Tentang Azra Lazuardi
By Fitrah Tanzil
Saya suka berangkat ke kampus melalui jalan Bintaro Veteran lurus ke Rempoa dan sampai ke UIN Ciputat.
Dalam perjalanan antara Bintaro Veteran dan Rempoa, tepatnya 50 meter dari pertigaan pizza hut, terdapat jajaran ruko yang bagus. Bisa saya bilang cukup elit. Baik saat berangkat ataupun pulang dari kampus saya suka memandangi Ruko itu, kadang saya berkhayal seperti apa sih melihat dunia dari atas Ruko itu. Seperti apa melihat jalan Bintaro Veteran - Rempoa dari kaca besar di lantai 3 itu. Tapi saya tidak pernah berani untuk masuk ke sana.
Ruko itu berjajar empat memanjang. Lebar tiap ruko hanya 4 atau 5 meter, tapi panjang ke dalamnya mungkin 10 meter. Mereka berlantai 3 dengan jendela-jendela kaca yang besar. Ini yang membuat Ruko itu terlihat elit, seperti sebuah apartemen di daerah Pondok Indah. Ruko itu dipakai sebagai kantor PPATK, yang satu lagi dibuat kantor travel agent, satu lagi dibuat dealer motor. dan satu lagi selalu kosong, mungkin seperti untuk tempat tinggal. Tapi saya tidak pernah tahu orang seperti apa yang tinggal di sana. Untuk kantornya pun saya pikir, lantai dua dan tiga terlihat selalu kosong. Mungkin mereka hanya membuatnya sebagai tempat istirahat karyawan, atau mungkin untuk gudang.
Melihat Ruko itu saya berkhayal seandainya saya tinggal di sana, di lantai dua atau lantai tiga yang kosong, sebuah ruangan besar empat kali sepuluh meter hanya ada saya sendiri tanpa furniture ataupun perabotan yang membuat sempit.
Saya memandangi kaca jendela besar setiap pagi, mengawasi orang-orang yang berlalu lalang di Bintaro Veteran.
Saya punya sebuah laptop 17 inch berwarna hitam, dan sebuah iMac Apple 27 inch yang tergeletak di lantai putih. Kegiatan saya setiap hari hanya online di depan komputer, mengawasi pergerakan orang-orang di social media. Membaca banyak hal, kegiatan orang-orang yang tidak saya kenal. Saya mencari sebuah informasi penting, informasi yang bisa jadi petunjuk atau bahan baku bagi klien saya.
Iya, dari khayalan-khayalan inilah saya menciptakan sebuah nama, sebuah karakter yang sederhana yaitu Azra Lazuardi atau yang sering dikenal dengan nama sang informan.
Seperti yang saya bilang sebelumnya, dia muncul di saat saya melihat-melihat jajaran Ruko itu saat berangkat ke kampus. Itu sekitar tahun 2007an
Saat itu social media seperti facebook dan twitter mulai berkembang, tidak seperti friendster atau MiRC, saat itu facebook sedang elit-elitnya, tidak semua orang bisa punya facebook. Dan saat itu tampilan facebook dan twitter jauh berbeda daripada sekarang. Hanya orang tertentu saja yang pakai facebook dan twitter yaitu kalangan menengah ke atas Jakarta.
Saya suka masa-masa itu, saya sangat suka tampilan-tampilan website.
Tidak seperti jaman sekarang, terlalu banyak arus informasi dan terlalu banyak sampah informasi. Apa yang mereka tulis hanya pengulangan, kalau tidak hanyalah sebuah sensasi.
Saya suka dengan karakter Azra dan kehidupannya.
Dia adalah yang terbaik, yang bisa saya khayalkan pada saat itu (bahkan sampai sekarang.) Azra, bukan seorang penulis seperti saya. Dia hanya mencari informasi, pekerjaannya hanya mengumpulkan data-data dan informasi yang diminta oleh klien.
Saya berharap, saya berada di zaman itu. Di mana hanya sedikit orang yang bisa menggunakan internet, internet masih murni, dan semua informasi yang berada di sana masih sangat relevan. Sedangkan pada jaman sekarang, untuk mendapatkan informasi penting kita harus masuk lebih dalam, kita harus menggunakan kata-kata kunci atau program query khusus untuk masuk ke dalamnya.
Azra itu adalah orang yang santai, dia menjalani hidup tanpa kecemasan apapun. Dia tidak khawatir dengan apa yang terjadi di masa lalu, dan dia juga tidak takut dengan apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak ada yang menuntut Azra untuk melakukan apapun, tidak ada yang membanding-bandingkan dia dengan siapapun.
Sekalipun dengan kesantaian dan ketenangan hidup itu, dia tetap melakukan hal-hal penting. Dia tetap memberi kontribusi besar pada orang-orang di sekitarnya.
. . .
Bersetting pada tahun 2007an. Kegiatan pagi Azra adalah berdiri ke arah timur, menatap jendela besar yang langsung memberikan pemandangan lalu lintas Bintaro Veteran dan Mentari yang membumbung tinggi. Biasanya dia menikmati pemandangan riuh jalan ini, sambil menghirup hangatnya kopi setelah mandi.
Lalu pukul delapan, pekerjaannya pun dimulai.
Menyalakan iMac 27 inch-nya dan membuka social media (facebook dan twitter saat itu masih benar-benar elit tanpa anak alay.) Biasanya dia ditugaskan untuk menstalking seseorang dari kegiatan di social medianya. Nama-nama penting yang biasanya adalah artis, anak pejabat, atau eksekutif muda. Dia mengawasinya bukan hanya dari luar, tapi kadang informasi penting itu harus di dapat dari dalam.
Azra bukanlah hacker, tapi di komputernya dia punya software khusus yang bisa mengintip isi social media social seseorang, mulai dari percakapan private-nya, inbox, sampai dengan isi email mereka. Kadang software itu tidak selalu berhasil, karena para developer social media, selalu mengupgrade sistem keamanannya. Tapi ketika dia mendapatkan informasi penting pada hari itu, dia mendapat gaji setara dengan karyawan kantor yang bekerja selama 3 bulan. Apalagi jika seminggu dia mendapatkan 4 sampai 5 informasi penting, jumlah yang lebih dari cukup untuk membuat hidupnya santai,
Informasi penting ini bisa apapun, bisa tentang Ekonomi seperti akusisi saham, short selling dan sebagainya. Atau tentang hubungan asmara seseorang, seperti perselingkuhan, perceraian, dan sebagainya. Hingga informasi penting tentang prototype sebuah produk elektronik terbaru semua dengan mudah kutemukan.
Dalam perkembangannya, saya tidak terlalu menguasai IT. Melihat ribuan kata dari bahasa pemprograman, membuatku perlahan putusasa tentang konsep informan yang jago hacking atau setidaknya script kidies (tetap saja sulit.)
Karakter Azra sempat stagnan di tahun 2007-2009an
Kemudian di tahun 2010an saya menemukan konsep Retrocognition, tentang kekuatan supranatural di mana seseorang bisa melihat apa yang terjadi di masa lalu dengan menyentuh suatu benda. Dari sini saya mengembakan konsep bahwa yang membuat Azra hebat sebagai informan adalah bukan karena keahlian dia menggunakan komputer melainkan karena kekuatan supranaturalnya. Dia bisa melihat apa yang terjadi dalam waktu 24 jam dari benda yang disentuhnya, dia melihatnya seperti rekaman kamera CCTV tiga dimensi.
Sayangnya, saya tetap kesulitan mengembangkan karakter Azra.
Saya hanya menyukai bagian yang baik saja dari Azra, saya tidak pernah berkhayal tentang konflik apa yang dia alami, saya tidak pernah berpikir yang rumit tetap apa yang menghadang dirinya, tentang peristiwa-peristiwa buruk yang dia alami, saya tidak ingin berpikir yang tidak enak. Karena secara sadar maupun bawah sadar, saya benci dengan kesulitan dan kesusahan di dunia nyata.
Karakter Azra pun tidak berkembang, meski punya kekuatan supranatural tapi tetap saja saya tidak bisa membuat cerita yang bagus untuk dia. Belakangan, saya memecah karakter ini menjadi dua, Azra yang versi asli dan Rain si pemuda dengan Retrocognition.
Rain punya cerita sendiri yang berbeda dengan Azra.
Dia punya latar belakangan sendiri, bagaimana dia bisa memiliki kekuatan retrocognition tersebut, dia punya markas tersendiri, dia punya rekan tersendiri (yaitu Nekomata) namun secaca deskripsi pekerjaannya tidak jauh beda dengan Azra, sama-sama orang yang bekerja untuk mengumpulkan informasi.
. . .
Saat 2013 akhir, saya mengalami dilema, keraguan bagaimana mengembangkan Azra. Dengan menciptakan novel Triad of Death justru saya membuat Azra lebih sebagai karakter detektif daripada seorang informan.
Dia lebih banyak melakukan deduksi dalam memecahkan kasus, daripada mengumpulkan informasi tentang kasus itu sendiri. Di sini saya sudah mulai rancu antara informan dan investigator, Memang Azra bekerja sebagai informan (orang yang mencari informasi) bagi Detektif Ming, tapi Azra sendiri juga melakukan analisis seperti detektif dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Azra memang bukan karakter super-hero, tapi sebagai protagonist utama, dia memiliki kekuatan khusus yang tidak dimiliki orang lain yaitu Knight Move Thinking. Dia memiliki otak dengan kemampuan berpikir yang melompat dua sampai tiga kotak di banding orang lain. Dia memiliki kreatifitas tinggi dan cara berpikir yang berbeda dari orang lain sehingga dia bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh para penjahat selanjutnya.
Dibanding dengan karakter-karakter lain yang sering saya khayalkan, sampai sekarang Azra tetaplah yang terbaik. Bisa dibilang semua hal tentang dia adalah mimpi-mimpi saya tentang hidup saya sendiri. "Ah, seandainya saja saya adalah Azra, mungkin semuanya akan jauh lebih baik."
. . .
No comments:
Post a Comment