Cerpen by Ftrohx
Virli masih memandangi ranting dan dedaunan yang basah dari balik kaca mobilnya, mungkin karena embun pagi tadi atau mungkin sisa dari hujan semalam, pikirnya.
Selesai menikmati bubur ayam yang panas di daerah Pasar Minggu, bersama dengan Bripda Febry yang memegang setir, mereka melaju ke daerah Ciganjur.
Di kursi depan sebelah kiri, matanya yang coklat bening terarah pada daun-daun hijau yang lebat, pohon rambutan, pohon jambu, pisang, hingga pohon nangka dan cimpedak. Perjalanan ini benar-benar khas, Virli sangat menyukai pinggiran wilayah Jakarta Selatan. Masih banyak tumbuh pepohonan yang rindang di kanan dan kiri jalan. Dia bisa relax sejenak dalam perjalanan sebelum menghadapi situasi yang mendebarkan selanjutnya.
Sejenak Virli mengingat kembali percakapannya enam jam yang lalu.
“Hipotesa hanyalah hipotesa sebelum ada bukti,” tegas Kombes Hendra ke muka sang informan, tapi jelas kata-kata untuk bukan hanya satu orang di ruangan. “Seperti yang saya bilang tadi, tidak peduli apakah kamu sudah mewawancarinya atau belum kita perlu melakukan cross-check data lagi, Karena yang saya butuhkan adalah fakta yang bisa mendukung bukti-bukti, tak peduli bagaimana pun caranya, jika perlu kalian pun harus mewawancarinya berkali-kali untuk menemukan informasi yang benar.”
“Iya pak, tapi untuk efisiennya…” ujar Azra.
“Nggak,” lanjut Kombes Hendra. “Begini saja masalah wawancara keluarga almarhum Muhdi, saya akan kirim anggota yang lain. Saya sendiri juga pernah mempelajari kasus kematian Muhdi dan banyak issue bahwa kasus ini berhubungan dengan Badan Intelijen Negara.”
"Tentu saja,"
“Jadi biar lebih efektif. Virli,” panggilnya. “Kamu pagi ini akan mewawancari seseorang penting yang di issue kan terkait kasus ini tujuh tahun yang lalu.”
. . .
Camry hitamnya memasuki rumah dengan pagar tembok yang sangat panjang. Virli memperkirakan sekitar 30 meter lebih hanya untuk halaman saja, Benar-benar khas sebuah rumah mantan pejabat tinggi.
Masuk ke dalam kembali terlihat lingkungan tropis khas pinggiran kota, pohon rambutan dan pohon cimpedak lagi. Sementara di rerumputan halaman terdapat angsa putih yang berkeliaran bebas.
Dua mobil sedan hitam terparkir di garasi, dengan sebuah SUV berwarna putih di sampingnya, dan sebuah mobil klasik berwarna biru telur. Di teras tampak meja besi berwarna putih bundar dengan empat bangku yang di ukir klasik, pastinya biasa digunakan untuk santai minum teh pada pagi atau sore hari.
Rumahnya memang besar berlantai dua dari depan dan ke belakang ada satu tingkat lagi.
Eksterior terlihat vintage, cukup mewah seperti yang sering dia lihat di film-film Indonesia 70an - 80an. Tidak bisa disebut klasik tapi tidak juga bisa dibilang modern, karena itu untuk model seperti ini sering dia sebut Retro.
Cat temboknya luarnya berwarna broken white dengan beberapa pilar yang berwarna hijau. Mungkin karena usia dan selera pemilik rumahnya. Untuk di jamannya, model seperti ini bisa dibilang sangat keren. Di beberapa sudut juga tampak ornament khas arsitektur Bali. Ukiran-ukiran pada furniture di teras, serta beberapa patung yang etnik, juga yang paling mencolok gerbang kecil yang khas seperti pintu masuk Pura. Suasana seperti ini membawa rasa kangen Virli untuk kembali ke kampung halaman-nya di Gianyar.
