Sunday, September 21, 2014
Cerita Tentang Phoenix ( I )
Cerita Tentang Phoenix ( I )
Sebuah Cerpen
By Ftrohx
Virli memarkirkan Camry Hitamnya. Membuka pintu dan berlari kecil menerjang hujan gerimis.
Tempat ini adalah sebuah kafe dengan gaya retro, cukup strategis, berada di daerah Mayestik yang dekat dengan Gandaria dan Radio Dalam.
Di terasnya terlihat bangku-bangku klasik dan meja kopi berbentuk bulat beralaskan warna coklat muda dengan pinggiran warna perak. Dari jendala kaca yang besar Virli melihat seorang pemuda dengan kaos putih lengan panjang sudah menunggunya. Pemuda itu tak lain adalah Lufin si detektif amatir.
Ini bukan kencan, bukan pula sebuah rapat bisnis,
Virli hanya ingin sharing informasi penting tentang masa lalu sahabatnya si Azra. Entah, apa nantinya informasi ini akan berguna atau tidak. Yang pasti, dia pikir lebih baik dia mem-sharingnya daripada menyimpan beban itu sendirian.
Satu langkah di depan pintu kafe, Lufin sudah terlihat melambaikan tangan. Virli pun dengan cepat berjalan dan mengambil tempat duduk, berjabat tangan, menyapa hangat dengan basa-basi, lalu tak sampai 5 menit secangkir Cappuccino panas datang ke meja.
“Aku kurang tahu detailnya, karena aku tidak satu sekolah dengan Azra.”
"Bukannya kamu juga ikut Taekwondo waktu SMA?" tanya Lufin.
"Nggak, saat SMA aku hanya ambil dua ekskul yaitu Teater dan Basket. Aku baru ikut Club Taekwondo saat kuliah." Jelas Virli.
“Ooh,”
"Jadi apa yang kamu tahu tentang dia?" lanjut Lufin.
“Tidak banyak, aku juga tidak mengetahui seperti apa wajahnya.”
“Kamu dapat darimana?”
“Beberapa saksi mata plus info dari Pak Hendra, namun untuk masalah ini informan terbaik kita; Azra justru tidak mau membantu,”
“Seperti gejala trauma,”
“Iya mungkin, tapi menurutku ini lebih ke masalah personal. Begitu juga dengan orang-orang di sekolah itu, mereka terlalu takut sampai-sampai jika bercerita tidak pernah menyebut nama aslinya. Mereka hanya menyebutnya dengan DIA.”
“Seperti Voldemort disebut dengan you know who?”
“Iya, sama mengerikannya. Aku jelaskan sedikit detailnya. Dia seorang perempuan dengan paras yang sangat cantik, dia memiliki tubuh yang atletis, memiliki kulit putih, rambut berwarna pirang, dengan pakaian yang jeans dan kaos yang santai seperti anak laki-laki, dan dia juga sangat suka olahraga yang keras termasuk beragam ilmu beladiri.”
“Dia mirip dengan kamu donk?”
“Hahaha... banyak yang bilang begitu,” Virli meletakkan cangkir kopinya. “Dia populer, disukai banyak orang, namun dia juga membuat batasannya sendiri. Mereka bilang dia seperti mentari pagi dengan sinar jingga yang menghangatkan.”
“Begitu puitis,” celetuk Lufin.
“Ada yang bilang dia cewek baik-baik, seseorang yang punya sikap dan disiplin. Ada juga yang bilang dia ramah pada semua orang, murah senyum dan sebagainya. Namun informasi yang paling penting, dan bisa jadi menjadi kunci adalah 'dia' merupakan seorang petarung. Dia suka sparing atau latih tanding Taekwondo, tapi bukan dengan perempuan melainkan laki-laki.”
“Nah, itu bagian penting."
Virli mengangguk. “Iya, ini bisa jadi kuncinya mengapa dia terlibat dalam kasus-kasus itu.”
“Sama seperti kamu,”
“Bedalah, aku baru mulai latihan beladiri setelah lulus SMA, sedangkan dia sudah suka dengan tindak kekerasan sejak sekolah dasar.”
“Karakter yang ekstrim,”
“Iya, apalagi saat masuk SMA, kamu tahu di era itu, tawuran merupakan sebuah kebanggaan tersendiri. Setiap hari kamu bisa melihat perkelahian di jalanan dan hal yang lumrah jika di perempatan kamu melihat siswa berseragam membawa katana.”
