Tiga Permasalahan Umum
By Ftrohx
Indonesia itu negara yang unik beda dari negara yang lain, dan karena keunikan Indonesia kadang kita menghadapi beberapa kendala dalam membuat sebuah karya.
Kadang bisa besar dan kadang juga hanya permasalahan kecil.
Ok, di bawah ini adalah Tiga permasalahan umum yang sering kita temui dalam membuat novel crime thriller asli Indonesia.
1. Permasalahan Kepangkatan Polisi
Ini dia masalah umum yang susah-susah gampang, kadang penting sekaligus kurang penting yaitu masalah kepangkatan polisi di Indonesia
Untuk orang awam atau kita yang sering menonton film action thriller luar negeri, baca buku detektif terjemahan, atau cerita kepolisian jaman dulu. Maka kita akan mengenal kata kepangkatan seperti; Sersan, Letnan, ataupun Kapten.
Sayangnya, sejak tahun 2001 di Indonesia pangkat Sersan Polisi, Letnan Polisi, dan Kapten Polisi sudah dihapuskan. Bingungkan elo? Terus kita nulisnya pakai apa??
Nah sejak 2001 pangkat Sersan Polisi diubah jadi Brigadir Polisi, atau sering kita dengan di berita kriminal di TV kata Bripda (Brigadir Polisi dua) dan Briptu (Brigadir Polisi Satu). Untuk pangkat Letnan sekarang diubah jadi Inspektur yaitu Ipda (Inspektur Polisi Dua) dan Iptu (Inspektur Polisi Satu). Sedangkan untuk Kapten Polisi sekarang menjadi AKP (Ajun Komisaris Polisi).
Coba bandingkan dengan NYPD Blue atau Gotham Police Departemen, pasti kalian yang langsung bertanya. "Terus Komisaris Gordon pangkatnya apa kalau versi Indonesia? Atau Superintendent Battle itu apa pangkatnya kalau versi Indonesia?"
Di Indonesia pangkat Komisaris dibagi menjadi tiga yaitu Kompol, AKBP, dan Kombes Pol.
Untuk Komisaris Gordon di Dark Knight, kalau versi Indonesia menurut saya setara dengan pangkat Kombes Pol. Begitu juga dengan Superintendent Battle sama menurut saya, dia juga seorang Kombes.
MAKIN bingung kan elo?
INILAH UNIKNYA INDONESIA, seperti kata para birokrat itu "kalau bisa DIBUAT SUSAH KENAPA HARUS DIPERMUDAH."
Sebenarnya sejak saya mempelajari permasalahan kepangkatan ini. Ada banyak pertanyaan dan yang paling jadi tanda tanya di otak saya adalah kenapa jabatan kepolisian harus ribet berlapis-lapis?
Tantama (Bharada, Bharatu, Baraka, Abripda, Abriptu, Abrip.) --> Setara dengan Kopral
Bintara (Bripda, Briptu, Brigpol, Bripka.) --> Setara dengan Sersan
Bintara Tinggi (Aipda, Aiptu.) --> Di bawah Letnan
Perwira Pertama (Ipda, Iptu, AKP.) --> Setara dengan Letnan, kecuali AKP setara Kapten
Perwira Menengah (Kompol, AKBP, Kombes Pol.) --> Setara Kolonel atau Komandan
Perwira Tinggi (Brigjen Pol, Irjen Pol, Komjen Pol, Jendral Polisi.) --> Kepangkatan Jenderal
Ribet bukan Indonesia, kenapa tidak disederhanakan saja ya?
2. Permasalahan Visum dan Otopsi?
Dua istilah ini hampir setiap hari disalahartikan oleh media massa, berita-berita di televisi, bahkan internet. Kebanyakan para penulisnya berita itu membuat dua istilah ini menjadi rancu, yang mana yang visum dan yang mana yang berarti otopsi?
Menurut wikipedia Indonesia
Visum berasal dari bahasa Latin, bentuk tunggalnya adalah “visa”. Dipandang dari arti etimologi atau tata bahasa, kata “visum” atau “visa” berarti tanda melihat atau melihat yang artinya penandatanganan dari barang bukti tentang segala sesuatu hal yang ditemukan, disetujui, dan disahkan, sedangkan “Repertum” berarti melapor yang artinya apa yang telah didapat dari pemeriksaan dokter terhadap korban. Secara etimologi, visum et repertum adalah apa yang dilihat dan ditemukan.
Menurut Staatsblad Tahun 1937 Nomor 350 “Visum Et Repertum adalah laporan tertulis untuk kepentingan peradilan atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaik-baiknya".
Sedangkan otopsi adalah eksaminasi post-mortem atau pemeriksaan jasad seseorang pasca-kematian. Biasanya menggunakan prosedur bedah khusus untuk menemukan penyebab kematian dan dokter khusus yang disebut dokter forensik atau ahli pathologi. Darisini bisa kita tarik kesimpulan bahwa Otopsi adalah tindakannya sedangkan Visum Et Repertum adalah laporannya.