Seperti yang dijelaskan Kombes Hendra, bahwa mereka memiliki sumber informasi yang dapat dipercaya mengenai insiden kematian Muhdi 7 tahun yang lalu. Seorang mantan pejabat tinggi di BIN (Badan Intelijen Negara) Tahun di mana kasus Muhdi terjadi adalah tahun terakhir dari pejabat itu bekerja.
Virli sendiri juga sudah melakukan riset cepat tentang orang yang akan di wawancari ini. Di beberapa photo yang dia lihat di table-nya Jenderal bintang 3 ini memiliki mata agak sipit dengan wajah gemuk yang ramah, namun dibalik itu ada banyak isu mengenai dirinya dan beberapa insiden-insiden militer di perbatasan. Satu lagi hal penting yang di share pada Febry dalam perjalanan, kebanyakan orang berpikir bahwa kantor BIN itu berada di tengah kota atau di distrik elit seperti Kuningan atau wilayah SCBD Senayan, atau mungkin di MH. Thamrin atau dekat Istana. Padahal justru kantor BIN yang sebenarnya berada di wilayah pinggiran Jakarta yaitu Pejaten Timur daerah Pasar Minggu. Begitu pula dengan pesiunan pejabat ini, dia lebih memilih wilayah yang tenang dan sejuk dipinggiran kota daripada di pusat kota yang modern.
Dari balik kaca mobil Virli sudah melihat tuan rumah duduk santai menunggu mereka di teras. Kakek gemuk itu tersenyum sambil sesekali tertawa bicara dengan ajudannya. Tidak jauh beda dengan yang dia lihat di table, Jenderal Tubagus adalah orang yang berperawakan sedang bertubuh gemuk berambut putih dan berwajah ramah. Namun dibalik senyuman itu Virli bisa merasakan bahwa orang ini adalah salah satu orang yang paling berbahaya pada zamannya.
Tuan rumah menyabut Virli seolah seorang kakek menyambut cucu-nya, dia juga menawarkan Teh dan roti hangat tuk sarapan bersama di teras.
View di belakangnya adalah taman yang asri, Virli rasanya pernah melihat pemandangan ini di sebuah talk show khusus di TV, di mana seorang anchor terkenal mewawancari para pejabat sambil menemaninya berjalan ringan di sebuah taman. Mungkin pesiunan militer ini juga pernah masuk acara TV itu, atau mungkin mengajak media atau wartawan untuk duduk bersama di sini.
Bagi Virli sendiri, ini bukan kali pertama dia mewawancari seorang Jenderal atau pejabat tinggi negara.
Dia tidak pernah gugup dengan orang yang jauh lebih kaya darinya. ‘Jika ditusuk mereka pun akan berdarah’ begitu kata Ayahnya. Tapi tidak untuk Bripda Febry yang sudah terlihat gugup sejak keluar dari mobil dan berjalan di sampingnya.
. . .
Di atas meja minum teh warna putih yang berlabel IKEA, Jenderal Tubagus lah yang memulai pembicaraan, obrolan paginya di buka dengan topik-topik ringan seputar isu politik beberapa kandidat presiden, juga masalah ekonomi, hingga berita tentang penanganan banjir di Jakarta. Selalu tanggapan aneh tak berujung, menyalahkan pemerintah, saya akan laporkan ke pemerintah pada yang bicara itu adalah gubernur lalu siapa pemerintahnya? Bahkan presiden juga terkadang mengucapkan kata-kata klise seperti itu? Saya akan bicarakan dengan Pemerintah.
Kemudian pembicaraan memasuki babak baru ketika dia menyebut sebuah nama.
“Hendra Wiryawan,” ujarnya dengan menaikan suara. “Harusnya dia bekerja di Badan Intelijen, bakat dan prestasinya itu. Ah sayang idealismenya membuat dia tetap menjadi perwira di Polda.”
“Anda pernah bekerjasama dengan Pak Hendra?”
“Iya tentu saja siapa yang tidak kenal dengan Hendra Wiryawan.”
Berhadapan dengan orang-orang seperti ini, terkadang Virli bertanya-tanya sendiri apa yang membuat orang yang diwawancarinya seolah begitu kuat, apakah karena jabatannya, kekayaannya, atau kecerdasaannya, sampai sekarang Virli masih sering bertanya-tanya apa itu karisma seorang laki-laki? Sesuatu yang bahkan lebih daripada sekedar wajah yang tampan atau tubuh yang berotot. Sesuatu yang lain, sebuah energy kalau tidak menyebutnya sebuah aura.
“Kami pernah bekerjasama untuk beberapa kasus. Terakhir teroris yang melakukan pencurian bahan peledak dari PT. Merapi Enji itu. Kami berhasil menemukan lokasi persembunyian mereka dengan bantuan Hendra. Dia ahli dalam, apa namanya pelacakan geografi?”
Virli diam sejenak, matanya bergerak ke kiri. “Triangulasi.”
“Iya itu, dia melacak lokasi para tersangka dari tempat muncul dan menghilangnnya pelaku di atas peta, dengan perhitungan matematik trigonometri dan bagaimana dia mengaris satu titik ke titik yang lain. Dia bisa memperhitungkan di mana markas para penjahat itu bersembunyi, sampai di mana mereka akan melakukan aksi selanjutnya. Luarbiasa untuk kepolisian Indonesia pada saat itu. Tapi sekarang kalian sudah menggunakan program komputer ya untuk melakukan pelacakan bukan.”
Virli tersenyum simpul.
Jenderal di hadapannya bicara banyak hal dengan begitu semangat. “Selama saya berkarier di intelijen, dia polisi pertama di Indonesia yang mempraktekan teknik itu, dan berhasil menangkap pelaku.”
“Wah saya baru tahu.”
“Iya, apalagi sekarang. Dia tambah hebat saja dengan kamu di dalam Tim-nya.”
Pujian itu membuat Virli tersenyum lebar. “Ah saya tidak sehebat itu, lagipula saya bukan polisi.”
Pria berambut putih itu meledakan tawa.
Menghabiskan teh hangat dari cangkir putih lalu, percakapan yang sebenarnya di mulai.
“Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?”
“Tentang kasus Muhdi, tujuh tahun yang lalu itu?”
“Oh, itu lagi. Semua orang selalu mendatangi saya untuk membicarakan tentang itu. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagikan, kamu pasti sudah pernah baca kisahnya. Di jurnal, di artikel, di majalah, di koran atau apapun. Sudah terlalu banyak beritanya.”
“Iya, tapi saya ingin melihat dari pandangan anda.”
“Secara langsung? Apakah ini interogasi? Saya juga membaca riwayat anda Nona Virli, anda seorang detektif partikelir specialis interogasi,”
Virli tersenyum. “Mereka terlalu berlebihan Pak.”
“Hahaha…” sang Jenderal tertawa keras.
“Muhdi memang seorang kritikus,” lanjut purnawirawan tersebut dengan suara yang tinggi. “Tapi dia tidak masuk radar kami, lagipula soal kritik di Koran banyak orang yang lebih vocal daripada dia tapi mereka baik-baik saja bukan. Kami hanya berurusan dengan orang-orang yang mengacam keamanan Negara bukan seseorang yang hanya bicara di media.”
Si gadis cantik hanya diam saja kecuali matanya yang tentang melakukan scanning gesture.
“Virli, kamu juga seorang pengamat bukan, kamu pasti sudah melakukan riset cepat tentang Muhdi dari beberapa media? Ada hal-hal yang berlebihan bukan? Tahun sebelum dia meninggal kamu tidak menemukan catatan special mengenai Muhdi, sekalipun kamu menemukan beberapa artikel itu hanya catatan biasa. Seperti istilah dari cucu saya, mereka penulis blogger yang kurang populer.”
