Sunday, August 17, 2014

Review Secret Agent (1907)

By Ftrohx


Goodreads adalah indikator yang bagus untuk sebuah novel yang bagus, semakin tinggi rating-nya semakin tinggi jumlah review-nya maka bisa dipastikan bahwa novel itu sangat bagus, lihat saja buku-buku karya Agatha Christie, J K Rowling, Arthur C. Doyle, dan sebagainya. Nama-nama besar itu selalu punya ribuan reviewers.

Sayangnya, indikator itu tidak berfungsi untuk buku bagus yang satu ini 'Secret Agent' karya Joseph Conrad.



Ok, seperti yang saya tulis di note sebelum ini (pada note bahwa Secret Agent adalah salah satu novel terbaik yang pernah dan masih saya baca. Sang penulis berhasil membuat tulisan dari sudut pandang orang ketiga namun menyajikan emosi dengan kedalaman sudut orang pertama. Untuk crafting yang seperti ini hanya sedikit penulis di dunia ini yang bisa ber-HASIL menulis dengan cara seperti itu.

Ini buku lama diterbitkan tahun 1907 lebih dari seratus tahun yang lalu, tapi jangan salah, ide-ide dan gagasan-gagasan dalam novel masih sangat relevan sampai sekarang, dan bahkan beberapa novel bertema spionase dan terorisme modern (yang sudah terbit dimasa ini) belum tentu bisa se-brilliant karya sang maestro Joseph Conrad.

Meski karya ini sangat hebat, sayangnya review di Goodreads tidak se-signifikan itu. Point-nya hanya medium tidak sampai seribu reviewers. Mungkin karena buku ini memang non-mainstream, sebut saja Arthur Conan Doyle dan Agatha Christie sudah jadi mainstream, maka siapa Joseph Conrad? Nama yang sangat asing, penulis yang menggabungkan tema political espionage dengan domestic violence dalam satu buku. Sesuatu yang tidak terpikirkan pada zaman.

Membaca buku ini, jangan harap kamu menemukan kisah petualangan ala James Bond, Jason Bourne ataupun Phillip Marlow. Memang Secret Agent (1907) mengambil tema spionase, tapi bukan pada bagian aksi baku hantam, bukan pula memecahkan teka-teki siapa yang menjadi mole di antara para agen. Buku ini lebih ke inside mind apa sih yang ada dibalik orang-orang yang bekerja dalam bidang spionase, lebih ke "Bagaimana jika kamu adalah seorang agen rahasia sungguh dengan segala konflik kamu?" Pekerjaan yang memaksa kamu untuk menjadi orang lain yang tidak kamu mau, pekerjaan yang mengharuskan kamu menjaga sebuah rahasia, pekerjaan yang memaksa kamu untuk melakukan hal-hal kotor dan ekstrim, termasuk melakukan tindakan anarki dan terorisme atas perintah atasan kamu. Pekerjaan yang menjadi sumber konflik dalam rumah tangga kamu dan membuat segalanya hancur.

Menurut saya, buku ini jauh lebih REAL tentang apa yang terjadi di dunia intelijen dibanding dengan James Bond yang terlalu glamour dan terlalu jagoan. Tuan Verloc sang protagonis adalah seorang agen rahasia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya.

Tuan Verloc adalah karakter manusiawi dengan segala gejolak emosi, arogansi, dan juga kebodohannya. Verloc bukanlah jagoan, dia adalah anti-hero yang hidup untuk sebuah perubahan. Dia ingin melakukan sesuatu hal yang benar (menurut keyakinan dia), sebuah revolusi politik harus dilakukan. Namun karena arogansi dan kebohongan-kebohongannya yang rapuh, tujuan baik yang ingin dia capai justru berakhir tragis.

Karakter utama lainnya adalah Winnie, wanita muda nan cantik yang menjadi istri Tuan Verloc. Winnie adalah cewek introvert, dia lebih suka memendam masalah daripada menyampaikannya secara langsung, dia juga lebih emosinya di hadapan sang suami, dia tahu apa yang dirinya sebenarnya butuhkan. Memiliki seorang lelaki mapan yang punya toko atau restoran sendiri, supaya dia bisa menghidupi keluarga kecilnya (Ibu, adiknya, serta anaknya) dalam lingkungan social London yang keras. Tapi dari Verloc dia tidak benar-benar mendapat kemapanan itu, dalam dirinya dia merasa salah memilih suami, tapi waktu sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun sehingga penyesalan itu dia simpan sendiri. Kemudian di waktu dan kondisi yang tepat semua penyesalan dan kebencian itu meledak bersamaan dengan pisau yang dia tancapkan ke jantung suaminya.

Jujur, saya suka idenya. Seorang agen rahasia, sang anti-hero yang ingin mengubah dunia dengan segala arogansi dan idealisme-nya tiba-tiba di ending novel berakhir dengan tewas terbunuh, bukan oleh sesama agen rahasia, bukan oleh Tim SWAT, bukan tentara dan bukan pula detektif. Melainkan anti-hero yang sangat arogan ini tewas oleh istrinya sendiri, seorang wanita rumahan biasa yang (kebetulan) terpancing oleh dendam dan kemarahan atas kematian adiknya di insiden Greenwich. Membaca ini saya sempat membayangkan bagaimana jika Light Yagami tewas di tangan Misa Amane. Nggak ada orang yang bakal menduga akhir cerita seperti itu bukan.

Tapi, bukan itu saja yang membuat novel ini menarik. Terdapat empat karakter lain yang sangat siginifikan menurut saya, yaitu Mr. Vladimir, Stevie, The Professor, dan Inspektur Heat.

Mr. Vladimir adalah atasan Verloc, tipikal High Machiavellians yang sangat berbahaya, seorang yang manipulatif, provokatif, dan ahli dalam permainan psikologis. Memiliki kewibawaan tinggi dan merupakan dalang sebenarnya dari pemboman Greenwich, dia yang mengancam akan mengganti Verloc, jika si agen rahasia tidak menjalankan tugas terakhirnya itu. Karakter Vladimir, sempat mengingatkan saya dengan Von Bork, agen rahasia Jerman yang menjadi lawan terakhir Sherlock Holmes (dikasus His Last Bow) sebelum sang detektif pesiun dan menjadi peternak lebah di pinggiran London. 

Kedua karakter Stevie, adik Winnie yang menderita autis. Dia adalah orang dewasa dengan otak anak balita, dia sulit berkomunikasi dan sulit mengambil keputusan sendiri, lalu Verloc sang kakak ipar memanfaatkannya. Dalam buku ini karakter Stevie berperan sangat penting karena dialah martir yang digunakan Verloc sebagai pelaku peledakan Greenwich. Rencananya Stevie hanya meletakkan Bom waktu di Observatorium itu tapi kecelakaan terjadi dan Bom meledak sebelum waktunya. Menghancurkan tubuh Stevie dan memulai sebuah cerita panjang tentang akhir dari seorang agen rahasia.

Lalu ada karakter The Professor, tokoh paling radikal dalam group pasukan teroris ini. Dia adalah ahli kimia yang menciptakan bom jenis baru untuk tugas Verloc, bukan hanya kimia dan fisika, sang Professor juga jagonya dalam berbicara masalah filosofi. Seperti quote-nya tentang keputusasaan yang menjadi favorit saya dalam buku ini. "The world is mediocre, limp, without force.  And madness and despair are a force.  And force is a crime in the eyes of the fools, the weak and the silly who rule the roost. You are mediocre.  Verloc, whose affair the police has managed to smother so nicely, was mediocre.  And the police murdered him.  He was mediocre.  Everybody is mediocre.  Madness and despair!  Give me that for a lever, and I’ll move the world."

Terakhir, Inspektur Heat. Tentu saja, kita butuh detektif, kita butuh jagoan, kita butuh tim counter-terrorist yang keren, dan Heat adalah kepalanya. Membaca tentang kisah Heat dan metodenya dalam menyelidiki kasus pengeboman di Greenwich, mengingatkan saya akan karakter penyelidik Rusia yang sangat terkenal yaitu Detektif Porfiry dari novel Crime and Punishment karya Doestoyevsky. Heat adalah detektif klasik tapi dia bukan tipikal super-hero seperti Sherlock Holmes, namun dia sangat displin dalam metode dan procedural penyelidikan ala polisi.  Cukup berhasil, sampai-sampai petunjuk yang ditemukan membawanya tepat ke depan pintu rumah Tuan Verloc.

Ok, sebuah buku yang bagus selalu punya fondasi yang kuat. Bab awal yang bagus, bab tengah yang bagus, klimaks yang keren, dan tentu saja ending yang tak terduga. Dia punya semua itu, plus quote-quote yang keren, yang membuat saya menempelkannya di beberapa tulisan saya, dan plot twist yang mencengangkan di akhir cerita, tentu saja. Sederhananya yang ingin dia sampaikan adalah seorang penjahat sehebat apapun dia, se-jenius apapun dia pada akhirnya akan kalah juga, dan kalahnya bukan hanya kalah dengan cara biasa, tapi oleh sebuah tragedi, dan semua orang suka membaca tragedi. Seperti yang saya bilang, seandainya saja saya bisa, seandainya saja saya punya kekuatan dan kecerdasaan yang hebat, saya pasti akan bikin novel seperti ini.

.  .  .



No comments:

Post a Comment