Tapi masalah belum selesai sampai di situ, pertanyaan siapakah yang berwenang menangani jasad di TKP? Apakah polisi ataukah dokter atau dokter sekaligus polisi?
Di beberapa negara, ada yang disebut petugas Koroner, ini bukan tentang koroner penyakit jantung. Di sini yang disebut koroner adalah petugas pemerintah yang mengkonfirmasi dan memberi sertifikasi kematian seseorang dalam cangkupan/tujuan juridiksi. Pertanyaannya apa bedanya Koroner dengan petugas forensik? Nah loh makin banyak tahu, makin bingung bukan?
Belakangan sejak tahun 2012-an muncul divisi khusus kepolisian yang disebut INAFIS (Indonesia Automatic Fingerprint Identification System), INAFIS ini sering digadang-gadang oleh media massa sebagai Tim CSI (Crime Scene Investigation) nya Indonesia. Yang membuat saya bingung di Amerika juga ada Automatic Fingerprint Identification System dan mereka cuma mengurusi database detail informasi korban ataupun orang-orang yang melakukan kriminal, hanya pengelolaan informasi saja. Pertanyaannya di Indonesia INAFIS kok menjadi petugas TKP? Pertanyaan saya lagi bukannya sudah ada Tim Puslabfor (Pusat Laboratorium Foresik) yang bertugas sebagai Tim TKP sejak dulu di Bareskrim/Mabes Polri? Ok, selamat bingung dan selamat melakukan riset sendiri?
3. Masalah Pengadilan
Kalau ini kita semua pasti sudah tahu, jangan bahas tentang perundangan-undangan, KUHP, dan sebagainya itu jelas beda dari Amerika.
Susunannya beda, nomor urutnya beda, bahasanya juga berbeda, dan seterusnya dan seterusnya. Kalau masalah perundang-undangan dan sebagainya itu ada ahlinya tersendiri dan yang pasti bukan saya. Tapi yang paling essensial dari semuanya adalah sistem persidangan dengan Juri dan tanpa Juri.
Bagi kamu yang sudah biasa baca novel Sidney Sheldon, John Grisham, atau menonton film-film bertema Legal Thriller pasti kamu melihat bahwa keputusan perkara tidak terletak pada hakim melainkan si Hakim menyerahkan keputusan akhir (bersalah atau tidak bersalah) kepada sekumpulan orang di kotak sebelah kanan ruang pengadilan yaitu para Juri. Dan yang lebih aneh lagi para Juri ini diambil bukan dari Departemen Hukum atau pejabat terkait di bidang hukum, melainkan dari orang-orang sipil (mewakili masyarakat umum) yang tidak terlalu mengerti tentang Hukum.
Lalu ketika kamu membandingkannya dengan persidangan yang ada di Indonesia, saya jamin otak kamu akan sedikit nge-hang.
Ngeselin banget bukan, kita pengen nulis adegan di ruang sidang, bahan yang kita pakai adalah Sidney Sheldon dan John Grisham namun kita pengen bikn adegannya di PN Jakarta Selatan, lalu ketika kita mengetahui fakta atas perbedaan itu. Apa yang kita perbuat? Iya saya pernah mencoba menuliskan hal itu di tahun 2011 dan saya menyerah sebelum memulai.
Permasalahannya adalah karena kita para penulis di Indonesia belum punya PATOKAN dasar bahan atau lebih tepatnya novel Legal Thriller asli Indonesia yang menggambarkan seperti apa sih aksi para pengacara, terpidana, saksi-saksi, dan jaksa serta hakim asli Indonesia di ruang sidang.
ITU MASALAH UTAMA-nya. Banyak penulis thriller Indonesia yang membuat court scene (adegan persidangan) tapi mereka belum mewakili persidangan sebenarnya yang terjadi di pengadilan-pengadilan Indonesia, apalagi tentang pertarungan undang-undang pidana, KUHP, dan sebagainya masih jauh dari harapan. Bahkan hal yang sederhana saja, bentuk ruang sidang di Indonesia (mayoritas dari) mereka belum tahu seperti apa.
Saya sendiri atau lebih tepatnya kami hanya menggunakan bahan dari novel terjemahan yang jelas JAUH BANGET BEDA dengan apa yang terjadi di ruang sidang di Indonesia.
Dengan kegagalan tahun 2011 itu saya bilang ke Kunto (rekan duet saya) kita mesti cari kenalan pegawai atau orang yang kerja di PN Jakarta Selatan biar dapet REAL apa yang terjadi di ruang pengadilan.
Dan syukur Alhamdulillah saat ini saya sudah ketemu dan kebetulan dia adalah penulis novel juga yaitu Jeni Suhadi.
. . .
Ilustrasi: sumber tribunews.com
No comments:
Post a Comment