Thursday, May 1, 2014
DIBUKA lagi dibuka lagi dan lagi
DIBUKA lagi dibuka lagi dan lagi
By Ftrohx
Inilah yang jadi pertanyaan di otak saya sejak semalam. Bagaimana menciptakan karya tulisan, cerpen, artikel, novel ataupun film yang dibuka lagi dan lagi.
Yang meski sudah bukan waktu atau sudah lewat masa-nya tapi masih tetap dibaca lagi dan lagi.
Ada banyak buku di rak saya, tapi tidak semuanya saya buka lagi dan lagi.
Banyak buku yang saya baca, ceritanya memang bagus, banyak pengetahuan yang disajikan, tapi setelah itu. "Oh, begitu saja isinya," kemudian saya taruh ditumpukkan buku yang usang.
Hanya beberapa buku saja yang sengaja atau tidak sengaja (karena alam bawah sadar saya yang bekerja) menaruh di rak depan supaya saya baca lagi dan lagi.
Jujur, saya ingin sekali membuat karya seperti itu, yang dibuka lagi dan lagi. Sayangnya saya tidak tahu bagaimana caranya membuat.
Tapi saya tahu cerpen, novel, dan film yang saya suka baca lagi dan lagi, meski sudah lewat trendnya.
Pertama Fight Club, novel sekaligus film ini sudah sangat kadaluwarsa, tapi saya masih suka membuka dan membaca ulang lagi ceritanya. Saya masih suka menonton potongan film-nya di youtube dan gara-gara ini pula saya jadi akrab dengan seorang penulis senior.
Belakangan ini saya berpikir apa sih istimewanya Fight Club sampai saya baca ulang dan ulang lagi? Apa karena ada Brad Pitt dan Edward Norton, tapi bukan itu. Yang membuat saya membaca Fight Club berkali-kali adalah 'ide'-nya, gagasan-nya yang keren. Dari sini saya membuat hipotesa bahwa, jika saya suka dengan gagasan yang keren, maka pembaca juga 'bisa jadi' suka akan gagasan yang keren, karena pembaca suka maka pembaca akan membaca lagi dan lagi karya saya meski sudah kadaluwarsa.
Kedua Los Angeles BB Murder, banyak yang mengkritik buku ini tidak sebagus Death Note, tapi karena ini adalah novel detektif yang pertama saya baca. Maka gagasannya begitu kuat melekat di otak saya.
Hipotesis yang kedua saya mesti membuat sesuatu yang melekat di otak, sesuatu yang membuat pembaca awam tidak akan pernah melupakannya ketika pertama kali membaca. Iya, sewaktu saya membuka Death Note, saat itu saya masih sangat awam, saya tidak tahu apa itu cerita detektif dan gara-gara Death Note serta LA BB Murder, saya jadi kenal yang namanya cerita detektif. Pembaca awam secara sadar ataupun tidak sadar akan membuka kembali buku pertama yang membuat mereka terkesan. Balik lagi mungkin itu masalah 'gagasan' atau menanamkan ide ke benak seseorang.
Buku ketiga yang suka saya buka lagi dan lagi adalah Metropolis Sindikat 12 karya Windry Ramadhina, ide di novel ini menurut saya sederhana tentang kehidupan mafia, plotnya juga tidak serumit dua novel yang saya sebut di atas. Tapi hampir setiap hari ada suara di otak saya yang menyuruh untuk membuka novel ini.
Gagasan di novel ini biasa saja tentang kriminalitas, tentang pertarungan antar mafia, tapi yang istimewa dari Metropolis adalah eksekusinya, penyajiannya, dibanding dengan dua novel yang saya sebut sebelumnya, Metropolis lebih rapih, lebih terstruktur dan lebih mudah dipahami oleh orang awam, terutama para pembaca wanita. Novel ini seperti punya sentuhan khusus yang tidak ada di novel crime thriller lain. Mungkin karena saya ingin banyak belajar dari novel ini, maka saya buka lagi dan lagi.
Buku terakhir yang (beberapa minggu ini) saya buka dan buka lagi adalah Jakarta 24 Jam, entah kenapa ada sesuatu yang magis di sini. Ceritanya Putra Perdana memang rada berat dengan kisah-kisah kriminalnya, sedangkan Wandi Ghani yang pas di tengah-tengah, dan Faizal Reza tentang hujan dan petrichornya saya suka membolak-balik halaman itu. Dari sini saya belajar bahwa sebuah cerita tidak harus panjang, sebuah cerita tidak harus rumit dan sadis, kadang hal-hal yang sederhana itu indah, seperti menikmati tetesan hujan yang jatuh di taman. Saya belajar bahwa sesuatu yang ringan, sederhana namun indah itu bisa dibaca berkali-kali, dibuka lagi dan lagi.
. . .
Ilustrasi : halaman buku, surianto.wordpress.com
Labels:
essay
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment