Tuesday, May 6, 2014
Grande versus Ordinary
Grande versus Ordinary
By Ftrohx
Kata Pramoedya "Menulis adalah bekerja untuk keabadian,"
Saya setuju dengan itu.
Tapi tidak semua karya tulis bisa dikenang banyak orang apalagi dikenang sepanjang masa.
Hanya karya tertentu saja yang masih dibaca dan relevan untuk zaman selanjutnya. Yang lain hilang dan usang karena sudah tidak relevan lagi.
Beberapa karya yang relevan dan masih bertahan sampai sekarang sejak ratusan tahun yang lalu adalah karya-karya yang Grande. Karya-karya canggih yang menembus zamannya seperti Crime and Punishment - Doestoyevsky, Sherlock Holmes - Arthur C Doyle, Lord of The Ring - J R L Tolkien, And then they were none - Agatha Christie, Arsene Lupin - Maurice LeBlanc, Auguste Dupin - Edgar Allan Poe, Women in White - Wilkie Collins, dan sebagainya. Semuanya adalah karya yang Grande, yang besar, rumit, extraordinary, penuh dengan plot twist dan sulit dipahami oleh logika orang awam.
Begitu beratnya permainan logika dan begitu tingginya ego para penulis itu, sehingga hanya sedikit orang yang mampu mengikuti jejak mereka. Bahkan di era modern seperti sekarang, kita hanya menemukan satu atau dua nama yang mengikuti jejak mereka kalau tidak Dan Brown penulis The Lost Symbol, Christopher Nolan penulis Inception, paling J K Rowling pencipta Cuckoo's Calling, atau penulis novel Jepang seperti Haruki Murakami. Butuh IQ yang tinggi untuk menciptakan novel yang penuh logika dan analisis, dan tentu saja tidak semua orang terlahir dengan bakat Matematik +plus jago bermain kata-kata.
Sayangnya karena terlalu tinggi, tidak semua orang mau membacanya.
Orang-orang butuh hiburan sepulang sekolah, kuliah atau kantor. Dan bukannya buku yang membuat kepala mereka tambah pusing (seperti yang saya sebut di atas tadi.)
Grande memang menakjubkan, Grande memang keren. Tapi buku-buku seperti ini hanya untuk kalangan tertentu, segmentasi tersendiri - semisal orang-orang yang punya IQ tinggi dan energi yang lebih sekalipun mereka sudah pusing dengan rutinitas kerja sehari-hari.
Seperti kata teman saya, Alex Irzaqi (yang menjuarai lomba manga di Jepang.) Dia cerita bahwa seorang sensei (penulis manga) di sana bilang bahwa industri sekarang sudah keluar dari yang seharusnya. Semua manga-ka muda ingin menulis sesuatu yang tinggi, sesuatu yang penuh twist, sesuatu yang punya konten berat, dan kebanyakan dari mereka melupakan essensi sebenarnya dari manga yaitu untuk menghibur orang.
Kata-kata sensei itu mengingatkan saya dengan manga Naruto, saya suka Naruto tapi belakangan ini saya melihat Naruto sudah pergi terlalu jauh. Naruto memang manga yang Grande tapi di sisi lain saya melihat obsesi dari penulisnya. Dari chapter-chapter terakhir yang saya baca seolah Kishimoto-sensei berkata "Eh, lihat gw bisa menulis apa yang orang lain tidak bisa tulis!"
Entah mungkin saya lebih suka ketulusan Tsugumi Ohba dan Takeshi Obata untuk mengakhiri Death Note dan Bakuman di saat sedang puncak-puncaknya.
Tapi jika dipikir lebih luas lagi, tidak perlu sesuatu yang Grande untuk di kenang sepanjang masa.
Hal-hal yang sederhana, hal-hal yang kecil, hal-hal biasa yang terjadi di kehidupan sehari-hari bisa menjadi karya yang dikenang sepanjang masa.
Hal sederhana tentang seorang anak SD yang bertemu robot dengan kantung ajaib, itu bisa dikenang sepanjang masa. Betul bukan, maksud saya Doraemon. Siapa yang nggak kenal Doraemon, atau Shin Chan bocah TK yang rada mesum itu. Ceritanya biasa, seputar kehidupan sehari-hari tapi bisa jadi HITS dan populer.
Saya pengen membuat sebuah cerita yang biasa, seputaran kehidupan sehari-hari tapi kemudian masuk ke situasi yang luar biasa.
Sebenarnya ada satu penulis yang membuat saya IRI setahun terakhir ini, dia adalah Keigo Higashino dengan karya-nya Perfect Number.
Jika dibilang novel detektif, tidak ada yang baru dalam novel ini. TIdak ada trik genius ataupun karakter yang spektakuler, tidak ada pembunuhan berdampak massive seperti Da Vinci Code, tidak ada teori konspirasi, tidak ada gangster/mafia yang berkuasa, tidak ada konflik uang jutaan dollar, tidak ada yang Grande dari novel ini.
Hanya sebuah pembunuhan biasa, sebuah kasus biasa, tapi Keigo Higashino menuliskannya dari sudut yang berbeda, membawanya ke level yang berbeda.
. . .
Labels:
essay
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment