Wednesday, March 4, 2015

Empath vs Clairvoyance

By Ftrohx


Sebenarnya, saya pengen nulis artikel ini dari Desember kemarin, pas baru nonton serial The Hannibal.

Jujur, saya terkejut sekaligus excited dengan karakter Will Graham, karena kemampuan Will mirip dengan karakter yang saya bikin yaitu Iksanul Arifin alias Lufin atau sering saya sebut dia si muka zombie.



Sama seperti Lufin, Will Graham memiliki kemampuan untuk melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat tapi kemampuan melihatnya itu bukan kekuataan supranatural melainkan akibat kelainan di otaknya yang membuat berbeda, atau istilah populernya Empath.

Empath berasal dari kata Empathy yaitu merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empath sendiri bisa diartikan sebagai; orang yang memiliki kemampuan lebih dalam memahami orang lain (empathy), seolah dia adalah orang tersebut atau merasakan emosi seseorang meski orang tersebut sudah tidak berada di dalam ruangan.

Karena seorang Empath bisa merasakan atau melihat emosi yang ditinggalkan orang di suatu tempat, maka fungsi seorang Empath dalam menyelidiki kasus sangatlah penting, mereka jauh lebih efisien daripada detektif biasa yang melakukan deduksi yang normal.

Tapi Empath juga memiliki kelemahan, karena kebanyakan dari para Empath ini tidak bisa membedakan antara apa yang terjadi di dunia nyata dan apa yang hanya terjadi di otaknya. Halusinasi dan delusional adalah musuh utama bagi seorang Empath, karena dia antara tekanan pekerjaan dia dituntut untuk tetap berusaha normal meski apa yang tiap hari dia lihat tidaklah normal.

Pertama kali saya menemukan karakter Empath adalah Whittaker di film Species (1995). Di sini Whitaker berperan sebagai seorang pemuda yang bisa mengetahui perasaan dan pikiran seseorang dengan hanya berada di dekatnya saja. Kemampuan unik Whitaker digunakan oleh Lembaga Pemeritah untuk memburu alien yang berwujud cewek super-sexy.

Di era 90an gagasan tentang Empath ini agak rancu dengan Clairvoyance atau orang-orang yang memiliki kemampuan melihat secara supranatural. Ide keduanya dalam dunia penyelidikan menurut saya cukup baik, meski mereka memiliki keterbatasan masing-masing.

Tentang Clairvoyance sendiri, saya tertarik dengan ide ini saat nonton film Tokyo Babylon 2.0 Di mana terdapat karakter seorang nenek yang bisa melihat masa depan, dan cucu perempuannya yang memiliki kekuatan untuk melihat apa yang terjadi di masa lalu.

Dari film Tokyo Babylon ini saya sering berkhayal seandainya saya punya kemampuan untuk melihat masa lalu dari tempat yang saya sentuh. Kemampuan seperti CCTV 3 Dimensi, saya bisa menemukan apapun yang tertinggal, saya bisa melihat jelas seorang penjahat hanya dari menyentuh TKP-nya. Dan saya bisa menangkap maling motor di warnet gang rajai yang saat itu belum dipasang kamera CCTV. Kemampuan unik Clairvoyance ini menginspirasi saya menciptakan karakter Rain, yaitu anakmuda yang punya retrocognition sehingga dia bisa melihat memori selama 48 jam dari benda atau orang yang dia sentuh.

Seperti yang saya bilang, baik Empath atau Clairvoyance, kedua-duanya memiliki keterbatasan dan masalah sendiri.

Empath, kelemahannya adalah karakter ini tidak bisa membedakan antara dunia mimpi dan dunia nyata, kadang dia nggak tahu apa perbuatan yang dia lakukan di dalam mimpi atau memang dia lakukan di dunia nyata. Contoh ekstrim dari seorang Empath adalah Will Graham dari serial The Hannibal, di saat di TKP Will lebih banyak merasakan empati dari si pelaku pembunuhan dan bukannya si korban. Di sini menjadi masalah bagi Will karena tiapkali menyentuh TKP dia melihat dari sudut pandang orang pertama dari pelaku pembunuhan yang berarti dalam hal ini dia melihat bahwa dialah pelaku pembunuhannya dan dengan tangannya lah korban terbunuh. Dan ini menjadi masalah karena rasa bersalah dari si pelaku pembunuhan justru berpindah ke dirinya sendiri.