Virli tertawa ringan. “Iya, benar.”
“Lalu setelah setahun dia meninggal begitu banyak catatan yang mengagungkan prestasi-prestasinya, tapi kamu sendiri nggak pernah tahu tentang itu. Kamu bertanya-tanya apakah catatan-catatan setelah dia meninggal itu valid?
Jenderal Tubagus pun menjelaskan seperti apa yang telah dia jelaskan ke media-media. Hal-hal yang dia tahu, dan Virli memvalidasi dari gerak tubuh pria berambut putih itu.
Semuanya terlihat jujur, tidak ada deviasi, tidak ada yang dibuat-buat. Meski ada satu atau dua anomali tapi itu bukan menyatakan tentang kebohongan melainkan memang ada hal lain yang dia tahu, tapi menurutnya tidak layak untuk diungkapkan di sini.
“Sebagai seorang investigator, kamu menangani banyak kasus pembunuhan dan kadang merasa janggal ketika satu kasus dipilih sementara kasus yang lain ditunda, padahal keduanya adalah sama-sama kasus pembunuhan. Tapi para atasan memaksa kamu untuk melakukan diskriminasi terhadap para korban. Satu anak pejabat tinggi diculik dan kamu harus menemukannya, sedangkan beberapa anak dari keluarga miskin menghilang dan kamu harusnya menundanya dengan alasan yang tidak masuk akal. Kamu tahu ada kasus-kasus yang di blow up oleh media, dan seolah-olah suara masyarakat yang memaksa kamu untuk menuntaskan kasus tersebut, memaksa kamu untuk mengerahkan banyak energi yang kamu rasa percuma, sementara kasus lain yang kamu juga ketahui keadaan korbannya jauh lebih parah malah kamu abaikan.”
Virli setuju dengan konsep itu keadilan bagi semua orang, tidak pilih-pilih kasus apakah pejabat tinggi atau orang biasa. Semua harus dilayani dengan baik.
Kata-kata klasik yang sudah di dengar dari Ayahnya saat dia SMP.
“Kadang kita harus menjalani perintah yang tidak sesuai dengan hati nurani kita, saya akui saya membuat banyak kesalahan dahulu. Saya tidak benar-benar berbuat baik, ketidakadilan bagi para korban, diskriminasi. Korban yang satu seolah sangat penting sementara yang lain seolah dianggap tidak penting. Lalu kasus pun mendingin dan menghilang di antara tumpukan kertas file di gudang arsip. Para ahli forensic UI itu bilang bahwa sejak semula, procedural pemeriksaan jasadnya sudah salah, apalagi saat visum semua informasi yang sangat penting sudah menjadi kabur.”
“Maksud anda ada manipulasi?” Tanya Virli.
“Sejak awal menurut saya laporan forensik itu sudah di manipulasi? Lalu datang ahli forensik lain yang menyatakan berbeda, namun berkas sudah masuk pengadilan, Jaksa sudah mengajukan tuntutan, dan hakim sudah memutuskan perkara. Informasi yang salah, ditambah dengan apa kata para pakar yang masih sekedar rumor dan asumsi, serta issue public pun saling bertautan. Semuanya campur aduk, dan kamu pasti tahu prinsip dalam penyelidikan. Terlalu banyak informasi mengkontaminasi kebenaran yang sesungguhnya.”
“Jadi anda merasa tidak terkait dengan semua ini?”
Tubagus tertawa keras. “Tentu saja, saya bahkan baru bertemu nama-nama yang disebutkan itu di pengadilan. Tak ada satu pun yang terkait dengan saya. Persidangan itupun menurut saya hanya omong kosong, Terlalu banyak rotasi, terlalu banyak yang diganti, terlalu banyak disorot media, “
Jenderal Tubagus bicara panjang mengenai persidangan yang dihadirinya, mengenai para jaksa-nya, para saksi, serta para hakimnya. Tentang dakwaan, tentang bantahan, tentang alibi, perdebatan forensik, dan sebagainya.
Tidak jauh beda dari informasi yang dibacanya dua jam yang lalu.
Informasi yang sama dengan wawancara Jenderal Tubagus bersama wartawan majalah politik ternama itu. Catatan yang sama, alasan yang sama, tidak ada yang baru. Hanya saja kali ini dia memvalidasi informasi tersebut langsung dari sumbernya.
Para jaksa mengungkapkan alibi-alibi yang salah, juga tentang motif yang salah, juga tentang dirinya di fitnah, saksi-saksi yang palsu, lalu masalah konspiras yang mengaitkan kasus Muhdi dengan pemenangan partai politik tertentu saat pemilu beberapa tahun yang lalu, hingga isu scenario kepentingan asing terhadap intelijen Indonesia.
Setelah menjabarkan pandangan-pandangannya terhadap kasus Muhdi, Jenderal Tubagus pun menanyakan kembali apa maksud dan tujuan Virli ke rumahnya.
Virli tidak langsung menjelaskan, dia hanya sharing sedikit bahwa Kombes Hendra sedang menangani kasus kematian misterius Bastian Michaelis alias Burhan Simamorang yang merupakan pengacara dari terpidana Pladius Purnomo. Jenderal Purnawirawan itu menunjukan mimik terkejut sewaktu Virli menyebut nama Pladius, namun sedetik kemudian reaksi itu menjadi samar dan kembali dia bicara dengan tenang.
. . .
“Iya, Pernyataan Pak Tubagus sangat masuk akal. Tapi pertanyaan saya apa benar anda tidak terkait dengan Pladius Purnomo? Apa benar dia bukan anggota anda? Dan bagaimana dengan Protokol hantu yang katanya dijalankan oleh Pladius?”
“Protokol Hantu,” Jenderal Tubagus terkekeh. “Iya, protokol itu memang ada, tapi kamu bisa lihat pernyataan Pladius dalam persidangan, bukan kah itu aneh. Dia bicara semua, dia berkicau seperti burung beo. Kamu pasti tahukan seorang agen dengan protocol hantu lebih baik bunuh diri daripada bicara tentang sebuah rahasia.Tapi orang yang kita bahas ini sebaliknya dia dengan bangga mengakui bahwa dia adalah seorang intel.”
Pria di hadapannya kembali tertawa. “Hahahaha… bukankah itu konyol.”
“Kamu juga tahu kan, sebuah kehormatan, sebuah prinsip yang harus dijunjung. Kamu pasti punya kode etik tersendiri dan kamu tidak akan bicara tentang kode etik kamu, bahkan di pengadilan, karena ada hal-hal rahasia yang mesti kamu jaga. Ini prinsip paling utama, syarat utama untuk bekerja di bidang intelijen, kamu harus ahli dalam menjaga rahasia.”
Kata-kata itu begitu berwibawa.
Virli melakukan scanning pada seluruh posture dan gesture pria di hadapannya. Orang ini 95% terlihat jujur, sama seperti pada awal percakapan. Tidak ada deviasi dari baseline, tidak ada tanda-tanda berbohong, dan penjelasannya pun terdengar sangat masuk akal. Dia juga setuju dengan gagasan Tubagus, rasanya terlalu aneh ketika seorang agen intelijen mengungkap jati dirinya di pengadilan negeri. Pengadilan kecil yang seharusnya menindak lanjuti masalah kriminal umum.
Si gadis cantik melirik jam tangan, waktu habis.
Sang Jenderal juga bisa membaca gerak tubuh Virli, ada kegelisahan di sana.
“Sebenarnya kalian sedang menyelidikan apa sih? Apa yang Hendra Wiryawan kerjakan?” Tanya Tubagus.
“Tapi kami…”
“Iya, saya tahu. Tidak perlu detail cukup di permukaan saja, siapa tahu saya juga punya informasi yang bisa membantu kamu.”
Virli agak ragu, tapi karena ini sudah final harus dia katakan. “Seperti yang saya jelaskan sebelumnya, kami menyelidiki kematian Bastian Michaelis, lalu semalam seperti yang anda tahu di beritakan di media-media. Bahwa Boss dari Johadi Telco. yaitu Said Johadi ditemukan tewas dalam. Kami curiga kalau kedua kasus itu saling terkait tapi kami sampai sekarang belum menemukan bukti yang pasti mengenai keterkaitan antara mereka berdua.”
“Saya tidak percaya itu, kalian lebih pintar daripada bawah-bawahan saya yang sekarang menjabat di BIN. Kalian pasti menemukan sesuatu semalam?” Desak Tubagus.
Virli menghela nafas, dengan sangat terpaksa dia bicara. “Sebenarnya ada satu keterkaitan antara mereka berdua, satu nama yang mengaitkan mereka berdua. Meski begitu saya belum punya bukti bisnis apa yang pernah mereka lakukan bersama.”
“Tak usah bertele-tele, sebut saja namanya?”
“Dia Batara Billy, pimpinan Batara Corp.”
“Oh anak muda itu, Pangeran dari keluarga Batara.”
“Iya, secara tidak langsung saya menemukan korelasi dua korban tewas itu dengan Batara Billy, pertama Bastian Michaelis dia pernah bekerja sebagai konsultan hukum untuk keluarga Batara, sedangkan Said Johadi jelas adalah pesaing bisnis mereka di bidang telekomunikasi dan internet. Tapi keterkaitan itu terlalu kecil dan tidak bisa menjadi petunjuk untuk sebuah motif pembunuhan.”
Virli menghabiskan Teh di cangkirnya, menunggu apa yang sang Jenderal tahu.
Tubagus pun mengubah gesture, kedua tangannya naik ke atas meja. Dia mengerti situasi apa yang sedang mereka hadapi, saatnya menyampaikan pendapat.
“Ini bukan bicara tentang politik menjelang pemilu, tapi dari pandangan saya, keluarga Batara memang keluarga elit yang sangat berbahaya. Empat tahun yang lalu, sahabat saya di KPK bercerita bahwa sehari sebelum surat perintah pemeriksaan terhadap kantor dan arsip-arsip Perusahaan Batara keluar, tiba-tiba terjadi kebakaran yang menyebabkan semua arsip itu hilang. Di lain waktu, saat akan menyelidiki dokumen-dokumen keuangan Batara Corp. hanya beberapa jam sebelum polisi dan petugas KPK datang. Tiba-tiba tempat yang dituju itu di rampok orang. Hal-hal yang tidak masuk akal, kami bahkan tidak punya bukti. Lalu sahabat saya di KPK. di saat sedikit lagi mendapatkan bukti tiba-tiba dia terkena kasus yang saya yakin dia bahkan tidak pernah melakukannya.”
Virli tahu siapa sahabat Jenderal yang dimaksud, berita memang begitu luar biasa di koran ketika pejabat KPK sendiri yang seharusnya memburu koruptor tiba-tiba terkait sebuah skandal.
“Permainan klasik,”
“Iya, saya sendiri juga membicarakan ini dengan cucu-cucu saya! Hahaha…” sang Jenderal kembali tawa. “Kamu tahu, kamu persis dengan cucu saya, dia penggemar film-film Korea. Kemarin kami nonton bersama sebuah film action yang mengambil tema serius, cerita di film itu mengingatkan zaman saya waktu bekerja di BIN. Ah, luar biasa mereka. Sayang Indonesia belum sampai ke sana.”
. . .
Nb: sebuah cerpen lama tapi baru di upload ke blog !
ReplyDelete