Cerita Tentang Putih Salju
By Ftrohx
Akhirnya, amplop coklat itu datang juga. Azra membawanya ke ruang tengah dan membukanya sembari duduk di sofa menghadapi ke televisi yang mati. Sebuah laporan atau lebih tepatnya catatan dari seorang anggota pasukan khusus yang tidak dipublikasikan secara resmi. Nama yang tertera adalah Elang, entah itu nama asli atau bukan Azra tidak terlalu peduli. Yang dia peduli adalah cerita di dalamnya, sebuah kisah yang selama ini menarik rasa penasaran.
Kalimat pembukannya benar-benar menarik. Apakah rasa takut itu? Apakah kematian?
Matanya lalu turun ke bawah, begitupula dengan kalimat yang selanjutnya.
. . .
Kata-kata itu kembali terngiang di telingaku, baru seminggu kemarin sensei berfilosofi tentang 'Apa itu rasa takut?' dan apakah aku pernah mengalaminya selama ini. selama menjalani berbagai misi intelegen atau operasi militer atau aksi infiltrasi.
Tanganku menggenggam lebih erat Dragonuv.
Untuk pertama kalinya aku merasakan ketakutan sebelum pertempuran, aku mendengar alunan detak jantungku sendiri, rasanya kabin pesawat ini begitu sepi padahal setiap kursi penuh oleh kami.
Unit special force yang akan melakukan penyerangan.
Aku berada di Tim C. aka Charlie, kami adalah Tim back up. Dua tim sebelumnya telah berangkat setengah jam yang lalu, mereka pasti sedang melakukan penyergapan di gedung itu.
Aneh, hawa dingin seolah menyelimutiku, menenggelamkanku. Aku tidak bisa mengatakannya karena tak ingin mengganggu para rekan se-tim ku. Mungkin karena memang masih jam 5 pagi jadi hawa dingin begitu menusuk. Lagipula tempat ini memang berada di daerah dataran tinggi. Wajar pula karena kami akan melakukan penyerangan dengan cara terjun dari helikopter ini.
Aku terus mencari alasan logis tapi semuanya ini benar-benar janggal.
“Tim Bravo dan Tim Alpha telah sampai di sana terlebih dahulu, kita adalah back up yang akan mendesak mereka dari atas sini...” Komandan Jaka sedikit menjelaskan kembali strategi operasi yang akan kami lakukan. Ku duga dalam benaknya pasti Tim Alpha dan Bravo telah menyelesaikan tugas-nya dan Tim kami hanya membersihkan sisa-sisa sampah di sana.
Sasaran kami adalah gedung berlantai 30 yang dihuni oleh para kriminal paling angkuh yang ada di Kota ini. Tim Alpha dan Bravo melakukan serangan dari pintu gerbang. Totalnya sekitar 40 orang pasukan khusus bersenjata lengkap menyerang dari lantai bawah ke lantai teratas. Dan kami Tim Charlie terdiri dari 10 orang menyelesaikan operasi ini dari lantai teratas turun ke lantai terbawah. mengepung mereka hingga satu-satunya jalan keluar adalah menyerah atau melompat dari jendela.
Iya, itu hanya jika keadaan sesuai dengan rencana kami. Tapi Komandan Jaka terus mengingatkan situasi bisa berubah setiap detiknya di lapangan.
Pukul 5.30 pagi , helikopter kami telah memasuki kompleks itu.
Aku siap melakukan penerjunan, aku berada di urutan kelima dalam penerjunan. Turun dari ketinggian 5 meter dan mendarat di roof top gedung dengan tali dari bahan campuran nilon fiber.
Begitu menginjakan kaki di lantai, kami langsung membentuk formasi bertahan dan mengintai. Edward maju paling depan dia yang membuka pintu di susul Komandan Jaka dan yang lain. Aku berada di bagian belakang pertahanan.
Tepat seperti yang diduga Komandan Jaka saat briefing tadi, mereka telah mematikan semua lampu di seluruh lantai. Para kriminal itu pasti bertahan di suatu tempat diantara lantai teratas. mengawasi langkah semua orang melalui CCTV.
Namun, sejak awal nuraniku berteriak ada yang salah di sini. Terlalu sepi, sangat sepi, ini tidak wajar. Jangankan suara pertempuran, tembak-tembakan, ataupun perkelahian. Suara derap kaki saja hanya suara dari langkah kaki kami sendiri.
Elang kamu tahu apa rasa takut itu? Itu bukan emosi, bukan juga sebuah pilihan. Rasa takut adalah bagian dari insting manusia. Insting yang membuatnya berusaha untuk tetap bertahan hidup.
Aku mencoba mengingatnya, kapan terakhir kali aku mengalami rasa takut?
Memori itu seperti kepingan yang pecah berserakan. Aku tidak ingat kapan pastinya? mungkin sebelum aku berada di akademi militer itu.
Yang terlihat hanya bayang-bayang suram seperti mimpi buruk. Tangan hitam besar mengangkat tubuhku menyeretnya ke dalam lorong lalu masuk mendobrak pintu melemparku ke dalam ruang sempit yang gelap. Hanya itu ingatan masa kecil yang ku punya. Mungkin itu yang namanya rasa takut.
Kami terus menuruni tangga menelusuri dengan cepat setiap lantai, aku rasa kami tidak perlu memeriksa dengan detail karena semuanya begitu senyap, hanya langkah sepatu kami yang terdengar.
Lalu saat aku sampai di lantai delapan, sekejab aku melihat sebuah bayangan yang bergerak.
Aku mengajukan laras senapanku dengan postur tubuh yang siaga untuk menembak.
Kami berlari mengejar bayangan itu ke tikungan lorong yang gelap. Namun dia menghilang lagi. Tidak ada apa-apa, hal logis yang bisa ku terangkan saat ini mungkin bayangan itu hanya halusinasi ku atau bayangan itu memang hantu
Terdengar tidak logis, tapi menurutku apa yang tidak masuk akal adalah apa yang paling masuk akal.
Orang-orang seperti kami memang didoktrin untuk berpikir logis, sangat logis. Kami mengabaikan hal-hal yang tidak masuk akal. Tapi bukan berarti kami tidak percaya dengan dunia supranatural. Justru sebaliknya kamilah yang paling depan berhadapan dengan hal-hal seperti ini.
“Aaaaaaaaa...” terdengar jeritan dari rekan ku, yang sedang memeriksa tangga tengah untuk menuju lantai tujuh.
Aku segera bergegas berlari ke sana.
Apa anda pernah melihat neraka? Maksudku ilustrasi tentang Neraka atau Inferno? Dante pernah menggambarkannya ratusan mayat bertumpuk-tumpuk bermandikan darah, mereka menjerit, mereka kesakitan, mereka ketakutan. Semua ekspresi menyeramkan ada di wajah mereka. Seperti itulah tumpukan puluhan mayat yang terlihat di hadapanku di tangga tengah yang besar.
Banyak pertanyaan muncul dibenak ku.
Siapa pelakunya? Berapa orang pelakunya? Bagaimana mungkin mereka melakukan? Menumpuk-numpuk mayat di tangga ini? Apa yang ada dibenak pelaku saat melakukan pembantaian ini? Dan masih banyak pertanyaan lain. Namun belum selesai aku terkejut dengan pemandangan ini. Di telingaku terdengar tawa seorang perempuan, tawa itu begitu dekat “Hihihihi...”
“Suara apa itu?” tanganku dengan bergetar menepuk bahu Tara rekan setim-ku.
“Suara?” tanyanya balik.
“Iya, suara tawa perempuan.”
“Nggak ada suara Dan?”
Yang lain juga melihat ke arahku, seolah mereka tidak mengerti atau mereka tidak mendengar apa yang kudengar. Mungkin mereka memang juga mendengar tapi karena terlalu takut jadi mereka menyangkalnya.
Aku melihat ke arah lain, Komandan Jaka menghubungi seseorang di telepon. Sepertinya dia meminta bantuan tambahan orang untuk mengevakuasi jasad-jasad yang tergelatak di sini.
Sampai pukul 10 pagi kami masih berada di sana, kami memeriksa satu per satu kamar. Kami tidak menemukan lagi orang yang hidup di sana. Semuanya tewas dari lantai delapan ke bawah hanya ada mayat-mayat yang tergeletak. Aku tidak mendramatisir cerita ini, dan aku berharap cerita ini tidak perlu dibuat dokumenter apalagi dibuat video klip musik.
Insiden ini terlalu besar dan sangat tidak masuk akal bagi orang awam, karena hanya dalam satu malam, hanya dalam beberapa jam saja, ratusan orang tewas secara misterius. Tidak ada racun kimia, tidak ada senjata pemusnah massal, dan tidak ada baku tembak. Seolah-olah ada malaikat maut berwujud manusia yang mampir di gedung ini dan menarik satu per satu jiwa penghuninya semudah mencabut lilin dari kue Tar.
Kejadian ini sangat luar biasa, sampai pemerintah harus menyuap awak media supaya tidak mengedarkan beritanya dan kalau perlu menghapus semuanya. Tidak ada artikel, tidak ada arsip, dan tidak ada keterangan tertulis apapun.