Kedua kelemahan dari seorang Empath adalah dia tidak bisa melihat langsung siapa si pelaku pembunuhan, Empath melihat dunia dengan begitu abstrak seperti orang yang melihat lukisan di dalam mimpi. Ini masalah untuk si karakter, namun ini keuntungan tersendiri bagi si penulis naskah, karena dengan kesulitan dari si karakter, membuat drama atau permasalahan dalam cerita menjadi begitu kompleks hingga bisa memberi ketegangan pada penonton. Atau singkatnya penonton akan bertanya-tanya apa yang bisa dia lakukan dengan segala keterbatasannya itu dalam memecahkan kasus? Seperti pada serial Hannibal, si karakter Empath akan mengalami strugle.

Sedangkan Clairvoyance, ada dua tipe di sini, seseorang yang bisa melihat hantu dan seseorang yang bisa melihat masalalu. Untuk yang melihat hantu di TKP, si hantu bisa menjadi saksi mata untuknya yang memberitahukan siapa pelaku pembunuhannya, seperti pada Pyschic Detectiva Yakumo. Lalu untuk yang bisa melihat masa lalu, hanya dengan menyentuh TKP dia bisa kembali ke kejadian di saat pembunuhan itu berlangsung dan melihat semuanya seperti rekaman CCTV 3 dimensi. Baik kemampuan Psychic ala Yakumo ataupun kemampuan Retrocogniton seperti di Tokyo Babylon, keduanya memberi si karakter kemudahan (yang sangat mudah) untuk memecahkan kasus tanpa harus berpikir, apalagi memecahkan teka-teki, semua masalah langsung ada jawabannya hanya dengan sekali menyentuh TKP. 

Kemampuan Clairvoyance memang sangat keren, tapi sebaliknya kemudahan dari kemampuan itu membuat cerita berjalan terlalu mudah, hingga kurang greget di drama pemecahan kasusnya. Pada awalnya penonton akan melihat. "Wah, kemampuannya keren!" lalu begitu film selesai. "Oh begitu doank," dia akhir cerita penonton akan melihat si karakter hanya sebagai karakter biasa tanpa pengembangan. Contoh kasus pada film Korea yang berjudul Psychometry, di awal-awal cerita si karakter utama begitu keren, begitu misterius, namun ketika film berjalan ke tengah, ketika kemampuan si protagonis telah dibongkar, nggak ada lagi yang signifikan dari cerita, bahkan banyak penonton yang protes. "Kok kasus semudah itu dia nggak bisa pecahkan, padahal diakan punya psychometry sejak awal?" kelemahan ini membuat film itu mendapat rating pas-pasan di IMDB. Sebenarnya kelemahan Clairvoyance bisa ditutupi jika si penulis bisa menempakan si Clairvoyance pada porsi yang tepat. Atau jika didukung oleh karakter-karakter yang unik dengan kekuatan supranatural juga, atau dengan kasus yang grande sekalian seperti masalah di Minority Report.

Ok, singkatnya jika kamu ingin pemecahan kasus secara cepat dan efisien, kamu bisa menggunakan Clairvoyance. Tapi, jika kamu ingin drama dalam pemecahan kasus, Empath adalah tipe karakter yang terbaik untuk itu.

Saya sendiri, saat ini lebih suka karakter Empath, karena dia melihat dunia dengan cara yang berbeda tapi bukan dengan kekuatan supranatural. Seperti Lufin yang saya buat di Triad Kematian. Dia bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat orang, namun dia tidak bisa melihat langsung siapa pelaku pembunuhannya? Dia harus melakukan analisa dulu dari data-data yang abstrak.

Tapi saya juga suka dengan karakter Clairvoyance, karena itulah saya menciptakan Rain, hanya saja, saat ini saya belum punya skenario yang tepat untuk dia.

.  .  .

2 comments:

  1. Empath.... apakah ada yang percaya kalau empath ada di dunia nyata?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kemungkinan besar sih ada.
      Coz banyak kok orang-orang terlahir dengan panca indera yang sensitif. Bisa jadi ada orang yang lebih dari itu. Di atas normal sensoriknya.

      Delete