman ke sepuluh.
Iya, masalah utamanya di situ. Saya nggak bisa menuangkan pertarungan visual yang ada di otak saya ke dalam bentuk tulisan. Mungkin suatu saat bisa jika ada cukup modal (maksud saya langsung dibuat versi film.)
Kembali lagi ke ide dan gagasan. Selain Rurouni Kenshin, satu komik yang sangat mempengaruhi hidup saya sampai sekarang adalah Death Note.
Sama seperti Kenshin, Death Note datang pada saya di saat yang sangat-sangat tepat. Di saat saya kuliah di jurusan Manajemen Keuangan, di saat saya belajar riset operasional, statistik dan probabilitas, di saat saya belajar tentang membuat hipotesis. Death Note tepat datang kepada saya. Dan ide-ide dari buku itu melekat begitu kuat dalam otak saya sampai sekarang. Gagasan-gagasan Tsugumi Ohba, metode deduksi L. Lawliet yang tidak jauh beda dengan buku statistik dan probabilitas yang saya baca. Ini cocok banget dengan kehidupan yang saya jalani saat itu.
Sebelumnya saya nggak pernah baca novel atau komik detektif, tapi gara-gara Death Note perlahan saya mencoba membaca novel-novel detektif. Dari Death Note saya belajar bagaimana membuat sebuah plot, bagaimana menciptakan sebuah twist, dan bagaimana membuat sebuah cerita dari awal sampai akhir. Karena sebelumnya saya memang tidak pernah konsisten, saya hanya menciptakan sebuah karakter tapi tidak pernah membuat cerita awal, tengah, dan akhir. Gara-gara Death Note saya baru berkomitmen untuk membuat cerita dari awal sampai akhir.
Sebagai seorang penulis, ide adalah balas dendam, iya balas dendam atas ide yang datang sebelumnya kepada saya.
Saya ingin membalas dendam dengan menciptakan sebuah ide yang sangat keren dan menjualnya ke masyarakat, ide yang tertanam begitu dalam sampai-sampai mereka tidak bisa melepaskannya.
. . .
Ilustrasi: Kenshi Himura, sumber orendsrange.com
Tuesday, May 6, 2014
Grande versus Ordinary
Grande versus Ordinary
By Ftrohx
Kata Pramoedya "Menulis adalah bekerja untuk keabadian,"
Saya setuju dengan itu.
Tapi tidak semua karya tulis bisa dikenang banyak orang apalagi dikenang sepanjang masa.
Hanya karya tertentu saja yang masih dibaca dan relevan untuk zaman selanjutnya. Yang lain hilang dan usang karena sudah tidak relevan lagi.
Beberapa karya yang relevan dan masih bertahan sampai sekarang sejak ratusan tahun yang lalu adalah karya-karya yang Grande. Karya-karya canggih yang menembus zamannya seperti Crime and Punishment - Doestoyevsky, Sherlock Holmes - Arthur C Doyle, Lord of The Ring - J R L Tolkien, And then they were none - Agatha Christie, Arsene Lupin - Maurice LeBlanc, Auguste Dupin - Edgar Allan Poe, Women in White - Wilkie Collins, dan sebagainya. Semuanya adalah karya yang Grande, yang besar, rumit, extraordinary, penuh dengan plot twist dan sulit dipahami oleh logika orang awam.
Begitu beratnya permainan logika dan begitu tingginya ego para penulis itu, sehingga hanya sedikit orang yang mampu mengikuti jejak mereka. Bahkan di era modern seperti sekarang, kita hanya menemukan satu atau dua nama yang mengikuti jejak mereka kalau tidak Dan Brown penulis The Lost Symbol, Christopher Nolan penulis Inception, paling J K Rowling pencipta Cuckoo's Calling, atau penulis novel Jepang seperti Haruki Murakami. Butuh IQ yang tinggi untuk menciptakan novel yang penuh logika dan analisis, dan tentu saja tidak semua orang terlahir dengan bakat Matematik +plus jago bermain kata-kata.
Sayangnya karena terlalu tinggi, tidak semua orang mau membacanya.