“Bukannya sampai sekarang tawuran masih khas dengan itu, senjata tajam termasuk pedang samurai.”
“Memang masih tapi di zaman itu, semuanya jauh lebih parah, lebih liar.”
“Pasti karena kepopuleran Rurouni Kenshin,”
“Pastinya,” Virli tertawa kecil. “Jujur, aku lebih suka versi anime-nya daripada versi Live Action yang ada di bioskop sekarang,”
“Hahaha… Lebih original,”
“Absolutely,” bibir Virli tersenyum simpul. “Aku lanjutkan lagi, kamu tahu. Dia adalah satu-satunya anak perempuan, mungkin se-Jakarta bahkan bisa jadi se-Indonesia yang ikut tawuran, bertarung melawan banyak orang dan menang. Dia menjadi legenda karena itu, dan saat kejadian dia masih kelas 1 SMA. Coba bayangkan bocah kelas 1 SMA menghajar 50 orang.”
“Iya, aku tahu itu, tapi bukannya dia membuat 15 orang dikirim ke rumah sakit.”
“Kamu pasti membacanya dari catatan Elang ya? Tapi dari sumberku mereka bilang lebih dari 50 orang.”
“Sadis,”
“Iya, benar-benar gila.” Virli menggelengkan kepala, lalu matanya menatap keluar jendela. Hujan kembali turun dengan deras. “Ceritanya panjang sebenarnya, setelah aksi tawuran itu masih banyak lagi pertarungan-pertarungan yang dia hadapi. Tapi kita lewatkan saja bagian itu dan langsung ke intinya. Tentang turbulensi yang mengubah hidupnya menjadi seperti sekarang.”
“Menjadi seorang assassins,”
“Iya, dari apa yang diceritakan sumberku, sesuatu terjadi pada dirinya saat libur semester di kelas 2 SMA. Saat dia pergi ke kampung halaman orangtuanya di Sumatera Barat. Bus yang ditumpanginya mengalami kecelakaan, seluruh penumpang tewas kecuali hanya dia.”
Lufin mengerutkan dahi. “Kok bisa?”
“Kejadian itu sampai sekarang di selimuti misteri, sampai sekarang masih jadi mitos dan spekulasi banyak orang. Ada yang bilang, kejadian itu kecelakaan itu melibatkan unsur supranatural, ada yang bilang memang murni kecelakaan, ada yang bilang bus itu dibajak dan terjadi sabotase, dan beragam teori lainnya. Yang jelas setelah kejadian itu dia berubah, dan dari sinilah muncul nama Phoenix.”
“Oh, tentu saja. Ini seperti dalam legenda-nya, burung yang bangkit dari kematian, burung yang hidup dari tumpukan abu-nya sendiri.”
“Iya, karena dia satu-satunya yang selamat, dia hidup diantara tumpukan jasad orang yang tercabik-cabik dalam bus yang ringsek. Sebuah keajaiban sekaligus tragedi, dia kembali ke Jakarta seolah tidak terjadi apa-apa. Awalnya menurut sumberku dia masih sama seperti dulu ceria, agresif, tomboy, dan sekaligus cantik. Namun perlahan dia mulai berubah, rambutnya yang dulu pirang menyalah berubah menjadi hitam gelap. Begitu juga tatapan matanya dulu cerah berubah menjadi sangat dingin.”
Lufin memegang tengkuk lehernya, dia terlihat menggidik.
“Seminggu dua minggu berlalu,” lanjut Virli. “Dia yang dulu ceria, berubah menjadi si wajah murung. Semakin lama wajahnya semakin menakutkan seperti hantu. Minggu demi minggu, dia masih berkumpul dengan teman-teman tapi hanya sesekali saja tersenyum dan hanya sesekali saja tertawa. Namun hal yang ganjil pun mulai muncul saat dia bertarung dengan siswa sekolah lain. Dahulu sebelum dia berubah, dia hanya melumpuhkan lawan, hanya membuat lawannya jatuh ke tanah. Tapi saat rambutnya sudah menghitam, tanpa segan-segan dia membuat lawannya sekarat berlumuran darah.”
“Mereka bahkan menambahkan banyak julukan, mulai dari iblis rambut hitam, si gadis hantu, sang pembantai, dan sebagainya.Namanya semakin, makin terkenal dari mulut ke mulut semua orang membicarakannya, tentang gadis SMA yang suka membawa Katana ke Sekolahan. Tentang gadis SMA yang membacok beberapa orang siswa saat tawuran, dan sebagainya. Namun ajaibnya, tidak pernah ada wartawan ataupun media yang memotret wajahnya, tidak pernah ada polisi yang mencari dirinya.”
“Nah, itu masalahnya kita nggak punya catatan fisik mengenai dia, semua hanya mitos dari mulut ke mulut,”
“Iya, iya, aku juga tahu itu, tapi masalah teknikal,”
Lufin mengangguk.
Virli menghirup kopinya.
“Aku lanjutkan. Pertarungan demi pertarungan terus terjadi. Ada yang bilang korbannya ada puluhan orang dan yang lain bilang sudah ratusan. Mereka bilang dengan menjadi 'phoenix' dia berubah menjadi sociopath, dia haus akan darah dan dia ketagihan akan tindakan kekerasan, ketagihan akan membantai orang.”
“Seperti legenda Batosai,”
“Setiap legenda memang selalu dibuat berlebihan, tapi pertarungan-pertarungan di jalanan itu bukanlah puncaknya. Suatu ketika di akhir kelas 2, ada sekelompok preman yang menyerang sekolah. Mereka mengancam para siswa bahkan yang tidak tahu apa-apa. Para preman itu mencari 'phoenix' namun karena tidak kunjung muncul mereka menculik seorang perempuan, dan memberi surat ancaman kepadanya melalui seorang siswa. Beberapa hari kemudian, siswi yang diculik ditemukan di daerah Serpong. Sedangkan para preman itu menghilang, lenyap begitu saja. Saat mereka menghilang, tidak ada saksi lain kecuali siswi yang diculik itu. Saksi memberikan keterangan setelah siang nya dia diculik dan di bawa ke sebuah gudang, malam itu juga Phoenix muncul.”
“Terus?”
“Ini bagian yang mengerikannya, Phoenix langsung membacok ketua preman tersebut. Setelah itu menurut apa yang dilihat saksi, darah para cecunguk itu membanjiri gudang. Mereka semua tewas dan ada kepala yang menggelinding di hadapan saksi, bahkan di injak oleh Phoenix seolah seperti bola sepak. Namun yang lebih mengerikan lagi adalah wajah sang pembantai yang berlumuran darah, dengan sorot matanya yang merah seperti Dracula.”
“Setelah keterangan dari satu-satunya saksi yang selamat. Para polisi pun menelusuri TKP, mereka mencari barang bukti ataupun jejak yang ditinggalkan sang pembantai. Tapi nihil, tidak ada apapun. Tidak ada saksi lain, tidak ada jejak dari pelaku, tidak ada barang bukti, dan yang terpenting tidak ditemukan mayat para korban. Seperti kasus-kasus misterius lainnya, semua menjadi dingin dan terabaikan.”
Virli melihat ke jendela besar, secara ajaib dia melihat kupu-kupu yang terbang di antara gerimis hujan.
Kupu itu berwarna hitam dengan pinggiran sayapnya berwarna biru seperti api.
“Dia menghilang setelah itu?” tanya Lufin.
“Belum, dia masih berkeliaran di sekolah sampai seminggu setelah kejadian. Lalu sebuah anti-klimaks terjadi, kamu pasti pernah mendengar legenda ini, pada sabtu malam yang hujan ditemukan seorang siswa SMA yang berlumuran darah di atap sekolahnya. Ada bekas luka panjang di dada sampai perut siswa tersebut. Kamu pasti ingat, karena cerita ini begitu populer.”
“Ini bukan tentang anime Jepang kan?”
“Bukanlah, masa kamu nggak tahu, siswa itu adalah Azra sendiri. Kejadian itu terjadi sepuluh tahun yang lalu, dan kejadian itu adalah satu-satu catatan tentang Phoenix yang diberitakan di Koran-koran lokal. Saat itu kami telah masuk kelas 3 SMA, saat itu seminggu sesudah UTS.”
“Konon terjadi perdebatan yang berujung keributan dalam geng yang dipimpin oleh Phoenix, issue nya mereka tidak ingin menjadi pengikutnya. Mereka memberontak bersama dengan Azra. Konon pula, Phoenix yang memulai semuanya. Dia mengajak duel teman-teman satu sekolahnya sendiri, dan satu per satu mereka semua dibantai. Konon di antara semua itu, yang paling kuat, dan yang terakhir adalah Azra. Ada juga yang bilang, Azra mencoba menghentikan Phoenix sendirian. Dia punya keinginan untuk membalik keadaan, untuk mengembalikan Phoenix seperti yang dia kenal dulu di SMP.”
Lufin menopang dagu. “Sepertinya ada hal yang disembunyikan Azra?”
“Kamu pasti akan terkejut,” Virli tersenyum seperti kucing.
“Apa?”
“Phoenix adalah cinta pertama Azra,”
Lufin menaikan kepalanya. “Ah, itu dia, sekarang aku tahu kenapa kamu bilang ini menjadi masalah personalnya, aku ngerti sekarang kenapa dia begitu menginginkan kasus sendirian.”
“Masa-masa akhir SMA itu menjadi puncaknya. Seperti pertarungan dalam kisah klasik pendekar silat, mereka bertarung di puncak tertinggi. Bertarung di tempat yang sangat nostalgia bagi mereka yaitu di atap SMA Neunzig.”
“Pastinya pertarungan yang dramatis,”
“Iya, berada di bawah guyuran hujan dan raungan petir. Mereka bertarung menggunakan Katana seperti para Samurai yang melegenda, dengan kilatan cahaya dan bunyi detingan keras yang beradu membentuk simfoni. Aura mereka saling memenuhi langit. Lalu duelpun berakhir dengan spektakuler,”
“Mereka saling memunggungi satu sama lain,” Lufin tertawa. “Hahaha… apakah kamu bercerita atau ingin menulis sebuah komik,”
Virli pun ikut tertawa.
“Salah satu dari mereka jatuh duluan, satu dari pedang mereka patah. Sementara bagi yang berdiri, dialah justru yang kalah. Darah menyembur seperti air mancur dari dada Azra. Dan phoenix menatap mata lawannya yang sekarat. Mungkin dia memberikan sebuah pesan, mungkin dia langsung membelakanginya dan hilang ditengah hujan.”
“Namun Azra tetap hidup,” celetuk Lufin.
“Iya, disitulah serunya, jagoan tidak pernah mati dengan mudah. Lalu semuanya seperti kata Joker, apa yang tidak membunuhmu membuatmu menjadi orang asing.”
“Atau seperti kata para filsuf, untuk dilahirkan kembali seseorang harus mati terlebih dahulu.”
“Iya benar banget, selanjutnya Pak Hendra bilang bahwa kejadian itu menjadi titik balik bagi hidup Azra. Menjadi alasan kenapa Azra memutuskan untuk menjadi seorang informan, Selama bertahun-tahun dia terjun langsung mencari informasi-informasi penting mengenai dunia kriminal, konon selama bertahun-tahun tujuan cuma satu untuk menemukan phoenix dan membawanya kembali pulang. Membawanya kembali menjadi seperti dulu.”
“Huh, Azra yang obsesif,” ujar Lufin sambil membereskan tasnya. “Tapi menurutku cerita ini terlalu berlebihan, aku rasa dia tidak sehebat itu.”
“Mungkin kamu benar, mereka tidak sehebat itu. Tapi aku rasa cerita ini memang benar-benar terjadi, mungkin tidak ada katana, mungkin pertarungan itu menggunakan belati besar seperti yang dipakai para Priest untuk menggorok vampir."
“Hahahaha… imajinasi kamu makin bagus saja,” Lufin berdiri dari tempat duduknya. Begitupula dengan Virli dan mereka bersalaman. “Thanks ya untuk kopi dan ceritanya.”
“Sama-sama,”
Mereka pun keluar dari kafe dan mengambil jalan yang berbeda.
Di depan pintu mobil Virli terdiam, tangannya mengada dan kepalanya mendongak ke atas, hujan sudah kembali reda hanya tersisa gerimis.
Aspal parkiran yang basah memantulkan warna jingga dari lampu jalanan.
Lalu di depannya kupu-kupu hitam yang terlihat di jendela tadi terbang melintas, kepakan sayap kecil itu seolah menuntun Virli untuk melihat ke satu arah, ke seberang jalan dimana berdiri seorang wanita berkulit putih dengan jas hujan warna hitam. Dia itu menatap Virli dengan sangat dingin, seolah serigala lapar menatap buruannya.
Tiba-tiba sebuah SUV melintas dan si wanita menghilang begitu saja, seperti HANTU.
. . .
Labels:
cerpen
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Nb: sebuah cerpen lama, tapi baru di upload
ReplyDelete