Thursday, July 24, 2014

Alice dan Radit


By Ftrohx


Tempatnya berada di belakang sebuah ruko, masuk melalui lorong sempit dengan dinding-dinding yang basah karena hujan tadi siang. Di ujungnya terdapat pintu bertelaris yang tertutup, tidak digembok hanya di slot dengan batang besi yang bisa dibuka dari luar. Di baliknya terdapat tangga besi melingkar, naik ke atas sampai di lantai dua terdapat koridor sepanjang 10 meter.

Koridornya terbuka, memberi pemandangan atap perumahan padat penduduk di belakang sana. Awan masih mendung dengan gerimis yang turun perlahan. Aroma tanah dan dinding yang basah tercium sampai ke dalam kamar.

Alice menikmatinya, dia ingat para penulis di blog itu menyebut kata petrichor; sebuah aroma yang membuat perasaan seseorang menjadi tenang, menjadi mello dan melihat semua begitu indah, meski langit tidak cerah. Dari atas jendela kaca terlihat siluet atletis dari tubuh gadis cantik ini, rambutnya hitam panjang sebahu dan menutupi bagian belakang leher yang putih. Alice mengenakan kaos oblong dan celana pendek berwarna karamel, duduk menyila di lantai membelakangi dinding putih yang kosong, tangannya masih menari di atas keyboard laptop, yang diletakan di atas meja kayu khas Jepang. Saat ini dia sedang mengerjakan artikel berjudul ‘Tips menggunakan Remote Desktop’ yang harusnya sudah dia kirim sejak tadi siang.

Alice sebenarnya bukan pakar IT, dia bahkan tidak pernah mengambil jurusan IT. Tapi, selama 5 tahun terakhir dia belajar banyak tentang teknologi informasi secara otodidak, dia menyukai teknologi informasi, dia menyukai komputer sama halnya dia menyukai pakaian yang bagus dan kuliner yang enak.

Terus melangkah melupakanmu
Lelah hati perhatikan sikapmu…


Lantunan lembut 'Menghapus Jejakmu' dari Peterpan terdengar dari Winamp-nya.

Alice pun beranjak ke dapur dengan langkah kaki mengikuti alunan musik, moodnya sedang sangat bagus. Dia menyiapkan coklat panas di cangkir merah untuk menemani-nya kembali ke layar putih desktop.

Sambil menggenggam dan menghirup aroma coklat, Alice berjalan ke ruang tengah, menatap layar LCD 15 inch. Matanya bergerak ke pojok kanan bawah, sebuah pointer hijau menyala - yang berarti sebuah pesan baru di list chattingnya. Dia melihat namanya Natalie, Alice ingat orang itu adalah staff di majalah wanita langganannya.




Meletakan cangkir merah di lantai, tangannya mengambil mouse dan mengklik pesan tersebut.

Natalie: Alice bagaimana artikel ‘wanita dan dunia IT’ sudah selesai belum?

Dia terdiam sejenak sempat ragu untuk membalas secara langsung, tapi jarinya pun bergerak.

Alice: Iya, tinggal dikit lagi nih, nanti sejam lagi kukirim

Natalie: Ok, btw kamu tahu gak beberapa hari ini Bu Ranni gak masuk kantor?

Alice: Nggak, emang kenapa? sakit?

Natalie: Nah itu aku gak tahu jelasnya, yang pasti bukan sakit.

Alice: Hm, kok gituh?

Natalie: Karena dia menghilang?

Alice: menghilang?

Natalie: Iya dia menghilang

Alice: Gimana ceritanya?

Natalie: Nah itu, dia menghilang begitu aja, lenyap.

Alice: Kok bisa? Btw sudah menghubungi polisi?

Natalie: Iya, keluarganya sudah menelpon. Nah justru itu sejak tadi siang ramai di sini, para polisi itu menanyai semua karyawan.

Alice: Termasuk kamu?

Natalie: Iya, aku juga. Mereka bilang bahwa kantor ini adalah lokasi terakhir sebelum Bu Ranni menghilang.

Alice: Emang Bu Ranni hilang sejak kapan?

Natalie: Kata keluarganya sejak Sabtu malam dia belum pulang dari kantor

Sabtu malam, mata Alice bergerak ke atas. Itu berarti sudah 5 hari yang lalu.

Alice: Hm…

Nataile: Apa jangan-jangan dia diculik ya?

Alice: Hhu, jangan bilang begitu, mudah-mudahan saja nggak. 

Nataile: Iya iya,

Alice: btw aku kerja dulu ya, bye.

Pointer Alice meng-klik icon log out, namun bola matanya berputar ke pojok kiri ruangan, ke arah buffet panjang di mana berjajar berbagai jenis buku.

Satu buku yang difokuskan pupilnya, His Last Bow buku keempat kumpulan cerita Sherlock Holmes karya Arthur Conan Doyle. Di buku itu terdapat satu cerita yang tak terlupakan bagi Alice, satu kisah di mana sang detektif nyaris gagal menyelamatkan seorang wanita yaitu Lady Frances Carfax, wanita bangsawan yang diculik, dirampok, dan nyaris tewas dikubur hidup-hidup di dalam sebuah peti. Menarik karena Alice sendiri juga pernah punya pengalaman yang hampir sama dengan itu, ketika dia nyaris tewas di lubang sumur yang kering di belakang kebun kakeknya. Pengalaman yang mengerikan untuk anak usia 5 tahun, tapi dari pengalaman itu Alice menjadi karakter yang kuat seperti sekarang.

Matanya lurus ke layar laptop.

Spekulasi pun muncul di benaknya. Bagaimana jika hal itu terjadi pula pada Bu Ranni si kepala editor? Bagaimana jika seseorang menculiknya sepulang kantor, merampoknya, lalu membawanya pergi ke sebuah tempat dan menguburnya hidup-hidup?

‘Ah, itu terlalu ekstrem,’ batinnya.

Kembali melihat buffet dan tumpukan buku itu. Dia menyadari hanya sedikit novel dan cerita fiksi yang jadi koleksinya, kebanyakan bukunya adalah non-fiksi, hal-hal yang berguna sebagai bahan artikel, seperti buku psikologi populer, buku-buku self motivation, buku tentang entrepreneur dan membangun bisnis, buku marketing, beberapa buku tentang teknik komputer, cara menggunakan software dan aplikasi umum, serta buku tentang internet dan mendesain website.

Dia menyadari dirinya berbeda dari cewek kebanyakan, aneh juga seorang perempuan tapi tidak punya koleksi novel romance. Satu-satunya novel yang paling dekat dengan romance di rak bukunya adalah Affairs Next Dorr karya Anna K. Green, tentu saja itu novel detektif dan bukan romance.

Beranjak keluar dan melihat hujan gerimis, Alice menarik nafas dalam-dalam, dia menikmati setiap oksigen dan embun yang meresap ke paru-parunya. Matanya berputar ke sekeliling, tempat ini begitu sempurna untuk menghilang dari keramaian.

Syukurnya tidak ada seorang teman pun yang tahu kalau dia tinggal di sini, begitupula dengan keluarganya, sudah setahun dia keluar dari rumah, sudah setahun berusaha hidup mandiri, dan sudah setahun pula dia menjadi bayangan. Kebetulan Alice adalah cewek yang introvert, dia tidak terlalu butuh kehidupan sosial, dia bisa melakukan hampir semuanya sendiri, dan dalam kesunyian justru dia bisa lebih fokus dengan semua projek-projeknya. Meski begitu Alice tetap punya rumah, kadang dia memang pulang dan tinggal dengan Ibunya, lalu setelah itu dia kembali lagi ke sini, ke tempat persembunyian – rumah sewaan yang menjauhkannya dari kebisingan.

Tangan Alice menyentuh railing pembatas, dia meremasnya keras, matanya terpejam dan hidungnya menarik nafas lebih dalam lagi. Dia menahan lama oksigen di diafragma-nya, lalu menghembuskannya perlahan seperti penikmat cerutu. “Hhhaaaaaaa…” Matanya terbuka, keputusannya pun sudah bulat. Dia harus ikut dalam pencarian Bu Ranni.

.  .  .

No comments:

Post a Comment