Orang-orang butuh hiburan sepulang sekolah, kuliah atau kantor. Dan bukannya buku yang membuat kepala mereka tambah pusing (seperti yang saya sebut di atas tadi.)
Grande memang menakjubkan, Grande memang keren. Tapi buku-buku seperti ini hanya untuk kalangan tertentu, segmentasi tersendiri - semisal orang-orang yang punya IQ tinggi dan energi yang lebih sekalipun mereka sudah pusing dengan rutinitas kerja sehari-hari.
Seperti kata teman saya, Alex Irzaqi (yang menjuarai lomba manga di Jepang.) Dia cerita bahwa seorang sensei (penulis manga) di sana bilang bahwa industri sekarang sudah keluar dari yang seharusnya. Semua manga-ka muda ingin menulis sesuatu yang tinggi, sesuatu yang penuh twist, sesuatu yang punya konten berat, dan kebanyakan dari mereka melupakan essensi sebenarnya dari manga yaitu untuk menghibur orang.
Kata-kata sensei itu mengingatkan saya dengan manga Naruto, saya suka Naruto tapi belakangan ini saya melihat Naruto sudah pergi terlalu jauh. Naruto memang manga yang Grande tapi di sisi lain saya melihat obsesi dari penulisnya. Dari chapter-chapter terakhir yang saya baca seolah Kishimoto-sensei berkata "Eh, lihat gw bisa menulis apa yang orang lain tidak bisa tulis!"
Entah mungkin saya lebih suka ketulusan Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata untuk mengakhiri Death Note dan Bakuman di saat sedang puncak-puncaknya.
Tapi jika dipikir lebih luas lagi, tidak perlu sesuatu yang Grande untuk di kenang sepanjang masa.
Hal-hal yang sederhana, hal-hal yang kecil, hal-hal biasa yang terjadi di kehidupan sehari-hari bisa menjadi karya yang dikenang sepanjang masa.
Hal sederhana tentang seorang anak SD yang bertemu robot dengan kantung ajaib, itu bisa dikenang sepanjang masa. Betul bukan, maksud saya Doraemon. Siapa yang nggak kenal Doraemon, atau Shin Chan bocah TK yang rada mesum itu. Ceritanya biasa, seputar kehidupan sehari-hari tapi bisa jadi HITS dan populer.
Saya pengen membuat sebuah cerita yang biasa, seputaran kehidupan sehari-hari tapi kemudian masuk ke situasi yang luar biasa.
Sebenarnya ada satu penulis yang membuat saya IRI setahun terakhir ini, dia adalah Keigo Higashino dengan karya-nya Perfect Number.
Jika dibilang novel detektif, tidak ada yang baru dalam novel ini. TIdak ada trik genius ataupun karakter yang spektakuler, tidak ada pembunuhan berdampak massive seperti Da Vinci Code, tidak ada teori konspirasi, tidak ada gangster/mafia yang berkuasa, tidak ada konflik uang jutaan dollar, tidak ada yang Grande dari novel ini.
Hanya sebuah pembunuhan biasa, sebuah kasus biasa, tapi Keigo Higashino menuliskannya dari sudut yang berbeda, membawanya ke level yang berbeda.
. . .
Thursday, May 1, 2014
DIBUKA lagi dibuka lagi dan lagi
DIBUKA lagi dibuka lagi dan lagi
By Ftrohx
Inilah yang jadi pertanyaan di otak saya sejak semalam. Bagaimana menciptakan karya tulisan, cerpen, artikel, novel ataupun film yang dibuka lagi dan lagi.
Yang meski sudah bukan waktu atau sudah lewat masa-nya tapi masih tetap dibaca lagi dan lagi.
Ada banyak buku di rak saya, tapi tidak semuanya saya buka lagi dan lagi.
Banyak buku yang saya baca, ceritanya memang bagus, banyak pengetahuan yang disajikan, tapi setelah itu. "Oh, begitu saja isinya," kemudian saya taruh ditumpukkan buku yang usang.
Hanya beberapa buku saja yang sengaja atau tidak sengaja (karena alam bawah sadar saya yang bekerja) menaruh di rak depan supaya saya baca lagi dan lagi.
Jujur, saya ingin sekali membuat karya seperti itu, yang dibuka lagi dan lagi. Sayangnya saya tidak tahu bagaimana caranya membuat.
Tapi saya tahu cerpen, novel, dan film yang saya suka baca lagi dan lagi, meski sudah lewat trendnya.
Pertama Fight Club, novel sekaligus film ini sudah sangat kadaluwarsa, tapi saya masih suka membuka dan membaca ulang lagi ceritanya. Saya masih suka menonton potongan film-nya di youtube dan gara-gara ini pula saya jadi akrab dengan seorang penulis senior.
Belakangan ini saya berpikir apa sih istimewanya Fight Club sampai saya baca ulang dan ulang lagi? Apa karena ada Brad Pitt dan Edward Norton, tapi bukan itu. Yang membuat saya membaca Fight Club berkali-kali adalah 'ide'-nya, gagasan-nya yang keren. Dari sini saya membuat hipotesa bahwa, jika saya suka dengan gagasan yang keren, maka pembaca juga 'bisa jadi' suka akan gagasan yang keren, karena pembaca suka maka pembaca akan membaca lagi dan lagi karya saya meski sudah kadaluwarsa.
Kedua Los Angeles BB Murder, banyak yang mengkritik buku ini tidak sebagus Death Note, tapi karena ini adalah novel detektif yang pertama saya baca. Maka gagasannya begitu kuat melekat di otak saya.
Hipotesis yang kedua saya mesti membuat sesuatu yang melekat di otak, sesuatu yang membuat pembaca awam tidak akan pernah melupakannya ketika pertama kali membaca. Iya, sewaktu saya membuka Death Note, saat itu saya masih sangat awam, saya tidak tahu apa itu cerita detektif dan gara-gara Death Note serta LA BB Murder, saya jadi kenal yang namanya cerita detektif. Pembaca awam secara sadar ataupun tidak sadar akan membuka kembali buku pertama yang membuat mereka terkesan. Balik lagi mungkin itu masalah 'gagasan' atau menanamkan ide ke benak seseorang.
Buku ketiga yang suka saya buka lagi dan lagi adalah Metropolis Sindikat 12 karya Windry Ramadhina, ide di novel ini menurut saya sederhana tentang kehidupan mafia, plotnya juga tidak serumit dua novel yang saya sebut di atas. Tapi hampir setiap hari ada suara di otak saya yang menyuruh untuk membuka novel ini.
Gagasan di novel ini biasa saja tentang kriminalitas, tentang pertarungan antar mafia, tapi yang istimewa dari Metropolis adalah eksekusinya, penyajiannya, dibanding dengan dua novel yang saya sebut sebelumnya, Metropolis lebih rapih, lebih terstruktur dan lebih mudah dipahami oleh orang awam, terutama para pembaca wanita. Novel ini seperti punya sentuhan khusus yang tidak ada di novel crime thriller lain. Mungkin karena saya ingin banyak belajar dari novel ini, maka saya buka lagi dan lagi.
Buku terakhir yang (beberapa minggu ini) saya buka dan buka lagi adalah Jakarta 24 Jam, entah kenapa ada sesuatu yang magis di sini. Ceritanya Putra Perdana memang rada berat dengan kisah-kisah kriminalnya, sedangkan Wandi Ghani yang pas di tengah-tengah, dan Faizal Reza tentang hujan dan petrichornya saya suka membolak-balik halaman itu. Dari sini saya belajar bahwa sebuah cerita tidak harus panjang, sebuah cerita tidak harus rumit dan sadis, kadang hal-hal yang sederhana itu indah, seperti menikmati tetesan hujan yang jatuh di taman. Saya belajar bahwa sesuatu yang ringan, sederhana namun indah itu bisa dibaca berkali-kali, dibuka lagi dan lagi.
. . .
Ilustrasi : halaman buku, surianto.wordpress.com
Subscribe to:
Posts (Atom)