Polisi, tentara, badan intelijen, dan instansi pemerintah lainnya menyangkal –bahwa kejadian ini pernah terjadi. Namun di sana ada sesuatu yang kulihat, sesuatu yang tidak kuceritakan kepada atasanku ataupun rekan-rekanku. Sesungguhnya, aku menemukan petunjuk yang menarik setelah membereskan jasad-jasad itu.
Tapi sebelumnya anda pernah mendengar dilema petugas TKP. Petugas TKP selalu berkata “Tidak ada yang namanya hantu di sini,” padahal mata mereka melihat wajah berlumuran darah yang persis sama dengan jasad yang baru saja dimasukan ke kantong mayat, wajah yang sama berdiri menatapnya di antara keramaian orang di belakang ambulance. Iya, aku juga pernah mengamalinya sekali, melihat hal seperti itu tapi di tempat yang lain. Namun di sini yang sangat membuatku penasaran justru hal itu tidak ada. Aku mengangkut mayat-mayat itu, aku menatap wajah mereka. Berharap bisa melihat hantu salah seorang dari mereka dan menemukan petunjuk siapa pelakunya, namun tidak ada yang nampak.
Justru ada hal lain yang membuatku merinding, membuat jantungku berdegup kencang seperti berlari sepuluh kilometer. Aku merasakan ketakutan. Tapi aku tidak tahu apa yang membuatku takut, aku tidak mengerti kenapa aku bisa gemetaran. Mentorku pernah berkata aku bisa merasakan aura seseorang, aku bisa mengetahui bakat seseorang yang ada di sekitarku. Aku memiliki sensitifitas yang lebih daripada orang lain.
Siang itu, aku kembali mendengar tawa cekikikan dari hantu perempuan yang menerorku di lorong lantai delapan. Siang itu aku bisa melihat lebih jelas darimana sumber tawa itu berasal.
Di seberang sana, aku melihat senyum dari bibir seorang perempuan, bibir itu pucat aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas karena tertutup oleh poni sampai ke hidung. Dia berjalan ke samping sehingga aku hanya bisa melihat sebelah sisi siluet tubuhnya. Dia berkulit putih mengenakan baju warna putih dan rok warna biru. Seperti seragam anak sekolah. Dia masih tersenyum dan tertawa cekikikan seolah menghina kelemahanku.
Tidak ada rekan atau orang-orang di sekitarku yang menyadari bahwa dia sedang melintas.
Satu hal yang kutahu pasti. wajah itu, tubuh itu, dan pakaian itu. Tidak ada diantara para korban yang meninggal. Hipotesisku jika perempuan itu hantu maka dia bukan hantu dari salah satu korban pembantaian. Atau jika dia adalah hantu maka bisa jadi kami belum menemukan jasadnya atau jasad disembunyikan dengan sangat rapih seperti di semen dalam tembok.
Sungguh, pengalaman hari itu menciptakan mimpi buruk hingga berbulan-bulan lamanya.
Sampai setahun setelah itu, aku melakukan penyelidikan panjang atas fenomena yang menghantuiku. Dan menemukan sebuah fakta, bahwa perempuan itu bukan hantu. Dia nyata, dia adalah manusia.
Atas bantuan salah seorang temanku di Tim penyelidik khusus. Aku menemukan rekaman CCTV yang tersembunyi di sudut gedung yang menjadi kotak hitam atas insiden itu. Aku menemukan rekaman apa yang terjadi sebelum pembantaian. Tentu saja aku merahasiakannya. Tapi sampai saat ini aku masih tidak mengetahui siapa perempuan itu.
Satu-satunya petunjuk adalah tattoo burung berwarna biru di lehernya. Menurut temanku yang ahli simbol, tattoo itu adalah lambang dari Phoenix, burung api legendaris yang bangkit dari kematian.
. . .
Azra menggeleng, surat yang dia baca bukanlah sebuah laporan, tulisan itu lebih mirip sebuah cerpen thriller yang diupload random di laman Storial, terlalu penny dreadful. Namun dari cerita itu, samar-samar ia tahu siapa si wanita misterius yang dimaksud Elang itu. Dia tak lain adalah teman lamanya, dia adalah si Putih Salju wanita yang melegenda karena membunuh orang satu gedung sendirian.
Tangan Azra naik ke leher, menggenggam tengkuknya yang menggidik. Ia bisa membayangkan begitu banyak mayat yang bergelimpangan dari lantai ke lantai, dari lorong ke lorong, dan tangga ke tangga. Itu dia, sang pembunuh yang tak dapat dihentikan. []
No comments:
Post a Comment